Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DEWASA DENGAN KASUS GANGGUAN

SISTEM PERSEPSI-SENSORI

Fasilitator:

Lailatun Ni’mah, S.Kep.Ns., M.Kep

Disusun Oleh:

Kelompok 5 A2 2017

1. Sesi Putri Arisandi 131711133014


2. Novianti Lailiah 131711133032
3. Mega Kurniawati Dewi 131711133053
4. Wildan Fajrul Falah 131711133073
5. Annisa Nur Ilmastuti 131711133089
6. Qoulam Mir Robbir Rohim 131711133126
7. Yulia Mariskasari 131711133127
8. Yuni Rengen 131711133163

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

MARET 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya kami dari saya
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Keperawatan Medikal Bedah II membahas Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dewasa Dengan Kasus Gangguan Sistem Persepsi-Sensori” dalam
bentuk makalah. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh Ibu Lailatun
Ni`mah, S.Kep.Ns., M.Kep.

Terima kasih kepada Ibu Lailatun Ni`mah, S.Kep.Ns., M.Kep. sebagai dosen pengampu
yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasa.
Penulis menyadari adanya kekurangan pada makalah ini. Untuk itu kritik dan saran sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini, dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca.
Dan apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan kiranya pembaca dapat
memakluminya. Sekian dan terima kasih.

Surabaya, 19 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1. Latar belakang ............................................................................................................................ 1
1.2. Rumusan masalah ....................................................................................................................... 1
1.3. Tujuan .......................................................................................................................................... 2
1.4. Manfaat ........................................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 4
2.1. Otitis Media Kronik .................................................................................................................... 4
2.2. Retinoblastoma .......................................................................................................................... 13
2.3. Kanker Nasofaring.................................................................................................................... 29
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 38
3.1. Kesimpulan ................................................................................................................................ 38
3.2. Saran .......................................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Persepsi sensori adalah proses memilih, mengatur, dan menafsirkan rangsangan
sensorik yang membutuhkan fungsi organ utuh dan rasa, jalur saraf, dan otak.

System sensori adalah system penghantaran rangsangan dari perifer (reseptor) ke


pusat (otak). Pada manusia terdapat lima system sensori (penginderaan) eksoreseptor, yaitu
system auditory (pendengaran), system visual (penglihatan), system olfactory
(penciuman), system somatosensory (perabaan), dan system gustatory (pengecapan)
(Syaifuddin, 2011).

Sensori persepsi tergantung pada reseptor sensorik, sistem mengaktifkan retikuler


(RAS), dan berfungsi sebagai jalur saraf ke otak. ras pengaruh kesadaran rangsangan, yang
diterimamelalui panca indera: penglihatan, pendengaran, sentuhan, bau, dan rasa.indra
viseraldirangsang internal sedangkan retikular mengaktifkan RAS (retikular activing
system). Ras bertanggung jawab untuk menyatukan informasi dengan otak kecil
dan bagian lain otak danorgan-organ indra.

Organ persepsi sensori atau alat indera seperti hidung, mata, dan telinga memiliki
peranan penting sebagai penangkap stimulus atau rangsangan dari luar. Organ tersebut
dengan perangkat kelengkapannya akan merubah stimulus dari luar menjadi informasi
yang akan dibawa menuju otak untuk diolah dan menghasilkan persepsi dan respon /
tanggapan terhadap stimulus tersebut. Adanya gangguan atau penyakit pada organ persepsi
sensori tersebut akan mempengaruhi kinerja tubuh pada umumnya.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa definisi Otitis Media Kronik?
2. Bagaimana etiologi dari Otitis Media Kronik?
3. Bagaimana manifestasi klinis Otitis Media Kronik
4. Bagaimana patofisiologi Otitis Media Kronik?
5. Bagaimana WOC Otitis Media Kronik?

1
6. Apa saja pemeriksaan penunjang otitis Media Kronik?
7. Bagaimana penatalaksanaan Otitis Media Kronik?
8. Apa saja asuhan keperawatan umum Otitis Media Kronik?
9. Apa definisi Retinoblastoma?
10. Bagaimana etiologi Retinoblastoma?
11. Bagaimana manifestasi klinis Retinoblastoma?
12. Bagaimana patofisiologi Retinoblastoma?
13. Bagaimana WOC Retinoblastoma?
14. Apa saja pemeriksaan penunjang Retinoblastoma?
15. Bagaimana penatalaksanaan penderita Retinoblastoma?
16. Bagaimana asuhan keperawatan penderita Retinoblastoma?
17. Apa definisi Kanker Nasofaring?
18. Bagaimana etiologi Kanker Nasofaring?
19. Bagaimana manifestasi klinis Kanker Nasofaring?
20. Bagaimana patofisiologi Kanker Nasofaring?
21. Bagaimana WOC Kanker Nasofaring?
22. Apa saja pemeriksaan penunjang penderita Kanker Nasofaring?
23. Bagaimana Penatalaksanaan penderita Kanker Nasofaring?
24. Bagaimana asuhan keperawatan penderita Kanker Nasofaring?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Otitis Media Kronik
2. Untuk mengetahui etiologi dari Otitis Media Kronik
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis Otitis Media Kronik
4. Untuk mengetahui patofisiologi Otitis Media Kronik
5. Untuk mengetahui WOC Otitis Media Kronik
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang otitis Media Kronik
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan Otitis Media Kronik
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan umum Otitis Media Kronik
9. Untuk mengetahui definisi Retinoblastoma
10. Untuk mengetahui etiologi Retinoblastoma
11. Untuk mengetahui manifestasi klinis Retinoblastoma

2
12. Untuk mengetahui patofisiologi Retinoblastoma
13. Untuk mengetahui WOC Retinoblastoma
14. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Retinoblastoma
15. Untuk mengetahui penatalaksanaan penderita Retinoblastoma
16. Untuk mengetahui asuhan keperawatan penderita Retinoblastoma
17. Apa definisi Kanker Nasofaring
18. Bagaimana etiologi Kanker Nasofaring
19. Untuk mengetahui manifestasi klinis Kanker Nasofaring
20. Untuk mengetahui patofisiologi Kanker Nasofaring
21. Untuk mengetahui WOC Kanker Nasofaring
22. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang penderita Kanker Nasofaring
23. Untuk mengetahui Penatalaksanaan penderita Kanker Nasofaring
24. Untuk mengetahui asuhan keperawatan penderita Kanker Nasofaring

1.4. Manfaat
Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini, penulis dan pembaca dapat memperoleh
beberapa manfaat, antara lain:
1. Bagi penulis:
Tugas dan kewajiban dari dosen pengampu dapat terselesaikan dan penulis mendapat nilai
yang diinginkan
2. Bagi penulis dan pembaca:
Mendapat pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan kasus gangguan
sistem persepsi-sensori dengan baik dan benar.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Otitis Media Kronik
2.1.1. Definisi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan inflamasi kronis mukosa dan
periosteum telinga bagian tengah dan kavum mastoid. Manifestasi otitis media supuratif
kronik berupa otorea berulang yang keluar melalui gendang telinga yang mengalami
perforasi. Durasi otorea pada kasus OMSK masih belum ada kesepakatan. Otorea ninimal
2 minggu sudah masuk dalam kategori OMSK, namun ahli-ahli THT menyatakan durasi
lebih dari tiga bulan merupakan kasus OMSK, sedangkan literatur lain menyatakan lebih
dari enam minggu. Otorea dapat terjadi terus menerus atau hilang timbul (WHO, 2004).

