Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi
belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara
garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.
Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah
kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan
oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat
konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang
terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-
faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar.
Kegunaan Angka Kematian Bayi :
Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat dimana
angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk pengembangan
perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi yang lain. Karena
kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang berhubungan dengan kehamilan
maka program-program untuk mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang
bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian
pil besi dan suntikan anti tetanus. Sedangkan Angka Kematian Post-NeoNatal dan Angka
Kematian Anak serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program
imunisasi, serta program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak,
program penerangan tentang gisi dan pemberian makanan sehat untuk anak dibawah usia 5
tahun.
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya kematian bayi berusia dibawah satu tahun,
per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu.
Maternal Mortality Rate atau Angka Kematian Ibu adalah jumlah kematian ibu setiap
100.000 kelahiran hidup, pada saat kehamilan atau 42 hari setelah kehamilan berakhir - yang
penyebabnya berhubungan dengan kehamilan atau diperburuk oleh kehamilan dan
penatalaksanaanya, tapi bukan karena sebab insidental/kecelakaan. Angka ini mencerminkan
risiko obstetrik yang dihadapi oleh seorang ibu sewaktu ia hamil. Jika ibu tersebut hamil
beberapa kali, risikonya meningkat dan digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang
hidupnya, yaitu probabilitas menjadi hamil dan probabilitas kematian karena kehamilan
terjadi sepanjang masa reproduksi.
AKI ini diperhitungkan pula pada jangka waktu 6 minggu hingga setahun setelah
melahirkan. Indikator ini dapat dilakukan pada daerah yang kelahiran hidupnya minimal
50.000. Bagi yang < 50.000 kelahiran hidup dianjurkan untuk menghitung jumlah absolut
kematian ibu saja atau menggunakan indikator antara misalnya persalinan tenaga kesehatan.
Pada saat kapan AKI itu dapat dikatakan tinggi ? AKI dapat dikatakan tinggi apabila :
1. Jumlah kematian ibu yang meninggal mulai saat hamil hingga 6 minggu setelah
persalinan per 100.000 persalinan tinggi
2. Angka kematian ibu tinggi adalah angka kematian yang melebihi dari angka target
nasional
3. Tingginya angka kematian, berarti rendahnya standar kesehatan dan kualitas pelayanan
kesehatan yang diberikan, dan mencerminkan besarnya masalah kesehatan.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan perempuan. Kenapa AKI ini bisa dijadikan sebuah indikator kesehatan ? Karena
ibu atau perempuan digolongan sebagai populasi yang 'rentan' atau lemah. Dalam suatu
masyarakat yang partiarkal (seperti banyak negara di Timur Tengah) dimana ada rentang
besar dalam kesetaraan gender, kaum perempuan memiliki hak terbatas dibanding pria
terhadap akses pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Sebagai akibatnya banyak perempuan tidak memiliki pendidikan lanjut, menikah pada
usia muda, kehilangan hak atas alat reproduksinya; tidak bisa menentukan kapan ia ingin
hamil, berapa jumlah anak yang ingin dimiliki dan seterusnya. Perempuan juga acapkali
tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dalam keluarganya. Contohnya, keputusan
untuk pergi ke layanan kesehatan mungkin diambil oleh suaminya, mertuanya atau orang
lain yang lebih dituakan dalam keluarga. Tetapi jika seorang ibu/wanita telah terjamin akan
akses pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya, maka akan terlahir juga generasi-generasi
yang sehat.
Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam
tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yakni meningkatkan kesehatan ibu dimana
target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah
kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari
waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan
millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus.
Kegunaan
Informasi mengenai tingginya MMR akan bermanfaat untuk pengembangan program
peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan
yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy safer), program peningkatan jumlah
kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan
komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran,
yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat
kesehatan reproduksi.
Cara Menghitung
Kemudian kematian ibu dapat diubah menjadi rasio kematian ibu dan dinyatakan per
100.000 kelahiran hidup, dengan membagi angka kematian dengan angka fertilitas umum.
Dengan cara ini diperoleh rasio kematian ibu kematian maternal per 100.000 kelahiran
Rumus
Dimana:
Jumlah Kematian Ibu yang dimaksud adalah banyaknya kematian ibu yang disebabkan
karena kehamilan, persalinan sampai 42 hari setelah melahirkan, pada tahun tertentu, di
daerah tertentu.
Jumlah kelahiran Hidup adalah banyaknya bayi yang lahir hidup pada tahun tertentu, di
daerah tertentu. Konstanta =100.000 bayi lahir hidup.
Sementara terdapat dua alternatif alat ukur baru kematian ibu terkait dengan kehamilan,
yaitu:
- Kematian maternal lanjut (late maternal death) – Kematian yang diakibatkan
penyebab obstetric langsung dan tidak langsung lebih dari 42 hari namun kurang dari
1 tahun (antara 42 hari – 1 tahun) setelah melahirkan (after termination of pregnancy).
