Anda di halaman 1dari 13

SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

Pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan Dampaknya


Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia
Made Widya Jayantari
Program Magister Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil, Lingkungan dan Kebumian, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
NRP: 03111850050002

ABSTRAK
Meningkatnya jumlah kebutuhan air baik secara kualitas maupun kuantitas adalah merupakan tanggung
jawab negara. Tanggung jawab ini akan lebih besar karena terkait dengan bidang lain yang saling berpengaruh terhadap
kelestarian sumber daya air baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat
selama ini selain pemerintah dalam mencukupi kebutuhan, didukung juga oleh peran sektor swasta yang begitu besar.
Di Indonesia, industri air minum dalam kemasan terus berkembang seiring peningkatan kebutuhan secara nasional dan
juga pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air telah memberikan hak guna
usaha air secara luas kepada swasta untuk ikut mengelola sumber daya air, sehingga muncul pemahaman terhadap
fungsi sosial dan fungsi ekonomi serta terjadinya usaha privatisasi dan komersialisasi sumber daya air yang merugikan
masyarakat.Atas pertimbangan ini, mahkamah konstitusi membatalkan keberlakuan secara keseluruhan UU No 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan diberlakukannya kembali UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui mengenai perbandingan antara kedua undang-undang, alasan-alasan
mendasar mengapa terjadi pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan pemberlakuan kembali UU No 11 Tahun 1974 serta
dampak pembatalan UU No 7 Tahun 2004 terhadap pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Metode penelitian ini
mengunakan metode penulisan tinjauan pustaka, dengan menghimpun data-data terkait berdasarkan studi kepustakaan
dari beberapa literatur terkait dengan perbandingan UU No 7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air dan
pemberlakuan kembali UU No 11 tahun 2004 tentang Pengairan. Dari pembahasan mengenai pembatalan UU No 7
Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air dan pemberlakuan kembali UU No 11 tahun 2004 tentang Pengairan dapat
disimpulkan jika dilihat dari sisi sistematika UU No 11 Tahun 1974dan UU No 7 Tahun 2004 mempunyai perbedaan
arti dan tujuan dari masing-masing segi penulisannya. Sisi sistematika ini akan mempengaruhi isi dari kedua undang-
undang tersebut. Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Walaupun dalam pasal per pasal tersebut di atas tidak disebutkan kata “privatisasi”, namun pelibatan swasta dalam
berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukkan adanya agenda privatisasi dalam UU No.7 Tahun 2004. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa “UU No
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA 7/2004) bertentangan dengan UUD 1945. Dampak dibatalkannya
UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bagi Pemerintah (eksekutif), Badan Usaha pengelola Air, dan
Masyarakat.

Kata Kunci: Sumber Daya Air, UU No 7 Tahun 2004, UU No 11 Tahun 1974.

I. PENDAHULUAN

Air adalah sumber daya yang terbaharui yang mempunyai peran cukup besar dalam
menunjang kegiatan bidang pertanian, air bersih perkotaan dan pedesaan, industri, perikanan
tambak, pariwisata, tenaga listrik, dan pengendalian banjir serta erosi. Dalam rangka
melaksanakan pembangunan terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan perlu terwujudnya
pendayagunaan sumber daya air yang optimal dengan meningkatkan kualitas pelayanan
masyarakat secara adil, merata dan berkelanjutan yang bertumpu pada kemandirian dan swadaya
masyarakat.
Meningkatnya jumlah kebutuhan air baik secara kualitas maupun kuantitas adalah
merupakan tanggung jawab negara. Tanggung jawab ini akan lebih besar karena terkait dengan
bidang lain yang saling berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya air baik secara kuantitas
maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat selama ini selain pemerintah
dalam mencukupi kebutuhan, didukung juga oleh peran sektor swasta yang begitu besar. Di

1
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

Indonesia, industri air minum dalam kemasan terus berkembang seiring peningkatan kebutuhan
secara nasional dan juga pertumbuhan ekonomi.
Air mempunyai kedudukan didalam UUD 1945 yaitu konsep air sebagai “public good” dan
“hak asasi manusia atas air”. Air sebagai public good karena sifat ekonomi air yang rivalrous
(yaitu air bukan benda yang tak terbatas; penggunaan air oleh seseorang akan mengurangi
ketersediaan air bagi orang lain) di satu sisi, ditambah sifat khas dari air sebagai sumber
kehidupan di sisi lain justru semakin mengharuskannnya didudukkan sebagai benda milik publik
sebagai lawan dari barang milik pribadi, dengan demikian penguasaan privat atas sumber daya
air dapat dicegah oleh hukum.
Berdasarkan UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air telah memberikan hak guna usaha
air secara luas kepada swasta untuk ikut mengelola sumber daya air, sehingga muncul
pemahaman terhadap fungsi sosial dan fungsi ekonomi serta terjadinya usaha privatisasi dan
komersialisasi sumber daya air yang merugikan masyarakat. Atas pertimbangan ini, mahkamah
konstitusi membatalkan keberlakuan secara keseluruhan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (SDA).
Pembatalan semua pasal terhadap UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh
Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Amar Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 karena
Undang-undang itu dinilai tak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 mengenai penguasaan atas air
oleh Negara demi kemakmuran rakyat, sehingga diberlakukannya kembali UU No 11 Tahun
1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Tata
Pengaturan Air. Pembatalan UU SDA akan menimbulkan dampak lebih luas, khususnya untuk
dunia usaha dan pemenuhan kebutuhan air masyarakat. Dampak langsung adalah bahwa
pemerintah dalam waktu dekat tidak mempunyai payung hukum untuk melaksanakan
pengelolaan SDA di lapangan, karena semua aturan pelaksanaan sebagai turunan dari UU No 7
Tahun 2004 juga dibatalkan. Oleh karena itu aturan payung hukum harus segera diterbitkan.
Meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan
diberlakukan kembali tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua
aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No 11 Tahun 1974 berlaku kembali, dengan demikian
semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No 11
Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU No 7 Tahun 2004 (Sigit S. Arif
dan Azwar Maas, 2015).
Oleh sebab itu, maka perlulah diketahui mengenai perbandingan antara kedua undang-
undang, alasan-alasan mendasar mengapa terjadi pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan
pemberlakuan kembali UU No 11 Tahun 1974 serta dampak pembatalan UU No 7 Tahun 2004
terhadap pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penjelasan Singkat UU No 11 Tahun 1974


