ABSTRAK
Meningkatnya jumlah kebutuhan air baik secara kualitas maupun kuantitas adalah merupakan tanggung
jawab negara. Tanggung jawab ini akan lebih besar karena terkait dengan bidang lain yang saling berpengaruh terhadap
kelestarian sumber daya air baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat
selama ini selain pemerintah dalam mencukupi kebutuhan, didukung juga oleh peran sektor swasta yang begitu besar.
Di Indonesia, industri air minum dalam kemasan terus berkembang seiring peningkatan kebutuhan secara nasional dan
juga pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air telah memberikan hak guna
usaha air secara luas kepada swasta untuk ikut mengelola sumber daya air, sehingga muncul pemahaman terhadap
fungsi sosial dan fungsi ekonomi serta terjadinya usaha privatisasi dan komersialisasi sumber daya air yang merugikan
masyarakat.Atas pertimbangan ini, mahkamah konstitusi membatalkan keberlakuan secara keseluruhan UU No 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan diberlakukannya kembali UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui mengenai perbandingan antara kedua undang-undang, alasan-alasan
mendasar mengapa terjadi pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan pemberlakuan kembali UU No 11 Tahun 1974 serta
dampak pembatalan UU No 7 Tahun 2004 terhadap pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Metode penelitian ini
mengunakan metode penulisan tinjauan pustaka, dengan menghimpun data-data terkait berdasarkan studi kepustakaan
dari beberapa literatur terkait dengan perbandingan UU No 7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air dan
pemberlakuan kembali UU No 11 tahun 2004 tentang Pengairan. Dari pembahasan mengenai pembatalan UU No 7
Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air dan pemberlakuan kembali UU No 11 tahun 2004 tentang Pengairan dapat
disimpulkan jika dilihat dari sisi sistematika UU No 11 Tahun 1974dan UU No 7 Tahun 2004 mempunyai perbedaan
arti dan tujuan dari masing-masing segi penulisannya. Sisi sistematika ini akan mempengaruhi isi dari kedua undang-
undang tersebut. Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Walaupun dalam pasal per pasal tersebut di atas tidak disebutkan kata “privatisasi”, namun pelibatan swasta dalam
berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukkan adanya agenda privatisasi dalam UU No.7 Tahun 2004. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa “UU No
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA 7/2004) bertentangan dengan UUD 1945. Dampak dibatalkannya
UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bagi Pemerintah (eksekutif), Badan Usaha pengelola Air, dan
Masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Air adalah sumber daya yang terbaharui yang mempunyai peran cukup besar dalam
menunjang kegiatan bidang pertanian, air bersih perkotaan dan pedesaan, industri, perikanan
tambak, pariwisata, tenaga listrik, dan pengendalian banjir serta erosi. Dalam rangka
melaksanakan pembangunan terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan perlu terwujudnya
pendayagunaan sumber daya air yang optimal dengan meningkatkan kualitas pelayanan
masyarakat secara adil, merata dan berkelanjutan yang bertumpu pada kemandirian dan swadaya
masyarakat.
Meningkatnya jumlah kebutuhan air baik secara kualitas maupun kuantitas adalah
merupakan tanggung jawab negara. Tanggung jawab ini akan lebih besar karena terkait dengan
bidang lain yang saling berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya air baik secara kuantitas
maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat selama ini selain pemerintah
dalam mencukupi kebutuhan, didukung juga oleh peran sektor swasta yang begitu besar. Di
1
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
Indonesia, industri air minum dalam kemasan terus berkembang seiring peningkatan kebutuhan
secara nasional dan juga pertumbuhan ekonomi.
Air mempunyai kedudukan didalam UUD 1945 yaitu konsep air sebagai “public good” dan
“hak asasi manusia atas air”. Air sebagai public good karena sifat ekonomi air yang rivalrous
(yaitu air bukan benda yang tak terbatas; penggunaan air oleh seseorang akan mengurangi
ketersediaan air bagi orang lain) di satu sisi, ditambah sifat khas dari air sebagai sumber
kehidupan di sisi lain justru semakin mengharuskannnya didudukkan sebagai benda milik publik
sebagai lawan dari barang milik pribadi, dengan demikian penguasaan privat atas sumber daya
air dapat dicegah oleh hukum.
