SEMINAR UMUM II
2017
DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...i
ABSTRAK……………………………………………………………………………………….iv
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
2.1 Bakteri…………………………………………………………………………………4
2.3 Bakteremia.............................................................................................………………………...9
2.3.2 Epidemiologi........................…………………………………………………12
2.3.4 Pathogenesis............................................................…………………………………………………
16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….. 29
DAFTAR GAMBAR
Tabel 1. Perbedaan karakteristik dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif..........4
ABSTRAK
Bakteri (bahasa Latin bacterium; jamak: bacteria) merupakan kelompok organisme yang
tidak memiliki inti sel. Organisme ini termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran
sangat kecil (mikroskopik), serta memiliki peran besar dalam kehidupan di bumi. Berdasarkan
ketersediaan oksigen dalam pertumbuhannya, maka bakteri dapat dibagi menjadi 2, yaitu bakteri
aerob (membutuhkan oksigen) dan bakteri anaerob (tidak memerlukan oksigen).
Bakteri Anaerob adalah bakteri yang menggunakan molekul anorganik atau terkadang
molekul organik sebagai akseptor elektron terakhir dan memiliki sifat sensitif terhadap oksigen.
Bakteri anaerob tidak memiliki enzim SOD, katalase dan enzim peroksidase, sehingga tidak
mampu mentoleransi oksigen (bersifat toksin). Bakteri anaerob merupakan salah satu penyebab
terjadinya berbagai infeksi anatomis seperti bakterimia. Organisme ini tetap menjadi penyebab
penting infeksi aliran darah dan menyebabkan 1-17% kultur darah positif.[]
Bakteremia dapat diartikan sebagai adaya bakteri yang viabel di dalam aliran darah,
sebagaimana ditentukan pertumbuhannya pada kultur darah[]. Bakteri anaerob terhitung sekitar
10-20% pada bakterimia pada studi yang dilakukan sampai tahun 1990-an.[] Tinjauan ini
menjelaskan tentang epidemiologi, mikrobiologi, penyebab bakteremia, patogenesis, diagnosis
lab, pencegahan dan pengobatan bakterimia karena anaerob (AB).
PENDAHULUAN
Keberadaan bakteri anaerob pada aliran darah diketahui berkaitan erat dengan angka
[1]
kematian. Semua bakteriologis yang terdeteksi secara klinis di Rumah Sakit Universitas
Brussel, Belgia, selama tahun 2004 sampai 2013, catatan medis ditinjau ulang dalam upaya
untuk menentukan parameter klinis yang mungkin terkait dengan terjadinya anaerobik
[2]
bakteremia. Bakteremia dapat diartikan sebagai adaya bakteri yang viabel di dalam aliran
[1]
darah, sebagaimana ditentukan pertumbuhannya pada kultur darah.
Didapatkan 437 organisme terisolasi yang menyebabkan anaerobik bakteremia,
disubkulturkan dan dianalisis ulang. Rata-rata 33 kasus anaerobik bakteremia per tahun selama
tahun 2004 sampai 2008 dibandingkan dengan rata-rata 27 kasus per tahun selama 2009-2013 (P
=
0,017), sesuai dengan penurunan sebesar 19% antara periode pertama dan akhir. Selain itu,
jumlah kasus bakteremia anaerobik per 100.000 hari pasien menurun dari 17,3 pada periode
[2]
2004 sampai 2008 menjadi 13,7 pada periode 2009 sampai 2013 (P = 0,023).
Selain itu, kejadian rata-rata anaerobik bakteremia menurun selama masa studi (1.27 /
1.000 pasien pada tahun 2004 vs 0.94 / 1.000 pasien pada tahun 2013; P = 0,008). Sebaliknya,
proporsi bakteremia anaerobik terisolasi dibandingkan dengan jumlah semua bakteriemia tetap
stabil pada 5%. Bakteroid spp. dan Parabacteroides spp. menyumbang 47,1% anaerob, diikuti
oleh 14,4% Clostridium spp, 12,6% batang spora Gram positif, 10,5% cocoa anaerobik 8,2%
Prevotella spp. dan lainnya. Batang Gram negatif dan 7,1% Fusobacterium spp. Saluran
gastrointestinal bagian bawah (47%) dan infeksi luka (10%) adalah dua sumber bakteriemia yang
paling sering, dengan asal yang tidak diketahui dalam 62 kasus (21%).Tingkat kematian
keseluruhan adalah 14%. Studi lebih lanjut yang berfokus pada kerentanan antimikroba dan latar
[2]
belakang demografi pasien diperlukan untuk memodifikasikan tren yang diamati saat ini.
Selama 2 dekade terakhir, masalah anaerobik bakteremia terdapat berbagai pendapat. Studi
awal pada tahun 1970-an melaporkan bahwa anaerob menyumbang 2% sampai 20% bakteriemia.
Namun, pada pertengahan tahun 1980an, beberapa pusat melaporkan penurunan tingkat bakteriologis
anaerobik dan beberapa penulis menyarankan bahwa inokulasi rutin kultur darah
anaerob harus dihentikan. Alasan untuk argumen ini adalah bahwa inokulasi 2 kultur darah
aerobik akan meningkatkan hasil aerobik obligat dan bahwa kerentanan antimikroba dari anaerob
juga dapat diprediksi. Akhir 1990-an melihat beberapa penelitian melaporkan adanya kasus
[3]
anaerobik bakteremia, walaupun ini juga sangat tergantung pada epidemiologi lokal.
