Dosen Pembimbing:
Ridwan Ikob, S.Pd, SKM, M.Kes
DISUSUN OLEH:
2
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu
ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan
sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang
pelayanan kesehatan pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang
komprehensif.
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah
saja, tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja.
Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan
kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang
menyebabkan seorang mengalami gangguan mental seperti depresi.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang
dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah
sebagai berikut:
1. Penurunan kondisi fisik
2. Penurunan fungsi dan potensi seksual
3. Perubahan aspek psikososial
4. Perubahan yang berkaitan dengan pekcrjaan
5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha untuk
mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas dengan
menggunakan test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan
secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi
sesunguhnya menderita suatu kelainan. Penelitian epidemiologi ditujukan untuk
faktor-faktor epidemiologis yang berkaitan dengan distribusi penyakit /masalah
kesehatan di masyarakat yang hasilnya dipergunakan untuk membuat
perencanaan intervensi atau upaya pencegahan yang sesuai
3
Salah satu jenis penelitian yang sering digunakan adalah screening. Mahasiswa
perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penelitian skrining tersebut
sebelum nantinya terjun ke masyarakat untuk mengadakan penelitian. Oleh sebab
itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh mengenai penelitian screening.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian skrening kesehatan.
2. Untuk mengetahui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
3. Untuk menjelaskan macam-macam skrening kesehatan.
4. Untuk mengetahui penggolongan skrening kesehatan.
5. Untuk mengetahui skrening pada keadaan khusus lansia .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling
berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada
pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran
pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik
setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership
kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang
lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki
kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang
lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja
bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan
untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi
di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat
terwujud jika individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan
intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan
dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap
perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
6
2.2 Kolaborasi di Rumah Sakit
Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim dalam
memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap saling
menghargai antar tenaga kesehatan dan saling memberikan informasi tentang
kondisi klien demi mencapai tujuan (Hoffart & Wood, 1996; Wlls, Jonson &
Sayler, 1998).
Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :
Fokus
Klien/
Pasien
laboratorium dll
administrasi IPSRS
radiologi
7
2.3 Anggota Tim interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok
profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota
tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan
meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager,
dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi
yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota
tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi
pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal
hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam
interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat
berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas
pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering
berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal
pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja
dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai
kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini
8
Communi
cations Responsi
bility
Autonom
y
cooperation
Common Efective
purpose collaborat
ion
Assertiveness
Coordinati
on
Mutuality
9
duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan
permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada
pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan
profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan
seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan
konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai
suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang
ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap
anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi.
Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman,
menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan
ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Dasar-dasar kompetensi koaborasi :
a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan
c. Memberikan dan menerima feed back
d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik
10
negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan
manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul dalam proses.
Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota harus memahami
peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan,
mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta
melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik profesional.
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan
memahami orang lain.
11
yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan klien
terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar profesi
secara formal tentang asuhan klien.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.
Model Praktek Kolaborasi :
a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek
b. Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan
c. Tim Interdisiplin atau komite
12
pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien
melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama
periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja
sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka
berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik
untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney,
2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan
apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu
menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan
rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para
pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan
dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang
membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang
mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan
pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan
dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para
pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar
merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang
lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat
13
dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja
saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi
nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang
berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak
terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat
menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan
menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai
profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama,
dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi
untuk mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara
dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran,
dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan
kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi
permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu
upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan
proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti
dengan pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga
terjadi trasnfer pengetahuan diantara anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi
bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu
perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan
komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui
14
pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-
pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.
1. Upaya promotif
2. Upaya preventif
15
3. Diagnosa dini dan pengobatan
4. Pencegahan kecacatan
5. Upaya rehabilitatif
c. Upaya perawatan
d. Upaya pelembagaan Lansia
16
b. Impairment (kerusakan/ gangguan), yaitu adanya gangguan atau
kerusakan dari organ akibat penyakit, missal pada MCI akut
ataupun kronis.
c. Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif pada
kemampuan fungsional dari organ atau dari individu tersebut. Pada
kasus di atas misalnya terjadi decompensasi jantung.
d. Handicap (hambatan), yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus
tersebut di atas adalah ketidakmampuan penderita untuk melakukan
aktivitas sosial, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya.
