Anda di halaman 1dari 370

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR… TAHUN…
TENTANG
PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik


Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia
yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila
dan Udang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan
dan bagian dari umat manusia yang beradab,
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,nilai-nilai budaya
yang hidup dalammasyarakat hukum adat, serta
memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan
secara wajar;
c. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemeritahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dalam undang-undang;
d. bahwa integrasi dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan
sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan
daerah Otonomi Khusus;
e. bahwa penduduk asli Papua merupakan salah satu
rumpun dariras Melanesia yang merupakan bagian dari
suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki
keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan
bahasa sendiri;
f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan di Tanah Papua selama ini belum
sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum
sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
penegakan hukum dan belum sepenuhnya
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Tanah
Papua, khususnya masyarakat Papua;
1
g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan
alam di Tanah Papua belum digunakan secara optimal
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli
sehingga telah mengkibatkan kesenjangan antara Papua
dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-
hakdasar penduduk asli Papua;
h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara
Provinsi di tanah Papua dan Provinsi lain dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua serta
memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,
diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud
didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup
perlindungan dan penghargaan terhadap nilai-nilai etika
dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi
Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme
serta persamaan kedudukan hak dan kewajiban sebagai
warga negara;
j. bahwa telah lahir kesadaran baru dikalangan
masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara
damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak
dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak
Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
sebagaimana di ubah denganUndang-Undang Nomor 35
tahun 2008, yang berlangsung selama kurang lebih dua
belas tahun perlu dievaluasi kembali dalam rangka
meningkatkan efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus
di Tanah Papua;
l. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelaksanaanOtonomi Khusus di Tanah Papua, telah
dibentuk Provinsi Papua Barat yang
dikukuhkandenganUndang-Undang Nomor 35 tahun
2008, yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya
Barat sebagaimana dibentuk dengan Undang-Undang
Nomor 45 tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000;
m. bahwa pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana
diubah denganUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, pada
kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika
2
perkembangan kehidupan dan tuntutan masyarakat di
Tanah Papua masa kini, sebab itu perlu dilakukan
peninjauan ulang dalam bentuk perubahan mendasar
yang bersifat strategis dan progresif terhadap Undang-
Undang tersebut;
n. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf k,
huruf ldan huruf mmaka perlu membentuk Undang-
Undang tentang Pemerintahan Otonomi Khusus bagi
Provinsi di Tanah Papua.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal
20, Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang
pembentukan Propinsi Otonomi Irian Barat dan
Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Propinsi Irian Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2907);
5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan
Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3882);
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
7. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian
Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173,
Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor
3894) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian
Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
3
Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor
3960) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 018/PUU-I/2003;
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
9. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4044);
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
200 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4045);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentag Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046);
12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4130);
13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4131);
14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152);
15. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4220);
16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik IndonesiaNomor 4286);
17. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas
Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
4
Indonesia Nomor 4327);
18. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
19. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional;
21. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan;
22. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional;
23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844;
24. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
25. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4746);
26. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4801) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5189);
5
27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4959);
28. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5035);
29. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);
30. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052);
31. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
32. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5077);
33. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);

6
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN


OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH
PAPUA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua adalah pemerintahan dengan
kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, Provinsi
Papua Barat dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masing-
masing provinsi;
(2) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;
(3) Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota
Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua;
(4) Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan
Eksekutif Provinsi di Tanah Papua;
(5) Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan
dibawah Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan
urusan Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota;
(6) Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan
Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota;
(7) Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

7
masyarakat, asal-usul dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah
Kabupaten/Kota dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(8) Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang
bertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah
Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi;
(9) Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah
Provinsi;
(10) Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi
kultural Orang Asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan
pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama sebagaimana diatur
Undang-Undang ini;
(11) Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan
simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yangtidak diposisikan
sebagai simbol kedaulatan;
(12) Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan
Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus
dalam Undang-Undang ini;
(13) Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan
Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
(14) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan
khusus perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota;
(15) Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan
Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus
perangkat pemerintahan kampung;
(16) Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang
dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum
adat;
(17) Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam
wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas
yang tinggi diantara para anggotanya;
(18) Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta
dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;
(19) Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis
yang berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan
mempertahankan serta mempunyai sanksi;
(20) Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak
kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada
hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para
anggotanya;
8
(21) Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
untukkehidupan para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah,
hutan dan air serta isinya;
(22) Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah
sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai
unsur didalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat
untuk memperikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan kampung;
(23) Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia;
(24) Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang
menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah
Papua;

Pasal 2
Orang Asli Papua adalah:
a. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang
ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli di Papua;
b. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang
ayah berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua;

BAB II
ASAS

Pasal 3
Undang-Undang Pemerintahan Papua ini berasaskan:
a. Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan,
perlindungan dan pemberdayaan OrangAsli Papua.
b. Desentralisasi asimetris.

9
BAB III
PEMBAGIAN DAERAH DAN PENATAAN DAERAH

Pasal 4
(1) Provinsi-Provinsi di Tanah Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota masing-masing Daerah Otonom.
(2) Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik.
(3) Distrik terdiri atas sejumlah kelurahan, kampung atau yang disebut dengan
nama lain.
Pasal 5
(1) Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota,
ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Pemerintah Provinsi.
(2) Pembentukan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan syarat:
a. memenuhi persyaratan administratif dan mekanisme pembentukan
Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. memperhatikan kesatuan kultur dan hubungan kekerabatan masyarakat
setempat;
c. memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah
bersangkutan; dan
d. memperhatikan potensi kekayaan dan sumberdaya alam.
(3) Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung
atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi atas usul Pemerintah Kabupaten/Kota;
(4) Dalam wilayah Provinsi di Tanah Papua dapat ditetapkan kawasan untuk
kepentingan khusus yang diatur dengan Perdasi.

10
BAB IV
KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI
DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Pasal 6
Kewenangan berdasarkan Otonomi Khusus Tanah Papua berada di Provinsi.

Pasal 7
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan
mengurus seluruh urusan Pemerintahan, kecuali urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan
pemerintahan yang bersifat Nasional dibidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan,moneter dan fiskal, agama dan peradilan.
(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) pemerintah dapat:
a. melaksanakan sendiri;
b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi;
dan
c. melimpahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Provinsi berdasarkan tugas
pembantuan.

Pasal 8
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan
hierarkis dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua.
(2) Ketentuan tentang hubungan hierarkis antara Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
hubungan antar Pemerintah-Pemerintah Provinsi di Tanah Papua diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

11
BAB V
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI
DAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
(1) Pemerintah Provinsi menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan pembahasan bersama antara Pemerintah Provinsi dan
DPRP.
(3) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 10
(1) Pembagian urusan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan
berdasarkan pertimbangan permasalahan, kebutuhan dan kemampuan
Kabupaten/Kota.
(2) Pembagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib
dan urusan pilihan.

Pasal 11
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) berpedoman pada standar pelayanan minimal
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Penetapan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan usulan yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 12
(1) Usulan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah paling lama 6 (enam) bulan
sejak pengajuan usulan.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah
belum menetapkan standar pelayanan minimal, pemerinah dianggap menyetujui
usulan yang diajukan Pemerintah Provinsi.

12
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan Provinsi

Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) terdiri dari urusan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar maupun pelayanansekunder.
(2) Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a. Pemerintahan umum;
b. Perangkat daerah;
c. Kepagawaian;
d. Pekerjaan umum;
e. Pendidikan;
f. Kesehatan;
g. Perhubungan dan transportasi;
h. Kependudukan dan ketenagakerjaan;
i. Perumahan rayat;
j. Koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah;
k. Kebudayaan;
l. Pertanahan;
m. Kehutanan;
n. Pertambangan dan energi;
o. Pertanian; dan
p. Kelautan dan perikanan.
(3) Urusan wajibsekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan tata ruang;
b. keuangan daerah;
c. pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup;
d. penanaman modal;
e. komunikasi dan informatika;
f. perdagangan dan investasi;
g. sosial;
h. kepemudaandan olahraga;
i. karantina;
j. kepabeanan;
k. pengelolaan sumber daya alam;
l. partai politik;
m. HAKI; dan
n. HAM.
Pasal 14
(1) Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
13
(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Bagian Ketiga
Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Pasal 15
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) merupakan urusan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pemerintahan umum;
b. perangkat daerah;
c. kepegawaian;
d. pekerjaan umum;
e. pendidikan;
f. kesehatan;
g. perhubungan;
h. kependudukan; dan
i. ketenagakerjaan;

Pasal 16
(1) Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 17
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota disertai pengalihan prasarana, sarana, pendanaan
dan kepegawaian sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai pendanaan
yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan dekonsentrasi.
(3) Urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota, disertai pendanaan yang dilakukan sesuai urusan
yang menjadi pelaksanaan tugas pembantuan.

14
BAB VI
PENYELENGGARAAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18
Selain kewenangan umum dan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) pemerintah provinsi dapat menyelenggarakan sebagian kewenangan yang
menjadi kewenangan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Bagian Kedua
Kerjasama Luar Negeri

Pasal 19
(1) Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah
Provinsi urusan dan tugas yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan kerjasama dengan lembaga/badan atau negara-negara
lain;
b. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan lembaga/badan atau
negara-negara lain, kecuali yang menjadi kewenangan Pememerintah Pusat;
dan
c. Membangun hubungan kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara
Republik Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan dengan
Provinsi.
(2) Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan urusan dan tugas sebagaimana
tercantum dalam ayat (1) wajib melakukan konsultasi dan koordinasi dengan
Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang Hubungan Luar Negeri dan
Politik Luar Negeri.

Pasal 20
(1) Gubernur berwenang memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk
menerbitkan izin masuk bagi orang asing ke Tanah Papua.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan
kewenangan Imigrasi untuk mencekal orang asing yang telah diputuskan
membahayakan keamanan Negara.
(3) Dalam keadaan dimana Imigrasi menolak memberikan izin masuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Imigrasi wajib memberikan alasan-
alasan kepada Gubernur secara tertulis.

15
Bagian Ketiga
Pertahanan

Pasal 21
(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan
negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam menyelenggarakan pertahanan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di Tanah
Papua.
(3) Tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penanggulangan
bencana alam, pembangunan infrastruktur pasca bencana alam dan tugas
kemanusiaan lain setelah berkoordinasi dengan Gubernur.
(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua menjunjung tinggi
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta
adat istiadat Papua.
(5) Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayata (1) sampai dengan ayat (3) dibebankan pada anggaran belanja
kementerian yang membidangi pertahanan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 22
(1) Kebijakan pertahanan wilayah provinsi di Tanah Papua oleh TNI dilaksanakan
setelah berkoordinasi dengan Gubernur.
(2) Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dalam menyusun
Rencana Tata Ruang Pertahanan, dengan mempertimbangkan konteks wilyah,
dinamika pembangunan dan konteks sosial budaya di Papua.
(3) Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi
putera puteri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk
menduduki jabatan dalam Tentara Nasional Indonesia pada tingkat nasional
dan tingkat provinsi.
(4) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan tetap
mempertimbangkan standar pembinaan karier yang berlaku di lingkungan
Tentara Nasional Indonesia.

Bagian Keempat
Keamanan

Pasal 23
(1) Kepolisian Daerah di Tanah Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyelenggarakan urusan keamanan.

16
(2) Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua kepada
Gubernur.
(3) Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyangkut penyelenggaraan tugas memelihara keamanan, dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
bersumber dari APBN.
(5) Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atas penyelenggaraan keamanan dan pembinaan
kepolisian.

Pasal 24
Pencalonan dan pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua
memperhatikan kearifan lokal dengan mengutamakan pejabat Polri Orang Asli
Papua yang telah memenuhi kriteria sesuai peraturan perundang-undangan dan
memperhatikan pertimbangan Gubernur.

Pasal 25
(1) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang
karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh
Kepolisian Daerah dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta
memperhatikan sistem hukum, budaya, adat-istiadat dan kebijakan Gubernur.

(2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi calon bintara dan tamtama
Kepolisian Daerah di Tanah Papua diberi kurikulum muatan lokal dengan
penekanan terhadap budaya dan adat istiadat di Papua serta hak asasi manusia.
(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(4) Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia
dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum,
budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.
(5) Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Tanah Papua,
Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur.
(6) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang
karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh
Kepolisian Daerah di Tanah Papua dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli
Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat dan kebijakan
Gubernur.
17
(7) Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan
bagiputra putri Indonesia Orang Asli Papua untuk menduduki jabatan dalam
Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Bagian Kelima
Kejaksaan

Pasal 26
(1) Kejaksaan di Tanah Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia.
(2) Kejaksaan di Tanah Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di
bidang penegakan hukum.
(3) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa
Agung dengan persetujuan Gubernur.
(4) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat secara
tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
permintaan persetujuan diterima.
(5) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa Agung dapat mengangkat Kepala
Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua.
(6) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Jaksa Agung
mengajukan satu kali lagi calon lain.
(7) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa
Agung.

Pasal 27
(1) Seleksi penerimaan dan penempatan Jaksa di Tanah Papua dilakukan oleh
Kejaksaan Agung dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, adat istiadat di Tanah Papua, budaya dan/atau
mengutamakan Orang Asli Papua.
(2) Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan
bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk
menduduki jabatan Kejaksaan pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Bagian Keenam
Peradilan
Paragraf 1
Umum

Pasal 28
(1) Kekuasaan kehakiman di Tanah Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
18
Pasal 29
(1) Seleksi penerimaan dan penempatan hakim di Tanah Papua dilakukan oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengutamakan Orang Asli Papua.
(2) Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan
bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk
menduduki jabatan Hakim pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Paragraf 2
Peradilan Adat

Pasal 30
Peradilan adat di Tanah Papua berasaskan kekeluargaan, musyawarah dan
mufakat dan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 31
Peradilan adat di Tanah Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap
keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat adat
Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dengan tujuan
menjaga harmonisasi, keseimbangan dan keteraturan, serta membantu pemerintah
dalam penegakan hukum.

Paragraf 3
Kedudukan

Pasal 32
(1) Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga
peradilan masyarakat hukum adat Papua.
(2) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di
Tanah Papua.
(3) Lingkungan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem
kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa dan sistem
kepemimpinan campuran.
(4) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.

Paragraf 4
Kompetensi

Pasal 33
(1) Pengadilan adat berwenang memeriksa dan mengadili perkara adat di antara
warga masyarakat adat di Tanah Papua.

19
(2) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili perkara adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan.
(3) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara
berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang
memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang berkeberatan
tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan
badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa
atau perkara yang bersangkutan.
(4) Perkara adat yang tidak dapat diselesaikan melalui kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan
negara.

Paragraf 5
Putusan

Pasal 34
(1) Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat.
(2) Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak.
(3) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau
kurungan.
(4) Putusan pengadilan adat mengenai perkara yang tidak dimintakan
pemeriksaan ulang, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(5) Untuk membebaskan pelaku tindak pidana dari tuntutan pidana menurut
ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan
untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang
diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat
terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi
putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak oleh
Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara yang bersangkutan.
(7) Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan
menurut hukum adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Paragraf 6
Kerjasama

Pasal 35
(1) Pengadilan adat dapat bekerja sama dengan perangkat peradilan negara.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam hal
menyelesaikan perkara.

20
(3) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
perdasi.

Bagian Ketujuh
Keuangan Daerah

Paragraf 1
Umum

Pasal 36
(1) Pemerintah, DPR, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
merencanakan dan menetapkan APBN dan APBD berkewajiban
mempertimbangkan karakter kekhususan Papua.
(2) Pemerintah berkewajiban membuat daftar indeks kemahalan harga sebagai
pedoman penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan di
Tanah Papua.
(3) Indeks kemahalan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
mempertimbangkan kondisi khusus daerahberdasarkan keterisolasian
wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan
kondisi sosial budaya masyarakat.

Pasal 37
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Tanah Papua dan Kabupaten/Kota
diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola APBD secara
tertib, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.
(4) Pengelolaan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui
sistem pengelolaan keuangan daerah yang masing-masing diatur dengan
Perdasi dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku.
(5) Pengelolaan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui sistem pengelolaan
keuangan daerah diatur dengan Perda dengan berpedoman pada perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 38
(1) Pemerintah Provinsi berwenang menyelenggarakan sebagian urusan perpajakan
yang bersumber dari Tanah Papua.
(2) Kewenangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pajak:
a. Pajak penghasilan orang pribadi dan pajak penghasilan badan; dan

21
b. Pajak yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam.
(3) Penerimaan yang berasal dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetor kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah provinsi mendistribusikan
kepada Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) selanjutnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah atas usul Pemerintah Provinsi.

Paragraf 2
Kepabeanan

Pasal 39
(1) Gubernur dapat memberikan rekomendasi pengurangan bea masuk impor
barang modal bagi pelaksanaan investasi di Tanah Papua dengan berkonsultasi
kepada Pemerintah.
(2) Pengusulan dan pengangkatan Kepala Bea dan Cukai dan pejabat Bea dan
Cukai dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur dan mengutamakan
Orang Asli Papua.

Bagian Kedelapan
Agama

Pasal 40
(1) Setiap penduduk di Tanah Papua memiliki hak dan kebebasan untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
(2) Setiap penduduk di Tanah Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai
agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya
memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Tanah
Papuadan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 41
Pemerintah Provinsi berkewajiban:
a. menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat
beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang dianutnya;
b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional
berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Pasal 42
(1) Gubernur berwenang memberikan izin penempatan tenaga asing bidang
keagamaan.

22
(2) Pemerintah di Tanah Papua memiliki kewenangan memberikan izin pendirian
tempat ibadah.
(3) Ketentuan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Perdasi.

Pasal 43
Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan keagamaan di Tanah Papua dilakukan secara proporsional
berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

BAB VII
PENYELENGGARAAN URUSAN PERLINDUNGAN
DAN PEMBERDAYAAN ORANG ASLI PAPUA

Pasal 44
(1) Urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang menjadi
kewenangan pemerintah provinsi, meliputi:
a. kebijakan pemberdayaan masyarakat adat;
b. kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan
c. kebijakan lain berkaitan dengan perlindungan hak Orang Asli Papua.
(2) Kebijakan pemberdayaan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi:
a. pemerintahan adat;
b. perlindungan hak ulayat;
c. perlindungan dan pengembangan adat istiadat dan budaya;
d. bahasa daerah;
e. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan
f. perlindungan dan pengembangan kearifan lokal;
(3) kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi bidang:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. ekonomi rakyat;
d. pembangunan infrastruktur;
e. ketenagakerjaan; dan
f. perumahan rakyat;
(4) Kebijakan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi semua
kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli
Papua.
(5) Penetapan urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah melalui pembahasan
bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

23
(6) Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan bersama antara
pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (5), diatur dengan Perdasus.

BAB VIII
BADAN NASIONAL PERCEPATAN PELAKSANAAN
OTONOMI KHUSUS TANAH PAPUA

Pasal 45
(1) Presiden membentuk Badan/Lembaga untuk pemantapan pelaksanaan
Otonomi Khusus Tanah Papua yang selanjutnya disebut Badan Otonomi
khusus Tanah Papua.
(2) Badan Otonomi khusus Tanah Papua berkedudukan di ibukota Negara
Republik Indonesia
(3) Badan Otonomi khusus Tanah Papua dipimpin oleh seorang kepala yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
(4) BadanOtonomi khususTanah Papua kedudukannya setara dengan menteri
yang di pimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden Republik Indonesia.
(5) Kepala badan Otonomi khusus Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas
usulanGubernur di Tanah Papua.

Pasal 46
Badan Otonomi khusus Tanah Papua bertugas untuk membantu Presiden
melaksanakan tugas komunikasi, koordinasi, perencanaan, konsultasi, fasilitasi,
evaluasi dan pemantauan

Pasal 47
Dalam melaksanankan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 46 Badan
Otonomi khusus Tanah Papua menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan dan pengembangan strategi nasional pelaksanaan Undang-Undang
Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;
b. Penyusunan dan pengembangan rencana induk dan rencana aksi langkah
Percepatan Pembangunan Tanah Papua;
c. Koordinasi, konsultasi dan sinkronisasi kebijakan, program dan pembiayaan
nasional yang terkait dengan pelaksanaan percepatan pembangunan dan
pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;
d. Bersama Kementerian yang membidangi Perencanaan Pembangunan Nasional
melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Khusus (Musrenmbang
Khusus) untuk Percepatan Pembangunan Tanah Papua sebelum pelaksanaan
Musrenbangnas;

24
e. Koordinasi, konsultasi dan fasilitasi langkah-langkah kebijakan sosial,
politikdan budaya dengan kelompok-kelompok strategis Papua dan pemangku
kepentingan lainnya;
f. Bersama Pemerintah Provinsi di Tanah Papua menetapkan komponen evaluasi
dan indikator pencapaian pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi
Khusus Tanah Papua;
g. Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus
Tanah Papua; dan
h. Melaksanakan koordinasi, konsultasi dan fasilitasi berbagai pemangku
kepentingan di tingkat nasional dan internasional di dalam mendukung
pelaksanaan Undang-Undang ini.

Pasal 48
(1) Badan Otonomi khusus di Tanah Papua terdiri atas:
a. Kepala;
b. 4 (empat) Deputi; dan
c. Tenaga Profesional.
(2) Deputi berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala
Badan Otonomi khusus Tanah Papua.
(3) Tenaga Profesioonal sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas
Asisten Ahli, Asisten muda dan Tenaga Terampil.
(4) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya, Kepala Badan Otonomi
khusus Tanah Papua dapat membentuk Tim Khusus atau Gugus Tugas untuk
penanganan masalah tertentu.

Pasal 49
(1) Kepala Badan Otonomi Khusus di Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas
usul Gubernur di Tanah Papua.
(2) Deputi diangkat oleh Presiden atas usul Kepala Badan.
(3) Tenaga Profesional, Tim Khusus dan Gugus Tugas di lingkungan Badan
Otonomi khusus di Tanah Papua di angkat oleh Kepala Badan Otonomi khusus
di Tanah Papua.
(4) Deputi dan Tenaga Profesional di lingkungan Badan Otonomi khusus di Tanah
Papua dapat diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dan bukan Pegawai Negeri Sipil

Pasal 50
(1) Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua diberikan hak keuangan,
administrasi dan fasilitas lainnya setara Menteri.
(2) Deputi diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan
pejabat struktural Ia.
(3) Tenaga Profesional yang diangkat sebagai Asisten Ahli, diberikan kedudukan,
hak keuangan dan fasilias lainnya setara dengan pejabat struktural eselon Ib.
(4) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten, diberikan kedudukan, hak
keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIa
25
(5) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten muda, diberikan kedudukan,
hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIIa.
(6) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai tenaga terampil, diberikan
kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat
struktural eselon IVa.

Pasal 51
(1) Susunan organisasi, tata kerja, hubungan, tugas dan fungsi Badan/Lembaga,
dan mekanisme koordinasi badan Otonomi khusus di Tanah Papua dengan
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
di Tanah Papua serta pemangku kepentingan lainnya, diatur dengan
peraturan Presiden dengan pertimbangan Gubernur di Tanah Papua.
(2) Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini.

Pasal 52
Kepala badan Otonomi Khusus di Tanah Papua menyampaikan laporan berkala
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden RI atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.

BAB IX
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 53
(1) Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua terdiri atas DPRP sebagai badan
legislatif dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
(2) Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas DPRD Kabupaten/Kota sebagai
badan legislatif dan Bupati/Walikota sebagai badan eksekutif beserta perangkat
pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
(3) Pemerintahan Distrik sebagai satuan pemerintahan yang menyelenggarakan
sebagian urusan pemerintahan Kabupaten/Kota dan urusan pemerintahan
umum lainnya.
(4) Pemerintahan Kampung sebagai satuan pemerintahan otonom asli yang terdiri
atas Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dengan
sebutan lain.
(5) Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung
merupakan satu kesatuan susunan pemerintahan yang berjenjang.

26
Bagian Kedua
Majelis Rakyat Papua

Paragraf 1
Kedudukan MRP

Pasal 54
(1) Majelis Rakyat Papua dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
provinsi di Tanah Papua dan merupakan representasi kultural Orang Asli
Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-
hak Orang Asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap
adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan
hidup beragama.
(2) MRP dibentuk di setiap provinsi di Tanah Papua dan berkedudukan di ibukota
provinsi.

Pasal 55
(1) MRP beranggotakan orang-Orang Asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat,
wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-
masing sepertiga dari total anggota MRP.
(2) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (tujuh) tahun.
(3) Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Perdasus.
(4) Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Dalam mendukung tugas dan fungsi MRP dibentuk Sekretariat MRP.
(6) Sekretariat MRP dapat menyediakan tenaga ahli untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi MRP.

Pasal 56
(1) MRP mempunyai tugas dan wewenang:
a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota
dan Wakil Walikota yang masing-masing diusulkan oleh DPRP, DPRD
Kabupaten/Kota atau lembaga penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang
berwenang untuk itu;
b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota DPRD
Kabupaten/Kota, calon anggota DPRP, calon sekretaris daerah provinsi,
calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota, calon kepala SKPD provinsi,
calon kepala SKPD Kabupaten/Kota, calon kepala distrik, calon lurah dan
calon kepala kampung;
c. bersama-sama DPRP dan Gubernur membahas rancangan Perdasus;
d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana
perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah
27
Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi di Tanah Papua
khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;
e. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat,
umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang
menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya;
f. Melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana otonomi khusus.
g. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pembagian dan
pemanfaatan dana otonomi khusus serta melakukan evaluasi terhadap
program dan kegiatan yang memanfaatkan dana otonomi khusus;
h. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana
pembentukan daerah otonom baru provinsi dan Kabupaten/Kota;
i. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan pembinaan
kerukunan kehidupan beragama;
j. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan kebijakan
pemberdayaan perempuan Orang Asli Papua;
k. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan kebijakan
pemberdayaan dan perlindungan adat istiadat dan budaya serta lembaga
adat asli Papua;
l. Melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan
Kabupaten/Kota terutama mengenai urusan pemerintahan dan kebijakan
yang berkaitan dengan perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan
Orang Asli Papua; dan
m. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Peraturan
Pemerintah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Perdasus.

Pasal 57
(1) MRP mempunyai hak:
a. Mengajukan keberatan/penolakan terhadap rancangan Perdasus dan
Perdasi yang bertentangan dengan hak-hak Orang Asli Papua;
b. Melakukan pengawasan terhadap APBD terutama alokasi pemanfaatan
dana otonomi khusus;
c. Meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota
mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli
Papua;
d. Meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang
dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;

28
e. Mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu
kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
Papua;
f. Mengajukan keberatan atas usul pemberhentian Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang
masing-masing diajukan oleh DPRP dan oleh DPRD Kabupaten/Kota
sebelum akhir masa jabatan;
g. Mengajukan keberatan atas penetapan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil
Walikota yang cacat hukum dalam proses pemilihan; dan
h. Menetapkan Peraturan MRP yang mengikat ke dalam dan ke luar.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Perdasus.

Pasal 58
(1) Setiap anggota MRP mempunyai hak:
a. Mengajukan pertanyaan;
b. Menyampaikan usul dan pendapat;
c. Imunitas;
d. Protokoler; dan
e. Keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah yang
dibentuk atas usul pemerintah provinsi.

Pasal 59
(1) MRP mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan mengabdi kepada rakyat di Tanah Papua;
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati
segala perundang-undangan;
c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli
Papua;
d. membina kerukunan kehidupan beragama; dan
e. mendorong pemberdayaan perempuan.
(2) Tatacara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Perdasus.

Pasal 60
(1) Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat
agama dan masyarakat perempuan.
(2) Penyelenggara pemilihan anggota MRP dilakukan oleh Panitia ad hoc.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
ditetapkan dengan Perdasus.

29
Pasal 61
(1) Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diajukan oleh
Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan.
(2) Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasar usul
Pemerintah Provinsi.

Paragraf 2
Persyaratan Keanggotaan MRP

Pasal 62
(1) Keanggotaan MRP wajib memenuhi persyaratan umum :
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Setiakepada Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. Memahami adat istiadat orang Papua;
d. Berpedidikan dan berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1);
e. Memiliki integritas kepribadian yang baik;
f. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun, dan maksimal 60 (enam puluh)
tahun; dan
g. Orang Asli Papua.
(2) Jumlah anggota MRP adalah ¾ dari jumlah anggota DPRP masing-masing
Provinsi, dengan memperhatikan keterwakilan masing-masing suku yang ada
di Tanah Papua.
(3) Tata cara pemilihan Anggota MRP selanjutnya diatur dengan Perdasus.

Bagian Ketiga
Pemerintah Provinsi

Paragraf 1
Persyaratan Gubernur/Wakil Gubernur

Pasal 63
(1) Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah
Provinsi lainnya.
(2) Pemerintah Provinsi dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur.

Pasal 64
(1) Yang dapat dipilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernuradalah Orang Asli
Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

30
b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1);
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
i. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara;
j. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan
k. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat
pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.
(2) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang
menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat
dasar sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat atau surat keterangan
lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;
c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d;
d. surat keterangan kesehatan dari tim dokter/rumah sakit pemerintah
yang menerangkan bahwa yang bersangkutan mampu secara jasmani
dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Gubernur/Wakil
Gubernur, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e;
e. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani
urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f;
f. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang
dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah

31
memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;
g. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan
pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan
surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan,
sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf i;
h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan
tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf j;
i. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan
bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai
bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k;
dan
j. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah
Provinsi, DPRP dan MRP.

Paragraf 2
Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 65
(1) Gubernur mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja
sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan Pemerintah
antara Provinsi dan Kabupaten/Kota;
b. meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas
penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;
c. melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan,
pengusulan, pengangangkatan, pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas pertanggungjawaban
Bupati/Walikota;
d. melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
atas nama Presiden;
e. mensosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan
Peraturan Perundang-Undangan di Provinsi;
f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan
pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi;

32
g. membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah serta antar Pemerintah Daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h. memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan,
penggabungan dan pemekaran Daerah;
i. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai
Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRP dan MRP;
j. mengajukan rancangan Perdasi dan Perdasus;
k. menetapkan Perdasi dan Perdasus yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRP;
l. menyusun dan mengajukan rancangan Perdasi tentang APBD kepada DPR
untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
m. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM
penduduk Papua;
n. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
o. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
memberikan persetujuan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat
pemerintahan daerah;

Pasal 66
(1) Wakil Gubernur mempunyai tugas:
a. membantu Gubernur dalam:
1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-
undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRP dan MRP;
2) mengoordinasikan kegiatan perangkat Provinsi dan instansi vertikal di
Provinsi;
3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan;
4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata
sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan
pemuda;
5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM
Penduduk Provinsi;
6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan
lingkungan hidup.

33
b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten
dan kota;
c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan
oleh Gubernur; dan
e. melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur apabila Gubernur
berhalangan.
(2) membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan
kewajibannya.
(3) membantu mengkoordinasikan kegiatan instansi Pemerintah di Provinsi.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil
Gubernur bertanggung jawab kepada Gubernur.
(5) Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai habis masa jabatannya
apabila Gubernur meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam
masa jabatannya.

Pasal 67
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 dan Pasal 66, Gubernur dan Wakil Gubernur mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan
hak-hak dasar Orang Asli Papua;
c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli
Papua;
d. melindungi dan melestarikan budaya Papua;
e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
f. mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;
g. melaksanakan kehidupan demokrasi;
h. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
i. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
j. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
k. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
l. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan
daerah;
m. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan
semua perangkat daerah;
n. menyelenggarakan Pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai
dengan RPJPD dan RPJMD secara bersih, jujur dan bertanggung jawab;
dan
34
o. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di
hadapan Rapat Paripurna DPRP.
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan
pertanggungjawaban kepada DPRP serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri satu kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah sebagai
dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai
bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan
Pemerintah Provinisi, DPRP dan MRP.

Pasal 68
(1) Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung
sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
(2) Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil
Gubernur sampai habis masa jabatannya.
(3) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan,
Gubernur mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih
oleh Rapat Paripurna DPRP/DPRPB berdasarkan usul partai politik atau
gabungan Partai Politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur dengan sebelumnya memperoleh pertimbangan
dan persetujuan MRP.
(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka
DPRP/DPRPB menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur
yang baru.
(5) Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris
Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu.
(6) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) DPRP/DPRPB menyelenggarakan pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan.
(7) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

35
Pasal 69
(1) Gubernur selaku kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRP.
(2) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan.
(3) Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
(4) Tata cara pertanggungjawabanGubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5) Gubernur mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan
Pemerintah di Provinsi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1).
(6) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Larangan Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 70
Gubernur dan Wakil Gubernur dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri,
anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikankepentingan
umumdan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan
warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;
b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara
daerah atau dalam yayasan bidang apapun;
c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah
yang bersangkutan;
d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau
jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain
yang dimaksud dalam Pasal 65 huruf n;
f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan
g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRP
sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.

36
Paragraf 4
Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 71
(1) Gubernur dan/atau wakil Gubernur berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; dan
c. diberhentikan.
(2) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan;
c. berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur;
e. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur;
f. tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; dan
g. melanggar larangan bagi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(3) Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)huruf a dan huruf b
diberitahukan oleh pimpinan DPRP untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna
dan diusulkan oleh pimpinan DPRP.
(4) Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur diusulkan kepada Presiden
berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRP bahwa
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dinyatakan melanggar sumpah/janji
jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan Wakil
Gubernur;
b. Pendapat DPRP sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui
Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
DPRP yang hadir;
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
DPRP tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRP
itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban, DPRP menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRP
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRP dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir untuk

37
memutuskan usul pemberhentian Gubernurdan/atauWakil Gubernur
kepada Presiden; dan
e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRP
menyampaikan usul tersebut.

Pasal 72
(1) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan sementara oleh Presiden
tanpa melalui usulan DPRP apabila dinyatakan melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRP apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 73
(1) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan sementara oleh Presiden
tanpa melalui usulan DPRP karena didakwa melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRP apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 74
(1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur menghadapi krisis kepercayaan
publik meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan
tanggung jawabnya, DPRP menggunakan hak angket untuk menanggapinya.
(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRP yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), DPRP menyerahkan proses penyelesaian kepada aparat penegak
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur dinyatakan bersalah karena
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
DPRP mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRP.
38
(5) Berdasarkan keputusan DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden
menetapkan pemberhentian sementara Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(6) Apabila Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRP mengusulkan
pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan
Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRP yang hadir.
(7) Berdasarkan keputusan DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden
memberhentikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Pasal 75
(1) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74
ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukumtetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah
merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur yang bersangkuttan sampai dengan akhir masa jabatan.
(2) Apabila Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatan, Presiden
merehabilitasikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang bersangkutan
dan tidak mengaktifkannya kembali.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72,
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas
usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.

Pasal76
(1) Apabila Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5), Wakil Gubernur
melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur sampai dengan adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Apabila Wakil Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5), tugas dan
kewajiban Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Gubernur sampai dengan
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1), dan Pasal 74 ayat (5),
Presiden menetapkan pejabat Gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri atau
pejabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur dengan pertimbangan DPRP
sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

39
(4) Tata cara penetapan, kriteria calon dan masa jabatan pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 77
(1) Apabila Gubernur diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
ayat (2), Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 74 ayat (7) jabatan Gubernur diganti oleh
Wakil Gubernur sampai berakhir masa jabatannya dan proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRP
dan disahkan oleh Presiden.
(2) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan,
Gubernur mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih oleh
Rapat Paripurana DPRP berdasarkan partai politik atau gabungan partai
politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur.
(3) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhenti atau diberhentikan secara
bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRP memutuskan dan
menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkan penjabat
Gubernur.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sekretaris Daerah melaksanakan tugas
sehari-hari Gubernur sampai dengan Presiden mengangkat Penjabat
Gubernur.
(5) Tatacarapengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan Penjabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Tindakan Penyidikan terhadap Gubernur
Dan Wakil Gubernur

Pasal 78
(1) Tindakan Penyidikan dan Penyidikan terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur
dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas
permintaan Penyidik.
(2) Dalam hal Persetujuaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyidikan dan penyidikan
dapat dilakukan.
(3) Tindakan Penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan
persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
40
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan
b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau telah melakukan tidak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan
wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24
(dua puluh empat) jam.

Bagian Keempat
Pemerintah Kabupaten/Kota

Paragraf 1
Persyaratan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 79
Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati dan Wakil Bupati atau
Walikota/Wakil Walikota.

Pasal 80
(1) Yang dapat dipilih menjadi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
adalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang
memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setiakepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1);
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e. berasal dari suku asli masyarakat adat setempat;
f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara;
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; dan
41
l. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat
pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.
(2) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang
menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat dasar
sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat, atau surat keterangan lain yang
dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;
c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d;
d. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani
urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;
e. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang dicabut
hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h;
f. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan
pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan surat
pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j;
g. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan
tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf k;
h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan
bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l; dan
i. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti pemenuhan
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah
Provinsi, DPRP dan MRP.

42
Paragraf 2
Tugas dan Wewenang Bupati/Wakil Bupati
dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 81
Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang:
a. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai
Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota dan/atau kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD
Kabupaten/Kota;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
Kabupaten/Kota untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM
penduduk Papua;
f. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
h. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 82
(1) Wakil Bupati/Wakil Walikota mempunyai tugas:
a. membantu Bupati/Walikota dalam:
1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai
Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota dan/atau
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota;
2) mengkoordinasikan kegiatan perangkat Kabupaten/Kota dan instansi
vertikal di Kabupaten/Kota;
3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan;
4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata
sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan
pemuda;
5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM
Penduduk Kabupaten/Kota; dan
6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan
lingkungan hidup;
b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan Distrik dan
Kampung;
43
c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Distrik dan Kepala
Kampung dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah Distrik dan
Kampung;
d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan
oleh Bupati/Walikota; dan
e. melaksanakan tugas dan wewenang Bupati/Walikota apabila
Bupati/Walikota berhalangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil
Bupati/Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
(3) Wakil Bupati/Wakil Walikota menggantikan Bupati/Walikota sampai berakhir
masa jabatannya apabila Bupati/Walikota meninggal dunia, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam)
bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

Pasal 83
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 81 dan Pasal 82, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan
hak-hak dasar Orang Asli Papua;
c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli
Papua;
d. melindungi dan melestarikan budaya Papua;
e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
f. melaksanakan kehidupan demokrasi;
g. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
h. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
j. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
k. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan
daerah;
l. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan
semua perangkat daerah; dan
m. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di
hadapan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota.

44
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bupati/Walikota mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Provinsi, dan
memberikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD Kabupaten/Kota,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernursatu kali
dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah Provinsi
sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Perda yang dibentuk atas usulan Pemerintah
Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 84
(1) Masa jabatan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota selama 5
(lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
(2) Dalam hal Bupati/Walikota berhalangan tetap, jabatan Bupati/Walikota
dijabat oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai habis masa jabatannya.
(3) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan
belas) bulan, Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil
Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD
Kabupaten/Kotaberdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Wakil Walikota, dengan sebelumnya memperoleh pertimbangan dan
persetujuan MRP/MRPB.
(4) Apabila Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota berhalangan tetap,
maka DPRD Kabupaten/Kota menunjuk seorang pejabat pemerintah
Kabupaten/Kota yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas
Bupati/Walikota sampai terpilih Bupati/Walikota yang baru.
(5) Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris
Daerah menjalankan tugas Bupati untuk sementara waktu.
(6) Dalam hal Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota berhalangan
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRD Kabupaten/Kota
menyelenggarakan pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil
Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan.
(7) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), diatur lebih lanjut dengan Perda
Kabupaten/Kota.
45
Paragraf 3
Larangan Bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 85
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri,
anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan
umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan
warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;
b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara
daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah
yang bersangkutan;
d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau
jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain
yang dimaksud dalam Pasal 81 huruf g;
f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan
g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD
Kabupaten/Kotasebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.

Paragraf 4
Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 86
(1) Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; dan
c. diberhentikan.
(2) Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan;
c. berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota;
e. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota;
f. tidak melaksanakan kewajiban Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota; dan
46
g. melanggar larangan bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota.
(3) Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)huruf a
dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/Kotauntuk
diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD
Kabupaten/Kota.
(4) Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan
ketentuan:
a. Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas
pendapat DPRD Kabupaten/Kota bahwa Bupati/Wakil Bupati dan/atau
Walikota/Wakil Walikota dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan
dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota;
b. Pendapat DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada huruf a
diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
Kabupaten/Kotadan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota
yang hadir;
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPRD Kabupaten/Kotatersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
permintaan DPRD Kabupaten/Kota itu diterima Mahkamah Agung dan
putusannya bersifat final;
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Bupati/Wakil
Bupatidan/atauWalikota/Wakil Walikota terbukti melanggar sumpah/janji
jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD Kabupaten/Kota
menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
Kabupaten/Kotadan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota
yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Bupati/Wakil Bupati
dan Walikota/Wakil Walikota kepada Presiden; dan
e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Bupati/Wakil Bupati
dan/atau Walikota/Wakil Walikota tersebut paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usul tersebut.

47
Pasal 87
(1) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota apabila
dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
pengadilan.
(2) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota apabila terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 88
(1) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota karena
didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar,
dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
(2) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota karena terbukti
melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 89
(1) Dalam hal Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota
menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan
melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD
Kabupaten/Kota menggunakan hak angket untuk menanggapinya.
(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD Kabupaten/Kota dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD
Kabupaten/Kota yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap
Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota.
(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), DPRD Kabupaten/Kota menyerahkan proses penyelesaian
antara kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perudang-
undangan.
(4) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan
bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang
belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian sementara dengan
keputusan DPRD Kabupaten/Kota.
48
(5) Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Bupati/Wakil
Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota.
(6) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD
Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat
Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4
(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir.
(7) Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), Presiden memberhentikan Bupati/Wakil Bupatidan/atau
Walikota/Wakil Walikota.

Pasal 90
(1) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota yang diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), Pasal 88 ayat (1)
dan Pasal 89 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri telah
merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Bupati/Wakil Bupatidan/atau
Walikota/Wakil Walikota yang bersangkutan sampai dengan akhir masa
jabatannya.
(2) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota yang
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir
masa jabatannya, Menteri Dalam Negeri merehabilitasikan Bupati/Wakil
Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota yang bersangkutan dan tidak
mengaktifkannya kembali.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan
Pasal 88, diatur dalam Perda yang dibentuk atas usulan Pemerintah
Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 91
(1) Apabila Bupati/Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), Wakil Bupati/Wakil Walikota
melaksanakan tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sampai dengan adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Apabila Wakil Bupati/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), tugas dan kewajiban
Wakil Bupati/Wakil Walikota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota sampai
dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
49
(3) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat
(1), Menteri Dalam Negeri menetapkan penjabat Bupati/Walikota atas usul
Gubernur atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Bupati/Walikota dengan
pertimbangan DPRD Kabupaten/Kota sampai dengan adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Tata cara penetapan, kriteria calon dan masa jabatan penjabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 92
(1) Apabila Bupati/Walikota diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 ayat (2) dan pasal 88 ayat (2) jabatan Bupati/Walikota diganti oleh Wakil
Bupati/Wakil Walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD
Kabupaten/Kota dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.
(2) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan
belas) bulan, Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil
Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD
Kabupaten/Kota berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota.
(3) Dalam hal Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti atau
diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna
DPRD Kabupaten/Kota memutuskan dan menugaskan KPUD untuk
menyelenggarakan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat
Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris
daerah melaksanakan tugas sehari-hari Bupati/Walikota sampai dengan
Menteri Dalam Negeri mengangkat penjabat Bupati/Walikota.
(5) Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

50
Paragraf 5
Tindakan Penyidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota

Pasal 93
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati
dan/atau Walikota/Wakil Walikota dilaksanakan setelah adanya persetujuan
tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan
penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan
persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan
wajib dilaporkan kepada Gubernur paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24
(dua puluh empat) jam.