Bakteri anaerob dapat menyebabkan infeksi pada hampir semua situs anatomis dan juga
bakteremia. Organisme ini tetap menjadi penyebab penting pada infeksi aliran darah dan
menyebabkan 1-17% pada kultur darah positif. Pengenalan dini dan pengobatan yang tepat untuk
infeksi ini sangat penting secara klinis. Bakteri anaerob terhitung sekitar 10-20% pada
bakterimia pada studi yang dilakukan sampai tahun 1990-an. Studi ini menemukan bahwa
proporsi lebih besar pada pasien berdasarkan pada keganasan bakteri anaerob di 2004 daripada
1993-1994, bagaimanapun secara statistic tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditunjukkan
(46% vs 39%, p=0.39). Keganasan hematologic yang paling umum selama kedua periode itu,
[4]
diikuti dengan gastrointestinal, ginekologikal dan keganasan urogenital.
Mayoritas dari bakteri anaerob disebabkan oleh basil Gram negative, seperti Bacteriodes
fragilis. Grup ini (basil Gram negatif), berjumlah sekitar setengah dari kasus anaerob. Bakterimia
yang disebabkan oleh B. fragillis yang berkaitan dengan kematian sekitar 20% dengan resiko
kematian, meningkat dalam 16 hari pada rawat inap rumah sakit, penyakit intraabdomen. Resiko
yang berkaitan dengan kematian termasuk penyakit hati kronik dan kegagalan jantung kongestif.
Spesies lainnya yang menyebabkan bakterimian anaerob termasuk Peptostreptococcus dan
Clostridium spp. (sekitar 10%) dan Fusobacterium spp. (sekitar 5%). Banyak diantaranya yang
[4]
polimikrobial.
ISI
2.1 Bakteri
Berbeda dengan virus dan parasit, bakteri patogen dapat diisolasi pad amedium padat
yang mengandung agar.pembiakan umum bakteri membutuhkan medium yang kaya akan nutrisi
pertumbuhan. Beberapa bakteri mampu menimbulkan penyakit, namun beberapa bakteri juga
[6]
dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bakteri memiliki kemampuan untuk membelah diri dengan
cepat. Kemampuan bakteri dalam membelah diri dipengaruhi pula oleh kondisi lingkungannya.
Bakteri dapat digolongkan berdasarkan perbedaan morfologi (kokus dan basil) serta
berdasarkan perbedaan reaksi terhadap ungu kristal violet (Gram positif dan Gram negatif).
Gram (Cristian Gram) adalah nama ahli fisika Denmark yang mengembangkan pewarnan bakteri
[6]
secara empiris.
Bakteri Gram positif berdinding sel tebal yang terdiri dari 80% peptidoglikan serta 20%
terdiri atas asam politeikhoat yaitu gliserol atau ribitol yang berkaitan melalui fosfodiester. Asam
politeikhoat menyelimuti selaput plasma dan bercampur dengan peptidoglikan di bagian luar sel.
[6]
Bakteri Gram positif tidak memiliki lemak dinding.
Bakteri Gram negatif memiliki struktur dindig sel yang lebih kompleks. Zat utama
pembungkus sel adalah senyawa makropolimer lipopolisakarida. Dindingnya hanya mengandung
sedikit atau bahkan tidak ada asam teikhoat dan peptidoglikan.lipopolisakarida terdiri atas
beberapa mono sakarida, α-hidroksimiristat dan lemak-lemak lainnya.[6] Jika zat lipopolisakarida
terlepas dan larut ke peredaran darah, maka zat tersebut bersifat sangat toksik, menimbulkan demam, pendarahan
dan gejala penyait lain dengan kerusakan jaringan.
Jenis Bakteri Unsur-unsur pembentuk dinding sel Sifat fisik dinding sel
Gram positif Karbohidrat dan protein murni Kaku, keras
Gram negative Karbohidrat dan protein, lipid, Fleksibel, lunak
lipoprotein, lipopolisakarida
Tabel 1. Perbedaan karakteristik dinding sel bakteri Gram positif dan Bakteri Gram
negatif
Gambar 1. Morfologi bakteri
Gambar 2. A.Morfologi dan sifat Gram, B. Struktur bakteri Gram positif dan bakteri Gram
negatif
2.2. Bakteri Anaerob
Bakteri Anaerob adalah bakteri yang menggunakan molekul anorganik atau terkadang
molekul organik sebagai akseptor elektron terakhir dan memiliki sifat sensitif terhadap oksigen.
Bakteri anaerob tidak menggunakan oksigen untuk pertumbuhan dan metabolisme, tetapi
memperoleh energinya melalui proses fermentasi.[6]
Bakteri anaerob tidak akan tumbuh dengan adanya oksigen dan mati oleh oksigen atau
radikal oksigen toksik. Berbeda dengan bakteri aerob, bakteri anaerob tidak memiliki:
Bacteriodes fragilis adalah patogen yang sangat penting di antara anaerob yang merupakan
bagian dari mikrobiota atau flora normal. Patogenesis infeksi anaerobik telah dipelajari secara
ekstensif dengan Bacteriodes fragilis menggunakan model tikus untuk infeksi intra-abdomen, yang
dalam banyak hal meniru penyakit manusia. Urutan karakteristik terjadi setelah kandungan usus
(termasuk B fragilis dan anaerob fakultatif seperti Escherecia coli) ditempatkan melalui jarum,
kapsul gelatin, atau cara lain ke dalam perut tikus. Sebagian besar hewan penelitian meninggal
karena sepsis yang disebabkan oleh anaerob fakultatif. Namun, jika hewan tersebut pertama kali
diobati dengan gentamisin (obat yang efektif melawan anaerob fakultatif namun bukan spesies
Bacteroides sp.) sedikit binatang mati dan setelah beberapa hari, hewan yang masih hidup mengalami
abses intra-abdominal dari infeksi Bacteroides sp. Perlakuan terhadap hewan dengan gentamisin dan
klindamisin merupakan obat yang efektif melawan spesies Bacteroides sp., mencegah sepsis awal
dan perkembangan abses abdomen selanjutnya.
