Anda di halaman 1dari 13

Koruptor Nyaleg

Disusun Oleh :
Kelompok 8
Eka Fitriani F 221 15 067
Amalia Korompot F 221 15 029
Widia Dwiyanti M F 221 15 038
Zikwan Zurunain F 221 15 050
Murtezza F 221 15 072
Ridwan Hafid F 221 15 049
Nurul Inayah F 221 15 085
Fauzi Adam F 221 15 043
Moh. Rifaldi Rone F 221 15 022
Moh. Ghifar F 221 15 034
Waldi F 221 15 005
Septian Dwi Cahyo F 221 15 042
Ilham F 221 15 000

Program Studi S1 Arsitektur


Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur
Universitas Tadulako
2019
DAFTAR ISI

halaman
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................Error! Bookmark not defined.

1.3 Tujuan Penulisan.........................................................Error! Bookmark not defined.

BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Pandangan terhadap Calon Legislatif Mantan Narapidana Koruptor ................Error!


Bookmark not defined.

2.2 Analisis Hak Masyarakat Sipil untuk Mendapatkan Calon Legislatif yang Bersih .. 3

BAB 3 PENUTUP .............................................................................................................. 9

4.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 9

BAB 4 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas segala nikmat dan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena berkat rahmat-Nya saya diberikan kemampuan dalam menyusun
dan menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Dalam makalah ini saya
akan membahas mengenai “Koruptor Nyaleg’” menjadi penting mengingat
banyaknya pro kontra di masyarakat mengenai mantan narapidana koruptor yang
menyalonkan diri menjadi anggota legislatif.

Makalah ini dibuat selain sebagai salah satu pemenuhan tugas untuk
semester mata kuliah Pendidikan Karakter Anti Korupsi juga dengan harapan
menjadi manfaat bagi saya sendiri khususnya dan bagi orang lain pada umumnya.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah


Pendidikan Karakter Anti Korupsi karena atas kuliah yang diberikan sehingga saya
dapat memahami dengan lebih baik materi implementasinya dalam hukum
nasional.

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat

Palu, 10 Maret 2019

Penyusun,

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini, polemik tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Pendaftaran Anggota Legislatif, yang salah satu poinnya melarang mantan koruptor
menjadi calon legislatif, belum juga mendapat titik terang. KPU sendiri sudah
secara resmi menyerahkan draf PKPU itu kepada Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) pada tanggal 4 Juni 2018 lalu. Tujuannya untuk disahkan dan
diundangkan.

Namun, Menkumham Yasonna Laoly justru memberikan sinyal bakal tidak


mau menandatangani draf tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sebab, dalam Pasal
240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan napi yang sudah
menjalani hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri, asalkan
mantan napi tersebut mengumumkan bahwa diri pernah berstatus sebagai bekas
napi ke media massa.

Terkait perbedaan pandangan di tingkat eksekutif dan legislatif soal aturan ini,
semangat KPU tidak surut untuk menerapkan aturan ini. Bagaimanapun telah ada
jaminan bagi KPU untuk membuat teknis kepemiluan yang diatur dalam UU. Di
samping KPU adalah institusi mandiri. Berbagai kritik menurutnya menjadi ujian
kemandirian bagi KPU agar semakin kuat. KPU harus tetap teguh memegang
kemandirian dan keyakinannya untuk memberlakukan aturan itu. Munculnya Pro
dan Kontra megenai masalah ini juga menjadi titik berat pembahasan yang akan
dibahas pada makalah kali ini.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas sehingga muncul permasalah di antaranya :
a. Bagaimana perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Calon Legislatif
mantan narapidana koruptor?
b. Bagaimana hak masyarakat sipil untuk mendapatkan Calon Legislatif yang
bersih?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Menganalisis perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Calon Legislatif
mantan narapidana koruptor
b. Menganalisis hak masyarakat sipil untuk mendapatkan Calon Legislatif
yang bersih

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pengetahuan mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia
terhadap Calon Legislatif mantan narapidana koruptor
b. Memberikan pengetahuan hak masyarakat sipil untuk mendapatkan Calon
Legislatif yang bersih

2
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Analisis Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Calon Legislatif


Mantan Narapidana Koruptor

Maraknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan menjadi


tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu alasan KPU
mengeluarkan terobosan melarang napi kasus korupsi nyaleg. KPU menggunakan
payung hukum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(UU Pemilu) dalam menerbitkan PKPU.

