Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia trigeminal merupakan salah satu bentuk nyeri neuropatik yang


terjadi di area wajah. Disebut neuralgia trigeminal karena nyeri di wajah terjadi
akibat peradangan pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal
(Nervus kranialis V). Neuralgia trigeminal menyebabkan nyeri yang singkat,
tajam, dan dengan kualitas yang berat, biasanya pada satu sisi wajah, dagu, atau
area dekat mata.1

Neuralgia trigeminal merupakan nyeri wajah kronis tersering, umumnya


terjadi pada usia diatas 50 tahun, dan lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan pria.1 Angka kejadian neuralgia trigeminal pada populasi umum
sebesar 0,015%. Angka insiden neuralgia trigeminal tetap konstan antara
12,6/100.000/tahun sampai 27/100.000/tahun. Neuralgia trigeminal jarang terjadi
di usia kurang dari 40 tahun dengan insiden 0,2/100.000/tahun.2

Sampai saat ini, penyebab utama dari neuralgia trigeminal belum diketahui
secara pasti, namun penyebab tersering yang dilaporkan adalah kompresi saraf
oleh pembuluh darah. Timbulnya nyeri dapat dipicu dengan berbicara, menyikat
gigi, menyentuh wajah, mengunyah, atau menelan. Episode nyeri umumnya
berlangsung sebentar dalam hitungan detik hingga menit, tetapi beberapa episode
dapat berlangsung berurutan. Episode nyeri dapat terjadi beberapa kali dalam
sehari dan dapat terjadi berbulan-bulan.3

Neuralgia trigeminal merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat


mengganggu kenyamanan hidup penderita. Pemberian obat pada penyakit ini
cukup efektif, tetapi karena penyakit ini sering disalahartikan penyebabnya,
pengobatan neuralgia trigeminal cenderung tidak tuntas.3
BAB II
ISI

2.1 Definisi
Neuralgia trigeminal adalah suatu keadaan yang memengaruhi Nervus
V, dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat, seperti
sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi
rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit
mulut dapat pula terserang.2

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Nervus Trigeminus

Nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Inti


motoriknya terletak di pons dengan serabut motorik yang mempersarafi
muskulus masseter, temporalis, pterigoideus internus dan eksternus, tensor
timpani, omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus. Serabut-
serabut motoriknya bergabung dengan serabut-serabut sensorik nervus
trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri (ganglion semilunaris). Serabut
sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba, dan proprioseptif area
wajah, mukosa lidah, rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls
proprioseptif terutama berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang
mandibular sampai ke ganglion Gasseri.4
Cabang pertama nervus V adalah cabang oftalmikus yang
menghantarkan impuls protopatik dari bola mata serta ruang orbita, kulit dahi
sampai vertex. Serabut-serabut dari dahi menyusun nervus frontalis masuk
melalui ruang orbita melalui foramen supraorbital. Serabut-serabut dari bola
mata dan rongga hidung bergabung menjadi seberkas saraf yang dikenal
sebagai nervus nasosiliaris. Berkas saraf yang menuju ke glandula lakrimalis
dikenal sebagai nervus lakrimalis. Ketiga berkas saraf, yakni nervus frontalis,
nervus nasosiliaris, dan nervus lakrimalis saling mendekat pada fisura
orbitalis superior dan di belakang fisura tersebut bergabung menjadi cabang I
(nervus oftalmikus).4
Cabang kedua adalah cabang maksilaris yang hanya tersusun oleh
serabut-serabut somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari
pipi, kelopak mata bagian bawah, bibir atas, hidung dan sebagian rongga
hidung, geligi rahang atas, ruang nasofarings, sinus maksilaris, palatum molle
dan atap rongga mulut. Nervus maksilaris masuk ke dalam rongga tengkorak
melalui foramen rotundum kemudian menembus duramater untuk berjalan di
dalam dinding sinus kavernosus dan berakhir di ganglion Gasseri.4
Cabang ketiga ialah cabang mandibularis yang tersusun oleh serabut
somatomotorik dan sensorik serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-
serabut somatomotorik muncul dari daerah lateral pons menggabungkan diri
dengan berkas serabut sensorik yang dinamakan cabang mandibular ganglion
gasseri. Di bagian depan fossa infratemporalis, cabang ketiga Nervus V
bercabang dua, yang satu terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang
belakang merupakan pangkal dari saraf aferen dari kulit daun telinga (nervus
aurikulotemporalis), kulit yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah,
dua pertiga bagian depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan gusi
rahang bawah ( nervus dentalis inferior) dan serabut eferen yang
mempersarafi otot-otot omohioideus dan bagian anterior muskulus
digastrikus.4