Polisakarida kapsul Bacteroides sp. adalah faktor virulensi yang penting. Keistimewaan
infeksi B fragilis adalah kemampuan organisme untuk menginduksi pembentukan abses sebagai
satu-satunya organisme yang menginfeksi. Ketika disuntikkan ke perut tikus, polisakarida kapsul
yang dimurnikan dari B fragilis menyebabkan pembentukan abses, tetapi bakteri lain (misalnya
Streptococcus pneumoniae dan E coli) tidak melakukannya. Mekanisme dimana kapsul B fragilis
menginduksi pembentukan abses belum dipahami dengan baik.
B fragilis menghasilkan SOD dan dapat bertahan hidup dengan adanya oksigen selama
berhari-hari. Bila anaerob fakultatif seperti E coli ada di tempat infeksi, ia bisa mengkonsumsi semua
oksigen yang tersedia (sampai O2 habis) dan dengan demikian menghasilkan lingkungan di
[6]
mana spesies Bacteroides sp. dan anaerob lainnya dapat tumbuh. Kehadiran bakteri anaerob
[1]
pada aliran darah dapat menyebabkan kematian. Kondisi ini dapat disebut infeksi bakteremia.
Tabel 2. Bakteri Anaerob dan contoh infeksi yang disebabkannya
Zaidi et al, meninjau penggunaan kultur darah anaerobik untuk anak-anak dan mencatat
bahwa 15 (2.1%) dari 723 kasus bakteremia disebabkan oleh anaerob obligat dan mereka
menyimpulkan bahwa penggunaan seluruh volume darah yang ditarik harus disediakan untuk kultur
aerobik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kejadian bakteremia
anaerobik. Beberapa penulis telah menduga bahwa ini mungkin akibat penggunaan sediaan usus
[7]
sebelum operasi perut dan penggunaan antibiotik yang lebih rutin terhadap anaerob.
2.3 Bakteremia
Infeksi aliran darah atau Blood Stream Infection (BSI) adalah sumber umum morbiditas
dan kematian pada pasien rawat inap. Terdapat hipotesis bahwa proporsi bakteriemia dari
patogen gram positif dan jamur telah menurun dari waktu ke waktu, sedangkan tingkat bakteriil
[8]
gram negatif meningkat sebagai akibat dari pengelolaan kateter vena sentral yang lebih baik.
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam darah. Kondisi bakteremia mungkin bukanlah
kondisi yang berbahaya, namun dapat pula berlanjut menjadi infeksi lokal atau sistemik yang
lebih parah dan fatal jika tidak ditanggani, contoh sepsis.
Pengklasifikasian bakteremia :
a. Situs asal
b. Agen penyebab
Bakteremia juga dapat dikategorikan oleh kelas umum mikroorganisme atau patogen
spesifik yang telah menyerang aliran darah. Bakteremia Gram positif disebabkan oleh organisme
seperti Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Enterococcus faecium,
sedangkan bakteriemia gram negatif disebabkan oleh organisme seperti Escherichia coli atau
Pseudomonas aeruginosa. Bakteremia anaerobik disebabkan oleh organisme seperti Bacteroides
fragilis, sedangkan bakteriemia polymicrobial adalah campuran organisme. Klasifikasi umum
bakteri bakteri dengan cara ini dapat memberikan petunjuk awal mengenai sumber bakteri dan
panduan terapi yang mendasarinya, bahkan sebelum organisme telah dicirikan. Sebagai contoh,
CoNS bakteremia pada pasien yang dirawat di rumah sakit sering disebabkan oleh infeksi
perangkat vaskular yang tinggal, sedangkan bakteremia polymicrobial dengan campuran
enterococci dan organisme gram negatif sering disebabkan oleh invasi aliran darah oleh
mikrobiota gastrointestinal (GI) dari perforasi usus. .
c. Tempat Akuisisi
Bakteremia juga bisa dikategorikan sebagai tempat akuisisi. Bakteremia yang didapat
oleh masyarakat, sebagaimana istilahnya, terjadi pada individu yang tinggal di masyarakat
umum, sedangkan bakteremia nosokomial terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit atau
tinggal di panti jompo atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya. Untuk menghindari salah
klasifikasi bakteremia yang dimulai pada saat masuk rumah sakit sebagai nosokomial saat benar-
benar diakuisisi oleh masyarakat, bakteremia nosokomial secara konvensional didefinisikan
sebagai bakteremia yang terjadi lebih dari 72 jam setelah masuk rumah sakit. Bakteremia
tertentu lebih sering diakibatkan oleh masyarakat; Sebagai contoh, lebih dari 90% kasus bakteri
S. pneumoniae diperoleh di masyarakat. Yang lainnya, seperti yang disebabkan oleh P.
aeruginosa atau Enterococcus spp., Jauh lebih mungkin nosokomial. Tempat perolehannya bisa
sangat penting dalam membimbing terapi awal. Sebagai contoh, bakteremia nosokomial lebih
cenderung disebabkan oleh organisme yang resistan terhadap obat yang mengekspresikan β-
laktamase atau faktor resistensi lainnya yang menonaktifkan agen antimikroba lini pertama.