Dalam UU Pemilu, eks terpidana korupsi memang tidak dilarang maju sebagai
caleg. Namun, menurut KPU terpidana kasus korupsi bisa dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa atau extraordinary crime sebagaimana kejahatan narkotika dan
kejahatan seksual terhadap anak. KPU menyiapkan dua opsi untuk melarang
mantan napi kasus korupsi menjadi caleg. Kedua opsi ini memiliki substansi yang
sama, namun berbeda pada redaksional di PKPU. Pada opsi pertama, larangan akan
dimasukkan dalam substansi pasal 8 ayat (1) huruf J rancangan PKPU. Pada pasal
itu, akan disebutkan secara tegas bahwa ‘bakal calon anggota legislatif (caleg)
bukan mantan narapidana kasus korupsi’. Sedangkan opsi kedua akan diberlakukan
pada parpol. Di PKPU, setiap parpol diwajibkan untuk menjalankan rekrutmen
caleg secara transparan dan bersih. Dalam hal ini, parpol tidak diperbolehkan
mengusung caleg yang terbukti merupakan mantan napi kasus korupsi.

Pada dasarnya Indonesia merupakan Negara menjunjung tinggi pelaksanaan Hak


Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan UUD 1945, yang
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM warga negara. Sehingga
pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap
HAM dan hak-hak warga Negara (citizen’s rights) atau hak-hak constitusional
warga Negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana.

3
Hak-hak warga negara (citizen’s rights) yang di atur negara meliputi (a) Hak untuk
hidup; (b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; (c) Hak mengembangkan
diri; (d) Hak memperoleh keadilan; (e) Hak atas kebebasan pribadi; (f) Hak atas
rasa aman; (g) Hak atas kesejahteraan; (h) Hak turut serta dalam pemerintahan; (i)
Hak wanita; dan (j) Hak anak. Pada poin (h) secara nyata Negara memberikan
pengakuan kepada setiap warga Negara untuk ikut serta dalam pemerintahan yakni
adanya hak politik, meliputi hak memilih dan dipilih.

Hak dipilih secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2);
Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa
negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam
keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam event pesta demokrasi yang meliputi
Pemilu, Pilpres dan Pilkada.

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966) berkaitan


dengan hak politik warga negara menegaskan dalam Pasal 25 bahwa “Setiap warga
negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan
apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam
menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-
wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada
pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta
diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para
pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk
mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar
persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak politik,
memilih dan di pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan
dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga
negara.

Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan

4
politiknya”. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU ini, dinyatakan
bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan”. Kedua ketentuan pasal di atas jelas menunjukkan adanya
jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia itu sendiri untuk
melaksanakan hak memilihnya.

Pelaksanaan HAM memang bukanlah sesuatu yang bersifat absolut dan mutlak,
sangat dimungkinkan adanya ruang pembatasan untuk menjamin hak dan
kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat
(2) UUD 1945, dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-
Undang (UU) dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Namum, larang mantan napi kasus korupsi maju sebagai caleg ditolak dirasa akan
menabrak substansi yang termaktub pada pasal 240 UU Pemilu. Disebutkan,
mantan napi korupsi dibolehkan mencalonkan diri dengan syarat telah lima tahun
bebas dari penjara dan keharusan mengumumkan kepada publik sebagai mantan
narapidana. Melihat Uji Materi pada 3 pasal di UU Pemilu dan UU Pemda pada Uji
materi diajukan Robertus, eks terpidana kasus pembunuhan di Pagar Alam,
Sumatera Selatan. Dalam putusannya, MK memperbolehkan mantan terpidana
dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih dapat penjadi peserta pemilu.