2.3 Etiologi
Banyak kasus Neuralgia trigeminal yang idiopatik, tetapi penekanan
atau kompresi pada akar saraf trigeminal oleh tumor atau kelainan pembuluh
darah sering dilaporkan menjadi penyebab terjadinya Neuralgia trigeminal.
Bentuk klasik neuralgia trigeminal dianggap idiopatik, termasuk kasus-kasus
yang disebabkan oleh kontak antara saraf dengan pembuluh darah, seperti
arteri serebral superior. Bentuk simtomatik neuralgia trigeminal dapat
disebabkan oleh aneurisma, tumor, peradangan meningens kronis, atau lesi
lainnya yang dapat mengiritasi akar saraf trigeminal di sepanjang pons.3

2.4 Patofisiologi
Terdapat beberapa teori yang melatarbelakangi terjadinya neuralgia
trigeminal, yaitu :
1. Teori penyebab perifer
Terdapat beberapa mekanisme yang diduga menjadi penyebab
terjadinya neuralgia trigeminal. Mekanisme pertama adalah mekanisme
inflamasi, dimana kerusakan pada serabut saraf akan mengakibatkan
penurunan ambang aktivasi nosiseptor dan peningkatan eksitabilitas
serabut saraf, terjadi pelepasan sitokin pro-inflamasi, growth factor, enzim
hidrolitik, serta nitric oxide (NO).5
Mekanisme patofisiologi perifer lainnya adalah mekanisme eksitasi
silang antar serabut saraf. Fenomena ini terjadi karena adanya transmisi
potensial aksi dari serabut saraf yang mengalami kerusakan serta
mengalami hipereksitasi kepada serabut saraf yang berdekatan yang tidak
mengalami kerusakan. Area elektromagnetik yang terbentuk pada serabut
saraf yang mengalami kerusakan menyebabkan terjadinya depolarisasi
pada serabut saraf yang berdekatan sehingga menyebabkan eksitasi silang.
Mekanisme ini merupakan kontributor terjadinya allodynia dan
hyperalgesia.5
Terdapat mekanisme patofisiologi perifer lainnya yang dipakai
pada saat ini, yaitu teori kompresi pada nervus trigeminus. Neuralgia
trigeminal dapat disebabkan karena pembuluh darah yang berjalan
bersama dengan nervus trigeminus menekan jalan keluar cabang-cabang
nervus trigeminus di batang otak, misalnya pada foramen ovale dan
foramen rotundum. Penekanan yang paling sering terjadi terdapat pada
ganglion gasseri, yaitu ganglion yang mempercabangkan tiga ramus
nervus trigeminus. Pembuluh darah yang berdekatan dengan ganglion
gasseri tersebut akan menyebabkan rasa nyeri ketika pembuluh darah
tersebut berdenyut dan bersentuhan dengan ganglion. Kompresi oleh
pembuluh darah ini lama kelamaan akan membuat mielin dari nervus
tersebut rusak, sehingga penghantaran impuls menjadi tidak baik, akan
terjadi rasa nyeri sebagai akibat dari kerusakan jaringan mielinnya.3
2. Teori penyebab sentral
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Karlov (1980) yang
menyatakan bahwa konjugasi trigeminal nervous system (TNS) yang
menuju sistem saraf pusat memiliki kemampuan untuk melakukan aksi
inhibisi terhadap formasi segmental dan suprasegmental. Teori ini
didukung oleh Smith dan McDonald (1982) yang menyatakan bahwa
demielinisasi kemungkinan merupakan sumber dari timbulnya gangguan
fungsional pembentukan pusat nyeri yang dominan pada segmental
apparatus di batang otak serta pusat otak suprasegmental sehingga distrofi
progresif pada TNS menstimulasi mekanisme patogenesis sentral pada
neuralgia trigeminal.6
Pada multiple sclerosis dapat terjadi neuralgia trigeminal karena
adanya proses demielinisasi dari sistem saraf pusat sehingga mengenai
nervus trigeminus. Mielin yang rusak menyebabkan degenerasi akson
sehingga terjadi kerusakan saraf secara menyeluruh. Kerusakan mielin
juga mempengaruhi hilangnya sistem inhibisi pada saraf tersebut, sehingga
impuls yang masuk tidak diinhibisi dan terjadi sensibilitas yang lebih kuat
dari yang seharusnya dirasakan.6