Berdasarkan UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air telah memberikan hak guna usaha
air secara luas kepada swasta untuk ikut mengelola sumber daya air, sehingga muncul
pemahaman terhadap fungsi sosial dan fungsi ekonomi serta terjadinya usaha privatisasi dan
komersialisasi sumber daya air yang merugikan masyarakat. Atas pertimbangan ini, mahkamah
konstitusi membatalkan keberlakuan secara keseluruhan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (SDA).
Pembatalan semua pasal terhadap UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh
Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Amar Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 karena
Undang-undang itu dinilai tak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 mengenai penguasaan atas air
oleh Negara demi kemakmuran rakyat, sehingga diberlakukannya kembali UU No 11 Tahun
1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Tata
Pengaturan Air. Pembatalan UU SDA akan menimbulkan dampak lebih luas, khususnya untuk
dunia usaha dan pemenuhan kebutuhan air masyarakat. Dampak langsung adalah bahwa
pemerintah dalam waktu dekat tidak mempunyai payung hukum untuk melaksanakan
pengelolaan SDA di lapangan, karena semua aturan pelaksanaan sebagai turunan dari UU No 7
Tahun 2004 juga dibatalkan. Oleh karena itu aturan payung hukum harus segera diterbitkan.
Meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan
diberlakukan kembali tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua
aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No 11 Tahun 1974 berlaku kembali, dengan demikian
semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No 11
Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU No 7 Tahun 2004 (Sigit S. Arif
dan Azwar Maas, 2015).
Oleh sebab itu, maka perlulah diketahui mengenai perbandingan antara kedua undang-
undang, alasan-alasan mendasar mengapa terjadi pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan
pemberlakuan kembali UU No 11 Tahun 1974 serta dampak pembatalan UU No 7 Tahun 2004
terhadap pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
2
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
undang tersebut, mengelola air sebagai milik negara dan bertujuan untuk keperluan rakyat
haruslah berjalan sebagaimana mestinya, bukan sebaliknya menimbulkan berbagai masalah yang
akan merugikan rakyat. Permasalahan mungkin terjadi karena terus berlangsungnya krisis air
bersih terutama di kota kota-kota besar di Indonesia.
Penjelasan umum atas UU No 11 Tahun 1974, pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya
haruslah ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat di segala bidang, baik bidang
ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan nasional, yang sekaligus menciptakan
pertumbuhan, keadilan sosial dan kemampuan untuk berdiri atas kekuatan sendiri menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Air mempunyai fungsi sosial yang
berarti kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu. Sumber daya air
menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup manusia, flora,
fauna, dan keberlangsungan di bidang ekonomi yang dapat didayagunakan untuk menunjang
kegiatan usaha yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Kegiatan usaha yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras oleh Badan Hukum, Badan Sosial, dan atau
perorangan yang melakukan pengusahaan air dan sumber-sumber air harus memperoleh izin dari
pemerintah dengan berpedoman kepada asas-asas usaha bersama dan kekeluargaan.
Pasal 13 UU No 11 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa air, sumber-sumber air beserta
bangunan pengairan harus dilindungi serta diamankan dan dijaga kelestariannya dengan cara
melaksanakan usaha penyelamatan air, mengamankan dan mengendalikan daya rusak air,
mencegah terjadinya pengotoran air, dan mengamankan serta melindungi bangunan pengairan.
3
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
Principles). Dublin Principles berisi empat prinsip yang harus dikedepankan dalam kebijakan
dan pembangunan di sektor sumberdaya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah “water has
an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”.
Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga internasional
mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia
kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mempromosikan pendekatan-
pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai
barang ekonomi. Dalam prakteknya lembaga keuangan internasional menempatkan reformasi
sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan
neo-liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program. Selain itu
agen pembangunan bilateral (seperti DFID dan USAID) juga mendorong private sektor
participation kepada negara-negara penerima bantuan mereka.
Dalam konteks Indonesia, pembahasan terhadap reformasi sektor air harus dilihat dalam dua
aspek terkait, yaitu: service management dan resources management. Service management
mengacu pada the provision of infrastructure seperti jaringan pipa distribusi, fasilitas pengolahan
air, sumber pasokan air (supply sources) dan sebagainya, sedangkan resources management
mengacu pada pengalokasian air antara sektor pertanian, industri, rumah tangga, isu-isu polusi
dan sebagainya. Reformasi services management di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak
tahun 1987, diawali dengan reformasi kebijakan di sektor irigasi. Sejak awal berkuasanya rezim
pemerintahan orde baru, kebijakan irigasi difokuskan pada rehabilitasi dan pembangunan
jaringan irigasi baru. Kebijakan ini secara finansial didukung oleh naiknya harga minyak dan
pinjaman dari lembaga keuangan internasional dengan tujuan untuk meningkatkan produksi
pertanian. Sejak tahun 1968-1993, US$10 milyar telah diinvestasikan untuk sektor irigasi dan
70% diantaranya berasal dari hutang luar negeri, untuk memperbaiki dan membangun jarigan
irigasi yang mengairi 5 juta hektar sawah. Puncak dari kebijakan ini adalah tercapainya
swasembada pangan pada tahun 1984.