Berdasarkan perforasi, OMSK dibagi menjadi 2 tipe yaitu OMSK tipe aman (tipe
mukosa, benigna, tanpa kolesteatoma) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna,
dengan kolesteatoma). Pada OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang
berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. Sedangkan pada OMSK tipe bahaya selalu
terdapat kolesteatom dan dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

2.1.2. Etiologi
OMSK umumnya diawali dengan otitis media berulang pada anak, hanya sedikit
yang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari peradangan nasofaring,
mencapai telinga tengah melalui tuba eustakhius.

Faktor-faktor yang menyebabkan otitis media supuratif menjadi kronik sangat


majemuk, beberapa diantaranya:

1. Gangguan fungsi tuba eustakhius yang kronik akibat :


a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronik atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba eustakhius parsial atau total.
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologis menetap pada telinga
tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid.

4
5. Terdapat daerah-daerah dengan skuesterisasi atau osteomyelitis persisten di
mastoid.

6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan


mekanisme pertahanan tubuh (Farida et al. , 2009)

2.1.3. Manifestasi Klinis


1. Telinga Berair
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Sekret
yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan
mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopurulen yang tidak
berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi inflamasi mukosa telinga tengah
oleh perforasi membran timpani. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang (Aboet A. ,
2007).
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasi kolesteatoma yang terlihat keping-keping kecil, berwarna
putih, mengkilap. Pada OMSK tipe maligna unsur mukoid dan sekret telinga
tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi
dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma. Sekret yang encer
berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis (Meyer TA, Strunk CL,
Lambert PR., 2006).
2. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang
pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun ada juga bersifat tuli
campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi
sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma dapat
menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai
kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20 dB ditandai bahwa rantai tulang

5
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang-tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 dB. Berat
ringan ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya
rantai tulang pendengaran.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui foramen rotundum atau
fistula labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis
supuratif akan terjadi tuli sensorineural berat (Lambert PR., 2006).
3. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK, keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase sekret.
Nyeri dapat menandakan adanya ancaman komplikasi akibat hambatan
pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga dapat juga berupa manifestasi
dari otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis
(Helmi, Djaafar ZA, 2009).
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius. Keluhan
vertigo merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan
tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo
dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran
infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Fistula
merupakan temuan yang serius pada OMSK, karena infeksi kemudian dapat
berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul
labirinitis dan bisa berlanjut menjadi meningitis (Adams GL, Boies LR, Higler
PA.,2006).

6
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan
tuba eutakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik atau faktor anatomik. Tuba
eustakhius memiliki tiga fungsi penting yang berhubungan dengan kavum
timpani:Fungsi ventilasi, proteksi dan drainase (clearance). Penyebab endogen
misalnya gangguan silianpada tuba, deformitas pada palatum, atau gangguan otot-
otot pembuka tuba. Penyebab eksogen misalnya infeksi atau alergi yang
menyebabkan inflamasi pada muara tuba.
Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequele atau
komplikasi otitis media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Dapat juga terjadi
akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa gromet) pada kasus otitis
media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan,
terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan,
sehingga menyebabkan otorea yang persisten (Toari, 2017).
Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok
dapat menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea terus-
menerus atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani menyebabkan
proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi, selanjutnya terjadi
daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai tekanan akibat
penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat mempermudah terjadinya perforasi
membran timpani. Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani
selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari kanalis auditorius
eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani,
menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus.
Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman
gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini disebabkan oleh
proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan jaringan,serta
pembentukan jaringan parut (Hardhi, 2016).
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa
sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau mukopurulen.
Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan

7
mukosa mengalami proses pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan
patologis dapat menutup membran timpani, sehingga menghalangi
drainase,menyebabkan penyakit menjadi persisten (Toari, 2017).
Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupan
dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga tengah, kemudian
terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid,
selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan kuman pathogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma
ini mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaian tulang
pendengaran oleh reaksi erosi dari ensim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan
oleh proses kolesteatom dalam jaringan ikat subepitel. Pada proses penutupan
membran timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa
unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode
infeksi aktif.

8
2.1.5. WOC Otitis Media Kronik

Perubahan tekanan udara Pencegahan invasi kuman


Gangguan tube
tiba-tiba (alergi, infeksi, terganggu
eustachius
sumbatan: secret,tampon,
tumor )
Kuman masuk ketelinga tengah

Tekanan udara negative Peradangan Pengobatan tidak


ditelinga tengah tunatas/episode berulang

Efusi MK: Resiko Infeksi

Retraksi membrane Menigkatkan produksi


timpani cairan serosa

Akumulasi cairan mukosa


serosa

Hantaran udara yang Terjadi erosi pada Tindaka mastoidektomi


diterima menurun kanalis semesirkunalais

MK: Gangguan persepsi Vertigo / keseimbangan


menurun MK: Nyeri akut
sensori

MK: Resiko cidera Infeksi berlanjut dapat


sampai ke telinga
dalam
MK: Ansietas

Kurangnya informasi

MK: Defisiensi
pengetahuan

9
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Mikroskop
Dapat dibedakan jenis OMSK berdasarkan perforasi pada membran timpani,
yang terdiri dari perforasi sentral, atik dan marginal. Pada tipe
benigna/tubotimpani, perforasi selalu sentral bisa ditemukan pada anterior,
posterior atau inferior dari manubrium malleus. Ukuran perforasi dapat kecil,
sedang atau besar dimana annulus masih ada. Bila perforasinya besar mukosa
telinga tengah dapat terlihat, ketika terjadi inflamasi terlihat merah serta edema.
Pada tipe maligna/atikoantral perforasi dapat terletak di atik maupun di
marginal.
2) Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati jenis tuli
konduktif, tetapi dapat pula dijumpai adanya jenis tuli sensorineural, Penurunan
tingkat pendengaran tergantung kondisi membran timpani seperti letak
perforasi, tulang-tulang pendengaran dan mukosa telinga tengah. Tuli konduktif
dapat diperbaiki dengan melakukan tindakan operasi, sedangkan tuli
sensorineural yang permanen hanya dapat dibantu dengan menggunakan alat
bantu dengar.
3) Pemeriksaan radiologi dapat memberikan informasi tambahan untuk
melengkapi pemeriksaan klinis. CT-scan dan MRI dari tulang temporal dapat
menggambarkan luasnya penyakit dan dapat mengidentifikasi kolesteatoma
pada pasien yang asimtomatik. Meskipun CT-Scan dianggap standar emas
pencitraan kolesteatoma namun CT-Scan mempunyai kekurangan specificity
dalam membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema
terutama ketika erosi tulang tidak ada.
4) Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga dapat membantu dalam
pemilihan antibiotik untuk pengobatan OMSK. Sekret telinga penting untuk
menentukan bakteri penyebab OMSK sehingga kita dapat menentukan
penggunaan antibiotika yang tepat dalam memberikan pengobatan otitis media
supuratif kronis.

10
2.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan
meminimalkan risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan
yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi
dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi.
Pasien dengan otore dari perforasi sentral dapat diobati dulu dengan medikamentosa untuk
mengontrol infeksi dan menghentikan otore sebagai tujuan jangka pendek sedangkan
tujuan jangka panjangnya adalah usaha menutup perforasi membran timpani dan
memperbaiki pendengaran secara operatif.