2.5 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis Neuralgia trigeminal, IHS (International


Headache Society) menetapkan kriteria diagnostik untuk Neuralgia trigeminal
sesuai ICHD3-beta, adalah sebagai berikut.2
A. Setidaknya tiga kali serangan nyeri pada wajah yang unilateral yang
memenuhi kriteria B dan C
B. Mengenai satu atau lebih area cabang saraf trigeminal, tanpa penjalaran
keluar area distribusi
C. Nyeri harus sedikitnya memenuhi tiga diantara karakteristik berikut.
1) Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik
sampai dua menit
2) Intensitas berat
3) Kualitas nyeri tajam, menusuk, atau seperti tersengat listrik
4) Diawali oleh stimulus ringan pada area wajah yang terkena
D. Tidak ada defisit neurologis.
E. Tidak memenuhi kriteria diagnosis penyakit lain pada ICHD-3.
Adapun kriteria lain yang biasa digunakan dalam penegakan diagnosis
Neuralgia trigeminal berdasarkan kriteria diagnosis oleh IASP (International
Association for the Study of Pain), yaitu :2
A. Nyeri daerah orofasial sesuai distribusi saraf trigeminal atau area intra-
oral
B. Nyeri bersifat paroksismal
C. Nyeri dipicu oleh manuver tertentu.
Penegakan diagnosis neuralgia trigeminal biasanya cukup meliputi
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan kriteria diagnosis yang
digunakan. Pada anamnesis yang perlu diperhatikan adalah lokalisasi nyeri,
onset dimulainya nyeri, menentukan kualitas dan kuantitas nyeri, interval
bebas nyeri, respon terhadap pengobatan, serta menanyakan apakah ada
riwayat penyakit lain untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain.
Nyeri setidaknya dirasakan berupa sensasi menyebar sepanjang satu atau
lebih cabang N. trigeminus, onset dan terminasinya terjadi tiba-tiba, kuat,
tajam, superficial, serasa menusuk atau membakar, intensitas nyeri hebat,
biasanya unilateral, dapat timbul spontan atau dipicu oleh aktifitas sehari
seperti makan, mencukur, bercakap cakap, membasuh wajah atau menggosok
gigi, area picu dapat ipsilateral atau kontralateral, dan diantara serangan, tidak
ada gejala sama sekali.3
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan neurologis,
pemeriksaan myofasial kepala dan leher, pemeriksaan intraoral, evaluasi
pergerakan leher dan rahang, dan evaluasi funduskopi. Pada pemeriksaan
fisik neurologi dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak
menderita sedangkan diluar serangan tampak normal. Reflek kornea dan
test sensibilitas untuk menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus
bilateral. Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai fungsi otot
maseter (otot pengunyah) dan fungsi otot pterigoideus. Kemudian tes
lain yaitu dengan memblokir secara selektif daerah yang mengalami
nyeri dengan anestesi lokal (2% Xylocaine; 1:80000) untuk melihat batas
daerah nyeri.3
Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila terdapat keadaan
abnormal yang ditemukan pada saat anamnesa dan pemeriksaan fisik,
yaitu onset nyeri yang baru, nyeri yang berkembang dengan cepat,
onset nyeri yang baru pada pasien dengan penyakit sistemik seperti
kanker dan HIV, onset nyeri pada pasien yang berusia 50 tahun
keatas, keadaan abnormal yang ditemukan pada saat pemeriksaan
neurologis, nyeri yang disertai demam dan rasa tegang pada leher,
pergerakan rahang dan leher yang tidak normal, dan nyeri yang disebabkan
oleh pergerakan leher dan rahang.Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan
untuk membedakan Neuralgia trigeminal klasik (idiopatik) dan
simptomatik. CT -Scan kepala untuk melihat tumor. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) untuk melihat plak pada multipel sklerosisdan pontine
gliomas, dan Magnetic Resonance Angiography (MRA) merupakan MRI
dengan resolusi yang lebih tinggi untuk melihat ada tidaknya penekanan
oleh pembuluh darah.4

