PENDAHULUAN
terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Salah satu faktor penting dalam
penurunan angka kematian bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) adalah imunisasi.
Banyak penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti difteri, tetanus,
hepatitis B, dan masih banyak penyakit lainnya (Proverawati, 2010, hlm 20).
dirasakan pada tahun 1973 dengan dilakukannya imunisasi BCG untuk menanggulangi
penyakit tuberkulosis. Disusul imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil pada tahun
1974, kemudian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) pada bayi diadakan pada
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa,
tidak terjadi penyakit (Maryunani, 2010, hlm. 208). Sedangkan vaksinasi adalah
pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh (Ranuh. et. all,
hepatitis B, polio, DPT dan campak. Imunisasi ini berfungsi untuk mencegah
penyakit yang dapat menimbulkan kematian serta kecacatan seperti TBC, Hepatitis dan
Polio. Sedangkan reaksi masing-masing imunisasi juga berbeda-beda pada setiap anak,
secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan
(brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin,
bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8° C dan tidak membeku. Sejumlah
vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku (Muhadir,
2012, ¶ 5).
Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari
langsung, seperti vaksin polio oral (OPV), BCG, dan campak. Apabila disimpan dalam
suhu yang terlalu dingin atau beku, seperti toksoid difteri, toksoid tetanus, vaksin
pertusis (DPT, DT), hepatitis B dan vaksin influenza. Vaksin polio boleh membeku
dan mencair tanpa membahayakan potensinya, selain itu cairan pelarut tidak boleh
beku karena botol bisa pecah dan adjuvant akan rusak. Vaksin yang sudah
dilarutkan lebih cepat rusak. Sekali vaksin hilang akibat panas atau beku, maka
sehingga cara penyimpanan vaksin harus bisa menjamin potensi vaksin tidak akan
faktor risiko kualitas pengelolaan vaksin program imunisasi yang buruk di Unit
Pelayanan Swasta (studi kasus di kota Semarang), diperoleh hasil penelitian bahwa
kualitas pengelolaan vaksin yang buruk terdapat di 84 UPS (Unit Pelayanan Swasta)
(60.9%), suhu lemari es >8°C terdapat di 72 UPS (52,2%), VVM (Vaccine Vial
(10,9%) dan vaksin kadaluwarsa ditemukan di enam UPS (4,5%), yang merupakan
faktor dari kurang baiknya pengetahuan dan sikap petugas kesehatan (Kristini, 2013,
¶ 4) .
Sedangkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sari (2011) tentang
Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang tahun 2011, diperoleh hasil bahwa
pengetahuan dan sikap bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin dari 58
responden berdasarkan umur tidak ada responden yang berpengetahuan kurang dan
tingkat pengetahuan cukup sebanyak 37 orang (63,8%) dan dari umur 31-40 tahun
melakukan evaluasi dan pengamatan kualitas pelayanan imunisasi yang sangat erat
(cold chain). Penanganan dan pengelolaan yang tidak benar akan menyebabkan
vaksin tidak lagi bermanfaat, dan mengakibatkan terjadinya suatu penyakit dan
kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi, akibat ini tidak
diketahui bahwa pada dua tahun terakhir cakupan imunisasi dan kualitas vaksinasi
tampak menurun (Ranuh. et. all, 2011, hlm. 11). Masih banyaknya petugas kesehatan
yang beranggapan asal di dalam pendingin maka vaksin sudah aman. Bahkan masih
banyak yang punya pemahaman bahwa makin dingin tempat penyimpanan vaksin
yang benar terhadap vaksin untuk menunjang pencapain tujuan pemberian imunisasi,
B. Perumusan Masalah
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
transportasi vaksin.
transportasi vaksin.
vaksin.
transportasi vaksin.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
2. Bagi Bidan
imunisasi.
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti berikutnya untuk menambah data
imunisasi.