Tujuan utama pembuatan UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan karena pada periode
tahun 1970-an Presiden Soeharto mencanangkan revolusi hijau atau swasembada pangan.
Undang-undang tersebut mengenai pengairan atau sumber daya air. Dalam Undang-Undang
Pengairan, Pasal 1 ayat (3) UU No 11 Tahun 1974 meberikan batasan pengertian air, yaitu semua
air yang terdapat di dalam atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun
di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut.
Pengertian air dalam UU No 11 Tahun 1974 dikecualikan air yang terdapat di laut maupun
lautnya sendiri sebagai sumber air. Air yang selama berada di laut tidak diatur oleh undang-
undang ini, namun apabila air laut tersebut telah dimanfaatkan di darat untuk dipergunakan
sebagai sarana berbagai keperluan, maka undang-undang ini berlaku atas air tersebut. Pasal 2
dan Pasal 3 UU No 11 Tahun 1974 mengatur bahwa air dikuasai oleh negara dan mempunyai
fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai dengan undang-

2
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

undang tersebut, mengelola air sebagai milik negara dan bertujuan untuk keperluan rakyat
haruslah berjalan sebagaimana mestinya, bukan sebaliknya menimbulkan berbagai masalah yang
akan merugikan rakyat. Permasalahan mungkin terjadi karena terus berlangsungnya krisis air
bersih terutama di kota kota-kota besar di Indonesia.
Penjelasan umum atas UU No 11 Tahun 1974, pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya
haruslah ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat di segala bidang, baik bidang
ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan nasional, yang sekaligus menciptakan
pertumbuhan, keadilan sosial dan kemampuan untuk berdiri atas kekuatan sendiri menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Air mempunyai fungsi sosial yang
berarti kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu. Sumber daya air
menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup manusia, flora,
fauna, dan keberlangsungan di bidang ekonomi yang dapat didayagunakan untuk menunjang
kegiatan usaha yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Kegiatan usaha yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras oleh Badan Hukum, Badan Sosial, dan atau
perorangan yang melakukan pengusahaan air dan sumber-sumber air harus memperoleh izin dari
pemerintah dengan berpedoman kepada asas-asas usaha bersama dan kekeluargaan.
Pasal 13 UU No 11 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa air, sumber-sumber air beserta
bangunan pengairan harus dilindungi serta diamankan dan dijaga kelestariannya dengan cara
melaksanakan usaha penyelamatan air, mengamankan dan mengendalikan daya rusak air,
mencegah terjadinya pengotoran air, dan mengamankan serta melindungi bangunan pengairan.

B. Penjelasan Singkat UU No 7 Tahun 2004


UU No 7 Tahun 2004 menggantikan UU No 11 Tahun 1974 dikarenakan pada saat masa
reformasi UU No 11 Tahun 1974 belum bisa merubah substansi kebijakan terutama pada sektor
air. Pasal 1 UU No 7 Tahun 2004 memberi batasan pengertian air adalah semua yang terdapat
pada, di atas, ataupun di bawah permukaan air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air tanah adalah air yang
terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Pasal 7 UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memberikan batasan terdapat 2 hak
pemanfaatan air yaitu hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna air tidak dapat
disewakan atau dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya. Pasal 8 UU No 7 Tahun 2004
mengatur bahwa hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada pada sistem irigasi. Hak
guna pakai air harus mendapat izin apabila cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah
kondisi alami sumber air, ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam
jumlah yang besar atau digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
Izin yang sesuai dengan Pasal 8 tersebut dikeluarkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya. Pasal 9 UU No 7 Tahun 2004 menyatakan bahwa hak guna usaha
air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Dasar hukum pengaturan sumber daya air berada pada UU No 7 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air, namun Undang- Undang ini telah dibatalkan sehingga
menghidupkan kembali UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mengisi kekosongan
hukum sampai dibentuk undang-undang baru.