2.6 Penatalaksanaan
Terdapat berbagai macam pilihan terapi farmakologis dan pembedahan
pada tatalaksana neuralgia trigeminal dan sebagian besar bermanfaat bagi
pasien. Terapi farmakologis harus menjadi pilihan pertama, dan hanya setelah
dua upaya pengobatan gagal, barulah intervensi bedah dapat dipertimbangkan
pada pasien. Antara 33 hingga 50% pasien memerlukan intervensi bedah7.
2.6.1 Terapi Farmakologi
Carbamazepine (200-1200 mg/hari) dan oxcarbazepine (600–1800 mg/
hari) harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama, sesuai dengan
pedoman pengobatan yang telah diterima secara umum. Meskipun
carbamazepine memiliki bukti yang lebih kuat, namun oxcarbazepine
umumnya dianggap lebih dapat ditoleransi. Terapi lini kedua meliputi terapi
tambahan dengan lamotrigin (400 mg/hari), atau penggunaan lamotrigine
sebagai monoterapi, atau penggunaan baclofen (40–80 mg/hari). Pimzide (4-
12 mg/hari) jarang dipakai dalam penggunaan klinis. Obat antiepilepsi
lainnya yang juga memiliki manfaat bagi pasien neuralgia trigeminal
termasuk clonazepam, pregabalin, gabapentin, fenitoin, topiramate, valproate,
dan tocainide7.
a. Carbamazepine
European Federation of Neurological Society (EFNS) memilih
carbamazepine sebagai obat pilihan untuk pengobatan neuralgia
trigeminal. Carbamazepine juga merupakan satu-satunya obat yang
disetujui oleh FDA untuk pengobatan neuralgia trigeminal.
Carbamazepine adalah antikonvulsan yang bekerja dengan menghambat
aktivitas saluran natrium dan modulasi saluran kalsium. Dalam beberapa
penelitian, carbamazepine memberikan kontrol nyeri tingkat tinggi (58%
hingga 100%), sedangkan tingkat keberhasilan plasebo hanya 0% hingga
40%. Namun, harus diwaspadai efek tachyphylaxis dengan penggunaan
carbamazepine8.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 100 hingga 200 mg yang
dikonsumsi dua kali sehari dan kemudian secara bertahap ditingkatkan
menjadi 200 mg. Dosis pemeliharaan adalah 600 hingga 1200 mg yang
terbagi dalam beberapa dosis dengan kadar obat dalam darah yang
diperlukan untuk mencapai dosis terapeutik adalah 4 hingga 12 ug/ml.
Waktu paruh awal carbamazepine adalah sekitar 30 jam, tetapi karena
induksi sitokrom P450, berkurang menjadi 10 hingga 12 jam8.
Efek samping yang umum termasuk sedasi, pusing, mual, muntah,
diplopia, gangguan memori, ataksia, peningkatan enzim hati, dan
hiponatremia, yang dapat menjadi kontraindikasi untuk pasien usia
lanjut. Efek samping yang berpotensi serius tetapi tidak umum adalah
leukopenia, anemia aplastik, ruam alergi, lupus eritematosus sistemik,
hepatotoksisitas, dan sindrom Stevens-Johnson (SJS). Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, serum natrium, dan tes
fungsi hati dalam beberapa minggu setelah terapi dimulai untuk
mendeteksi komplikasi dengan cepat9.
b. Oxcarbazepine
Oxcarbazepine adalah analog dari carbamazepine yang memiliki
mekanisme aksi yang sama, yaitu bekerja dengan cara memblok saluran
natrium. Baik oxcarbazepine dan carbamazepine terbukti sama-sama
efektif dalam mengurangi serangan nyeri pada sebagian besar pasien
neuralgia trigeminal8. Penggunaan oxcarbazepine lebih dipilih
dibandingkan dengan carbamazepine karena risiko terjadinya interaksi
obat lebih jarang dan tolerabilitasnya yang lebih baik3.
Penggunaan oxcarbazepine dapat dimulai dengan dosis 150 mg dua
kali sehari, kemudian dosis dapat ditingkatkan sebesar 300 mg setiap tiga
hari sampai rasa sakit hilang. Dosis pemeliharaan berkisar antara 300-
600 mg dua kali sehari. Dosis total maksimum yang disarankan adalah
1800 mg/hari. Risiko reaktivitas silang alergi antara carbamazepine dan
oxcarbazepine sekitar 25%, sehingga penggunaan oxcarbazepine
sebaiknya dihindari ketika pasien terbukti alergi terhadap
carbamazepine9.
