Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

KOLABORASI DALAM PELAKSANAAN SKRINNING KESEHATAN

Dosen Pembimbing:
Ridwan Ikob, S.Pd, SKM, M.Kes

DISUSUN OLEH:

PUTRI SITI KHAIRUNNISA


(NIM: PO.71.20.1.16.090)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia
termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri
dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang
mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis,
psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain. Menurut Setiawan (1973),
timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat
atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut.
Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang
berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga
psikologis dan sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi
pada lansia dapat disebut sebagai perubahan `senesens` dan perubahan ‘senilitas’.
Perubahan `senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan fisiologik akibat
usia lanjut. Perubalian ‘senilitas’ adalah perubahan-perubahan patologik
permanent dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia
lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada amumnya adalah pada
bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma
itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan
mental.
Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat
dihindarkan. Seinakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula
harapan hidup masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi pula jumlah
penduduknya yang berusia lanjut. Demikian pula di Indonesia.

2
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu
ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan
sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang
pelayanan kesehatan pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang
komprehensif.
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah
saja, tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja.
Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan
kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang
menyebabkan seorang mengalami gangguan mental seperti depresi.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang
dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah
sebagai berikut:
1. Penurunan kondisi fisik
2. Penurunan fungsi dan potensi seksual
3. Perubahan aspek psikososial
4. Perubahan yang berkaitan dengan pekcrjaan
5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat

Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha untuk
mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas dengan
menggunakan test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan
secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi
sesunguhnya menderita suatu kelainan. Penelitian epidemiologi ditujukan untuk
faktor-faktor epidemiologis yang berkaitan dengan distribusi penyakit /masalah
kesehatan di masyarakat yang hasilnya dipergunakan untuk membuat
perencanaan intervensi atau upaya pencegahan yang sesuai

3
Salah satu jenis penelitian yang sering digunakan adalah screening. Mahasiswa
perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penelitian skrining tersebut
sebelum nantinya terjun ke masyarakat untuk mengadakan penelitian. Oleh sebab
itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh mengenai penelitian screening.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian skrening kesehatan.
2. Untuk mengetahui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
3. Untuk menjelaskan macam-macam skrening kesehatan.
4. Untuk mengetahui penggolongan skrening kesehatan.
5. Untuk mengetahui skrening pada keadaan khusus lansia .

1.3 Indikator Pembelajaran


1. Mampu menjelaskan tentang pengertian pendidikan kesehatan pada lansia.
2. Mampu menjelaskan tentang jenis pelayanan kesehatan lansia dalam promotif.
3. Mampu menjelaskan jenis metode pendidikan kesehatan pada lansia.
4. Mampu menjelaskan pendekatan pendidikan kesehatan.
5. Mampu menjelaskan media pendidikan kesehatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kolaborasi


Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun
didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi
tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian
kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang
menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak
ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya
kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan
tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan
negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan
perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah
proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai
kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek
mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai
terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat.
Kolaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam
memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan diskusi

5
tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling
berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada
pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran
pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik
setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership
kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang
lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki
kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang
lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja
bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan
untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi
di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat
terwujud jika individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan
intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan
dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap
perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

6
2.2 Kolaborasi di Rumah Sakit
Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim dalam
memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap saling
menghargai antar tenaga kesehatan dan saling memberikan informasi tentang
kondisi klien demi mencapai tujuan (Hoffart & Wood, 1996; Wlls, Jonson &
Sayler, 1998).
Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :

Dokter Perawat Ahli Gizi

Fokus
Klien/
Pasien

laboratorium dll

administrasi IPSRS
radiologi

Tim Kerja di Rumah Sakit :

a. Tim satu disiplin ilmu:


- Tim Perawat
- Tim dokter
- Tim administrasi
- dll

b. Tim multi disiplin :


- Tim operasi
- Tim nosokomial infeksi
- dll

7
2.3 Anggota Tim interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok
profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota
tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan
meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager,
dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi
yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota
tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi
pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal
hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam
interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat
berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas
pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering
berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal
pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja
dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai
kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini

8
Communi
cations Responsi
bility
Autonom
y

cooperation

Common Efective
purpose collaborat
ion

Assertiveness
Coordinati
on
Mutuality

Elemen kunci efektifitas kolaborasi

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk


memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka
dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-
benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung
suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam
pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung
jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu
yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup
kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah
efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi

9
duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan
permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada
pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan
profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan
seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan
konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai
suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang
ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap
anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi.
Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman,
menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan
ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Dasar-dasar kompetensi koaborasi :
a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan
c. Memberikan dan menerima feed back
d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik

Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi


membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan
komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar
kompetensi yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan
harga diri, sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil.
Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal
serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed back
dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan
diri, kepercayaan, emosi, lingkunganserta waktu, feed back juga dapat bersifat

10
negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan
manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul dalam proses.
Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota harus memahami
peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan,
mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta
melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik profesional.
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan
memahami orang lain.

Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu


1. Adanya rasa saling percaya dan menghormati,
2. Saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing,
3. Memiliki citra diri positif,
4. Memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari
pendidikan dan pengalaman),
5. Mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan
6. Keinginan untuk bernegosiasi (Hanson & Spross, 1996).

Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling


tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja
bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik.
Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target

11
yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan klien
terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar profesi
secara formal tentang asuhan klien.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.
Model Praktek Kolaborasi :
a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek
b. Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan
c. Tim Interdisiplin atau komite

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar


jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses
kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.
Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami
oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi dalam memberikan
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Melalui
pemanfaatan keahlian berbagai anggota tim untuk berkolaborasi, hasil akhir
asuhan kesehatan dapat dioptimalkan Hickey, Ouimette dan Venegoni, 1996)
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa
diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran
seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan
secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi
kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan
lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis,
pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran

12
pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien
melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama
periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja
sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka
berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik
untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney,
2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan
apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu
menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan
rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para
pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan
dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang
membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang
mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan
pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan
dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para
pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar
merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang
lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat

13
dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja
saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi
nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang
berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak
terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat
menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan
menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai
profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama,
dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi
untuk mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara
dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran,
dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan
kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi
permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu
upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan
proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti
dengan pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga
terjadi trasnfer pengetahuan diantara anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi
bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu
perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan
komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui

14
pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-
pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.

2.4 Perawat sebagai Kolaborator


Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien,
paper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam
praktek di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat
berperan secara optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu
menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan
meningkatkan otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan
merupakan unsur utama yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional
untuk mengerti hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-
masing, kontribusi spesifik setisp profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap
anggota tim harus menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang
berpusat pada kebutuhan kesehatan klien, bukan pada kelompok pemberi
asuhan kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman setiap
anggota terhadap nilai-nilai profesional.
Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam melakukan
kolaborasi, yaitu melakukan sharing perencanaan, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, membuat tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja
sama dan koordinasi dengan komunikasi terbuka.

2.5 Tindakan Kolaboratif Interdisiplin Ilmu


A. Upaya Pelayanan Kesehatan Lansia
Upaya mengatasi kesehatan pada lansia adalah sebagai berikut :
a. Upaya pembinaan kesehatan
b. Upaya pelayanan kesehatan :

1. Upaya promotif
2. Upaya preventif

15
3. Diagnosa dini dan pengobatan
4. Pencegahan kecacatan
5. Upaya rehabilitatif

c. Upaya perawatan
d. Upaya pelembagaan Lansia

B. Prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia


1. Prinsip holistik

Seorang penderita lanjut usia harus dipandang sebagai manusia


seutuhnya (lingkungan psikologik dan sosial ekonomi). Hal ini ditunjukkan
dengan asesmen geriatri sebagai aspek diagnostik, yang meliputi seluruh
organ dan sistem, juga aspek kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi. Sifat
holistik mengandung artian baik secara vertikal ataupun horizontal. Secara
vertikal dalam arti pemberian pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan
rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit yang mempunyai pelayanan subspesialis
geriatri. Holistik secara horizontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus
merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan lansia secara menyeluruh.
Oleh karena itu, pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas sektoral
dengan dinas/ lembaga terkait di bidang kesejahteraan, misalnya agama,
pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas sosial.

Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus mencakup aspek


pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan, sehingga WHO
menganjurkan agar diagnosis penyakit pada Lansia harus meliputi 4 tingkatan
penyakit :

a. Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada penderita,


misalnya penyakit jantung iskemik.

16
b. Impairment (kerusakan/ gangguan), yaitu adanya gangguan atau
kerusakan dari organ akibat penyakit, missal pada MCI akut
ataupun kronis.
c. Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif pada
kemampuan fungsional dari organ atau dari individu tersebut. Pada
kasus di atas misalnya terjadi decompensasi jantung.
d. Handicap (hambatan), yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus
tersebut di atas adalah ketidakmampuan penderita untuk melakukan
aktivitas sosial, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya.

2. Prinsip tatakerja dan tatalaksana secara TIM

Tim geriatrik merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja


secara inter-disipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatrik yang
dilaksanakan.

Yang dimaksud dengan multidisiplin si sini adalah berbagai disiplin


ilmu kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada
penderita lanjut usia. Komponen utama tim geriatrik terdiri dari dokter,
pekerja sosio medik, dan perawat. Tergantung dari kompleksitas dan jenis
layanan yang diberikan. Anggota tim dapat ditambah dengan tenaga
rehabilitasi medik (dokter, fisioterapist, terapi okupasi, terapi bicara, dll.),
psikolog, dan atau psikiater, farmasis, ahli gizi,dan tenaga lain yang bekerja
dalam layanan tersebut.

Istilah interdisiplin diartikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-


masing anggotanya saling tergantung (interdependent) satu sama lain. Jika tim
multidisiplin yang bekerja secara multidisiplin, dimana tujuan seolah-olah
dibagi secara kaku berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada tim
interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota
mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, tetapi tidak secara kaku.

17
Disiplin lain dapat memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara
periodik dilakukan pertemuan anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja
yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan
bersama yang hendak dicapai.

Pada tim multidisiplin, kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan


penyerasian konsep. Sedangkan pada tim interdisiplin, kerjasama meliputi
pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan.

Tim geriatri disamping mengadakan asesmen atas masalah yang ada,


juga mengadakan asesmen atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang
bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan masalah penderita tersebut.

C. Skrining Kesehatan Pada Lansia


a. Pengantar Skrining pada Lansia

Mengingat kondisi usia lanjut seperti diuraikan terdahulu, mudah dipahami


bahwa dari segi promotif dan preventif menduduki tempat penting dalam
memberikan tindakan atau program intervensi bagi kelompok ini.

Oleh Direktorat keluarga Binkesmas Departemen Kesehatan RI sejak tahun


1990-an telah dikembangkan Program Pembinaan Usila (Usia Lanjut) pada
sejumlah puskesmas percontohan di Indonesia.

Dalam program pembinaan tersebut tercakup antara lain kegiatan skrining


kesehatan bagi kelompok usia lanjut di puskesmas yang secara praktis
berbentuk pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) yang dirancang khusus bagi
keperluan pembinaan kesehatan usia lanjut.

Khusus mengenai bentuk dan tata cara pengisian KMS akan dijelaskan
tersendiri pada bagian lampiran (Annex 1). Berikut ini akan diuraikan definisi,
tujuan, dan ciri-ciri skrining kesehatan bagi usia lanjut.

18
Skrining (penapisan) adalah mengidentifikasi ada tidaknya penyakit atau
kelainan yang sebelumnya tidak diketahui dengan menggunakan berbagai tes
pemeriksaan fisik dan prosedur lainnya, agar dapat memilah dari sekelompok
individu, mana yang tergolong mengalami kalainan. Skrining tidak dapat
diartikan secara diagnostic, tetapi bilamana hasilnya positif selanjutnya dapat
di follw-up dengan pemeriksaan diagnostic, kalau perlu dengan tindakan
pengobatan. Sasaran skrining kesehatan memang ditujukan bagi setiap lansia,
namun sasaran utamanya adalah mereka yang berada dalam kategori resiko
tinggi (Broklehurst & Allen dalam Darmojo, R. B Geriatri, 1999).