C. Sejarah dan Konteks Restrukturisasi Sumber Daya Air di Indonesia


Prinsip-prinsip neoliberalisme yang mendominasi kebijakan pembangunan diawal tahun
1980-an, juga berpengaruh terhadap kebijakan dan pembangunan di sektor air. Kelangkaan air
baik secara kualitas maupun kuantitas yang terjadi di hampir seluruh dunia mendorong
munculnya perubahan cara pandang terhadap air. Dalam konferensi air dan lingkungan
internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, melahirkan The Dublin
Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal dengan Dublin

3
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

Principles). Dublin Principles berisi empat prinsip yang harus dikedepankan dalam kebijakan
dan pembangunan di sektor sumberdaya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah “water has
an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”.
Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga internasional
mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia
kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mempromosikan pendekatan-
pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai
barang ekonomi. Dalam prakteknya lembaga keuangan internasional menempatkan reformasi
sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan
neo-liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program. Selain itu
agen pembangunan bilateral (seperti DFID dan USAID) juga mendorong private sektor
participation kepada negara-negara penerima bantuan mereka.
Dalam konteks Indonesia, pembahasan terhadap reformasi sektor air harus dilihat dalam dua
aspek terkait, yaitu: service management dan resources management. Service management
mengacu pada the provision of infrastructure seperti jaringan pipa distribusi, fasilitas pengolahan
air, sumber pasokan air (supply sources) dan sebagainya, sedangkan resources management
mengacu pada pengalokasian air antara sektor pertanian, industri, rumah tangga, isu-isu polusi
dan sebagainya. Reformasi services management di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak
tahun 1987, diawali dengan reformasi kebijakan di sektor irigasi. Sejak awal berkuasanya rezim
pemerintahan orde baru, kebijakan irigasi difokuskan pada rehabilitasi dan pembangunan
jaringan irigasi baru. Kebijakan ini secara finansial didukung oleh naiknya harga minyak dan
pinjaman dari lembaga keuangan internasional dengan tujuan untuk meningkatkan produksi
pertanian. Sejak tahun 1968-1993, US$10 milyar telah diinvestasikan untuk sektor irigasi dan
70% diantaranya berasal dari hutang luar negeri, untuk memperbaiki dan membangun jarigan
irigasi yang mengairi 5 juta hektar sawah. Puncak dari kebijakan ini adalah tercapainya
swasembada pangan pada tahun 1984.
Berakhirnya masa kejayaan minyak memaksa pemerintah untuk melakukan penghematan
pada berbagai sektor termasuk sektor pertanian, yang juga berimbas pada pembangunan irigasi.
Berdasarkan alasan tersebut, pada tahun 1987 pemerintah melakukan reformasi pengelolaan
irigasi yang disebut dengan Irrigation Operation and Maintenance Policy (IOMP). Kebijakan
tersebut merupakan hasil dari dialog kebijakan (policy dialogue) antara pemerintah Indonesia
dan Bank Dunia serta ADB yang tidak lain adalah prakondisi untuk memperoleh dana pinjaman
baru di sektor irigasi. Reformasi kebijakan sektor irigasi yang dibiayai oleh Bank Dunia melalui
The First Irrigation Subsektor Project (ISS I), ISSP II, dan Java Irrigation and Water Resources
Management Project (JIWMP), pada intinya memperkenalkan kebijakan baru di sektor irigasi
yaitu turnover management, irrigation service fee dan efficient operational serta pemeliharaan.
Pada sektor air bersih, pada tahun 1997 Bank Dunia mengeluarkan Indonesia Urban Water
Supply Sektor Policy Framework (IWSPF), sebuah kerangka kebijakan untuk mengelola sektor
air bersih di Indonesia. Dalam kebijakan tersebut dinyatakan bahwa kerberhasilan sektor air
bersih hanya akan dapat tercapai jika dilakukan perubahan kebijakan yang terintegrasi untuk
mengubah PDAM menjadi sebuah industri jasa pelayanan yang otonom dan layak pinjam serta
berorientasi pada pelanggan. Oleh karenanya IWSPF mengidentifikasi enam perubahan
kebijakan yang harus dilakukan yaitu membentuk hubungan terpisah antara pemilik dan
pengelola asset, membentuk kerangka peraturan untuk peran serta sektor swasta, meningkatkan
manajemen keuangan sektor air minum, menyederhanakan kebijakan tarif, serta meningkatkan
perancangan, perencanaan,dan pelaksanaan proyek-proyek air minum.
Pada sisi yang lain krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 juga
menghantam PDAM, dimana biaya operasional PDAM menjadi sangat besar. Bank Dunia
kemudian memberikan Water Utilities Rescue Program pada tahun 1998, yang bertujuan agar
PDAM tetap bisa bertahan dan meningkatkan efisiensi operational dan keuangan PDAM sesuai
yang digariskan dalam IWSPF. Untuk mendapatkan grant loan dari program ini PDAM
diwajibkan membuat Financial Recovery Action Plan (FRAP). FRAP merupakan usulan konkrit