d. Dengan durasi
2.3.2. Epidemiologi
Brill melaporkan kasus bakteremia pertama (yang disebabkan oleh Bacillus pyocyaneus,
sekarang Pseudomonas aeruginosa) pada tahun 1899. Sepuluh tahun kemudian, kurang dari 40
kasus telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan kurang dari 30 kasus tambahan dalam 15 tahun
berikutnya. Antara tahun 1950 dan 2003, bagaimanapun, angka kematian yang disebabkan oleh
septikemia meningkat hampir 40 kali lipat. Septicemia (didefinisikan berdasarkan International
Classification of Diseases [ICD] -10) adalah penyebab kematian tertinggi ke-11 di Amerika
Serikat pada tahun 2009 dan 2010 (1,4% dari total kematian). Namun, ada penurunan yang
signifikan dalam tingkat kematian yang disebabkan oleh septikemia pada tahun 2009
dibandingkan dengan tahun 2008 (1,8%). Sepsis bakteri adalah penyebab kematian ketujuh di
antara bayi, menyebabkan 2,65% kematian bayi di tahun 2009.
Kejadian syok septik pada pasien bakteremia bervariasi dari 10% sampai 30%,
tergantung pada patogen, sumber bakteriemia, adanya imunosupresi, dan ada tidaknya kondisi
komorbiditas, tetapi sekali pun, syok septik dikaitkan dengan tingkat mortalitas. 40% sampai
50%. Tingkat kematian pada pasien dengan bakteremia tanpa syok berkisar antara 10% sampai
20%, tergantung pada sumber bakteriemia yang mendasarinya. Pasien dengan sepsis berat dan
syok septik yang memiliki tiga atau lebih organ yang gagal memiliki tingkat kematian 70%.
Faktor yang terkait dengan hasil yang tidak menguntungkan pada bakteremia meliputi: usia lebih
tua dari 70 tahun; bakteremia polymicrobial; adanya keganasan, acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS), atau gagal ginjal; asal bakteriemia di saluran pernafasan atau usus; asal tidak
[9]
diketahui bakteremia; dan terapi antimikroba yang tidak tepat.
Bakteremia lebih sering terjadi pada orang dengan neoplasia (pertumbuhan sel normal yang
abnormal yang mungkin jinak atau ganas), terutama yang memiliki keganasan hematologis,
mereka yang mendapat kemoterapi imunosupresif, dan mereka yang menjalani transplantasi
sumsum tulang. Hal ini disebabkan sebagian oleh penurunan neutrofil yang beredar pada
pasien tersebut serta gangguan pada mukosa GI yang disebabkan oleh kemoterapi, yang
memungkinkan invasi mikrobiota normal ke dalam aliran darah. Orang dengan penyakit
kronis lainnya (misalnya, diabetes, sirosis) dan mereka yang menerima terapi imunosupresif
(misalnya, mereka yang menerima glukokortikoid untuk rheumatoid arthritis, sel induk atau
pasien transplantasi organ berat) juga berisiko tinggi terkena bakteremia. Infeksi dengan
human immunodeficiency virus (HIV) juga menjadi predisposisi pasien terhadap peningkatan
bakteri karena adanya imunosupresi akibat virus.
b. Peningkatan jumlah penggunaan prosedur yang invasive.
Meningkatnya penggunaan alat peristirahatan, respirator, dan prosedur diagnostik invasif dapat
menjadi faktor terjadinya bakteriemia. Meluasnya penggunaan kateter vaskular semipermanen
untuk memberikan kemoterapi kepada pasien kanker atau untuk memberikan akses vaskular
untuk hemodialisis pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir
meningkatkan risiko bakteriemia dengan memecah integritas normal kulit dan
memungkinkan kolonisasi benda asing secara langsung. kontak dengan aliran darah. Lebih
dari 80.000 bakteriemia terjadi setiap tahun di Amerika Serikat karena adanya kateter vena
sentral yang terinfeksi. Kateter uretra yang tinggal di tempat tinggal, kateter suprapubik, dan
pielografi IV juga mempengaruhi pasien untuk melakukan infeksi kateter dengan menembus
area steril lainnya, mendorong kolonisasi dengan bakteri dari jaringan sekitarnya.
Pembedahan yang melibatkan saluran kemih, GI, dan saluran empedu juga dapat
menyebabkan bakteriemia karena terganggunya rintangan mukosa yang biasanya berfungsi
untuk menghalangi penyebaran biota penduduk.
c. Usia.
d. Bakteremia lebih umum terjadi pada orang yang berusia di bawah ekstrem, dengan bayi dan
orang dewasa yang berusia lebih dari 50 tahun paling rentan. Baik bayi dan orang dewasa
memiliki fungsi sistem kekebalan tubuh yang menurun dibandingkan dengan orang-orang dari
usia 1 sampai 50 tahun; Pada pasien yang sangat muda, respons imun yang kompeten belum
berkembang sepenuhnya dan pada orang dewasa yang lebih tua ada penurunan kekebalan tubuh
yang umum seiring bertambahnya usia. Kondisi komorbid seperti diabetes, hipertensi, penyakit
paru obstruktif kronik, dan gagal jantung kongestif pada orang dewasa yang lebih tua, dan
kelainan neoplastik, infeksi HIV, dan berat lahir rendah dan sangat rendah pada bayi baru lahir
dan bayi secara signifikan meningkatkan kejadian bakteremia pada kelompok ini.
e. Resisten antimikrobial.