Golongan yang termasuk kategori resiko tinggi adalah:

1. Laki-laki, duda
2. Lansia jompo (diatas 80 tahun)
3. Tinggal sendiri
4. Baru keluar dari perawatan rumah sakit
5. Baru saja mengalami duka cita yang mendalam.

Kegiatan skrining perlu mempertimbangkan hal-hal berikut:


1. Diarahkan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
2. Harus cukup efektif dengan pengertian harus cukup akurat, baik dalam
hal sensitivitas maupun spesifitas
3. Bersifat cost-effective.

Pilihan jenis skrining yang dilakukan adalah berbeda-beda untuk masing-


masing individu, yang penting bahwa tindakan skrining sebenarnya hanya
perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan untuk tindakan selanjutnya.

1) Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier


Secara umum, aspek pencegahan dapat dibagi atas pencegahan primer dan
pencegahan sekunder.

19
Contoh pencegahan primer adalah hal-hal seperti:
1. Berhenti merokok
2. Mengubah gaya hidup
3. Memerhatikan diet
4. Melakukan exercise
5. Vaksinasi terhadap influenza/pneumococcus/tetanus.

Selanjutnya, pencegahan sekunder adalah untuk mencegah kecacatan


melalui deteksi dini, yaitu terhadap penyakit-penyakit yang masih berada
pada stadium subklinis. Pencegahan sekunder ini dilakukan melalui
kegiatan skrining atau penemuan kasus (case finding). Di Negara maju,
skrining pada umumnya ditujukan pada penyakit kardiovaskular,
keganasan dan cerebrovascular accident (CVA).

2) Macam-macam Skrining Kesehatan


a) Penyakit hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi
sistolik maupun diastolic. Pencegahannya akan dapat mengurangi
risiko timbulnya stroke, penyakit jantung atau bahkan kematian. Dari
hasil studi, ditemukan bahwa bila 40 orang diobati selama 5 tahun
akan dapat mencegah 1 (satu) kejadian stroke.
b) Keganasan
Skrining terhadap keganasan terutama ditujukan terhadap
penyakit kanker payudara, yaitu dengan cara BSE. Juga penyakit
kanker serviks dengan cara pap smear. Selanjutnya skrining juga
dilakukan terhadap kanker kolon dan rectum. Adapun caranya adalah
dengan pengujian laboratorium terhadap darah samar di dalam feses,
selain dengan cara endoskopi untuk kelainan dalam sigmoid dan
kolon terutama pada penderita yang menunjukkan adanya keluhan.

20
c) Wanita menopause
Tindakan skrining ditujukan untuk memastikan apakah
diperlukan terapi hormone pengganti estrogen. Terapi ini dapat
mengurangi risiko kanker payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis.
Namun, perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya kanker
endometrium, dimana untuk pencegahannya dapat dianjurkan agar
diberikan secara bersamaan dengan hormone progesterone.
Tindakan skrining juga biasanya ditujukan bagi kelainan pada
system indera, yaitu terutama pada pengkihatan dan pendengaran
seperti berikut ini.
d) Skrining Ketajaman Visus
Skrining katajaman visus dengan tindakan sederhana, yaitu
koreksi dengan ukuran kacamata yang sesuai. Bagi kasus katarak
dengan tindakan ekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki
penglihatan, tetapi juga akan meningkatkan status fungsional dan
psikologis. Skrining dengan alat funduskopi dapat mendeteksi
penyakit glaucoma, degenerasi macula, dan retinopati diabetes.
Adapun factor resiko untuk degenerasi macula adalah adanya
riwayat keluarga dan factor merokok.
e) Skrining Pendengaran
Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dari jarak
tertentu ke telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya
minta pasien untuk mengulanginya. Cara ini cukup sensitive, dan
menurut hasil penelitian dikatakan mencapai 80% dari hasil yang
diperoleh melalui pemeriksaan dengan alat audioskop. Mengenai
pemeriksaan dengan audioskop, yaitu dihasilkan nada murni pada
frekuensi 500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz, yaitu pada ambang 25-40
dB.