Berakhirnya masa kejayaan minyak memaksa pemerintah untuk melakukan penghematan
pada berbagai sektor termasuk sektor pertanian, yang juga berimbas pada pembangunan irigasi.
Berdasarkan alasan tersebut, pada tahun 1987 pemerintah melakukan reformasi pengelolaan
irigasi yang disebut dengan Irrigation Operation and Maintenance Policy (IOMP). Kebijakan
tersebut merupakan hasil dari dialog kebijakan (policy dialogue) antara pemerintah Indonesia
dan Bank Dunia serta ADB yang tidak lain adalah prakondisi untuk memperoleh dana pinjaman
baru di sektor irigasi. Reformasi kebijakan sektor irigasi yang dibiayai oleh Bank Dunia melalui
The First Irrigation Subsektor Project (ISS I), ISSP II, dan Java Irrigation and Water Resources
Management Project (JIWMP), pada intinya memperkenalkan kebijakan baru di sektor irigasi
yaitu turnover management, irrigation service fee dan efficient operational serta pemeliharaan.
Pada sektor air bersih, pada tahun 1997 Bank Dunia mengeluarkan Indonesia Urban Water
Supply Sektor Policy Framework (IWSPF), sebuah kerangka kebijakan untuk mengelola sektor
air bersih di Indonesia. Dalam kebijakan tersebut dinyatakan bahwa kerberhasilan sektor air
bersih hanya akan dapat tercapai jika dilakukan perubahan kebijakan yang terintegrasi untuk
mengubah PDAM menjadi sebuah industri jasa pelayanan yang otonom dan layak pinjam serta
berorientasi pada pelanggan. Oleh karenanya IWSPF mengidentifikasi enam perubahan
kebijakan yang harus dilakukan yaitu membentuk hubungan terpisah antara pemilik dan
pengelola asset, membentuk kerangka peraturan untuk peran serta sektor swasta, meningkatkan
manajemen keuangan sektor air minum, menyederhanakan kebijakan tarif, serta meningkatkan
perancangan, perencanaan,dan pelaksanaan proyek-proyek air minum.
Pada sisi yang lain krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 juga
menghantam PDAM, dimana biaya operasional PDAM menjadi sangat besar. Bank Dunia
kemudian memberikan Water Utilities Rescue Program pada tahun 1998, yang bertujuan agar
PDAM tetap bisa bertahan dan meningkatkan efisiensi operational dan keuangan PDAM sesuai
yang digariskan dalam IWSPF. Untuk mendapatkan grant loan dari program ini PDAM
diwajibkan membuat Financial Recovery Action Plan (FRAP). FRAP merupakan usulan konkrit
4
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
yang berisi langkah-langkah untuk (1) meningkatkan pendapatan melalui peningkatan tarif,
mengurangi Unaccounted of Water (UfW), dan efisiensi penagihan, (2) pengurangan biaya
operasional. Selain itu PDAM juga diminta untuk tidak lagi memberikan deviden kepada
pemerintah lokal dan melakukan reconstitution Badan Pengawas (BP) PDAM dalam rangka
meningkatkan transparansi dan memperkuat kapasitas manajemen dari PDAM.
Pada aspek pengaturan sumberdaya (resources management), permasalahan di sektor
sumberdaya air sudah dirasakan sejak awal tahun 1980-an sebagai akibat dari meningkatnya
pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan industrialisasi. Sektor sumberdaya air di Indonesia tidak
mampu mempertemukan meningkatnya pertumbuhan dan berbagai permintaan akibat
meningkatnya jumlah penduduk. Selain masalah persaingan antar sektor, keamanan pangan juga
merupakan masalah krusial yang dihadapi di Indonesia, belum lagi permasalahan banjir dan
kerusakan lingkungan.