Bagian Kelima
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA

Pasal 94
(1) Kekuasaan legislatif Provinsi di Tanah Papua dilaksanakan oleh DPRP.
(2) DPRP berkedudukan di ibukota Provinsi.
(3) Anggota DPRP yang dipilih berasal dari partai.
(4) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota
DPRD Provinsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(6) Tata cara pengangkatan dan penetapan anggota DPRP yang diangkat dari
Orang Asli Papua diatur dengan Perdasus.

Pasal 95
(1) Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab,
keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
51
(2) Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96
Pengangkatan Anggota DPRP sebagaimana di maksud dalam pasal 94 ayat (6)
dilaksanakan dengan persyaratan dan mekanisme sebagai berikut:
a. bakal calon anggota DPRP tersebut berasal dari masyarakat adat yang asli
bukan lembaga masyarakat adat bentukan atau bukan anggota partai politik
tertentu baik aktif atau pasif;
b. anggota lembaga keagamaan atau organisasi perempuan yang kantor pusatnya
berkedudukan di provinsi Papua; dan
c. memenuhi persyaratan tertentu lainnya yang di tetapkan dalam perdasus.

Pasal 97
(1) DPRP mempunyai hak:
a. meminta pertanggungjawaban Gubernur;
b. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melakukan penyelidikan;
d. melakukan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi;
e. mengajukan pernyataan pendapat;
f. mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi;
g. membahas dan menyetujui APBD, perubahan APBD dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan
h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98
(1) Setiap anggota DPRP mempunyai hak:
a. mengajukan pertanyaan;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. imunitas;
d. protokoler; dan
e. keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 99
(1) DPRP mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati
segala perundang-undangan;
52
c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi
ekonomi; dan
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan
pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
(2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan TataTertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 100
(1) DPRP mempunyai Tugas dan Wewenang:
a. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. Melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang dilaksanakan di wilayah Provinsi di Tanah Papua;
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri
Dalam Negeri;
e. Membahas Rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan
Gubernur;
f. membahas dan menetapkan rancangan Perdasus bersama-sama dengan
MRP dan Gubernur;
g. membahas dan menetapkan rancangan Perdasi bersama-sama dengan
Gubernur;
h. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perdasus dan Perdasi
dan peraturan perundang-undangan lain;
i. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi dalam
melaksanakan program pembangunan, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama
internasional;
j. Menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya
bersama-sama dengan Gubernur;
k. membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
bersama-sama dengan Gubernur;
l. Bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Provinsi dengan berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional dengan memperhatikan kekhususan Papua;
m. Memberikan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama
internasional yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi;
n. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Daerah RI yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan di Tanah Papua;
o. Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama antar daerah
53
dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani Pemerintah dan
masyarakat; dan
p. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 101
(1) Alat kelengkapan DPRP terdiri atas:
a. pimpinan;
b. komisi;
c. badan legislasi;
d. badan musyawarah;
e. badan anggaran;
f. badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 102
(1) DPRP wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan
anggota DPRP dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengertian kode etik;
b. tujuan kode etik;
c. pengaturan sikap, tata kerja dan tata hubungan antar penyelenggara
pemerintahan daerah dan antara anggota serta antara anggota DPRP dan
pihak lain;
d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRP;
e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan
f. sanksi dan rehabilitasi.

Pasal 103
(1) Setiap anggota DPRP wajib berhimpun dalam fraksi.
(2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRP.
(3) Anggota DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai politik
yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib
bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRP dari partai politik lain yang
tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.

54
(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah
dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan,
seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi
dan/atau fraksi gabungan lain yangmemenuhi syarat.
(6) Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat
membentuk satu fraksi.
(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).

Pasal 104
DPRPyang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima)
orang membentuk 4 (empat) komisi, yang beranggotakan lebih dari 75 (tujuh puluh
lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.

Pasal 105
(1) Anggota DPRP tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun
tertulis dalam rapat DPRP, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Tata Tertib dan kode etik DPRP.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh
ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Anggota DPRP tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan
dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRP.

Pasal 106
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRP dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi
anggota DPRP.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak
diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahan diperlukan
persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

55
(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan
penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh
empat) jam.

Bagian Keenam
DPRD Kabupaten/Kota

Paragraf 1
Umum

Pasal 107
Ketentuan tentang DPRD Kabupaten/Kota sepanjang tidak diatur dalam Undang-
Undang ini, berlaku ketentuan Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPDdan DPRD.

Paragraf 2
Kedudukan dan Fungsi

Pasal 108
DPRD Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Kabupaten/Kota.

Pasal 109
DPRD Kabupaten/Kotamemiliki fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.

Paragraf 3
Tugas dan Wewenang

Pasal 110
(1) DPRD Kabupaten/Kotamempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan Bupati/Wakil Bupati, Wali
Kota/Wakil Wali Kota untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama
dengan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
perundang-undangan lainnya, peraturan Bupati/Wakil Bupati, Wali
Kota/Wakil Wali Kota, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional
di daerah;
56
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati, Wali
Kota/Wakil Wali Kota/Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali
Kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;
e. memilih Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota dalam hal
terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil
Wali Kota;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang
dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Wakil Bupati,
Wali Kota/Wakil Wali Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Wali
Kota/Wakil Wali Kota;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
penyelenggaraan pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali
Kota; dan
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD
Kabupaten/Kota melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Hak dan Kewajiban

Pasal 111
(1) DPRD Kabupaten/Kotamempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD
Kabupaten/Kotayang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah, anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang
bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan
hasil kerjanya kepada DPRD Kabupaten/Kota.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap
57
mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta
untuk meminta menunjukkansurat atau dokumen yang berkaitan dengan hal
yang sedang diselidiki.
(5) Setiap orang yang dipanggil, didengardan diperiksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan
yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi
panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat
memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
(8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota yang
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 112
(1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.

(2) Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD


Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 113
Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-
undangan;
b. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan, pemerintahan
daerah;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
e. menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;
f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan
golongan;
g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota
58
DPRD Kabupaten/Kota sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis
terhadap daerah pemilihannya;
h. mentaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD
Kabupaten/Kota; dan
i. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

Paragraf 5
Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 114
(1) Alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. pimpinan;
b. komisi;
c. badan legislasi
d. badan musyawarah;
e. badan anggaran;
f. badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana
dimaksad pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
Kabupaten/Kotadengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 115
(1) DPRD Kabupaten/Kota wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengertian kode etik;
b. tujuan kode etik;
c. pengaturan sikap, tata kerja dan tata hubungan antar penyelenggara
pemerintahan daerah dan antara anggota serta antara anggota DPRD
Kabupaten/Kota dan pihak lain;
d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD
Kabupaten/Kota;
e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan
f. sanksi dan rehabilitasi.

Pasal 116
(1) Setiap anggota DPRD Kabupaten/Kota wajib berhimpun dalam fraksi.
(2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD Kabupaten/Kota.
(3) Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1
(satu) partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu)
59
fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi
gabungan.
(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRD Kabupaten/Kota dari partai
politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.
(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah
dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan,
seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi
dan/atau fraksi gabungan lain yangmemenuhi syarat.
(6) Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat
membentuk satu fraksi.
(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).

Pasal 117
DPRD Kabupaten/Kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga
puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi, yang beranggotakan lebih dari 35
(tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

Pasal 118
(1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan
karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara
lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRD Kabupaten/Kota, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik DPRD
Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal yang dimaksud oleh
ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam peraturan
perundang-undangan.
(3) Anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat diganti antar waktu karena
pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat
DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 119
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan
setelah adanya persetujuan tertulis dari Gubernur atas nama Menteri Dalam
Negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak
diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahan diperlukan
persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).

60
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan
penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh
empat) jam.

Paragraf 6
Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 120
(1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; dan
c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya
bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat
struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan,
advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPRD
Kabupaten/Kota.
(3) Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukan korupsi, kolusi dan
nepotisme.
(4) Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang melakukan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi
anggota DPRD Kabupaten/Kota.
(5) Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil
pemeriksaan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
Kabupaten/Kota yang berpedoman pada peraturan perundang undangan.

61
Paragraf 7
Penggantian Antar waktu Anggota DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 121
(1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota berhenti antar waktu sebagai anggota karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; dan
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
(2) Anggota DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan antar waktu, karena:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau melanggar kode etik
DPRD Kabupaten/Kota;
d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD Kabupaten/Kota;
e. melanggar larangan bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan
f. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana
dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara atau lebih.
(3) Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota yang telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota
untuk diresmikan pemberhentiannya.
(4) Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan setelah
ada keputusan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi dari Badan
Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Distrik

Pasal 122
(1) Distrik dipimpin oleh Kepala Distrik.
(2) Kepala Distrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 123
(1) Dalam pelaksanaan tugasnya kepala distrik memperoleh pelimpahan sebagian
kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani urusan pemerintahan
Kabupaten/Kota.
62
(2) Kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek:
a. perizinan;
b. rekomendasi;
c. koordinasi;
d. pembinaan;
e. pengawasan;
f. fasilitasi;
g. penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala distrik juga
penyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi:
a. Menjaga keutuhan NKRI dan Bhineka Tunggal Ika;
b. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945;
c. Menegakkan Demokrasi;
d. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
e. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban
umum;
f. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan;
g. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
h. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
distrik;
i. Membina penyelenggaraan pemerintahan kampung dan/atau kelurahan;
dan
j. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan
kampung atau kelurahan.
(4) Kepala Distrik dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat distrik
yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota.
(5) Perangkat Distrik dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada
Kepala Distrik.
(6) Kepala Distrik dalam melaksanakan tugas dari Pemerintah Pusat, Gubernur
atau Instansi vertikal dengan beban anggaran dari APBN.

Pasal 124
(1) Pembentukan Distrik ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
(2) Pembentukan Distrik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat
Administrasi, Teknis, Fisik kewilayahan serta memperhatikan Kultur dan
Adatistiadat.
(3) Peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan Distrik
sebagaimana tersebut dalam ayat (1) paling sedikit memuat:
63
a. Nama Distrik;
b. Nama Ibukota Distrik;
c. Batas Wilayah Distrik; dan
d. Nama Kampung/Kelurahan.
(4) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) dilampiri peta distrik sesuai
kaidah tersebut memuat titik koordinat.
(5) Peraturan daerah dapat disahkan setelah mendapatkan kode dan data wilayah
administrasi pemerintahan dari Pemerintah.

Pasal 125
(1) Syarat administratif pembentukan Distrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
124 ayat (2), meliputi:
a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 tahun; dan
b. Rekomendasi/Persetujuan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah;
(2) Keputusan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK).

Pasal 126
(1) Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2)
meliputi cakupan wilayah, lokasi ibukota, sarana dan prasarana.
(2) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) untuk
daerah kabupaten paling sedikit terdiri atas 10 kampung/kelurahan dan
untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5 desa/kelurahan.
(3) Lokasi ibukota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperhatikan tata
ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya.
(4) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi bangunan dan lahan.

Pasal 127
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud Pasal 124 ayat (2) meliputi Jumlah
Penduduk, Luas Wilayah, rentang kendali Penyelenggaraan Pemerintahan, Aktivitas
Perekonomian Ketersediaan Sarana dan Prasarana.

Pasal 128
(1) Organisasi Distrik terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima)
seksidan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan masyarakat; dan
c. seksi ketenteraman dan ketertiban.
(3) Pedoman organisasi Distrik ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

64
Pasal 129
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Distrik
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 130
(1) Pelayanan Administrasi distrik sebagaimana dimaksud Pasal 128 dapat
diselenggarakan di distrik.
(2) Pelayanan administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan
dengan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan/PATEN.

Pasal 131
(1) Bupati/Walikota membentuk instansi teknis di tingkat Distrik sebagai
perpanjangan tangan Dinas, Badan atau Lembaga Teknis
Kabupaten/Kotauntuk mendekatkan pelayanan Pemerintahan kepada Orang
Asli Papua.
(2) Organisasi dan Tata Kerja instansi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur dengan Perda.

Bagian Kedelapan
Kelurahan

Pasal 132
(1) Selain kampung di wilayah Distrik dapat dibentuk kelurahan.
(2) Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah yang
dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. memberdayakan masyarakat;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
d. membina terselenggaranya ketenteraman dan ketertiban umum; dan
e. membangun serta memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
(4) Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota
atas usul Kepala Distrik dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), lurah
bertanggung jawab kepada Kepala Distrik.
(6) Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibantu oleh perangkat kelurahan.
(7) Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada lurah.
(8) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), dapat dibentuk lembaga lain sesuai dengan kebutuhan yang
ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota.
65
(9) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diatur dengan peraturan Bupati/Walikotasesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 133
(1) Pembentukan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 pada ayat
(1) dilakukan di wilayah perkotaan pusat pemerintahan Kabupaten/Kotatetapi
tidak termasuk wilayah pinggiran perkotaan.
(2) Tata cara pembentukan kelurahan diatur dengan Perdasi.

BAB X
PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR,
BUPATI/WAKIL BUPATI, WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 134
(1) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota dipilih dalam satu pasangan calon melalui pemilihan yang
demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
(2) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
(3) Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBD
Provinsi.
(4) Biaya untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua
Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur

Pasal 135
(1) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134
ayat (1), diselenggarakan oleh DPRP.
(2) Pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRP.
(3) Tatacara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur diatur dengan Perdasus.

66
Bagian Ketiga
Pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota

Pasal 136
(1) Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), dilakukan secara tidak langsung melalui
DPRD Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) diatur dengan Perdasi.
(3) Pemilihan Bupati/Wakil Bupatidan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui tahap persiapan, pencalonan,
pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan yang
diatur oleh Komisi pemilihan Umum.
(4) Pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan berdasarkan
Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
(5) Tatacara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diatur
dengan Peraturan daerah.

Pasal 137
Untuk menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan calon Bupati dan calon
Wakil Bupati serta calon Walikota dan Wakil Walikota selain syarat-syarat lain,
syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon tersebut adalah Orang Asli Papua
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.

Pasal 138
(1) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota dipilih oleh DPRP/DPRD dalam satu pasangan yang diajukan oleh
satu partai politik, gabungan partai politik atau calon perseorangan.
(2) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota memangku jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
dalam satu masa jabatan dalam jabatan yang sama.
(3) Tatacara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota diatur dengan Perdasus.

BAB XI
PERATURAN DAERAH KHUSUS, PERATURAN DAERAH PROVINSI
DANPERATURAN GUBERNUR

Pasal 139
(1) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP dan Gubernur setelah dibahas
bersama-sama oleh DPRP, MRP dan Gubernur.
67
(2) Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
(3) Tata cara pembahasan Perdasus oleh DPRP dan Gubernur bersama-sama
dengan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.
(4) Tata cara pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi.

Pasal 140
(1) Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi diatur dengan Peraturan Gubernur.
(2) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
bertentangan dengan kepentinganumum dan hak-hak dasar Orang Asli Papua
serta Perdasus dan Perdasi.

Pasal 141
(1) Perdasus dan Perdasi diundangkan dengan menempatkannya dalam
Lembaran Daerah Provinsi.
(2) Peraturan Gubernur diundangkan dengan menempatkannya dalam Berita
Daerah.
(3) Dalam hal Raperdasus dan Raperdasi yang telah disetujui bersama oleh DPRP,
MRP dan Gubernur tidak disahkan oleh Gubernur dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak Raperdasus atau Raperdasi disetujui, Raperdasus atau
Raperdasi sah menjadi Perdasus atau Perdasi dan wajib diundangkan dengan
menempatkannya dalam lembaran daerah dengan rumusan frasa pengesahan
berbunyi "Perdasus atau Perdasi ini dinyatakan sah".
(4) Frasa pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beserta
tanggal jatuh sahnya, harus dibubuhkan dalam halaman terakhir Perdasus
dan Perdasi sebelum pengundangan naskah Perdasus atau Perdasi dalam
Lembaran Daerah.
(5) Perdasus dan Perdasi mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.
(6) Peraturan Gubernur mempunyai kekuatan hukum setelah dimuat dalam
Berita Daerah.
(7) Perdasus, Perdasi dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (3) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 142
(1) Perdasus yang materi muatannya tidak sesuai dengan hasil pembahasan oleh
DPRP dan Gubernur bersama-sama MRP dinyatakan batal demi hukum dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Rancangan Perdasi yang dapat dievaluasi dan diklarifikasi oleh Pemerintah
adalah Rancangan Perdasi tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Tata Ruang
Wilayah dan keuangan daerah yang mencakup pajak daerah, retribusi daerah
dan APBD.

68
(3) Pemerintah dapat melakukan evaluasi, klarifikasi dan pembatalan
raperdasi/perdasi dan raperdasus/perdasus yang bertentangan dengan
konsensus bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal
Ika.

Pasal 143
(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan
hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc.
(2) Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi,
tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan
Perdasi.

Pasal 144
(1) Dalam rangka percepatan dan peningkatan efektifitas pembentukan dan
pelaksanaan produk hukum daerah di Tanah Papua, dibentuk komisi hukum
ad hoc.
(2) Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan
untuk membantu Gubernur, DPRPP dan MRP dalam menyiapkan rancangan
perdasus dan perdasi sebagai pelaksanaan dari Undang-undang ini.
(3) Pembentukan komisi hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan bersama Gubernur di Tanah Papua, selambat-
lambatnya 60 hari setelah disahkannya Undang-Undang ini.

BAB XII
PERANGKAT DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 145
(1) Perangkat daerah Provinsi terdiri atas Sekretariat Daerah Provinsi, Sekretariat
DPRP, Sekretariat MRP, Satuan Kerja Perangkat Daerah dan lembaga teknis
Provinsi yang diatur dengan Perdasi.
(2) Perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah
Kabupaten/Kota, sekretariat DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota, lembaga teknis Kabupaten/Kota dan Distrik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan perdasi.

69
Bagian Kedua
Sekretariat Daerah Provinsi

Pasal 146
(1) Sekretariat Daerah Provinsi dipimpin oleh Sekretariat Daerah Provinsi.
(2) Sekretariat Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
tugas, fungsi dan wewenang:
a. membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan;
b. mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan Provinsi; dan
c. membina Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam wilayah Provinsi.
(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) Sekretariat Daerah Provinsi bertanggungjawab kepada Gubernur.
(4) Dalam hal Sekretariat Daerah Provinsi berhalangan melaksakan tugasnya,
tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan
wewenang Sekretariat Daerah Provinsi diatur dengan Perdasi.

Pasal 147
(1) Sekretariat Daerah Provinsi diangkat dari Pegawai Negeri Sipil Daerah yang
memenuhi syarat.
(2) Calon Sekretaris Daerah Provinsi diusulkan oleh Gubernur kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri.
(3) Gubernur menetapkan seorang calon Sekretaris Daerah Provinsi dan
disampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan.
(4) Presiden menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
Sekretaris Daerah Provinsi dengan Keputusan Presiden.

Pasal 148
(1) Gubernur berkonsultasi dengan Presiden sebelum Sekretaris Daerah Provinsi
diberhentikan.
(2) Gubernur menetapkan Sekretaris Daerah Provinsi untuk diberhentikan dan
disampaikan kepada Presiden.
(3) Presiden menetapkan pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 149
(1) Sekretariat daerah Kabupaten/Kota dipimpin oleh Sekretaris Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas, fungsi dan wewenang:
a. membantu Bupati/Walikota dalam menyusun kebijakan;
70
b. mengoordinasikan dinas, lembaga dan badan Kabupaten/Kota; dan
c. membina Pegawai Negeri Sipil dalam Kabupaten/Kota.
(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsidan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sekretaris daerah Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal sekretaris daerah Kabupaten/Kota berhalangan melaksanakan
tugasnya, tugas sekretaris dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk
Bupati/Walikota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi
sekretariat daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Kabupaten/Kota
yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 150
(1) Sekretaris daerah Kabupaten/Kotadiangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang
memenuhi syarat.
(2) Bupati/Walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum menetapkan
seorang calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota.
(3) Bupati/Walikota menetapkan seorang calon sekretaris daerah
Kabupaten/Kota dan disampaikan kepada Gubernur untuk ditetapkan.
(4) Gubernur menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
sekretaris daerah Kabupaten/Kota dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 151
(1) Bupati/Walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum sekretaris daerah
Kabupaten/Kotadiberhentikan.
(2) Bupati/Walikota menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota untuk
diberhentikan dan disampaikan kepada Gubernur.
(3) Gubernur menetapkan pemberhentian sekretaris daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 152
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara pengangkatan
danpemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi dan sekretaris daerah
Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua

Pasal 153
(1) Sekretariat DPRP dipimpin oleh Sekretaris DPRP.
(2) Sekretaris DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRP.
(3) Sekretaris DPRP mempunyai tugas:
71
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRP;
b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRP dan menyelenggarakan
administrasi keuangan;
c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRP;
d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRP; dan
e. menyediakan dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh
DPRP dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah.
(4) Sekretaris DPRP dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRP.
(5) Sekretaris DPRP dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada pimpinan DPRP dan secara administratif
berada di bawah koordinasi Sekretaris Daerah Provinsi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRP diatur
dengan Perdasi.

Bagian Kelima
Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 154
(1) Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota dipimpin oleh Sekretaris DPRD
Kabupaten/Kota.
(2) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi
dengan pimpinan DPRD.
(3) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD Kabupaten/Kota;
b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota dan
menyelenggarakan administrasi keuangan;
c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRD
Kabupaten/Kota;
d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD Kabupaten/Kota; dan
e. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh
DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan
kemampuan keuangan Kabupaten/Kota.
(4) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dalam menyediakan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e wajib meminta pertimbangan
pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.
(5) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugasnya secara
operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD
Kabupaten/Kotadan secara administratif berada di bawah koordinasi
sekretaris daerah Kabupaten/Kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRD
Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Kabupaten/Kota.
72
Bagian Keenam
Dinas, Badan, dan Lembaga Teknis Provinsi dan Kabupaten/Kota

Pasal 155
(1) Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kotamerupakan unsur pelaksana Pemerintah
Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kotadipimpin oleh kepala dinas yang diangkat
dari Pegawai Negeri Sipil Daerah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Provinsi.
(4) Kepala dinas Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh
Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas Provinsi bertanggung jawab
kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi.
(6) Dalam melaksanakan tugasnya kepala dinas Kabupaten/Kota bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 156
(1) Lembaga Teknis Provinsi merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Papua yang bersifat spesifik dapat
berbentuk badan/atau kantor.
(2) Lembaga teknis Kabupaten/Kota merupakan unsur pendukung tugas
Bupati/Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
Kabupaten/Kota yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan/atau kantor.
(3) Badan/atau Kantor Provinsi dan Kabupaten/Kota dipimpin oleh kepala
badan/atau kantor yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Kepala Badan/atau Kantor Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah
Provinsi.
(5) Kepala badan/atau kantor Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris
daerah Kabupaten/Kota.
(6) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Badan/atau Kantor Provinsi
bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi.
(7) Dalam melaksanakan tugasnya kepala badan/atau kantor Kabupaten/Kota
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah
Kabupaten/Kota.

73
Bagian Ketujuh
Kepegawaian

Pasal 157
(1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian dengan berpedoman
pada norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan manajemen
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kebijakan kepegawaian sebagaimana di maksud pada ayat (1) mencakup
jumlah tenaga yang dibutuhkan serta persyaratan dan prosedur rekrutmen
tenaga kepegawaian daerah.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan daerah setempat.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)dan ayat
(3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 158
(1) Jabatan Pemerintahan di Tanah Papua diprioritaskan untuk Orang Asli Papua
yang memenuhi syarat.
(2) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan
pembinaan, pelatihan dan peningkatan kemampuan dan kecakapan Pegawai
Negeri Sipil Orang Asli Papua.
(3) Penempatan pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan hasil uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh
lembaga independen dan professional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 159
(1) Pemerintah wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Orang
Asli Papua yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil untuk bekerja dan
membina karir di instansi pemerintah pusat sesuai dengan kompetensi dan
keahliannya.
(2) Gubernur, Bupati/Walikota wajib mempromosikan Orang Asli Papua untuk
berkarir pada lembaga pemerintah dan swasta tingkat Nasional sesuai
pengalaman, kompetensi dan bidang keahliannya.
(3) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melaksanakan dan
mengembangkan program pendidikan unggulan di dalam dan /atau luar
Negeri dalam rangka mencetak orang-Orang Asli Papua yang memiliki
kualifikasi dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilakukan dengan terbuka dan kompetitif.

74
Pasal 160
Pemerintah wajib memberikan kesempatan bagi putra-putri Indonesia Orang Asli
Papua yang memenuhi syarat melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan
strategis pada tingkat nasional dan internasional.

BAB XIII
PEMERINTAHAN ADAT

Pasal 161
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib
mengakui dan menghormati keberadaan satuan pemerintahan adat,
masyarakat adat dan otonomi kelembagaan adat setempat.
(2) Pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat
dilakukan melalui pembinaan dan pembiayaan terhadap pemerintahan adat.
(3) Penyelenggaraan Pemerintahan Adat dilakukan berdasarkan tatanan
masyarakat adat setempat.

Pasal 162
(1) Setiap Orang Asli Papua merupakan anggota masyarakat adat menurut
wilayah dan kelembagaan adatnya masing-masingdan saling menghormati dan
mengakui kelembagaan adat dari anggota masyarakat hukum adat yang lain.
(2) Suku-suku Orang Asli Papua mengakui dan saling menghargai wilayah adat,
hak-hak masyarakat adat dan otonomi kelembagaan adat masing-masing.

BAB XIV
KAMPUNG

Pasal 163
(1) Kampung yang berada dalam wilayah persekutuan pemerintahan kesatuan
masyarakat hukum adat yang asli diakui keberadaannya.
(2) Kampung memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
keberadaannya dalam sistem pemerintahan nasional.
(3) Berdasarkan keasliannya kampung ditetapkan sebagai kampung asli dengan
memperhatikan karakteristik adat istiadat dan kearifan lokalnya.
(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban mempercepat pembangunan masyarakat dan kawasan
kampung.
(5) Pemekaran kampung pada kawasan yang bersifat khusus dan strategis untuk
kepentingan nasional harus disetujui oleh Pemerintah Provinsi atas usul
75
Pemerintah Kabupaten/Kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemerintahan kampung, kewenangan
kampung, pembangungan kampung, pembinaan kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat diatur dengan Perdasus yang mengacu pada
ketentuan perundang-undangan.

BAB XV
PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Pasal 164
(1) Pemerintah, pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan
hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang
ini.
(2) Hak-hak masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak
ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
(3) Hak ulayat masyarakat hukum adat dan perorangan para warga masyarakat
hukum adat dilaksanakan berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Dalam melaksanakan hak-haknya, masyarakat dan individu
dalam kesatuan hukum adat harus bebas dari segala bentuk diskriminasi,
apapun jenisnya.
(4) Hak keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas adat untuk
mempertahankan tanggung jawab bersama bagi pengasuhan, pelatihan,
pendidikan dan kesejahteraan anak-anak mereka, sesuai dengan hak-hak
anak.
(5) Pelaksanaan hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh
penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah dan
badan air bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut
tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(6) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum
adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan
masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh
kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun
imbalannya.
(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan mediasi
aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak
perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan
yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (7) diatur dengan Perdasus.
76
Pasal 165
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan
lembaga-lembaga adat dan pranata sosial dalam lingkungan masyarakat adat.
(2) Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan pembinaan dan
dukungan bagi penguatan lembaga adat dan pranata sosial masyarakat adat,
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan gender serta
hak asasi manusia.
(3) Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana
pada ayat (1) dan ayat (2) termasuk kebijakan membatasi serta melarang
pembentukan lembaga-lembaga masyarakat adat yang tidak mempunyai basis
sosial dan pranata sosial dilingkungan masyarakat adat yang asli dan
dibentuk tanpa kesepakatan dalam musyawarah masyarakat hukum adat.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 166
(1) Hak ulayat masyarakat adat dan hak perorangan dalam masyarakat adat
merupakan bagian yang tidak terpisah dari kelembagaan adat.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
melindungi hak ulayat masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP/MRPB
memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa hak ulayat
secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang
memuaskan para pihak yang bersangkutan.
(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XVI
KEUANGAN

Bagian Kesatu
Sumber Pendapatan

Pasal 167
Sumber pendapatan daerah, meliputi:
a. pendapatan asli daerah;
b. Pendapatan Transfer; dan
c. lain-lain pendapatan yang sah.

77
Pasal 168
Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf a terdiri
atas:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.

Pasal 169
Dana transfer daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf b, terdiri
atas:
(1) Bagi hasil pajak:
a. pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
b. pajak penghasilan Badan dari perusahaan yang beroperasi di wilayahTanah
Papua sebesar 80% (delapan puluh persen).
(2) Bagi hasil sumber daya alam:
a. kehutanan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
b. perkebunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
c. perikanan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
d. pertambangan umum sebesar 90% (sembilan puluh persen);
e. pertambangan minyak bumi sebesar 90% (sembilan puluh persen); dan
f. pertambangan gas bumi sebesar 90% (sembilan puluh persen).
(3) Selain bagi hasil pajak dan bagi hasil sumberdaya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bagi hasil pajak yang berasal dari
kontrak karya pertambangan dialokasikan sebanyak 80 % (delapan puluh
persen) untuk Provinsi.

Pasal 170
Dalam rangka pelaksanaan penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169
ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah wajib memberikan informasi kepada Pemerintah
Provinsi di Tanah Papua mengenai besarnya jumlah penerimaan yang berasal dari
provinsi setiap awal tahun anggaran.

Pasal 171
Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dan
ayat (2), merupakan Dana Perimbangan yang terdiri atas:
a) Dana Bagi Hasil;
b) Dana Alokasi Umum; dan
c) Dana Alokasi Khusus.

Pasal 172
(1) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 huruf a, terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil Pajak;
b. Dana Bagi Hasil Cukai; dan
78
c. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terdiri atas:
a. Pajak Bumi dan Bangunan;
b. PPh Pasal 25;
c. PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri; dan
d. PPh Pasal 21;
(3) Dana Bagi Hasil Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
Cukai Hasil Tembakau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdiri atas:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan
(IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi;
b. Penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang berasal dari
penerimaan iuran tetap (Landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan
iuran eksploitasi (royalty);
c. Penerimaan Negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi;
dan
d. Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan
setoran bagi pemerintah pusat, iuran tetap dan iuran produksi.

Pasal 173
Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada
provinsi di Tanah Papua.

Pasal 174
(1) Penerimaan provinsi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 167huruf b, terdiri atas:
a. penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus untuk provinsi di
Tanah Papua yang besarnya setara dengan 10% (sepuluh persen) dari
plafon Dana Alokasi Umum Nasional; dan
b. penerimaan dana tambahan pembangunan infrastruktur provinsi,setara
2% (dua persen) dari total APBN.
(2) Pembagian penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada
provinsi di Tanah Papua dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan hasil
kesepakatan bersama Gubernur.
(3) Penetapan besaran jumlah penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan usul Pemerintah Provinsi.

79
Bagian Kedua
Penggunaan Dana

Pasal 175
(1) Penerimaandana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf
b, digunakan untuk pembangunan perekonomian daerah;
(2) Penerimaan dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam
pasal 168 huruf b dan pasal 169 ayat (1) digunakan untuk pembangunan
Orang Asli Papua yang meliputi :
a. Pendidikan, pelatihan keterampilan dan pendampingan masyarakat
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen);
b. kesehatan dan perbaikan gizi ibu, balita dan anak sekolah sekurang-
kurangnya 20 % (dua puluh persen);
c. ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan sekurang-kurangnya
20% (dua puluh persen);
d. bantuan sosial untuk lembaga sosial dan masyarakat tidak mampu 10%
(sepuluh persen);
e. pembangunan infrastruktur dan pemukiman tingkat kampung sekurang-
kurangnya 25% (dua puluh lima persen);
f. pembentukan dan operasional kelembagaan MRP/MRPB dan lembaga lain
yang dibentuk karena pemberlakuan Otonomi Khusus 4,5% (empat koma
lima persen); dan
g. pengeluaran-pengeluaran lain sebesar 0,5 % (nol koma lima persen).
(3) Penerimaan dana tambahan pembangunan infrastruktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b, digunakan untuk membangun:
a. transportasi;
b. air bersih dan sanitasi;
c. energi listrik;
d. telekomunikasi;
e. sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan seni budaya dan
olahraga; dan
f. prasarana dasar lainnya.
(4) Prioritas pembangunan infrastruktur ditujukan pada daerah pesebaran
jumlah Orang Asli Papua dominan.

Pasal 176
(1) Pemerintah Provinsi dapat melakukan perubahan persentase pembagian dana
Otonomi Khusus sebagai mana dimaksud dalam pasal 175 ayat (2), untuk
jangka waktu tertentu atas pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP.
(2) Perubahan persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Perdasus.

80
Pasal 177
Perencanaan, penggunaandan pertanggungjawaban dana Otonomi khusus
sebagaimana dimaksud pada pasal 169, pasal 174 ayat (1) huruf a, dan pasal 175
diselenggarakan secara terpisah dan merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 178
Kriteria dan Tata cara pembagian penerimaan dalam rangka otonomi khusus
sebagaimana dimaksud dalampasal 174 ayat (1) huruf a dan huruf b, diatur
dengan Perdasus.

Pasal 179
(1) Penerimaan yang bersumber dari dana penerimaan otonomi khusus untuk
sektor pertambangan umum dan gas alam di potong terlebih dahulu 90%
(sembilan puluh persen) untuk provinsi dan 10% (sepuluh persen) untuk
pemerintah pusat.
(2) Selain penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), royalti yang
bersumber dari sektor pertambangan umum dan gas alam dan sektor-sektor
migas dan non migas, diberikan langsung ke kas daerah provinsi dan
kabupaten kota di wilayah operasi kegiatan usaha.
(3) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) selain diberikan
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kotadi wilayah usaha produksi, diberikan
juga kepada provinsi lain di Tanah Papua.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 180
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menerima
bantuan, pinjaman, hibah baik dari dalam maupun luar negeri atau
penerimaan lainnya setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.
(2) Bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dana
atau alih teknologi atau manajemen.
(3) Tatacara penerimaan bantuan, pinjaman dan hibah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 181
(1) Pengusaha asli Papua diutamakan untuk melaksanakan kegiatan yang
pembiayaannya bersumber dari APBN dan APBD di Tanah Papua, sesuai
dengan kualifikasi yang berlaku dengan pembinaan dan pendampingan oleh
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
memberikan kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat yang
memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kegitan-kegiatan pemerintahan
dalam bentuk pembinaan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan dan
81
penyuluhan masyarakat yang dananya bersumber dari APBN dan APBD.
(3) Mekanisme pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 182
(1) Pemerintah, PemerintahProvinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melibatkan
lembaga masyarakat yang memenuhi kualifikasi dalam persiapan sosial
pembangunan proyek dan pembinaan pasca pembangunan proyek
pemerintah.
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 183
Pemerintah menerbitkan kode rekening khusus untuk kegiatan yang bersumber
dari dana otonomi khusus atas usul Gubernur.

Pasal 184
(1) Untuk efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dari
Tambahan Dana dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, pemerintah
melakukan monitoring dan evaluasi;
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Badan Nasional Percepatan Pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua.

Bagian Ketiga
Kontrak Kerjasama

Pasal 185
(1) Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada saat
ini dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan
Pemerintah Provinsi.
(2) Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan jika
keseluruhan isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.
(3) Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak
kerjasama tersebut, Pemerintah Provinsi mendapat pertimbangan DPRP.

Bagian Keempat
Kepemilikan Saham

Pasal 186
(1) Pemerintah wajib mendorong dan menetapkan kebijakan percepatan
penyertaan modal pemerintah daerah pada Badan Usaha Milik Negara,
Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asingyang mengelola
sumber daya alam yang berdomisili dan atau beroperasi di tanah Papua.
82
(2) Pemerintah wajib menyiapkan fasilitas pembiayaan untuk keperluan
penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah dapat melakukan
penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara, Penanaman Modal Dalam
Negeri atau Penanaman Modal Asing yang mengelola sumber daya alam di
Papua.
(4) Pemerintah Provinsi dapat melakukan penyertaan modal dengan Badan Usaha
Milik Negara atau Daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan.
(5) Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi.

Bagian Kelima
Tanggungjawab Sosial Dunia Usaha

Pasal 187
(1) Dunia usaha dalam menyusun program pembangunan masyarakat dan
mengatur tanggungjawab sosial wajib mengikuti rancangan kebijakan
pembangunan Provinsi.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Perdasi yang
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Penyertaan Modal, Obligasi Daerah dan Dana Abadi

Pasal 188
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat melakukan
penyertaan modal atau kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara atau
Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling
menguntungkan.
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ekuitas yang
bersumber dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
(3) Penyertaan modal atau kerjasama bagi hasil dapat ditambah, dikurangiatau
dialihkan kepada badan usaha milik daerah.
(4) Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal atau kerjasama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam APBDProvinsi dan
Kabupaten/Kota.
(5) Penyertaan modal atau kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 189
(1) Pemerintah Provinsi dapat menerbitkan obligasi daerah untuk kepentingan
pembiayaan daerah.
83
(2) Penerbitan obligasi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Perdasi.
Pasal 190
(1) Pemerintah Provinsi dapat menyediakan dana cadangan yang disisihkan
untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak
dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.
(2) Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian anggaran belanja
provinsi yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam dalam bentuk
dana abadi yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan
pembangunan di masa datang.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Perdasus.

Bagian Ketujuh
Divestasi Saham

Pasal 191
(1) Badan usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua wajib
melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah
Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sesudah beroperasi.
(2) Badan usaha yang mengelola sumber daya alam dan beroperasi di Tanah
Papua sebelum undang–undang ini berlaku wajib melakukan divestasi saham
kepada Pemerintah Provinsi dan atau pemerintah Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini disahkan.
(3) Pemerintah wajib mendorong dan memfasilitasi percepatan proses divestasi
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

BAB XVII
PEREKONOMIAN

Pasal 192
Orang Asli Papua berhak ikut serta secara aktif dan penuh di dalam semua
kegiatan perekonomian di Tanah Papua.

Pasal 193
(1) Perekonomian Provinsi yang merupakan bagian dari perekonomian nasional
dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-
besarnyakemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan.
(2) Perekonomian di Tanah Papua diselenggarakan berdasar atas asas
kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta
84
menjaga keseimbangan kemajuan Kabupaten/Kotayang ada di Tanah Papua.
(3) Perekonomian di Tanah Papua merupakan perekonomian yang terbuka dan
tanpa hambatan dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional.
Pasal 194
(1) Usaha-usaha perekonomian di Tanah Papua yang memanfaatkan sumber daya
alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat,
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan yang
pengaturannya ditetapkan dengan Perdasi.
(2) Pembangunan perekonomian di Tanah Papua berbasis kerakyatan dan
dilaksanakan dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada Orang
Asli Papua atau masyarakat adat.

(3) Penanam modal yang melakukan investasi di Tanah papua wajib mengakui
dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.
(4) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi dan/atau/
Kabupaten/Kota dan penanaman modal yang memanfaatkan sumber daya
alam harus melibatkan masyarakat adat setempat, yang dituangkan dalam
perjanjian para pihak.
(5) Keikutsertaan masyarakat adat dalam hal investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan dengan cara menyertakan masyarakat adat
sebagai pemegang saham.
(6) Selain penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemodal wajib
menyisihkan sebagian pendapatan bersih dari sumber daya alam untuk
ditabung dan diberikan setiap tahun dalam bentuk modal kerja atau modal
usaha bagi masyarakat adat setempat.
(7) Pemerintah wajib menyiapkan infrastruktur dan membuka akses
perhubungan internasional dari dan ke Tanah Papua dalam rangka percepatan
dan perluasan ekonomi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (7) di atur dengan Perdasus.

Pasal 195
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan
pembiayaan, pendidikan, pelatihan, pendampingan dan pembinaan guna
mendukung usaha-usaha perekonomian yang dilakukan oleh Orang Asli
Papua.
(2) Dalam rangka perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan pelaku
kegiatan usaha perekonomian Orang Asli Papua, Pemerintah Provinsi
berkewajiban memfasilitasi pembentukan lembaga penjaminan modal.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Perdasus.
85
Pasal 196
(1) Setiap investor yang beroperasi di Tanah Papua wajib menggunakan jasa
perbankan yang berbadan hukum milik Pemerintah Provinsi.
(2) Setiap badan usaha penanam modal asing dan/atau penanam modal dalam
negeri yang mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua wajib berkantor
pusat di Provinsi di Tanah Papua.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Perdasi.
Pasal 197
Pelaku kegiatan usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2), wajib melakukan pengolahan lanjutan di
wilayah Tanah Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang
sehat, efisien dan kompetitif.
Pasal 198
(1) Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati.
(2) Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan
cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak
mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau
perjanjian yang bersangkutan.
(3) Tatacara mengenai pelaksanaan seperti dimaksud pada ayat (2) di atur dalam
perdasi.
Pasal 199
(1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi sumber-sumber potensial ekonomi dan
mengembangkan produk-produk lokal menjadi produk unggulan dalam rangka
pemberdayaan ekonomi Orang Asli Papua.
(2) Kewajiban pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengatur tatacara perniagaan mulai dari bahan
mentah sampai menjadi bahan jadi.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Perdasus.
Pasal 200
Semua kegiatan investasi PMA atau PMDN yang dilakukan di Tanah Papua wajib
menggunakan jasa perbankan yang berbadan hukum milik Pemerintah Provinsi.

Pasal 201
Setiap badan usaha penanam modal asing dan/atau penanam modal dalam negeri
yang mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua wajib berkantor pusat di Provinsi
di Tanah Papua.

86
BAB XVIII
KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

Pasal 202
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban untuk menumbuhkan, membangun, meningkatkan dan
memberdayakan koperasi dan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan
koperasi (UMKM) dengan memprioritaskan Orang Asli Papua;
(2) Pemerintah Provinsi melakukan koordinasi dalam rangka keterpaduan
perencanaan, pelaksanaandan pengawasan terhadap urusan pemerintahan
yang bersifat lintas Kementerian/Lembaga yang terkait dengan koperasi dan
UMKM;
(3) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM
menyusun standar pemberian pengesahan Badan Hukum Koperasi dan Izin
Usaha Simpan Pinjam Koperasi Simpan Pinjam, izin Pembukaan kantor
cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas serta pemberdayaan Koperasi
dan UMKM dan memberikan kemudahan Perizinan dan insentif khusus bagi
badan usaha atau perorangan yang dilakukan oleh Orang Asli Papua.
(4) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM
membebaskan Orang Asli Papua dari pembiayaan pengurusan perizinan yang
terkait dengan izin usaha Koperasi non simpan pinjam.
(5) Setiap Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), usaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi
di wilayah Tanah Papua berkewajiban untuk meningkatkan, mengembangkan
dan memberdayakan koperasi dan UMKM melalui program Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.
(6) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
menciptakan iklim yang kondusif untuk berusaha bagi koperasi dan UMKM
Orang Asli Papua.
(7) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan cadangan usaha yang dikelola
atau diusahakan oleh Orang Asli Papua melalui Koperasi dan UMKM.
(8) Dalam rangka mengelola cadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) yaitu Koperasi dan UMKM yang beranggotakan orang perseorangan asli
Papua dapat melakukan kerjasama dengan usaha besar lainnya dengan pola
kemitraan meliputi:
a. saling membutuhkan;
b. saling mempercayai;
c. saling memperkuat; dan
d. saling menguntungkan.
(9) Ketentuan-ketentuan dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dengan Perdasi.