21
Bentuk pencegahan ketiga adalah pencegahan tersier. Di sini
meliputi pencegahan terhadap morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat
penyakit yang telah ada. Jenis pencegahan ini termasuk tindakan khusus dan
tergolong dalam disiplin ilmu geriatric. Sebagai contoh adalah tindakan
rehabilitasi terhadap penderita lansia, misalnya dengan fraktur panggul agar
dapat mengurangi kecacatan serta kemampuan mereka untuk merawat diri
sendiri. Contoh lainya adalah rehabilitasi pada pasien stroke.
Adapun pencegahan tersier ini lebih dimaksudkan selaku tindakan
untuk peningkatan kesehatan dan bukan semata-mata ditujukan bagi penyakit
tertentu.

D. Penggolongan Skrining Kesehatan


Terdapat 2(dua) golongan skrining, yaitu (1) survey epidemiologi, dan
(2) case finding(pencarian/penemuan kasus). Hal pertama yang dilakukan
misalnya pada penelitian ilmiah ataupun untuk maksud perencanaan program-
program intervensi kesehatan, selanjutnya tidak akan dibahas disini.
Sedangkan yang kedua dapat dilakukan bagi usia lanjut yang secara kebetulan
dating berobat atau sengaja dating untuk keperluan pemeriksaan kesehatan
rutin. Tindakan skrining bertujuan agar sebisa mungkin dan selama mungkin
tetap mempertahankan usia lanjut dalam keadaan yang optimal serta
mencegah institusionalisasi (alias tetap mempertahankannya tinggal dirumah).
Dari segi pertimbangan praktis, dapat dibedakan bahwa untuk periode usia 65-
74 tahun, skrining brtujuan untuk dapat memperpanjang aktivitas fisik, mental
social, serta untuk mengurangi kemungkinan cacat maupun kondisi penyakit
yang berlangsung menahun.
Sedangkan untuk periode lebih dari 75 tahun, skrining bertujuan untuk
memperpanjang kemandirian (ADL) secara optimal, mencegah
institusionalisasi dan mengurangi ketidaknyamanan maupun stress, terutama
bagi kasus-kasus terminal, serta untuk member dukungan emosional bagi
keluarga. Ciri-ciri skrining kesehatan usia lanjut berdasarkan pengalaman

22
sebaiknya diselenggarakan selaku kegiatan kelompok, bersifat office-base
(yaitu dilakukan di institusi misalnya di puskesmas) dan mengingat
tingkatannya yang sederhana, cukup bila ditangani oleh kader terlatih (tidak
mesti oleh petugas kesehatan profesional). Penilaian secara lengkap bagi
lansia memang pada dasarnya haruslah bersifat analisis multidisiplin (dengan
pendekatan kolaboratif), namun mengingat keberadaan lansia pada umumnya
yang jarang memiliki akses kepada pengkajian yang menyeluruh seperti itu,
maka perlu dipopulerkan skrining secara sederhana yang dapat dilakukan oleh
perawat maupun petugas lainnya ditingkat lapangan.
Jenis-jenis skrining secara sederhana tersebut dapat digolongkan dalam:
1. Pengkajian faktor lingkungan (dapat dilakukan oleh petugas
sosiomedis).
2. Skrining fisik (dapat dilakukan oleh dokter maupun perawat)
3. Skrining kejiwaan (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
4. Skrining ADL (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)