- Kematian terkait kehamilan (pregnancy-related death) – Kematian ibu yang terjadi
selama kehamilan atau 42 hari setelah melahirkan, tanpa melihat penyebabnya,
obstetric langsung dan tidak langsung (oleh sebab apapun). Kematian ibu terkait
kehamilan (pregnancy-related death) sangat berguna ketika penyebab kematian sulit
ditentukan dan ketika semua kematian di daerah itu disebabkan karena kehamilan.
Keterbatasan
AKI sulit dihitung, karena untuk menghitung AKI dibutuhkan sampel yang besar, mengingat
kejadian kematian ibu adalah kasus yang jarang. Oleh karena itu kita umumnya
dignakan AKI yang telah tersedia untuk keperluan pengembangan perencanaan program.
Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian ibu
langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan segala
intervensi atau penanganan yang tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak
langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu
kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan
penyakit kardiovaskular.
Secara global 80 % kematian ibu tergolong pada kematian ibu langsung. Pola penyebab
langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan (25 %, biasanya perdarahan pasca persalinan),
sepsis (15 %), hipertensi dalam kehamilan (12 %), partus macet (8 %), komplikasi aborsi
tidak aman (13 %) dan sebab-sebab lain (8 %).
Persalinan lama merupakan pula penyebab kematian janin. Janin meninggal karena
tekanan berlebihan pada plasenta dan tali pusat. Kematian janin dapat menjadi trigger
terjadinya koagulasi intravascular disseminata dengan akibat perdarahan, syok, dan kematian.
Insidens aborsi tidak aman secara global adalah sekitar 20 juta per tahun atau 1 diantara 10
kehamilan atau 1 aborsi tidak aman dengan 7 kelahiran hidup. Lebih dari 90 % aborsi tidak
aman terjadi di negara-negara sedang berkembang. Komplikasi yang terjadi berupa sepsis,
perdarahan, terutama genital dan abdominal, perforasi uterus, dan keracuanan bahan
abortifasien. Kematian dapat terjadi karena gangren gas dan gagal ginjal akut. Komplikasi
jangka panjang aborsi tidak aman adalah nyeri panggul menahun, penyakit radang panggul,
oklusi tuba, dan infertilitas sekunder. Dapat pula terjadi kehamilan ektopik, persalinan
premature atau abortus spontan pada kehamilan berikutnya.
Kesakitan yang menyusul penyebab tidak langsung misalnya anemia, malaria, hepatitis,
tuberculosis, dan penyakit kardiovaskular. Salah satu kesakitan yang utama adalah anemia,
yang disamping menyebabkan kematian melalui henti kardiovaskular, juga berhubungan
dengan penyebab langsung kematian ibu. Ibu yang anemia tidak dapat menoleransi
kehilangan darah seperti perempuan sehta tanpa anemia. Pada waktu persalinan, kehilangan
darah 1000 ml tidak mengakibatkan kematian pada ibu sehat, tetapi pada ibu anemia,
kehilangan darah kurang dari itu dapat berakibat fatal. Ibu anemia juga meningkatkan resiko
operasi atau penyembuhan luka tidak segera, sehingga luka dapat terbuka seluruhnya.Malaria
meningkatkan risiko anemia ibu, prematuritas, dan berat badan lahir rendah pada kehamilan
pertama. Prevalensi dan densitas parasitemia pada primigravida lebih tinggi daripada ibu
tidak hamil. Infeksi HIV juga meningkatkan risiko komplikasi malaria. Hepatitis virus dalam
kehamilan merupakan keadaan yang meningkatkan case fatality rate 35 kali daripada ibu
tidak hamil. Hepatitis virus umumnya terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dapat
menyebabkan persalinan prematur, gagal hat, perdarahan dan janin pada umunya sulit
diselamatkan.
Selain masalah tingginya AKI secara nasional, didapatkan pula masalah disparitas
antar-daerah di Indonesia. Perkiraan tahun 1995 menunjukkan bahwa AKI terendah adalah di
Jawa Tengah (248), sedangkan di beberapa provinsi lain masih sangat tinggi misalnya
Maluku (796), Papua (1025), Jawa Barat (686), dan Nusa Tenggara Timur (554).
Risiko kematian ibu dapat ditambah dengan adanya anemia, penyakit infeksi seperti
malaria, tbc, hepatitis, atau HIV/AIDS. Pada 1995 prevalensi anemia adalah 51 % pada ibu
hamil. Anemia dalam kehamilan akan mengakibatkan meningkatnya risiko keguguran,
prematuritas, atau berat bayi lahir rendah. Defisiensi energi kronis merupakan penyebab lain
kematian ibu. Status sosioekonomi keluarga, pendidikan, budaya, akses terhadap fasilitas
kesehatan, serta transportasi juga berperan dalam kematian ibu. Salah satu faktor tingginya
AKI di Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih rendahnya cakupan pertolongan
oleh tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan
ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2010. Perbandingan dengan hasil survei SDKI bahwa
persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat dari 66 persen dalam
SDKI 2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand di mana angka
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hampir mencapai 90%. Apabila dilihat dari
proyeksi angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan nampak bahwa ada
pelencengan dari tahun 2004 dimana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
dibawah dari angka proyeksi, apabila hal ini tidak menjadi perhatian kita semua maka
diperkirakan angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 90 % pada tahun
2010 tidak akan tercapai, konsekuensi lebih lanjut bias berimbas pada resiko angka kematian
ibu meningkat. Kondisi geografis, persebaran penduduk dan sosial budaya merupakan
beberapa faktor penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan, dan tentunya disparitas antar daerah akan berbeda satu sama lain.