1) Aural toilet dapat digunakan untuk membersihkan sekret dan debris dari
telinga, dapat menggunakan suction dibawah mikroskop, dan telinga harus
dikeringkan kembali setelah diirigasi.
2) Tetes telinga dapat diberikan yang mengandung neomycin, polymyxin,
cloromycetin atau gentamycin, dapat juga dikombinasikan dengan steroid yang
mana memiliki efek anti inflamasi lokal, diberikan tiga sampai empat kali
sehari. Antibiotika sistemik juga dapat digunakan untuk OMSK yang
mengalami ekserbasi akut.
3) Operasi rekonstruksi dapat dilakukan segera setelah telinga kering,
miringoplasti dengan atau tanpa rekonstruksi tulang-tulang pendengaran yang
mana dapat memperbaiki pendengaran. Penutupan dari perforasi dapat
mencegah terjadinya infeksi yang berasal dari telinga luar.

Secara umum, infeksi yang mengenai daerah atik dan antrum biasanya terlalu
dalam di telinga untuk dapat dicapai oleh antibiotika. Kolesteatoma berpotensi
mendestruksi tulang dan memungkinkan penyebaran infeksi sehingga diperlukan tindakan
operasi.

Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang


secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact
canal wall) mastoidectomy.

11
1) Canal wall down procedures Prosedur ini membersihkan dan mengangkat
semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga
meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga.
2) Intact Canal Wall Procedures Keuntungan intact canal wall mastoidectomy
adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan
tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum. Prosedur ini sering
dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila kolesteatoma
terdapat di atik dan antrum. Dilakukan complete cortical mastoidectomy dan
antrum mastoid dapat dimasuki. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan
dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel
berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second look operation” setelah 6-
12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma.

2.1.8. Askep Umum


Pengkajian
Identitas klien : Meliputi nama,umur, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, suku bangsa alamat, diagnosa
penyakit, tanggal masuk, tanggal pengkaiian, nomor
medical record.
Identitas penanggung jawab : Meliputi, nama, umur, jenis klemin, hubungan dengan
klien, status perkawinan, agama, suku bangsa, alamat.
Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Nyeri pada daerah telinga
b. Riwayat kesehatan sekarang : Adakah baru-baru ini infeksi pernafasan atas ataukah
sebelumnya klien mengalami ISPA, ada nyeri daerah
telinga, perasaan penuh atau tertekan di dalam telinga,
perubahan pendengaran.
c. Riwayat kesehatan dahulu : Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien
yang berhubungan dengan timbulnya otitis media.
d. Riwayat kesehatan keluarga : Perlu dikaji apakah ada keluarganya yang menderita
penyakit seperti ini.

12
Pemeriksaan fisik :
a. Otoscope : 1. Perhatikan adanya lesi pada telinga luar.
2. Amati adanya oedema pada membran tympani
Periksa adanya pus dan ruptur pada membran
tympani.
3. Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada
membran tympani.
b. Tes bisik 1. Dengan menempatkan klien pada ruang yang
sunyi, kemudian dilakukan tes bisik, pada klien
dengan OMA dapat terjadi penurunan pendengaran
pada sisi telinga yang sakit.
c. Tes garpu tala
a) Tes Rinne : Pada uji rinne didapatkan hasil negatif
b) Tes Weber : Pada tes weber didapatkan lateralisasi ke arah telinga
yang sakit.

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera fisik


2. Gangguan persepsi sensori (pendengaran) b.d perubahan resepsi, transmisi dan integritas
sensori.
3. Ansietas b.d ancaman terhadap konsep diri

2.2. Retinoblastoma
2.2.1. Definisi
Retinoblastoma adalah suatu keganasan intraokular primer yang paling sering pada
bayi dan anak dan merupakan tumor neuroblastik yang secara biologi mirip dengan
neuroblastoma dan meduloblastoma (Skuta et al. 2011) (Yanoff M, 2009).

Retinoblastoma atau kanker mata merupakan tumor ganas intraokular primer,


artinya tumor yang tumbuh dan berkembang pada bagian dalam retina akibat dari
transformasi keganasan sel primitif pada retina sebelum berdeferensiasi, kanker ini
menyerang sel embrionik pada retina. Retinoblastoma dapat menyerang siapa saja, namun

13
pada umumnya Retinoblastoma menyrang pada anak-anak dan lebih dari 90% kasus
Retinoblastoma sebelum usia 5 tahun (American Cancer Society, 2013).

2.2.2. Etiologi
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan
panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang berfungsi
supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat padaDNA
(Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase S. Jadi
mengakibatkan perubahan keganasan dari sel retina primitif sebelum berakhir. (Skuta et
al. 2011).
Gen retinoblastoma normal yang terdapat pada semua orang adalah suatu gen
supresor atau anti-onkogen. Individu dengan penyakit yang herediter memiliki satu alel
yang terganggu di setiap sel tubuhnya; apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang
tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit yang
nonherediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh
diinaktifkan oleh mutasi spontan.(Yanoff, 2009).
Retinoblastoma adalah keganasan intraokular tersering pada anak kurang dari 5
tahun, kira-kira 2-4% dari keseluruhan keganasan pediatridengan insidens 1 dari 15.000-
20.000 kelahiran hidup. Sebanyak 60-75% penyakit ini terjadi unilateral dan terdiagnosis
pada usia 24-30 bulan. Retinoblastoma bilateral terjadi pada 25- 40% kasus dan
terdiagnosis lebih muda dengan median usia 12 bulan. Pasien retinoblastoma bilateral dan
unilateral dengan riwayat keluarga retinoblastoma (herediter) menempati 30-40% kasus.
Pasien retinoblastoma unilateral tanpa riwayat keluarga (non-herediter) menempati 60-
70% kasus. Sedangkan 6-10% kasus memiliki riwayat keluarga dengan retinoblastoma
(familial herediter) dan bila tidak terdapat riwayat keluarga, disebut sporadik namun belum
tentu non-herediter, karena pasien anak dengan kasus bilateral yang seluruhnya herediter
seringkali tidak memiliki riwayat keluarga menderita retinoblastoma. Sebanyak 6% pasien
dengan retinoblastoma bilateral mengalami keterlibatan intrakranial, biasanya kelenjar
pineal dengan karakteristik histologi yang sama dengan di kedua mata, disebut
retinoblastoma trilateral (Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).

14
Untuk terbentuknya retinoblastoma, kedua kopi gen pada lokus 13q4 harus
mengalami mutasi berupa delesi, inaktivasi, atau hilang. Dua mutasi ini disebut dengan
teori dua “hit” yang pertama kali dikemukakan oleh Knudson dan Hethcote pada tahun
1971. Pada kasus herediter, hit pertama diwariskan dari sel germinal orang tua dan terdapat
pada semua sel somatik anak dan hit kedua / sekunder terjadi setelah konsepsi pada sel
somatik retina dan menyebabkan hilangnya alel lain yang normal. Telah diketahui bahwa
85% mutasi germinal primer pada retinoblastoma bilateral terjadi di alel ayah. Pada
retinoblastoma non-herediter, kedua hit ini terjadi pada satu sel retina setelah fertilisasi,
yang menyebabkan retinoblastoma lebih sering bersifat unilateral. Bila mutasi gen RB1
teridentifikasi pada pasien, saudara kandung, anak, dan relasi lain perlu dilakukan
pemeriksaan untuk menge-tahui adanya mutasi gen RB.
Faktor risiko retinoblastoma sporadik tidak jelas diketahui sampai sekarang. Suatu
studi dari Children Oncology Group pada tahun 2015 menyimpulkan ibu yang merokok
sebelum dan selama kehamilan meningkatkan risiko retinoblastoma unilateral/sporadik
pada anak yang dilahirkan (Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).

