Disusun oleh
Indah Afif Khairunnisa
NPM 210110110251
1
BAB I
Pendahuluan
3
BAB II
Pembahasan
5
2.2. Pengaruh Struktur terhadap Konstruksi Berita
Penyusunan agenda terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita
(Littlejohn, 2009:416). Media mempunyai kebijakan tentang apa yang harus dilaporkan
dan bagaimana melaporkannya. Ada dua tingkatan penyusunan agenda. Pertama,
menentukan isu-isu umum yang dianggap penting, dan kedua menentukan bagian atau
aspek dari isu tersebut yang dianggap penting. Tingkat kedua ini sama pentingnya
dengan tingkat pertama, karena memberi media cara untuk membuat kerangka isu yang
mendasari agenda masyarakat dan agenda media. Oleh karenanya, ketika kita
membahas mengenai agenda media, kita juga akan membahas soal pembingkaian berita
(framing). Istilah framing pertama kali dikenalkan oleh Todd Gitlin pada tahun 1960-
an. Gagasan pembingkaian ini digunakan para ahli teori media sebagai sebuah cara
alami penyusunan agenda tingkat kedua. Media membingkai kejadian dalam cara-cara
yang dapat membatasi bagaimana audiens menafsirkan kejadian tersebut. hal ini dapat
terjadi dengan berbagai muatan dalam berita seperti cara penceritaan, penguatan berita
utama, komponen audio-visual, dan metafora yang digunakan.
Stuart Hall (dalam Ishadi, 2014: 20) melihat bahwa pada proses produksi berita
terdapat tiga ideologi profesional jurnalis yang meliputi nilai berita, kategori berita, dan
objektivitas. Dengan nilai berita, jurnalis di lapangan akan memilah peristiwa yang
diberitakan. Redaktur di kantor pun akan memilah berita yang bernilai tinggi. Di sisi
lain, dengan adanya kategorisasi berira, aka nada suatu kontrol bagi jurnalis bagaimana
ia bertindak dalam situasi atau peristiwa tertentu. Objektivitas sebagai ideologi akan
menjadi suatu prosedur dan standar kerja jurnalis. Prosedur tersebut antara lain fakta
harus dicek ulang, laporan harus berimbang, dan meliput dua sisi (cover both sides).
Prosedur ini diperlukan untuk mendekati realitas yang sebenarnya.
Fungsi penyusunan agenda itu sendiri merupakan sebuah proses yang terdiri atas
tiga bagian. Pertama, isu yang akan dibahas dalam media atau agenda media (media
agenda), harus diatur. Kedua, agenda media mempengaruhi atau berinteraksi dengan
apa yang dipikirkan masyarakat, menciptakan agenda masyarakat (public agenda).
Terakhir, agenda masyarakat mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang para
pembuat kebijakan anggap penting disebut agenda kebijakan (policy agenda).
Hingga kini, pertanyaan siapa yang pertama kali menentukan agenda media sulit
dijawab. Namun kita dapat melihat bahwa agenda media berasal dari tekanan, baik
dalam organisasi media dan dari sumber-sumber di luar organisasi tersebut.
6
Lebih jauh lagi, Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengonsepsi lima
faktor yang mempengaruhi isi media, yaitu individual level, media routines level,
organization level, extra media level, dan ideological level.
Individual level menyangkut sisi profesional jurnalis, seperti latar belakang
pendidikan dan keterampilannya. Media routines level berkaitan dengan perspektif
organisasi media, aturan yang berlaku menyangkut proses penentuan berita. Faktor ini
yang menjadi fokus pembahasan, dan berkaitan pula dengan faktor berikutnya, yakni
organization level yang menyangkut faktor struktur organisasi media; di sini dikaji pula
proses pengambilan keputusan di dalam organisasi media dan kebijakan apa yang
ditetapkan kemudian. Tak hanya faktor yang datang dari dalam, tetapi juga faktor dari
luar media itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai extra media level atau faktor-faktor
di luar media seperti narasumber berita, sumber penghasilan media (iklan dan
pelanggan), dan lembaga lain di luar media (kalangan pebisnis, pemerintah, dan
lainnya). Terakhir, ideological level, yang menyoroti pihak yang berkuasa di
masyarakat, serta bagaimana kekuatan itu berperan menentukan agenda media.
Seperti yang disimpulkan Raymond WK Lau dalam jurnal Re-theorizing news’
construction of reality: A realist-discourse-theoretic Approach (2012 h.11):
This is a result of extra-discursive factors such as source media strategy, then it
constitutes construction of reality through news. It is only when this is mainly due
to the characteristics of the news-making process that we can speak of the
construction of reality by news.
7
berkoordinasi dengan editor untuk menyediakan batas ruang untuk pengiklan dan untuk
jumlah karakter berita (panjang-pendeknya tulisan).