87
Pasal 203
(1) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM
berkewajiban melindungi, memberdayakan, berpihak dan menjamin
keberlangsungan usaha ekonomi Perempuan Asli Papua.
(2) Upaya-upaya dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

BAB XIX
KEPARIWISATAAN

Bagian Kesatu
Pembangunan Kepariwisataan

Pasal 204
(1) Pembangunan kepariwisataan di Tanah Papua diselenggarakan berdasarkan
asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kesejahteraan,
kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan
dan kesatuan.
(2) Pembangunan kepariwisataan di Tanah Papua bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus
kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan
sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk
rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa dan
mempererat persahabatan antar bangsa.
(3) Pembangunan kepariwasataan merupakan bagian integral dari pembangunan
Papua yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan
dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan nilai-nilai
agama dan nilai-nilai adat istiadat serta budaya yang hidup dalam
masyarakat, kelestarian dan mutu lingkunganserta kepentingan nasional.
(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban untuk
melakukan pembangunan kepawisataan yang meliputi industri pariwisata,
destinasi wisata, pemasaran dan kelembagaan kepariwisataan.
(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mendorong penanaman
modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan
sesuai dengan rencana induk kepariwisataan nasional, provinsi dan
Kabupaten/Kota.
(6) Pengembangan pembangunan kepariwisataan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi.

Pasal 205
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membimbing dan
melatih masyarakat adat agar terlibat secara langsung dalam kegiatan
kepariwisataan di Tanah Papua.
88
(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan dana
untuk penyelenggaraan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah memberikan kemudahan perizinan bagi wisatawan mancanegara
untuk berkunjung ke Tanah Papua.
(4) Ketentuan sebagaimana tercantum pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Kawasan Strategis Pariwisata

Pasal 206
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menetapkan kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis
pariwisata provinsi dan kawasan strategis pariwisata Kabupaten/Kotayang
merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tata ruang wilayah provinsidan rencana tata ruang Kabupaten/Kota.
(2) Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan
aspek:
a. sumber daya pariwisata alam dan budaya potensial menjadi daya tarik
pariwisata;
b. potensi pasar;
c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan
wilayah;
d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis
dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan
pemanfaatan aset budaya;
f. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan
g. kekhususan dari wilayah.
(3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial dan
agama yang dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan
dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk Badan
Promosi Pariwisata Papua yang berkewajiban untuk meningkatkan citra
kepariwisataan Papua, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan
wisatawan nusantara ke Papua dan melakukan riset dalam rangka
pengembangan usaha dan bisnis pariwisata Papua.
(5) Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan mengatur kawasan pariwisata
berbasis masyarakat yang dikelola oleh badan usaha, lembaga nirlaba atau
perorangan di Papua.
(6) Penyelenggaraan jasa pariwisata ke Tanah Papua bekerja sama dengan badan
usaha pariwisata di Tanah Papua khususnya pengelolaan obyek wisata alam
minat khusus.
89
BAB XX
KEHUTANAN

Bagian Pertama
Prinsip Kebijakan Kehutanan

Pasal 207
(1) Pengurusan hutan di Tanah Papua berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.
(2) Prinsip-prinsip pengurusan hutan di Tanah Papua dilaksanakan berdasarkan
pengakuan, penghormatan, penghargaan, perlindungan, pemberdayaan dan
keberpihakan kepada Orang Asli Papua.
(3) Pengurusan hutan di Tanah Papua bertujuan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat adat pemilik hak ulayat yang berkeadilan dan
berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,
fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,
sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, terutama memberi
manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat adat di dalam hutan maupun
di sekitar hutan;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan
lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi
serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bagian Kedua
Pengurusan Hutan

Pasal 208
(1) Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan pengurusan hutan untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
perdasi.

90
Pasal 209
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memelihara, melindungi dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya hutan.
(2) Pemerintah Provinsi dengan persetujuan Pemerintah dapat berhubungan
langsung dengan badan internasional dalam pengelolaan dan pemanfaatan
hutan bagi penyerapan karbon dan produksi oksigen.

Bagian Ketiga
Status Hutan dan Fungsi Hutan

Pasal 210
(1) Pemerintah menetapkan status hutan dengan usulan Gubernur setelah
mendapat pertimbangan dari Bupati/Walikota.
(2) Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya.
(3) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sesuai usulan
Gubernur/Bupati/Walikota, sebagai berikut:
a. hutan konservasi;
b. hutan lindung; dan
c. hutan produksi.
(4) Pemerintah melalui pertimbangan Gubernur dapat menetapkan kawasan
hutan tertentu untuk tujuan:
a. penelitian dan pengembangan;
b. pendidikan dan latihan; dan
c. religi dan budaya.
(5) Ketentuan mengenai keberadaan Masyarakat Hukum Adat diatur dengan
perdasus.

Bagian Keempat
Inventarisasi Hutan dan Pengukuhan Hutan

Pasal 211
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan pada tingkat provinsi dan tingkat
Kabupaten/Kota dengan melibatkan perwakilan Masyarakat Hukum Adat.
(2) Hasil inventarisasi hutan digunakan Pemerintah sebagai dasar pengukuhan
kawasan hutan.
(3) Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

91
Bagian Kelima
Penatagunaan Kawasan Hutan

Pasal 212
(1) Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan berdasarkan
hasil pengukuhan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan
penggunaan kawasan hutan.
(3) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan
hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau
pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat
ekonomi masyarakat setempat.
(4) Pemerintah menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(5) Pemerintah menetapkan perubahan peruntukan kawasan hutan yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Bagian Keenam
Pemanfaatan Hutan

Pasal 213
(1) Gubernur menetapkan izin pemanfataan hutan selain izin pemanfaatan hasil
hutan kayu, jasa lingkungan karbon, pemanfaatan kawasan silvo pastura dan
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di atas 50 (lima puluh) hektar.
(2) Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang
memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi
atau kelompok usaha Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan
keberadaannya.
(3) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan wajib melibatkan
Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan keberadaannya dengan Pola
Kemitraan.
(4) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
(5) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan perdasi.

92
Bagian Ketujuh
Izin Pemanfaatan Hutan

Pasal 214
(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, dikenakan iuran izin usaha,
provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan dikenakan provisi.
(4) Ketentuan tentang iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana jaminan
kinerjadan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan sesuai peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Penggunaan Kawasan Hutan di Luar Kegiatan Kehutanan

Pasal 215
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana pada ayat (1) dilakukan tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Gubernur dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri Kehutanan atas persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Bagian Kesembilan
Pemanfatan Hutan

Pasal 216
Ketentuan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
menyangkut izin pemanfataan kawasan, izin usaha pemanfataan jasa lingkungan,
izin pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan lindung dan hutan
produksi, pengelolaan hutan untuk tujuan khusus, pemanfaatan hutan hak dan

93
hutan adatdan pemanfatan hutan untuk kepentingan pembangunan dan izin
pinjam pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesepuluh
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Pasal 217
(1) Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib
dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan
Pemerintah.
(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib
dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan
kegiatan pertambangan.
(3) Badan hukum dan orang yang menggunakan kawasan hutan untuk
kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan
permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi
dan rehabilitasi.

BAB XXI
PERTANIANDAN KETAHANAN PANGAN

Pasal 218
(1) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi berkewajiban memberikan dukungan
kebijakan, program dan pendanaan untuk percepatan pembangunan tanaman
pangan, holtikultura, peternakan dan kesehatan hewan, perkebunan dan
sarana-prasarana pertanian dengan memperhatikan karakteristik sosial
budaya dan ekonomi, potensi wilayah, kondisi geografis wilayah dan kondisi
infrastruktur wilayah dengan memprioritaskan Orang Asli Papua.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban


memberikan dukungan kebijakan, program dan pembiayaan untuk
pembangunan Ketahanan Pangan di Tanah Papua khususnya yang berbasis
sumber daya pertanian dan pangan lokal.
(3) Ketentuan mengenai pembangunan pertanian dan ketahanan pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Perdasi.
Pasal 219
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
melindungi tata guna lahan pertanian Orang Asli Papua.

Pasal 220
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
mengembangkan perkebunan rakyat untuk Orang Asli Papua.
94
(2) Dalam pengembangan sebagaimana dimaksud Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah
Papua berkewajiban memberikan dukungan kebijakan program dan
pendanaan untuk pembangunan komoditi perkebunan.

Pasal 221
(1) Pemerintah Provinsi memberikan izin usaha perkebunan.
(2) Investasi di bidang pembangunan perkebunan di Tanah Papua wajib
dilakukan dengan memberikan alokasi lahan perkebunan dalam jumlah
minimum 5 Ha (lima hektar) untuk setiap kepala keluarga petani Orang Asli
Papua sebagai petani plasma.

Pasal 222
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
mengkonservasi, mengembangkan dan mempromosikan tumbuhan dan hewan
endemik Papua.
(2) Konservasi tumbuhan dan hewan endemik Papua dapat dilakukan secara in-
situ dan ex-situ.
(3) Pengembangan tumbuhan dan hewan endemik Papua dapat dilakukan dengan
pembangunan, perkebunan, estate, penangkaran dan/atau bentuk usaha
yang lain.
(4) Promosi dilakukan atas tumbuhan dan hewan endemik Papua serta
produknya dengan memperhatikan pembangunan pertanian yang meliputi
Promosi dan Investasi.

Pasal 223
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan dan
mengembangkan kawasan pertanian organik.

Pasal 224
(1) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membentuk Lembaga Pembiayaan
Pembangunan Sektor Pertanian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pembiayaan khusus sektor
pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 225
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan fasilitas
subsidi angkutan, sarana produksi, bahan bakar minyak dan fasilitas sarana
usaha bagi petani dan nelayan Orang Asli Papua di tempat terpencil.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuapten/Kota wajib
melaksanakan pendidikan, pelatihan, penyuluhan serta pendampingan bagi
petani Orang Asli Papua.
95
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan
dengan kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dengan
Perdasus.

Pasal 226
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membentuk dan membiayai Badan
Koordinasi Penyuluh Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perkebunan dan
Perikanan di tingkat Provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian,
Kehutanan, Peternakan, Perkebunan dan Perikanan di tingkat Kabupaten/Kota di
Tanah Papua.

BAB XXII
KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pasal 227
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban mempercepat pemberdayaan nelayan Orang Asli Papua.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memberikan dukungan kebijakan, program dan pendanaan untuk percepatan
pembangunan masyarakat pesisir, kepulauan dan pulau-pulau terpencil
dengan memprioritaskan Orang Asli Papua.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, program dan skema
pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan di sektor kelautan dan
perikanan di Tanah Papua.
(4) Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam
di laut teritorial, perairan umum daratan dan Zona Ekonomi Ekslusif.
(5) Pemerintah mendorong badan-badan usaha di sektor kelautan dan perikanan
untuk melakukan pengolahan lanjutan hasil-hasil kelautan dan perikanan di
wilayah perairan Papua, dilakukan di Tanah Papua.
(6) Gubernur memiliki kewenangan mengeluarkan ijin usaha penangkapan ikan
di wilayah perairan Tanah Papua.
(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melibatkan
masyarakat adat setempat yang hidup di wilayah pesisir dalam pengelolaan
sumber daya alam laut.
(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (7) diatur dengan Perdasi.

Pasal 228
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban memfasilitasi pengembangan usaha nelayan Orang Asli Papua.
(2) Pengembangan usaha nelayan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud
96
meliputi aspek teknologi, permodalan, kelembagaan, pengolahan dan pasar.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memfasilitasi nelayan Orang Asli Papua dan dunia usaha dalam
pengembangan budidaya perikanan dan hasil laut lainnya.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasi.

BAB XXIII
PERDAGANGAN DAN INVESTASI

Pasal 229
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban mempercepat pemberdayaan pedagang dan pelaku usaha Orang
Asli Papua.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban menyediakan barang-barang kebutuhan pokok rakyat sampai ke
pelosok dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik.
(3) Pemerintah memberikan perizinan dan fasilitas pengurangan bea masuk atas
barang-barang kebutuhan masyarakat di Tanah Papua yang diimpor dari luar
negeri untuk diperdagangkan dan digunakan hanya di dalam wilayah Tanah
Papua.
(4) Jenis dan jumlah barang-barang kebutuhan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Gubernur kepada Pemerintah untuk
memperoleh persetujuan dan perizinan.

Pasal 230
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin
pelaksanaan investasi dan perdagangan di Tanah Papua.
(2) Pemerintah Provinsi dapat memberikan izin ekspor impor barang dan jasa di
Tanah Papuadan melaporkan kepada Pemerintah.
(3) Badan Usaha Badan Hukum dan perorangan dapat melakukan kegiatan
ekspor impor barang dan jasa, setelah mendapatkan izin dari Pemerintah
Provinsi.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diatur dengan Perdasi.

Pasal 231
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib menetapkan keringanan pajak,
pembebasan pajak-pajak dan pembebasan bea masuk dalam rangka impor barang
modal, dan bahan baku ke Tanah Papua dan ekspor barang jadi dari Tanah Papua,
fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah
Provinsi.
97
Pasal 232
(1) Pemerintah mendorong percepatan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus
di Tanah Papua.
(2) Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai daerah industri, manufaktur, ekspordan sektor strategis lainnya.
(3) Pelaksanaan ekspor impor dilakukan langsung dari Tanah Papua dari
Kawasan Ekonomi Khusus.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Gubernur.

BAB XXIV
PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Bagian Pertama
Umum

Pasal 233
(1) Kegiatan usaha pertambangan mineral, batubara, minyak bumi, gas bumi dan
air tanah berperan penting dalam memberi nilai tambah pertumbuhan
nasional, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Tanah Papua secara
berkelanjutandan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
masyarakat.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada prinsip:
a. kepentingan bangsa dan negara;
b. menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua;
c. kesejahteraan Orang Asli Papua;
d. manfaat, keadilan dan keseimbangan;
e. partisipasi, transparansi dan akuntabilitas;
f. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
g. manfaat kapasitas fiskal Papua;
h. menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua; dan
i. menciptakan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat di Tanah Papua yang adil dan merata.

Pasal 234
(1) Sumberdaya pertambangan mineral, batu bara, minyak bumi dan gas bumi di
Tanah Papua, berada di bawah penguasaan masyarakat adat dan dimiliki oleh
masyarakat adat Papua menurut wilayah adatnya masing-masing.
(2) Pengaturan pemanfaatan sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota setelah
berkonsultasi dengan Kementerian Teknis terkait.

98
Pasal 235
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan
mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa kompensasi pemanfaatan sumber
daya alam pertambangan, pemanfaatan tanah ulayat dan bekas hak perorangan
secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan
para pihak yang bersangkutan.

Pasal 236
Kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang telah ada pada saat
undang-undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat
kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

Bagian Kedua
Kontrak Karya danUsaha Pertambangan

Pasal 237
(1) Mineral dan batubara merupakan sumberdaya alam tak terbarukan
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi melakukan pengelolaan bersama mineral
dan batubara yang berada di daratan dan lautan di Tanah Papua.
(3) Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dapat menunjuk atau membentuk suatu
badan pelaksana yang ditetapkan bersama.
(4) Kontrak karya dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
dalam rangka pengelolaan mineral dapat dilakukan apabila keseluruhan isi
perjanjian kontrak karya telah disepakati bersama oleh Pihak Perusahaan dan
Pemerintah Provinsi disertai pemberitahuan kepada Pemerintah.
(5) Perjanjian Kerja Penguasaan dan Pengusahaan Batubara (PKP2B) dengan
pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka
pengelolaan batubara dapat dilakukan apabila keseluruhan isi perjanjian
kontrak karya telah disepakati bersama oleh Pihak Perusahaan dan
Pemerintah Provinsi disertai pemberitahuan kepada Pemerintah.
(6) Kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi minyak dan gas bumi di
Tanah Papua wajib mendapat persetujuan Gubernur.
(7) Setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Tanah Papua wajib
membangun Smelter di wilayah operasi pertambangan.
(8) Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan dan pengendalian produksi dan
ekspor pertambangan.
(9) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
ayat (8) diatur melalui Perdasus.

99
Pasal 238
Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada saat
Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat
kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

Bagian Ketiga
Kewenangan

Pasal 239
Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
mempunyai wewenang dalam hal:
a. pembuatan peraturan daerah bidang pertambangan;
b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan
usaha pertambangan pada lintas wilayah Kabupaten/Kota;
c. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka
memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan
kewenangan;
d. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;
e. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah
provinsi;
f. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di
provinsi; dan
g. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha
pertambangan denganmemperhatikan kelestarian lingkungan;

Bagian Keempat
Wilayah Pertambangan

Pasal 240
(1) Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional
merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
(2) Wilayah Pertambangan (WP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur setelah berkonsultasi dengan
Kementerian/Lembaga Teknis terkait.
(3) Pemerintah Provinsi wajib melakukan penyelidikan dan penelitian
pertambangan dalam rangka penyiapan Wilayah Pertambangan (WP).
(4) Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.
(5) Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan dan Wilayah
Pertambangan Rakyat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi setelah
berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

100
Bagian Kelima
Izin Usaha Pertambangan

Pasal 241
(1) Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap:
a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi dan studi kelayakan; dan
b. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi meliputi kegiatan
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.
(2) Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberikan oleh:
a. Gubernur atas usulan Bupati/Walikota; dan
b. Dalam hal Bupati/Walikota tidak mengusulkan Izin Usaha Pertambangan
(IUP), maka Gubernur dapat menetapkan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

Bagian Keenam
Izin Pertambangan Rakyat

Pasal 242
(1) Kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut:
a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam;
c. pertambangan batuan; dan
d. pertambangan batubara.
(2) Bupati/Walikota memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) setelah
mendapatkan rekomendasi dari Gubernur terutama kepada masyarakat adat
setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi.

Bagian Ketujuh
Pengakhiran Izin Usaha Pertambangan
DanIzin Usaha Pertambangan Khusus

Pasal 243
Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
dapat dicabut Gubernur setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga
Teknis terkait, sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tidak memenuhi kewajiban
yang ditetapkan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana;
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit; dan
d. IUP atau IUPK berakhir.

101
BAB XXV
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Pasal 244
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya
alam di Tanah Papua sesuai dengan kewenangannya, setelah berkonsultasi
dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.
(2) Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi,
eksploitasi dan budidaya Sumber daya alam meliputi bidang pertambangan
yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang
kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan yang dilaksanakan dengan
menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.
(3) Dalam melaksanakan pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemerintah Provinsi
dapat:
a. membentuk badan usaha milik daerah;
b. melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, salah satunya
melalui penyertaan modal; dan
c. Kegiatan usaha dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal.
(4) Dalam melakukan kegiatan usaha, pelaksana kegiatan usaha berkewajiban
mengikutsertakan masyarakat adat setempat dan memanfaatkan sumber daya
lain yang ada di Tanah Papua.

(5) Setiap pelaku kegiatan usaha bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi
dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi.
(6) Sebelum melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib menyediakan dana
jaminan reklamasi dan rehabilitasi yang besarnya akan diperhitungkan pada
waktu pembicaraan kontrak kerja eksplorasi dan eksploitasi.
(7) Orang atau badan hukum yang telah mendapatkan hak konsesi atau
pengelolaan sumber daya alam di Papua dilarang untuk melakukan transaksi
jual beli hak perizinan.
(8) Orang atau badan hukum sebagaimana yang diatur pada ayat (7) wajib
mengembalikan hak konsesi atau pengelolaan sumber daya alam kepada
Pemerintah atau Pemerintah Provinsi tanpa menuntut pengembalian dana
jaminan reklamasi dan rehabilitasi, sebagaimana diatur pada ayat (6).

Pasal 245
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan
pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan yang seimbang
kepada masyarakat adat sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya
alam yang tidak terbarukan.
(2) Setiap badan usaha/pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam di Tanah Papua wajib
102
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, antara lain dalam
bentuk pengembangan masyarakat.
(3) Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap
badan usaha/pelaku usaha wajib menganggarkan dana pengembangan
masyarakat paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang
dijual setiap tahun, yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
Pemerintah Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota dan pelaku usaha.
(4) Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai
program yang disusun bersama antara Pemerintah Papua, Pemerintah
Kabupaten/Kota dan pelaku usaha dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat adat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain yang
diatur lebih lanjut dalam Perdasus.
(5) Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan
masyarakat dikelola sendiri oleh pelaku usaha yang bersangkutan.

Pasal 246
(1) Kewenangan pengelolaan sumber daya alam, minyak bumi dan gas bumi di
Tanah Papua dilakukan oleh Gubernur.
(2) Semua Investor yang melakukan kegiatan usaha di Tanah Papua wajib
melaksanakan seluruh proses pengelolaan dari sumber daya alam di Tanah
Papua.
(3) Proses Pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi Studi Kelayakan, Ekplorasi, Eksploitasi, Pengolahan dan Pemasaran.
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Perdasi.
Pasal 247
(1) Pemodal yang akan mengelola Sumber Daya Alam di Provinsi pertama-tama
wajib memperoleh persetujuan dari masyarakat adat pemilik Sumber Daya
Alam tersebut.
(2) Masyarakat adat berhak untuk meminta atau memperoleh pendampingan di
dalam perundingan dengan pemodal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menghormati dan memfasilitasi kesepakatan penanam modal dan masyarakat
adat sesuai Peraturan Perundang-Undangan.
(4) Guna mencegah kerugian pada masyarakat adat dan/atau pelanggaran atas
Peraturan Perundang-Undangan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dan MRP memediasi perundingan antara pemodal dan
masyarakat adat.
(5) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan Perdasi.

Pasal 248
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
memberikan hak eksklusif kepada Orang Asli Papua untuk mengelola cabang-
103
cabang usaha tertentu dan/atau di tempat tertentu (yang dimaksud dengan
hak eksklusif dapat dilihat dalam bagian penjelasan UU ini).
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaiaman dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
wajib:
a. menyediakan pembiayaan dan/atau jaminan pembiayaan; dan
b. menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pembinaan, termasuk
melalui kerja sama dengan badan swasta yang berkompeten, guna
mencapai standarisasi tertentu.
(3) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Perdasus.

BAB XXVI
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama
Umum

Pasal 249
Pembangunan di Tanah Papua merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilakukan dengan berpedoman pada prinsip pembangunan
berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan
memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 250
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan
pengelolaan lingkungan hidup terpadu dengan memperhatikan:
a. penataan ruang;
b. perlindungan sumber daya alam hayati;
c. perlindungan sumber daya alam non-hayati;
d. perlindungan sumber daya buatan;
e. konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. cagar budaya;
g. keanekaragaman hayati;
h. perubahan iklim; dan
i. Kearifan lokal.

104
(2) Kewajiban pemerintah di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. hak masyarakat adat Papua;
b. keanekaragaman hayati dan proses ekologi; dan
c. kawasan lindung.
(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengikutsertakan
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup.
(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memfasilitasi
pembentukan lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Perdasi.

Pasal 251
(1) Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungan sumber daya alam
sebagimana dimaksud dalam pasal 221 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Orang
Asli Papua berhak memperoleh manfaat dari hasil pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan dalam rangka
perubahan iklim bumi.
(2) Untuk memenuhi hak Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah wajib mengikutsertakan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP
dalam pembahasan dan penetapan pembagian hasil dari pemanfaatan sumber
daya alam dalam rangka perubahan iklim bumi di tingkat nasional dan
internasional.
(3) Penetapan bagian yang menjadi hak Orang Asli Papua atas pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan Pemerintah Pusat berdasarkan usulan hasil pembahasan bersama
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan
dan persetujuan DPRP dan MRP.
(4) Pemerintah wajib memperhitungkan dan menetapkan bagian yang menjadi
hak Orang Asli Papua secara proposional dan berkeadilan atas manfaat
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka perubahan
iklim bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penerimaan negara.

Pasal 252
(1) Perusahaan yang mengolah sumber daya alam di Tanah Papua wajib
menyediakan dana setiap tahun yang disisihkan dari keuntungan dalam
jumlah memadai untuk digunakan mengelola dampak lingkungan pasca
operasi perusahaan.
(2) Untuk kepentingan penyediaan dana guna pengelolaan dampak lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban
membentuk panel ahli untuk menganalisis dan memprediksi kebutuhan dana
pengolahan dampak lingkungan pasca operasi perusahaan.

105
(3) Dana pengelolaan dampak lingkungan pasca operasi perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disimpan dalam bentuk deposito yang ditempatkan di
Bank Papua.
(4) Penempatan jumlah dana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) wajib
dilaporkan kepada masyarakat melalui Laporan Pengelolaan Dampak
Lingkungan setiap tahun dan media massa.

BAB XXVII
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DAN TATA RUANG

Bagian Pertama
Perencanaan Pembangunan

Pasal 253
(1) Rencana pembangunan di Tanah Papua disusun secara komprehensif sebagai
bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan nilai adat, sosial
budaya, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
(2) Rencana Pembangunan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Tanah
Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD);
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); dan
c. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
(3) RPJP Daerah memuat visi, misi dan arah pembangunan Daerah yang mengacu
pada RPJP Nasional.
(4) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala
Daerah yang menyusunnya berpedoman pada RPJP Daerah dan
memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah,
strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum dan program Satuan Kerja
Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana
kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif.
(5) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP,
memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan
Daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung
oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat.
(6) Rencana pembangunan di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (5) disusun untuk menjamin:
a. keterpaduan dan keserasian antara rencana pembangunan daerah dan
rencana pembangunan nasional.

106
b. keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan.

(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melibatkan


masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan maupun tertulis tentang
penyusunan perencanaan pembangunan di Tanah Papua.

Pasal 254
(1) Penyusunan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada
Pasal 253 ayat (2) dilakukan melalui urutan: penyiapan rancangan awal
rencana, musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dan
penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan rencana pembangunan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Rancangan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menjadi bahan utama bagi Musrenbang Daerah.
(4) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir rencana pembangunan daerah
berdasarkan hasil Musrenbang Daerah.
(5) Rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(6) Dalam rangka percepatan pembangunan Provinsi di Tanah Papua, pemerintah
daerah bekerja sama dengan pemerintah dapat melaksanakan musyawarah
khusus perencanaan pembangunan di Tanah Papua sebelum pelaksanaan
musyawarah perencanaan pembangunan nasional setiap tahun.
(7) Musyawarah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melibatkan
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota se-Tanah Papua,
Kementerian dan Lembaga Pemerintah dan lembaga non pemerintah.

Bagian Kedua
Tata Ruang

Pasal 255
(1) Penataan ruang wilayah Provinsi dan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota
dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota memuat:
a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang wilayah yang meliputi sistem perkotaan dalam
wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah
pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah;
c. rencana pola ruang wilayah yang meliputi kawasan lindung dan kawasan
budidaya yang memiliki nilai strategis;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan
107
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi
arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif,
serta arahan sanksi.
(3) Penyusunan rencana tata ruang Provinsi mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi.
(4) Penyusunan rencana tata ruang Kabupaten/Kota mengacu pada Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten/Kota.
(5) Perencanaan, penetapan dan pemanfaatan tata ruang Provinsi didasarkan
pada kekhususan Papua dan saling terkait dengan tata ruang Provinsi dan
tata ruang Kabupaten/Kota.
(6) Kewenangan pemerintah provinsi dalam perencanaan, pengaturan, penetapan,
pemanfaatan dan pengendalian tata ruang Papua bersifat lintas
Kabupaten/Kota.
(7) Kewenangan pemerintah Provinsi dalam perencanaan, pengaturan, penetapan
dan pemanfaatan tata ruang di Tanah Papua memperhatikan:
a. perlindungan Orang Asli Papua dan masyarakat adat setempat;
b. adat dan budaya Papua;
c. penyediaan tanah untuk fasilitas sosial dan umum, jaringan prasarana
jalan, pengairan, dan utilitas;
d. daerah-daerah rawan bencana;
e. penyediaan kawasan lindung dan ruang berbuka hijau serta untuk
pelestarian taman nasional;
f. pemberian insentif dan disinsentif;
g. pemberian sanksi; dan
h. pengendalian pemanfaatan ruang.
(8) Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis
dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang di Tanah
Papua.
(9) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7)
dan ayat (8) diatur dengan Perdasi.

Pasal 256
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengusulkan
kepada pemerintah tentang pembentukan kawasan khusus dalam rangka
pengembangan ekonomi strategis, kebudayaan, keagamaan, sejarah,
konservasi alam dan perlindungan komunitas adat terpencil.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan
perlindungan dan pelestarian terhadap situs-situs sejarah, budaya dan
keagamaan, dalam rangka penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan,
budaya dan nilai-nilai kesejarahan di Tanah Papua.
(3) Upaya perlindungan dan pelestarian terhadap situs sejarah, budaya dan
keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara
penyediaan dana dan fasilitasi pengadaan tanah.
108
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasi.

BAB XXVIII
PERTANAHAN

Pasal 257
(1) Setiap warga negara dan badan hukum Indonesia yang berdomisili di Tanah
Papua dapat memperoleh hak atas tanah.
(2) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota
berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah adat serta hubungan hukum berkenaan
dengan hak atas tanah dengan tetap mengakui, menghormati dan melindungi
hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat.
(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang
menyelenggarakan pendaftaran tanah adat untuk memberikan kepastian
hukum.
(4) Pendaftaran tanah adat sebagaimana pada ayat (3) meliputi kegiatan
penyusunan data yuridis, pengukuran tanah, pemetaan tanah dan penetapan
keputusan kepala daerah Kabupaten/Kota.
(5) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk badan
pertanahan daerah dalam rangka penatalayanan pertanahan.
(6) Masyarakat adat wajib menghormati hak kepemilikan atas tanah adat yang
telah dilepaskan kepada perorangan atau badan hukum yang telah
mempunyai ketetapan hukum.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pendaftaran tanah
adat sebagaiama dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 258
(1) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berwenang memberikan izin penggunaan
dan pemanfaatan tanah adat bagi penanaman modal dalam negeri dan
penanaman modal asing dengan mengakui, menghormati, dan melindungi
hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat.
(2) Izin penggunaan dan pemanfaatan tanah adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Provinsi setelah mendapatkan persetujuan
dari masyarakat adat setempat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus.

Pasal 259
(1) Dalam rangka perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat atas
tanah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan penataan
kembali terhadap penguasaan atas tanah hak ulayat masyarakat adat.
109
(2) Kewajiban pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kotasebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap semua hak atas tanah mencakup hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai.
(3) Dalam melakukan penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah
provinsi dan Kabupaten/Kotamemfasilitasi pengembalian hak atas tanah yang
diperoleh tanpa alas hak dan prosedur yang sah untuk mengembalikan hak
atas tanah kepada masyarakat hukum adat.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 260
(1) Kewajiban pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal
penataan ulang terhadap hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
259 ayat (1) termasuk penetapan kebijakan membatasi pengalihan hak atas
tanah kepada pihak ketiga dengan alas hak jual beli lepas kecuali atas alas
hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai atau sewa menyewa atau
kontrak dalam bentuk penyertaan modal dan/atau kepemilikan saham.
(2) Semua tanah yang telah beralih kepada pihak lain tanpa melalui prosedur
yang sah dinyatakan hak penguasaan atas tanah dimaksud batal demi hukum
dan dikembalikan kepada kekuasaan masyarakat adat.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur
dengan Perdasus.

Pasal 261
(1) Penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum
adat untuk keperluan apapun dilakukan dalam bentuk sewa dan/atau
kontrak.
(2) Tanah ulayat yang digunakan oleh pihak ketiga melalui Hak Guna Usaha
menjadi milik masyarakat adat setelah berakhirnya masa penggunaan hak
tersebut.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut
dengan Perdasus.
Pasal 262
(1) Pemerintah Kabupaten/Kota setiap tahun mengalokasikan Pajak Bumi dan
Bangunan kepada pemilik hak ulayat untuk mengkompensasi hak ulayat yang
di waktu lalu dibebaskan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dengan tidak memenuhi rasa keadilan pemilik hak ulayat.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Perdasus.
Pasal 263
Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dan atau pemerintah Kabupaten/Kota wajib
melakukan pelindungan hukum atas tanah-tanah yang digunakan untuk
pembangunan sosial, pendidikan, kesehatan dan keagamaan, termasuk tanah-
tanah wakaf.
110
BAB XXIX
PERUMAHAN RAKYAT

Pasal 264
(1) Pemerintah bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dan kemudahaan
untuk pembangunan dan perlolehan rumah layak huni dan terjangkau bagi
Orang Asli Papua.
(3) Dalam hal pembangunan dan perolehan rumah sebagaimana dimaksud pada
ayat(2) pemerintah dan pemerintah daerah menjamin:
a. Ketersediaan dana murah jangka panjang bagi masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR);
b. Kemudahan dalam mendapatkan akses kredit atau pembiayaan
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR);
c. Keterjangkauan dalam membangun memperbaiki dan memiliki rumah; dan
d. Bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR).
(4) Pengadaan rumah layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan kepada APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
(5) Pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus dan atau tugas pembantuan
untuk membangun, memperbaiki atau memiliki rumah yang didukung dengan
prasarana, sarana dan utilitas umum.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) diatur dengan Perdasus.

BAB XXX
PENELITIAN PENGEMBANGAN
DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Pasal 265
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyediakan
pembiayaan bagi perguruan tinggi yang ada di Tanah Papua untuk
melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengupayakan
penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tradisional dan
kearifan lokal, yang sesuai kondisi setempat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk mempercepat peningkatan kualitas
pembangunan, inklusivitas dan kelestarian lingkungan di Papua.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
mengembangkan kawasan dan pusat peragaan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Tanah Papua dan
111
menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Pelaku usaha dan para pemangku kepentingan wajib berpartisipasi dalam
penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi dan
inovasi di Papua.
(5) Ketentuan dalam ayat (1), (2), (3) selanjutnya diatur dalam Perdasus,
sedangkan ketentuan dalam ayat (4) selanjutnya diatur dalam Perdasi.

BAB XXXI
PENDIDIKAN

Pasal 266
(1) Orang Asli Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
keolahragaan tanpa dipungut biaya sampai dengan tingkat sekolah menengah
atas.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang,
jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi.
(3) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan berdasarkan
atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, budaya, kearifan lokal dan kemajemukan bangsa.
(4) Pemerintah provinsi membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan
penyelenggaraan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan.
(5) Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi,
kurikulum, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan
sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan Perguruan Tinggi di Tanah
Papua.
(6) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat untuk
mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Tanah
Papua.
(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan hibah
dan/atau subsidi serta menugaskan pendidik dan tenaga kependidikan
kepada lembaga pendidikan swasta yang ditetapkan sebagai mitra Pemerintah
yang menyelenggarakan pendidikan di Tanah Papua.
(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan
Perdasi.

Pasal 267
(1) Orang Asli Papua yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.
112
(2) Selambat-lambatnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang
ini ditetapkan seluruh Orang Asli Papua diatas 7 (tujuh) tahun telah bebas
dari buta aksara.
(3) Selambat-lambatnya dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun sejak Undang-
Undang ini ditetapkan seluruh Orang Asli Papua di atas usia 18 (delapan
belas) tahun berpendidikan serendah-rendahnya setingkat SMA.
(4) Pemberantasan buta aksara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
pendidikan non-formal untuk meningkatkan pendidikan orang dewasa
setingkat SMA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibiayai dengan alokasi
10 % (sepuluh persen) dana pendidikan.
(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyediakan pendidikan layanan Khusus bagi Orang Asli Papua yang berada
di daerah tertinggal, terpencil dan terluar.
(6) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi Orang Asli Papua yang
memiliki kelainan fisik, keterbatasan fisik,gangguan emosional,
keterbelakangan mental, intelektual dan/atau sosial.
(7) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi Orang Asli Papua yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(8) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyelenggarakan penerapan pendidikan berpola asrama sistem kolese yang
bersifat lintas suku-suku asli di Tanah Papua.

Pasal 268
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memfasilitasi dunia
usaha di Tanah Papua untuk mengalokasikan dana/program tanggungjawab
sosial perusahan untuk mendukung pendidikan bagi Orang Asli Papua.
(2) Dunia usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua dan
menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak karyawannya wajib
mengikutsertakan anak-anak usia sekolah dari masyarakat adat di tempat
dunia usaha beroperasi dengan tidak dipungut biaya.

Pasal 269
(1) Pendidikan yang diselenggarakan di Tanah Papua merupakan satu kesatuan
dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik,
potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat.
(2) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.

Pasal 270
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan di setiap sekolah dasar dan
113
menengah khususnya di Daerah tertinggal, terpencil dan terluar.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin
tersedianya sarana dan prasarana bagi pendidik dan tenaga kependidikan agar
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengawasi
dan mengavaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dan memberikan
penghargaan dan sanksi kepada setiap pendidik dan tenaga kependidikan
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif
yang layak kepada pendidik dan tenaga kependidikan non PNS pada semua
jenjang dan jalur pendidikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan
Perdasi.

Pasal 271
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan yang telah pensiun dapat direkrut untuk
mengajar dengan balas jasa yang paling sedikit sama dengan gaji dan
tunjangannya sebelum pensiun.
(2) Selain melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya, pendidik dan
tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib membimbing
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih muda.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat merekrut lulusan Perguruan Tinggi untuk
memenuhi kekurangan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jangka
waktu tertentu.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Perdasus.

Pasal 272
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan pendidik dan tenaga
kependidikan yang lulusannya memiliki karakter pendidik yang unggul dan
bermutu serta siap ditempatkan di pelosok Tanah Papua.
(2) Dalam rangka segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pemerintah Provinsi dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan
dan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan milik Pemerintah atau
swasta yang bermutu di dalam dan di luar negeri.

Pasal 273
Alokasi dana pendidikan dianggarkan dalam APBN dan APBD terutama
diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah dasar
sampai dengan sekolah menengah atas, dengan memprioritaskan sekolah di daerah
tertinggal, terpencil dan terluar.

114
Pasal 274
(1) Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, bahasa Inggris ditetapkan
sebagai bahasa kedua di semua jalur dan jenjang pendidikan.
(2) Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang
pendidikan dasar sesuai kebutuhan pada Daerah-Daerah tertentu.
(3) Bahasa Daerah diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal sesuai dengan
karakteristik mayoritas penutur bahasa Daerah di lingkungan sekolah
tersebut.

BAB XXXII
KEBUDAYAAN

Pasal275
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
menggunakan nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman dalam setiap
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempromosikan
kebudayaan Papua dalam acara resmi baik di dalam maupun di luar negeri.

Pasal 276
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memelihara dan melestarikan situs-situs purbakala, cagar budaya dan yang
diduga cagar budaya di Tanah Papua.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau
dipindahkan dari Tanah Papua dan merawatnya sebagai warisan budaya
Papua.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Perdasus.

Pasal 277
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban melindungi, membina, mengembangkan dan melestarikan
keragaman budaya Papua, guna mempertahankan dan memantapkan jati diri
Orang Asli Papua.
(2) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang kebudayaan Papua, Pemerintah
Provinsi wajib memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat
termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
menggunakan nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman dalam setiap
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
menggunakan simbol-simbol lokal dalam setiap pelaksanaan pembangunan
sarana publik.
115
(5) Pelaksanaan kewajiban di bidang kebudayaan Papua sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan yang diatur dengan Perdasus.

Pasal 278
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban melindungi membina, mengembangkan dan melestarikan
keragaman bahasa, sastra dan kesenian daerah Orang Asli Papua.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan dalam APBN,
APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
(3) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat
termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XXXIII
KESEHATAN

Pasal 279
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan
kesehatan bagi penduduk.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis
dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup
penduduk.
(3) Setiap penduduk Papua dan Orang Asli Papua mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
(4) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan kepada lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi
persyaratan.
(5) Setiap penduduk Papua dan Orang Asli Papua berkewajiban untuk ikut serta
dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga,
dan lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dengan beban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan
keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Perdasi.

116
Pasal 280
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban menyelenggarakan upaya kesehatan untuk meningkatkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi kelangsungan hidup penduduk
Papua dan Orang Asli Papua.
(2) Peningkatan derajat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan melalui upaya kesehatan sesuai dengan standar pelayanan
minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 281
(1) Orang Asli Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan atas semua jenis
penyakit dengan tidak dipungut biaya sampai dengan tingkat pelayanan
rumah sakit Pemerintah kelas 3 (tiga) sampai ditingkat rumah sakit rujukan.
(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
menetapkan standar pelayanan minimal kesehatan dan memberikan
pelayanan kesehatan bagi penduduk.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit termasuk perbaikan dan peningkatan gizi penduduk.
(4) Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melibatkan
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan
pelaku usaha yang memenuhi persyaratan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan pelaku usaha yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Perdasi.

Pasal 282
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong pelaku
usaha di Tanah Papua membuat program sebagai tanggung jawab sosial
perusahaan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Tanah Papua.
(2) Pelaku usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua wajib
menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi karyawan dan keluarganya serta
kepada masyarakat adat di lingkungan tempat pelaku usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi.

Pasal 283
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
menyediakan tenaga kesehatan di setiap unit pelayanan kesehatan,
khususnya di Daerah tertinggal, terpencil dan terluar.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin
tersedianya sarana dan prasarana bagi tenaga kesehatan agar dapat
117
melaksanakan tugasnya dengan baik.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan
monitoring dan evaluasi kinerja tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan.
(4) Dalam rangka monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
memberikan penghargaan dan sanksi kepada setiap tenaga kesehatan sesuai
dengan kinerjanya.
(5) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif
yang layak kepada tenaga kesehatan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan, monitoring dan evaluasi, serta
insentif tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Perdasi.

Pasal 284
(1) Pada Daerah tertinggal, terpencil dan terluar dimana tidak tersedia tenaga
kesehatan, pelayanan kesehatan terbatas, dapat dilakukan oleh tenaga non-
kesehatan yang telah mendapat pelatihan.
(2) Apabila di daerah Daerah tertinggal, terpencil dan terluar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah tersedia tenaga kesehatan, kewenangan
pemberian pelayanan kesehatan terbatas dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan terbatas oleh tenaga
non-kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 285
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan peran sebesar-
besarnya pada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia
usaha yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Pasal 286
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan
penanggulangan HIV dan AIDS.
(2) Kegiatan penanggulangan terhadap persebaran HIV dan AIDS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. promosi kesehatan;
b. pencegahan penularan HIV;
c. pemeriksaan diagnosis HIV;
d. pengobatan, perawatan, dan dukungan;
e. rehabilitasi; dan
f. penelitian dan pengembangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV
dan AIDS dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

118
Pasal 287
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
mengalokasikan dana dari APBN, APBP dan APBK untuk pelaksanaan
sirkumsisi secara sukarela di kalangan Orang Asli Papua dan penduduk
Papua laki-lakimulai dari usia remaja dalam rangka meningkatkan
keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
(2) Pelaksanaan, pembiayaan, insentif dan penghargaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan perdasi.