Faktor-faktor yang baru saja dijelaskan telah terbukti mengarah pada peningkatan aktual kejadian
bakteriemia. Mungkin ada beberapa peningkatan artifisial pada kejadian bakteremia karena
variasi kriteria diagnostik bakteremia dan bagaimana bakteriemia dikodekan dalam catatan
pasien. Sulit untuk membandingkan tingkat suku bunga dari satu studi ke studi lainnya karena
perubahan ini dari waktu ke waktu (mis., Konferensi prakonsepsi ke konferensi pasca konsensus)
dan perubahan dari rumah sakit ke rumah sakit dan dokter ke dokter. Selain itu, ada beberapa
kode ICD yang mungkin berlaku untuk bakteremia dan / atau fungemia; misalnya, bakteriemia,
septikemia, infeksi jamur disebarluaskan, infeksi kandidiasis yang disebarluaskan, dan
endokarditis jamur yang disebarluaskan semuanya diberi kode ICD-9 terpisah. Beberapa kode ini
tumpang tindih dan berpotensi berlaku untuk infeksi yang sama. Penyelidik dalam berbagai
penelitian dapat mempertimbangkan beberapa atau semua hal ini saat mengevaluasi tingkat
bakteremia dan fungemia. Akhirnya, setiap revisi ICD sedikit berbeda. Sejak 2004, rumah sakit
[9]
telah menggunakan revisi ke 10, edisi kedua, dari ICD.
Clinical and Lab Standard Institute (CLSI) telah menerbitkan prosedur untuk tes bunuh
diri serum, termasuk metode macrodilution kaldu dan metode microdilution kaldu. Beberapa
data klinis yang tersedia mendukung penggunaan SBT untuk mengevaluasi spesimen dari pasien
[11]
dengan infeksi bakteri serius seperti endokarditis, osteomielitis dan bakteri gram negatif.
Diperkirakan 500 sampai 1000 jenis bakteri yang menghuni tubuh manusia, sekitar 300
sampai 400 tinggal di usus besar. Studi mikrobiota telah menemukan bahwa bakteri anaerob
lebih banyak daripada bakteri anaerob fakultatif (aerob) dengan faktor 1000 : 1. Bakteri anaerob,
Bacteroides fragilis adalah spesies bakteri anaerob yang paling umum yang diisolasi dari infeksi
jaringan lunak dan bakteremia, jumlahnya mencapai kurang dari 1% biota usus manusia.
Anggota lain dari kelompok B. Fragilis, seperti B. vulgatus, B. thetaiotaomicron, dan B.
distasonis, adalah salah satu spesies bakteri yang paling umum yang terisolasi dari kotoran
manusia. Spesies lain yang biasanya menghuni saluran pencernaan termasuk Bifidobacterium,
Clostridium, Eubacterium, dan cocci gram positif anaerob. Setiap infeksi pada rongga
[11]
peritoneum kemungkinan disebabkan oleh organisme yang lolos dari saluran pencernaan.
Anggota kelompok B. fragilis, yang mengandung lebih dari 20 spesies, terutama bersifat
patogen. B. fragilis adalah spesies bakteri anaerob yang paling umum yang diisolasi dari proses
infeksi jaringan lunak dan bakteremia anaerobik dan bertanggung jawab atas lebih dari 60%
infeksi yang disebabkan oleh kelompok B. fragilis. B. thetaiotaomicron adalah anggota
kelompok B. Fragilis yang paling sering dijumpai dan sering menunjukkan tingkat resistensi
antimikroba tertinggi. Pewarnaan Gram Bacteroides spp. koloni mengungkapkan coccobacilli
[9]
gram negatif atau basil, namun sel-sel dalam kultur kaldu sering pleomorfik.
2.3.4. Patogenesis
Anggota kelompok B. fragilis, yang mengandung lebih dari 20 spesies, terutama bersifat
patogen. B. fragilis adalah spesies bakteri anaerob yang paling umum yang diisolasi dari proses
infeksi jaringan lunak dan bakteremia anaerobik dan bertanggung jawab atas lebih dari 60%
infeksi yang disebabkan oleh kelompok B. fragilis. B. thetaiotaomicron adalah anggota
kelompok B. Fragilis yang paling sering dijumpai dan sering menunjukkan tingkat resistensi
antimikroba tertinggi. Pewarnaan Gram Bacteroides spp. koloni mengungkapkan coccobacilli
[6]
gram negatif atau basil, namun sel-sel dalam kultur kaldu sering pleomorfik.
Bacteriodes fragilis adalah patogen yang sangat penting di antara anaerob yang merupakan
bagian dari mikrobiota atau flora normal. Patogenesis infeksi anaerobik telah dipelajari secara
ekstensif dengan Bacteriodes fragilis menggunakan model tikus untuk infeksi intra-abdomen, yang
dalam banyak hal meniru penyakit manusia. Urutan karakteristik terjadi setelah kandungan usus
(termasuk B fragilis dan anaerob fakultatif seperti Escherecia coli) ditempatkan melalui jarum,
kapsul gelatin, atau cara lain ke dalam perut tikus. Sebagian besar hewan penelitian meninggal
karena sepsis yang disebabkan oleh anaerob fakultatif. Namun, jika hewan tersebut pertama kali
diobati dengan gentamisin (obat yang efektif melawan anaerob fakultatif namun bukan spesies
Bacteroides sp.) sedikit binatang mati dan setelah beberapa hari, hewan yang masih hidup mengalami
abses intra-abdominal dari infeksi Bacteroides sp. Perlakuan terhadap hewan
dengan gentamisin dan klindamisin merupakan obat yang efektif melawan spesies Bacteroides
[6]
sp., mencegah sepsis awal dan perkembangan abses abdomen selanjutnya.