Kondisi yang dihadapi sektor sumberdaya air tersebut selain disebabkan oleh hal di atas juga
disebabkan oleh tidak efektifnya administrasi sektor sumberdaya air akibat paradigma kebijakan
yang sudah kadaluwarsa dan institusi manajemen serta sistem data yang tidak mampu untuk
mengatasi permasalahan dan tantangan yang muncul melalui cara yang efektif dan terkoordinasi.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan perubahan yang mendasar
terhadap pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Pada tahun 1993, disponsori oleh FAO dan
UNDP dilakukan sebuah studi tentang kebijakan sumberdaya air nasional yang menghasilkan
draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO/UNDP tersebut tidak memperoleh perhatian dari
kementrian terkait karena dipandang lebih memfokuskan pengembangan investasi daripada
kebutuhan untuk mengembangkan manajemen dan kerangka peraturan. Kemudian pada tahun
1997 Bappenas menginisiasi berbagai diskusi dan seminar bertema Agenda for Water Resources
Policy and Program Reform yang bertujuan untuk memberikan masukan bagi REPELITA VII.
Dari beberapa diskusi dan seminar tersebut menghasilkan beberapa visi bagi pengelolaan
sumberdaya air yang terkait dengan perubahan pendekatan pengelolaan dari supply side
approach menjadi demand side approach, kemudian cara pandang terhadap air dimana air tidak
hanya dilihat sebagai barang publik tetapi juga barang ekonomi, dan pelaksanaan pengelolaan air
dengan menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
menyebabkan upaya untuk melakukan reformasi di sektor sumberdaya air menjadi terkendala.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 berdampak pada runtuhnya kondisi makro ekonomi
Indonesia dan defisit Neraca pembayaran. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah Indonesia
berada di bawah program penyehatan yang dipimpin IMF dan melaksanakan kerangka kerja dan
kebijakan makro ekonomi yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial
Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI) yang pertama kali ditandatangani pada tanggal
31 Oktober 1997 antara pemerintah Indonesia kepada IMF. Sejumlah agenda reformasi kebijakan
dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemen makro ekonomi; b) restrukturisasi
finansial dan corporate sektor; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d) reformasi institusi-
institusi ekonomi.
Strategi dan program untuk melaksanakan agenda diatas kemudian dimatangkan sepanjang
tahun 1998 bekerjasama dengan World Bank, ADB dan sejumlah kreditor bilateral. Bank Dunia
pun mengeluarkan pinjaman “Policy Reform Support Loan” (PRSL) bulan Juni 1998, yang
kemudian disusul dengan PRSL II, dimana terdapat rencana untuk memperbaiki pengelolaan
sumber daya air Indonesia seperti yang tertera dalam Matrix of Policy Actions di PRSL II
tersebut.
Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul, oleh karena pada akhir
tahun 1997 sebuah tim kerja sektoral World Bank menyimpulkan bahwa World Bank tidak dapat
memberikan bantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasi Indonesia, jika tidak
ada perombakan/reformasi besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunya perombakan ini,
sebelumnya juga sudah diidentifikasi oleh World Bank saat terjadi dialog sektoral antar
5
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
departemen yang diadakan oleh BAPPENAS di tahun 1997 dalam rangka penyusunan Repelita
VII.
Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, World Bank pun menawarkan
pada pemerintah Indonesia, sebuah pinjaman program untuk merestrukturisasi sektor sumber
daya air Indonesia, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini, menjadi bagian dari keseluruhan
pinjaman untuk mereformasi kebijakan makro ekonomi Indonesia yang sifatnya “quick disburse”
supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran, seperti juga yang tertera dalam dokumen
Country Assistance Strategy (CAS) Progress Report untuk Indonesia, bulan Juni 1999.
Penawaran ini diterima oleh pemerintah Indonesia, dan Bappenas kemudian membentuk
sebuah tim khusus yang terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasi non-pemerintah
untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama-sama dengan tim dari World Bank. Tim ini,
melalui Keputusan Menteri tanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional
Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources
Sektor Policy), dibawah Bappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasaran Wilayah
(Kimpraswil).