8
Konsekuensi keadaan seperti ini tampak dalam wujud berkurangnya jumlah
sumber lembaga media yang bebas, terciptanya konsentrasi pada pasar besar,
munculnya sikap bodoh terhadap calon khalayak pada sektor kecil (Arianto, Ekonomi
Politik Lembaga Media Komunikasi, 2011 h. 5). Kita pun dapat melihat kini
konglomerasi media yang tercipta didasari dengan adanya kepemilikan modal, yakni
pemikiran berusaha melakukan ekspansi sebagai penyebaran kekuasaan ekonomi
sekaligus menuangkan pengaruh politiknya. Sebut saja tiga dari sekian media besar di
Indonesia saat ini: MNC Media Group (Harry Tanoesoedibjo), Jawa Pos Group (Dahlan
Iskan), dan Kompas Gramedia (Jakob Oetama). Mereka adalah salah satu bentuk nyata
dari kegiatan ekspansi perusahaan dengan menciptakan suatu konvergensi media, yang
kemudian mengarah pada terkonsentrasinya kepemilikan media.
Sikap bodoh itu sendiri penulis artikan sebagai dampak dari hegemoni. Konsep
hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya
usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa di sini
memiliki arti luas, tidak terbatas pada penguasa negara (pemerintah). Hegemoni bisa
didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan
atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok
dominan diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense) oleh kelompok yang
didominasi. Konsep hegemoni ini lahir dari paradigma kritis yang menurut Ishadi
(2014: 9) memandang media adalah sarana bagi kelompok dominan untuk mengontrol
kelompok yang tidak dominan, bahkan meminggirkan mereka dengan menguasai dan
mengontrol media.
Menurut Littlejohn (2009: 388), hegemoni bukanlah gerak kekuasaan yang
aksar, namun sebuah rencana yang “dikembangkan”. Dalam pandangan mazhab kritis,
terutama dalam studi-studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural
Studies, Bringmiham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang
“powerfull” dan ada ideologi dominan di dalamnya. Ini mengingatkan kita akan salah
satu teori komunikasi massa, yaitu teori peluru atau jarum hipodermik. Teori yang
dikemukakan oleh Wilbur Schramm ini mengasumsikan bahwa media memiliki
kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa.
Asumsi teori hegemoni media selalu diarahkan pada aspek-aspek yang
menyangkut ideologi organisasi media itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan,
serta mekanismenya dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan kaum
pekerja (wartawan dan karyawan) sebagai sasaran dari pemilik industri media.
9
Untuk menghindari kebodohan atau hegemoni itu, publik sebagai konsumen
media harus memahami struktur organisasi yang ada di balik media tersebut.
Kemampuan menggunakan media (literasi media) diperlukan agar khalayak tidak
menerima begitu saja segala informasi yang tersedia, akan tetapi harus mampu memilah
dan menelaah pesan-pesan yang ditampilkan oleh media. Tidak hanya untuk menjadi
konsumen informasi yang cerdas, tetapi juga untuk memahami hakikat dan fungsi
media massa itu sendiri dalam konteks kehidupan sosial dan bermasyarakat.
10
BAB III
Penutup
3.1. Simpulan
Adapun simpulan yang dapat ditarik dari makalah ini yaitu:
- Jurnalisme dan organisasi media merupakan suatu tinjauan untuk mengkaji
jurnalisme secara organisasional, baik dilihat sebagai entitas bisnis maupun entitas
sosial.
- Organisasi media mempengaruhi cara kerja produksi media, sejak perencanaa
peliputan, pelaksanaan peliputan, pengemasan informasi, hingga penyebaran
informasinya.
3.2. Saran
Penulis menyarankan sebagai berikut.
- Jurnalisme dan organisasi media perlu dikaji lebih mutakhir lagi sebab organisasi
tak lepas dari dinamika organisasi, yang membuatnya dapat berevolusi dari masa ke
masa. Dengan kata lain, organisasi media kini telah berubah dibanding di masa lalu.
- Pengetahuan mengenai organisasi media sebaiknya lebih disebarkan pada khalayak
media guna memberi pemahaman tentang fungsi pers, sehingga publik dapat turut
memantau jalannya penggunaan fungsi pers yang sebenarnya.
11
Daftar Pustaka
Ardianto, Elvinaro., dkk. 2009. Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Artikel Pengorganisasian dan Struktur Organisasi di Industri Media oleh Satrio
Arismunandar,
https://www.academia.edu/5356866/Pengorganisasian_dan_Struktur_Organisasi_di_Industr
i_Media diakses Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 17.47 WIB.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Universitas Tadulako-Palu, Vol. 1, No.2, Oktober 2011. Ekonomi
Politik Lembaga Media Komunikasi oleh Arianto.
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Materi perkuliahan Struktur Organisasi Media, Unikom.
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/466/jbptunikompp-gdl-reninuraen-23251-10-stuktur-
a.pdf diakses Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 20.01 WIB.
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
Jurnal ilmiah The Open University of Hong Kong, Hong Kong, 2012. Re-theorizing news’
construction of reality:A realist-discourse-theoretic approach oleh Raymond WK Lau.
SK, Ishadi. 2014. Media & Kekuasaan, Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
12