Selain itu, banyak pasien neuralgia trigeminal mendapatkan
manfaat dari penggunaan obat tambahan yang menggabungkan
carbamazepine atau oxcarbazepine dengan lamotrigine, baclofen,
pregabalin atau gabapentin. Pengobatan kombinasi harus
dipertimbangkan ketika carbamazepine atau oxcarbazepine tidak dapat
mencapai dosis penuh karena efek samping yang ditimbulkan. Masing-
masing obat yang disebutkan di atas juga baik sebagai agen monoterapi,
meskipun bukti yang tersedia sangat lemah3.
c. Lamotrigine
Suatu penelitian menemukan bahwa terapi tambahan dengan
lamotrigine (400 mg/hari) lebih bermanfaat dan lebih efektif daripada
penggunaan placebo pada 14 pasien dengan neuralgia trigeminal yang
refrakter terhadap terapi carbamazepine. Lamotrigine adalah obat
antiepilepsi yang bekerja menstabilkan membran neuronal dengan
menghalangi aktivasi saluran natrium dan menghambat pelepasan
neurotransmitter glutamate pada presinaptik9.
Lamotrigine memiliki potensi untuk menjadi antinociceptive dan
mencegah mekanisme yang bertanggung jawab untuk pembentukan nyeri
kronis. Kaminow et al. dalam sebuah penelitian menunjukkan hasil klinis
yang lebih baik dari monoterapi lamotrigine dibandingkan dengan
carbamazepine pada pasien dengan epilepsi10. Pada pasien neuralgia
trigeminal, lamotrigine mungkin dikaitkan dengan efek samping yang
lebih sedikit daripada carbamazepine dan oxcarbazpine11.
Dosis awal lamotrigin adalah 25 mg yang diberikan dua kali sehari,
dan dapat ditingkatkan secara bertahap hingga dosis pemeliharaan 200-
400 mg/hari dalam 2 dosis terbagi. Dosis yang diperlukan untuk
mendapatkan efek terapeutik cukup bervariasi, mulai dari 100-400
mg/hari. Lamotrigine dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi carbamazepine dan oxcarbazepine, atau sebagai tambahan
pengobatan, namun memiliki kualitas bukti yang sangat lemah11.
Efek samping yang umum adalah mengantuk, pusing, sakit kepala,
vertigo, dan ataksia. Beberapa pasien (7-10%) mengalami ruam kulit
setelah penggunaan lamotrigine selama 1-2 bulan perawatan awal dan
membaik dengan terapi lanjutan. Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi
pada satu dari 10.000 pasien yang memakai lamotrigine9.
d. Baclofen
Baclofen adalah analog GABA yang mengaktifkan reseptor GABA
B dan dengan demikian menekan transmisi neurotransaktif. Efektif dalam
mengendalikan nyeri pada neuralgia trigeminal dengan dosis 60-80
mg/hari. Baclofen dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
carbamazepine. Dosis awal yang dapat diberikan adalah 10 mg/hari
selama 3 hari, yang dapat ditingkatkan menjadi 10-20 mg/hari setiap 3
hari jika diperlukan. Dosis maksimum yang dapat ditoleransi adalah 60-
80 mg/hari, diberikan 3-4 kali per hari9.
Efek samping khas baclofen termasuk mengantuk, pusing, lemah,
lelah, mual, hipotensi, dan sembelit. Penghentian baclofen yang tiba-tiba
menimbulkan gejala withdrawal berupa halusinasi dan kejang. Pasien
dengan miastenia gravis dan trigeminal neuralgia mendapatkan manfaat
tambahan dengan baclofen karena kerjanya sebagai pelemas otot. Sampai
saat ini, baclofen memiliki bukti terkuat untuk keefektifan dalam
pengobatan neuralgia trigeminal setelah carbamazepine9.
e. Pimozide
Pimozide adalah antagonis reseptor dopamine yang digunakan
terutama dalam pengobatan sindrom Tourette. Dalam suatu penelitian,
pimozide ditemukan efektif mengobati 40 dari 48 pasien dengan
neuralgia trigeminal refraktori. Namun penggunaan pimozide dengan
dosis 2-12 mg/hari dalam pengobatan neuralgia trigeminal jarang
digunakan karena memiliki beberapa efek samping serius termasuk
aritmia, gejala ekstrapiramidal akut, dan parkinsonisme9.
Tabel 2.1 Terapi farmakologi neuralgia trigeminal7
Terapi lini pertama Carbamazepine (600-1200 mg/hari)
atau
Oxcarbazepine (600-1800 mg/hi)a