BAB XXXIV
SOSIAL

Pasal 288
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah provinsi bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya/bersifat lokal.
(4) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) merupakan pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 289
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengakui dan menghormati karakteristik sosial khusus Komunitas Adat
Terpencil di Tanah Papua.
(2) Komunitas Adat Terpencil memiliki hak yang sama dengan Orang Asli Papua
pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang ini.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
membangun masyarakat di kawasan Komunitas Adat terpencil wajib dengan
sungguh-sungguh mempertimbangkan sistem sosial budaya yang dianut
dengan pendekatan terpadu.
Pasal 290
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
memberikan dukungan bagi lembaga-lembaga masyarakat yang
menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan sosial di kawasan Komunitas
Adat Terpencil.

119
(2) Ketentuan tentang pemberian dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 291
(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban memberikan perlindungan dan pelayanan
sosial dasar bagi suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan di Tanah
Papua.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya
penanganan khusus dalam rangka pemberdayaan, pengembangan dan
pemajuan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan di Tanah Papua.
(3) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) Pemerintah Provinsi memberikan peran kepada masyarakat termasuk
lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan dan/atau lembaga lain
yang bergerak dalam penanganan masalah sosial.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XXXV
HAK ASASI MANUSIA DAN KOMISI KEBENARAN
DAN REKONSILIASI

Bagian Kesatu
Hak Asasi Manusia

Pasal 292
(1) Setiap Orang Asli Papua dan setiap penduduk di Tanah Papua memiliki:
a. Hak untuk hidup;
b. Hak untuk tidak disiksa;
c. Hak atas kebebasan pribadi, termasuk menyampaikan pikiran, pendapat
dan hati nurani;
d. Hak untuk memeluk agama;
e. Hak untuk tidak diperbudak;
f. Hak untuk bebas dari kerja paksa;
g. Hak untuk kesehatan yang layak;
h. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum serta
tidak dapat dituntut atas hukum yang berlaku surut dalam segala bentuk
apapun;
i. Hak untuk bebas dari diskriminasi suku, agama, ras, dan antar golongan;
j. Hak untuk berpolitik;
k. Hak untuk mendapat perlakuan dan layanan yang baik dalam segalah
bentuk dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
l. Hak untuk mendapatkandan bertempat tinggal yang layak; dan

120
m. Hak untuk mengembangkan diri berdasarkan intelektualitas dan
ketrampilan dan/atau juga memperoleh manfaat dari kemajuan informasi
dan tekhnologi;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas juga berlaku atas
perempuan dan anak dari Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perempuan dan anak
dari Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua memiliki :
a. Perempuan dari Orang Asli Papua dan Penduduk di Tanah Papau
mempunyai hak :
1) untuk mencari nafkah dan memilih;
2) menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
3) untuk membentuk serikat pekerja;
4) terlibat dalam serikat pekerja;
5) atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
6) mendapat perlindungan dalam membentuk keluarga;
7) mendapat perlindungan khusus;
8) terhadap kehamilan;
9) mendapat perilaku yang non-diskriminatif;
10) atas standar kehidupan yang layak;
11) atas standar tertinggi kesehatan;
12) atas pendidikan;
13) berpartisipasi dalam kehidupan, budaya, penikmatan dan pemanfaatan
kemajuan teknologi; dan
14) mendapatkan bantuan untuk mengembangkan usaha-usaha ekonomi.
b. Anak Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua mempunyai hak:
1) untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2) atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3) untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;
4) untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri;
5) dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak
angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku;
6) memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuan fisik, mental, spiritual;
7) setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social; dan

121
8) untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 293
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menghormati,
melindungi dan memenuhi hak asasi manusia Orang Asli Papua dan
penduduk Papua sebagai Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 291 dan berdasarkan ketentuan undang-undang lainnya yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan hukum internasional.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menetapkan
kebijakan yang bertujuan melindungihak asasi Orang Asli Papua dan setiap
penduduk di TanahPapua dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dibentuk perwakilan Komnas HAM di Tanah Papua selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

Pasal 294
(1) Untuk kepentingan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi
Manusia di Papua, Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang mengadili dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat yang terjadi di Tanah Papua.
(3) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat antara lain pidana penjara terhadap pelaku pelanggaran HAM berat
dan pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi bagi korban
pelanggaran hak asasi manusia, dengan memperhatikan adat istiadat Orang
Asli Papua.
(4) Pengadilan Hak asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
ini adalah bagian integral dari Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana
dimaksud pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.

Bagian Kedua
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Pasal 295
(1) Dalam rangka pemantapan persatuan dann kesatuan bangsa, dibentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua (KKRP) selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.

122
(2) Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan dan pelaksanaan tugas, dan
pembiayaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur dalam keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari
Gubernur.
(3) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya usulan dari Gubernur.

Pasal 296
(1) Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah
Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan
perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk
memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
(2) Kewajiban pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan melalui pembentukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di
tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

BAB XXXVI
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Pasal 297
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, berkewajiban
melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perlindungan Hak Kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Hakcipta;
b. Perlindungan varietas tanaman;
c. pengetahuan lokal;
d. merek dan indikasi geografis;
e. desain industri;
f. paten;
g. rahasia dagang;
h. desain tata letak sirkuit terpadu;dan
i. folklore.
(3) Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Perdasus.

123
BAB XXXVII
KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Pasal 298
(1) Pemerintah Provinsi berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi
dan informatika yang meliputi :
a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan
telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus,
dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah;
b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
keperluan Pemerintah dan badan hukum di wilayah Papua sepanjang tidak
menggunakan spektrum frekuensi radio setelah berkoordinasi dengan
Kementerian/lembaga terkait;
c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi;
d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan
jaringan tetap lokal berbasis kabel cakupan provinsi;
e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di
bidang telekomunikasi;
f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi di
wilayah Provinsi dilaksanakan bersama dengan Kementerian/lembaga
terkait; dan
g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator
telekomunikasi.
h. Pelaksanaan kerjasama yang saling menguntungkan antara Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan operator telekomunikasi
baik BUMN maupun swasta.
i. pengelolaan nama domain yang telah ditetapkan dan sub domain di
lingkup Pemerintah Provinsi; dan
j. pengelolaan e-Government di lingkup Pemerintah Provinsi.
(2) Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan
pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi
lintas kabupaten atau jalan provinsi.
(3) Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotaselain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan

Pasal 299
(1) Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunan
infrastruktur telekomunikasi perdesaan di Tanah Papua.
(2) Pendanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
bersumber dari pendapatan negara bukan pajak sektor telekomunikasi.

124
Pasal 300
(1) Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan ketentuan di bidang pers dan
penyiaran berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam rangka
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Provinsi berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
dalam menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran.
(3) Pelaksanaan ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Perdasi.
(4) Kewenangan lain di bidang pers dan penyiaran bagi Pemerintah Provinsi,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XXXVIII
PERHUBUNGAN DAN TRANSPORTASI

Pasal 301
(1) Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan kebijakan penyelenggaraan
transportasi darat, laut, udara dan perkeretaapian di Tanah Papua dengan
berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan di bidang transportasi.
(2) Penetapan kebijakan penyelenggaraan transportasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah, tingkat
kemahalan, pertumbuhan dan penyebaran penduduk dan kebutuhan sektor
pembangunan lainnya dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan
dalamNegara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Kebijakan penyelenggaraan transportasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Perdasi.

BAB XXXIX
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN

Bagian Kesatu
Kependudukan

Pasal 302
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsidan Pemerintah Kabupaten/Kotaberkewajiban
menetapkan kebijakan pembinaan penataan kependudukan di Tanah Papua
dalam rangka persatuan dan kesatuan Nasional.
(2) Kewajiban Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
dukungan terhadap pemerintah Provinsi dalam melakukan pembinaan
125
pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Tanah
Papua.
(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamemberi perlindungan
bagi Orang Asli Papua dalam rangka menjamin pertumbuhan jumlah dan
perkembangan kualitas kehidupan yang bermartabat.
(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamenetapkan kebijakan
affirmatif dalam rangka mempercepat upaya pemberdayaan dan peningkatan
partisipasi OrangAsli Papua dalam semua sektor pembangunan.
(5) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur
arus pergerakan penduduk di wilayah Tanah Papua
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (5) diatur dengan Perdasi.

Pasal 303
(1) Pelaksanaan tugas dan fungsi pengendalian penduduk dan penyelenggaraan
keluarga berencana untuk meningkatkan kualitas hidup Orang Asli Papua
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Pendataan keluarga di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara
berkala oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan dengan
melibatkan lembaga-lembaga masyarakat yang berkompeten.
(4) Pendataan keluarga dalam rangka mengetahui pertumbuhan populasi dan
perkembangan kualitas Orang Asli Papua dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali.

Bagian Kedua
Ketenagakerjaan

Pasal 304
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak sesuai dengan
kemampuan dan keahlian.
(2) Orang Asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk
mendapatkan pekerjaan di wilayah provinsi di Tanah Papua berdasarkan
pendidikan dan keahliannya.
(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan presentase
tenaga kerja Orang Asli Papua untuk bekerja dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dengan mempertimbangan
kebutuhan pasar kerja nasional yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus.
(4) Setiap pelaku usaha wajib meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
calon tenaga kerja dan tenaga kerja Orang Asli Papua yang terkait dengan
jenis usaha.

126
Pasal 305
(1) Setiap pelaku usaha di atas Tanah Papua wajib memiliki rencana kebutuhan
tenaga kerja dan menyampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dan MRP.
(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyiapkan
sarana dan prasarana dan menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja.
(3) Pemerintah Provisni dan Kabupaten/Kota memberikan insentif kepada dunia
usaha dan lembaga-lembaga masayarakat yang menyelenggarakan pelatihan
ketrampilan bagi para pencari kerja.

Pasal 306
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengutamakan pengusaha Orang Asli Papua dalam semua kegiatan yang
pendanaannya bersumber dari APBN untuk Tanah Papua, APBD Provinsi dan
APBD Kabupaten/Kota.
(2) Guna meningkatkan kemampuan dan kapasitas pengusaha Orang Asli Papua
dalam mengerjakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib
menyelenggarakan pelatihan, pembinaan dan memfasilitasi akses permodalan.

BAB XL
KEPEMUDAAN DAN KEOLAHRAGAAN

Bagian Kesatu
Kepemudaan

Pasal 307
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan dalam
rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
menyelenggarakan fungsi di bidang kepemudaan yang meliputi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan;
b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya; dan
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas.
(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
melaksanakan kebijakan nasional yang menetapkan kebijakan di derah sesuai
dengan kewenangannya serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan.
(4) Pemerintah berkewajiban mengembangkan kapasitas pemuda Papua untuk
berperan serta aktif di organisasi kepemudaan tingkat nasional maupun
127
internasional dan berkarya di bidang Pemerintahan, Badan Usaha Milik
Negara dan dunia usaha nasional maupun internasional.
(5) Pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab
melaksanakan penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan potensi
pemuda berdasarkan kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan
karakteristik dan potensi daerah masing-masing.
(6) Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi.
(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotadalam
menyelanggarakan urusan kepemudaan membentuk Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua
Keolahragaan

Pasal 308
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban untuk mengembangkan olah raga di Tanah Papua.
(2) Dalam rangka mewujudkan prestasi dan profesionalisme dan kebanggaan
daerah, Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban membiayai pengembangan olah raga melalui APBN dan APBD.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
bertanggungjawab untuk membangun pusat-pusat pendidikan dan pelatihan
olahraga, menyediakan prasarana dan prasarana olahraga dan
mengalokasikan anggaran berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan
sesuai kewenangannya.
(4) BUMN, BUMD, dan dunia usaha yang beroperasi di Tanah Papua
berkewajiban mendukung pengembangan olahraga di Tanah Papua dengan
mengalokasikan minimal 1% (satu per seratus) dari keuntungan bersih
perusahaan dalam satu tahun.
(5) Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada Pemerintah
Provinsi di Tanah Papua untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan
olah raga berskala nasional dan internasional.
(6) Pemerintah memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan-kegiatan olah raga di luar negeri.
(7) Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Perdasi.

Pasal 309
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas:
a. menjamin kebebasan berpendapat dan berkarya dalam pendidikan
kepramukaan;
b. membimbing, mendukung, dan memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan
kepramukaan secara berkelanjutan dan berkesinambungan; dan
128
c. membantu ketersediaan tenaga, dana, dan fasilitas yang diperlukan untuk
pendidikan kepramukaan.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang
untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan
kepramukaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan terhadap pelaksanan penyelenggaraan pendidikan kepramukaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri terkait,
Gubernur, dan Bupati/Walikota.
(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban memberikan dukungan pembiayaan bagi penyelenggaraan
kepramukaan dari APBN dan APBD.

BAB XLI
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, BAHAN ADIKTIF LAINNYA
DAN MINUMAN BERALKOHOL

Pasal 310
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkoordinasi dengan instansi terkait dalam pencegahan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya termasuk minuman beralkohol di
Tanah Papua.
(2) Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya
termasuk minuman beralkohol sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat
diintregasikan ke dalam kurikulum pendidikan.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk
lembaga penanggulangan Narkotika-Psikotropika, Bahan Adiktif lainnya,
Minuman Beralkohol dan HIV/AIDS.
(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka
pencegahan penyalahgunaan Narkotika dan Bahan Adiktif lainnya, serta
Minuman Beralkohol.
(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengatur
tentang larangan produksi, peredarandan konsumsi minuman beralkohol dan
obat-obatan berbahaya di Tanah Papua.
(6) Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi
yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

129
BAB XLII
PARTAI POLITIK

Pasal 311
(1) Rekrutmen politik oleh partai politik nasional untuk bakal calon anggota DPR,
DPD dan DPRD mengutamakan Orang Asli Papua dengan memperhatikan
pertimbangan MRP.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. pencalonan, pemilihan dan penetapan pengurus inti pada DPW, DPD, DPC,
Anak Cabang dan Anak Ranting atau dengan sebutan lain.
b. pencalonan Anggota Legislatif, meliputi calon Anggota DPRD
Kabupaten/Kota, calon Anggota DPRP, calon Anggota DPR-RI.
c. pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
Walikota dan Wakil Walikota.
(3) Partai Politik dalam melakukan rekrutmen politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memperoleh pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat
Papua.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekrutmen politik Orang Asli Papua dalam
partai politik nasional diatur dengan Perdasus.

BAB XLIII
LAMBANG DAERAH, BENDERA DAERAH, DAN HIMNE DAERAH

Pasal 312
(1) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua adalah wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan
Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.
(2) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai
panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua
dalam bentuk bendera daerah dan himne yang tidak diposisikan sebagai
simbol kedaulatan.
(3) Lambang daerah, bendera daerah dan himne sebagaiman dimaksud dalam
ayat (2) tidak boleh memiliki kesamaan dengan lambang daerah, bendera
daerahdan himne yang pernah digunakan oleh organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan politik yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.

130
BAB XLIV
SUPERVISI, PENGAWASAN DAN EVALUASI

Pasal 313
(1) Pemerintah melakukan supervisi, pengawasan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah
provinsi di Tanah Papua.
(2) Pemerintah provinsi di Tanah Papua melakukan supervisi, pengawasan, dan
evaluasi terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 314
Pemerintah melakukan pengawasan dengan prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik dengan mempertimbangkan indeks kemahalan dan
kesulitan geografis di Tanah Papua.

Pasal 315
(1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan pemerintahan Kabupaten/Kota
(2) DPRP, DPRD Kabupaten/Kota, lembaga penegak hukum, dan masyarakat
turut melakukan pengawasan politik, hukum dan sosial atas penyelenggaraan
pemerintahan.

Pasal 316
(1) Gubernur selaku Wakil Pemerintah berwenang melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang
dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di Tanah Papua.
(2) Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil
Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus,
Perdasi dan Peraturan Gubernur.

BAB XLV
KERJA SAMA DAN PENYELESAIANPERSELISIHAN

Pasal 317
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua dapat
mengadakan perjanjian kerjasama di berbagai bidang dengan
Provinsi/Kabupaten/Kota lain di Indonesia, pihak ketiga dan/atau lembaga
atau daerah di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

131
(2) Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diselesaikan sesuai dengan pilihan
hukum yang diperjanjikan.

Pasal 318
(1) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua memfasilitasi penyelesaian perselisihan
antara Kabupaten/Kota dalam Provinsi.
(2) Perselisihan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Tanah Papua,
diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah.
(3) Pemerintah menyelesaikan persengketaan yang terjadi antar Provinsi di Tanah
Papua, antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, serta antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota di luar Tanah Papua.
(4) Keputusan penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) bersifat final dan mengikat.

BAB XLVI
PEMBENTUKAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

Pasal 319
(1) Pembentukan Provinsi di Tanah Papua dilakukan dengan persetujuan MRP
dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kesatuan sosial
budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan
perkembangan di masa datang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila Pemerintah
dan Pemerintah Provinsi telah mempersiapkan Provinsi pemekaran melalui
penyiapan birokrasi, sumber daya manusia, fasilitas minimum kesehatan,
fasilitas minimum pendidikan, fasilitas minimum ekonomi dan fasilitas
minimum infrastruktur agar Provinsi pemekaran dapat melaksanakan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.
(3) Pembentukan Kabupaten/Kota di Tanah Papua dilakukan dengan persetujuan
DPRD dan mendapat rekomendasi MRP dan DPRD setelah memperhatikan
dengan sungguh-sungguh, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya
manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah
mempersiapkan Kabupaten/Kota pemekaran melalui penyiapan birokrasi,
sumber daya manusia, fasilitas minimum kesehatan, fasilitas minimum
pendidikan, fasilitas minimum ekonomi dan fasilitas minimum infrastruktur
agar Kabupaten/Kota pemekaran dapat melaksanakan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.

132
Pasal 320
(1) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi menyusun desain besar penataan daerah
sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kemasyarakatan di Tanah Papua.
(2) Desain besar penataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
strategi pengembangan kewilayahan Tanah Papua dan rencana estimasi
jumlah maksimum daerah otonom di Tanah Papua;
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah atas usul Gubernur.

BAB XLVII
PENYEBARLUASAN

Pasal 321
(1) Pemerintah, DPR dan DPD wajib mensosialisasikan isi Undang-Undang ini
kepada Kementerian/Lembaga.
(2) Pemerintah wajib menyelaraskan kebijakan dan program
Kementerian/Lembaga dengan isi Undang-Undang ini.
(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, MRP, DPRP, Pemerintah Kabupaten/Kota
dan DPRD wajib mensosialisasikan isi Undang-Undang ini dan peraturan-
peraturan pelaksanaannya kepada Orang Asli Papua dan Penduduk Papua.
(4) Selain Pemerintah, pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD,
DPRP dan MRP, lembaga-lembaga masyarakat dapat melaksanakan
penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pelaksanaan penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) dibiayai oleh APBN dan APBD.

BAB XLVIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 322
(1) Perubahan nama Provinsi di Tanah Papua dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditentukan oleh DPRP dengan pertimbangan MRP.
(2) Sebelum sebutan nama provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan, sebutan nama provinsi di Tanah Papua yang telah ada tetap
digunakan.
(3) Anggota DPRP dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum
tahun berjalan tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhir masa baktinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
133
Pasal 323
(1) Pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan
secara nasional berkewajiban untuk menyesuaikan kekhususan yang diatur di
dalam undang-undang ini.
(2) Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga sebagaimana diatur dalam Pasal 45
ayat (1), berkewajiban menyelaraskan pelaksanaan kebijakan dan program
Kementerian dan lembaga Pemerintah Non Kementerianlainnya dengan isi
Undang-Undang ini.
Pasal 324
(1) Kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku efektif selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal disahkan.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XLIX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 325
(1) Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD
Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota dan DPRD Kota di Wilayah Tanah Papua
yang telah diangkat sebelum Undang-Undang ini disahkan, tetap menjalankan
tugas sampai berakhir masa jabatannya.
(2) Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota di Tanah Papua
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tetap berlaku hingga
ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
Pasal 326
(1) Pemerintah, DPR RI dan DPD RI dalam hal menetapkan kebijakan nasional
dan/atau membentuk peraturan perundang-undangan wajib menyesuaikan
dengan kekhususan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
mencantumkan frasa "kecuali bagi Tanah Papua diatur secara khusus dan
tersendiri dengan merujuk pada Undang-undang Pemerintahan Otonmi
Khusus Tanah Papua" yang dicantumkan pada ketentuan penutup setiap
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 327
Pelaksanaan Undang-Undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama
kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-Undang ini berlaku.

134
Pasal 328
Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat diajukan oleh rakyat di Tanah
Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 329
Distrik dan kampung atau yang disebut dengan nama lain yang ada pada saat
mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap sebagai Distrik dan Kampung atau
yang disebut dengan nama lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6,
dan angka 7 Undang-Undang ini, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 330
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Kepala
Distrik dan Kepala Kampung beserta perangkatnya yang ada, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pada saat
mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya.

BAB L
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 331
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ada tetap berlaku sepanjang materi muatannya tidak diatur
dan/atau materi muatannya tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 332
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia.Nomor 112
Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884) tetap
berlaku sampai dibentuk peraturan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 333
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
135
Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2008,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 334
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah diselesaikan paling lama 12(dua belas) bulan sejak
diundangkan Undang-Undang ini; dan
b. Perdasi dan Perdasus diselesaikan paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
diundangkan Undang-Undang ini.

Pasal 335
(1) Kewenangan Pemerintah yang bersifat Nasional dan pelaksanaan Undang-
Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Pemerintah Provinsi danKewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota di Tanah Papua tentang pelaksanaan Undang-Undang ini
diatur dengan Perdasi.
Pasal 336
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah, Perdasi, Perdasus dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 337
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, nama, batas dan ibukota, Provinsi,
Kabupaten dan Kota, tetap berlaku kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 338
Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Kampung yang ada pada saat
diundangkannya Undang-Undang ini tetap sebagai Provinsi, Kabupaten, Kota,
Distrik dan Kampung kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 339
Pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang berkaitan langsung dengan pemerintahan provinsi di Tanah Papua dilakukan
setelah memperoleh pertimbangan Gubernur, DPRP dan MRP.

Pasal 340
Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Provinsi di
Tanah Papua yang disusun oleh Pemerintah dilakukan setelah memperoleh
pertimbangan Gubernur.

136
Pasal 341
Undang-Undang ini selanjutnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Otonomi
khusus Tanah Papua yang disingkat UU Pemerintahan Otsus Tanah Papua.

Pasal 342
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ………
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ……………
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…

137
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

I. UMUM
Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur.
Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya
kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, khususnya
masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya
kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik.
Sebagai solusi alternatifnya melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001.
Pemberian Otonomi Khusus Provinsi Papua melalui Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
semestinya dipandang sebagai kebijakan strategis dan elementer
penyelesaian masalah Papua. Disamping itu, Otsus dimaksudkan sebagai
upaya terbaik meningkatkan kesejahteraan Orang Papua. Akan tetapi
pelaksanaan Otsus yang berlangsung selama ini masih sarat kendala,
baik pada tataran kebijakan legislatif (legislative policy) maupun
kebijakan aplikatif (applicatory policy). Pada tataran kebijakan legislatif
terdapat tumpang-tindih kebijakan pengaturan yang menyebabkan
keberadaan UU Otsus menjadi rancu tidak tentu arah, sebagian sudah
tidak punya kekuatan mengikat lagi, sebagian ketentuan lainnya
kehilangan sasaran berlakunya (addressat norm), dan sebagian lagi untuk
implementasinya masih menunggu giliran pengaturan dari aturan organik
semisal Perdasi atau Perdasus.
Pertimbangan terhadap kondisi faktual pelaksanaan Otsus di Papua
selama ini, dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kebutuhan
Papua di masa mendatang, adalah patokan yang sangat fundamental
pembentukan undang-undang ini disertai dengan tetap berpegang teguh
pada jiwa dan semangat yang menjadi landasan filosofis (philosophical
grounded) dari awal kelahiran pembentukan UU Otsus Papua. Kondisi
faktual kekinian masyarakat di Tanah Papua menginginkan ruang yang
lebih luas dan proporsional untuk peningkatan taraf hidup dan tingkat
kesejahteraan dengan tuntutan pemberian kewenangan dan keuangan
yang cukup besar untuk medanai kegiatan pembangunan di berbagai
aspek kehidupan masyarakat di Tanah Papua. Kondisi kekinian dan
pertimbangan masa depan serta landasan filosofis tersebut di atas
menjadi landasan motivatif dan fundamental yang menjadi kerangka
materi muatan pokok Undang-undang Pemerintahan Otonomi Khusus
Bagi Provinsi di Tanah Papua seperti diungkap berikut ini:
(1) Penyelenggaraan Pemerintahan di Tanah Papua melalui regulasi UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menampakkan
kondisi ketidakmampuan untuk mengakomdir dinamika
perkembangan masyarakat Papua. Oleh sebab itu, ada 4 (empat)
harapan baru yang ingin diusung oleh RUU Pemerintahan Otonomi
Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua yaitu (1) kewenangan
Pemerintahan di Tanah Papua yang diperluas (2) Keuangan yang
besar dan proporsional untuk membiayai pembangunan Papua (3)

1
penguatan dan konkritisasi kebijakan affirmative bagi peningkatan
kesejahteraan dan taraf hidup Orang Asli Papua, dan (4) solusi
rekonsiliasi.
(2) Pembentukan RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di
Tanah Papua senantiasa dikendalikan oleh 3 pilar utama yakni (1)
pilar proses, senantiasa mengikuti pentahapan proses pembentukan
regulasi nasional, (2) pilar substansi yang sepenuhnya
dipersembahkan untuk kemulian orang Papua “the Papuan
dignity”/dignity of Papuan people dan (3) penglegimitasian yang
mencakup legitimasi akademk, legitimasi politik dan legitimasi
kultural. Penataan otsus Papua dipersembahkan untuk kemuliaan
orang Papua (dignity of Papuan people), demikian harapan Presiden
Republik Indonesia pada pertemuan di kantor Kepresidenan di istana
negara, pada 29 April 2013.
(3) Perubahan perundangan Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi
Provinsi di Tanah Papua ini disusun secara komprehensif dengan
tujuan: (1) memperbaiki pengelolaan pembangunan untuk
kesejahteraan di Tanah Papua, (2) menghormati tata
kemasyarakatan di Tanah Papua, (3) menghormati dan
mengembangkan identitas dan hak-hak dasar rakyat Papua,
menghormati dan meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri
Orang Asli Papua, (4) sebagai penegasan format otonomi daerah
asimetris yang dipayungi oleh Pasal 18 UUD 1945.
(4) RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua
dilandasi oleh 7 (tujuh) nilai-nilai dasar yakni (1) perlindungan dan
pemberdayaan terhadap hak-hak dasar dan harkat martabat Orang
Asli Papua (2) kasih menembus perbedaan sebagai penghargaan dan
pengakuan terhadap toleransi dan pluralisme; (3) demokrasi dan
kedewasaan berdemokrasi; (4) penghargaan terhadap etika, moral
dan nilai-nilai religius; (5) penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia; (6) supremasi hukum; (7) persamaan kedudukan, hak dan
kewajiban sebagai warga negara
(5) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berwenang mengatur dan
mengurus semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat; seluruh kebijakan lembaga
negara, Kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait
dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi di
Tanah Papua; pembuatan persetujuan internasional yang berkaitan
langsung dengan Pemerintah di Tanah Papua yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
Gubernur dan DPRP; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat
mewakili Pemerintah Pusat dalam urusan bilateral dan
meningkatkan hubungan people to people contact dalam
memperkuat NKRI; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat
melakukan kerjasama dan memiliki hubungan ekonomi, investasi
dan perdagangan dengan luar negeri terutama kawasan pasifik
selatan dan pasifik barat daya; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua
memiliki kewenangan memberikan pertimbangan dalam penyusunan
rencana tata ruang pertahanan; dan Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi di Tanah Papua membuka jalur penerbangan internasional
melalui Bandar Udara Frans Kaisepo di Kabupaten Biak Numfor.
(6) Kerangka Keuangan Pemerintahan Provinsi, yaitu APBN wajib
mempertimbangkan satuan Pemerintahan Khusus di Tanah Papua,
tingkat kemahalan harga, kondisi geografis wilayah, penyebaran
penduduk dan konteks sosial budaya; pendapatan negara yang
berasal dari berbagai pajak PMA, PMDN, BUMN dan dunia usaha
yang beroperasi di Tanah Papua diserahkan lebih dulu ke kas daerah
dan kemudian diserahkan 30 persen ke kas negara selama 20 tahun;
perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang
beroperasi di Tanah Papua (asing maupun domestik) wajib
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi di Tanah Papua.
Pemerintah menyediakan dana otonomi khusus sebesar 4 persen
selama 20 tahun yang ditujukan untuk membiayai pengentasan
kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan dan

2
kesehatan; Pemerintah wajib menyediakan dana tambahan otonomi
khusus untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pemerintah
Provinsi di Tanah Papua berhak atas kepemilikan saham disetiap
usaha pengelolaan sumberdaya alam dibidang pertambangan,
perkebunan, pertanian, perikanan, kelautan, energi (PLTA, PLTU,
PLTS) dan pariwisata, perdagangan dan investasi lainnya; setiap
program pembangunan masyarakat (corporate social responsibility)
yang dilakukan oleh dunia usaha di Tanah Papua wajib mengikuti
desain kebijakan daerah; penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang dilimpahkan/ditugaskan kepada Pemerintahan Provinsi di
Tanah Papua, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung
wajib disertai dengan pendanaan dari APBN. Pemerintah Provinsi di
Tanah Papua dapat menerima bantuan, pinjaman dan hibah baik
yang bersumber dari luar negeri dan dalam negeri setelah
memberitahukannya kepada pemerintah dan dapat melakukan
penyertaan modal dengan badan usaha milik negara/daerah dan
usaha swasta yang saling menguntungkan. Desain bagi hasil sumber
daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada rakyat Papua, Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua dan
kepentingan NKRI.
(7) Kerangka politik, hukum dan HAM mencakup perlindungan Hak
Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Partai Politik, TNI,
KepolisianKekuasaan Peradilan, Forum Komunikasi Umat Beragama
(FKUB) Peraturan Pemerintah di Tanah Papua (Perdasus dan Perdasi)
Bendera, Lambang dan Himne, Pembinaan dan Pengawasan dan
penyelesaian perselisihan Kelembagaan Pemerintahan di Tanah
Papua.
(8) Titik berat otonomi khusus berada di tingkat Provinsi yang
diharmonisasikan dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota sehingga
kedudukan Pemerintahan Provinsi bersifat khusus antara lain (1)
memperkuat kedudukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
di daerah (2) memperkuat kedudukan Gubernur sebagai Kepala
Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi (3) memberi ruang untuk
pelimpahan kewenangan terbatas dalam bidang kebijakan luar
negeri (4) Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas perbantuan; melakukan
koordinasi, pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan di Tanah
Papua; dan yang tidak kalah pentingnya adalah (5) melakukan
koordinasi pengusahaan dan penjagaan keseimbangan
pembangunan antar kota dan kabupaten setiap kebijakan kebijakan
lembaga negara, kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang
terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan pemerintah
Provinsi di Tanah Papua;
(9) Dengan kedudukan Gubernur sebagai kepala daerah dan Kepala
Pemerintahan Provinsi, maka Gubernur melakukan koordinasi dan
pengawasan pelaksanaan kewenangan pemerintah di level Provinsi di
Tanah Papua; kemudian Pemerintah memberikan pelimpahan dan
pembantuan kepada Gubernur di bidang kerjasama luar negeri,
pertahanan, moneter, fiskal dan yustisi dan sebagian urusan
keagamaan; dan setiap kebijakan kebijakan lembaga negara,
kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan
Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Provinsi;
kemudian Gubernur melakukan koordinasi pengusahaan dan
penjagaan keseimbangan pembangunan antar kabupaten dan kota di
Tanah Papua; Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan terhadap instansi vertikal, unit pelaksana
teknis, balai besar maupun BUMN di Tanah Papua; dan Gubernur
memiliki hak dan kewenangan untuk membuat kebijakan afirmatif
dalam menentukan perangkat organisasi di Tanah Papua dengan
pertimbangan DPRP .
(10) Kaitan dengan Kedudukan Majelis Rakyat Papua (MRP) bahwa MRP
adalah lembaga representasi kultural Papua, kemudian MRP
dibentuk di level Provinsi dan Kabupaten/Kota; MRP berwenang
melindungi hak hak Orang Asli Papua MRP menjaga penghormatan

3
terhadap hak-hak adat, pemberdayaan perempuan dan pemantapan
kerukunan hidup antar umat beragama. MRP Provinsi memberi
pertimbangan dan persetujuan rancangan Perdasus dan Perdasi,
MRPKabupaten/Kota memberi pertimbangan dan persetujuan
rancangan Peraturan Kabupaten/Kota dan MRP memberi
pertimbangan terhadap rancangan APBD dan dana otonomi khusus.
(11) Kedudukan DPRP kekuasaan Legislatif Provinsi di Tanah Papua
dilaksanakan oleh DPRP jumlah keanggotaan DPRP terdiri dari 1 1/4
(satu seperempat) dari jumlah anggota DPRD pada umumnya. DPRP
diberi peran proporsional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, disamping diberi kewenangan kepada DPRP memberikan
pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Provinsi dan DPRP melaksanakan
pengawasan terhadap APBN yang dilaksanakan untuk kegiatan
pembangunan di Tanah Papua serta memberi pertimbangan dan
persetujuan terhadap kerjasama internasional yang dilaksanakan di
Tanah Papua.

Pejabaran dan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi


Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua ini dilakukan secara proporsional
sesuai jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara serta menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur Adat Istiadat yang hidup dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Adat di Tanah Papua yang tercermin
pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah, Perdasi, Perdasus,
Peraturan Gubernur, Peraturan Kabupaten/Kota dan Peraturan Kampung
dan diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan sektoral
lain sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan Keberpihakan kepada Orang Asli Papua (OAP)
sebagai penghormatan, pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan
OAP yang diabdikan sepenuhnya bagi Kemulian OAP, adalah bermakna
sama dengan kebijakan affirmatif.

Huruf b
Yang dimaksud dengan Desentralisasi Asismetris adalah kewenangan
lebih luas dan bertanggungjawab oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah provinsi di Tanah Papua yang diberikan secara berbeda,
spesifik dan proporsional berdasarkan status otonomi khusus untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan
karakteristik dan keadaan Papua dalam berbagai sektor pemerintahan,
pembangunan dan pembinaan masyarakat yang diabadikan sepenuhnya
bagi peningkatan kesejahteraan dan kemulian Orang Asli Papua.

Pasal 4
Ayat (1)
Daerah otonom adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bahwa Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan

4
Republik Indonesia

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan kesatuan kultur adalah kesatuan kewilayahan,
kesatuan adat istiadat dalam masyarakat hukum adat baik bersifat
geneologis maupun territorial.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Kepentingan khusus adalah kepentingan keberpihakan terhadap
penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan hak-hak dasar Orang Asli
Papua yang bersifat ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan berwenang mengatur dan mengurus seluruh
urusan pemerintahan adalah baik urusan wajib maupun urusan pilihan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (1)
Cukup jelas

5
Pasal 9
Ayat (1)
Penetapan norma, standar prosedur dan kriteria urusan pemerintahan
yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan pemerintahan
Kabupaten/Kota adalah bersifat teknis operasional yang berkenan
langsung dengan kebutuhan dan berdasarkan karakteristik dan
kemampuan pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Pertimbangan tentang permasalahan, kebutuhan dan kemampuan
Kabupaten/Kota adalah disesuaikan dan secara langsung ditentukan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bersifat wajib adalah bersifat imperative yakni
urusan yang harus dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan otonomi
khusus

Ayat (2)
Standar pelayanan minimal adalah standar pelayanan yang menjadi
ukuran pencapaian kinerja yang harus dilaksanakan dan dicapai sesuai
profesi dan kelayakan pelayanan

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Pengajuan Usulan adalah pengajuan usulan PP
yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi berkenan dengan substansi
pasal-pasal tertentu dalam undang-undang ini yang memang
membutuhkan PP.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan menyetujui usulan yang diajukan pemerintah
provinsi adalah usulan tersebut dapat ditetapkan sebagai PP sebagai
pelaksana dari ketentuan dalam pasal-pasal tertentu dari undang-
undang ini yang membutuhkan PP

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelayanan dasar adalah pelayanan yang
berkaitan langsung dengan hak-hak dasar

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah termasuk karakteristik
kewilayahan, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat

6
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Pelayanan dasar adalah berkaitan langsung kebutuhan dan hak-hak
dasar masyarakat

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan dalam
rangkameningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk karakteristik
kewilayahan, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Pengalihan prasarana, sarana, pendanaan dan kepegawaian sesuai
urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi sebagai konsekuensi
logis penyerahan urusan pemerintah kepada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dekonsentrasi dalam ayat ini adalah berkaitan
dengan pelimpahan kewenangan.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dekonsentrasi dalam ayat ini adalah disamakan
dengan pengertian tugas pembantuan

Pasal 18
Yang dimaksud dengan “dapat menyelenggarakan” dalam ketentuan ini
adalah kewenangan yang tidak ditentukan langsung dalam Undang-
Undang ini masih ada kaitannya dengan urgensi pelaksanaan pasal-
pasal dari undang-undang ini.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Izin Masuk bagi Orang Asing adalah berkaitan
dengan Imigrasi

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

7
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perlakuan khusus adalah disamakan dengan
memprioritaskan atau mengutamakan Orang Asli Papua.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Keamanan dalam ayat ini juga berkaitan dengan keamanan dan
ketertiban masyarakat yang menjadi salah satu tugas pokok Kepolisian.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan berkoordinasi adalah melakukan konsultasi dan
meminta pertimbangan Gubernur.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Ketentuan seleksi dalam ayat ini dalam rangka pelaksanaan kebijakan
kepedulian (affirmative action policy) terhadap Orang Asli Papua

Ayat (2)
Kurikulum muatan lokal dimaksud dapat berupa Etnografi Papua dan
pengetahuan karakteristik Sosial, Budaya, Kekhasan Budaya dan Adat
Istiadat Orang Asli Papua

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di
daerah penugasan adalah sistem hukum, budaya dan adat istiadat
Papua dan suku-suku asli Papua di tempat penugasan.

Ayat (5)
Cukup jelas

8
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan memberikan kesempatan dan perlakuan khusus
adalah dalam rangka kebijakan affirmatif terhadap Orang Asli Papua.

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Persetujuan Gubernur adalah setelah
berkonsultasi dan meminta pertimbangan dengan Gubernur.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan tidak memberikan jawaban adalah jawaban
terhadap surat permintaan persetujuan yang disampaikan kepada
Gubernur.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembinaan karier adalah berkaitan dengan
jabatan, kepangkatan sesuai tugas dan tanggungjawab dalam
lingkungan Kejaksaan Agung RI. Sedangkan memberikan kesempatan
sama dengan mengutamakan atau memprioritaskan Orang Asli Papua.

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Mengutamakan Orang Asli Papua sama dengan memprioritaskan Orang
Asli Papua

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembinaan karir adalah berkaitan dengan
jabatan, kepangkatan sesuai tugas dan tanggungjawab dalam
lingkungan Mahkamah Agung RI. Sedangkan memberikan kesempatan
sama dengan mengutamakan atau memprioritaskan Orang Asli Papua.

Pasal 30
Asas kekeluargaan dan semangat kolektifitas komunal masyarakat
hukum adat di Papua menjadi asas utama penyelenggaraan peradilan
adat di Papua, dengan tetap memperhatikan asas peradilan sederhana,

9
cepat dan biaya ringan, dan dalam hal ini dapat disamakan dengan asas
constantio justitie.

Pasal 31
Pengakuan adanya peradilan adat sepanjang kenyataannya masih ada
dan diberlakukan secara terus-menerus dalam masyarakat hukum adat
bersangkutan, dengan menjaga harmonisasi, keseimbangan dan
keteraturan.Diartikan sebagai menjaga keseimbangan kosmis yang
menjadi tujuan utama penyelenggaraan Hukum Adat.

Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bukan bagian dari peradilan negara adalah
peradilan adat tidak termasuk dalam kompetensi peradilan umum,
peradilan tata usaha negara, peradilan agama, maupun peradilan
militer, tetapi peradilan tersendiri yang dilaksanakan dalam persekutuan
masyarakat hukum adat di Papua.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam hal ini adalah sama dengan
kompetensi atau disamakan artinya dengan kewenangan mengadili dari
pengadilan adat.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Hukum adat adalah hukum yang menjadi dasar
hukum dalam pelaksanaan peradilan adat di lingkungan masyarakat
hukum adat.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan berkeberatan dalam ayat ini adalah merupakan
wujud upaya hukum yang menjadi hak dari pihak berperkara, akan
tetapi peradilan negara bukanlah disejajarkan dengan peradilan
banding, hanyalah sebagai sarana untuk pencarian keadilan bagi warga
masyarakat hukum adat bersangkutan.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan
negara artinya diajukan kepada peradilan umum di wilayah tempat
kediaman yang pihak berperkara bersangkutan.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan menjadi putusan akhir artinya putusan yang
dapat dieksekusi.

10
Ayat (5)
Yang dimaksud Untuk membebaskan pelaku tindak pidana adalah
Pelaku tindak pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan tidak
bersalah melakukan tindak pidana.

Ayat (6)
Penolakan Pengadilan Negeri terhadap pernyataan persetujuan untuk
membebaskan pelaku dari tuntutan pidana, akan tetapi pelaku yang
bersangkutan sudah diputuskan oleh pengadilan adat, maka putusan
pengadilan itu tetap diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan
Hakim Pengadilan Negeri dalam memutus perkara yang bersangkutan.

Ayat (7)
Yang dimaksud dengan Tata Cara adalah sama dengan Hukum Acara
yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.

Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kerjasama adalah kerjasama dalam penegakan
hukum.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan karakter kekhususan adalah indeks kemahalan,
keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat
kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat Papua.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pertimbangan kondisi khusus adalah indeks
kemahalan, keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak
merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat di
Tanah Papua.

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sumber pendanaan adalah sama dengan sumber
pembiayaan yang diberikan pemerintah sebagai konsukuensi dari
penyerahan dan pelimpahan wewenang kepada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

11
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pajak penghasilan orang pribadi dan pajak
pengahasilan badan adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan
peraturan perundangan yang mengatur perpajakan.

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Rekomendasi dapat disamakan dengan izin yaitu izin bea masuk impor,
sedangkan bang modal adalah barang yang digunakan untuk
pelaksanaan investasi.

Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan mengutamakan sama dengan
memprioritaskan Orang Asli Papua

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tenaga Asing di bidang keagamaan adalah
bukan warga negara Indonesia yang bersifat membantu kebutuhan
pelaksanaan kehidupan keagamaan.

Ayat (2)
Pemberian izin artinya mengatur secara proporsional pendirian rumah
ibadah dengan memperhatikan aspek-aspek sosial budaya, kebutuhan
peribadatan masing-masing agama.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebijakan Pemberdayaan masyarakat adat
artinya sasaran program kegiatan pembangunan tertuju kepada warga
masyarakat baik secara individual maupun komunal.

12
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kebijakan lain adalah kebijakan yang
berorientasi pada kebijakan affirmatif terhadap Orang Asli Papua.

