Nama : Deni Kurniawan Dosen : Dr. H. Saidul Amin, M.
A NIM : 11631101622 Mata Kuliah: Filsafat Barat II Kelas/Prodi : VI A/AFI UAS
Problema Hermeneutik: Studi Kasus Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Teks Suci
menurut Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd.
Hermeneutika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein
yang menjadi hermeneutik pada bahasa Jerman dan Hermeneutics pada bahasa Inggris. Kata ini memiliki makna yang bertingkat, yang masing-masing tingkatannya diwakili oleh satu terma derivatif. Hermeneuse bermakna aktifitas memahami/menafsirkan, Hermeneutik bermakna metode yang digunakan dalam menafsirkan, Philosophische Hermeneutik bermakna kondisi-kondisi kemungkinan yang dengannya seorang dapat memahami teks, dan terakhir Hermeneutiche Philosophie yang telah menjadi cabang ilmu filsafat tersendiri. Namun begitu, pemaknaan-pemaknaan luas di atas dapat disimplifikasi bahwa hermeneutika adalah seni menafsirkan. Hermeneutika memiliki konsep metodologis dasar dalam aplikasinya, yang dikenal dengan segitiga triadik hermeneutika. Hubungan triadik ini menggambarkan tiga variabel pemahaman manusia yang terdiri dari unsur pencipta teks (author), teks itu sendiri, dan pembaca/penafsir (audiens/reader). Ketiga unsur ini memiliki peranannya masing-masing yang harus dioperasikan secara proporsional dan seimbang. Kesenjangan atas salah satunya hanya akan menghasilkan kesewenang-wenangan dalam memahami. Mengapa diperlukannya keseimbangan dalam memperlakukan ketiga unsur di atas? Teks merupakan media penyampaian pesan oleh pencipta teks (author). Pengarang menggunakan teks untuk menciptakan makna sesuai dengan yang ia maksudkan, sehingga pemahaman mengenai teks membutuhkan pemahaman mengenai author . Pada sisi lain, penafsir dalam membaca sebuah teks akan selalu membawa pra-pemahaman, horizon, wawasan, dan pengaruh-pengaruh intern yang ia miliki. Oleh sebab itu, seorang penafsir (reader) harus melindungi dirinya dari khayalan- khayalan arbitrer dan kebiasaan-kebiasaan pemikiran untuk kemudian mengarahkan pemahaman teks kepada khayalan dan pemikiran itu. Secara sederhana, seorang penafsir, dalam menafsirkan harus mengenal siapa dia. Salah satu prblematika hermeneutik adalah bleh tidaknya kita menafsirkan Al- Qur’an dengan metode hermeneutic. Salah satu tokohnya hasan hanafi. Dalam membangun hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, marxis, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut, Hasan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Di samping itu, bangunan hermeneutika semacam ini juga merupakan upaya Hasan Hanafi untuk melampaui bangunan hermeneutika teoritis yang bertendensi objektifis seperti hermeneutika Fazlurrahman dan Arkoun. Dengan argumentasi bahwa hermeneutika aliran objektifis yang dimasuki pengaruh positifistik tersebut bersifat elitis dan tidak menyentuh masyarakat Islam secara meluas, Hasan Hanafi sendiri menghindari model hermeneutika demikian, dan mengusung hermeneutika yang lebih bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini. Dengan diskursus yang lainnya, Marxisme, Hasan Hanafi mencurigai adanya kepentingan, kekuasaan, dan dominasi di balik lahirnya teks atau penafsiran. Hasan Hanafi, dengan demikian, selalu memiliki kecurigaan terhadap teks atau penafsiran status quo. Ia bersikap kritis dengan berupaya menemukan relasi-relasi kekuasaan di belakang penafsiran, yang baginya tidak berhasil merumuskan solusi-solusi bagi keterbelakangan Muslim. Hermeneutika, yang disamakan oleh Hasan Hanafi dengan tafsir, bukan hanya teori interpretasi teks, melainkan sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas, atau dari logos ke praktis, dan selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata. Ia mengkritik model tafsir konvensional, dan juga tafsir kontemporer, yang ia anggap tidak melek realitas. Terutama sekali, ia mengkritik al-Azhar yang masih menggunakan metode yang memiliki gap antara teks ilahi dengan wacana atau realitas manusiawi. Sebagai hasilnya, ia menekankan sisi realitas dalam hermeneutikanya. Ia menyatakan bahwa sebelum mengaplikasikan sebuah teori penafsiran, seseorang harus merefleksikan terlebih dahulu pengalaman yang hidup pada kesadaran pribadi atau jamaah yang menyebabkan suatu ayat diturunkan. Menurutnya, sebuah ayat bukanlah pendapat, orientasi, atau makna abstrak, melainkan sebuah jawaban terhadap kegelisahan, kesulitan, dan penderitaan individu-individu yang diresponnya. Pada sisi lain, ia juga menegaskan bahwa dalam penafsiran, upaya untuk kembali kepada sumber (Alquran) akan menemukan kebuntuan, sehingga alternatifnya adalah kembali kepada alam. Dengan model ini, ia mencita-citakan tafsir yang memperbaiki manusia atau yang ia sebut sebagai tafsir reformis, dan penafsir yang reformer/mushlih. Salah satu tokoh yang berbicara soal hermenutik. Abu Zayd pada dasarnya mencoba memakai analisa hermeneutika konstruktif dalam berbagai kajian al-Qur’an yang dilakukannya. Dia mengidentifi kasi bahwa masalah mendasar dalam kajian Islam adalah masalah penafsiran teks secara umum, teks historis maupun teks