Tim ini, yang lebih dikenal sebagai WATSAL Task Force/kelompok kerja WATSAL,
kemudian bersama-sama dengan dirjen-dirjen terkait dan tim koordinasi pemerintah/tim
koordinasi pengelolaan sumber daya air, menandatangani Letter of Sektor Policy yang
didalamnya terdapat matriks kebijakan yang disusun oleh kelompok kerja WATSAL. Selain itu,
kelompok kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi
tahapan-tahapan proses dan time-frame dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam
Matriks Kebijakan. Rencana ini diserahkan ke Bank Dunia pada tanggal 29 Maret 1999, sebagai
panduan mereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi. Loan Agreement
sebesar US$ 300 juta akhirnya ditandatangani pada tanggal 28 Mei 1999, dengan jangka waktu
pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun. Pencairan pinjaman dilakukan dalam
tiga tahap. Tahap pertama dicairkan pada bulan Mei 1999 sebesar US$ 50 juta. Tahap
kedua sebesar US$ 100 juta, yang semula direncanakan untuk dicairkan pada akhir
1999, ternyata baru bisa cair pada bulan Desember 2001, karena pada masa itu terjadi pergolakan
politik dan pergantian pemerintahan Indonesia. Sedangkan agenda WATSAL tahap ketiga, akan
dicairkan jika RUU Sumberdaya Air telah disahkan.
Metode penelitian ini mengunakan metode penulisan tinjauan pustaka, dengan menghimpun
data-data terkait berdasarkan studi kepustakaan dari beberapa literatur terkait dengan
perbandingan UU No 7 Tahun 2004 dengan UU No 11 Tahun 1974, kemudian dilakukan analisis
mengenai alasan pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan dampak yang terjadi akibat pembatalan
undang-undang tersebut terhadap pengelolaan sumber daya air di Indonesia, serta dapat
menentukan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengurangi dampak yang terjadi akibat
pembatalan UU No 7 Tahun 2004.
6
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
melakukan pengelolaan tersebut. Maka pemerintah melakukan tindakan beralih pada tahap
selanjutnya yaitu meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta pada pengelolaan sumber
daya air.
UU No 7 Tahun 2004 menggantikan UU No 11 Tahun 1974 dikarenakan pada saat masa
reformasi UU No 11 Tahun 1974 belum bisa merubah substansi kebijakan terutama pada sektor
air. Perbandingan sisi isi pada kedua undang-undang tersebut dimana UU No 7 Tahun 2004
banyak pasal yang mengindikasikan pada usaha komersialisasi dan privatisasi sumberdaya air.
Pada UU No 7 Tahun 2004 lebih terpadu dalam mengatur pengelolaan air seperti ditekankan
pada fungsi konservasi. Selain itu UU No 7 Tahun 2004 juga menawarkan mekanisme
penyelesaian yang adil atas konflik pemanfaat air bahwa setiap masyarakat dan aparat
pemerintahan harus menjaga kepentingan sektor air demi kehidupan bersama. Namun UU No 7
Tahun 2004 tentang sumberdaya air tampaknya didominasi oleh kepentingan ekonomis karena
air yang memang seharusnya dikelola bersama karena salah satu komoditas yang penting justru
dijadikan komoditas dengan potensi ekonomi yang tinggi.
7
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
tahapan vital yang langsung menyangkut keselamatan pengguna, kualitas pelayanan, dan jaminan
ketersediaan air bagi setiap individu. Kerja sama dengan swasta dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara misalnya dengan pola bangun guna serah (build, operate, and transfer), perusahaan
patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan
sebagainya. UU No.7 Tahun 2004 membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan
pengawas regulasi atau sebagai regulator. Negara sebatas sebagai regulator dan swasta sebagai
penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi
liberal.
Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk
memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara
tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok tidak mampu
dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial
tersebut tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan
utama. Penyelenggaran air minum dan pengelolaan air oleh swasta dengan orientasi keuntungan
berpengaruh kepada biaya dan tarif yang ditanggung pengguna. Keuntungan perusahaan, biaya
eksternal, biaya operasional dan investasi menjadi biaya total yang ditanggung oleh pengguna
air. Inilah yang disebut pengenaan full cost recovery.
UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, meskipun dikatakan tidak mengatur tentang
privatisasi, tetapi membuka secara lebar peluang tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat
(1) dan Pasal 40 ayat (4), yang kemudian telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9,
dan Pasal 64 PP No. 16 Tahun 2005. Meskipun dikatakan hanya menyangkut Sistem
Pengembangan Air Minum (SPAM) pada daerah, wilayah, atau kawasan yang belum terjangkau
pelayanan BUMD/BUMN, tetapi Hak Guna Usaha Air yang dapat diberikan pada swasta dan
perorangan, adalah merupakan peluang bagi privatisasi dimaksud.