17
Disiplin lain dapat memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara
periodik dilakukan pertemuan anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja
yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan
bersama yang hendak dicapai.
Khusus mengenai bentuk dan tata cara pengisian KMS akan dijelaskan
tersendiri pada bagian lampiran (Annex 1). Berikut ini akan diuraikan definisi,
tujuan, dan ciri-ciri skrining kesehatan bagi usia lanjut.
18
Skrining (penapisan) adalah mengidentifikasi ada tidaknya penyakit atau
kelainan yang sebelumnya tidak diketahui dengan menggunakan berbagai tes
pemeriksaan fisik dan prosedur lainnya, agar dapat memilah dari sekelompok
individu, mana yang tergolong mengalami kalainan. Skrining tidak dapat
diartikan secara diagnostic, tetapi bilamana hasilnya positif selanjutnya dapat
di follw-up dengan pemeriksaan diagnostic, kalau perlu dengan tindakan
pengobatan. Sasaran skrining kesehatan memang ditujukan bagi setiap lansia,
namun sasaran utamanya adalah mereka yang berada dalam kategori resiko
tinggi (Broklehurst & Allen dalam Darmojo, R. B Geriatri, 1999).
1. Laki-laki, duda
2. Lansia jompo (diatas 80 tahun)
3. Tinggal sendiri
4. Baru keluar dari perawatan rumah sakit
5. Baru saja mengalami duka cita yang mendalam.
19
Contoh pencegahan primer adalah hal-hal seperti:
1. Berhenti merokok
2. Mengubah gaya hidup
3. Memerhatikan diet
4. Melakukan exercise
5. Vaksinasi terhadap influenza/pneumococcus/tetanus.
20
c) Wanita menopause
Tindakan skrining ditujukan untuk memastikan apakah
diperlukan terapi hormone pengganti estrogen. Terapi ini dapat
mengurangi risiko kanker payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis.
Namun, perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya kanker
endometrium, dimana untuk pencegahannya dapat dianjurkan agar
diberikan secara bersamaan dengan hormone progesterone.
Tindakan skrining juga biasanya ditujukan bagi kelainan pada
system indera, yaitu terutama pada pengkihatan dan pendengaran
seperti berikut ini.
d) Skrining Ketajaman Visus
Skrining katajaman visus dengan tindakan sederhana, yaitu
koreksi dengan ukuran kacamata yang sesuai. Bagi kasus katarak
dengan tindakan ekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki
penglihatan, tetapi juga akan meningkatkan status fungsional dan
psikologis. Skrining dengan alat funduskopi dapat mendeteksi
penyakit glaucoma, degenerasi macula, dan retinopati diabetes.
Adapun factor resiko untuk degenerasi macula adalah adanya
riwayat keluarga dan factor merokok.
e) Skrining Pendengaran
Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dari jarak
tertentu ke telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya
minta pasien untuk mengulanginya. Cara ini cukup sensitive, dan
menurut hasil penelitian dikatakan mencapai 80% dari hasil yang
diperoleh melalui pemeriksaan dengan alat audioskop. Mengenai
pemeriksaan dengan audioskop, yaitu dihasilkan nada murni pada
frekuensi 500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz, yaitu pada ambang 25-40
dB.
21
Bentuk pencegahan ketiga adalah pencegahan tersier. Di sini
meliputi pencegahan terhadap morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat
penyakit yang telah ada. Jenis pencegahan ini termasuk tindakan khusus dan
tergolong dalam disiplin ilmu geriatric. Sebagai contoh adalah tindakan
rehabilitasi terhadap penderita lansia, misalnya dengan fraktur panggul agar
dapat mengurangi kecacatan serta kemampuan mereka untuk merawat diri
sendiri. Contoh lainya adalah rehabilitasi pada pasien stroke.
Adapun pencegahan tersier ini lebih dimaksudkan selaku tindakan
untuk peningkatan kesehatan dan bukan semata-mata ditujukan bagi penyakit
tertentu.