4
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

yang berisi langkah-langkah untuk (1) meningkatkan pendapatan melalui peningkatan tarif,
mengurangi Unaccounted of Water (UfW), dan efisiensi penagihan, (2) pengurangan biaya
operasional. Selain itu PDAM juga diminta untuk tidak lagi memberikan deviden kepada
pemerintah lokal dan melakukan reconstitution Badan Pengawas (BP) PDAM dalam rangka
meningkatkan transparansi dan memperkuat kapasitas manajemen dari PDAM.
Pada aspek pengaturan sumberdaya (resources management), permasalahan di sektor
sumberdaya air sudah dirasakan sejak awal tahun 1980-an sebagai akibat dari meningkatnya
pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan industrialisasi. Sektor sumberdaya air di Indonesia tidak
mampu mempertemukan meningkatnya pertumbuhan dan berbagai permintaan akibat
meningkatnya jumlah penduduk. Selain masalah persaingan antar sektor, keamanan pangan juga
merupakan masalah krusial yang dihadapi di Indonesia, belum lagi permasalahan banjir dan
kerusakan lingkungan.
Kondisi yang dihadapi sektor sumberdaya air tersebut selain disebabkan oleh hal di atas juga
disebabkan oleh tidak efektifnya administrasi sektor sumberdaya air akibat paradigma kebijakan
yang sudah kadaluwarsa dan institusi manajemen serta sistem data yang tidak mampu untuk
mengatasi permasalahan dan tantangan yang muncul melalui cara yang efektif dan terkoordinasi.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan perubahan yang mendasar
terhadap pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Pada tahun 1993, disponsori oleh FAO dan
UNDP dilakukan sebuah studi tentang kebijakan sumberdaya air nasional yang menghasilkan
draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO/UNDP tersebut tidak memperoleh perhatian dari
kementrian terkait karena dipandang lebih memfokuskan pengembangan investasi daripada
kebutuhan untuk mengembangkan manajemen dan kerangka peraturan. Kemudian pada tahun
1997 Bappenas menginisiasi berbagai diskusi dan seminar bertema Agenda for Water Resources
Policy and Program Reform yang bertujuan untuk memberikan masukan bagi REPELITA VII.
Dari beberapa diskusi dan seminar tersebut menghasilkan beberapa visi bagi pengelolaan
sumberdaya air yang terkait dengan perubahan pendekatan pengelolaan dari supply side
approach menjadi demand side approach, kemudian cara pandang terhadap air dimana air tidak
hanya dilihat sebagai barang publik tetapi juga barang ekonomi, dan pelaksanaan pengelolaan air
dengan menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
menyebabkan upaya untuk melakukan reformasi di sektor sumberdaya air menjadi terkendala.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 berdampak pada runtuhnya kondisi makro ekonomi
Indonesia dan defisit Neraca pembayaran. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah Indonesia
berada di bawah program penyehatan yang dipimpin IMF dan melaksanakan kerangka kerja dan
kebijakan makro ekonomi yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial
Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI) yang pertama kali ditandatangani pada tanggal
31 Oktober 1997 antara pemerintah Indonesia kepada IMF. Sejumlah agenda reformasi kebijakan
dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemen makro ekonomi; b) restrukturisasi
finansial dan corporate sektor; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d) reformasi institusi-
institusi ekonomi.
Strategi dan program untuk melaksanakan agenda diatas kemudian dimatangkan sepanjang
tahun 1998 bekerjasama dengan World Bank, ADB dan sejumlah kreditor bilateral. Bank Dunia
pun mengeluarkan pinjaman “Policy Reform Support Loan” (PRSL) bulan Juni 1998, yang
kemudian disusul dengan PRSL II, dimana terdapat rencana untuk memperbaiki pengelolaan
sumber daya air Indonesia seperti yang tertera dalam Matrix of Policy Actions di PRSL II
tersebut.
Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul, oleh karena pada akhir
tahun 1997 sebuah tim kerja sektoral World Bank menyimpulkan bahwa World Bank tidak dapat
memberikan bantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasi Indonesia, jika tidak
ada perombakan/reformasi besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunya perombakan ini,
sebelumnya juga sudah diidentifikasi oleh World Bank saat terjadi dialog sektoral antar

5
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

departemen yang diadakan oleh BAPPENAS di tahun 1997 dalam rangka penyusunan Repelita
VII.
Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, World Bank pun menawarkan
pada pemerintah Indonesia, sebuah pinjaman program untuk merestrukturisasi sektor sumber
daya air Indonesia, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini, menjadi bagian dari keseluruhan
pinjaman untuk mereformasi kebijakan makro ekonomi Indonesia yang sifatnya “quick disburse”
supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran, seperti juga yang tertera dalam dokumen
Country Assistance Strategy (CAS) Progress Report untuk Indonesia, bulan Juni 1999.
Penawaran ini diterima oleh pemerintah Indonesia, dan Bappenas kemudian membentuk
sebuah tim khusus yang terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasi non-pemerintah
untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama-sama dengan tim dari World Bank. Tim ini,
melalui Keputusan Menteri tanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional
Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources
Sektor Policy), dibawah Bappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasaran Wilayah
(Kimpraswil).
Tim ini, yang lebih dikenal sebagai WATSAL Task Force/kelompok kerja WATSAL,
kemudian bersama-sama dengan dirjen-dirjen terkait dan tim koordinasi pemerintah/tim
koordinasi pengelolaan sumber daya air, menandatangani Letter of Sektor Policy yang
didalamnya terdapat matriks kebijakan yang disusun oleh kelompok kerja WATSAL. Selain itu,
kelompok kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi
tahapan-tahapan proses dan time-frame dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam
Matriks Kebijakan. Rencana ini diserahkan ke Bank Dunia pada tanggal 29 Maret 1999, sebagai
panduan mereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi. Loan Agreement
sebesar US$ 300 juta akhirnya ditandatangani pada tanggal 28 Mei 1999, dengan jangka waktu
pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun. Pencairan pinjaman dilakukan dalam
tiga tahap. Tahap pertama dicairkan pada bulan Mei 1999 sebesar US$ 50 juta. Tahap
kedua sebesar US$ 100 juta, yang semula direncanakan untuk dicairkan pada akhir
1999, ternyata baru bisa cair pada bulan Desember 2001, karena pada masa itu terjadi pergolakan
politik dan pergantian pemerintahan Indonesia. Sedangkan agenda WATSAL tahap ketiga, akan
dicairkan jika RUU Sumberdaya Air telah disahkan.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini mengunakan metode penulisan tinjauan pustaka, dengan menghimpun
data-data terkait berdasarkan studi kepustakaan dari beberapa literatur terkait dengan
perbandingan UU No 7 Tahun 2004 dengan UU No 11 Tahun 1974, kemudian dilakukan analisis
mengenai alasan pembatalan UU No 7 Tahun 2004 dan dampak yang terjadi akibat pembatalan
undang-undang tersebut terhadap pengelolaan sumber daya air di Indonesia, serta dapat
menentukan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengurangi dampak yang terjadi akibat
pembatalan UU No 7 Tahun 2004.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perbandingan UU No 11 Tahun 1974 dengan UU No 7 Tahun 2004