2.2.3. Manifetasi Klinis


Gejala klinis Retinoblastoma sangat bervariasi sesuai dengan stadium penyakit
kanker tersebut. Gejala yang dialami dapat timbul warna putih pada pupil mata
(leukokoria), kondisis mata yang tidak sewajarnya satu dengan yang lainnya (strabismus),
mata merah, nyeri pada disertai dengan glaucoma dan pembesaran pada bola mata
(buftalmos), kekeruhan vitreus (cairan sesperti jelly yang mengisi rongga mata), terjadi
penggumpalan darah didalam bilik mata atau himefa, serta penurunan visual. (American
Cancer Society, 2013).

Terdapat gambaran bintik putih pada mata (leukokoria) (60 %penderita). Selain itu,
dapat pula muncul gambaran strabismus (esotropia/eksotropia), proptosis, ataupun uveitis,
endoftalmitis, glaukoma, panoftalmitis, selulitis orbita, dan hifema. (Komite Nasional
Penanggulangan Kanker 2015).

15
2.2.4. Patofisiologi
Teori tentang histogenesis dari Retinoblastoma yang paling banyak dipakai
umumnya berasal dari sel prekursor multipotensial (mutasi pada lengan panjang kromosom
pita 13, yaitu 13q14 yang dapat berkembang pada beberapa sel retina dalam atau luar
(Pandey, 2014). Pada intraokular, tumor tersebut dapat memperlihatkan berbagai pola
pertumbuhan yang akan dipaparkan di bawah ini .

Pola Penyebaran Tumor:

1. Pola Pertumbuhan
Retinoblastoma Intraokular dapat menampakkan sejumlah pola pertumbuhan, pada
pola pertumbuhan endofitik, ini tampak sebagai gambaran massa putih sampai coklat
muda yang menembus membran limitan interna. Retinoblastoma Endofitik kadang
berhubungan dengan vitreus seeding. Sel-sel dari Retinoblastoma yang masih dapat
hidup terlepas dalam vitreous dan ruang sub retina dan biasanya dapat menimbulkan
perluasan tumor melalui mata. Vitreous seeding sebagian kecil meluas memberikan
gambaran klinis mirip endopthalmitis, vitreous seeding mungkin juga memasuki bilik
mata depan, yang dapat berkumpul di iris membentuk nodule atau menempati bagian
inferior membentuk Pseudohypopyon (Shields and Shields, 2004).
Tumor Eksofitik biasanya kuning keputihan dan terjadi pada ruang subretinal, yang
mengenai pembuluh darah retina dan sering kali terjadi peningkatan diameter
pembuluh darah dengan warna lebih pekat. Pertumbuhan Retinoblastoma Eksofitik
sering dihubungkan dengan akumulasi cairan subretina yang dapat mengaburkan tumor
dan sangat mirip ablasio retina eksudatif yang memberi kesan suatu Coats disease
lanjut. Sel Retinoblastoma mempunyai kemampuan untuk implant dimana sebelumnya
jaringan retina tidak terlibat dan tumbuh. Dengan demikian membuat kesan
multisentris pada mata dengan hanya tumor primer tunggal.Sebagaimana tumor
tumbuh, fokus kalsifikasi yang berkembang memberikan gambar khas chalky white
appearance (Shields and Shields, 2004).
2. Invasi saraf optikus; dengan penyebaran tumor sepanjang ruang sub arachnoid ke otak.
Sel Retinoblastoma paling sering keluar dari mata dengan menginvasi saraf optikus dan
meluas kedalam ruang sub arachnoid (Balmer, Zografos and Munier, 2006).

16
3. Diffuse infiltration retina
Pola yang ketiga adalah Retinoblastoma yang tumbuh menginfiltrasi luas yang
biasanya unilateral, nonherediter, dan ditemukan pada anak yang berumur lebih dari 5
tahun. Pada tumor dijumpai adanya injeksi conjunctiva, anterior chamber seeding,
pseudohypopyon, gumpalan besar sel vitreous dan tumor yang menginfiltrasi retina,
karena masa tumor yang dijumpai tidak jelas, diagnosis sering dikacaukan dengan
keadaan inflamasi seperti pada uveitis intermediate yang tidak diketahui etiologinya.
Glaukoma sekunder dan Rubeosis Iridis terjadi pada sekitar 50% kasus (Gobin et al.,
2011).
4. Penyebaran metastasis ke kelenjar limfe regional, paru, otak dan tulang. Sel tumor
mungkin juga melewati kanal atau melalui slera untuk masuk ke orbita. Perluasan
ekstraokular dapat mengakibatkan proptosis sebagaimana tumor tumbuh dalam orbita.
Pada bilik mata depan, sel tumor menginvasi trabecular messwork, memberi jalan
masuk ke limphatik conjunctiva. Kemudian timbul kelenjar limfe preauricular dan
cervical yang dapat teraba (Gobin et al., 2011)
Di Amerika Serikat, pada saat diagnosis pasien, jarang dijumpai dengan metastasis
sistemik dan perluasan intrakranial. Tempat metastasis Retinoblastoma yang paling sering
pada anak mengenai tulang kepala, tulang distal, otak, vertebra, kelenjar limphe dan viscera
abdomen (Pandey, 2014).

17
2.2.5. WOC Retinoblastoma

18
19
20
21
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti retinoblastoma intaokuler dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
patologi anatomi. Karena tindakkan biopsi merupakan kontraindikasi, maka untuk
menegakkan diagnosis digunakan bebrapa pemeriksaan sebagai sarana penunjang (Canty,
2009):

1. Fundus Okuli: Ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina disertai pembuluh
darah pada permukaan ataupun didalam massa tumor tersebut dan berbatas kabur.
2. X Ray: Hampir 60 – 70 % penderita retinoblastoma menunjukkan kalsifikasi. Bila
tumor mengadakan infiltrasi ke saraf optik foramen: Optikum melebar.
3. USG: Adanya massa intraokuler
4. LDH: Dengan membandingkan LDH aqous humor dan serum darah, bila ratsio lebih
besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma intaokuler (Normal rasio
Kurang dari 1).
5. Ultrasonografi dan tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien dengan
metastasis ke luar, misalnya dengan gejala proptosis bola mata.

2.2.7. Penatalaksanaan
Perencanaan terapi dilakukan oleh tim multidisiplin untuk mencapai hasil terapi
yang optimum. Tujuan utama terapi selain kuratif, juga untuk preservasi penglihatan.
Retinoblastoma intraokular Pada retinoblastoma grup A-C, unilateral atau bilateral, dimana
penglihatan masih mungkin untuk dipertahankan karena ukuran tumor sangat kecil, maka
dapat diberikan terapi kemoreduksi, yang dilanjutkan dengan terapi fokal, dan/atau
brakhiterapi / radiasi eksterna. Kemoreduksi merupakan pemberian kemoterapi sistemik
dengan tujuan untuk mereduksi volume tumor sehingga memungkinkan pemberian terapi
fokal, seperti krioterapi, fotokoagulasi dengan laser, termoterapi, atau brakhiterapi dengan
plak. Pada umumnya diberikan kombinasi karboplatin, etoposide, dan vinkristin (CEV).
Pemberian kemoreduksi sendiri dapat mengurangi kebutuhan untuk dilakukan enukleasi
atau radiasi eksterna hingga 68% pada kelompok R-E grup I, II, dan III. Pada keterlibatan
bilateral, tatalaksana bergantung pada gambaran manifestasi pada tiap-tiap mata. Pada
umumnya satu mata lebih berat daripada lainnya. Enukleasi dapat dilakukan pada mata
dengan penyakit yang lebih berat. Namun demikian, bila kedua mata memiliki potensi