Polisakarida kapsul Bacteroides sp. adalah faktor virulensi yang penting. Keistimewaan
infeksi B fragilis adalah kemampuan organisme untuk menginduksi pembentukan abses sebagai
satu-satunya organisme yang menginfeksi. Ketika disuntikkan ke perut tikus, polisakarida kapsul
yang dimurnikan dari B fragilis menyebabkan pembentukan abses, tetapi bakteri lain (misalnya
Streptococcus pneumoniae dan E coli) tidak melakukannya. Mekanisme dimana kapsul B fragilis
[6]
menginduksi pembentukan abses belum dipahami dengan baik.
B fragilis menguraikan sejumlah enzim penting dalam penyakit. Selain protease dan
neuraminidases, produksi dua sitolysin bekerja sama untuk menyebabkan hemolisis eritrosit.
Enterotoksin yang mampu menyebabkan diare dan gen yang terkandung di pulau patogenisitas
[6]
ditemukan di sebagian besar isolat yang ditemukan dari kultur darah.
B fragilis menghasilkan SOD dan dapat bertahan hidup dengan adanya oksigen selama berhari-
hari. Bila anaerob fakultatif seperti E coli ada di tempat infeksi, ia bisa mengkonsumsi semua
oksigen yang tersedia (sampai O2 habis) dan dengan demikian menghasilkan lingkungan di mana
[6]
spesies Bacteroides sp. dan anaerob lainnya dapat tumbuh. Kehadiran bakteri anaerob pada
[1]
aliran darah dapat menyebabkan kematian. Kondisi ini dapat disebut infeksi bakteremia.
Pada sebagian besar kasus bakteremia, isolasi organisme dari darah dapat dilakukan
dengan menggunakan metode kultur pada medium tertentu, yang juga memungkinkan penentuan
kepekaannya terhadap antibiotik. Organisme juga dapat dideteksi melalui visualisasi
[12]
menggunakan metode pewarnaan spesifik dan karakter morfologis yang sesuai.
Pengumpulan spesimen
Karena potensi hasil negatif yang serius dari septikemia atau bakteremia, kultur darah
adalah salah satu kultur terpenting untuk hasil yang cepat dan akurat. Dengan demikian, kultur
darah positif adalah nilai kritis. Nilai kritis adalah hasil uji laboratorium yang berada di luar
rentang referensi dan menunjukkan hasil yang berpotensi fatal. Penyedia layanan primer perlu
segera diberitahu semua nilai kritis untuk segera ditangani. Dalam kasus kultur darah positif,
[9]
hasil pewarnaan Gram sangatlah penting dilakukan.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah mempersiapkan sampel dengan benar sebelum
kultur darah. Palpasi untuk vena dapat diperiksa dengan memakai sarung tangan. Membersihkan
kulit dengan 70% sampai 95% etanol atau isopropil alkohol, diikuti dengan 2% tinktur iodium
atau klorheksidin 2%, digosok dengan cara konsentris di sekitar tempat venipunktur. Agar
dekontaminasi menjadi efektif, antiseptik harus diberikan di kulit selama paling sedikit 30 detik.
Setelah venipuncture, agen desinfektan harus dilepas dengan alas alkohol. Karena penyerapan
sistemik dan pengaruhnya terhadap fungsi tiroid, antiseptik yodium tidak boleh digunakan pada
bayi dengan berat lahir rendah.
Ketika darah dikumpulkan untuk kultur, sangat penting bahwa darah tidak dibiarkan
menggumpal. Pembentukan gumpalan akan menjebak bakteri dan mengurangi kemampuan
untuk mendeteksi mereka. Dengan demikian, darah harus diinokulasi langsung ke dalam botol
kultur darah atau ke dalam tabung yang mengandung antikoagulan. Tabung yang mengandung
heparin, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), dan natrium sitrat telah terbukti menghambat
pertumbuhan berbagai organisme dan tidak boleh digunakan. Tabung yang mengandung 0,025%
sampai 0,050% sodium polyanetholsulfonate (SPS) adalah tabung terbaik yang digunakan untuk
mengumpulkan darah untuk kultur.
Darah untuk kultur darah harus diperoleh dengan venipuncture dan bukan dari indwelling
IV atau garis intraarterial. Ada lebih banyak risiko mengisolasi biota kulit dari garis pembiakan
daripada dari venipuncture. Jika darah dikumpulkan dari indwelling, sampel kedua yang
dikumpulkan melalui venipuncture harus dibiakkan untuk perbandingan. Praktik terbaik,
bagaimanapun, bukanlah untuk menarik darah dari ekstremitas yang memiliki garis infus, tapi
[9]
untuk melakukan venipunktur pada ekstremitas yang tidak memiliki batas tinggal.
Studi yang telah meneliti hubungan antara volume darah yang dikumpulkan dan tingkat
positif telah menunjukkan bahwa karena volume pembiakan darah meningkat dari 2 sampai 20
mL darah / kultur, hasil hasil kultur positif meningkat dari 30% menjadi 50% . Satu studi pada
khususnya dengan jelas menunjukkan keuntungan dari pembiakan darah 10 mL botol/ darah
dibandingkan dengan 5 mL darah / botol, menemukan bahwa 7.2% lebih banyak kasus
bakteriemia terdeteksi pada botol yang diinokulasi dengan 10 mL darah dan bahwa organisme
terdeteksi lebih cepat daripada pada botol yang diinokulasi dengan hanya 5 mL darah.
Sayangnya, penelitian telah menemukan bahwa sudah lazim untuk menginokulasi botol kultur
darah dengan volume darah yang disarankan.