Walaupun Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa Hak Guna Air tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya, akan tetapi dengan bentuk kapitalisasi usaha
melalui saham di bursa, mobilisasi kapital demikian menjadi terbuka luas, meskipun tanpa
memindahtangankan hak guna usaha yang diperoleh satu badan hukum.Oleh karenanya, pintu
atau peluang demikian tidak dapat dikesampingkan hanya karena secara ekplisit tidak menyebut
privatisasi.
Adanya privatisasi sumber daya air sebenarnya pemerintah telah melanggar, disadari atau
tidak, premis-premis pokok dari kontrak sosial dengan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan tentang HAM, pembukaan UUD 1945 serta pasal 33 UUD 1945.
Oleh karena itu, pada Februari 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang
salah satu amarnya menyatakan bahwa “UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU
SDA 7/2004) bertentangan dengan UUD 1945. Di satu sisi, ini adalah keputusan yang sangat
progresif di tengah-tengah arus Neoliberal yang semakin mencengkeram Indonesia.
8
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
payung hukum yang menjadi dasar penerbitan ijin pengambilan air bagi Badan Usaha
Pengelola Air baik ditingkat pusat maupun daerah.
b. Untuk proses pengusahaan air bagi Badan Usaha Pengelola Air Swasta harus bermitra
dengan BUMN atau BUMD di wilayahnya.
c. Akan berdampak pada terhambatnya iklim yang tidak kondusif dan proses investasi yang
belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur pendirian industri berbasis air di
Indonesia
Dampak Bagi Masyarakat
a. Dibatalkannya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air akan berdampak positif
dalam kehidupan masyarakat secara luas. Artinya semangat hak masyarakat atas air bisa
terpenuhi sesuai landasan konstitusional UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3).
b. Kekayaan alam berupa air bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk kemakmuran
masyarakat dan kesempatan komersialisasi air oleh perusahaan swasta harus diatur dan
diawasi secara ketat.
c. Akses masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Air terbuka lebar, artinya harus
menempatkan masyarakat pada akses yang lebih besar dalam rangka memperkuat daya
tawar masyarakat sipil.
Selain dari kementrian diatas pemerintah juga sudah menetapkan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagai salah satu rujukan.
9
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jika dilihat dari sisi sistematika UU No 11 Tahun 1974dan UU No 7 Tahun 2004
mempunyai perbedaan arti dan tujuan dari masing-masing segi penulisannya. Sisi
sistematika ini akan mempengaruhi isi dari kedua undang-undang tersebut.
2. Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air. Walaupun dalam pasal per pasal tersebut di atas tidak disebutkan kata “privatisasi”,
namun pelibatan swasta dalam berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukkan
adanya agenda privatisasi dalam UU No.7 Tahun 2004. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa “UU
No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA 7/2004) bertentangan dengan UUD
1945.
10
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
3. Dampak dibatalkannya Undang-Undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bagi
Pemerintah (eksekutif), Badan Usaha pengelola Air, dan Masyarakat.
4. Pemanfaatan air harus mengingat kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai salah satu
upaya investasi untuk mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.
5. Prioritas utama penguasaan atas air diberikan kepada BUMN atau BUMD sebagai
kelanjutan hak menguasai oleh Negara atas air. Unsur swasta masih dimungkinkan
melakukan penguasaan atas air dengan syarat-syarat tertentu secara ketat.
B. Saran
1. Pemerintah segera menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sumber
Daya Air dan menetapkan sebagai UU bersama DPR yang harus menempatkan peran
serta masyarakat yang lebih besar dalam rangka memperkuat daya tawar masyarakat
menuju civil society. Tiga substansi penting yang harus dimuat yaitu konservasi sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.
2. Mengingat proses penyusunan UU dibutuhkan waktu yang relatif lama, maka
Pemerintah perlu segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Sumber Daya Air yang mengacu pada UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang
mengatur tentang sistem koordinasi, pembinaan, pengusahaan, perlindungan, dan
pembiayaan pengusahaan sumber daya air. RPP dibutuhkan agar kewenangan
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota segera mempunyai acuan
sebagai pijakan yuridis dalam proses menerbitkan izin usaha bagi badan usaha pengelola
air maupun bentuk kerjasama antara pemerintah dengan unsur swasta.
DAFTAR PUSTAKA
11
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
TAMBAHAN
12
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
negara secara mutlak. Kemudian (5). Prioritas utama di dalam pengusahaan atas air diberikan
kepada BUMN atau BUMD; (6). Apabila semua batasan tersebut telah terpenuhi, dan ternyata
masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada
usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
13