22
penglihatan yang baik, maka dapat diberikan radiasi bilateral atau kemoreduksi dengan
evaluasi terhadap respon ketat dan terapi fokal (seperti, krioterapi atau terapi laser), bila
terdapat indikasi. Terapi sistemik dipilih berdasarkan gambaran dari mata yang
menunjukkan keterlibatan lebih luas. Pada retinoblastoma grup D, modalitas pilihan terapi
hampir sama dengan grup A-C, yaitu dengan kemoreduksi terlebih dahulu, namun terapi
fokal dilakukan lebih agresif. Pada kasus unilateral, di mana pada umumnya sudah massif
dan penglihatan tidak mungkin dipertahankan, maka pilihannya adalah enukleasi, yaitu
mengangkat seluruh bola mata yang terkena. Pada pasien dengan retinoblastoma
intraokular lanjut/Grup E, unilateral ataupun bilateraldengan neovaskularisasi iris, invasi
ke segmen anterior, infiltrasi iris, terdapat nekrosis dengan inflamasi orbital dan tidak
memiliki potensi penglihatan, pilihan terapi adalah enukleasi primer, dengan kemudian
dilakukan evaluasi faktor risiko histopatologi. Terapi ajuvan sistemik dengan vincristine,
doxorubicin, dan cyclophosphamide, atau vincristine, carboplatin, dan etoposide, sebanyak
6 siklus digunakan pada pasien dengan risiko tinggi berdasar gambaran patologik pasca
enukleasi untuk menghindari penyebaran tumor lebih lanjut. Bila terdapat invasi margin,
diberikan adjuvant radioterapi. (Komite Nasional Penanggulangan Kanker 2015).

Retinoblastoma Ekstraokular dapat meliputi jaringan lunak di sekitar mata atau


perluasan ke arah nervus optikus hingga melebihi margin yang direseksi. Perluasan lebih
jauh dapat ke arah otak dan meningen dengan penyebukan lebih lanjut ke cairan spinal,
ataupun metastasis jauh ke paru, tulang, dan sumsum tulang. Belum terdapat standar terapi
yang jelas untuk penyakit ekstraokular, pada umumnya meliputi kemoterapi dan/atau
radiasi. Pada pasien dengan stadium 2 (ISSRB), yaitu pasien dengan klinis terbatas pada
orbita namun didapatkan faktor risiko tinggi histopatologi pasca operasi enukleasi,
diberikan kemoterapi adjuvant 6 siklus dan radiasi eksterna bila terdapat invasi margin.
Pada pasien dengan stadium 3A (ISSRB) dengan klinis retinoblastoma melewati orbita,
diberikan kemoterapi dosis tinggi 3-6 siklus yang kemudian dilanjutkan dengan enukleasi
atau extended enukleasi, atau diberikan radiasi eksterna yang dilanjutkan dengan
kemoterapi 12 siklus. Pada stadium 3B (ISSRB) dimana sudah terdapat keterlibatan KGB,
maka terapi di atas dapat ditambahkan dengan diseksi KGB. (Komite Nasional
Penanggulangan Kanker 2015).

23
Pada pasien stadium 4A, di mana sudah terdapat metastasis hematogen, pilihan
pengobatan adalah kemoterapi dengan penyelamatan hematopoietik stem cell. Bila sudah
terdapat keterlibatan SSP (stadium 4B), maka dipertimbangkan apakah terapi masih
bersifat kuratif atau paliatif, dengan mengikutsertakan pihak keluarga untuk
mendiskusikan hal tersebut. Pada pasien dengan genetik retinoblastoma dapat ditemukan
kelainan pada SSP berupa fokus intrakranial, seperti tumor pineal. Diagnosis dini
membantu penatalaksanaan yang lebih baik. CT scan kepala atau MRI direkomendasikan
untuk dilaksanakan setidaknya 2 kali setahun sampai dengan usia 5 tahun. (Komite
Nasional Penanggulangan Kanker 2015).

2.2.8. Askep Umum


Pengkajian
Identitas klien : Meliputi nama,umur, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, suku bangsa alamat, diagnosa
penyakit, tanggal masuk, tanggal pengkaiian, nomor
medical record.
Identitas penanggung jawab : Meliputi, nama, umur, jenis klemin, hubungan dengan
klien, status perkawinan, agama, suku bangsa, alamat.
Riwayat kesehatan
e. Keluhan utama : Keluhan dapat berupa perubahan persepsi
penglihatan, demam, kurang nafsu makan, gelisah dan
nyeri pada mata.
f. Riwayat kesehatan sekarang : Perlu dikaji apakah ditemukan suatu gejala yang
menimbulkan suatu penyaki dengan menggunakan
metode PQRST.
g. Riwayat kesehatan dahulu : Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien
yang berhubungan dengan timbulnya retinoblastoma
yaitu adanya miopi tinggi, retinopati, trauma pada
mata.
h. Riwayat kesehatan keluarga : Perlu dikaji apakah ada keluarganya yang menderita
penyakit seperti ini. Retinoblastoma bersifat herediter

24
yang diiwariskan melalui kromosom, protein yang
selamat memiliki kemungkinan 50% menurunkan
anak dengan retinoblastoma atau penyakit lain yang
bersifat kronis dan apakah ada riwayat penyakit
keturunan.
Pemeriksaan fisik :
a. Kesadaran umum : Mengkaji tingkat kesadran dan mengkaji tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
b. Pemeriksaan Khusus Mata :
a) Gejala dini pada mata : Mata nampak juling, jika tumor sudah membesar,
maka akan menonjol sampai keluar bola mata. Dalam
keadaan demikian biasanya mata sudah rusak sama
sekali. Mata merah, rasa sakit yang diiringi oleh
glaukoma dan pelepasan retina.
b) Pemeriksaan tajam : Pada retinoblastoma, tumor dapat meyebar luas di
penglihatan dalam bola mata sehingga dapat merusak semua organ
yang menyebabkan tajam penglihatan sangat
menurun.
c) Pemeriksaan gerakan : Pembesaran tumor dalam rongga mata akan menekan
bola mata saraf dan bahkan dapat merusak saraf tersebut dan
apabila mengenai saraf III, IV, dan VI maka akan
menyebabkan mata juling.
d) Pemeriksaan susunan : Pemeriksaan dimulai dari kelopak mata, sistem
mata luar dan lakrimal lakrimal, konjungtiva, kornea, bilik depan mata depan,
iris, lensa dan pupil. Pada retinoblastoma didapatkan:
1. Leukokoria, yaitu reflek depan pupil yang
berwarna putih.
2. Hipopion, yaitu terdapatnya nanah di bilik
mata depan.
3. Hifema, yaitu terdapatnya darah di bilik mata
depan.