22
sebaiknya diselenggarakan selaku kegiatan kelompok, bersifat office-base
(yaitu dilakukan di institusi misalnya di puskesmas) dan mengingat
tingkatannya yang sederhana, cukup bila ditangani oleh kader terlatih (tidak
mesti oleh petugas kesehatan profesional). Penilaian secara lengkap bagi
lansia memang pada dasarnya haruslah bersifat analisis multidisiplin (dengan
pendekatan kolaboratif), namun mengingat keberadaan lansia pada umumnya
yang jarang memiliki akses kepada pengkajian yang menyeluruh seperti itu,
maka perlu dipopulerkan skrining secara sederhana yang dapat dilakukan oleh
perawat maupun petugas lainnya ditingkat lapangan.
Jenis-jenis skrining secara sederhana tersebut dapat digolongkan dalam:
1. Pengkajian faktor lingkungan (dapat dilakukan oleh petugas
sosiomedis).
2. Skrining fisik (dapat dilakukan oleh dokter maupun perawat)
3. Skrining kejiwaan (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
4. Skrining ADL (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
23
3. Test fungsi ekstermitas atas dan bawah antara lain dengan cara berjabat
tangan serta meminta lansia untuk bangkit dari duduknya dan berjalan.
4. Test tentang fungsi ADL dan ADL instrumen
5. Mengecek ada tidaknya kontinensia (ngompol atau buang air besar tidak
terasa)
6. Mengecek status gizi melalui pengukran berat dan tinggi badan (IMT)
7. Mengecek kemungkinan depresi dengan menanyakan apakah lansia
sering merasa sedih ,tertekan,was-was, dan khawatir.
8. Mengecek dukungan sosial dengan menanyakan ada tidaknya
penanggung biaya bila lansia memerlukan pengobatan atau keadaan
darurat lainnya.
9. Mengecek status kognitif dengan meminta lansia menyebutkan nama 3
objek tertentu dan mengulanginya sesudah 5 menit.
10. Mengecek kondisi lingkungan dimana lansia berada dengan
menanyakan ada tidaknya bahaya yang dapat mengancam (anak
tangga, , tinggi, penerangan kamar mandi, WC)
24
bagi lansia adalah (1) tekanan sistolik 120-160mmHg, dan (2) tekanan
diastolic sekitar 90mmHg. Pengukuran tekanan darah pada lansia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan berbaring, duduk, dan berdiri
dengan selang beberapa waktu, yaitu untuk mengetahui kemungkinan
adanya hipertensi ortostatik.
2. Penyakit Jantung
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
kelainan jantung antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto
thoraks.
3. Penyakit Ginjal
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
kelainan ginjal adalah pemeriksaan laboratorium tes fungsi ginjal dan
foto IVP.
4. Diabetes Melitus
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
diabetes antara lain pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar
gula darah, dan funduskopi.
5. Gangguan Mental
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan
fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan
gangguan mental antara lain pemeriksaan status mental dan tes fungsi
kognitif. Biasanya telah dapat dibedakan apakah terdapat kelainan
mental seperti depresi, delirium, atau demensia.
25
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim
kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok
yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing
profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika
digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima,
berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana
suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan
memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. Skrining atau
penyaringan kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum
tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat
dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit
dengan orang yang mungkin tidak menderita.
Sehingga skrining ini dilakukan yaitu karena hal berikut ini: sebagai
langkah pencegahan khususnya Early diagnosis dan promotif treatment.
Banyaknya penyakit yang tanpa gejala klinis. Penderita mencari pengobatan
setelah studi lanjut. Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk
menularkan penyakit.
26
DAFTAR PUSTAKA
Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional
di Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan
Keperawatan di Ruang Rawat. EGC. Jakarta
Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty
Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan
Lansia, EGC. Jakarta
27
SOAL VIGNETTE
1. Seorang laki-laki usia 67 tahun dirawat di panti werdha mengalami nyeri dan
bengkak pada area lutut. Klien juga mengeluh mengalami sulit berjalan pasien di
diagnose medis dengan gout arthritis. Apakah tindakan keperawatan yang tepat
sesuai kasus diatas?
a. Melakukan latihan ROM
b. Melakukan immobilisasi ekstremitas yang nyeri
c. Lakukan bed rest total
d. Lakukan tehnik distraksi
28
c. Senam lansia dengan diabetes
d. Memberikan terapi relaksasi
e. Mengajarkan senam kaki diabetic
29