Sehingga Pelanggaran HAM mungkin akan terjadi karena KPU menghilangkan hak
para pesakitan untuk dipilih sebagai legislator. Seseorang memang belum dianggap
baik hanya jika mantan narapidana itu belum selesai masa hukumannya. Jika dia

5
sudah menjalani hukuman tetapi masih belum dianggap baik maka ada
penghukuman seumur hidup. Hal ini tak sesuai dengan intensi DPR selaku pembuat
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Hak Politik setiap
individu yang dijamin Konstitusi. Sebab Hak Asasi yang melekat pada diri manusia
yang dianugerahkan tuhan di sepanjang hidupnyadan tidak dapat terpisahkan.

Hukum positif di Indonesia pun hingga kini tidak melarang mantan narapidana
mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dan hanya pengadilanlah yang
mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang. Sinyal yang sama
juga dikirim oleh Presiden Joko Widodo pekan lalu yang mengatakan bahwa
mantan narapidana kasus korupsi mempunya hak politik, sama dengan warga
negara yang lain, suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

2.2 Analisis Hak Masyarakat Sipil untuk Mendapatkan Calon Legislatif yang
Bersih
Dipihak lain berpendapat bahwa hak seseorang memilih dan dipilih
mestinya tidak menjadi hambatan masyarakat mendapatkan pemilu yang
berkualitas. Sebab integritas Pemilu ditentukan berdasarkan tiga hal, yakni
penyelenggara, pemilih, dan peserta. Sehingga, keputusan KPU melarang mantan
narapidana korupsi menjadi caleg adalah tepat. Pasal 8 huruf (j) PKPU yang
melarang mantan napi korupsi menjadi caleg merupakan tafsiran progresif KPU
terhadap UU Pemilu dengan tujuan mendapatkan hasil pemilu yang lebih baik.
Disebutkan itu sebagai bagian pertanggungjawaban publik, usul KPU boleh dan
sah. Kemudian mengatakan penerapan larangan mantan napi korupsi menjadi calon
anggota DPR dan DPRD sepenuhnya kewenangan KPU selaku penyelenggara
Pemilu.

Wakil Ketua Komnas HAM menyatakan tidak ada indikasi pelanggaran hak
asasi andai mantan narapidana korupsi dilarang menjadi calon anggota legislatif
(caleg) untuk DPR atau DPRD . Sebab hak asasi untuk memilih dan dipilih itu
bersifat derogable rights atau hak asasi yang dapat ditangguhkan atau dibatasi
dalam kondisi tertentu. Hak asasi dipilih atau memilih itu tidak sama dengan hak

6
hidup yang sifatnya mutlak, atau tidak memiliki pengecualian sama sekali. Contoh
hak asasi yang sifatnya mutlak adalah bebas dari perbudakan. Hak-hak asasi
tersebut digolongkan sebagai nonderogable rights.

Dari sisi legalitas, kalau memang katakanlah mau dilarang maka bukan melalui
PKPU. Sifat PKPU adalah aturan pelaksana (untuk melaksanakan UU). Kalau UU
Pemilu tidak melarang, maka PKPU sebagai aturan pelaksananya juga tidak dapat
melarang. UU Pemilu saat ini masih bersifat umum, dan memang tidak ada larangan
terkait mantan napi dalam kasus apa yang boleh menjadi caleg. Dari hal tersebut,
solusi yang tepat adalah revisi UU Pemilu untuk mengatur secara khusus terkait
larangan mantan napi kasus korupsi dengan pertimbangan bahwa korupsi
merupakan kejahatan yang luar biasa.

Larangan tersebut tidak akan menegasi prinsip HAM, karena pada dasarnya HAM
sendiri dapat dibatasi sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Klausul larangan
tersebut dapat dibandingkan dengan syarat menjadi capres dan cawapres. Pasal 169
huruf d UU Pemilu mengatur salah satu persyaratan menjadi presiden dan wakil
presiden ialah tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan
tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Jika menjadi presiden dan
wapres syaratnya tidak pernah korupsi, seharusnya menjadi wakil rakyat juga harus
yang tidak pernah korupsi. Apalagi keduanya juga dipilih secara langsung oleh
masyarakat.