25
4. Uveitis, yaitu peradangan yang terjadi pada
uvea atau lapisan tengah mata.
e) Pemeriksaan pupil : Jika penyakit sudah lanjut dan meluas ke hampir
seluruh retina, maka pada mata klien
tampak leukokoria (refleks pupil yang berwarna
putih atau mata kucing amaurotik), yaitu adanya
refleks kuning, putih atau abu-abu merah di
pupil. merupakan keluhan dan gejala yang paling
sering ditemukan pada penderita dengan
retinoblastoma dan biasanya pupil setengah
melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya.
f) Pemeriksaan : Menggunakan oftalmoskopi untuk pemeriksaan
funduskopi media, papil saraf optik dan retina. Refleksi tidak ada
atau gelap akibat pendarahan yang banyak dalam
badan kaca.
g) Pemeriksaan tekanan : Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata menyebabkan
bola mata tekanan bola mata meningkat.
Pengkajian sistem
a. Aktivitas
Gejala : Kelelahan, malaise, kelemahan, ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas biasanya.
Tanda : Kelelahan otot dan peningkatan kebutuhan tidur,
somnolen.
b. Sirkulasi
Gejala : Palpitasi
Tanda : - Takikardi, mur-mur jantung
- Kulit, membran mukosa pucat
- Defisit saraf kranial dan/atau tanda perdarahan
cerebral.
c. Eliminasi
Gejala : - Diare; nyeri tekan perianal, nyeri

26
- Darah merah terang pada tisu, feses hitam
- Darah pada urine, penurunan haluaran urine.
d. Integritas ego :
Gejala : Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Tanda : - Depresi, menarik diri, ansietas, takut, marah,
mudah terangsang
- Perubahan alam perasaan, kacau.
e. Makanan/cairan :
Gejala : - Kehilangan nafsu makan, anoreksia, muntah
- Perubahan rasa/penyimpangan rasa
- Penurunan berat badan
f. Neurosensori :
Gejala : - Kurang/penurunan koordinasi
- Perubahan alam perasaan, kacau, disorientasi,
ukuran konsisten
- Pusing, kebas, kesemutan parastesi.
Tanda : Otot mudah terangsang dan aktivitas kejang.
g. Nyeri/ketidaknyamanan :
Gejala : Nyeri orbital, sakit kepala, nyeri tulang atau sendi,
nyeri tekan sternal, kram otot.
Tanda : Perilaku berhati-hati atau distraksi, gelisah, fokus,
pada diri sendiri.
h. Pernapasan :
Gejala : Napas pendek dengan kerja minimal
Tanda : - Dispnea, takipnea, batuk
- Gemericik, ronki
- Penurunan bayi napas
i. Keamanan :
Gejala : - Riwayat infeksi saat ini atau dahulu, jatuh
- Gangguan penglihatan atau kerusakan

27
- Perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma
minimal.
Tanda : - Demam, infeksi
- Kemerahan, purpura, perdarahan retinal,
perdarahan gusi, atau epistaksis
- Pembesaran nodus limfe, limpa, atau hati
(sehubungan dengan invasi jaringan)
- Papil edema dan eksoftalmus.
j. Seksualitas :
Gejala : - Perubahan libido
- Perubahan aliran menstruasi, menoragia
- Lipopren
k. Penyuluhan/pembelajaran :
Gejala : Gejala: riwayat terpajan pada kimiawi, mis; benzene,
fenilbutazon, dan kloramfenikol(kadar ionisasi radiasi
berlebihan, pengobatan kemoterapi sebelumnya,
khususnya agen pengkilat. Gangguan kromosom,
contoh sindrom down atau anemia franconi aplastik.
Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut (D.0077) berhubungan dengan (b.d) agen pencedera fisiologis (proses
inflamasi) dibuktikan dengan (d.d) mengeluh nyeri, gelisah dan nafasu makan berubah.
2. Gangguan Rasa Nyaman (D.0074) berhubungan dengan (b.d) gejala penyakit dibuktikan
dengan (d.d) mengeluh tidak nyaman, gelisah, mengeluh mual, mengeluh lelah dan pola
eliminasi berubah.
3. Gangguan Persepsi Sensori (D.0085) berhubungan dengan (b.d) gangguan penglihatan
dibuktikan dengan distorsi sensori.
4. Risiko Cedera (D.0136) berhubungan dengan (b.d) gangguan penglihatan.

Intervensi Keperawatan

1. Kaji tingkat nyeri, penyebab dan hal-hal yang dapat meradakan nyeri

28
2. Berikan balutan mata untuk mengurangi pergerakan mata dan mengurangi nyeri yang
diakibatkannya.
3. Berikan analgetik dan antibiotik sesuai terapi yang diperintahkan
4. Bantu aktivitas klien selama sakit
5. Jelaskan semua prosedur tindakan yang akan diberikan pada klien
6. Jelaskan tentang retinoblastoma, penyebab, komplikasi dan hal-hal yang memperburuk
kondisi mata.
7. Bantu pasien untuk belajar melakukan koping dan menyesuaikan diri terhadap situasi
8. Dorong pasien untukbersosialisasi dengan sekitarnya

2.3. Kanker Nasofaring


2.3.1. Definisi
Kanker adalah suatu penyakit pertumbuhan sel karena di dalam organ tubuh timbul
dan berkembang biak sel-sel baru yang tumbuh abnormal, cepat, dan tidak terkendali
dengan bentuk, sifat dan gerakan yang berbeda dari sel asalnya, serta merusak bentuk dan
fungsi organ asalnya (Dalimartha, 2004). Kanker sering dikenal sebagai tumor, tetapi tidak
semua tumor disebut kanker. Tumor merupakan satu sel liar yang berada dibagian tubuh
dan terus membesar di lokasi yang tetap atau tidak menyebar ke bagian tubuh lain.
Mengakibatkan terbentuknya benjolan di bagian tubuh tertentu dan jika tidak diobati
dengan tepat sel tumor berubah menjadi kanker. Berbeda dengan sel tumor yang tidak
menyebar kebagian tubuh lain, sel kanker akan terus membelah diri dengan cepat dan tidak
terkontrol menyebabkan sel kanker sangat mudah menyebar ke beberapa bagian tubuh
melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening (Aprianti, 2012). Kanker nasofaring
adalah tumor ganas yang timbul di daerah nasofaring area di atas tenggorok dan dibelakang
hidung.

Jenis Kanker Nasofaring

1) Jenis karsinoma epidermoid


Tumor yang berasal dari sel yang melapisi organ-organ internal biasanya timbul
dari jaringan epitel kulit atau epidermis kulit dan kebanyakan berasal dari kelenjar
sebasea atau kelenjar yang mengeluarkan minyak dari dalam kulit.
2) Jenis adenokarsinoma

29
Tumor yang berasal dari bagian dalam kulit seperti endodermis, eksodermis, dan
mesodermis.
3) Jenis karsinoma adenoid kistik
Benjolan kecil yang berkembang dibawah kulit pada batang leher wajah tumbuh
lambat dan sering menyakitkan yang mudah digerakan, serta berbagai jenis sarkoma
dan limfoma maligna.

2.3.2. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring sudah hampir dapat dipastikan bahwa faktor
pencetus terbesarnya ialah suatu jenis virus yang disebut virus Epstein-Barr (Soepardi et
al, 1993). Karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr
(EB) yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas
leher dan kepala lainnya dan tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring
yang lain sekalipun (Soepardi et al, 2012). Selain dari itu terdapat juga faktor predisposisi
yang mempengaruhi pertumbuhan tumor ganas ini, seperti:

1) Faktor Ras
Banyak ditemukan pada ras Mongoloid, terutama di daerah Cina bagian selatan
berdasarkan hasil pengamatan cara memasak tradisional sering dilakukan dalam ruang
tertutup dan dengan menggunakan kayu bakar (Soepardi et al, 1993).
2) Faktor Genetik
Tumor ini atau tumor pada organ lainnya ditemukan pada beberapa generasi dari
suatu keluarga (Soepardi et al, 1993).
3) Faktor Sosial Ekonomi
Faktor yang mempengaruhi ialah keadaan gizi, polusi dan lain-lain (Soepardi etal,
1993).
4) Faktor Kebudayaan
Kebiasaan hidup dari pasien, cara memasak makanan serta pemakaian berbagai
macam bumbu masak mempengaruhi tumbuhnya tumor ini dan kebiasaan makan
makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan
makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring (Soepardiet al, 2012). Beberapa
penelitian juga menyebutkan hubungan antara kanker nasofaring dengan kebiasaan