Ayat (5)
Pembahasan bersama guna menjalankan urusan bersama antara
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah disamakan
dengan bersifat concurrent, senantiasa ada yang menjadi urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan ada bagian urusan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

13
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan representasi kultural adalah keterwakilan Orang
Asli Papua dari tiga pilar utama, yakni pilar Adat, pilar Agama, dan pilar
Perempuan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

14
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 58
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan Hak Imunitas atau disamakan dengan Hak
Kekebalan hukum sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas,
fungsi dan wewenangnya yang sah.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masyarakat adat, masyarakat agama, dan
masyarakat perempuan adalah berasal dari suku-suku asli di Tanah
Papua.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Panitia Ad Hoc adalah Panitia Penyelenggara
Pemilihan Anggota MRP yang bersifat sementara, yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas penyelenggaraan Pemilihan Anggota MRP.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas

15
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

16
Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan rakyat Papua adalah
ikut memajukan dunia pendidikan dan kebudayaan secara umum di
Tanah Papua dalam semua jenis maupun jenjang pendidikan, termasuk
promosi budaya Papua pada tingkat nasional maupun internasional.

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Cukup jelas

Huruf k
Cukup jelas

Huruf l
Cukup jelas

Huruf m
Cukup jelas

Huruf n
Yang dimaksud dengan RPJPD adalah singkatan dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah, sedangkan RPJMD adalah
singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Huruf o
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

17
Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana adalah tindak pidana kejahatan,
sedangkan ancaman pidana paling singkat adalah ancaman pidana
minimum.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kekuatan hukum tetap adalah tidak ada upaya
hukum lagi dan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yakni dapat
dieksekusi sesuai putusan pengadilan.

Pasal 73
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan diberhentikan sementara adalah sama dengan
dinon-aktifkan sementara waktu dalam menjalankan tugas, wewenang,
fungsi dan hak-hak sebagai Gubenur.

18
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan krisis kepercayaan publik adalah sama dengan
mosi tidak percaya dari masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penyelesaian antara adalah proses penyelesaian
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sementara itu proses
pemberhentian sementara tetap dijalankan.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 75
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari adalah batas maksimal hari
kalender yang ditentukan untuk Presiden merehabilitasi dan
mengaktifkan kembali Gubernur atau Wakil Gubernur sampai masa
akhir jabatan

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

19
Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 5
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan waktu 60 (enam puluh) hari adalah hari
kalender dan merupakan batas maksimal dari tenggang waktu yang
ditentukan, sebelum itu Presiden dapat saja memberikan persetujuan
tertulisnya.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penahanan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 sampai Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas

20
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tindak pidana dalam ketentuan ini adalah
dikualifikasi sebagai kejahatan, sedangkan ancaman pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun adalah ancaman pidana minimal, lebih
dikenal standar minimum terbatas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan berkekuatan hukum pasti adalah tidak ada
upaya hukum lagi dan putusan telah mempunyai kekuatan hukum
untuk dieksekusi sesuai putusan pengadilan.

Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagaimana

21
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
terhadapUndang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 90
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Putusan Terbukti Tidak Bersalah adalah sama
dengan putusan bebas sebagimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

22
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 93
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan dan tindakan penyidikan
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1angka
5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup Jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 94
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan DPRP adalah singkatan dari Dewan Perwakilan
Rakyat Papua, sehingga dicontohkan DPRP Provinsi Papua Barat,
demikian pula dicontohkan DPRP Provinsi Papua.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dipilih adalah anggota DPRP Provinsi yang
dipilih melalui Pemilihan Umum Anggota Legislatif.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan diangkat adalah anggota DPRP Provinsi yang
ditetapkan sebagai anggota DPRP Provinsi tidak melalui Pemilihan
Umum Legislatif.

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 96
Cukup jelas

Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas

23
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 98
Ayat (1)
Hak-hak anggota DPRD dalam ayat ini yakni hak mengajukan
rancangan Perda; hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul
dan pendapat; hak memilih dan dipilih; hak membela diri; hak imunitas;
hak protokoler; dan hak keuangan dan administratif adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a sampai huruf h Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD

Huruf a
Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kenbijakan pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Huruf b
Hak angket adalah hak untuk penyeledikan terhadap kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan

Huruf c
Hak menyatakan pendapat adalah hak menyatakan pendapat terhadap
kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi disertai
rekomendasi penyelesaiannya.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas

24
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 103
Ayat (1)
Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan
tugas dan wewenang DPRP serta hak dan kewajiban anggota.Oleh sebab
itu, Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPRP.

Ayat (2)
Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai
politik.Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi.Fraksi
bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan
tugas dan wewenang DPRP, dan meningkatkan kemampuan, disiplin,
keefektifan dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas
yang tercermin dalam setiap kegiatan DPRP. Fraksi dapat melakukan
evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik,
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi
ditetapkan oleh fraksinya masing-masing.Fraksi membentuk aturan tata
kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 104
Cukup jelas

Pasal 105
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidak dapat dituntut adalah sepanjang
penggunaan hak-hak anggota DPRP Provinsi sesuai dengan fungsi, hak,
tugas dan kewenangannya

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 106
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan penyidikan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penahanan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 sampai Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

25
tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 sampai Pasal 18 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan Pejabat Pemberi Izin adalah pejabat menyetujui
adanya tindakan penyidikan.

Pasal 107
Cukup jelas

Pasal 108
Cukup jelas

Pasal 109
Cukup jelas

Pasal 110
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Huruf b
Hak angket adalah hak untuk penyeledikan terhadap kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.

Huruf c
Hak menyatakan pendapat adalah hak menyatakan pendapat terhadap
kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi disertai
rekomendasi penyelesaiannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

26
Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 112
Ayat (1)
Hak-hak anggota DPRD dalam ayat ini yakni hak mengajukan
rancangan Perda; hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul
dan pendapat; hak memilih dan dipilih; hak membela diri; hak imunitas;
hak protokoler; dan hak keuangan dan administrative, adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a sampai huruf h Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 113
Cukup jelas

Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 116
Ayat (1)
Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan
tugas dan wewenang DPRD, serta hak dan kewajiban anggota.Oleh
sebab itu Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPRD.

Ayat (2)
Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai
politik.Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi .Fraksi
bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan
tugas dan wewenang DPRD, dan meningkatkan kemampuan, disiplin,
keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas
yang tercermin dalam setiap kegiatan DPRD. Fraksi dapat melakukan
evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik,
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi
ditetapkan oleh fraksinya masing-masing.Fraksi membentuk aturan tata
kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

27
Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 117
Cukup jelas

Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 119
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

28
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 122
Ayat (1)
Distrik tidak disamakan dengan Kecamatan, distrik adalah dipimpin
oleh seorang kepala wilayah dan wakil wilayah setempat yang dibentuk
dan berada di wilayah Kabupaten/Kota, dalam fungsinya melaksanakan
sebagian urusan dan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pembinaan warga masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 123
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

29
Pasal 126
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 127
Cukup jelas

Pasal 128
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 129
Cukup jelas

Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 131
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 132
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

30
Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 134
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 135
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 136
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 137
Cukup jelas

Pasal 138
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

31
Pasal 139
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dibuat” adalah disamakan dengan hak inisiatif
dari Dewan Perakilan Rakyat Papua Provinsi untuk mengajukan
rancangan Rancangan Peraturan Daerah Khusus

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 140
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Peraturan Gubernur adalah Peraturan yang
dikeluarkan oleh Gubernur sebagai pelaksana dari ketentuan dalam
Perdasi dan Perdasus.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 142
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan klarifikasi pemerintah adalah berkaitan dengan
hak represif dan preventif yang dimiliki oleh pemerintah terhadap setiap
peraturan daerah.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 143
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pembentukan komisi Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu Gubernur,

32
DPRD dan MRP dalam menyiapkan rancangan Perdasus dan Perdasi
sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan undang-undang ini.

Pasal 144
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 145
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Satuan Kerja PerangkatDaerah atau disingkat
SKPD adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 147
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 148
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

33
Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 150
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 151
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 152
Cukup jelas

Pasal 153
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 154
Ayat (1)
Cukup jelas

34
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 155
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 156
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 157
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

35
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 159
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 160
Cukup jelas

Pasal 161
Ayat (1)
Pemerintahan Adat tidak semata-mata dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan, melainkan dibentuk berdasarkan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat hukum adat. Tujuan pemerintahan adat
adalah menyelenggarakan kepentingan masyarakat hukum adat dan
mempertahankan serta melindungi nilai-nilai adat istiadat dalam
masyarakat hukum adattermasuk kekayaan SDA dan kekayaan
intelektual

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 162
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

36
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Kampung asli dapat juga disebut kampung adat
yang dibentuk dengan memperhatikan kesatuan masyarakat hukum
adat, kesatuan bahasa dan kesatuan wilayah adat.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Yang dimaksud dengan kewenangan kampung dapat mencakup (1)
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat
dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat; (b) Kewenangan lokal berskala
kampung yang diakui Kabupaten/Kota; (c) Kewenangan Pemerintah
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya
ke kampung; dan (d) Masyarakat kampung berhak : mencari, meminta,
mengawasi dan memberikan informasi kepada Pemerintah Kampung
tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan;
memperoleh yang sama dan adil; menyampaikan saran dan pendapat
secara bertanggung jawab tentang kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan; memilih, dipilih dan/atau
ditetapkan menjadi kepala perangkat kampung lairurya anggota
Bamuskam dan lembaga kemasyarakatan kampung dan mendapatkan
perlindungan dari ancanan ketentraman dan ketertiban;

Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 165
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

37
Pasal 166
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 167
Cukup jelas

Pasal 168
Cukup jelas

Pasal 169
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 170
Cukup jelas

Pasal 171
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan Dana Alokasi Umum atau disingkat DAU adalah
sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom
(Provinsi, Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana
pembangunan. DAU juga merupakan salah satu komponen belanja pada
ABPN dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD.
Sedangkan yang dimaksud dengan Dana Alokasi Khusus atau disingkat
DAK adalah alokasi dari APBN kepada Provinsi, Kabupaten/Kota
tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan pemda dan sesuai dengan prioritas nasional.

Pasal 172
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 173
Cukup jelas

Pasal 174
Ayat (1)
Cukup jelas

38
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 175
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan infrastruktur dalam ketentuan ini adalah
sarana penunjang yang mendukung bidang pembangunan strategis
seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan serta sarana
publik yang dibutuhkan masyarakat dalam menunjang aktivitas
pembangunan daerah.

Pasal 176
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 177
Cukup jelas

Pasal 178
Cukup jelas

Pasal 175
Cukup jelas

Pasal 176
Cukup jelas

Pasal 177
Cukup jelas

Pasal 178
Cukup jelas

Pasal 179
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 180
Ayat (1)
Cukup jelas

39
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 181
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 182
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 183
Cukup jelas

Pasal 184
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 185
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 186
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 187
Ayat (1)
Cukup jelas

40
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 188
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 189
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 190
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 191
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 192
Cukup jelas

Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 194
Ayat (1)
Cukup jelas

41
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 195
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kewajiban termasuk didalamnya Kebijakan
perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan pelaku kegiatan usaha
perekonomian Orang Asli Papua adalah bagian terpenting dari kebijakan
affirmatif.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 196
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 197
Cukup jelas

Pasal 198
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 199
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

42
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 200
Yang dimaksud dengan kegiatan investasi dalam ketentuan ini adalah
sama dengan kegiatan penanam modal oleh investor di Tanah Papua.

Pasal 201
Cukup jelas

Pasal 202
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 203
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 204
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

43
Pasal 205
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 206
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 207
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengurusan hutan adalah keseluruhan tindakan
pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan dalam rangka
mendapatkan manfaat dari hutan dengan tetap mempertahankan
kelestariannya, untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang
Sehingga pengurusan hutan menakup tindakan manajemen yang
didalamnya terdapat komponen kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, penerapan atau pelaksanaan kegiatan dan
pengawasan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip adalah disamakan dengan asas-
asas sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dan berkenan dengan
kebijakan affirmatif bagi Orang Asli Papua

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 208
Ayat (1)
Huruf a
Dimaksud dengan Kawasan Hutan adalah Kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap

Huruf b
Status Wilayah tertentu adalah status wilayah hutan sesuai fungsi
hutan baik hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

Huruf c
Cukup jelas

44
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 209
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 210
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan status hutan adalah mencakup hutan lindung,
hutan produksi dan hutan konservasi.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah Hutan Ulayat milik
masyarakat hukum adat.

Ayat (3)
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.Hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah..
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 211
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan inventarisasi hutan adalah dilaksanakan untuk
mengetahui data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan
alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan inventarisasi hutan mencakup proses
penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan,
pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 212
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan,yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap.

Ayat (2)
Cukup jelas

45
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 213
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 214
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 215
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 216
Cukup jelas

Pasal 217
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan reklamasi hutan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapatberfungsi
secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan reklamasi juga

46
meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan
pelaksanaan reklamasi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Badan Hukum atau Badan Usaha adalah
diposisikan sebagai Subjek Hukum antara lain dapat berbentuk
perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap),
firma, koperasi dan sejenisnya.

Pasal 218
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Ketahanan Pangan adalah ketersediaan pangan
dan kemampuan seseorang untuk mengakses atau memperolehnya.
Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika
seluruh anggota keluarga tidak berada dalam kondisi kelaparan atau
dihantui ancaman kelaparan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 219
Cukup jelas

Pasal 220
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 221
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 222
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hewan endemik adalah hewan yang unik yang
merupakan spesies biota pada wilayah Papua yang tidak diketemukan
pada wilayah lain di Indonesia maupun di dunia. Hewan atau spesies
dimaksud seperti Burung Cenderawasih, Kasuari, Burung Taon-taon,
Buaya, Penyu dalam berbagai spesies.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan estate adalah rencana mewariskan atau
rencana mendistribusikan atau rencana memindahkan tumbuhan dan
hewan endemik dengan tujuan pelestarian, perkembangbiakan dan
menghindari aksi kepunahan.

47
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 223
Cukup jelas

Pasal 224
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan Khusus adalah lembaga
yang dibentuk Pemerintah, yang dikhususkan untuk mengurus
masalah-masalah pembiayaan sektor pertanian yang berkaitan dengan
pelaksanaan kebijakan dan program pertanian di Tanah Papua

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 225
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Subsidi Program dan Pembiayaan adalah
bantuan pembuatan program dan pemberian dana dari Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk
penyediaan pupuk dan bibit tanaman atau benih dalam rangka
memproteksi petani Orang Asli Papua.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pendidikan, Pelatihan dan Pendampingan bagi
petani Orang Asli Papua adalah dalam rangka Proteksi terhadap Petani
Orang Asli Papua.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 226
Cukup jelas

Pasal 227
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan laut territorial adalah wilayah laut yurisdiksi
nasional Indonesia, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau
disingkat ZEEI adalah wilayah laut berdampingan dengan laut teritorial,
eksklusif hanya untuk kepentingan ekonomi Indonesia seperti perikanan
dan sumberdaya laut lainnya. Lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil
laut dari garis pangkal.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

48
Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 228
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 229
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 230
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan investasi adalah disamakan dengan penanaman
modal baik oleh investor dalam negeri maupun yang dilakukan oleh
investor asing di Tanah Papua, sedangkan perdagangan adalah
termasuk perdagangan besar, perdagangan enceran atau retailing,
perdagangan antar pulau, maupun perdagangan internasional.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Izin ekspor impor adalah mencakup semua jenis
barang dan jasa yang ada di Tanah Papua.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 231
Yang dimaksud dengan keringan pajak dan pembebasan bea masuk
adalah mencakup semuan jenis barang modal dan bahan baku
termasuk barang jadi dengan tujuan menarik investor masuk
menanamkan modalnya di Tanah Papua.

Pasal 232
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

49
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 233
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Usaha Pertambangan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu kegiatan dalam
rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan
kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan serta pascatambang.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 234
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 235
Cukup jelas

Pasal 236
Cukup jelas

Pasal 237
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sumberdaya alam tak terbarukan adalah
sumberdaya alam yang tidak dapat diregenerasi dan terbatas dalam
kuantitas. Sumberdaya alam yang terkait erat dengan sumber daya yang
tidak berkelanjutan, dapat diregenerasi, tapi tidak pada tingkat yang
terus dengan konsumsi. Termasuk dalam jenis ini adalah bahan bakar
fosil seperti minyak dan gas alam, batubara, bijih, spesies tertentu dari
tanaman dan hewan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengelolaan Bersama adalah pengelolaan Usaha
Pertambangan antara Investor dengan Pemerintah atau Pemerintah
Provinsi.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Badan Pelaksana sebagai wadah pengelola
bersama usaha pertambangan yang besifat konsultatif dan koordinasi,
yang disepakati bersama antara investor dan Pemberintah atau
Pemerintah Provinsi.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Pihak lain adalah pihak ketiga atau pihak yang
mempunyai kepentingan langsung dengan isi perjanjian

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

50
Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 238
Yang dimaksud dengan kesepakatan dalam ketentuan ini merupakan
prasayarat perpanjangan perjanjian kontrak kerjasama.

Pasal 239
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
IUP adalah kepanjangan dari Izin Usaha Pertambangan.

Huruf c
Yang dimaksud dengan kewenangan adalah kewenangan yang dimiliki
oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi.

Huruf d
Yang dimaksud dengan informasi geologi terkait dengan informasi hasil
survey geologi maupun bencana geologi.

Huruf e
Yang dimaksud dengan neraca sumberdaya mineral dan batubara
adalah alat evaluasi sumberdaya mineral dan batubara, yang
menyajikan cadangan awal, perubahan atau pemanfaatan dan tingkat
kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sebagai faktor degradasi
lingkungan dan pembiayaannya serta keadaan akhir dalam bentuk tabel
dan peta penyebaran sumber daya mineral dan batubara

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Pasal 240
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tataruang nasional adalah arahan kebijakan
dan strategi pemanfaatan ruangwilayahnegara yang dijadikan acuan
untuk perencanaan jangka panjang.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Wilayah Pertambangan atau disingkat WP,
adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan
tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Wilayah Usaha Pertambangan atau disingkat
WUP adalah adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan
data potensi dan/atau informasi geologi.

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah suatu usaha
pertambangan bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang
dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-
royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

51
Pasal 241
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan IUP adalah kepanjangan dari Izin Usaha
Pertambangan

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 242
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan IPR adalah kepanjangan dari Izin Pertambangan
Rakyat

Pasal 243
Cukup jelas

Pasal 244
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya
untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan
dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Ayat (6)
Yang dimaksud dengan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi adalah
dana yang ditempatkan atau disediakan oleh pemegang izin sebagai
jaminan untuk melakukan reklamasi

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 245
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan yang seimbang adalah mengandung asas
proporsionalitas atas kompensasi eksploitasi sumberdaya alam.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dana perimbangan masyarakat adalah dana
yang disiakan oleh pelaku usaha untuk pembangunan masyarakat
sekitar wilayah konsensi.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dana satu persen adalah dana dari harga total
produksi yang dijual setiap tahun oleh perusahaan.

52
Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 246
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 247
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 248
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 249
Cukup jelas

Pasal 250
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

53
Pasal 251
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 252
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 253
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 254
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

54
Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 255
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 256
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 257
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Tanah Adat adalah Tanah Ulayat yang bersifat
kolektif-komunal milik masyarakat Hukum Adat. Hak-hak yang telah
ada adalah hak atas tanah yang sudah ditetapkan sebelum Undang-
Undang ini.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adat adalah dalam rangka
penentuan batas dan status kepemilikan Tanah-tanah Adat.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan data yuridis adalah data-data kepemilikan tanah
atau surat-surat tanah yang sudah ada yang berkaitan dengan

55
kepemilikan dan bukti hak atas tanah.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 258
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 259
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 260
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 261
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 262
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 263
Cukup jelas

56
Pasal 264
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 265
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegiatan pendidikan dan penelitian,
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
termasuk didalamnya Tridharma Perguruan Tinggi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 266
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan
adalah mencakup pendidikan nonformal dan formal, pendidikan usia
dini, pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Yang dimaksud dengan memberi kesempatan kepada lembaga
keagamaan, LSM dan dunia usaha adalah turut ambil bagian atau
berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Papua.

57
Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 267
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 268
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 269
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 270
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 271
Ayat (1)
Cukup jelas

58
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 272
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 273
Cukup jelas

Pasal 274
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 275
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 276
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 277
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebudayaan asli Papua adalah termasuk semua
sub-sub system budaya yakni sub sistem religi, matapencaharian,
bahasa, benda-benda budaya, kesenian, pranata atau kelembagaan adat

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan LSM adalah LSM yang mempunyai fokus
pekerjaan atau bidang kerja berkaitan langsung dengan Perlindungan
budaya masyarakat adat

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

59
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 278
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 279
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar mutu kesehatan adalah pelayanan
kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta dalam
penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penyakit endemis adalah suatu keadaan
penyakit secara menetap berada dalam masyarakat pada suatu tempat
atau populasi tertentu.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan beban serendah-rendahnya adalah pembiayaan
yang ringan dan terjangkau oleh warga masyarakat.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan lembaga keagamaan, LSM dan dunia usaha
adalah yang fokus pekerjaannya di bidang pelayanan kesehatan.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 280
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 281
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

60
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 282
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 283
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 284
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 285
Cukup jelas

Pasal 286
Ayat (1)
Metode/teknik penularan dan penyebaran virus HIV/AIDS dimaksud
dapat melalui :- darah,contoh : tranfusi darah, terkena darah HIV+ pada
kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka,
jarum suntik;- cairan semen, air mani, sperma dan peju pria, contoh :
laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya,
oral seks;- cairan vagina pada perempuan, contoh : wanita berhubungan
badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks;
dan - air susu ibu/ASI, contoh : bayi minum asi dari wanita HIV+, laki-
laki meminum susu asi pasangannya dan lain sebagainya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

61
Pasal 287
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 288
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 289
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 290
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 291
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan
suku-suku yang sulit dan belum terjangkau oleh layanan pemerintahan
dan pembangunan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penanganan khusus sama artinya dengan
memperoleh perhatian dari pemerintahdan diprioritaskan.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan LSM, Lembaga Keagamaan atau lembaga lain
adalah yang mempunyai bidang pekerjaan langsung dengan penanganan
masalah sosial.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 292
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

62
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 293
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 294
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi
adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Peradilan HAM.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 295
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 296
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penegakan HAM Perempuan adalah mengakui
dan menghormati persamaan gender antara lak-laki dan perempuan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 297
Ayat (1)
Dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Kekayaan Intelektual.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 298
Ayat (1)
Cukup jelas

63
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 299
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 300
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 301
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 302
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebijakan pembinaan, penataan kependudukan
termasuk di dalamnya adalah pengendalian kependudukan di Tanah
Papua.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 303
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

64
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 304
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 305
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 306
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 307
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 308
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

65
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 309
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 310
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 311
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 312
Ayat (1)
Cukup jelas

66
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 313
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 314
Cukup jelas

Pasal 315
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 316
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 317
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 318
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 319
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

67
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 320
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 321
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 323
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 324
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 325
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 326
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 327
Cukup jelas

68
Pasal 328
Cukup jelas

Pasal 329
Cukup jelas

Pasal 330
Cukup jelas

Pasal 331
Cukup jelas

Pasal 332
Cukup jelas

Pasal 333
Cukup jelas

Pasal 334
Cukup jelas

Pasal 335
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 336
Cukup jelas

Pasal 337
Cukup jelas

Pasal 338
Cukup jelas

Pasal 339
Cukup jelas

Pasal 340
Cukup jelas

Pasal 341
Cukup jelas

Pasal 342
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

69
BAB I
PENDAHULUAN

Tanah Papua senantiasa menghadirkan tantangan serius bagi Indonesia, baik tantangan
ketatanegaraan, pemerintahan, pembangunan maupun hubungan pusat-daerah. Sebuah
sistem yang sentralistik, otokratis, represif dan eksploitatif pada masa lalu merupakan
sejarah kelam bagi Papua, yang kemudian dikoreksi oleh semangat zaman reformasi.
Reformasi pasca-1998 mengedepankan demokratisasi, desentralisasi, penghormatan
terhadap hak asasi manusia (HAM), pengutamaan keadilan, penghargaan terhadap
keragaman lokal dan seterusnya. UU No. 22/1999 merupakan tonggak penting
desentralisasi yang memberikan pengakuan, peghormatan, penyerahan kewenangan,
sumberdaya, dan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah. Namun UU otonomi
daerah yang generik ini belum cukup memadai untuk Tanah Papua, karena perbedaan
sejarah, sosial budaya, dan ekonomi politik antara Papua dengan daerah-daerah lain di
Indonesia. Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
hadir sebagai jalan lain untuk menghormati dan mengakui perbedaan Papua.

Ditinjau dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar Tahun1945 secara tegas mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dalam undang-undang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi
bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan
dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat
Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus.

Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari
ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang
memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka
kebijakan otonomi khusus dapat diberikan. Pertimbangan tersebut juga didasari oleh
pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum
sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya
mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat
Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi
Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan
daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,


penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka
kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Undang-Undang ini
menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek
utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan
pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga mengandung

1
semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.

Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hak-hak
dasar di Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus
didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan
terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi
hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban
sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus dengan demikian juga diletakkan
pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar
serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan
perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

Di sisi pembangunan, kesenjangan antara Papua dengan provinsi lain merupakan


perhatian afirmatif UU Otonomi Khusus. Ada kesepakatan kolektif antara Pemerintah
Pusat, DPR, dan Papua menggunakan UU Otonomi Khusus sebagai jalan untuk
mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, sekaligus
meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan
kesempatan kepada orang asli Papua dalam pemerintahan dan pembangunan. Dari sisi
ini, pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk
merespon kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu
menyampaikan bahwa sekitar 75 % warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah
garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan
udara di daerahitu. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat
program-program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan
masyarakat di seluruh Papua. Seperti sejarah mencatat bahwa Gubernur J.P. Solossa1
pernah menyatakan optimismenya dengan Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat
mengatasi persoalan ketertinggalan dan kemiskinan.

Setelah UU No. 21/2001 hadir mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap
warga Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif di Papua.
Gejolak demi gejolak secara politis diharapkan dapat diselesaikan secara bermatabat.
UU itu diharapkan dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah
lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan
Papua yang menyulut beragam masalah, juga diharapkan dapat berkurang dan
masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah terjadi pemekaran Provinsi
Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada tahun 2003 yang sempat
mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru diresmikan pada tahun 2008
melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Makna
pemekaran daerah sebagai upaya untuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.

1
Lihat Jacobus Pervidya Solossa, Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di
dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, h. 78.

2
Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan
khusus ini. Pertama agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui
pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat
yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan
kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya.

Kedua agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah
keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan
dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat
dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk keadilan dalam konteks
pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama.

Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta
pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua. Demikian juga dengan
agenda pemberdayaan secara strategis dan mendasar, agar orang asli Papu menjadi
lebih berdaya secara politik dan ekonomi.

Keempat penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang,
tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan
kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya. Itikad
pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang
dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun
2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk
Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun
2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi
khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan
otonomi khusus di kedua Provinsi.

Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu


pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan
ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Dari hari ke hari pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua terus menerus melakukan inovasi
pembangunan di empat agenda besar itu. Namun demikian cerita tentang Papua masih
banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan
otonomi khusus Papua dan Papua Barat.

Setelah sebelas tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat
dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran
Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan
pembangunan infrastruktur. Dalam praktik masih ditemukan berbagai permasalahan
seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di
kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif
mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Papua masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di
kisaran 50,0 - 65,9. 5Di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu
melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta

3
dan penyakit lainya masih banyak terjadi. Pada sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi
Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih tetap
berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik matahari, emperan toko dan terus
tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan pembangunan
infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua.

Di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga korban
pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi
Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
maupun pengadilan HAM. Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai
lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya
merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak berjalan mulus.

Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi
dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap
pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung
jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi
otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan
Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan
Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan
dan melaksanakan Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

Dengan demikian terdapat sejumlah argumen yang mendasari pentingnya evaluasi


Otsus Papua. Pertama, implikasi UU Otonomi Khusus hingga Inpres Nomor 5 Tahun
2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat telah memberi ruang
kewenangan yang lebih kepada Provinsi. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik
kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggungjawab yang harus dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus
menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan
Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua
dan Papua Barat yang masih sangat mencolok.

Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas


berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program
pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun
bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang
krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik.

Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang
harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan
tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang
dinamis.

Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu
untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi nasional dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman

4
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang
tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan
pembangunan Papua dan Papua Barat.

Berdasarkan perkembangkan selama satu dekade terakhir dan hasil evaluasi otonomi
khusus Papua dan Papua Barat, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono berkehendak meninjau ulang dan sekaligus memperkuat otonomi khusus
untuk meraih kemajuan dan kemuliaan Papua. Secara politik Presiden sudah berdialog
intensif dengan Gubernur, Wakil Gubernur, Majelis Rakyat Papua dan DPRD, yang
menghasilkan kesepakatan agung untuk merevisi UU No. 21/2001.

Identifikasi Masalah

Ada sejumlah masalah krusial dalam pelaksanaan otonomi khusus di Tanah Papua,
yakni masalah jati diri/identitas diri, masalah politik (pertahanan, keamanan, partai
politik, rekruitmen politik), masalah pemerintahan khususnya mengenai kewenangan
dan tata pemerintahan di Tanah Papua, masalah sosial (kesehatan, pendidikan,
keagamaan, kesejahteraan sosial), masalah ekonomi (kemiskinan, SDM, pemenuhan
kebutuhan dasar), budaya (hak cipta, lembaga adat, lambing,bendera), infrastruktur,
masalah Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum.

UU No. 21/2001 dinilai sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
Pertama, bahwa UU 21/2001 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.
Kedua, bahwa telah terjadi perubahan tata pemerintahan di Provinsi Papua dengan
adanya Pembentukan Provinsi Papua Barat. Ketiga, adanya DPRP dan MRP di Provinsi
Papua Barat. Keempat, perkembangan konteks, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat
di tanah Papua. Kelima, mengakomodir kewenangan bidang lain yang diperluas untuk
diatur dalam RUU baru.

Secara garis besar ada tiga level masalah (pertanyaan) yang dikedepankan oleh Naskah
Akademik ini. Pertama, masalah (pertanyaan) fundamental, yang terkait dengan
hakekat, manfaat dan visi. Apa hakekat dan makna Tanah Papua bagi rakyat Papua dan
Indonesia? Apa hakekat dan makna otonomi khusus bagi Papua, bagi rakyat, bagi orang
asli Papua dan bagi Indonesia? Apa visi-misi baru otonomi khusus yang relevan untuk
meraih kemajuan dan kemuliaan Papua? Kedua, masalah (pertanyaan) struktural.
Bagaimana relasi baru antara Pusat dengan Tanah Papua yang menjamin keadilan bagi
Papua? Bagaimana mengatasi berbagai masalah struktural seperti kesenjangan,
ketimpangan, kemiskinan dan ketertinggalan Tanah Papua maupun orang asli Papua?
Bagaimana memperkuat eksistensi, representasi dan partisipasi orang asli Papua dalam
politik, pemerintahan dan pembangunan? Ketiga, masalah (pertanyaan) institusional.
Bagaimana disain institusional desentralisasi dan otonomi khusus Tanah Papua yang
lebih tepat dan mampu menjawab tantangan fundamental dan struktural? Bagaimana
skema pembagaian sumberdaya antara Pusat dan Papua? Bagaimana disain
institusional sebagai jalan tengah untuk membangun keseimbangan antara kepentingan
sektoral dan teritorial maupun antara nasional dan lokal? Bagaimana disain
institusional yang tepat untuk penguatan eksistensi, representasi dan partisipasi orang
asli Papua?

5
Maksud dan Sasaran

Naskah Akademik ini menjadi dasar bagi RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah
Papua sebagai bentuk revisi atas UU No. 21/2001. Maksud dan sasaran RUU baru ini
adalah:

a. Menembah atau memperluas kewenangan yang menjadi dasar hukum bagi


otonomi khusus Tanah Papua.
b. Memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi orang asli Papua;
c. Mewujudkan kesejahteraan bagi orang asli Papua dan seluruh penduduk Papua.

Berdasarkan sasaran tersebut maka ruang lingkup RUU ini mengatur Kewenangan
pemerintahan Papua yang diperluas untuk pembangunan diberbagai sektor yang dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan masyarakat adat;
perlindungan orang asli Papua; pelestarian adat; dan penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu.

Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik

Naskah akademik ini digunakan sebagai arah dan justifikasi akademik bagi penyusunan
rancangan undang-undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. Tujuan
spesifik naskah akademik ini diharapkan menjadi panduan dalam penyusunan dan
perumusan norma dalam RUU tentang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua.
Tujuan pembuatan naskah akademik ini adalah:
1. Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi RUU Pemerintahan Otonomi
Khusus Tanah Papua.
2. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam
RUU-PP,
3. Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga
jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.
4. Memberikan bahan dan data untuk menjadi bahan pembanding antara peraturan
perundang-undangan yang ada dalam merancang RUU.

Kegunaan naskah akademik dapat diperoleh dari dua macam kegunaan, yakni secara
teoritis dan praktis.
1. Kegunaan teoritis adalah untuk :
a. Memberikan gambaran yang tertulis sehingga dapat menjadi panduan bagi Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mengkaji dan merumuskan RUU.
b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan terhadap
masyarakat.
c. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mewujudkan
ketertiban hukum terutama mengenai Kewenangan RUU.
2. Kegunaan Praktis :
a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat berguna dan menjadi bahan
masukan bagi pihak-pihak terkait dalam penyusunan RUU.
b. Diharapkan dapat memberikan paradigma baru tentang penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua lewat RUU.

6
BAB II
TINJAUAN TEORETIK

Sejumlah pertanyaan penting dalam identifikasi masalah membutuhkan jawaban secara


teoretik. Bab ini, dengan judul tinjauan teoretik, akan memaparkan sejumlah konsep
dan perspektif yang berguna untuk menjawab pertanyaan. Pertama, desentralisasi
asimetris yang berguna untuk memahami disain institusional otonomi khusus atau
otonomi daerah secara beragam. Kedua, konsep rekognisi untuk memahami frasa
mengakui dan menghormati keragaman dan perbedaan Papua. Ketiga, teori keadilan
untuk memahami prinsip-prinsip keadilan yang relevan untuk Papua dan orang asli
Papua. Keempat, kebijakan afirmatif, sebagai turunan dari rekognisi dan teori keadilan,
untuk memahami tindakan khusus terhadap Papua dan orang asli Papua (OAP), untuk
mencapai keadilan. Kelima, teori demokrasi (lokal) untuk memahami tatapemerintahan
serta representasi dan partisipasi rakyat Papua.

Desentralisasi Asimetris
Otonomi khusus Tanah Papua tidak cukup dipahami dengan desentralisasi generik,
yang berlaku umum untuk setiap daerah. Naskah Akademik ini mengedepankan
desentralisasi asimetris untuk memahami dan mengerangkai Otonomi Khusus Tanah
Papua. Apa dan mengapa desentralisi asimteris?

Studi literatur memperlihatkan bahwa ahli pertama yang memulai debat seputar
desentralisasi asimetris adalah Charles Tarlton (1965) dari University of California USA.
Menurutnya pembeda inti antara desentralisasi biasa (simetris) dan desentralisasi
asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality)
dalam hubungan suatu level pemerintahan negara bagian/daerah dengan sistem politik
dan pemerintahan pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai
oleh the level of conformity and commonality in the relations of each seperate political
unit of the system to both the system as a whole and to the onther component units.
Dalam konteks ini hubungan simetris antar setiap unit lokal dengan pemerintah pusat
tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sedangkan pola simetris,
satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal “possessed of carrying degrees of
autonomy and power.” 2

Perbedaan derajat otonomi dan kekuasaan berupa ketidakseragaman pengaturan


muatan kewenangan itu membentuk derajat hubungan yang berbeda pula antar
negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit politik lainnya baik secara horizontal
(antar daerah) maupun vertical (dengan pusat). Khusus mengenai pola simetris Tarlton
(dalam Robert Endi Jaweng), menekankan: In the model asymmetrical system each
component unit would have about itu a unique feature or set of features which would
separate in important ways, its interests from those of any other state or the system
considered as a whole.”

2Lihat Robert Endi Jaweng, “Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia”,

Analisis CSIS, Politik Kekerabatan di Indonesia, Vol. 40, No. 2, Juni 2011, h. 160-172.

7
Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar3
merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan
desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di
provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk
mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya.
Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa
harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk.
Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap
dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
itu sendiri. Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat
ditelaah untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De
facto asymmetry.

Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris.


Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan
nasional. Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa,
agama, ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan
khusus. Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai berpotensi menyelesaikan
konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang terfragmentasi.Dengan
demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi strategi untuk
mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan gejolak
perlawanan terhadap pemerintahan nasional.

Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti
pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan.
Perbedaan instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam
desentralisasi fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis. Argumen ekonomis
dimaksud sebagaimana disampaikan oleh Tiebout dan Oates4 bahwa sistem yang

3 Kausar As, Perjalanan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, diakses dari http://


inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/perjalanan-kebijakan-desentralisasi-di-
indonesia/. Ia menyatakan bahwa berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional,
struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh
sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah dipraktikan.
Pun juga pada jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui
undang-undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman
penjajahan Jepang, kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan.
4 Tiebout & Oates, dapat dilhat dan dibandingkan dengan Oates’ decentralization

theorem and public governance dalam Luciano G. Greco June 2003 Preliminary Draft, diakses
dari http://www-3.unipv.it/websiep/wp/236, dalam abstraknya yang sangat menarik Greco
menyatakan bahwa Oates’ decentralization theorem (Oates [23]) grounds on the assumption
that the central government is incapable to discriminate public policy on a regional basis. This
assumption has sometimes been justified by some informational advantage of local
governments about the social and economic features of regions (Oates [24]). Under the
Revelation Principle, asymmetric information cannot be proved to be sufficient to explain why
the central government does not replicate the allocation of local governments, when
governments are benevolent. Moreover, empirical analysis seems to prove that central policies
are not uniform across countries. On the basis of a stylized model of public sector governance ,
this paper proves that centralization and decentralization are equivalent (Weak

8
terdesentralisasi akan lebih mampu mengakomodasi perbedaan pilihan untuk
pelayanan publik. Tujuan efisiensi selaras dengan motif administratif dalam penerapan
desentralisasi asimetris, khususnya berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas
antar daerah dalam menjalankan administrasi publik. Penyediaan properti dan
pelayanan publik serta kebijakan publik yang efisien bergantung pada birokrasi yang
berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga dipengaruhi oleh institusi politik yang
mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang lebih baik dalam menjalankan
pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika kewenangan fiskal tertentu
didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang lebih baik daripada
diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi.

Joachim Wehner5 berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi


asimetris. Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang
dilandasi tujuan politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga
dapat dilakukan untuk14mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan
makro ekonomi yang lebih baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi
(administrative cohesion).

Pendekatan asimetris (dalam beberapa bagian tugas dan tanggungjawab termasuk


urusan pemerintahan dan pembangunan dikaitkan dengan kewenangan) seperti
kehadiran aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang memiliki banyak
perbedaan. Skema ini juga dapat diimplementasikan dengan tujuan politis dimana
daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan populasi multietnis.
Devolusi6 yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi
pemerintahan substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat

Decentralization Theorem), whenever informational spillovers across regions are assumed


away. Moreover, the preference for decentralization (or centralization) is shown to crucially
depend on the conflict among public sector players for information rent distribution.
5Lihat Wehner, Joachim and de Renzio, Paolo (2013), “Citizens, legislators, and executive

disclosure: the political determinants of fiscal transparency”, World Development, 41 . pp. 96-108.
Joachim Wehner, dalam abstraknya menyatakan Increased fiscal transparency is associated
with improved budgetary outcomes, lower sovereign borrowing costs, decreased corruption,
and less creative accounting by governments. Despite these benefits, hardly any effort has been
invested in exploring the determinants of fiscal transparency. Using a new 85-country dataset,
we focus on two important sources of domestic demand for open budgeting: citizens and
legislators. Our results suggest that free and fair elections have a significant direct effect on
budgetary disclosure, and that they dampen the adverse effect on fiscal transparency of
dependence on natural resource revenues. We also find that partisan competition in
democratically-elected legislatures is associated with higher levels of budgetary disclosure.
6 Devolusi menurut Soeryo Adiwibow adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari

Pemerintah Pusat atau Daerah ke organisasi lokal masyarakat atau quasi otonom organisasi
pemerintah untuk mengambil keputusan, menangani keuangan dan mengelola manajemen
masalahmasalah yang berkaitan dengan layanan umum, diakses dari http://
ahnku.files.wordpress.com/2011/02/desentralisasi-devolusi-psda. Catatan dari devolusi
adalahmemberikan beberapa kewenangan penting kepada pemerintah daerah seperti
perpajakan dan pelayanan daerah. Pertimbangan utama dari devolusi adalah pemberdayaan
masyarakat, di mana konstituen local diberikan hak untuk menentukan pemerintahan mereka
dengan lebih baik. Devolusi adalah elemen utama, walaupun bukan satu-satunya dalam
desentralisasi Indonesia. Diakses dari Risalah Desentralisasi BAPPENAS-UNDP May 2009.
http://www.undp.or.id/pubs/docs/risalah%20desentralisasi.pdf

9
meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman
semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti
Kanada, Spanyol, maupun Britania. Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk
tujuan hukum (legal reasons). Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan
konstitusional. Disamping itu, desentralisasi asimetris untuk tujuan ini bisa juga
dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan internasional yang telah diratifikasi
(ratified international agreements).

Penerapan desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat


sebagaimana disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga
memungkinkan timbulnya berbagai persoalan atau risiko-risiko tertentu. J. Livack, dkk
mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni
perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi,
sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara
unit- unit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga
memiliki risiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang
lebih.7

Meski model penerapan kewenangan asimetris dapat dipertimbangkan untuk


menyelesaikan konflik politik dan etnis dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun
tidak menjamin bahwa masyarakat yang terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih
koheren jika pemerintah pusat hanya menerapkan desentralisasi politik, administratif,
dan fiskal saja. Reformasi lain perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut.
Pendekatan asimetris tidak mengarah pada separatism, namun sebaliknya dapat
memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan riil, kondisi, dan kapasitas masing-
masing area haruslah menjadi kriteria pembedaan transfer khusus atas kompetensi dan
tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam
unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu negara.

Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia, Kosovo
memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah, sementara
dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda untuk
menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat
tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat
lokal. Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. juga memberikan catatan
bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam desentralisasi asimetris
mempengaruhi keberhasilannya. Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan
desentralisasi asimetrik dapat dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan
Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah, Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania-
Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland, Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di
Spanyol, pemerintah pusat mengatur level otonomi yang berbeda bagi daerah.
Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih
besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-
hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis.

7 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An

Asymmetric Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002.

10
Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan
menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting
dalam transisi menuju demokrasi. Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang
dituangkan dalam hukum konstitusi yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima
daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino- Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan Friuli-
Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang khusus. Status otonomi khusus tersebut
memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar dalam hal legislasi dan administrasi.Di
samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi finansial yang signifikan. Friuli-
Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak, sementara Sicily memiliki 100%
dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki kebebasan menentukan bagaimana
pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni penduduk
berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis, Friulli-Venezia
Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino- Alto
Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi
geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.

Di dalam praktik otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang
dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi
asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya
juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada
daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk
kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus
untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam
(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006),
serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007). Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang
Otonomi khusus Papua mencakup aspek politik dan fiskal. Di dalam banyak hal, tujuan
politik dan ekonomi cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus, namun kebijakan
ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam jangka panjang.