Jika dilihat dari sisi sistematika UU No 11 Tahun 1974 dan UU No 7 Tahun 2004 mempunyai
perbedaan arti dan tujuan dari masing-masing segi penulisannya. Sisi sistematika ini akan
mempengaruhi isi dari kedua undang-undang tersebut. Tujuan utama pembuatan UU No 11
Tahun 1974tentang pengairan karena pada periode tahun 1970-an Soeharto mencanangkan
revolusi hijau atau swasembada pangan. UU tersebut mengenai pengairan atau sumber daya air.
Pada saat itu penguasaan Negara pemerintah mengelola sendiri untuk pengelolaan pengairan
sehingga tidak cukup efektif karena Negara tidak mempunyai sumberdaya yang memadai untuk

6
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

melakukan pengelolaan tersebut. Maka pemerintah melakukan tindakan beralih pada tahap
selanjutnya yaitu meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta pada pengelolaan sumber
daya air.
UU No 7 Tahun 2004 menggantikan UU No 11 Tahun 1974 dikarenakan pada saat masa
reformasi UU No 11 Tahun 1974 belum bisa merubah substansi kebijakan terutama pada sektor
air. Perbandingan sisi isi pada kedua undang-undang tersebut dimana UU No 7 Tahun 2004
banyak pasal yang mengindikasikan pada usaha komersialisasi dan privatisasi sumberdaya air.
Pada UU No 7 Tahun 2004 lebih terpadu dalam mengatur pengelolaan air seperti ditekankan
pada fungsi konservasi. Selain itu UU No 7 Tahun 2004 juga menawarkan mekanisme
penyelesaian yang adil atas konflik pemanfaat air bahwa setiap masyarakat dan aparat
pemerintahan harus menjaga kepentingan sektor air demi kehidupan bersama. Namun UU No 7
Tahun 2004 tentang sumberdaya air tampaknya didominasi oleh kepentingan ekonomis karena
air yang memang seharusnya dikelola bersama karena salah satu komoditas yang penting justru
dijadikan komoditas dengan potensi ekonomi yang tinggi.

B. Alasan Pembatalan UU No 7 Tahun 2004


Kelangkaan air baik kuantitas maupun kualitasnya telah sering menjadi pemicu perselisihan
yang berakhir pada perkelahian. Pengakuan hak atas air menjadi sangat penting, karena air adalah
hak azasi, tanpa air manusia akan mati. Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh UU No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lahirnya UU ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan
terbitnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan privatisasi air. Privatisasi air di
Indonesia, oleh sebagian kalangan dinilai sangat berkontribusi terhadap krisis air bersih, karena
UU No. 7 Tahun 2004 memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan
penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan
usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan agenda
privatisasi dan komersialisasi air.
Dengan berlakunya UU No. 7 tahun 2004, penyerahan pengelolaan air kepada swasta berarti
telah dimulai. Padahal, pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan bahwa hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak
asasi manusia lainnya. Dengan kata lain, jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat
merupakan tanggung jawab pemerintah. Ternyata rekomendasi PBB tersebut tidak berlaku di
Indonesia.
Konsepsi hak atas air dalam undang-undang sumber daya air telah mengatur Hak Guna Air
yang terdiri atas Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna Usaha Air (pasal 7). Hak guna pakai air
diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi
pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi (pasal 8). Bagi para investor kepastian akan
ketersedian bahan baku menjadi sangat penting, oleh karena itu keberadaan Hak Guna Usaha Air
yang dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya (pasal 9), menjadi bagian penting langkah
privatisasi pengelolaan sumber daya air. Penerbitan ketentuan tentang Hak Guna Pakai Air dan
Hak Guna Usaha Air dianggap telah mencederai deklarasi Hak Azasi Manusia dan UUD 1945
pasal 33.
Selanjutnya pada Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 45 UU No. 7 tahun 2004, mendorong
meningkatnya peran swasta dalam pengelolaan air dan pada saat yang bersamaan mengurangi
peran negara dalam sektor ini. Pengelolaan air oleh swasta menurut UU ini dapat dilakukan dalam
berbagai aspek, antara lain penyelenggaraan sistem air minum (pasal 40), penyediaan air baku
bagi irigasi pertanian (pasal 41) dan pengelolaan sumber-sumber air (pasal 45). Walaupun dalam
pasal per pasal tersebut di atas tidak disebutkan kata “privatisasi”, namun pelibatan swasta dalam
berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukkan adanya agenda privatisasi dalam UU
No.7 Tahun 2004.
Penjelasan Pasal 45 ayat (3) menunjukkan swasta dapat terlibat dalam berbagai bentuk
kegiatan pengelolaan air dan dapat menguasai berbagai tahap penyediaan air, termasuk pada