30
memakan ikan asin secara terus menerus dimulai dari masa kanak-kanak. Konsumsi
ikan asin meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak
mengkonsumsi ikan asin (Ondrey dan Wright, 2003 cit Ariwibowo, 2013). Ikan asin
dan makanan yang diawetkan menggunakan larutan garam akan mengubah senyawa
yang terkandung dalam ikan yakni senyawa nitrat menjadi senyawa nitrosamin. Tubuh
mengkonsumsi makanan tinggi garam dapat menurunkan kadar keasaman lambung,
sehingga dapat memicu perubahan nitrat pada ikan asin atau makanan yang
mengandung tinggi garam menjadi nitrit dan nitrosamin yang bersifat karsinogenik
pemicu kanker (Barasi, 2007). Rendahnya kadar vitamin C sewaktu muda dan
kekurangan vitamin A dapat merubah nitrat menjadi nitrit dan senyawa nitrosamin
menjadi zat karsinogen pemicu kanker (Ballenger,
2010).
5) Letak Geografis
Terdapat banyak di Asia Selatan, Afrika Utara, Eskimo karena penduduknya sering
mengonsumsi makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin
menyebabkan tingginya kejadian kanker nasofaring (Soepardi etal, 2012).
6) Jenis Kelamin
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan disebabkan
kemungkinan ada hubungannya dengan faktor kebiasaan hidup laki-laki seperti
merokok, bekerja pada industri kimia cenderung lebih sering menghirup uap kimia dan
lain-lain (Soepardi et al, 2012).
7) Faktor lingkungan
Faktor yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu
yang dihasilkan dari memasak menggunakan kayu bakar, terutama apabila pembakaran
kayu tersebut tidak sempurna dapat menyebarkan partikel-partikel besar (5-10
mikrometer) yang dalam segi kesehatan dapat tersangkut di hidung dan nasofaring,
kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit hidung, maka
partikel ini akan menetap lebih lama di daerah nasofaring dan dapat merangsang
tumbuhnya tumor (Ballenger, 2010).
8) Radang kronis daerah nasofaring

31
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan (Iskandar etal, 1989).

2.3.3. Manifestasi Klinis


Karsinoma Nasofaring bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka
diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting
(Roezin,Anida, 2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius.
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga
tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang
terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan.
Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran
gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009).

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga
oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan
ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi
akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala
menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya
ingus kental.

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit
ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin,
Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009). Pembesaran kelenjar limfe leher yang
timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri.
Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum
tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh.

Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot
di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini

32
merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala
utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita,
2009). Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopial), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah
sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman.

Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena
tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi
pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan
Nurlita, 2009). Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama
aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini
yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

2.3.4. Patofisiologi
Kanker nasofaring dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab dari
kanker nasofaring ini adalah adanya virus eipstein yang dapat menyebabkan ca nasofaring.
Sel yang terinfeksi oleh sel EBV akan dapat menghasilkan sel-sel tertentu yang berfungsi
untuk mengadakan proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus dalam sel host.
Beberapa protein ini dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1, LPM-
1, LPM-2 dan LPM-2B. EBV dapat mengaktifkan zat karsinogenik yang menyebabkan
stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadilah deferensia
dan proliferasi protein laten, sehingga memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring
terutama pada fossa rossenmuller (Elizabeth Corwin, 2009).

Dinding tumor biasanya rapuh oleh rangsangan dan sentuhan sehingga dapat terjadi
perdarahan hidung yang ditunjukkan dengan keluarnya darah secara berulang-ulang
dengan jumlah yang sedikit dan kadang-kadang bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna kemerahan. Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor
ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-

33
kadang disertai dengan ganggguan penciuman dan ingus kental. Sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar yang terus
melekat pada otot akan sulit untuk digerakan (Elizabeth Corwin, 2009).

Nasofaring berhubungan dengan rongga melalui beberapa lubang, maka gangguan


syaraf dapat juga terganggu. Jika tumor menjalar melalui foramen laserum akan mengenai
syaraf otak ke III,I V, VI dan dapat mengenai syaraf otak ke V, sehingga dapat terjadi
penglihatan ganda yang juga disebut diplopia. Proses karsinoma lebih lanjut akan
mengenai syaraf otak IX, X, XI jika menjalar melalui foramen jugular dan menyebabkan
syndrome Jackson. Bila sudah mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral,
dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak. Sel-sel kanker dapat ikut bersama
aliran darah dan mengenai bagian organ tubuh yang jauh dari nasofaring. Organ yang
paling sering terkena adalah tulang, hati dan paru. (Elizabeth Corwin, 2009).

34
2.3.5. WOC Kanker Nasofaring

35
2.3.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan nasofaring
2. Biopsi Diagnotik histologik atau sitologik dapat ditegakkan bila dikirim suatu
materialhasil biopsihisapan(aspirasi), atau sikatan (brush), biopsi dapat
dilakukan dengan2 cara, yaitu darihidung atau dari mulut. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesitopikal dengan xylocain 10%.
3. Pemeriksaan Patologi AnatomiDibagi 3 tipe berdasarkan WHO yaitu:
a) Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, tipe ini dapat dibagi lagi menjadi
difrensiasibaik sedang dan buruk.
b) Karsinoma non-keratinisasi, pada tipe ini dijumpai adanya difrensiasi, tetapi
tidakditemukan difrensiasi sel skuamosa. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.
c) Karsinoma tidak berdiferensiasi, pada tipe ini sel tumor secara
individumemperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat
dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.
4. Mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnyaFoto
Polos, dapat terdeteksi dengan jelas jika tumor tersebut cukup besar. CT-scan,
lebih unggul dari foto polos karena mampu membedakan bermacam-
macamdensitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun
perubahan-perubahan pada tulang.

2.3.7. Penatalaksanaan
Memilih terapi kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan
yakni jenis kanker, kemosensitivitas atau resisten, populasi sel kanker, persentasi sel
kanker yang terbunuh, siklus pertumbuhan kanker, imunitas tubuh dan efek samping terapi
yang diberikan (Sukardja, 2000). Terapi medik yang dapat digunakan untuk mengobati
karsinoma nasofaring ialah :
1) Radioterapi
Terapi radiasi adalah mengobati penyakit dengan menggunakan gelombang atau
partikel energi radiasi tinggi yang dapat menembus jaringan untuk menghancurkan sel
kanker (Kelvin dan Tyson, 2011). Radio terapi masih memegang peranan terpenting

36
dalam pengobatan karsinoma nasofaring (SoejiptocitIskandaret al, 1989). Radioterapi
merupakan pengobatan utama, sedangkan pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetra siklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan antivirus (Soepardiet al, 2012). Dosis yang diberikan 200 rad /
hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk tumor primer, untuk kelenjar leher yang
membesar diberikan 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran diberikan juga radiasi elektif
sebesar 4000 rad (SoejiptocitIskandar et al, 1989). 19 Kesulitan-kesulitan yang
dihubungkan dengan pemberian terapi radiasi dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan
lanjut. Kompilikasi dini dan lanjut tersebut dapat berupa mukositis dengan disertai rasa
tidak enak pada faring, hilangnya nafsu makan (anoreksia), nausea (mual) dan
membran mukosa yang kering (Adams, 1994).
2) Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan obatobatan. Kemoterapi dapat
menjalar melalui tubuh dan dapat membunuh sel kanker dimanapun di dalam tubuh.
Kemoterapi juga dapat merusak sel normal dan sehat, terutama sel sehat dalam lapisan
mulut dan sistem gastrointestinal, sumsung tulang serta kantung rambut (Kelvin dan
Tyson, 2011).
3) Terapi Kombinasi
Merupakan terapi kombinasi dari beberapa terapi. Seperti kombinasi antara kemo-
radioterapi dengan motomycin C dan 5- fluorouracil memberikan hasil yang cukup
memuaskan dan memperlihatkan hasil yang memberi harapan kesembuhan total pasien
karsinoma nasofaring (SoetjiptocitIskandaret al, 1989).
4) Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih (SoetjiptocitIskandaret al, 1989). Operasi tumor induk
sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi.