Belakangan semakin banyak institusi dan sarjana yang mempromosikan desentralisasi


asimetris di Indonesia. Studi Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL-UGM yang
dipimpin Pratikno (2010), misalnya, mengidentifikasi sejumlah alasan di balik
desentralisasi asimetris. Pertama, alasan konflik dan tuntutan separatisme. Tidak dapat
dipungkiri, dua daerah (tiga Provinsi) yaitu Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus karena konflik
antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah nasional yang antara lain karena
perebutan sumber daya. Jika diringkas, otsus untuk Aceh dan Papua secara prinsipil
terdiri dari: (a) Dana Otonomi Khusus sebagai kompensasi ketiga provinsi masih dapat
bergabung di Republik Indonesia; (b) Pengakuan terhadap identitas lokal yang
terwujud dalam institusi politik. Di Aceh proses ini ditandai dengan embaga baru Wali
Nangroe yang merepresentasikan adat dan agama. Di Papua, wewenang diberikan
kepada Majelis Rakyat Papua yang merepresentasikan adat, agama dan perempuan; (c)
pengakuan terhadap simbol-simbol lokal seperti bendera, bahasa dan sebagainya.; (d)
Partai politik lokal yang di ada di Aceh; (e) Kebijakan afirmatif dalam kepemimpinan
lokal. Di Aceh, kandidat pemimpin lokal harus dapat membaca Al Quran, sementara
pemimpin di Papua harus orang asli Papua; (f) pengaturan sumber daya alam. Selain

11
dana otsus yang berjumlah besar, pengelolaah sumberdaya daerah adalah isu yang
spesifik. Aceh memiliki beberapa kekhususan spesifik terkait dengan pengelolaan
sumber daya, misalnya pertanahan, hutan dan eksploitasi minyak.

Kedua, alasan ibukota negara. Perlakuan khusus ini hanya diberikan untuk Provinsi
DKI. Mengingat DKI yang wilayahnya terjangkau dengan infrastuktur terbaik di negeri
ini, perlakuan khusus diwujudkan dalam ketiadaan pemilukada untuk Bupati/Walikota
dan tidak ada DPRD Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur. Konsekuensinya,
pemilukada Gubernur menggunakan sistem absolute majority dimana pemenang
sedikitnya mendapatkan 50% suara. Di daerah lain, kandidat cukup mendapatkan lebih
dari 30% suara untuk memenangkan pemilukada.

Ketiga, alasan sejarah dan budaya. Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan


perlakuan istimewa mengingat sejarahnya di masa revolusi dan perebutan
kemerdekaan. Perlakuan ini terlihat dari penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di
DIY yang dilakukan oleh DPRD. Gubernur DIY adalah Sultan yang bertahta dan Wakil
Gubernur DIY adalah Pakualam yang bertahta. Penentuan Sultan dan Pakualam
diserahkan kepada institusi keratin/pakualam masing-masing. Kedua pemimpin ini
tidak boleh bergabung dengan partai politik. Pada level kabupaten/kota tetap sama
dengan daerah lainnya.

Keempat, alasan perbatasan. Menurut Tim JPP (JPP-UGM 2010), perbatasan perlu
mendapatkan perlakuan khusus mengingat perannya sebagai batas dengan negara
tetangga. Daerah perbatasan memegang fungsi penting karena kompleksitas masalah
yang dihadapi. Daerah perbatasan perlu diperlakukan sebagai halaman depan dan
bukan halaman belakang RI. Perlakuan daerah perbatasan, misalnya di Kalimatan Barat
hendaknya berbeda, misalnya dengan mewajibkan gubernur berasal dari kalangan
militer karena potensi pelintas batas yang tinggi disamping penguatan infratruktur dan
pelayanan pendidikan dan kesehatan. Tentu detail tentang asimetrisme perbatasan
masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Kelima, pusat pengembangan ekonomi. Daerah yang secara geografis memiliki peluang
untuk menjadi daerah khusus ekonomi seharusnya dikembangkan agar memiliki daya
saing ekonomi tinggi. Daerah seperti Batam dapat dikembangkan dan dibentuk untuk
bersaing dengan Singapura. Alokasi kekhususan misalnya menyangkut bea masuk dan
pengembangan infrastruktur pengembangan ekonomi seperti pelabuhan dan tata
sistem pelabuhan. Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok di Jakarta,
diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena posisi geografisnya. Jika
Batam dikembangkan dengan pelabuhan modern dengan sistem yang lebih canggih,
tidak mustahil mampu mengambil potensi pelabuhan Singapura yang memiliki
keterbatasan ruang.

Secara teoretik dan empirik ada beragam model desentralisasi asimetris. Jacobus
Perviddya Solossa mencontohkan beberapa wilayah di dunia yang memperoleh status
desentralisasi asimetris di dalam negara yang berdaulat diantaranya adalah Provinsi
Cordillera dan Provinsi Mindanao di Filipina, Zansibar di Tanzania, Hong Kong dalam
kaitannya dengan China, Greenland dalam kaitannya dengan Denmark, Puerto Rico
dalam kaitannya dengan Amerika Serikat, berbagai masyarakat otonom di Spanyol,
wilayah Aland dalam kaitannya dengan Finlandia, Scotlandia dalam kaitannya dengan

12
Inggris dan belakangan Papua dan Aceh di Indonesia, serta Bougainville di Papua New
Guinea (PNG).8

Hannum (dalam J.P. Solossa)9 menyimpulkan paling tidak dua manfaat yang bisa
diperoleh dari pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi/ asimetris atau otonomi
khusus yaitu (1) sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau
konflik-konflik fisik lainnya. Ia mencontohkan hubungan Hongkong dan China, dimana
Hong Kong jelas adalah daerah kedaulatan China sebagai suatu negara, tetapi Hong
Kong diberi sejumlah kewenangan penting dalam pengertian politik, hukum dan
ekonomi, (2) sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah
kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan misalnya
sebagaimana yang tercantum dalam CSCE Copenhagen Document 1990.

Pratikno dkk (2010) mengdepankan tiga model desentralisasi asimetris. Pertama,


model desentralisasi asimetris penuh. Setiap daerah diperlakukan secara berbeda
karena pluralisme ekstrim yang harus direspons Pemerintah Nasional. Level daerah
yang didefinisikan sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah
seperti apa asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah,
namun juga berpotensi menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah.
Prasyarat pengembangan model ini adalah kapasitas nasional dalam melakukan
supervisi desentraisasi.

Kedua, model asimetris berbasis kategori kemajuan sosial ekonomi. Berbagai kawasan
yang ada dijustifikasi secara berbeda dengan mempertimbangkan beberapa ukuran,
misalnya ukuran teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekonomi
tertentu. Secara umum, definisi model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran
pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang tertinggal. Dalam konteks
Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya,
akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuk asmetris yang akan dikembangkan.
Contoh lain dalam kategori ini adalah derajat kemajuan sosial-ekonomi, yang
menghasilkan kateori desa-kota. Pengembangan model ini akan menjadi jawaban
untuk pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi
yang sangat maju.

Ketiga, model kombinasi antara otonomi khusus dan otonomi reguler. Model sang
sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan
ketegangan antara pemerintah nasional dengan subnasional yang mengarah ke
gerakan-gerakan pemisahan diri (separatisme) atau dikarenakan karakter daerah yang
sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat
regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus utk daerah-daerah tertentu. Dalam
desain desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, pilihan terhadap model ini
sudah dilakukan dalam kasus 4 daerah khusus/istimewa

8 Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua….Op. Cit. h.67


9 Ibid. h. 55

13
Rekognisi
UUD 1945 mengenal asas otonomi dan frasa negara “mengakui dan menghormati”
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang bersifat khusus dan istimewa. Dalam
tradisi ilmu sosial, asas otonomi diteorisasikan dengan desentralisasi, sementara
“mengakui dan menghormati” dikonseptualisasikan dengan rekognisi.

Rekognisi memang tidak lazim dibicarakan dalam semesta teori hubungan pusat dan
daerah; ia lebih dikenal dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam
masyarakat multikultur senantiasa menghadirkan perbedaan dan keragaman identitas
baik suku, agama, warna kulit, seks dan lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan
antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering menghadapi eksklusi
secara sosial, budaya ekonomi dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga
negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum
mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, tidak kelompok atau komunitas yang berbeda
maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas, sumberdaya, legitimasi
dan hak. Tindakan negara menghadapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam
pembicaraan tentang rekognisi.

Meskipun rekognisi lahir dari perut multikulturalisme, tetapi ia terkait dengan


keadilan, kewargaan dan kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan
desentralisasi. Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontestasi ganda di
seputar kewargaan, hak, politik identitas, klaim redistribusi material dan tuntutan akan
kerugian masa silam yang harus diakui dan ditebus oleh negara (Janice McLaughlin,
Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi klaim inilah yang menjadi
salah satu alasan lahirnya konsep desentralisasi asimetris di banyak negara, termasuk
Indonesia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua serta keistimewaan
bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain, desentralisasi asimetris untuk tiga daerah itu,
yang berbeda dengan daerah-daerah lain, karena dilandasi oleh rekognisi terhadap
perbedaan dan keragaman.

Dalam konteks multikultural itu, beragam pengertian rekognisi muncul. Charles Taylor
(1992), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian: “politik universalisme”,
yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau komunitas dengan cara
menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi terhadap identitas
individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan membolehkan
mereka melindungi budayanya. Axel Honneth (1996) secara sederhana memahami
rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan posisi;
(b) menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai
keadilan sosial. Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang bebas
bagi setiap individu hadir dalam ruang publik tanpa rasa malu. Lebih radikal lagi,
Nancy Fraser (1996) melihat rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk
melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi bukan sekadar memberikan pengakuan,
penghormatan dan afirmasi terhadap identitas kultural yang berbeda, tetapi yang lebih
besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus disertai dengan
redistribusi. Kalau hanya berhenti pada rekognisi kultural hal itu mengabaikan
redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial dan perjuangan politik.
Karena itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan
redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice).

14
Dengan demikian terdapat tiga makna rekognisi. Pertama, pengakuan negara terhadap
beragam identitas yang dimiliki oleh kelompok, masyarakat atau daerah. Tidak hanya
berhenti pada pengakuan eksistensi, tetapi negara menjamin ekspresi beragam
identitas. Kedua, pengakuan, perlindungan dan perlakukan yang sama terhadap setiap
pemilik identitas sebagai warga negara. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama
di hadapan negara. Ketiga, redistribusi sumberdaya ekonomi negara baik sebagai
bentuk restitusi atas perlakuan secara tidak adil di masa lalu sekaligus sebagai afirmasi
dan akselerasi terhadap kemajuan subyek yang memperoleh rekognisi. Konsep
rekognisi itu relevan dengan desentralisasi asimetris untuk Tanah Papua, pengakuan
terhadap masyarakat adat Papua beserta identitas dan ulayatnya, sekaligus juga
mengharuskan tindakan afirmatif terhadap orang asli Papua agar mereka menjadi
warga Indonesia yang setara dengan orang-orang lain di seluruh Indonesia. Tujuan
besarnya adalah menjamin keadilan bagi Papua.

Teori Keadilan

Baik otonomi khusus, desentralisasi asimetris maupun rekognisi bertujuan untuk


mencapai keadilan. Dalam karya John Rawls,10 Theory of Justice (Teori Keadilan),
keadilan merupakan suatu cara pendistribusian hak, kewajiban, manfaat dan beban di
antara individu-individu, di dalam masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa setiap orang
memiliki kekebalan atas hak-haknya dan bahwa kesejahteraan masyarakat sekalipun
tidak dapat menghapus kekebalan ini: “Keadilan menolak argumen yang menyatakan
bahwa hilangnya kebebasan sebagian orang dapat dibenarkan atas dasar manfaat yang
lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. Karena itu, dalam suatu masyarakat
yang adil, kebebasan para warganegara yang sederajat tetap tidak berubah; hak-hak
yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik ataupun pada
pertimbangan kepentingan sosial.”

Rawls berangkat dari teori kontrak sosial yang terkenal yang menyatakan, bahwa
dalam hal distribusi kebebasan dan kekuasaan, semua orang berada dalam posisi awal
yang sama. Namun, masing-masing orang dianugerahi "selubung ketidaktahuan"
mengenai kualitas dan atribut pribadinya. Menurut Rawls, dalam keadaan ini, orang
yang rasional yang tidak mengetahui potensi dirinya, akan memilih dua asas keadilan.
Asas yang pertama menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas
seluruh sistem kebebasan pokok yang sama yang seluas-luasnya, yang dapat
diselaraskan dengan sistem yang sama bagi orang-orang yang lain. Asas kedua
menyatakan, bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa
agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling kurang
beruntung dan menyediakan suatu sistem akses yang sama untuk semua jabatan dan
kesamaan peluang. Jadi dalam sistem Rawls, terdapat suatu konsepsi umum mengenai
keadilan (fairness) dan kesamaan (equality) yang menyatakan bahwa semua
kebutuhan sosial yang primer, seperti kebebasan dan kesempatan, penghasilan dan
kekayaan, hendaknya didistribusikan secara merata, kecuali bila distribusi yang tidak
merata benar-benar menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung.11

10John Rawls, A Theory of Justice – Teori Keadilan (Terj. Uzair Fausan), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006, hlm. 3-143; Juga Scott Davidson, Op.Cit., hlm. 48.
11 Ibid., hlm. 48-49.

15
Selanjutnya Rawls berpendapat bahwa kebebasan merupakan hak yang paling utama
dan semua hak yang lain merupakan pelengkapnya. Dalam sistem semacam itu, hak
hanya boleh dibatasi jika, pertama, hal itu akan memperkuat seluruh sistem kebebasan
yang dinikmati oleh semua orang atau, kedua, jika kebebasan yang lebih sedikit dapat
diterima oleh wargarnegara yang bersangkutan. Lalu, hak-hak apa saja yang dicakup
oleh asas pertama? Rawls akan memasukkan, antara lain, kebebasan politik, kebebasan
berpendapat, berhati nurani dan berfikir, serta kebebasan untuk bersikap jujur dan
kehormatan pribadi - termasuk kebebasan untuk memiliki harta. Dalam masyarakat
yang adil, setiap warganegara mempunyai hak-hak semacam ini dalam kadar yang
sama. Tetapi Rawls mengakui bahwa sebagai warganegara, meskipun sebenarnya
memiliki sistem persamaan hak yang paling luas di dalam masyarakat, tidak mampu
memanfaatkan hak-hak mereka sepenuhnya, karena faktor-faktor lain di dalam
masyarakat, seperti ketidaktahuan atau kemiskinan. Jelas, bahwa hal ini tidak
mempengaruhi nilai intrinsik dari hak-hak yang dimiliki oleh individu-individu itu,
namun hal ini memang menghambat mereka dalam menikmati hak-hak tersebut. Dalam
istilah Rawls, hal itu mempengaruhi harga atau nilai dari kebebasan yang dimilikinya.
Lalu, bagaimana disparitas harga atau nilai kebebasan itu harus dikompensasikan?
Jawaban Rawls adalah, dengan menerapkan Asas Perbedaan atau difference Principle.
Asas ini menyatakan bahwa distribusi sumberdaya yang merata hendaknya
diutamakan, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa distribusi yang timpang akan
membuat keadaan orang-orang yang "lebih beruntung" maupun yang "kurang
beruntung" menjadi lebih baik. jadi, untuk memastikan bahwa setiap orang menikmati
nilai kebebasannya sepenuhnya, bentuk keadilan distribusi ini haruslah dilaksanakan.12
Disamping itu, prinsip perbedaan yang dikemukakan Rawls juga penting untuk
menjelaskan betapa pentingnya perhatian dan perlindungan HAM bagi mereka yang
lemah dan tertindas seperti kaum perempuan, anak-anak, para penyandang cacat
(disabilitas), dan masyarakat asli (indigenous People).

Sikap keberpihakan kepada yang lemah itu didasarkan pada etika kepedulian seperti
tersebut di atas, yang hendak menegaskan bahwa keadilan yang mau diwujudkan harus
adil dalam konteks konkrit, dalam kaitan dengan nilai-nilai masyarakat yang
bersangkutan, sesituasional mungkin. Jadi tidak boleh terlepas dari konteks sosialnya.
Kepedulian merupakan sikap praktis sebagai jawaban terhadap kenyataan adanya
ketidakadilan dalam dunia. Dalam membuka dan membongkar ketidakadilan, sikap
peduli jelas merupakan unsur kunci, karena ketidakadilan sering sudah dianggap biasa
dan karena itu baru empati dengan mereka yang menderita dapat membuka eksistensi
ketidakadilan itu dengan penderitaan yang disebabkannya.13 Etika kepedulian mampuh
menangani masalah-masalah yang betul-betul mendesak seperti kesenjangan antara
kaya dan miskin dalam konteks Utara-Selatan yang semakin melebar. Caranya
memfokuskan perhatian pada jaringan hubungan sosial dan personal untuk
menemukan sumber-sumber pola-pola eksklusi, marginalisasi, penderitaan, dan
kemiskinan. Jadi bukan prinsip-prinsip yang seharusnya, melainkan sumber nyata
ketidakadilan yang perlu dicari. Perhatian pada hubungan-hubungan sosial konkrit
sebagai titik tolak usaha untuk membantu, kelihatan lebih mampu menemukan akar-
akar masalah moralitas internasional daripada fokus pada hak-hak dan kewajiban-
kewajiban abstrak. Fokusnya pada masalah ketidakadilan konkrit.

12 Ibid., hlm. 49.


13 Franz Magnis-Suseno, 2005, Op.Cit., hlm. 240.

16
Nilai kepedulian bersifat kontekstual dan situasional, berfokus pada orang konkret dan
kebutuhannya, orang dilihat dalam rangka hubungan personal dan sosial, dengan
hubungan-hubungan saling ketergantungan dan keterlibatan emosional. Sikap-sikap
yang ditegaskan adalah peduli pada sesama, empati, hubungan konkret antar orang
daripada sistem-sistem peratutan, orang dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah
konteks sosial tertentu. Kalau nilai keadilan hampir secara eksklusif berfokus pada
tindakan, maka nilai kepedulian menegaskan bahwa kemampuan untuk menunggu,
kesabaran, kemampuan untuk percaya kepada orang lain, untuk mendengarkannya
merupakan sikap-sikap yang sama saja kunci dalam keseluruhan dimensi moral. Cerita-
cerita perempuan merupakan pernyataan moral sama hakikihnya dengan prinsip-
prinsip moral abstrak.14 Etika kepedulian ditegaskan oleh Carol Gilligan yang
memperdengarkan suara kaum perempuan sebagai reaksi langsung terhadap Lawrence
Kohlberg dan reaksi tak langsung terhadap konsep-konsep etika kewajiban Kant dan
John Rawls tentang keadilan.

Kekhasan nilai kepedulian dapat dirangkum sebagai berikut: tugas utama perumusan
nilai etika bukanlah mengembangkan teori-teori keadilan, melainkan berfokus pada
pertanyaan bagaimana orang peduli mengenai kebutuhan-kebutuhan nyata orang lain.
Inti moralitas bukan lagi sikap adil yang tidak memihak, melainkan kepedulian yang
justru berpihak, kehangatan hati dan sikap yang nyata-nyata menunjang orang lain
dalam situasinya yang khas.15 Masalanya sikap keberpihakan terhadap yang lemah ini
dapat menimbulkan diskriminasi yang akhirnya menyebabkan nepotisme,
ketidakadilan dan favouritism.16

Sebab itu menurut Magnis-Suseno, “tanpa pandangan akan hakikat dan kodrat manusia,
tuntutan keadilan tidak mempunyai dasar, dan begitu pula etika kepedulian akan
merosot menjadi sentimentalisme.17 Itulah sebabnya mengapa di satu pihak
kapitalisme-individualis yang menghendaki kebebasan akan berdampak pada jurang
antara kaya dan miskin. Sebaliknya di pihak lain, komunisme-sosialis yang
menghendaki kesetaraan atau persamaan akan berdampak pada totalitarisme otoriter
yang menindas. Jadi kedua-duanya dalam titik yang ekstrim selalu berujung pada
pelanggaran terhadap HAM dan tragedi kemanusiaan. Menyadari keadaan ini maka
adalah penting untuk memahami kodrat keberadaan manusia seutuhnya, yaitu bahwa
manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial dalam keseimbangan.
Manusia bukanlah makhluk individu meluluh atau makhluk sosial meluluh. Seperti yang
disinyalir oleh David P. Forsythe bahwa akhir-akhir ini baik liberalisme maupun
komunalisme - khususnya Marxisme - akhirnya tertarik pada kebebasan sejati dan
persamaan di antara individu-individu. Barangkali perbedaan-perbedaan itu hanya
mengenai taktik dan sementara sifatnya. Barat sedang bergerak lebih mengarah ke
komunalisme, dan sementara versi dari Marxisme sudah mulai mengenal sekadar
wilayah bagi individualisme, setidak-tidaknya bila dibiarkan berevolusi dengan
dorongan dinamikanya sendiri.18

14 Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm 238.


15 Ibid.
16 Seperti yang dikatakan oleh Brian Barry sebagaimana dikutip oleh Robinson, dalam,

Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 279.


17 Ibid.
18 David P. Forsythe, Hak-Hak Asasi Manusia & Politik Dunia, Angkasa, Bandung, 1993,

hlm. 233-239.

17
Kebijakan Afirmatif
Kebijakan afirmatif atau tindakan afirmatif (affirmative action) dapat diartikan
kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu memperoleh peluang yang
setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama, atau bisa juga
diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu.
Menurut K. Bertens (dalam Anis Fuad)19 Tindakan afirmatif sesungguhnya merupakan
tindakan diskriminatif. Namun tindakan diskriminatif ini adalah sebuah tindakan positif
atau yang di sebut “positive discrimination”. Dikatakan positif karena tindakan ini
sesungguhnya ditujukan untuk menciptakan kesempatan yang sama terhadap pihak-
pihak selama ini didiskriminasikan. Menghilangkan diskriminasi dengan diskiriminasi.
Ada “reverse discrimination” atau diskriminasi terbalik bagi siapapun pada masa
dahulunya termarjinalkan dan tidak mempunyai kesempatan yang sama, diberikan
perlakuan khusus sehingga pada akhirnya akan tercipta kesempatan yang sama di masa
yang akan datang.

Tindakan afirmatif sesungguhnya telah dipraktikkan pada beberapa negara seperti


Canada, Barzil, Amerika Serikat, bahkan instrumen hukum internasional telah
mengakomodir tindakan affirmatif sebagai salah satu solusi pemecahan masalah-
masalah internasional maupun nasional negara. John D. & Chatherine T dari MacAthur
Foundation menyatakan bahwa affirmative action programs can be designed in stages to
(a) eliminate present discrimination (b) remedy past discrimination, (c) equalize
opportunities between groups, (c) embrace and promote diversity. Lebih lanjut
dinyatakan bentuk affirmative action ohn D. & Chatherine T dari MacAthur Foundation
menyatakan among other things, affirmative action may take the form of (a) trainings
ang complaint resolution mechanisms, (b) outreach and counseling to certain types of
applicants, (c) self-studies to determine if discrimination exists, (d) special admissions
standards for certain people, (e) allowing preferences for members of specific groups, (f)
establishing quotas or numerical set asides for members of these groups.20 Ditinjau dari
lingkup penjabaran sasarannya affirmative action dapat mencakup sektor public tapi
bisa juga sektor privat. Dinyatakan oleh John D. & Chatherine T dari MacAthur
Foundation bahwa affirmative action program may used both: (a) In the public sector
when seeking more proportionate numbers of underta-represented government
legislators, employees, contractors, or students at government-run universities and
schools, and (b) In the private sector when seeking to diversity; private workplaces,
universities, schools, and other non-governmental settings.21

Affirmative Action juga memiliki catatan sejarah tersendiri. Pada Maret l96I, Presiden
Amerika Serikat pada masa itu, John F Kennedy mengeluarkan Executive Order 10925,
berupa Komite tentang Kesempatan yang sama dalam bekerja (Equal Employment
Opportunity). Misinya adalah untuk mengakhiri diskriminasi dalam pekerjaan oleh
pemerintah dan kontraktor. Isi dari kebijakan tersebut berupa keharusan setiap
kontrak di tiap negara federal untuk menyertakan perjanjian bahwa "Kontraktor tidak

19 Anis Fuad, Dapatkah Waria Menjadi Pelayan Publik, Menimbang Kebijakan Tindakan

Afirmatif Untuk Golongan Transgender, Program Studi Administrasi Negara, FISIP Universitas
Sultan Agung Tirtayasa, diakses dari akhiniez@gmail.com
20 John D. & Chatherine T, Affirmative Action: A Global Perspective, Global Rights

Partners for Justice, MacAthur Foundation, 2005. P. 14


21 Ibid

18
akan melakukan diskriminasi terhadap karyawan atau pelamar kerja karena ras,
kepercayaan/agama, warna kulit, atau asal-usul kebangsaan. Kontraktor yang akan
mengambil tindakan afirmatif, untuk memastikan bahwa pemohon bekerja maupun
karyawan tidak diperlakukan pembedaan atas dasar ras, kepercayaan, warna kulit, atau
asal-usul kebangsaan." Dalam konteks hak-hak sipil istilah "tindakan afirmatif” atau
“affirmative action” digunakan pertama kali. Istilah ini berarti mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk memusnahkan praktik diskriminasi didasarkan ras, agama
dan etnis. Tujuannya, seperti yang dinyatakan Presiden, adalah "kesempatan sama
dalam pekerjaan/ equal opportunity in employment.” Dengan kata lain, tindakan
afirmatif telah memulai untuk memastikan bahwa pelamar untuk posisi tertentu akan
ditentukan tanpa pertimbangan atas ras, agama, atau asal-usul kebangsaan.

The Civil Rights Act of 1964 mengulangi dan memperluas penerapan prinsip ini. Dalam
title VI dinyatakan bahwa "No person in the United States shall, on the ground Or race,
color or national origin, be excluded from participation in, be denied the benefits of, or be
subjected to discrimination under any program or activity receiving federal financial
assistance." Tetapi dalam satu tahun Presiden Lyndon B. Johnson menyatakan bahwa
keadilan yang diperlukan lebih dari suatu komitmen untuk perlakuan yang tidak berat
sebelah. Di awal-awal tahun 1965 di Howard University, Johnson berkata: “You do not
take a person who for years has been hobbled by chains and liberate him, bring him up to
the starting line of a race and then say, "you're free to compete with all the others," and
still justly believe that you have been completely fair. Thus it is not enough just to open the
gates or opportunity. All our citizens must have the ability to walk through those gates ....
We seek not...just equality as a right and a theory but equality as a fact and equality as a
result”

Beberapa bulan kemudian Presiden Johnson mengeluarkan Eksekutif Order 11246,


yang menyatakan bahwa : "It is the policy of the Government of the United States to
provide equal opportunity in federal employment for all qualified persons, to prohibit
discrimination in employment because Or race, creed, color or national origin, and to
promote the full realization of equal employment opportunity through a positive,
continuing program in each department and agency." Dua tahun kemudian ditambah
kalimat yang melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin. “Affirmative action”
sebagai istilah baku merujuk pada kebijakan yang harus mempromosikan kesetaraan
dalam memperoleh akses ke wilayah publik, terutama pekerjaan dan pendidikan.

Gerakan sosial yang menuntut kebijakan afirmatif muncul sebagai refleksi pengalaman
sejarah yang pahit saat kaum perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi
sehingga mereka terabaikan dan tersingkir dari kehidupan publik, seperti pernah
terjadi di AS hingga akhir 1960-an. Akibat diskriminasi, keterwakilan mereka amat
minimal, misalnya di universitas dan tempat kerja. Maka, Presiden Kennedy (1961)
mengeluarkan executive order untuk menjamin tiap orang diperlakukan setara tanpa
melihat ras, etnik, gender, agama, atau asal-usul kebangsaan untuk masuk universitas
atau melamar pekerjaan.

19
Demokrasi Lokal

Demokrasi adalah semangat zaman dan amanat reformasi di Indonesia. Sistem politik
dan pemerintahan di Indonesia, baik di level nasional maupun daerah (lokal), mau tidak
mau harus menerapkan demokrasi. Demokrasi (pemerintahan rakyat, keadulatan
rakyat) tentu memiliki banyak kelebihan dan manfaat: membuka kesempatan dan
mengembangkan setiap potensi manusia, menghargai perbedaan, mencegah korupsi,
memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang dalam proses politik, menjadi
sistem nilai dan institusi yang menjamin keadilan dan seterusnya.

Namun demokrasi yang mengutamakan kebebasan hingga kompetisi selalu rawan


risiko. Para sarjana yang menggeluti demokrasi juga selalu mengingatkan risiko konflik
yang mengikuti demokrasi. Pada umumnya negara-negara demokratis yang muncul dari
konflik memiliki sedikit pengalaman dengan demokrasi liberal dan ekonomi pasar; yang
sebenarnya merupakan solusi yang tidak memadai dan malah menciptakan
destabilisasi (R. Paris, 1997, 2004). Kompetisi dalam demokrasi baru semakin
memperkuat pembelahan sosial-politik yang telah ada sehingga memicu timbulnya
konflik (Mahmood Monshipouri, 1995; J. Snyder, 2000; Edward Mansfield and Jack
Snyder, 1995). Dalam masyarakat tanpa konflik, demokrasi juga membuka ruang bagi
para aktor-institusi politik akan secara ekstrem menaruh rasa curiga terhadap lainnya,
seraya mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperkuat pengaruhnya. Rivalitas dan
kompetisi mengarah pada percobaan untuk merusak pihak lain meskipun ditempuh
dengan cara-cara intimidasi dan kekerasan. Pihak-pihak yang memenangkan kompetisi
cenderung membuat oligarkhi, atau menyusun elite predator, sehingga reformasi
tatapemerintahan yang dibawa kaum liberal menuai kegagalan.

Demokrasi bukan sesuatu yang given dan final, tetapi ada perdebatan beragam cara
pandang, untuk mencari format demokrasi yang tepat, termasuk demokrasi yang tepat
di ranah desa. Ada tiga cara pandang (aliran) demokrasi yang perlu dikemukakan di
sini, yang tentu relevan dengan pencarian model demokrasi desa yang tepat. Ketiga
aliran itu adalah demokrasi liberal, demokrasi republiken dan demokrasi komunitarian,
seperti kami sajikan dalam tabel 2.1.

Demokrasi liberal. Istilah liberal menunjuk sebuah sistem politik dimana kebebasan
individu dan kelompok dilindungi dengan baik dan dimana terdapat lingkup-lingkup
masyarakat sipil dan kehidupan pribadi yang otonom, tersekat atau terbebas dari kontrol
negara. Secara konseptual, suatu tatanan politik yang liberal adalah independen dari
eksistensi dari suatu perekonomian liberal kompetitif yang didasarkan pada terjaminnya
hak-hak properti, walaupun dalam praktik keduanya terkait, sebagian oleh kebutuhan
bersama mereka untuk membatasi kekuasaan negara (Larry Diamond, 2003).

20
Tabel 2.1
Tiga aliran demokrasi

Item Liberal Republiken Komunitarian


Sumber Liberalisme Republikenisme Komunitarianisme
Basis Individualisme Kolektivisme
Semangat Kebebasan individu Kebebasan dari Kebersamaan secara kolektif
(freedom for) (freedom from) dan
kewargaan
Orientasi Membatasi kekuasaan, Memperkuat Kebaikan bersama, masyarakat
melubangi negara kewargaan, kebajikan yang baik.
(hollowing out the state), warga, persamaan hak
menjamin hak-hak individu dan kewajiban warga.
Posisi Independensi individu Interdependensi Dependensi individu pada
individu individu komunitas.
Wadah Lembaga perwakilan, partai Organisasi warga, Komunitas, commune, rapat
politik dan pemilihan umum majelis rakyat desa, rembug desa, musyawarah
desa, forum warga, asosiasi
sosial, paguyuban, komunitas
adat, muyawatah adat
Metode Pemilihan secara kompetitif Partisipasi langsung, Musyawarah
musyawarah
Model Demokrasi representatif Demokrasi Demokrasi deliberatif
(perwakilan) partisipatoris & (permusyawaratan)
Demokrasi deliberatif
Kelebihan Menggunakan metode yang Inklusif. Setiap invididu Menjaga kebersamaan dan
simpel dan jelas, individu ditempatkan sebagai harmoni. Konflik minimal.
bebas dan bisa menjadi kuat, pribadi yang utuh,
kekuasaan dibatasi, dll sebagai warga yang
memiliki hak dan
kewajiban yang sama.
Negara
bertanggungjawab
melindungi warga.
Masyarakat kuat.
Kelemahan Yang lemah semakin lemah, Cenderung utopis, Cenderung konservatif, rentan
yang kuat semakin kuat. kurang realistik dominasi elite, eksklusif
Fragmentasi. Rentan konflik.

Secara spesifik, demokrasi liberal memiliki komponen-komponen sebagai berikut:


• Kontrol terhadap negara dan keputusan-keputusan serta alokasi-alokasi dimana
kuncinya terletak, dalam kenyataannya di samping dalam teori konstitusional, pada
para pejabat terpilih (dan bukan para aktor yang tak accountable secara demokratis
atau kekuasaan-kekuasaan asing); secara khusus, militer subordinat terhadap
otoritas para pejabat sipil terpilih.
• Kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan dalam kenyataan, oleh
kekuasaan otonom institusi-institusi pemerintahan lain (seperti sebuah peradilan
yang independen, parlemen, dan mekanisme-mekanisme accountabilitas horisontal
lain).
• Bukan hanya hasil-hasil elektoralnya tak pasti, dengan suatu suara oposisi yang
signifikan dan prasyarat pergantian partai dalam pemerintahan, tetapi tak ada
kelompok yang tunduk pada prinsip-prinsip konstitusional yang disangkal haknya
untuk membentuk sebuah partai dan mengikuti pemilu (bahkan jika ambang

21
elektoral dan aturan-aturan lainnya menyisihkan partai-partai kecil untuk
memenangkan representasi di parlemen).
• Kelompok-kelompok minoritas kultural, etnis, religius, dan lain-lainnya (serta
mayoritas-mayoritas yang secara historis dirugikan) tidak dilarang (secara legal
atau dalam praktiknya) untuk mengungkapkan kepentingan mereka dalam proses
politik atau untuk berbicara dengan bahasa mereka atau mempraktikkan budaya
mereka.
• Di luar partai-partai dan pemilu, warga mempunyai banyak saluran
berkesinambungan untuk pengungkapan dan representasi kepentingan-
kepentingan dan nilai-nilai mereka, termasuk asosiasi-asosiasi (perkumpulan) dan
gerakan-gerakan independen yang beragam, yang bebas yang mereka bentuk dan
ikuti.
• Ada sumber-sumber informasi alternatif (termasuk media independen) yang
digunakan warga memiliki akses yang tak terkekang (secara politis).
• Para individu juga mempunyai kebebasan keyakinan, opini, diskusi, bicara,
publikasi, berserikat, demonstrasi, dan petisi yang substansial.
• Warga secara politis setara di depan hukum (walaupun mereka pasti tidak setara
dalam sumber-sumber daya politiknya).
• Kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan
yang independen dan tak diskriminatif, yang keputusan-keputusannya ditegakkan
dan dihormati oleh pusat-pusat kekuasaan lain.
• Rule of law melindungi warga dari penahanan tidak sah, pengucilan, teror,
penyiksaan, dan intervensi yang tak sepantasnya dalam kehidupan pribadi mereka
bukan hanya oleh negara tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan terorganisir non-
negara atau anti-negara (Larry Diamond, 2003).

Tradisi demokrasi liberal menjadi payung model demokrasi perwakilan dan demokrasi
elektoral, serta menghilhami pendekatan demokrasi minimalis-empirik-prosedural.
Demokrasi elektoral adalah sebuah sistem konstitusional sipil dimana jabatan-jabatan
legislatif dan eksekutif diisi lewat pemilu multi-partai kompetitif yang reguler dengan hak
pilih universal. Joseph Schumpeter (1947) merupakan tokoh terkemuka dalam barisan
ini, yang karyanya dijadikan sebagai referensi utama pendekatan demokrasi prosedural
pada studi demokratisasi kontemporer. Schumpeter meninggalkan garis pemikiran
demokrasi klasik yang cenderung membicarakan “apa yang seharusnya” dan berusaha
mengembangkan teori lain demokrasi yang lebih realistik yang didasarkan pada kondisi
riil pada level empirik. Ia menolak elemen-elemen dalam demokrasi klasik seperti
“kedaulatan rakyat”, “kebaikan bersama” atau “kehendak semuanya”, karena dianggap
rancu dan berbahaya. Bagi Schumpeter, dunia modern yang kompleks hanya bisa
diperintah dengan sukses jika “negara yang berdaulat” dipisahkan secara tegas dengan
“rakyat yang berdaulat”, dan peran yang terakhir itu dibatasi sesempit mungkin.
Gagasan hukum dan kebijakan yang didasarkan pada “kehendak semua”, menurut
Schumpeter sangat utopis dan tidak mungkin terjadi, sehingga dia mengedepankan
frasa “kehendak mayoritas”. Sebegitu jauh Schumpeter menolak frasa “pemerintahan
oleh rakyat” dan sebaliknya dia mengemukakan bahwa demokrasi adalah
“pemerintahan politisi”. Karena itu, bagi Schumpeter, demokrasi adalah sebuah “metode
politik” atau “metode demokratis”, sebuah mekanisme kompetitif untuk memilih
pemimpin, yakni sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik –
legislatif dan administratif – dengan cara memberi kekuasaan pada individu-individu
tertentu untuk membuat keputusan lewat perjuangan kompetitif dalam rangka

22
memperoleh suara rakyat (people’s vote). Dalam konteks ini, warga mempunyai pilihan
di antara beberapa pemimpin politik yang berkompetisi untuk merebut suara mereka.
Antara pemilihan dan keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga
dapat menggantikan pejabat atau pemimpin yang mereka pilih.

Dalam demokrasi liberal, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin harus dibatasi agar
tidak terjadi penyimpangan. Parlemen merupakan perwujudan demokrasi perwakilan
yang mencerminkan representasi warga, untuk membuat keputusan bersama dengan
eksekutif dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Akuntabilitas merupakan
sebuah prinsip penting yang diterima oleh aliran manapun. Dalam demokrasi liberal,
akuntabilitas merupakan prinsip yang dilembagakan untuk mengoptimalkan
“kekuasaan untuk” (power to), sekaligus membatasi “kekuasaan atas” (power over)
melalui mekanisme check and balances. Untuk mewujudkan akuntabilitas dibutuhkan
juga representasi, transparansi dan partisipasi. Tradisi liberal yang emoh negara,
menggunakan isu representasi, transparansi dan partisipasi untuk melubangi negara
(hollowing out the state), agar kekuasaan dan sumberdaya bisa terdistribusi kepada
sektor pasar dan masyarakat.

Demokrasi Republiken. Di zaman Yunani Kuno Socrates, Plato, maupun Aristoteles


melontarkan kritik bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh
gerombolan rakyat (the mob) yang miskin dan bodoh. Karena itu, agar demokrasi dan
kedaulatan rakyat menjadi lebih bermakna, membutuhkan penguatan kebajikan warga
(civic virtue), konstitusionalisme, dan kewargaan (citizenship).

Pemikiran itu yang melandasi kelahiran republikenisme. Kaum republikenisme bukan


anti kebebasan, tetapi berbeda memahami kebebasan dibanding dengan kaum liberal.
Menurut republikenisme, kebebasan berarti nondominasi, serta mempromosikan
kebebasan dari dominasi, rasa takut, penindasan dan sebagainya.

Pemikiran republikenisme itu mempengaruhi pemikiran generasi kiri baru. Kaum kiri
baru menantang sejumlah prinsip fundamental dalam demokrasi liberal: individu yang
bebas dan setara, pemisahan yang tegas antara negara dan masyarakat sipil, dan
pemilihan umum sebagai proses demokrasi paling utama (David Held, 1987). Carole
Patemen (1970), menyampaikan kritik itu dengan berujar bahwa individu yang bebas
dan setara itu tidak bakal terjadi secara empirik. Pemisahan antara negara dan
masyarakat justru membuat negara melakukan reproduksi ketidakadilan, yang berarti
negara lari dari tanggungjawab. Pemilihan umum juga tidak cukup untuk menciptakan
tanggungjawab penyelenggara negara terhadap rakyat yang diperintah. Karena itu
kaum kiri baru menegaskan dua perubahan untuk transformasi politik: (1) negara
harus didemokrasikan dengan cara membuat semua institusi politik lebih terbuka dan
akuntabel dan (2) bentuk-bentuk baru perjuangan politik di level lokal harus membawa
perubahan yang memastikan akuntabilitas dari negara dan masyarakat (David Held,
1987: 266).

Benjamin Barber (1984) mempunyai pemikiran yang paralel dengan Pateman. Dia
membandingkan liberalisme dengan sifat baik kewarganegaraan republican.
Liberalisme, menurut Barber, mempromosikan “thin democracy” sementara
kewarganegaraan mempromosikan “strong democracy”. Kedalaman partisipasi
membedakan demokrasi yang lemah dan demokrasi yang kuat (Barber 1984: 132).

23
Barber mengakui bahwa struktur mediasi mungkin bertindak sebagai sekolah bagi
pendidikan warga negara yang diperlukan untuk demokrasi yang kuat. Namun, dia
memperingatkan bahwa organisasi lokal perantara yang eksklusif bisa merusak
demokrasi. Bagi Barber, demokrasi yang kuat menciptakan suatu rangkaian kesatuan
kegiatan yang terbentang dari lingkungan tempat tinggal hingga bangsa, dari swasta
hingga publik, dan sepanjang rangkaian kegiatan itu, kesadaran warga negara yang ikut
serta dapat berkembang”. Barber kurang optimis mengenai kapasitas struktur mediasi
untuk mempromosikan kesadaran dan partisipasi yang meningkat dan membaik dalam
konteks demokrasi yang kuat. Dia menganjurkan bahwa hanya partisipasi politik
langsung, kegiatan yang secara jelas adalah kegiatan publik, misalnya rapat kota dan
pertemuan kampung, berhasil sepenuhnya sebagai sebuah bentuk pendidikan warga.

Demokrasi partisipatoris, yang diusung oleh kiri baru, sebenarnya memiliki akar
historis demokrasi Yunani Kuno, dimana setiap warga berpartisipasi secara langsung
dalam keseluruhan keputusan negara-kota (city-state). Tetapi model demokrasi
partisipatoris tidak persis sama dengan model demokrasi langsung ala Yunani Kuno
karena konteks yang sudah berubah. Sebagai bentuk pemikiran dan gerakan
kontemporer, model demokrasi partisipatoris meyakini akan idealnya gagasan
perluasan desentralisasi, inisiatif warga dan referendum yang tepat. Warga diyakini
memiliki minat tinggi dalam politik, dan partisipasinya akan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-harinya. Bagi penganut paham republik ideal adalah ketika partisipasi
menciptakan warga yang terdidik dan sadar politik. Bagi model ini partisipasi itu
sendiri jauh lebih penting daripada output politik. Participatory democracy adalah
sebuah proses pengambilan keputusan secara kolektif yang mengkombinasikan antara
elemen-elemen yang berasal dari demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan:
warga mempunyai kekuaasaan untuk memutuskan kebijakan dan para politisi
memastikan peran implementasi kebijakan.