Terapi lini kedua Tambahkan atau ganti dengan


lamotrigine (400 mg/hari)
Baclofen (40-80 mg/hari)
Pimozide (4-12 mg/hari)

Terapi medis Pregabalin (150-600 mg/hari)


alternatif Gabapentin (900-3600 mg/hari)
Topiramate (100-400 mg/hari)
Tocainide (20 mg/hari)
Valproate (600-2400 mg/hari)

Pada eksaserbasi akut, perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan


untuk dilakukan titrasi obat anti-epilepsi dan rehidrasi. Pereda nyeri akut
sangat penting untuk diberikan agar dokter memiliki waktu untuk
menyesuaikan obat oral yang akan diberikan dan mempertimbangkan
kemungkinan intervensi bedah saraf. Fosfenytoin dan lidokain intravena
efektif untuk menghilangkan rasa sakit dalam kondisi eksaserbasi akut, tetapi
tidak terdapat cukup bukti yang memadai. Sedangkan, tidak ada laporan yang
mendukung penggunaan opioid dalam tatalaksana eksaserbasi akut neuralgia
trigeminal11.
Terdapat beberapa pengobatan baru untuk terapi neuralgia trigeminal
yang saat ini sedang dalam penelitian, antara lain adalah injeksi lokal
botulinum neurotoxin tipe A dan sodium channel blocker yang baru
(BIB074) yang secara selektif memblok Na 1,7 sodium channel7.
Botulinum neurotoxin tipe A (BoNT-A) efektif dalam pengobatan
neuralgia trigeminal dalam penelitian terbaru. Mekanisme farmakologinya
masih belum jelas tetapi termasuk pelepasan lokal neuropeptida anti-
nociceptive seperti glutamat, zat P, dan peptida yang berhubungan dengan
gen kalsitonin (CGRP) untuk mengurangi sensitisasi sentral dan perifer.
Sebuah studi acak, terkontrol plasebo, double-blind menyelidiki 84 pasien
dengan neuralgia trigeminal klasik yang diobati dengan BoNT-A 25 U atau
75 U: plasebo (n = 28), BoNT-A 25 U (n = 27), BoNT-A 75 U (n = 29).
Durasi penelitian adalah 8 minggu. Keparahan nyeri, kemanjuran, dan efek
samping adalah hal yang diamati dalam penelitian. Pengurangan rasa sakit
yang signifikan ditunjukkan pada skala analog visual pada kelompok 25 U
dan 75 U dibandingkan dengan plasebo setelah 1 minggu, yang tetap stabil
untuk seluruh periode penelitian. Sedangkan tidak ada perbedaan antara
kelompok 25 U dan 75 U yang terdeteksi dan hanya efek samping ringan atau
sedang yang didokumentasikan. Temuan yang menjanjikan ini harus