37
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan inflamasi kronis mukosa dan
periosteum telinga bagian tengah dan kavum mastoid. Manifestasi otitis media supuratif
kronik berupa otorea berulang yang keluar melalui gendang telinga yang mengalami
perforasi. World Health Organization (WHO) menyatakan otorea ninimal 2 mingu sudah
masuk dalam kategori OMSK, namun ahli-ahli THT menyatakan durasi lebih dari tiga
bulan merupakan kasus OMSK, sedangkan literatur lain menyatakan lebih dari enam
minggu. Otorea dapat terjadi terus menerus atau hilang timbul (WHO, 2004).

Berdasarkan perforasi, OMSK dibagi menjadi 2 tipe yaitu OMSK tipe aman (tipe
mukosa, benigna, tanpa kolesteatoma) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna,
dengan kolesteatoma).

Retinoblastoma adalah suatu keganasan intraokular primer yang paling sering pada
bayi dan anak dan merupakan tumor neuroblastik yang secara biologi mirip dengan
neuroblastoma dan meduloblastoma (Skuta et al. 2011) (Yanoff M, 2009).

Retinoblastoma atau kanker mata merupakan tumor ganas intraokular primer,


artinya tumor yang tumbuh dan berkembang pada bagian dalam retina akibat dari
transformasi keganasan sel primitif pada retina sebelum berdeferensiasi, kanker ini
menyerang sel embrionik pada retina. Retinoblastoma dapat menyerang siapa saja, namun
pada umumnya Retinoblastoma menyrang pada anak-anak dan lebih dari 90% kasus
Retinoblastoma sebelum usia 5 tahun (American Cancer Society, 2013).

Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang timbul di daerah nasofaring area di
atas tenggorok dan dibelakang hidung. Terdapat bebrapa jenis kanker nasofaring, antara
lain karsinoma epidermoid yaitu tumor yang berasal dari sel yang melapisi organ-organ
internal biasanya timbul dari jaringan epitel kulit atau epidermis kulit dan kebanyakan
berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar yang mengeluarkan minyak dari dalam kulit,
adenokarsinoma yaitu tumor yang berasal dari bagian dalam kulit seperti endodermis,
eksodermis, dan mesodermis, dan karsinoma adenoid kistik berupa benjolan kecil yang

38
berkembang dibawah kulit pada batang leher wajah tumbuh lambat dan sering menyakitkan
yang mudah digerakan, serta berbagai jenis sarkoma dan limfoma maligna.

3.2. Saran
Organ persepsi sensori atau alat indera seperti hidung, mata, dan telinga memiliki
peranan penting sebagai penangkap stimulus atau rangsangan dari luar. Adanya gangguan
atau penyakit pada organ persepsi sensori tersebut akan mempengaruhi kinerja tubuh pada
umumnya.

Pada system persepsi sensori ditemukan berbagai macam gangguan dan kelainan,
baik karena faktor genetik maupun disebabkan faktor luar, seperti virus dan lainnya. Maka
dari hal tersebut kita harus menjaga kesehatan system persepsi sensori kita. Karena jika
terdapat kelainan, maka akan sangat menganggu pada kesehatan kita.

39
DAFTAR PUSTAKA

Istiqomah, Indriana, N., 2005, Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata, editor, Monica
Ester. EGC, Jakarta.

Ganong, William, F., 1998, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, EGC, Jakarta.

Ilias S, Kedaruratan dalam ilmu penyakit mata, Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1985.

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Prof.dr.Sidarta Ilyas SpM dkk, 2002, sagung seto. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan
mahasiswa kedoteran edisi 2,

Suddarth & Brunner, Keperawatan Medikal Bedah, 2002. EGC: Jakarta

Wilkinson, J., & Ahern, n. R. (2013). Buku Saku Diagnosis keperawatan edisi 9 Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.

Komite Nasional Penanggulangan Kanker. (2015). Renitoblastoma: Panduan Nasional


Penanganan Kanker. Jakarta. Kemenkes.

Sinambela Aurika, H.M. (2017). Peran Radioterapi dalam Tatalaksana Retinoblastoma.


Jakarta. Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol.8 (2) Juli 2017:77-83.

Faisal, Hamida Hayati. 2016. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi.

Aninditia Toari (2017). Lama Sakit, Letak Perforasi Dan Bakteri Penyebab Otitis Media
Supuratif Kronik Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Jenis Dan Derajat Kurang
Pendengaran Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronik (Omsk). Universitas
Diponegoro.

40
Huda, A, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis: Berdasarkan Penerapan Diagnosa
Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus, Jilid 2. Yogyakarta: MediAction.

Shields CL, Shields JA. Diagnosis and Management of Retinoblastoma. Cancer Control.
2004: 11(5):317-327. www.medscape.com.

Yanoff M, Fine BS. Chapter 18 Retinoblastoma and Pseudoglioma: Retinoblastoma. Ocular


Pathology: 686-98.

Sihota R, Tandon R. Retinoblastoma inn Parson’ Disease of the Eye, 20th ed, 2007 : 357-60

Aventura ML. Retinoblastoma. www.medscape.com

Honavar SG.Emerging options in the management of advanced intraocular retinoblastoma.Br


J Ophthalmol 2009;93:848/849

Nursiah S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap Beberapa
Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Medan : FK USU.
2003.

WHO. Chronic suppurative otitis media burden off illness and management options. Child
and Adolescent Health and Development Prevention of Blindness and Deafness. Geneva
Switzerland. 2004.

Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bagian
Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Bedah Kepala Leher. Kampus USU. 2007.

Farida et al. Alergi Sebagai Faktor Resiko Terhadap Kejadian Otitis Media Supuratif Kronik
Tipe Benigna. Medical Faculty of Hasanuddin. 2009.

Djaafar ZA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher. Edisi 6.
Jakarta : FKUI.2007.

Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies, Buku Ajar
Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.

Anonim. Otitits Media Kronik. 2009.

41
Meyer TA, Strunk CL, Lambert PR. Cholesteatoma. In : Newlands SD et.al (editor). Head &
neck surgery otolaryngology. 4th ed. 2006. Philadelphia : Lippincolt williams & wilkins.
h. 2081-91.

Anonim. Ear Discharge. 2008.

Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif Kronik Jinak
Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.

Parry D. Middle Ear, Chronic Suppurative Otitis, Medical Treatment:Follow-Up.

Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor). Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala, dan leher. Edisi 6. 2009. Jakarta : FKUI. h.86.

Judith M. Wilkinson, 2009 . Diagnosis Keperawatan ( NIC & NOC ) . Jakarta . EGC

NANDA internasional . 2009 . Diagnosis Keperawatan . Jakarta . EGC

Brunner & suddarth. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Vol.3. Ed 8: Jakarta: EGC

Mansjoer, Arief, dkk.1999.Kapita Selekta Kedokteran,Edisi 3: Jakarta, Mediaacs culapiu

Istiqomah, Indriana, N., 2005, Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata, editor, Monica
Ester. EGC, Jakarta.

Dapus : Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi.Jakarta: ECG

Canty, C. A. (2009) ‘Retinoblastoma: An overview for advanced practice nurses’, Journal of


the American Academy of Nurse Practitioners. doi: 10.1111/j.1745-7599.2008.00378.x.

42
43

Anda mungkin juga menyukai