Demokrasi Komunitarian. Komunitarianisme selalu hadir sebagai antitesis dan kritik


terhadap liberalisme, baik dalam ranah pembangunan, demokrasi maupun
pembangunan. Jika kaum liberal meletakkan kebebasan sebagai fondasi demokrasi
liberal, kaum komunitarian mengutamakan “kebaikan bersama” (common good) menuju
apa yang disebut A. Etzioni (2000) sebagai masyarakat yang baik (good society).
Komunitas sebagai basis “masyarakat yang baik”, menurut Etzioni mengandung dua hal
penting: (a) jaring hubungan kelompok individu yang saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lain; dan (b) dalam komunitas terbangun komitmen bersama
untuk berbagi sejarah, identitas, nilai, norma, makna dan tujuan bersama, tentu dalam
konteks budaya yang partikular.

Ketimbang mengadaptasi template universal, kaum komunitarian mengedepankan


bahwa banyak resolusi yang memadai tentang problem tatanan dan democratic
governance seharusnya dibangun dari dan merupakan buah resonansi dari kebiasaan
dan tradisi rakyat yang hidup pada waktu dan tempat yang spesifik. Kaum komunitarian
menekankan demokrasi yang dilandasi kebajikan, kearifan dan kebersamaan, termasuk
pengambilan keputusan dengan pola demokrasi permusyawaratan (deliberative
democracy) ketimbang demokrasi elektoral yang kompetitif. Proses negosiasi dan
deliberasi parapihak secara inklusif dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk
keputusan mengenai alokasi sumberdaya, merupakan solusi peaceful demoracy yang
mampu mencegah konflik dan destabilisasi.

24
Dengan cara pandang komunitarian, demokrasi adalah cara atau seni “pergaulan hidup”
untuk mencapai kebaikan bersama. Tradisi komunitarian menolak pandangan liberal
tentang kebebasan, sebab dalam lingkup desa, kebebasan bisa berkembang menjadi
“kebablasan”, dimana orang cenderung bersuara “asal bunyi” tanpa kesantunan yang
menimbulkan konflik. Prinsip dasar demokrasi, dalam pandangan komunitarian, adalah
mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai
pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat
dalam mengambil keputusan dan bertindak. Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi
bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain
terkait dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi
kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau
tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini
tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual
trust, kepedulian warga, kompetensi politik, dan seterusnya.

Demokrasi komunitarian lahir sebagai kritik atas demokrasi liberal, karena demokrasi
liberal dinilai menjadi hegemoni universal yang melakukan penyeragaman praktik
demokrasi di seluruh dunia. Orang di manapun akan mengatakan bahwa demokrasi
adalah kebebasan individu, pemilihan secara bebas, dan partisipasi. Jarang sekali orang
yang berargumen bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan
secara kolektif. Tradisi komunitarian, yang peka terhadap masalah ini, memaknai
demokrasi secara partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya, struktur
sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara. Aliran ini menyatakan bahwa
individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan menafikkan kebajikan
warga (civic virtue). Artinya, semangat individualisme liberal tidak mampu memberikan
landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi
komunitas. Penganut komunitarian yakin bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan
komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan cenderung
menciptakan alienasi partisipasi publik dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
publik. Kaum komunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti
kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu tetapi penghargaan
pada otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk
memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.

Pemikiran komunitarianisme itu sangat memperngaruhi cara pandang para founding


fathers Indonesia dalam melihat demokrasi lokal. “Di desa-desa sistem yang
demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki,
dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia
harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu menyelenggarakan
kegiatan ekonomi”, demikian ungkap seorang pendiri Republik Indonesia, Mohammad
Hatta (1956). Demokrasi komunitarian desa pada prinsipnya bertumpu pada tiga
substansi: demokrasi politik (pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah
dalam rembug desa), demokrasi sosial (solidaritas bersama melalui gotong-royong) dan
demokrasi ekonomi (kepemilikan tanah secara komunal).

Gagasan demokrasi komunitarian sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang
kecil (seperti desa) karena kegagalan demokrasi prosedural-liberal dalam mewadahi

25
partisipasi publik. Demokrasi liberal secara konvensional mereduksi praktik demokrasi
hanya dalam kerangka pemilihan pemimpin dan lembaga perwakilan, yang diyakini
sebagai wadah partisipasi publik. Format demokrasi perwakilan yang didesain itu
dilembagakan secara formal melalui peraturan, yang mau tidak mau menimbulkan apa
yang disebut oleh Robert Michel sebagai oligarki elite. Segelintir elite yang
mengendalikan pemerintahan dan pembuatan keputusan itu umumnya bersikap
konservatif dan punya kepentingan sendiri yang tercerabut dari konstituennya, tetapi
mereka selalu mengklaim mewakili rakyat banyak.

Karena itu, demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community, hendak


mempromosikan partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan dan
pembangunan di level komunitas. Melampaui batasan-batasan formal, demokrasi
komunitarian merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, pengaktifan
peran kelompok-kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antarkelompok, yang
bukan saja untuk keperluan self-help kelompok, tetapi juga sebagai wahana awareness
warga, civic engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat
komunitas. Elemen-elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan
penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis
komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian
potensi dan kreativitas individu dalam ikatan kolektif.
Model demokrasi deliberatif merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang
dijiwai oleh tradisi komunitarianisme dan republikenisme. Demokrasi deliberatif
berbeda dengan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung dalam hal penentuan
pemimpin dan mekanisme pembuatan keputusan. Menurut penganjur demokrasi
deliberatif, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan
dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan,
melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan. Model
demokrasi seperti ini memungkinkan partisipasi secara luas dan menghindari
terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan. Demokrasi deliberatif juga
menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses
pemilihan (voting) langsung, sehingga akan mengurangi praktik-praktik teror,
kekerasan, money politics, KKN dan seterusnya.

Demokrasi deliberatif merupakan varian lain dalam demokrasi partisipatoris. Gagasan


tentang demokrasi deliberatif sebenarnya merupakan jembatan antara ekstrem kanan-
liberal (demokrasi perwakilan) dengan ekstrem kiri-radikal (demokrasi partisipatoris).
Demokrasi deliberatif bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk perluasan dari demokrasi
perwakilan. Lebih jauh lagi gagasan demokrasi deliberatif berangkat dari pemikiran
“kontrak sosial” Rousseauian, dengan sebuah keyakinan bahwa kebaikan bersama
(common good) dapat dipastikan dan dipromosikan melalui proses yang demokratis.
Karya Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere,
memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi teorisasi demokrasi deliberatif.
Setidaknya ada tiga argumen penting Habermas yang menyokong teorisasi demokrasi
deliberatif yang dia bangun berdasarkan narasi sosiologi-sejarah tentang kemunculan,
perubahan, dan disintegrasi ruang publik kaum borjuis. Pertama, demokrasi
memerlukan arena ekstra-politik dalam masyarakat politik yang di dalamnya ia
mengembangkan dan mensosialisasikan sebagian besar orang, khususnya kelompok
yang kurang memperoleh perhatian. Kedua, sebuah ruang publik yang kritis diperlukan

26
untuk menjembatani kesenjangan yang tumbuh antara masyarakat sipil dan basis
sentralitasnya dalam perdebatan demokrasi deliberatif. Ketiga, demokrasi semakin
rusak dan mengalami pembusukan ketika ia dilembagakan secara formal.

Demokrasi deliberatif adalah sebuah asosiasi yang memiliki banyak urusan yang
dikelola dengan deliberasi publik di antara para anggotanya, sekaligus sebuah asosiasi
yang memiliki sejumlah anggota yang saling berbagi komitmen untuk menyelesaikan
masalah dan menentukan pilihan kolektif melalui dialog publik (Cohen, 1989). Pada
umumnya penganjur demokrasi deliberatif sepakat bahwa proses politik seharusnya
berbasis pada gaya “berpusat pada pembicaraan” (talk-centric) dalam pembuatan
keputusan ketimbang pada gaya “berpusat pemungutan suara” (voting centric); dan
hasil-hasil keputusan seharusnya ditentukan dengan argumen-alasan ketimbang pada
jumlah (Bohman, 1997; Chamber, 1999).
Prinsip dasar demokrasi deliberatif adalah sebuah proses pelibatan publik dalam
membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Proses ini berbeda sekali dengan
demokrasi perwakilan yang di dalamnya publik dilibatkan hanya sebagai pemilih yang
memilih elite yang selanjutnya akan membuat keputusan. Ia juga berbeda sekali dengan
demokrasi langsung yang di dalamnya publik membuat keputusan sendiri, tetapi
melakukannya dengan sedikit atau tanpa permusyawaratan kolektif atau konfrontasi
pandangan alternatif pada persoalan-persoalan itu.
Di antara sejumlah pengertian tentang deliberasi dan demokrasi deliberatif,
Konsorsium Demokrasi Deliberatif memberikan pengertian yang lebih praksis berikut
ini:
Deliberasi adalah sebuah pendekatan pembuatan keputusan yang memungkinkan
warga menganggap fakta-fakta yang relevan dari begitu banyak cara pandang,
melakukan diskusi antara satu dengan lainnya untuk berpikir kritis tentang banyak
pilihan sebelum mereka memperluas perspektif, opini dan pemahaman.

Demokrasi deliberatif memperkuat suara warga dalam tata pemerintahan dengan


cara memasukkan rakyat dari semua ras, kelas, umur, maupun asal-usul dalam
proses deliberasi yang secara langsung mempengaruhi keputusan publik. Sebagai
hasilnya, pengaruh warga – dan dapat melihat hasil pengaruh mereka atas –
keputusan kebijakan dan sumberdaya yang berdampak terhadap kehidupan mereka
sehari-hari dan masa depan mereka (Deliberative Democracy Consortium, 2003
dikutip oleh Janette Hartz-Karp, 2005).

Demokrasi membutuhkan permusyawaratan karena tiga alasan: (1) memungkinkan


warga mendiskusikan isu-isu publik dan membentuk opini; (2) memberikan
pemimimpin demokratis wawasan yang lebih baik mengenai isu-isu publik ketimbang
yang dilakukan oleh pemilihan umum; dan (3) membungkinkan warga memberikan
justifikasi pandangan mereka sehingga kita bisa mengidentifikasi pilihan yang baik dan
yang buruk (Levine, 2003). Janette Hartz-Karp (2005) mengidentifikasi demokrasi
deliberatif butuh beberapa hal: (1) pengaruh: kemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan dan pembuatan keputusan; (2) keterbukaan (inclusion): perwakilan warga,
keterbukaan pandangan dan nilai-nilai yang beragam, serta kesempatan yang sama
untuk berpartipasi; (3) deliberasi: komunikasi terbuka, akses informasi, ruang untuk
memahami dan membingkai ulang berbagai isu, saling menghormati, dan gerakan
menuju konsensus.

27
Gagasan demokrasi deliberatif tentu tidak bermaksud menyingkirkan model demokrasi
formal, tetapi hendak menjawab krisis demokrasi formal-liberal, memperluas ruang-
ruang demokrasi, sekaligus menjawab kesenjangan antara politik formal dengan
kehidupan politik sehari-hari. Jika demokrasi formal (yang dibangun melalui proses
elektoral) hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural, maka demokrasi
deliberatif berupaya memperkuat legitimasi demokrasi. Beberapa penganjurnya
menyatakan bahwa model demokrasi deliberatif dikembangkan sebagai bentuk respon
atas kelemahan teori dan praktik demokrasi liberal, sekaligus mengedepankan
perspektif kritis terhadap institusi perwakilan liberal. Pada prinsipnya, jika demokrasi
liberal berupaya memperkuat “demokrasi representatif” melalui institusi-institusi
perwakilan dan prosedur elektoral, maka demokrasi deliberatif berupaya
mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika
pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui proses agregasi
politik (misalnya pemilihan umum), maka pandangan demokrasi deliberatif lebih
menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama.
Dengan demikian, demokrasi deliberatif hendak mendemokrasikan demokrasi, seraya
memperluas ruang-ruang demokrasi yang bergerak dari institusi formal, lembaga
perwakilan maupun prosedur elektoral menuju ruang-ruang yang lebih dekat dengan
masyarakat.

Apa relevansi tiga aliran demokrasi itu bagi Papua? Papua mempunyai karakter
komunalisme berbasis adat, yang berpotensi menjadi komunitarianisme.
Individualisme dan kebebasan individu bukan nilai dan orientasi utama, melainkan
setiap individu terikat dan tergantung pada komunitas mulai dari kampung hingga
provinsi. Partai lokal yang mengutamakan liberalisme sebenarnya tidak kompatibel
dengan masyarakat komunitarian. Jika partai lokal dibangun atas dasar etnisitas maka
akan menimbulkan fragmentasi dan konflik yang semakin tajam, yang jauh lebih tajam
bila dibanding dengan konflik kesukuan dalam pilkada langsung. Namun proses yang
liberal seperti pemilihan umum, DPRP maupun pilkada tidak bisa dihindari, sebab ini
merupakan metode paling gampang dan jelas untuk menghasilkan wakil rakyat dan
pemimpin. Menentukan gubernur tentu tidak bisa menggunakan mekanisme
musyawarah, melainkan dengan mekanisme elektoral yang mensyaratkan satu orang
satu suara.

Pemilihan umum merupakan proses yang terbaik untuk menentukan pemimpin politik,
yang tentu lebih baik daripada sistem karir atau pengangkatan. Pemilihan umum
memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses aktor-aktor
baru dalam arena kekuasaan. Pemilihan umum memungkinkan partisipasi rakyat
secara langsung untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. Tetapi
keyakinan yang berlebihan kepada pemilihan umum justru menjadi jebakan yang
menyesatkan. Pemilihan umum tentu hanya sebuah proses “demokrasi berkala” untuk
membentuk demokrasi formal, yang dalam proses itu rakyat hanya bisa memberikan
dukungan dan pilihan (voting). Padahal demokrasi yang lebih substantif adalah proses
demokrasi sehari-hari (everyday-life democracy) yang terkait langsung dengan suara
(voice) masyarakat serta proses pembuatan keputusan yang bakal mengikat rakyat.
Jebakan demokrasi elektoral itu bisa membuat kekecewaan yang luar biasa. Demokrasi
elektoral bisa saja berlangsung secara demokratis, tetapi ia hanya berhenti pada
pembentukan demokrasi formal. Setelah itu, demokrasi sehari-hari, terutama proses

28
pembuatan keputusan tidak lagi berlangsung secara demokratis dan jauh dari
partisipasi rakyat.

Spirit republikenisme juga tampak pada MRP sebagai bentuk representasi yang
berbasis komunitarianisme. Demikian juga dengan tindakan afirmatif terhadap orang
asli Papua. Namun afirmasi ini hanya langkah awal untuk menuju kewargaan yang
sempurna dan permanen. Karena itu afirmasi tidak boleh berlangsung secara
permanen, karena ia mengandung diskriminasi positif. Tradisi kewargaan akan
terbangun jika ada kesadaran baru setiap orang asli Papua hadir sebagai warga yang
saling bergantung satu sama lain yang mampu melampaui ikatan komunitarian,
membangun organisasi warga, sebagai wadah representasi popular untuk
memperhatikan isu-isu publik, serta memperjuangkan kepentingan publik yang
melampaui perjuangan identitas. Di setiap tempat, di setiap kampung, bisa menjadi
arena diskusi atau musyawarah yang digunakan untuk membicarakan dan mengambil
keputusan tentang isu pembangunan, pelayanan publik, ekonomi dan seterusnya.

29
BAB III
TINJAUAN EMPIRIK

Konteks dan Kondisi Umum

Secara umum konteks dan kondisi awal sekitar kelahiran Otsus Papua ditandai oleh dua
hal, yaitu (1) situasi politik dan keamanan Papua yang terus dengan diwarnai berbagai
bentuk konflik dan kekerasan, (2) kebijakan pembangunan Papua yang masih
menciptakan kesenjangan (ketimpangan) sehingga nampak masih terbelenggu
kemiskinan dan keterbelakangan.

Situasi politik dan keamanan (Polkam) Papua. Situasi Polkam Papua diwarnai wacana
status politik Papua dalam NKRI. Wacana yang diikuti sikap terhadap status politik
Papua ini ditandai dengan pemunculan oleh polarisasi golongan (kelompok) pro-
integrasi dan kontra-integrasi. Situasi ini bisa disebut sebagai perbedaan sejarah
integrasi.

Kesenjangan persepsi terhadap sejarah tersebut sudah dimulai sejak proklamasi


kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Tercatat 2 (dua) kali Pemerintah Indonesia
gagal memasukan wilayah Papua ke dalam NKRI yakni melalui Konprensi Malino 1946
dan Konprensi Meja Bundar di Den Haag pada 22 Desember 1949. Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia,
kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2 (dua) tahun
kemudian. Setelah itu Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari
Hindia Belanda untuk mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan
mereka sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama 10 tahun rencana
pembangunan yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation
Temporary Executive Authority – Pemerintahan Sementara di bawa kekuasaan PBB)
yang bertanggung jawab dalam periode transisi.

Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada tanggal 1
Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum yang penting; Pemerintah
Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari
Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibar berdampingan dengan
bendera Belanda, dan pengenalan lagu kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua”. Akan
tetapi, “Perjanjian New York” pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari
Papua, dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua)
dari Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan
Belanda meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari
Indonesia. Pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice) yang diterapkan oleh PBB
dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang
dipilih sebagai perwujudan dari “konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk
pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan
pemungutan suara; satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait
dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses
pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka.Hal tersebut di atas berakibat
pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai
integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Sementara bagi golongan pro-integrasi,

30
bahwa proses integrasi Papua dalam NKRI adalah final, dengan hasil Pepera 1969.
dengan PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah Resolusi Majelis
Umum PBB Nomor 2504 tanggal 19 Oktober 1969.

Situsi polkam Papua juga ditandai dengan berbagai gejala dalam bentuk gerakan politik,
baik dalam bentuk organisasi maupun tanpa bentuk organisasi (kelompok) sampai
perorangan (individu). Selain gerakan politik, juga perlawanan bersenjata.

Kesenjangan Pembangunan. UU Otsus Papua telah memberikan pertimbangan faktual


yang mendasar tentang kelahirannya. Pertimbangan faktual tersebut sebagaimana
dimaksud dalam bagian menimbang UU Otsus Papua huruf a sampai huruf k yang
selengkapnya dikutip sebagai berikut :
1. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari
umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-
nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam
masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil
pembangunan secara wajar;
3. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dalam undang-undang;
4. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah
Otonomi Khusus;
5. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras
Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia,
yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa
sendiri;
6. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua
7. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua
belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan
antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-
hak dasar penduduk asli Papua;
8. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan
Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua,
serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan
adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;

31
9. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-
nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika
dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi
hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan
kewajiban sebagai warga negara;
10. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap
hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan
dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli
Papua;
11. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya
menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian
Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi
Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang
Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;

Alasan penting kelahiran Otsus Papua dilandasi oleh 7 (tujuh) nilai dasar
yaitu (1) perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua, (2)
demokratisasi dan kedewasaan berdemokrasi, (3) penghargaan terhadap etika
dan moral, (4) penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, (5) supremasi
hukum, (6) penghargaan terhadap pluralisme, dan (7) persamaan kedudukan,
hak dan kewajiban sebagai warga negara.22
Berdasarkan pertimbangan faktual tersebut, maka hal-hal mendasar yang
menjadi isi Undang-Undang ini adalah: (1) pengaturan kewenangan antara
Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan
tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; (2) pengakuan
dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya
secara strategis dan mendasar; (4) mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik yang berciri: a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan; b) pelaksanaan pembangunan yang
diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli
Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan
berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; c)
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan
dan bertanggungjawab kepada masyarakat.23

22
Lihat Agus Sumule (Ed), Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003, h. 52
23
Agus Djojosoekarto, dkk, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Kemitraan partnership, Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Menara Eksekutif lt. 10. Jakarta, www.kemitraan.or.id

32
Evaluasi dan Analisis Pelaksanaan Otsus Papua

Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua diterbitkan, dan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap
Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif yang
terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu
diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab
berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan
Papua yang tertinggal.

Manfaat Otsus Untuk Masyarakat Papua. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah
besar untuk masyarakat Papua. Masyarakat memiliki ekpektasi yang sangat besar
bahwa Otsus akan meningkatkan derajat kehidupan mereka. Apalagi dalam UU Otsus
banyak sekali penekanan tentang hak-hak mendasar orang Papua yang harus dipenuhi.
Hal ini ditambah lagi dengan keberadaaan dana Otsus yang jumlahnya cukup besar.
Tetapi kenyataannya, para narasumber nyaris satu suara dalam hal ini, kenyataan yang
diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi mereka Permasalahan mendasar
Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan rencana strategis Provinsi yang tidak
terkomunikasikan dengan baik dan terbuka pada seluruh masyarakat, termasuk elemen
lembaga masyarakat sipil.
Keadaan semacam itu memberi penguatan pada penyebab bahwa Otsus belum
banyak membawa perubahan terhadap tingkat kehidupan masyarakat Papua.
Masyarakat mendengar ada Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan kesejahteraan
tetapi masyarakat mungkin ada yang belum pernah merasakan manfaatnya.
Pilar penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang
Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga pada tataran
impelementasi problematis. Penggelontoran dana langsung, justru kontraproduktif.
Dana tersebut (dalam bentuk tunai, freeze money) habis untuk konsumsi dan bukan
produktif. Model pengelolaan dana tunai tersebut seperti mematikan potensi inovasi
dan kewirausahaan masyarakat Papua. .
Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek
pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash inflow, karena
miskin output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang
tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar. Dalam kaitan
itu penting untuk mengetahui tentang pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus
Papua.
Terlepas dari sinyalemen negatif dalam kaitannya dengan Otsus dan perbaikan
kehidupan masyarakat Papua, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan
adanya Otsus ini. Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan
dengan adanya Otsus yang belum terimplementasi dengan baik ini. Lebih luas lagi
termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah
kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi
pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka
menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang
dinilai kurang jelas dan untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung
manfaatnya oleh masyarakat.
Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini.
Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan
dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat

33
posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat punya alasan logis untuk
menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di
Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga
meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh
pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang
didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini
terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta
dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan
pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari
pemerintah.
Kesiapan Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem
pengawasan adalah hal-hal yang disoroti oleh narasumber wawancara dalam menyoal
kesiapan pemerintah terutama pemerintah provinsi Papua dalam melaksanakan Otsus.
Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang
berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga
mendapatkan sorotan karena tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus.
Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otonomi Khusus Papua itu
memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini.
Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi
pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta.
Menurut penulis ada (empat) faktor-faktor yang menyebabkan otonomi khusus gagal di
Papua.
Permasalahan pertama, bahwa kegagalan implementasi pembangunan
berkenaan kebutuhan dasar, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan
pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan
dokternya, serta sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang
kesehatan dan pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan.
Permasalahan kedua, terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan (in
casu kebijakan pemerintahan) yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan perdasus
dan perdasi (kebijakan pemerintah daerah).
Permasalahan ketiga, adalah berkaitan dengan kelembagaan Otsus penting yang
diamanatkan dalam UU Otsus belum terbentuk (belum ada) di Papua; Kelembagaan
dimaksud seperti, lembaga pengadilan HAM, lembaga Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), belum berjalannya peradilan adat Papua. Masalah kelembagaan
pemerintah juga tidak harmonis antara Pemerintah Daerah, MRP dan DPRP.
Keempat, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua,
Permasalahan ini menyangkut dimensi politik, yang berkenan dengan proses integrasi
Papua ke dalam bagian NKRI antara pro dan kontra.
Kelima, diskriminasi terhadap orang asli Papua, dan seringkali dijumpai perilaku
kekerasan aparat negara terhadap orang Papua di masa lalu. Kondisi ini terekam dalam
memoria-passionis yang dalam wujudnya dapat berubah menjadi gerakan militansi
perlawanan.
Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan
pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat
hadirnya sebuah Perdasus. Selama ini pembagian dana Otsus terkesan dilakukan
berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya
hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang
dianggap tidak tepat sasaran. Masih diragukan bahwa struktur APBD Papua, kuota dana
30% untuk pendidikan dan 15% untuk kesehatan. Hal lain yang masih dipertanyakan

34
adalah dasar hukum pemberian atau pembagian dana Otsus yang besarnya 70 persen
untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat.
Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya
juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah
terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru
diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2008. Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.
Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui
kebijakan khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi
Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan
berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut
adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan
Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan
khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya
alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana
perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk
keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian
agenda pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum,
demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata
kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung
jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang
memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.
Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi
Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan
pada tahun 2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69
T untuk Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus
sejak tahun 2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan
dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan
pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program
prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan
daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta
pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita tentang Papua masih banyak
didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi
khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya
pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang
hampir mencapai satu dekade ini.

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS24

24
MRP, Evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat, Jayapura, 2013.

35
Bidang Pendidikan. Salah satu tujuan Negara Indonesia adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Mencerdaskan kehidupan bangsa secara operasional
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bekerja dibawah
jaminan UUD 1945 maka setiap warga Negara Indonesia diharapkan mengenyam
pendidikan tingkatan tertentu. Dengan demikian prasyarat minimal, seperti membaca,
menulis, dan berhitung dipahami oleh tiap warga negara.

Orang Asli Papua yang sudah menjadi warga Negara Indonesia sejak dianeksasi tahun
1963 mempunyai hak yang sama dengan warga Negara Indonesia yang lain untuk
sekurang-kurangnya mampu untuk membaca, menulis, dan berhitung sesudah
mengenyam pendidikan tingkatan tertentu.
Dalam diskusi “Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat
Papua Provinsi Papua Barat dengan Orang Asli Papua” pada tanggal 25-27 Juli 2013
diketahui, bahwa masalah pendidikan mendapat sorotan tajam karena bidang
pendidikan diketahui menggunakan dana 30%. Terungkap secara jelas, bahwa dana
pendidikan yang diperuntukkan untuk bidang pendidikan selama ini tidak sebesar 30%.
Artinya, dana yang diberikan kepada bidang pendidikan dibawah nilai 30%.
Oleh karena itu,Orang Asli Papua berpendapat, bahwa pendidikan bagi Orang
Asli Papua harus diberi perioritas agar Index Pembangunan Manusia (IPM) Papua
meningkat menjadi lebih baik. Pada masa sekarang (2011) IPM Provinsi Papua berada
pada 64,94% sementara IPM Provinsi Papua Barat berada pada posisi 69,15%. Kondisi
ini sangat mengecewakan bahkan sangat menyedihkan.
Berikut ini dirumuskan beberapa masalah dan harapan Orang Asli Papua
dibidang pendidikan.

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi


Khusus Di Bidang Pendidikan
1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang lemah.
2) Kurangnya guru versus penempatan dan pengaruh langsung selama ini dari
sektor politik serta pengaruh kehidupan perkotaan yang sangat kuat.
3) Ketidaksungguhan membangun pendidikan.
4) Ketidaksungguhan menjadi guru dan pendidik.
5) Keterbatasan fasilitas.
6) Kurang adanya perhatian serius kepada lembaga penyelenggara pendidikan
swasta
7) Alokasi dana Otonomi Khusus yang sebanyak 30 % belum maksimal.
8) Pemberian beasiswa diberikan tidak berdasarkan peruntukannya dan tidak
berpihak kepada Orang Asli Papua.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di


Bidang Pendidikan
1) Diharapkan terjaminnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan
yang efektif dan efisien.

36
2) Diharapkan kualitas dan jumlah guru terjamin dan ditingkatkan secara kontinu
sesuai kebutuhan.
3) Diharapkan guru memiliki moral baik untuk menjadi pengajar dan pendidik.
4) Diharapkan tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai.
5) Diharapkan adanya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Papua.
6) Diharapkan memberi perhatian serius kepada lembaga penyelenggara
pendidikan swasta.
7) Alokasi dana pendidikan sesuai harapan.
8) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua di bidang pendidikan secara serius.
9) Diharapkan pemerintah melakukan evaluasi pemberian beasiswa dengan
memperhatikan identitas mahasiswa sebagai Orang Asli Papua.

Kondisi pendidikan di Papua akan membaik ketika pemanfaatan dana pendidikan


berdasarkan peruntukannya dan memberi perioritas pada peningkatan kualitas dan
jumlah guru. Membangun strategi kemitraan antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
dengan lembaga penyelenggara pendidikan swasta yang bekerja di Tanah Papua.
Membangun sistem pengawasan terhadap penggunaan dana pendidikan dan
pengawasan berkelanjutan terhadap penyelenggaraan pendidikan sehingga output dari
kegiatan pendidikannya bermutu tinggi.

Bidang Kesehatan. Derajat kesehatan manusia ditentukan oleh faktor-faktor, seperti


lingkungan fisik (air,udarah, tanah, iklim) dan lingkungan sosial (kebudayaan,
pendidikan, ekonomi, dan lain-lain, perilaku, fasilitas kesehatan, genetika atau
keturunan, tradisi, dan pelayanan kesehatan (pemulihan kesehatan, pencegahan
terhadap penyakit, pengobatan dan perawatannya).

Faktor-faktor kesehatan tersebut diatas perlu mendapat sentuhan dua langkah penting,
yaitu langkah strategi dan langkah kebijakan politis. Kedua langkah tersebut
dibutuhkan guna mendukung perbaikan dan peningkatan derajat kesehatan penduduk
suatu daerah. Akhir-akhir ini sentuhan strategi dan kebijakan politik di bidang
kesehatan sedang mendapat perhatian.

Namun, kondisi kesehatan yang terjadi pada masa sekarang adalah dominasi
kepercayaan Orang Asli Papua kepada pengobatan penyakit secara etnomedisin,
sebaliknya pengobatan medis modern kurang diminati. Hal ini karena alasan mahalnya
biaya pengobatan secara medis modern, dan terbatasnya akses masyarakat kurang
mampu kepada layanan kesehatan (Puskesmas Pembantu, Puskesmas, dan RSUD).

Oleh karena itu, timbul berbagai masalah kesehatan di Papua yang wajib mendapat
perhatian serius dari Pemerintah Provinsi dan semua stakeholder yang ada. Dengan
demikian derajat kesehatan dapat ditingkatkan menjadi kondisi yang sehat dan lebih
baik.

37
1. Deskripsi Bidang Kesehatan
a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Kesehatan
1) Status kesehatan ibu dan anak yang masih rendah.
2) Status gizi masyarakat rendah.
3) Angka kesakitan penyakit menular, terutama HIV/AIDS tinggi, Malaria, TB
Paru, DBD, dan Diare. Selain itu, penyakit seperti filariasis, kusta, fan
framboesia juga kembali meningkat.
4) Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terbatas serta akses masyarakat
terhadap fasilitas dan layanan kesehatan yang berkualitas rendah.
5) Kompetensi, jumlah, dan sebaran sumber daya manusia tenaga kesehatan
rendah.
6) Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dalam promosi dan prevensi
penyakit.
7) Terbatasnya kemampuan manajerial Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
sekaligus Rumah Sakit.
8) Rendahnya alokasi dana Otonomi Khusus untuk bidang kesehatan.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di


Bidang Kesehatan
1) Diharapkan adanya keberpihakan dalam hal pemberdayaan sumber daya
manusia bidang kesehatan.
2) Diharapkan adanya jaminan regulasi dan kebijakan kesehatan yang berpihak
kepada Orang Asli Papua.
3) Diharapkan adanya peningkatan sarana-prasarana dan infrastruktur fasilitas
kesehatan.
4) Diharapkan status kesehatan ibu dan anak meningkat.
5) Diharapkan status gizi dapat ditingkatkan.
6) Diharapkan dapat mengurangkan angka kecenderungan peningkatan dari
penyakit menular dan tidak menular.
7) Diharapkan kemampuan manajerial Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit dapat
ditingkatkan.
8) Diharapkan adanya peningkatan alokasi dana Otonomi Khusus di bidang
kesehatan.
9) Diharapkan segera dilakukan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak
ketiga yang netral dan dilaksanakan di tempat yang netral.

2. Kesimpulan Bidang Kesehatan


Perbaikan derajat kesehatan Papua dapat terlaksana ketika para pihak
memperhatikan faktor-faktor penentu seperti lingkungan fisik dan lingkungan sosial,
perilaku, fasilitas kesehatan, genetika atau keturunan, tradisi, dan pelayanan kesehatan.
Selain itu, tersedianya sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas, dan
tersedianya alokasi dana kesehatan yang signifikan. Kemudian diikuti oleh sikap
pemerintah dalam membuat langkah-langkah strategis dan mewujudnyatakannya

38
dalam kebijakan politiknya. Dengan demikian derajat kesehatan Manusia Papua dapat
terangkat dan dapat melakukan berbagai aktivitas sosialnya dengan dan dalam kondisi
sehat.

A. Bidang Ekonomi
1. Pengantar
Standar sejahtera bagi Orang Asli Papua hingga belum ditentukan
prasyarat minimalnya berdasarkan perkembangan status ekonomi nasional dan
global. Kalau dalam pandangan budaya Orang Asli Papua standar sejahtera
adalah tersedianya makanan yang cukup, pakaian yang cukup, dan tersedianya
rumah tinggal.
Namun, standar minimal yang diharapkan oleh Orang Asli Papua
berdasarkan perubahan jaman yang terjadi di Tanah Papua, maka standar
minimal sejahtera bagi Orang Asli Papua adalah income per kepala keluarga
minimal mencapai Rp. 4.000.000;, adanya rumah sehat untuk tiap keluarga, dan
anggota keluarga bebas buta aksara dan angka.
Dalam rangka mewujudkan standar harapan itu pun timbul begitu banyak
persoalan yang sangat krusial dibidang ekonomi kerakyatan. Bahkan Orang Asli
Papua berpendapat, bahwa kota-kota yang berkembang pesat di Tanah Papua
merupakan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi kaum migran di Tanah
Papua, sementara Orang Asli Papua hanya menjadi obyek dari proses
pertumbuhan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, beberapa gagasan yang
dianggap masalah dan harapan Orang Asli Papua dapat dirumuskan pada bagian
berikut.

2. Deskripsi Bidang Ekonomi


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Ekonomi
1) Rendahnya jiwa kewirausahaan dan penguasaan bisnis karena proteksi
afirmatif tidak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
se-Tanah Papua.
2) Lemahnya infrastruktur pendukung usaha.
3) Lemahnya sumber daya manusia, aspek produksi, manajemen,
permodalan dan investasi, akses pasar, akses informasi, teknologi dan
desain, dan daya saing.
4) Sentra produksi komoditi unggulan yang ditangani Orang Asli Papua
belum berkembang.
5) Tidak dilakukan pemberdayaan ekonomi kerakyatan secara khusus
terhadap Orang Asli Papua.
6) Tidak tersedia kemudahan “peluang dan jaminan kredit” pada bank-bank
di Tanah Papua bagi Orang Asli Papua, bahkan “nilai keraguan” untuk
memberi kredit menjadi persepsi negatif untuk tidak memberikan
kemudahan dalam melakukan kredikit usaha.
7) Tingkat kepercayaan dari bank-bank terhadap pengusaha Orang Asli
Papua sangat rendah dan sangat lemah, sehingga standar kriteria yang
ditentutkan oleh bank-bank tidak dapat dicapai oleh Orang Asli Papua.

39
8) Belum tersedianya regulasi yang menjamin usaha dan sumber usaha
Orang Asli Papua selama ini.
9) Alokasi dana Otonomi Khusus untuk bidang ekonomi kerakyatan di Papua
tidak jelas dalam peruntukannya.
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus
Di Bidang Ekonomi
1) Diharapkan terjadi pertumbuhan wirausaha Orang Asli Papua.
2) Diharapkan terjadi peningkatan produktivitas pelaku usaha Orang Asli
Papua dibidang, yaitu KUKM, IK, IM, IB.
3) Diharapkan terjadi kegiatan ekonomi Orang Asli Papua memberi
sumbangan sektor industri, perdagangan, koperasi dan UKM dalam
pembentukan Produk Domestik Bruto.
4) Diharapkan pengusaha Orang Asli Papua melakukan aktivitas ekspor
dengan nilai ekspor atas produk-produknya.
5) Diharapkan Orang Asli Papua mempunyai kemampuan berinvestasi.
6) Jumlah koperasi aktif, melaksanakan rat dengan proporsi dari koperasi
aktif, dan volume usaha koperasi rata-rata meningkat per tahunnya.
7) Diharapkan tersedianya “Lembaga Penjaminan Kredit” untuk Orang Asli
Papua.
8) Diharapkan tersedianya jaminan regulasi delegatif dari Undang-Undang
Otonomi Khusus di bidang ekonomi Orang Asli Papua.
9) Diharapkan adanya kejelasan dan kepastian mengenai nilai atau
prosentase alokasi dana Otonomi Khusus di bidang ekonomi kerakyatan.
10)Diharapkan terjadi dialog Jakarta-Papua mengenai masalah-masalah
Orang Asli Papua khususnya bidang ekonomi.

3. Kesimpulan Bidang Ekonomi


Standar “sejahtera” bagi Orang Asli Papua tidak hanya bersifat
“wacana”, “imajinatif”, dan “pernyataan” dalam perspektif politik saja, tetapi
haruslah diwujudkannyatakan menjadi kenyataan dalam kehidupan Orang
Asli Papua. Solusi untuk mencapai standar sejahtera adalah melalui
dukungan regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus dan
kebijakan politik dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah
Papua.
Dalam rangka mengimplementasikannya masalah-masalah ekonomi
sebagai solusi yang afirmatif maka dibutuhkan perlindungan, keberpihakan,
dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang diberi tempat khusus dalam
pembuatan kebijakan ekonomi di Tanah Papua.

B. Bidang Infrastruktur
1. Pengantar
Sejak masa perdana aneksasi Orang Asli Papua kedalam Negara Republik
Indonesia sudah mempersoalkan masalah infrastruktur. Sejak tahun 1970
sampai dengan 2013 tidak sedikit kekayaan Orang Asli Papua yang diambil oleh

40
Negara Republik Indonesia. Pengambilan kekayaan Orang Asli Papua itu tidak
setara dengan nilai yang ditinggalkan dalam bentuk infrastruktur.
Infrastruktur yang sudah dibangun saja masih memperlihatkan kondisi
rusak, tidak ada perawatan berkelanjutan dan ditinggalkan begitu saja, karena
kawasasan tertentu tidak lagi menghasilkan komoditi yang menguntungkan bagi
pengusaha tertentu.
Anehnya lagi, selama masa-masa pengambilan sumber daya alam Papua
itu juga tidak dilakukam pemberdayaan Orang Asli Papua di wilayah eksploitasi
sehingga pasca eksploitasi kondisi kehidupan sosial ekonomi dan budaya
masyarakat hukum adatnya tidak memperlihatkan peningkatan atau tidak
terjadi perubahan yang signifikan. Berbeda dengan ibukota atau pusat-pusat
Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, dimana jalan-jalan, jembatan, bangunan
publik, dan kendaraannya sangat padat dan secara terus-menerus terjadi
peningkatan kondisi infrastrukturnya. Oleh karena itu, beberapa masalah dan
harapan yang diungkapkan oleh Orang Asli Papua dapat dijabarkan dalam
beberapa poin berikut ini.

2. Deskripsi Bidang Infrastruktur


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Infrastruktur
1) Kegiatan pelaksanaan pembangunan dibidang infrastruktur seperti jalan,
jembatan, dan kendaraan tidak mengalami pertumbuhan dan
peningkatan secara merata diseluruh Tanah Papua;
2) Kegiatan pelaksanaan pembangunaa dibidang infrastruktur fasilitas
umum, seperti perumahan rakyat, pasar, rumah
sakit/Puskesmas/Puskesmas Pembantu, sekolah (SD, SMP, SMA, PT),
jalan, pelabuhan, lapangan terbang, air bersih, listrik, telepon,
persampahan tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya.
3) Perhitungan jangka waktu bertahannya sebuah bangunan infrastruktur
tertentu paling lambat lima tahunan, sehingga tiap kali ganti pemimpin
daerah baru maka program infrastruktur yang sama juga diprogramkan
ulang, sehingga jenis infrastruktur lain yang seharusnya dibangun
terabaikan karena membangun bangunan yang sama dari waktu ke
waktu.
4) Kegiatan pembangunan dibidang infrastruktur harus dilakukan
menggunakan sumber DAU dan bukan lagi bersumber dari dana Otonomi
Khusus.
5) Pengusaha Orang Asli Papua yang bergerak dibidang infrastruktur
terbatas atau sangat kurang maka perlu perlindungan dan keberpihakan
pada pengusaha Orang Asli Papua di Papua.
6) Pemberdayaan pengusaha Orang Asli Papua harus bersumber dari Dana
Otonomi Khusus.
7) Kemampuan dalam perspektif kepemilikan kendaraan roda empat atau
lebih bagi Orang Asli Papua sangat kurang.
8) Belum tersedianya regulasi delegatif dibidang infrastuktur dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Tanah Papua.

41
9) Alokasi dana Otonomi Khusus di bidang infrastuktur sangat tinggi, tetapi
pertumbuhannya tidak setinggi nilai dana yang dialokasikan untuk bidang
infrastruktur.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus


Di Bidang Infrastruktur
1) Diharapkan terjadinya pertumbuhan dan peningkatan semua jenis
fasilitas umum, seperti: jalan, jembatan, kendaran, perumahan rakyat,
pasar, rumah sakit/Puskesmas/Puskesmas Pembantu, sekolah (SD, SMP,
SMA, PT), jalam, pelabuhan, lapangan terbang, air bersih, listrik, telepon,
persampahan di Papua dengan menggunakan dana DAU.
2) Diharapkan Orang Asli Papua bisa menjadi pelaku (sebagai investor dan
pegawainya) dibidang pembangunan Infrastruktur.
3) Diharapkan adanya perawatan berkelanjutan terhadap semua fasilitas
umum yang sudah dibangun.
4) Diharapakan standar mutu dari bangunan infrastruktur tertentu bertahan
dalam jangka waktu yang lebih lama, yaitu sekali bangun bertahan hingga
50 tahun kedepan atau lebih tahun.
5) Diharapkan tersedianya regulasi delegatif dari pelaksanaan Undang-
Undang Otonomi Khusus dibidang infrastruktur.
6) Diharapkan dilakukannya dialog Jakarta-Papua dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

1. Kesimpulan Bidang Infrastruktur


Manajemen dalam rangka pelaksanaan jenis infrastruktur tertentu
haruslah diperhitungkan jangka waktu bertahannya sebuah hasil pembangunan.
Dalam perspektif masyarakat Orang Asli Papua memproyeksikan, bahwa sebuah
bangunan tertentu sedapat-dapatnya bisa bertahan selama 50 tahun kedepan
atau lebih tahun terhitung sejak waktu dibangun.
Sementara pembangunan infrastruktur di Papua bertahan paling lambat
lima tahunan. Kondisi ini sangat merugikan pembangunan infrastruktur di
seluruh Tanah Papua, khususnya di kampung-kampung atau dipelosok-pelosok.
Kiranya perspektif “bodoh” ini dapat diubah menjadi perspektif “cerdas”, yaitu
sekali bangun untuk jangka waktu yang lama dengan perawatan yang
berkelanjutan.