7
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

tahapan vital yang langsung menyangkut keselamatan pengguna, kualitas pelayanan, dan jaminan
ketersediaan air bagi setiap individu. Kerja sama dengan swasta dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara misalnya dengan pola bangun guna serah (build, operate, and transfer), perusahaan
patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan
sebagainya. UU No.7 Tahun 2004 membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan
pengawas regulasi atau sebagai regulator. Negara sebatas sebagai regulator dan swasta sebagai
penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi
liberal.
Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk
memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara
tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok tidak mampu
dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial
tersebut tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan
utama. Penyelenggaran air minum dan pengelolaan air oleh swasta dengan orientasi keuntungan
berpengaruh kepada biaya dan tarif yang ditanggung pengguna. Keuntungan perusahaan, biaya
eksternal, biaya operasional dan investasi menjadi biaya total yang ditanggung oleh pengguna
air. Inilah yang disebut pengenaan full cost recovery.
UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, meskipun dikatakan tidak mengatur tentang
privatisasi, tetapi membuka secara lebar peluang tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat
(1) dan Pasal 40 ayat (4), yang kemudian telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9,
dan Pasal 64 PP No. 16 Tahun 2005. Meskipun dikatakan hanya menyangkut Sistem
Pengembangan Air Minum (SPAM) pada daerah, wilayah, atau kawasan yang belum terjangkau
pelayanan BUMD/BUMN, tetapi Hak Guna Usaha Air yang dapat diberikan pada swasta dan
perorangan, adalah merupakan peluang bagi privatisasi dimaksud.
Walaupun Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa Hak Guna Air tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya, akan tetapi dengan bentuk kapitalisasi usaha
melalui saham di bursa, mobilisasi kapital demikian menjadi terbuka luas, meskipun tanpa
memindahtangankan hak guna usaha yang diperoleh satu badan hukum.Oleh karenanya, pintu
atau peluang demikian tidak dapat dikesampingkan hanya karena secara ekplisit tidak menyebut
privatisasi.
Adanya privatisasi sumber daya air sebenarnya pemerintah telah melanggar, disadari atau
tidak, premis-premis pokok dari kontrak sosial dengan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan tentang HAM, pembukaan UUD 1945 serta pasal 33 UUD 1945.
Oleh karena itu, pada Februari 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang
salah satu amarnya menyatakan bahwa “UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU
SDA 7/2004) bertentangan dengan UUD 1945. Di satu sisi, ini adalah keputusan yang sangat
progresif di tengah-tengah arus Neoliberal yang semakin mencengkeram Indonesia.

C. Dampak Pembatalan UU No 7 Tahun 2004


Dampak dibatalkannya Undang-Undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bagi
Pemerintah (eksekutif), Badan Usaha pengelola Air, dan Masyarakat.
 Dampak Bagi Pemerintah
a. Berimplikasi kepada peraturan perundang-undangan sebagai aturan pelaksanaan UU No
7 Tahun 2004 tidak berlaku, sehingga sebagai payung hukum diberlakukan kembali UU
No 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan
b. Negara mempunyai Hak menguasai Sumber Daya Air, prioritas utama menguasai atas
air diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).

 Dampak bagi Badan Usaha Pengelola Air


a. Dibatalkannya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) berimplikasi
turunan peraturan sebagai peraturan pelaksanaannya menjadi batal sehingga hilangnya

8
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

payung hukum yang menjadi dasar penerbitan ijin pengambilan air bagi Badan Usaha
Pengelola Air baik ditingkat pusat maupun daerah.
b. Untuk proses pengusahaan air bagi Badan Usaha Pengelola Air Swasta harus bermitra
dengan BUMN atau BUMD di wilayahnya.
c. Akan berdampak pada terhambatnya iklim yang tidak kondusif dan proses investasi yang
belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur pendirian industri berbasis air di
Indonesia
 Dampak Bagi Masyarakat
a. Dibatalkannya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air akan berdampak positif
dalam kehidupan masyarakat secara luas. Artinya semangat hak masyarakat atas air bisa
terpenuhi sesuai landasan konstitusional UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3).
b. Kekayaan alam berupa air bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk kemakmuran
masyarakat dan kesempatan komersialisasi air oleh perusahaan swasta harus diatur dan
diawasi secara ketat.
c. Akses masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Air terbuka lebar, artinya harus
menempatkan masyarakat pada akses yang lebih besar dalam rangka memperkuat daya
tawar masyarakat sipil.