Jika menginokulasi lebih banyak darah ke dalam botol kultur darah meningkatkan
sensitivitas dan tingkat deteksi, mengapa tidak menginokulasi lebih banyak darah daripada yang
dianjurkan ke dalam setiap botol? Mengambil darah dalam jumlah berlebihan dari pasien bisa
menjadi sulit, tergantung pada kondisi pasien dan penyakit yang mendasari, dan dapat
menyebabkan anemia pada pasien. Menurut setidaknya satu penelitian, inokulasi lebih dari 10
mL / botol tidak meningkatkan tingkat positif dan justru menurunkannya.
Alasan mengapa lebih banyak darah yang diinokulasi ke dalam botol kultur darah
mengakibatkan lebih sedikit bakteri yang terdeteksi mungkin karena peningkatan jumlah penghambat
dalam botol. Darah secara alami mengandung banyak penghambat pertumbuhan bakteri, mulai dari
pelengkap dan lisozim hingga sel darah putih. Selain itu, walaupun darah harus dikumpulkan
sebelum agen antimikroba diberikan, kemungkinan banyak pasien yang mendapat darah ditarik
sudah menerima pengobatan antimikroba yang juga menghambat pertumbuhan
bakteri dalam botol kultur darah. Dengan demikian, darah dan inhibitor hadir dalam darah perlu
diencerkan oleh media kultur darah. Rasio optimal darah terhadap media kultur adalah sekitar 1:
5 sampai 1: 10. Alat pengenceran membantu meniadakan efek bakterisida serum normal. Dalam
kasus di mana pengenceran 1: 5 tidak dapat dicapai, 0,025% sampai 0,050% SPS dapat
ditambahkan ke dalam botol, Ini berfungsi untuk menghambat komplemen, koagulasi, dan
[9]
fagositosis dalam botol.
Netralisasi Inhibitor.
Pada spesimen dari pasien yang menerima agen antimikroba β-laktam, penisilinase dapat
ditambahkan ke media untuk menonaktifkan agen ini, walaupun hal ini jarang dilakukan saat ini.
Lebih umum lagi, banyak sistem kultur darah otomatis yang tersedia secara komersial memiliki
botol kultur darah yang mengandung alat penghilang antimikroba (ARD), resin yang secara
nonspesifik menyerap zat antimikroba yang ada dalam darah pasien, sedangkan sistem lain
menggabungkan arang aktif untuk tujuan ini. Hasil bakteri dan ragi meningkat dengan
penggabungan inhibitor ini ke media kultur.
Uji biokimia seperti uji katalase atau koagulase juga dapat menjadi penanda penting bagi
organisme yang diketahui menyebabkan kerusakan jaringan atau pembekuan dalam pembuluh
darah. Metode lain menggunakan teknik molekuler seperti PCR untuk memperbanyak sekuen
nukleotida yang spesifik dan unik. Metodologi berbasis antibodi seperti enzyme-linked
immunoassay dan teknologi agglutinasi, dapat mendeteksi antigen yang spesifik-spesies dan
spesifik-serovar. Pada akhirnya, deteksi antibodi juga dapat mengindikasikan keberadaan
organisme dalam tubuh host dengan identifikasi isotipe antibodi dapat menggambarkan infeksi
[12]
saat ini atau infeksi lama.
Dengan kelainan yang kompleks ini, diharapkan banyak pilihan terapeutik untuk
meringankan kejadian klinis yang dibutuhkan. Beberapa pengobatan telah dicoba, namun
beberapa tidak selalu berhasil.
Terapi Antimikroba
Setelah identifikasi organisme yang dikultur dari darah dan penentuan kerentanan
antimikroba mereka, terapi awal dapat ditargetkan secara lebih sempit, sehingga memungkinkan
penggunaan agen yang paling efektif melawan patogen yang bertanggung jawab sambil
meminimalkan potensi reaksi yang merugikan dan munculnya resistensi antimikroba. Untuk
bakteremia yang disebabkan oleh beberapa patogen (misalnya, E. faecium, P. aeruginosa), zat aktif
dinding sel seperti β-laktam dikombinasikan dengan aminoglikosida, menghasilkan efek antimikroba
yang sinergis dan hasil klinis yang lebih baik. Seiring dengan terapi antimikroba, tindakan tambahan,
seperti drainase cairan yang terinfeksi dan pengangkatan kateter intravaskular
yang terinfeksi, mungkin penting untuk mencapai penyembuhan infeksi. Pengobatan kondisi
komorbid seperti diabetes sangat membantu untuk mendapatkan kontrol infeksi. Akhirnya,
tindakan yang ditujukan untuk memulihkan kompetensi kekebalan - seperti pemberian sitokin
yang meningkatkan jumlah neutrofil yang beredar pada pasien yang diberi imunosupresi karena
kemoterapi kanker - sangat penting dalam melengkapi terapi antimikroba.
Terapi Antisepsis
Karena tingginya angka kematian syok septik, disertai dengan bakteremia maupun tidak,
sejumlah terapi yang ditujukan untuk menghalangi turunnya kejadian yang mengakibatkan
sepsis, syok, dan kematian telah dipelajari dan sedang dievaluasi. Terapi ini, yang dijelaskan di
sini, selalu digunakan dalam kombinasi dengan agen antimikroba. Sayangnya, bahkan dengan
pengobatan, 30% sampai 50% pasien dengan sepsis meninggal, biasanya karena penyakit yang
mendasarinya selain sepsis mereka.
Dukungan Fisiologis
Resusitasi dengan cairan infus untuk mempertahankan perfusi jaringan adalah metode
mendasar untuk pengelolaan pasien septik. Pada pasien dengan syok septik yang tidak
merespons pemberian cairan, agen pressor dapat digunakan untuk memastikan tekanan darah
yang adekuat. Seiring dengan cairan, terapi pernafasan dengan oksigen digunakan untuk
mendukung pasien septik.