keagamaan, al-Qur’an. Dalam kajian al-Qur’an, Abu Zayd memandang bahwa hermeneutika berkontribusi pada peralihan perhatian penafsiran al-Qur’an ke arah penafsir (mufassir). Dia berkonsultasi dengan sejumlah hermeneut dan teorist sastra, mulai dari Schleirmacher, TS Elliot, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Gadamer, Hirsh, Goldman, sampai Paul Ricouer. Abu Zayd meminjam hermeneutika dialektis Gadamer untuk mengkaji ulang warisan keagamaan termasuk kajian al-Qur’an (dan tentunya karya dan teori sastra), yang dipakainya sebagai titik berangkat, dengan maksud untuk mengungkap perbedaan penafsiran dan batas-batas nalarnya baik di masa awal penafsiran itu muncul atau di masa kontemporer. Memahami pada dasarnya berarti memahami (to grasp) sesuatu dalam bahasa Inggris disebut “I get it”, atau melihat sesuatu lebih jelas, seperti menjelaskan suatu bagian teks yang kabur menjadi jelas, atau berupaya untuk dapat menyatukan makna tertentu ke dalam kerangka yang lebih besar. Gadamer tidak memakai pengertian ini tapi menggunakannya secara tidak langsung dalam proses penjelasan hermeneutikanya di mana dia mengkritik metode hermeneutika romantisisme atau rekonstruktif. Memahami diartikan sebagai pengetahuan praktis merujuk pada pengertian kemampuan, kapasitas atau kemungkinan bereksistensi. Dalam pengertian ini memahami selalu merujuk pada suatu elemen pemahaman diri, atau implikasi diri di mana subjek diri menjadi dominan dalam mengetahui sesuatu. Abu Zayd menempatkan hermeneut lain sebagai bagian dari upaya proses peminjaman untuk kepentingan kajian alQur’an yang dia lakukan. Peminjamannya dari dialektika hermeneutika Gadamer diarahkan untuk pengkajian teks al-Qur’an, di mana di dalamnya dia mencoba melakukan pembacaan atau lebih tepatnya pembacaan ulang dengan prinsip-prinsip pencarian makna historis di satu sisi dan makna struktural di sisi lain, mendialogkan berbagai persyaratan yang diperlukan, yang ada dan yang tertinggal dalam mendiskusikan berbagai isu keagamaan mulai dari isu pewahyuan, kebahasaan sampai isu-isu metodologis kajian al-Qur’an. Di samping cara Abu Zayd untuk tidak masuk ke dalam kemungkinan kekacauan demokrasi pembacaan (chaotic democracy of reading) dari peminjaman hermeneutika Gadamer, dia juga mempertimbangakan hermeneut lain. Dan ini merupakan kelanjutan dari peminjaman hermeneutikanya. Dalam hal ini peminjamannya diluaskan dengan peminjaman gagasan hermeneutika lainnya khususnya Paul Ricouer. Dari Ricouer, Abu Zayd mendiskusikan penafsiran obyektif. Setelah Abu Zayd merasa perlu untuk meneruskan lebih lanjut pendekatan hermeneutika dialektisnya dalam dimensi vertikal di mana alQur’an diperlakukan sebagai tempat terjadinya komunikasi antara Tuhan dan manusia ke fokus dalam dimensi horizontal kajian al-Qur’an sebagai pengalaman penyebaran pesan al-Qur’an oleh Nabi Muhammad setelah diterima atau penyebaran pesan melalui korpus tafsir. Abu Zayd memaknai dimensi horizontal sebagai apa yang terkandung di dalam struktur alQur’an dan yang telah termanifestasikan selama proses komunikasi antara al-Qur’an dan audiensnya berlangsung. Dimensi vertikal ini merupakan dimensi tektualitas al-Qur’an, sementara dimensi horizontal merupakan dimensi wacana al-Qur’an. Dimensi wacana ini adalah area yang hidup dan yang dinamis, merujuk pada awalnya proses pewahyuan dikenal sebagai fenomena al-Qur’an, wacana tertutur. Wacana al-Qur’an mewujud dalam konteks kehidupan sehari-hari, sehingga ia tidak hanya bertutur dengan bahasa Arab di mana wahyu itu diturunkan, tapi juga mempengaruhi pemikiran den kebudayaan penerimanya. Untuk melihat bagaimana hal ini terjadi, dapat dilacak melalui pengaruh al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Abu Zayd menulis “the Qur’an in Everyday Life,” al- Qur’an begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Dia melacak pengaruh tersebut dalam implementasi rukun Islam, budaya fi lantropi Muslim, perhatian Muslim terhadap yatim piatu, tentang makanan dan minuman, tentang implikasi kodrat perempuan, tentang manusia sebagai individu dan masyarakat, komunikasi sehari-hari dan bahasa yang digunakan, presentasi dan kerajian artistik dan kehidupan spiritual Muslim. Kesimpulan Dari kedua tokoh diatas dapat diambil pelajaran mengenai metode Hermeneutik dalam kaitannya ketika berhadapan dengan teks suci agama. Salah satu problema nya adalah tentang kelegalan menafsirkan dengan metode hermeneutik Hermeneutik pada dasarnya digunakan untuk mencari makna dari teks buatan manusia. Sedangkan teks suci dalam Agama samawi yang notabenenya berasal dari Tuhan tidak mudah untuk diinterpretasi apalagi menggunakan metode hermeneutik yang serba terbatas. Terobosan yang dilakukan Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd adalah bermadzhab Islam. Teks suci agama dipandang sebagai suatu yang sacral dan tidak boleh sembarangan ditasirkan. Kitab suci agama lain telah dirusak oleh tangan-tangan orang jahil, sehingga satu-satunya kitab suci yang masih terjaga sampai hari kiamat adalah Al-Qur’an. Itulah sebabnya orang barat mengkaji Teks Suci agama mereka dengan metode Hermeneutik.