D. Langkah-Langkah yang Sudah Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi Dampak


Pembatalan UU No 7 Tahun 2004
1) Dari Kementrian ESDM
Dari Kementerian ESDM telah melakukan beberapa tindakan, diantaranya adalah:
 Telah menerbitkan Surat Edaran Men-ESDM Nomor 01 E/40/MEM2015 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan di Bidang Air Tahan setelah putusan
 Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 yang berisi:
a. Enam prinsip dasar pengelolaan Sumber Daya Alam
b. Perizinan yang masih berlaku akan tetap berlaku sesuai tanggal batas berlakunya
c. Izin baru dan yangdalam proses harus mengikuti ketentuan UU No 11 Tahun
1974dan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
Selain itu Kementerian ESDM sedang menyusun Rancangan KepMen-ESDM tentang
Penetapan Cekungan Air Tanah dan Rancangan KepMen-ESDM tentang Pengelolaan Air
Tanah.
2) Dari Kementrian Pekerjaan Umum
Dari Kementerian Pekerjaan Umum telah melakukan dengan menyusun rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), menyusun
Rancangan Peraturan Pemerintahtentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan beberapa
Permen yang sudah selesai disusun

Selain dari kementrian diatas pemerintah juga sudah menetapkan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagai salah satu rujukan.

E. Langkah-Langkah yang dapat Dilakukan Pemerintah Selanjutnya Untuk Mengatasi


Dampak Pembatalan UU No 7 Tahun 2004
Ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah segera untuk mengatasi pembatalan UU
No. 7 Tahun 2004 antara lain:
1. Menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sumber Daya Air yang
harus menempatkan peran serta masyarakat yang lebih besar dalam rangka memperkuat
daya tawar masyarakat menuju civil society. Akses masyarakat tersebut meliputi akses
informasi publik, akses partisipasi dan akses keadilan dengan lebih mengakomodasi hak-
hak masyarakat atas sumber daya air dan kewajiban negara menjamin hak-hak tersebut
(Absori, 2015).

9
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

2. Pemerintah segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber


Daya Air yang mengacu pada UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang mengatur
tentang sistem koordinasi, pembinaan, pengusahaan, perlindungan, dan pembiayaan
pengusahaan sumber daya air. RPP dibutuhkan agar kewenangan Pemkab/Pemkot diatur
dalam RPP untuk proses menerbitkan izin usaha. Penyusunan RUU dan RPP ini,
sebagaimana Negara melaksanakan fungsi pengaturan (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh
pemerintah (eksekutif).
3. Pemerintah harus berkoordinasi melalui kementerian terkait, yaitu Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri
dan menyiapkan peraturan teknis terkait dengan perizinan dan MoU dengan swasta
nasional atau asing terkait pengelolaan air. Hal ini merupakan fungsi pengurusan oleh
Negara (bestuursdaad) yang dilakukan oleh pemerintah dengan kewenanganyya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie) dan
konsesi (concessie).
4. Pemakaian air tak hanya dilakukan industri minuman ringan dan dalam kemasan.
Industri lain seperti tekstil, hotel, kegiatan pertanian, dan perkebunan juga menggunakan
air dalam jumlah besar. Karena itu, regulasi baru diharapkan melibatkan semua aspek
dalam pengolahan air.
5. Menteri BUMN harus segera menyiapkan dan melakukan penguatan kelembagaan baik
sumber daya manuasianya maupun perangkat pendukunganya untuk mengelola air
dalam memenuhi kehadiran Negara sebagai pemenuhan hak rakyat.
6. Menteri Dalam Negeri harus segera menyiapkan dan melakukan penguatan kelembagaan
baik sumber daya manuasianya maupun perangkat pendukunganya untuk mengelola air
dalam memenuhi kehadiran Negara sebagai pemenuhan hak rakyat di daerah (wilayah
Propinsi, Kabupaten/Kota). Penguatan kelembagaan BUMN dan BUMD merupakan
fungsi pengelolaan oleh Negara (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme atau
melalui keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN/BUMD sebagai instrument
kelembagaan melalui negara dalam hal ini pemerintah mendayagunakan penguasaannya
atas sumber daya air yang digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
7. Perlu dilakukan revitalisasi institusi/kelembagaan yang memberikan perlindungan dan
pencegahan, penanganan kerusakan sumber daya air dan penegakkan hukumnya. Hal ini
sebagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dalam
hal ini pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh Negara atas cabang produksi yang penting atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Jika dilihat dari sisi sistematika UU No 11 Tahun 1974dan UU No 7 Tahun 2004
mempunyai perbedaan arti dan tujuan dari masing-masing segi penulisannya. Sisi
sistematika ini akan mempengaruhi isi dari kedua undang-undang tersebut.
2. Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air. Walaupun dalam pasal per pasal tersebut di atas tidak disebutkan kata “privatisasi”,
namun pelibatan swasta dalam berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukkan
adanya agenda privatisasi dalam UU No.7 Tahun 2004. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa “UU
No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA 7/2004) bertentangan dengan UUD
1945.

10
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

3. Dampak dibatalkannya Undang-Undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bagi
Pemerintah (eksekutif), Badan Usaha pengelola Air, dan Masyarakat.
4. Pemanfaatan air harus mengingat kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai salah satu
upaya investasi untuk mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.
5. Prioritas utama penguasaan atas air diberikan kepada BUMN atau BUMD sebagai
kelanjutan hak menguasai oleh Negara atas air. Unsur swasta masih dimungkinkan
melakukan penguasaan atas air dengan syarat-syarat tertentu secara ketat.