Skrining seperti ini pada dasarnya selain bertujuan untuk dapat


menegakkan diagnosis, baik dari segi fisik maupun kejiwaan juga agar
dimungkinkan untuk melakukan tindak lanjut atas temuan yang didapat.
Selain itu, juga memungkinkan untuk dilakukannya tindakan rujukan secara
tepat (kolaborasi).
Untuk pengkajian secara komprehensif ditinjau dari sudut pandang
medis dan keperawatan, pembaca dapat merujuk pada Annex 4,5, dan 6.
Namun, disini akan disajikan pengkajian sederhana yang mencangkup 10 poin
seperti yang dianjurkan oleh Lachs et al. (dalam Geriatri: Darmojo, R.B. dan
Martono, 1999) sebagai berikut.
1. Melakukan test baca koran sebagai modifikasi test snellen berturut-turut
pada mata kiri dan kanan.
2. Melakukan test bisik untuk menilai kemampuan pendengaran berturut-
turut pada telinga kiri dan kanan

23
3. Test fungsi ekstermitas atas dan bawah antara lain dengan cara berjabat
tangan serta meminta lansia untuk bangkit dari duduknya dan berjalan.
4. Test tentang fungsi ADL dan ADL instrumen
5. Mengecek ada tidaknya kontinensia (ngompol atau buang air besar tidak
terasa)
6. Mengecek status gizi melalui pengukran berat dan tinggi badan (IMT)
7. Mengecek kemungkinan depresi dengan menanyakan apakah lansia
sering merasa sedih ,tertekan,was-was, dan khawatir.
8. Mengecek dukungan sosial dengan menanyakan ada tidaknya
penanggung biaya bila lansia memerlukan pengobatan atau keadaan
darurat lainnya.
9. Mengecek status kognitif dengan meminta lansia menyebutkan nama 3
objek tertentu dan mengulanginya sesudah 5 menit.
10. Mengecek kondisi lingkungan dimana lansia berada dengan
menanyakan ada tidaknya bahaya yang dapat mengancam (anak
tangga, , tinggi, penerangan kamar mandi, WC)

E. Skrining pada Keadaan Khusus Lansia


Di negara maju, skrining pada umumnya ditujukan pada penyakit
kardiovaskuler, keganasan dan cerebravaskular accident (CVA) seperti
yang dijelaskan berikut :
1. Penyakit Hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi
sistolik maupun diastolik. Pencegahan akan dapat mengurangi resiko
timbulnya stroke, penyakit jantung, bahkan kematian. Dari hasil studi,
ditemukan bahwa bila 40 orang diobati dalam waktu 5 tahun akan
dapat mencegah satu kejadian stroke, pada hipertensi dilakukan
pengkajian secara lengkap (anamnesa dan pemeriksaan fisik) , skrining
atau tes saringan. Hal yang perlu dilakukan disini adalah pengukuran
tekanan darah. Sebagai patokan diambil batas normal tekanan darah

24
bagi lansia adalah (1) tekanan sistolik 120-160mmHg, dan (2) tekanan
diastolic sekitar 90mmHg. Pengukuran tekanan darah pada lansia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan berbaring, duduk, dan berdiri
dengan selang beberapa waktu, yaitu untuk mengetahui kemungkinan
adanya hipertensi ortostatik.
2. Penyakit Jantung
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
kelainan jantung antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto
thoraks.
3. Penyakit Ginjal
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
kelainan ginjal adalah pemeriksaan laboratorium tes fungsi ginjal dan
foto IVP.
4. Diabetes Melitus
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
diabetes antara lain pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar
gula darah, dan funduskopi.
5. Gangguan Mental
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
gangguan mental antara lain pemeriksaan status mental dan tes fungsi
kognitif. Biasanya telah dapat dibedakan apakah terdapat kelainan
mental seperti depresi, delirium, atau demensia.

25
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim
kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok
yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing
profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika
digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima,
berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana
suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan
memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. Skrining atau
penyaringan kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum
tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat
dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit
dengan orang yang mungkin tidak menderita.
Sehingga skrining ini dilakukan yaitu karena hal berikut ini: sebagai
langkah pencegahan khususnya Early diagnosis dan promotif treatment.
Banyaknya penyakit yang tanpa gejala klinis. Penderita mencari pengobatan
setelah studi lanjut. Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk
menularkan penyakit.