dikonfirmasi oleh uji klinis terkontrol tambahan untuk merekomendasikan
penggunaan BoNT-A untuk pengobatan neuralgia trigeminal7.
BIB074 (sebelumnya dikenal sebagai CNV1014802) adalah sodium
channel blocker yang secara selektif memblok saluran natrium Nav1.7.
BIB074 secara khusus menargetkan dan menghambat pelepasan neuron
ganglion trigeminal frekuensi tinggi (10 Hz dan lainnya) yang diinduksi
selama kejang atau oleh rangsangan berbahaya. Pentingnya obat baru ini
terletak pada selektivitasnya yang bekerja pada saluran natrium Nav1.7.
Karena tidak ada di otak dan akibatnya tidak menekan susunan saraf pusat,
sehingga mencegah efek samping paling umum yang disebabkan oleh obat
antiepilepsi7.
BIB074 mampu mengurangi jumlah serangan nyeri sebesar 60%
dibandingkan dengan 12% untuk plasebo, dan keparahan nyeri menurun
sebesar 55% dibandingkan dengan 18% dalam pengobatan plasebo. BIB074
ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek samping serius yang terkait
dengan obat yang dilaporkan. Profil efek samping sebanding dengan plasebo
dalam fase double-blind penelitian. Hasilnya cukup menjanjikan, tetapi harus
diingat bahwa jumlah pasien yang ikut dalam percobaan masih sedikit dan
periode evaluasinya singkat, sehingga penelitin lebih lanjut telah
direncanakan7.
2.6.2 Pembedahan
Pada pasien yang tidak sembuh dengan terapi farmakologis, tindakan
pembedahan dengan microvascular decompression (MVD) menjadi pilihan
pertama. MVD dilakukan dengan cara memberi pemisah berupa tampon
antara pembuluh darah dan nervus yang bersentuhan. Prosedur ini dikerjakan
dengan cara melakukan kraniotomi suboksipital pada fossa posterior untuk
mengidentifikasi saraf trigeminal yang terkena dan pembuluh darah yang
bermasalah. Dekompresi mikrovaskular memberikan durasi bebas nyeri yang
paling lama dibandingkan dengan teknik bedah lainnya, karena dilaporkan
memberikan penghilang rasa sakit yang signifikan pada 73% pasien setelah
lima tahun. Komplikasi ringan seperti nyeri baru atau nyeri terbakar,
kehilangan sensorik dan disfungsi saraf kranial ringan atau sementara terjadi
pada 2-7%. Komplikasi utama seperti disfungsi saraf kranial mayor (2%),
stroke (0,3%) dan kematian (0,2%) jarang, namun penting untuk memberi
tahu pasien tentang risiko potensial yang dapat terjadi3.