B. Saran
1. Pemerintah segera menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sumber
Daya Air dan menetapkan sebagai UU bersama DPR yang harus menempatkan peran
serta masyarakat yang lebih besar dalam rangka memperkuat daya tawar masyarakat
menuju civil society. Tiga substansi penting yang harus dimuat yaitu konservasi sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.
2. Mengingat proses penyusunan UU dibutuhkan waktu yang relatif lama, maka
Pemerintah perlu segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Sumber Daya Air yang mengacu pada UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang
mengatur tentang sistem koordinasi, pembinaan, pengusahaan, perlindungan, dan
pembiayaan pengusahaan sumber daya air. RPP dibutuhkan agar kewenangan
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota segera mempunyai acuan
sebagai pijakan yuridis dalam proses menerbitkan izin usaha bagi badan usaha pengelola
air maupun bentuk kerjasama antara pemerintah dengan unsur swasta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Masalah Agraria, Kehutanan, Pertambangan,


Transmigrasi, Pengairan, dan Lingkungan Hidup, Alumni, Bandung, 1992.
http://kruha.org/page/id/dinamic_detil/13/91/Hak_atas_Air/Sejarah_dan_Konteks_Restrukturisasi_Sumb
erdaya_Air_di_Indonesia.html. Diakses tanggal 24 September 2018.
Mohammad Taufik Makarao, Aspek-aspek Hukum Lingkungan, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta,
2004, hlm. 29.
Sigit S. Arif dan Azwar Maas.2015.Pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah
Konstitusi. Koran Jakarta Edisi 11 Maret 2015.
Sudarwanto, AL. Sentot. “Dampak Dibatalkannya UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Terhadap Manajemen Air untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Yustisia. Vol. 4. No. 2. 2
Mei – Agustus 2015.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Undang-Undang No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

11
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

TAMBAHAN

Ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan


hukum mengikat, maka sejak saat itu undang-undang yang bersangkutan bukan lagi bagian dari
hukum positif di Indonesia. Dalam kondisi yang demikian, kekhawatiran mengenai akan adanya
kekosongan hukum merupakan suatu hal yang beralasan. Beranjak dari kekhawatiran ini,
Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa alternatif penyelesaian masalah: salah satunya
adalah dengan cara memberlakukan kembali undang-undang pendahulu dari undang-undang
yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015 menyatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU No. 7/2004) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974 tentang Pengairan (UU No. 11/1974) sebagai penggantinya. Salah satu konsekuensi
dari keadaan ini adalah terjadi perubahan besar-besaran terhadap tindak pidana sehubungan
dengan sumber daya air, karena seluruh ketentuan pidana dalam UU No. 7/2004 berganti dalam
sekejap menjadi ketentuan pidana dalam UU No. 11/1974.
Dari beberapa referensi tentang pembatalan undang-undang tidak ada yang menyebutkan
dengan jelas apakah undang-undang yang telah dibatalkan dapat diamademen dan diberlakukan
kembali, akan tetapi berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa perubahan Peraturan
Perundang-undangan dilakukan dengan (1) menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan
Perundang-undangan atau (2) menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-
undangan.
Pada kasus pembatalan UU No 7 Tahun 2004, setelah dibatalkan kemudian dibuat rancangan
undang-undang yang baru untuk menggantikannya. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA)
yang merupakan RUU inisiatif DPR. Dimulainya pembahasan RUU SDA disepakati dalam Rapat
Kerja antara Komisi V DPR dengan beberapa Kementerian/Lembaga yang ditunjuk oleh
Presiden Joko Widodo untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan RUU SDA.
Presiden menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi atas inisiatif DPR-RI yang
telah menghasilkan RUU tentang Sumber Daya Air sesuai kesepakatan bersama antara DPR-RI
dan Presiden RI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pembahasan Tahun
2018.
Setelah membaca dan mempelajari naskah akademik serta RUU tentang Sumber Daya Air
yang telah disampaikan oleh DPR-RI, Pandangan Presiden atas RUU tentang Sumber Daya Air
adalah secara keseluruhan, sangat menghargai prinsip dan komitmen DPR-RI dalam upaya (1)
memberikan perlindungan dan jaminan pemenuhan hak rakyat atas air; (2) menjamin
keberlanjutan ketersediaan air dan sumber air agar memberikan manfaat secara adil bagi
masyarakat; (3) menjamin pelestarian fungsi air dan sumber air untuk menunjang keberlanjutan
pembangunan; (4) menjamin perlindungan dan pemberdayaan masyarakat termasuk Masyarakat
Adat dalam upaya konservasi air dan sumber air; (5) mengendalikan daya rusak air secara
menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
UU SDA memiliki makna yang sangat strategis. Selain itu adanya keputusan Makamah
Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, yang menekankan kehadiran negara dalam pengelolaan
sumber daya air bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, kementrian sumber daya air
menganggap RUU SDA ini penting untuk diselesaikan.
Setidaknya, ada enam garis besar arah pengelolaan dan ruang lingkup materi RUU SDA,
yang disusun mengacu pada hasil putusan MK sebelumnya yakni (1). Setiap pengusahaan air
tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat; (2). Negara harus memenuhi hak rakyat
atas air sebagai salah satu hak asasi manusia; (3). pengelolaan air harus mengingat kelestarian
lingkungan hidup dan (4). Air merupakan salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, harus dalam pengawasan dan pengendalian air oleh

12
SUMBER HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

negara secara mutlak. Kemudian (5). Prioritas utama di dalam pengusahaan atas air diberikan
kepada BUMN atau BUMD; (6). Apabila semua batasan tersebut telah terpenuhi, dan ternyata
masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada
usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.

13

Anda mungkin juga menyukai