Agen antikoagulan
Karena konsekuensi bakteremia dan sepsis mungkin termasuk aktivasi kaskade koagulasi,
dengan hasil DIC dan penurunan perfusi jaringan, penggunaan antikoagulan telah dipelajari
untuk pengobatan sepsis. Satu agen, drotrecogin alfa, juga dikenal sebagai activated protein C,
telah ditunjukkan dalam uji klinis untuk menurunkan angka kematian pada pasien dengan syok
septik. Drotrecogin alfa menghambat faktor Va dan VIIIa dari kaskade koagulasi, sehingga
menghambat koagulasi. Drotrecogin alfa juga dapat menurunkan chemotaxis sel darah putih
dengan mengganggu interaksi antara leukosit dan endotelium pembuluh darah. Karena
komplikasi pendarahan potensial dari terapi ini, penggunaannya terbatas pada pasien yang
berisiko tertinggi meninggal; itu tidak efektif untuk pasien yang kurang parah sakitnya. Terapi
antikoagulan lainnya, seperti antitrombin III, belum terbukti efektif dalam pengobatan sepsis.
Glukokortikoid
Karena tindakan antiinflamasi yang ampuh, glukokortikoid telah lama tertarik pada
pengobatan sepsis. Meskipun penelitian awal tentang glukokortikoid dosis tinggi tampaknya
menunjukkan manfaat pada pasien septik, percobaan terkontrol secara acak pada akhir 1980-an
tidak menunjukkan keuntungan penggunaan glukokortikoid dibandingkan plasebo pada pasien
dengan sepsis parah, dan penggunaannya sebagian besar ditinggalkan. Namun, belakangan,
penggunaan glukokortikoid telah membuat comeback hati-hati berdasarkan percobaan terkontrol
terhadap dosis rendah agen ini untuk mengobati insufisiensi adrenal yang terkait dengan sepsis
dan bukan untuk memblokir peradangan.
Anticytokine Therapies
Sejumlah besar agen penelitian yang bertujuan menghalangi tindakan faktor nekrosis
tumor dan mediator sitokin sepsis lainnya telah dipelajari dalam pengobatan sepsis. Terlepas dari
pemikiran teoritis yang tampaknya masuk akal dan hasil yang menjanjikan pada model hewan,
terapi ini belum terbukti efektif dalam uji klinis.
Pencegahan
Pencegahan bakteri yang didapat oleh masyarakat sebagian besar didasarkan pada
imunisasi. Vaksinasi pneumokokus telah efektif dalam mencegah infeksi invasif yang disebabkan
oleh S. pneumoniae, dan vaksinasi influenza dan varicella telah membantu menurunkan kejadian
infeksi sekunder invasif yang disebabkan oleh patogen seperti S. aureus dan S. pyogenes. Di
rumah sakit, pencegahan bakteri nosokomial berkisar meminimalkan infeksi iatrogenik dari
kateter intravaskular atau urin yang tinggal di dalam rumah dengan mengikuti praktik
pengendalian infeksi yang direkomendasikan. Penggunaan kateter vena sentral berlapis
antimikroba telah ditunjukkan untuk menurunkan tingkat CRBSI.
BAB III
KESIMPULAN
Bakteremia adalah suatu infeksi oleh bakteri (aerob maupun anaerob) di aliran darah.
[1]
Keberadaan bakteri anaerob pada aliran darah diketahui berkaitan erat dengan angka kematian.
Bakteri anaerob dapat menyebabkan infeksi pada hampir semua situs anatomis dan juga
bakteremia.
Polisakarida kapsul Bacteroides sp. adalah faktor virulensi yang penting. Keistimewaan
infeksi B fragilis adalah kemampuan organisme untuk menginduksi pembentukan abses sebagai
satu-satunya organisme yang menginfeksi. B fragilis menguraikan sejumlah enzim penting dalam
penyakit. Selain protease dan neuraminidases, produksi dua sitolysin bekerja sama untuk
menyebabkan hemolisis eritrosit. Enterotoksin yang mampu menyebabkan diare dan gen yang
terkandung di pulau patogenisitas ditemukan di sebagian besar isolat yang ditemukan dari kultur
darah.
Pada sebagian besar kasus bakteremia, isolasi organisme dari darah dapat dilakukan
dengan menggunakan metode kultur pada medium tertentu, yang juga memungkinkan penentuan
kepekaannya terhadap antibiotik. Organisme juga dapat dideteksi melalui visualisasi
[12]
menggunakan metode pewarnaan spesifik dan karakter morfologis yang sesuai. Pengambilan
sampel (volume, jumlah dan frekuensi) sangatlah perlu diperhatikan untuk menyesuaikan dengan
pengkulturan.
Dengan kelainan yang kompleks ini, diharapkan banyak pilihan terapeutik untuk
meringankan kejadian klinis yang dibutuhkan (terapi antimikroba, terapi antiseptis, fisiologis,
dll). Pencegahan bakteri yang didapat oleh masyarakat sebagian besar didasarkan pada
imunisasi. Di rumah sakit, pencegahan bakteri nosokomial berkisar meminimalkan infeksi
iatrogenik dari kateter intravaskular atau urin yang tinggal di dalam rumah dengan mengikuti
praktik pengendalian infeksi yang direkomendasikan. Penggunaan kateter vena sentral berlapis
[9]
antimikroba telah ditunjukkan untuk menurunkan tingkat CRBSI.
DAFTAR PUSTAKA