2.7 Prognosis
Neuralgia trigeminal cenderung memburuk seiring dengan perjalanan
penyakit dan banyak pasien yang sebelumnya diobati dengan tatalaksana
medikamentosa memerlukan terapi operatif. Banyak dokter menyarankan
operasi seperti dekompresi mikrovaskular pada awal penyakit untuk
menghindari jejas demielinasi12.
BAB III
PENUTUP

Neuralgia trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu


sisi yang berulang, disebut Neuralgia trigeminal, karena nyeri di wajah ini terjadi
pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Rasa nyeri
disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah
distribusi persarafan salah satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh
berbagai penyebab. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi
adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami
pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya
saraf ini dari batang otak.
Kunci diagnosis adalah riwayat. Faktor riwayat paling penting adalah
distribusi nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif
lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering
menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Biasanya, serangan
nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit),
dan dirasakan pada satu bagian dari saraf trigeminal, misalnya bagian rahang atau
sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang
(trigger area atau trigger zone). Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping
hidung atau sudut mulut.
Obat untuk mengatasi Neuralgia trigeminal biasanya cukup efektif. Obat
ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang.
Bila ada efek samping, obat lain bisa digunakan sesuai petunjuk dokter tentunya.
Beberapa obat yang biasa diresepkan antara lain Carbamazepine (Tegretol,
Carbatrol), Baclofen. Ada pula obat Phenytoin (Dilantin, Phenytek), atau
Oxcarbazepine (Trileptal). Dokter mungkin akan memberi Lamotrignine
(Lamictal) atau Gabapentin (Neurontin). Pasien Neuralgia trigeminal yang tidak
cocok dengan obat-obatan bisa memilih tindakan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Torpy JM. Neuralgia trigeminal. The J. of the American Med Ass. 2013; 300
(10) : 1058.
2. Montano N, Conforti G, Bonaventura RD, Meglio M, Fernandez E, Papacci
F. Advance in diagnosis and treatment of neuralgia trigeminal. Therapeutics
and Clinical Risk Management. 2015; 11 : 289-299.
3. Maarbjerg S, Stefano G, Bendtsen L, Cruccu G. Neuralgia trigeminal –
diagnosis and treatment. Cephalalgia. 2017;37(7): 648–657.
4. Marjono, Mahar and Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; 1988.p.149-59.
5. Costa GMF, Megale ALC. Neuralgia trigeminal: peripheral and central
mechanisms. Rev Dor. 2015 oct-dec;16(4): 297-301.
6. Sabalys G, Juodzbalys G, Wang HL. Aetiology and pathogenesis of neuralgia
trigeminal: a comprehensive review. J Oral Maxillofac Res. 2013 Jan 1;3(4):
e2.
7. Obermann, M. Recent advances in understanding/managing trigeminal
neuralgia [version 1; peer review: 2 approved]. F1000Research. 2019, 8:1-8.
8. H. Majeed M, et al. Neuralgia trigeminal: A Clinical Review for the General
Physician. Cureus. 2018 Dec 18;10(12): e3750.
9. Al-Quliti, KW. Update on neuropathic pain treatment for trigeminal neuralgia
: The pharmacological and surgical options. Neurosciences 2015; 20
(2):107-114.
10. Goel M, Tanwar R, Singh J, Tripathi SK. Efficacy and safety of lamotrigine
in patients with neuralgia trigeminal: a comparison with carbamazepine.
International Journal of Basic & Clinical Pharmacology. 2015 Jun;4(3):
422-426.
11. Bendsten L, et al. European Academy of Neurology guideline on neuralgia
trigeminal. European Journal of Neurology. 2019;26:831–849.
12. Turkingston, Carol A., Neuralgia trigeminal. In: Stacey, L C., and Brigham,
N., editors. The Gale Encyclopedia Of Neurological Disorder. Detroit:
Thomson Gale; 2006.p.875-7.

Anda mungkin juga menyukai