26
DAFTAR PUSTAKA

Adianti, Chintya. 2016. Kolaborasi Dalam Skrining Kesehatan. Available:


https://id.scribd.com/archive/. Diakses Pada 21 Mei 2019

Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for


Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA

Gunadarma, elearning. 2013. Epidemiologi K ebidanan Skrining. Available:


http://elearning.gunadarma.ac.id/. Diakses pada 21 Mei 2019

Hidayat, Aepnurul. 2014. Skrining Kesehatan. Available:


https://aepnurulhidayat.wordpress.com/ Diakses pada 21 Mei 2019

Ikhwan. 2014. Konsep Dasar Skrining. Available: http://ikhwan554.blogspot.com/


Diakses pada 21 Mei 2019.

Mubarak,Wahit Iqbal. 2009. Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Salemba


Medika

Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional
di Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan
Keperawatan di Ruang Rawat. EGC. Jakarta

Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty
Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan
Lansia, EGC. Jakarta

27
SOAL VIGNETTE

1. Seorang laki-laki usia 67 tahun dirawat di panti werdha mengalami nyeri dan
bengkak pada area lutut. Klien juga mengeluh mengalami sulit berjalan pasien di
diagnose medis dengan gout arthritis. Apakah tindakan keperawatan yang tepat
sesuai kasus diatas?
a. Melakukan latihan ROM
b. Melakukan immobilisasi ekstremitas yang nyeri
c. Lakukan bed rest total
d. Lakukan tehnik distraksi

2. Seorang laki-laki berusia 58 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan utama


kaki dan tangan sebelah kanan sulit untuk digerakan. Keluarga klien mengatakan
bahwa klien menderita stroke sejak 6 bulan yang lalu. keluarga juga mengatakan
bahwa klien belum pernah di bawa ke rumah sakit atau puskesmas. Apakah
rencana intervensi keperawatan yang paling tepat untuk kasus di atas?
a. Ajarkan cara memodifikasi lingkungan
b. Ajarkan dampak dari penyakit yang ditimbulkan
c. Ajarkan manajemen aktifitas dan latihan
d. Ajarkan cara pencegahan dan perawatan sederhana
e. Berikan motivasi untuk kunjungan Posyandu lansia atau Puskesmas

3. Seorang perawat melakukan kunjungan rumah pada seorang perempuan berusia


70 tahu yang memiliki riwayat diabetes mellitus. Hasil anamnesis didapatkan luka
derajat 1, pada ekstremitas bawah dextra. Keluarga telah mampu melakukan
perawatan luka ringan, selain itu keluarga juga bertanya jenis perawatan apa
selain merawat luka diabetik. Apakah jenis therapi modalitas yang dapat diberikan
pada klien ?
a. Perawatan luka
b. Manajemen perilaku

28
c. Senam lansia dengan diabetes
d. Memberikan terapi relaksasi
e. Mengajarkan senam kaki diabetic

4. Seorang perawat Puskesmas melakukan kunjungan rumah pada keluarga yang


memiliki lansia dengan paska stroke. Berdasarkan hasil anamnesis klien
mengeluh kaku sendi, ekstremitas bawah sulit digerakan, keluarga mengatakan
klien hanya berbaring dan sejak 1 minggu ini klien tampak murung dan sedih.
Pada saat dilakukan wawancara klien merasa sedih dan mengatakan tidak mau
menjadi beban keluarga. Apakah masalah utama saat ini berdasarkan kasus
tersebut?
a. Kesedihan
b. Pola koping tidak efektif
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Hambatan komunikasi verbal
e. Kurangnya dukungan keluarga

5. Seorang perawat Puskesmas melakukan kunjungan rumah pada keluarga yang


memiliki lansia dengan hipertensi. Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan data
bahwa klien sedang menjalani pengobatan, tetapi klien tidak minum obat secara
teratur, dan keluarga pun tidak pernah mengingatkan klien untuk minum obat.
Apakah diagnosis keperawatan utama pada kasus diatas?
a. Disfungsi proses keluarga
b. Ketidakefektifan pola koping keluarga
c. Kurangnya pengetahuan tentang pengobatan
d. Ketidakefektifan regimen therapeutik keluarga
e. Ketidakefektifan pemeliharaaan kesehatan keluarga

29

Anda mungkin juga menyukai