Dari prinsip pemilu yang demokratis, bahwa lahirnya wakil rakyat yang berkualitas,
dan memiliki integritas moral merupakan prasyarat penting. Hal tersebut tentu
harus diupayakan. Caranya mendesak parpol untuk menyediakan caleg yang
berkualitas. Sebab, ini menjadi Hak Sipil untuk mendapatkan Legislatif yang bersih
meihat sekarang Indonesia menghadapi krisis moral berkneaan dengan korupsi. Hal
ini dapat diatur dalam aturan internal parpol untuk menggaransi caleg yang akan
bertarung di Pemilu 2019. Penggaransian ini dimaksudkan agar wakil-wakil rakyat
yang kelak akan duduk di parlemen benar-benar mempunyai kapabilitas dan
integritas.

7
Pengaturan semacam itu dapat dirumuskan dalam anggaran dasar atau anggaran
rumah tangga (AD/ART) partai. Hal ini mendesak untuk dilakukan karena parpol
merupakan satu-satunya kendaraan bagi masyarakat untuk memilih wakil rakyat di
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota pada pesta demokrasi nasional tahun
depan.

8
BAB 3 PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Larang mantan napi kasus korupsi maju sebagai caleg ditolak dirasa akan menabrak
substansi yang termaktub pada pasal 240 UU Pemilu. Disebutkan, mantan napi
korupsi dibolehkan mencalonkan diri dengan syarat telah lima tahun bebas dari
penjara dan keharusan mengumumkan kepada publik sebagai mantan narapidana.
Melihat Uji Materi pada 3 pasal di UU Pemilu dan UU Pemda pada Uji materi
diajukan Robertus, eks terpidana kasus pembunuhan di Pagar Alam, Sumatera
Selatan. Dalam putusannya, MK memperbolehkan mantan terpidana dengan
ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih dapat penjadi peserta pemilu.

DPR selaku pembuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta
Hak Politik setiap individu yang dijamin Konstitusi. Sebab Hak Asasi yang melekat
pada diri manusia yang dianugerahkan tuhan di sepanjang hidupnya dan tidak dapat
terpisahkan.

Dipihak lain berpendapat bahwa hak seseorang memilih dan dipilih mestinya tidak
menjadi hambatan masyarakat mendapatkan pemilu yang berkualitas. tidak ada
indikasi pelanggaran hak asasi andai mantan narapidana korupsi dilarang menjadi
calon anggota legislatif (caleg) untuk DPR atau DPRD. Sebab hak asasi untuk
memilih dan dipilih itu bersifat derogable rights atau hak asasi yang dapat
ditangguhkan atau dibatasi dalam kondisi tertentu. Hak asasi dipilih atau memilih
itu tidak sama dengan hak hidup yang sifatnya mutlak, atau tidak memiliki
pengecualian sama sekali. Dari prinsip pemilu yang demokratis, bahwa lahirnya
wakil rakyat yang berkualitas, dan memiliki integritas moral merupakan prasyarat
penting. Hal ini berkaitan degan Hak Sipil untuk mendapatkan Legislatif yang
bersih melihat sekarang Indonesia menghadapi krisis moral berkneaan dengan
korupsi

9
BAB 4 DAFTAR PUSTAKA

Artikelsiana. 2014. Macam-macam Hak Asasi Manusia dan Penjelasannya.


artikelsiana,com. Diakases pada 24 November 2015

Damang. 2011. Konsep Hak Asasi Manusia. negarahukum.com. Diakses pada 24


November 2015

Gultom, Binsar. 2009. Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di


Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Terre, E, Riyadi. 2013. Hak Asasi Manusia dari Kewarganegaraan ke Humanisme


Universal. Jurnal Ultima Humaniora. Vol 1 No 1 : 59-75

https://news.detik.com/berita/d-4057465/eks-koruptor-dilarang-nyaleg-menkum-
ham-itu-bertentangan-dengan-uu

10

Anda mungkin juga menyukai