Jika informasi tentang hal itu kurang, komitmen kurang, serta akses tidak tercapai,
maka hasilnya tidak akan seperti yang diharapkan. Pelayanan secara professional oleh tenaga
kesehatan terampil itulah yang diharapkan oleh ibu-ibu dan keluarganya. Barangkali
kesalahan kita sampai saat ini membagi-bagi pelayanan persalinan dalam beberapa kategori
sepeerti pelayanan persalinan normal, pelayanan obstetri emergensi dasar dan pelayanan
obstetri emergensi komprehensif. Hal ini dapat membingungkan bukan hanya bagi pasien,
tetapi juga petugas kesehatan dan institusi pendidikannya. Sebenarnya perbedaan pelayanan
dasar dan komprehensif adalah pada fasilitasnya, bukan pada kemampuan tenaga kesehatan.
Mendekatkan Pelayanan yang Aman pada Ibu
Semua kehamilan dan persalinan, bukan hanya yang berisiko, memerlukan pelayanan
professional oleh tenaga kesehatan terampil. Konsepnya adalaha persalinan yang
membutuhkan kedekatan dengan tempat dan cara ibu itu hidup, dekat dengan budayanya.
Namun, pada saat yang sama tenaga professional terampil tersedia dan setiap saat dapat
berbuat sesuatu bilamana terjadi komplikasi. Jenis pelayanan seperti ini diharapkan dapat
responsif, terjangkau dan tenaga kesehatan harus kompeten dalam melaksanakan
kegiatannya. Tingkat pelayanan ini mungkin lebih baik disebut sebagai pelayanan tingkat
“pertama”, bukan pelayanan “primer”, “dasar”, atau “normal” seperti yang kita pakai
sekarang. Sebab walaupun di tingkat pertama, komplikasi setiap saat dapat terjadi sehingga
tenaga kesehatan yang bertugas harus mampu bertindak. Pelayanan seperti partograf,
dukungan psikologis, mulai menyusui bayinya harus sudah dilaksanakan pada tingkat ini.
Tindakan tertentu seperti pengeluaran plasenta manual dan resusitasi bayi baru lahir harus
dapat dilakukan jika diperlukan. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus benar-benar
kompeten dan tidak setengah-setengah. Bidan yang diluluskan dari sekolah-sekolah atau
akademi kebidanan harus benar-benar kompeten baik di bidang knowledge, skill maupun
attitude. Menghasilkan bidan atau dokter yang tidak kompeten hanya akan menambah
tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Sebagian kecil ibu dan bayi baru lahir mengalami masalah yang memerlukan
penanganan lebih kompleks. Oleh karena itu, perlu rumah sakit back up untuk membantu
menangani masalah atau komplikasi yang terjadi. Criteria pengiriman back up bukan hanya
apakah komplikasi itu membahayakan jiwa atau emergensi, tetapi juga kompleksitasnya.
Pada fasilitas back up, sebaiknya tersedia dokter obgin, dokter anak, atau sekurang-
kurangnnya dokter umum terampil, tersedia 24 jam sehari, dan hubungan antara tingkat I
dengan back up harus sangat baik.Dengan perkataan lain, harus diciptakan suatu networking
antara fasilitas back up dengan bebetapa fasilitas pelayanan tingkat I. Jadi, fasilitas ini tidak
berdiri sendiri tanpa jaringan.
Masa nifas masih potensial mengalami komplikasi sehingga perlu perhatian dari tenaga
kesehatan. Kematian ibu masih dapat terjadi pada masa ini karena perdarahan atau sepsis,
serta kematian bayi baru lahir. Ibu-ibu pascapersalinan, lebih-lebih yang sosioekonomi dan
pendidikannya kurang, sering tidak mengerti potensi bahaya nifas ini. Mereka yang
melahirkan di rumah, sering tidak memperoleh pelayanan nifas. Umumnya kita
menganjurkan agar ibu memeriksakan diri 6 minggu pascapersalinan, yang sesungguhnya
kurang efektif. Lebih-lebih bila pemeriksaan ini dilakukan oleh orang yang berbeda, serta
lokasi yang berbeda pula dengan lokasi persalinan. Sering kita lihat angka kunjungan
pascapersalinan rendah, tanpa ada upaya memperbaikinya.