C. Bidang Politik Dan Pemerintahan


1. Pengantar
Selama ini Undang-Undang Otonomi Khusus dianggap “tidak ada”, “tidak
berlaku”, dan “gagal” karena alasan politik dan pemerintahan. Diketahui sejak
awal aneksasi Papua menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia terjadi
berbagai strategi pembungkaman terhadap sejarah dan status politik.
Dalam perpesktif lain, pemerintahan berjalan ditempat dalam rangka
“menjamin kekuasaan” terhadap Orang Asli Papua dan Tanah Papua. Oleh karena

42
itu, berbagai kendala dalam bidang politik dan pemerintahan berlaku secara
berkelanjutan, baik secara terbuka maupun secara terselubung.
Aparatur pemerintah memerankan politik makelar, ketika didepan publik
Orang Asli Papua berpendapat, ingin mempertahankan NKRI, sebaliknya ketika
bertemu pejabat negara di Jakarta berpendapat, bahwa ingin merdeka kalau
“kondisi happy-nya” dirong-rong oleh Jakarta.
Oleh karena itu, diantara Orang Asli Papua lahir berbagai persoalan yang
sangat krusial dan tidak terselesaikan. Justru karena bidang politik dan
pemerintahan yang tidak efektif dan efisien inilah timbul berbagai persoalan
yang sangat berat dan masalahnya bertahan sampai masa sekarang. Pada bagian
berikut ini diuraikan kondisi peroalan dan harapan Orang Asli Papua mengenai
bidang politik dan pemerintahan di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Otonomi Khusus.

2. Deskripsi Bidang Politik dan Pemerintahan


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Politik dan Pemerintahan
1) Faktor normatif yang tidak efektif karena kepentingan yang berbeda
antara Jakarta dan Papua.
2) Faktor keuangan daerah dan pertanggungjawab yang kurang transparan
dan akuntabel.
3) Faktor kebijakan nasional yang tidak efektif bagi kehidupan Orang Asli
Papua.
4) Faktor Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak menghargai dan tidak
memahami Undang-Undang Otonomi Khusus.
5) Faktor kepentingan politik tertentu mengorbankan aspek-aspek strategis
lain.
6) Faktor Aparatur Pemerintahan Daerah yang tidak mewujud-nyatakan
kewenangan yang diberikan.
7) Lembaga Kultural Majelis Rakyat Papua tidak mampu mengintervensi
secara politik karena keterbatasan kewenangan yang dimilikinya, yang
dilanjutkan dengan pemecahbelahan Majelis Rakyat Papua menjadi dua.
8) Tidak tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan politik khusus dari
alokasi dana Otonomi Khusus selama ini.
9) Terjadinya pembungkaman terhadap “upaya pelurusan dan penjernihan
sejarah politik” Orang Asli Papua oleh Pemerintah Pusat selama ini.
10)Terjadinya strategi politik khusus untuk memfilter berbagai usaha politik
Orang Asli Papua yang berakibat pada meningkatnya pelanggran HAM di
Tanah Papua.
11)Pemerintah Provinsi secara sengaja menutup diri terhadap tuntutan
“segera” membentuk Perdasi-Perdasus dimana jumlahnya sudah jelas dan
pasti (Perdasi sebanyak 18 buah sementara Perdasus sebanyak 11 buah).
12)Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak
berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan
menimbulkan banyak polemik.

43
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus
Di Bidang Politik dan Pemerintahan
1) Diharapkan memperbaharui atau mengamandemen Undang-Undang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang Otonomi
Khusus Bagi Tanah Papua sesudah melakukan dialog.
2) Membuat “dengan segera” semua Perdasi-Perdasus yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Tanah Papua hasil
amandemen.
3) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat
dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua
untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap
mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua
dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.
4) Diharapkan melaksanakan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh
pihak ketiga yang netral dan dilakukan ditempat yang netral.

3. Kesimpulan Bidang Politik dan Pemerintahan


Letak keseluruhan masalah Orang Asli Papua dengan Jakarta terletak
pada bidang politik dan pemerintahan maka sebaiknya segera diambil solusi
strategis dalam rangka memecahkan masalah-masalah perpolitikan dan
pemerintahan di Tanah Papua.
Dengan demikian, impian Jakarta dengan Orang Asli Papua untuk
berdamai secara demokratis agar terjadi penghargaan dan penghormatan
terhadap derajat dan martabat kemanusiaan manusia segera akan terwujud.

D. Bidang Hukum
1. Pengantar
Tujuan dari pemberian Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah
memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua (kemudian
termasuk Provinsi Papua Barat) dan Orang Asli Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri dalam kerangka negara kesatuan untuk mewujudkan
kemakmuran bagi Orang Asli Papua, untuk dapat mengatur pemanfaatan
kekayaan alam, dan terjadinya pemanfaatan potensi sosial budaya dan ekonomi
Orang Asli Papua.
Namun secara normatif beberapa pasal, ayat dan huruf dalam Undang-
Undang Otonomi Khusus Papua melahirkan berbagai problematika karena
terjadi kondisi serampangan dan tabrakan antara Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua dan Undang-Undang sektoral lainnya. Selain itu, timbul berbagai
problematika dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus di
Papua karena ketidakjelasan dan keterbatasan kewenangan yang dimaksudkan
dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, apalagi istilah hukum yang menjadi
virus dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah istilah “Perundang-
Undangan”. Kondisi demikian diikuti oleh aktor pelaksana Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua yang tidak memahami Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua secara baik dan benar.

44
Oleh karena itu, dalam bagian berikut ini diidentifikasi beberapa
persoalan dan harapan yang harus diberi perhatian tatkala hendak
mengamandemen Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada masa
mendatang sesudah melakukan proses Dialog Jakarta-Papua.

2. Deskripsi Bidang Hukum


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Hukum
1) Masih terdapat ketidakjelasan mengenai makna, hubungan, dan tujuan
dari norma-norma yang terdapat dalam Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua.
2) Belum jelas dan terbatasnya kewenangan yang bersifat khusus yang
dimaksudkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
3) Masih bersifat kabur batasan mengenai kewenangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah dalam berbagai bidang pemerintahan.
4) Masih belum jelas dan bersifat kabur mengenai pola hubungan
kewenangan antar Provinsi dan Kabupaten/Kota dan kejelasan
kewenangan khusus antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua dalam
pelaksanaan Otonomi Khusus.
5) Ketidakjelasan mengenai eksistensi Pemilihan Kepala Daerah dan
lembaga penyelenggaranya di Papua.
6) Terjadinya ketidakjelasan kewenangan lembaga adat dan eksistensi
kampung asli Papua dengan hierarki struktural pemerintahan kampung
negara yang masuk sampai di kampung-kampung asli Papua.
7) Tidak terjadinya perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat di
Papua beserta hak-hak dasarnya.
8) Belum terjadinya kejelasan dan penguatan terhadap tugas, wewenang,
dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua.
9) Belum adanya kejelasan pengaturan mengenai tugas, wewenang, dan
fungsi Majelis Rakyat Papua dan pola hubungannya dengan pemerintah
provinsi dan pemerintah Kota/Kabupaten dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
10)Belum adanya kejelasan pengaturan mengenai tugas, wewenangan, dan
fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan pola hubungannya dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabuapten/Kota dalam
penyelenggaraan otonomi khusus.
11)Belum adanya dana khusus untuk mengelolah bidang hukum Adat Papua
dan lembaga hukum lainnya di Papua.
12)Masih terdapat istilah hukum yang melahirkan kondisi rancu yaitu istilah
“perundang-undangan”.
13)Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak
berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan
menimbulkan banyak polemik.

45
3. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus
Di Bidang Hukum
1) Diharapkan adanya keterperincian dan kejelasan Undang-Undang
Otonomi Khusus serta dibutuhkannya kewenangan eksekutor Pemerintah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua,
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.
2) Diharapkan Undang-Undang Otonomi Khusus diamandemen oleh Orang
Asli Papua setelah melalui proses Dialog Jakarta-Papua.
3) Diharapkan adanya alokasi dana khusus untuk penegakkan Pengadilan
Adat, Hakim Adat, Hukum Adat dan Lembaga Adat di Tanah Papua.
4) Diharapkan agar penggunaan istilah hukum yang disebut “perundang-
undangan” dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang
diamandemen tidak boleh lagi digunakan.
5) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat
dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua
untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap
mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua
dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.
6) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua secara damai untuk mencapai
suatu solusi afirmatif bagi Orang Asli Papua dan Jakarta.

1. Kesimpulan Bidang Hukum


Oleh karena dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua terdapat
norma-norma yang tidak jelas dan terbatas kewenangannya, yang membawa
dampak langsung pada tataran implementatif yang tidak sesuai dengan norma
dan peraturan Undang-Undang Otonomi Khusus, dan ketidakjelasan dan
ketidakpastian mengenai luas dan sempitnya kewenangan yang diberikan
kepada Orang Asli Papua melalui Undang-Undang Otonomi Khusus Papua itu.
Dengan mengacu kepada kondisi normatif dan kondisi implementatif dari
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua saja sejak awal sudah tercium, bahwa
ketidakjelasan norma dan ketidakpastian kewenangan dalam Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua akan membawa dampak buruk, sehingga jelas terbukti
pada tahun 2005 Orang Asli Papua telah mengembalikan Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua dalam paket “peti orang mati” (mayat Otonomi Khusus).

E. Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat


1. Pengantar
Kekhususan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ketika disahkan
oleh Presiden Megawati Sukarno Putri dianggap, diandaikan, dan dipandang
terdapat dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat Papua. Lembaga adat, hak-
hak dasar Orang Asli Papua, harkat dan martabat mannusia Orang Asli Papua,
dan berlangsungnya kehidupan kebudayaan dan adat istiadat dapat terjadi
sebagai “kekhususan” yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
di Papua.

46
Namun dalam implementasinya berjalan kearah yang berlainan. Terjadi
begitu banyak tindakan dan kebijakan yang berusaha menghilangkan aspek
kekhususan dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat di Tanah Papua. Oleh
karena itu, timbul berbagai masalah dan harapan dibidang kebudayaan dan adat
istiadat yang dideskripsikan sebagai berikut.

2. Deskripsi Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat
1) Belum secara sungguh-sungguh dan implementatif Pemerintah Provinsi
Papua dan Pemerintah Pusat mengakui, menghormati, melindungi,
memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
2) Hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum
adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan tidak diakui, tidak hormati, tidak dilindungi sebagai suatu
kewajiban oleh Pemerintah Provinsi yang ada.
3) Tidak adanya pelaksanaan hak ulayat yang dilakukan oleh penguasa
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan
hukum adat setempat, karena penghormatan dan pengakuan serta
perlindungan dari pihak Pemerintah dan pihak ketiga, sebaliknya,
mereka berstrategi untuk menghilangkan atau mengambil alih hak-hak
masyarakat hukum adatnya.
4) Terjadinya spekulasi dan manipulasi politik terhadap tanah ulayat dan
tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk berbagai
keperluan dan pendekatan yang dilakukan melalui musyawarah dengan
masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan
maupun imbalannya merupakan upaya terselubunga dari pertimbangan
lain yang biasanya tidak diungkapkan dalam musyawarah yang
dimaksudkan.
5) Belum adanya pemberian mediasi aktif dari Pemerintah Provinsi dalam
usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan
secara adil dan bijaksana, sehingga seringkali terjadi sengketa tanah
secara terus-menerus.
6) Belum adanya perlindungan afirmatif terhadap hak kekayaan intelektual
Orang Asli Papua dari Pemerintah Provinsi.
7) Adanya intervensi secara sengaja terhadap lembaga adat asli Papua
dengan cara membentuk Lembaga Adat “boneka” bikinan Pemerintah
Pusat.
8) Adanya sifat provokatif dalam masyarakat hukum adat oleh Aparat
Pemerintahan Kampung, sehingga kelestarian nilai budaya Papua terkikis
dari waktu ke waktu.
9) Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak
berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan
menimbulkan banyak polemik.

47
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus
Di Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat
1) Diharapkan agar secara sungguh-sungguh dan implementatif Pemerintah
Provinsi Papua mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada
ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
2) Diharapkan adanya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan
afirmatif terhadap hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat
masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan sebagai suatu kewajiban oleh Pemerintah
Provinsi yang ada.
3) Diharapkan adanya kebebasan kultural dalam pelaksanaan hak ulayat
yang dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat dengan
memberi penghormatan dan pengakuan serta perlindungan dari pihak
Pemerintah dan pihak ketiga.
4) Diharapkan tidak lagi terjadi spekulasi dan manipulasi politik terhadap
tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk
berbagai keperluan dan pendekatan yang dilakukan melalui musyawarah
dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan
maupun imbalannya bukan lagi merupakan upaya terselubunga dari
pertimbangan tertentu yang biasanya tidak diungkapkan dalam
musyawarah yang dimaksudkan.
5) Diharapkan semua tanah Adat menjadi Hak Milik Adat sebagaimana
warisan Leluhur Perdana Manusia Papua dengan mengambil alih kembali
semua Tanah yang sudah terjual sebagai akibat “intervensi” dan segera
diberlakukan Sistem Kontrak tanah atau bangunan.
6) Diharapkan adanya pemberian mediasi aktif dari Pemerintah Provinsi
atau Dewan Adat Papua dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat
di Tanah Papua.
7) Diharapkan adanya perlindungan afirmatif terhadap hak kekayaan
intelektual Orang Asli Papuadari Pemerintah Provinsi dan dari Dewan
Adat Papua.
8) Diharapkan tidak adanya intervensi secara sengaja terhadap lembaga adat
asli Papua dan segera membubarkan Lembaga Adat “boneka” bikinan
Pemerintah Pusat di seluruh Tanah Papua.
9) Diharapkan pemerintahan adat saja yang bekerja di kampung-kampung
Tanah Papua, sebaliknya kepala kampung dan aparatnya dibubarkan.
10)Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat
dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua
untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap
mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua
dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.
11)Diharapkan segera dilakukan dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh
pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan ditempat yang netral.

48
3. Kesimpulan Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan, bahwa
kekhususan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjadi tidak jelas dan
tidak pasti karena keterbatasan kewenangan, intervensi Pemerintah yang sangat
kuat atas bidang kebudayaan dan adat istiadat, dan aktor eksekutor Undang-
Undang Otonomi Khusus Papua yang melalaikan terjadinya kondisi-kondisi yang
dipermasalahkan oleh Orang Asli Papua.
Dengan demikian, diharapkan menciptakan kondisi sebaliknya dari
kondisi masa sekarang agar harapan Orang Asli Papua dalam bidang kebudayaan
dan adat istiadat dapat diimplementasikan oleh para aktor eksekutor Undang-
Undang Otonomi Khusus Papua yang akan diamandemen sesudah melalui tahap
dialog Jakarta-Papua.

F. Bidang Sosial
1. Pengantar
Dalam kehidupan makhluk manusia selalu timbul masalah sosial. Masalah
sosial terjadi karena ketidakterwujudan nilai sejahtera yang seharusnya
diperoleh dan dinikmati oleh manusia tertentu. Lagi pula nilai sejahtera itu
diperoleh dan dinikmati oleh manusia tertentu ketika diperoleh dan
dinikmatinya nilai-nilai tertentu.
Standar nilai yang harus diperoleh dan dinikmati oleh Orang Asli Papua
dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah
kemampuan untuk mengatur masalah-masalah sosial, kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan memiliki kemampuan untuk
mengakses berbagai kesempatan yang ada dalam meningkatkan taraf hidupnya.
Namun dalam kenyataan timbul berbagai masalah dan harapan Orang
Asli Papua yang dapat dirumuskan sebagai berikut ini.

2. Deskripsi Bidang Sosial


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Sosial
1) Adanya masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, penyakit hiv/aids,
alkoholik, prostitusi, narkoba, kecacatan, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), anak jalanan, keterlantaran, kriminalitas, konflik sosial,
kenakalan remaja, penyakit mental, putus sekolah, suku terasing,
pemukiman kumuh, sampah, kerawanan daerah, pengangguran, migransi,
perempuan rawan ekonomi, urbanisasi, bencana alam, buta huruf, dan
sistem nilai dan sikap sosial masyarakat yang kurang mendukung
pembaharuan dan pembangunan.
2) Rendahnya komitmen sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial
secara konsisten dan berkelanjutan.
3) Tidak tersedianya tenaga profesional dibidang kesejahteraan sosial.

49
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus
Di Bidang Sosial
1) Diharapkan masyarakat sejahtera dalam hal kepemilikan materi, dan juga
sejahtera dalam hal kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial, mampu memenuhi kebutuhan sosialnya, dan terbukanya peluang
memperoleh akses secara luas bagi pengembangan potensi sosial.
2) Diharapkan terciptanya komitmen bersama untuk mengatasi masalah
sosial melalui mekanisme pelayanan sosial.
3) Diharapkan memiliki komitmen sosial yang tinggi bagi semua stakeholder
secara berkelanjutan.
4) Diharapkan tersedianya pekerja sosial profesional.
5) Diharapkan tersedianya alokasi dana untuk penanggulangan masalah-
masalah sosial.
6) Oleh karena begitu banyak masalah sosial di Tanah Papua maka
diharapkan dilaksanakan segera Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi
oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula.

3. Kesimpulan Bidang Sosial


Kerumitan dalam menyelesaikan masalah tertentu menjadi makin sulit
terutama karena timbul berbagai masalah sosial dari waktu ke waktu. Masalah
sosial timbul karena Orang Asli Papua tidak sejahtera.
Ketika Pemerintah berinisiatif untuk mensejahterahkan Orang Asli Papua
menurut berat ringannya persoalan yang dihadapi oleh Orang Asli Papua, maka
solusi penyelesaiaan yang bermartabat dan sangat manusiawi adalah melalui
proses dialog Jakarta-Papua untuk mencapai solusi kesejahteraan yang
diinginkan oleh Orang Asli Papua dan Jakarta.

G. Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan


1. Pengantar
Dalam kehidupan manusia tiga hal terjadi secara wajar dan berkelanjutan.
Ketiga hal yang dimaksudkan itu adalah kelahiran, kematian, dan migrasi.
Kelahiran terjadi karena proses perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Kematian terjadi karena alasan penyakit, tua, atau karena kondisi tidak alami
ketika melahirkan anak dan atau karena masalah sosial tertentu. Migrasi terjadi
karena faktor pendorong atau faktor penghambat tertentu yang dialami oleh
orang tertentu.
Oleh karena menjalani kehidupan adalah hal wajar yang harus terjadi
maka timbul berbagai masalah ketenagakerjaan di Tanah Papua. kalau mau jujur
saja, seandainya populasi penduduk di Tanah Papua itu hanya ditempati oleh
Orang Asli Papua maka semua masalah ketenagakerjaan itu dapat diatasi dengan
mudah. Namun kondisi heterogenitas yang tinggi maka tiap waktu terjadi
masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pada bagian berikut
ini diuraikan beberapa masalah dan harapan di bidang Kependudukan dan
Ketenagakerjaan.

50
2. Deskripsi Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan
a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan
1) Populasi penduduk di Papua antara migran dan Orang Asli Papua tidak
seimbang, yaitu 60:40. Jadi, migran menjadi mayoritas penduduk Papua.
2) Terjadi peningkatan rasio masuknya penduduk migran ke Papua secara
tidak terkontrol.
3) Kemampuan proteksi yang lemah dari Pemerintah Provinsi dihubungkan
dengan argumentasi pengalihan untuk membela diri, seperti lemahnya
sumber daya manusia, kurangnya alokasi dana, keterisolasian daerah,
lemahnya partisipasi penduduk, dan tidak bisa dilakukannya sosialisasi
Perdasi/Perdasus kependudukan.
4) Terciptanya jumlah tenaga kerja tinggi yang tidak dibarengi dengan
ketrampilan kerja yang memadai.
5) Terbatasnya kesempatan kerja;
6) Kurangnya kesejahteraan pekerja;
7) Keselamatan dan kesehatan kerja yang kurang diberi perhatian;
8) Tingginya kasus-kasus hubungan industrial;
9) Rendahnya produktivitas;
10)Belum diimplementasikannya Raperdasi ketenagakerjaan;
11)Belum adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antara Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah Papua.
12)Lemahnya program pengawsan ketenagakerjaan.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus


Di Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan
1) Diharapkan populasi penduduk migran ditarik kembali ke luar Papua
sebanyak 40% dari jumlah migran yang ada di Papua agar Orang Asli
Papua tetap menjadi mayoritas dan tetap menjadi Tuan.
2) Diharapkan segera menciptakan sistem kontrol penduduk Orang Asli
Papua dan migran agar rasio Orang Asli Papua tetap menjadi mayoritas.
3) Diharapkan menciptakan kemampuan proteksi yang kuat dari
Pemerintah Provinsi dan tidak lagi menggunakan argumentasi pengalihan
untuk membela diri.
4) Diharapkan terciptanya jumlah tenaga kerja tinggi yang dibarengi dengan
ketrampilan kerja yang memadai.
5) Diharapkan meningkatnya kesempatan kerja;
6) Diharapkan kesejahteraan pekerja meningkat;
7) Diharapkan keselamatan dan kesehatan kerja yang diberi perhatian
serius;
8) Diharapkan berkurangnya kasus-kasus hubungan industrial;
9) Diharapkan meningkatnya produktivitas;
10)Diharapkan diimplementasikannya Raperdasi ketenagakerjaan;
51
11)Diharapkanadanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi mengenai
kependudukan dan ketenagakerjaan antara Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota se-Tanah Papua.
12)Diharapkan meningkatnya program pengawasan ketenagakerjaan.
13)Diharapkan segera dilaksanakan dialog Jakarta-Papua untuk
menyelesaikan masalah-masalah kependudukan dan ketenagakerjaan di
Tanah Papua.

3. Kesimpulan Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan


Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukan diatas dapat disimpulkan,
bahwa terjadinya kondisi depopulasi di Tanah Papua segera diambil sikap
bijaksana untuk mengatasi persoalan-persoalan kependudukan dan
ketenagakerjaan.
Dengan demikian, pertumbuhan pendudukan dapat diatasi secara wajar
dan terkendali dengan bertitik tolak pada pertumbuhan dan perkembangan
populasi Orang Asli Papua. karena selama ini titik tolak pengukuran penduduk
berdasarkan pertumbuhan Manusia Melayu, dan bukan Manusia Melanesia.

H. Bidang Lingkungan
1. Pengantar
Lingkungan merupakan faktor penentu bagi kehidupan makhluk hidup
termasuk manusia. Lingkungan hidup Papua dan Manusia Papua sudah menjadi
satu kesatuan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Keanekaragaman kebudayaan
di Papua sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidup yang ada
disekitarnya, sehingga diketahui, bahwa lingkungan alam Papua membentuk ciri
atau karater kebudayaan yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Kondisi bisa
tercipta secara kebalikan, yaitu manusia Papua membentuk lingkungan alamiah
menjadi kebudayaan, sehingga kebudayaan suku bangsa yang satu berbeda
dengan kebudayaan suku bangsa yang lain.
Kemudian terciptalah masyarakat hukum adat dengan lingkungan alam,
budaya, ekonomi, dan sosial yang sangat berbeda menurut suku bangsanya.
Berbagai keragaman dapat ditemukan, misalnya arsitektur rumah Papua yang
sangat berbeda menurut suku, honai [Suku-suku bangsa Dani, Lani, Nduga,
Migani, Damal, dan Amungme], Kariwari [Suku-Suku Bangsa Sentani, Enggros,
Tobati, Nafri, Tepera, Kemtuk, Kleisi, Namblong], Owaa [Suku Bangsa Mee], dan
lain-lain.
Dalam kondisi kuatnya hubungan dan ikatan antara lingkungan Papua
dan Orang Asli Papua itu terciptalah “kepentingan ekonomi” karena ternyata
lingkungan alam Papua mengandung potensi alam yang sangat dasyat
kekayaannya. Oleh sebab itu, kepentingan ekonomi bertalian dengan
kepentingan politik maka terjadi berbagai ketimpangan, sehingga timbul
sindiran “memalukan”, bahwa Orang Asli Papua mempunyai kekayaan alam raya,
tetapi standar IPM dalam rendah. Kondisi ini bisa dianggap aneh tapi nyata,
bahwa kemiskinan mencapai 41,8%, buta aksara mencapai 74,4%, dan kematian
bayi mencapai 50.5 tiap harinya. Kondisi ini bersifat paradoksial karena Tanah
Papua adalah tempat yang memiliki sumber daya alam terkaya dan mempunyai
GDRP nomor 4 sesudah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Provinsi Kalimantan
52
Timur, dan Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, berbagai masalah dalam
bidang lingkungan Papua dapat dirumuskan sebagai berikut:

2. Deskripsi Bidang Lingkungan


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Lingkungan
1) Belum tersedianya ilmu pengetahuan Orang Asli Papua mengenai
kearifan lokal dalam hal perlindungan sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati.
2) Belum adanya sosialisasi dan upaya mengimplentasikan mengenai
regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus dibidang
lingkungan, khusunya mengenai upaya pengembangan norma-norma
kearifan lokal.
3) Belum adanya upaya penguatan terhadap pengelolaan hutan berbasis
kearifan lokal.
4) Belum adanya kesadaran dari pihak pemerintah dan pihak ketiga yang
memanfaatkan lingkungan alam tertentu milik suku bangsa tertentu,
bahwa lingkungan alam tersebut berada dalam kesatuan ikatan dan relasi
yang kuat, sehingga diperlukan melakukan langkah-langkah strategis
tertentu untuk melestarikan lingkungan alam yang ada sesuai dengan
pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Sebab program dan
kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukannya ada BBP yang
bertentangan dengan kearifan lokal.
5) Selama ini Pemerintah dan pihak ketiga berperan sebagai pemutus
hubungan masyarakat hukum adat dengan lingkungan alamnya dan hadir
juga sebagai penghancur nilai-nilai budaya yang berperanan untuk
melestarikan lingkungan alam berbasis kearifan lokal. Oleh karena itu,
generasi mendatang tidak lagi melestarikan lingkungan alam berbasis
kearifan lokal, sebaliknya mementingkan kepentingan ekonomi dan
politis semata.
6) Kehadiran berbagai perusahaan di Tanah Papua belum memberikan
dampak afirmatif kepada Orang Asli Papua, karena tingkat IPM sangat
rendah. Didalamnya termasuk rendahnya komitmen, konsistensi, dan
kontinuitas dari perusahaan untuk melakukan perbaikan dan rehabilitasi
berbagai kerusakan lingkungan yang dihasilkannya. Kondisi itu diikuti
dengan rendahnya supremasi penegakkan humum untuk tujuan
pelestarian lingkungan alam.
7) Standar perijinan perusahaan dan standar ijin pembangunan tidak diikuti
dengan ketaatan terhadap komitmen perusahaan, dimana ini masih
sangat rendah. Terdapat pula banyak perusahaan di Papua menjalankan
operasinya tanpa didahului dengan persetujuan AMDAL oleh semua pihak
termasuk masyarkat adatnya. Hal ini dilatarbelakangi atau dimotivasi
oleh kepentingan investasi atau ekonomi yang bersinergi dengan
kepentingan politik yang lebih diberi perioritas.
8) Penataan tata ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun oleh pihak
pemerintah saja tanpa melibatkan masyarakat adat yang mempunyai hak-
hak dasar atas lingkungan alam. Pihak penyusun RT/RW bersifat tertutup

53
kepada masyarakat adat selama melakukan penyusunan dan membuat
heran atau kaget ketika melakukan publikasi. Sebab memang diketahui,
bahwa penentuan batas wilayah administratif itu dilakukan tidak dengan
atau dengan tidak mempertimbangkan batas wilayah adat masyarakat
hukum adatnya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus


Di Bidang Lingkungan
1) Diharapkan terjaminnya keberadaan sumber daya alam dan lingkungan
Papua dalam standar kuantitas dan kualitas yang baik dan proporsional.
2) Diharapkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam dan lingkungan bagi
kehidupan Orang Asli Papua dan penguatan kaapasitas fiskal Papua
secara berkeadilan dan berkelanjutan terwujud dengan baik.
3) Diharapkan adanya pengendalian dan pengawasan kapasitas (daya
tampung dan daya dukung) dan kualitas lingkungan hidup Papua menjadi
meningkat.
4) Diharapkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup Papua dalam mengelola sumber daya alam dan
lingkungan hidup Papua menjadi meningkat.
5) Diharapkan adanya dorongan peran dan partisipasi aktif Orang Asli
Papua dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua.
6) Diharapkan standar Orang Asli Papua sebagai pemegang saham atas
sumber daya alam dalam hubungan dengan pemanfaatan setiap sumber
daya alam Papua terwujud sebagai sebuah kenyataan yang saling
menguntungkan bagi pihak-pihak.
7) Diharapkan dikengembangkannya sistem manajemen dan informasi aset
sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua.
8) Diharapkan mampu membangun perencanaan dan koordinasi antar
pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup Papua.
9) Diharapkan mampu melaksanakan penataan dan penegakkan hukum
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua,
khususnya regulasi delegatif dari kebijakan Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua.
10)Diharapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan
terwujud sebagai sebuah komitmen implementatif di Papua.
11)Diharapkan, bahwa karena berbagai kepentingan yang ada selama ini
membawa konsekuensi, bahwa Orang Asli Papua adalah “korban” dari
berbagai kepentingan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam
Papua, maka dibutuhkan “Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak
netal dan dilaksanakan ditempat netral”.

3. Kesimpulan Bidang Lingkungan


Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan,
bahwa Pemerintah dan pihak ketiga adalah “pihak yang berkepentingan

54
ekonomi dan politik”, sebaliknya Orang Asli Papua adalah “pihak yang
berkepentingan hak-hak dasar”. Selama ini Orang Asli Papua sudah menjadi
“korban” dari berbagai kebijakan di bidang lingkunga. Oleh karena itu, Orang Asli
Papua mempertimbangkan dirinya menjadi salah satu pemegang saham,
sehingga pihak Orang Asli Papua mempunyai “kepentingan hak-hak dasar,
kepentingan ekonomi, dan kepentingan politik”.

I. Bidang Keagamaan
1. Pengantar
Manusia adalah umat Tuhan Allah. Umat Tuhan Allah di tempat lain
dimuka bumi ini tersenyum manis, tetapi Orang Asli Papua yang adalah umat
Tuhan Allah di Tanah Papua bersedih dan terus menerus menangis.
Kondisi kesedihan dan tangisan Umat Tuhan Allah itu terjadi karena
sedang berlaku situasi pembunuhan terhadap Umat Tuhan Allah itu. Kondisi
macam ini tidak bisa dipertahankan sebagai suatu bentuk kewajaran dan yang
alamiah, sebaliknya kondisi tersebut harus diperbaharui dan dipertobatkan.
Sehingga Orang Asli Papua merumuskan masalah-masalah dan harapan-harapan
keagamaan sebagai berikut:

2. Deskripsi Bidang Keagamaan


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Keagamaan
1) Adanya kekerasan terhadap umat dari agama tertentu di Papua.
2) Kekerasan terjadi tiap tahun dalam berbagai bentuk, baik kekerasan fisik
maupun kekerasaan non-fisik/halus.
3) Pihak agama mendapat dukungan dana dari pemerintah, tetapi tidak
dijelaskan apa sumber dana, apakah Otonomi Khusus atau DAU kepada
pimpinan Agama di Papua.
4) Bidang agama menjadi kewenangan Pemerintah Pusat melahirkan banyak
masalah keagamaan di Papua.
5) Pertumbuhan populasi migran yang sangat tinggi melampaui populasi
Orang Asli Papua juga mempertumbuhkan jumlah rumah ibadat kaum
migran yang selalu mengganggu Orang Asli Papua dengan mikrofon yang
diperkuat dengan speaker toa diluar dan diatas bangunan rumah
ibadahnya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus


Di Bidang Keagamaan
1) Diharapkan pimpinan agama terus bersatu melawan kekerasan
sebagaimana yang terjadi selama ini;
2) Diharapkan agar mendorong umat untuk bersatu melawan kekerasan di
Tanah Papua.
3) Diharapkan adanya regulasi khusus mengenai pendirian rumah ibadat di
Tanah Papua.
4) Diharapkan bidang agama menjadi kewenangan khusus Papua.

55
5) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak
netral dan dilaksanakan di tempat netral pula.

3. Kesimpulan Bidang Keagamaan


Beribadah dan beriman akan Tuhan Allah tertentu adalah hak-hak dasar
manusiawi, tetapi menggangu umat lain karena urusan ketidaknyamanan akan
melahirkan masalah-masalah sosial yang sangat berat. Demikianlah kondisi riil
yang terjadi sebagai dampak dari kenyataan kerukunan hidup beragama yang
berjalan baik diseluruh Tanah Papua.
Berbeda dengan keprihatinan para tokoh agama karena selama ini
mereka selalu berhadapan dengan kekerasaan dan pembunuhan terhadap
umatnya. Laporan-laporan yang masuk kepada pimpinan agama membuktikan,
bahwa kehidupan para umat diancam oleh keberadaan pihak-pihak tertentu
yang dapat membawa masalah atau ancaman atas hidup atau matinya.Oleh
karena itu, para tokoh agama merekomendasikan untuk segera dilakukan “dialog
Jakarta-Papua” agar bisa dicari solusi afirmatif atas masalah tersebut.

J. Bidang Pengawasan
1. Pengantar
Pengawasan sangat dibutuhkan oleh setiap organisasi dalam rangka
jaminan akan terselengaranya efektivitas dan efisiensi serta sebagai sebuah tolak
ukur untuk melihat kinerja pelaksanaan. Hasil dari pelaksanaan fungsi
pengawasanlah yang dapat menjadi refrensi rujukan untuk melakukan tindak
lanjut tertentu bagi suatu arah perubahan yang diinginkan secara bersama-sama.
Fungsi pengawasan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua berjalan tidak menurut kehendak Undang-Undang Otonomi
Khusus, tetapi juga tidak pula menurut kehendak Orang Asli Papua. dengan
demikian timbul berbagai masalah dan harapan terhadap fungsi pengawasan
sebagaimana yang diungkapkan pada bagian berikut ini.

2. Deskripsi Bidang Pengawasan


a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Pengawasan
1) Lemahnya pengawasan terhadap kinerja aktor eksekutor Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
2) Lemahnya pengawasan terhadap lembaga-lembaga sektoral yang
strategis yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum dan peradilan
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua dan Papua Barat.
3) Lemahnya peranan masyarakat adat dan Majelis Rakyat Papua untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua dan Papua Barat.
4) Belum adanya regulasi delegatif untuk melakukan peran pengawasan
oleh para pihak.

56
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus
Di Bidang Pengawasan
1) Diharapkan terjadinya peningkatan dalam bidang pengawasan terhadap
kinerja aktor eksekutor Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat.
2) Diharapkan adanya peningkatan partisipasi pengawasan terhadap
lembaga-lembaga sektoral yang strategis yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga hukum dan peradilan sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
3) Diharapkan adanya partisipasi peranan di bidang pengawasan oleh
masyarakat adat dan Majelis Rakyat Papua untuk melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua
Barat.
4) Diharapkan adanya regulasi delegatif yang mengatur tentang pengawasan
sehingga pengawasan bisa dilakukan oleh para pihak.
5) Diharapkan segera dilakukan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh
pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan di tempat yang netral.

3. Kesimpulan Bidang Pengawasan


Berdasarkan hal-hal yang disebutkan diatas maka dapat disimpulkan,
bahwa selama ini fungsi pengawasan tidak dilkasanakan secara baik dan benar
sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Berbagai alasan yang
digunakan untuk menutupi tidak berjalannya fungsi pengawasan dapat
dipandang sebagai “pelarian atau pengalihan” terhadap tugas dan wewenang
yang seharusnya diemban oleh lembaga yang berwewenang melaksanakan
fungsi dan tugasnya.

K. Bidang Keuangan Daerah


1. Pengantar
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengenai kewenangan, dijelaskan bahwa
segala kewenangan sudah diberikan kepada Orang Asli Papua, kecuali
kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan
fiskal, agama, dan peradialan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang
ditetapkan sesuai dengan perundang-undangan. Dengan demikian, pelaksanaan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang berkaitan dengan
keuangan dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat.
Kekhususan dalam perspektif keuangan tidak ditemukan karena sifat
dasar dari urusan keuangan adalah sektoral dan sentralistis. Oleh karena itu,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua mendapat
banyak masalah dalam rangka menyelesaikan berbagai kondisi yang tercipta
diluar pengaturan regulasi keuangan yang berlaku. Dengan begitu, jelas bahwa
berbagai masalah tetap saja ada sebagai masalah yang sulit diatasi oleh
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, sehingga pada bagian
berikut ini dijelaskan mengenai beberapa masalah dan harapan Orang Asli
Papua.

57
2. Deskripsi Bidang Keuangan Daerah
a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus Di Bidang Keuangan Daerah
1) Penerimaan dana Otonomi Khusus sepanjang tahun 2002 sampai 2012
untuk Provinsi Papua sudah mencapai Rp. 28.445 triliyun dan Provinsi
Papua Barat sejak 2008 sudah mencapai 5.409 triliun, namun Orang Asli
Papua berpendapat, bahwa Otonomi Khusus Gagal.
2) Dana Otonomi Khusus dipandang sebagai kebijakan fiskal asimetris atau
desentralisasi asimetris untuk memberikan keseimbangan dan dianggap
jalan keluar terhadap masalah disintegrasi, namun belum memberikan
solusi afirmatif terhadap kemungkinan untuk disintegrasi dari Orang Asli
Papua. Walaupun selama ini oleh Pemerintah Pusat memandang, bahwa
kebijakan fiskal asimetris yang disetujuinya dilaksanakan dianggap uang
mengikuti kewenangan yang telah diberikan kepadaa daerah. Artinya,
Otonomi Khusus adalah pemberian kewenangan untuk menutupi jalan
disintegrasi.
3) Kebijakan fiskal asimetris dilakukan dalam rangka pemberian urusan
atau kewenangan ke daerah yang harus diwujudnyatakan dalam tiga
bidang penting, yaitu desentralisasi asimetris politik, desentralisasi
asimetris administrasi, dan desentralisasi asimetris fiskal, namun
pengaruh dari kewenangan sentralisasi masih mengendalikan bidang-
bidang startegis karena itu kebijakan desentralisasi tidak berjalan secara
efektif dan efisien.
4) Kebijakan fiskal asimetris kalau mau diubah maka membutuhkan regulasi
delegatif baru yang lebih bersifat rinci dan operasional berdasarkan
keinginan Orang Asli Papua, karena regulasi delegatif yang ada selama ini
lebih banyak berhubungan dengan kepentingan subyek eksekutor
tunggal, yaitu Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
5) Orang Asli Papua belum mengetahui, bahwa sumber dana dari Dana
Otonomi Khusus berasal dari 2% DAU, sehingga Orang Asli Papua
berpandangan, bahwa Dana Otonomi Khusus bersumber dari pihak
ketiga.
6) Orang Asli Papua tidak setuju dengan regulasi dana Otonomi Khusus yang
selama ini mengatur tentang “peluang pengelolaan dana DAU dan DOK
secara bersama-sama” oleh Pemerintah Provinsi karena sulit dilakukan
pengawasan dan sulit juga untuk membedakan sumber jenis dana dalam
rangka pelaksanaan sesuai keinginan dan kebutuhan Orang Asli Papua.
7) Selama ini belum ada sikap transparansi mengenai pemanfaatan atau
realisasi keuangan Otonomi Khusus oleh aktor eksekutornya.
8) Selama ini belum nampak sikap akuntabilitas dari aktor eksekutor
mengenai pemanfaatan dana Otonomi Khusus karena regulasi delegatif
yang ada tidak dipisahkan atau pengaturan mengenai DAU dan DOK
dilakukan oleh regulasi yang sama, sehingga dana DOK diatur sebagai
pasal khusus dari regulasi mengenai dana DAU. Selain itu, perencanaan
dan penganggaran dikendalikan oleh SKPD saja, pelaksanaan anggaran
Otonomi Khusus juga oleh SKPD, dan pelaporan akhir juga dari SKPD.
Oleh sebab itu, pihak-pihak luar tidak mendapat peluang uang melakukan

58
perencanaan/penganggaran, melaksanakannya, atau melakukan
pelaporan, serta tidak diberi kesempatan untuk melakukan audit
penggunaan keuangan Otonomi Khusus. Oleh karena itu, sulit
memberikan sebuah legitimasi reward yang fair atau memberikan sanksi
kepada yang melakukan penyalahgunaannya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus


Di Bidang Keuangan Daerah
1) Diharapkan agar Orang Asli Papua tidak selalu dikagetkan dengan
propaganda total nilai penerimaan Dana Otonomi Khusus yang tinggi oleh
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
2) Diharapkan, bahwa ideologi merdeka bagi Orang Asli Papua tidak
disetarakan dengan nilai dan total Dana Otonomi Khusus yang diberikan
kepada Orang Aslii Papua, karena perspektifnya sangat berbeda.
3) Diharapkan pengaruh sentralitas dalam kebijakan fiskal asimetris dapat
dihentikan sehingga mutu kebijakan fiskal asimetris bisa berjalan secara
efisien dan efektif.
4) Diharapkan adanya regulasi delegatif yang operasional dan rinci yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan Orang Asli Papua.
5) Diharapkan adanya pemisahan dana DAU dan DOK dalam perspektif
proses perencanaan sampai dengan MONEV atau auditnya.
6) Diharapkan berbagai salah pandang Orang Asli Papua mengenai Dana
Otonomi Khusus dapat diatasi dengan solusi afirmatif seperti sosialisasi
berbagai hal yang dipersoalkan mengenai Otonomi Khusus.
7) Diharapkan adanya transparansi dan akuntabilitas dari pihak ekekutor
dana DAU dan DOK di Tanah Papua.
8) Segala ketidakjelasan dan ketidakpastian dana Otonomi Khusus ini dapat
diselesaikan melalui Dialog Jakarta-Papua.

3. Kesimpulan Bidang Keuangan Daerah


Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas maka dapat
disimpulkan, bahwa terdapat berbagai ketidakjelasan dan ketidakpastian
mengenai dana DAU dan DOK yang mengalir ke dan di Papua. Orang Asli Papua
yang berada diluar system Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah
Papua tidak merasakan, bahwa Dana Otonomi Khusus yang dimaksudkan selama
ini berhubungan sebab akibat dengan Orang Asli Papua dengan Jakarta.
Sebaliknya, Dana Otonomi Khusus adalah hubungan sebab akibat antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota se-Tanah
Papua.

L. Bidang Hak Asasi Manusia


1. Pengantar
Kondisi kehidupan hak-hak asasi manusia di Tanah Papua kian hari kian
memburuk, karena terjadi pelanggaran dan kekerasan terhadap hak-hak
kemanusian manusia secara berkelanjutan dari waktu ke waktu.

59
Berbagai suara pembelaan sudah disampaikan, bahwa pelanggaran hak
asasi manusia sangat kuat terjadi di Tanah Papua. Tetapi setiap perjuangan
terhadap usaha-usaha pembelaan dan penegakan hak asasi manusia tidak
diindahkan, tidak didengarkan, dan diabaikan begitu saja. Namun ingatan akan
kekerasan yang dilakukan secara berkelanjutan itu membawa dampak yang lain,
yaitu gerakan untuk melawan kekerasan dengan damai dan dengan dialog. Sebab
Orang Asli Papua menyadari, bahwa Manusia Papua juga makhluk manusia
seperti Manusia Melayu, Manusia Eropa, Manusia Arab, dan seterusnya. Manusia
adalah Manusia, sebaliknya hewan adalah hewan. Ketika manusia dianggap
hewan maka pelanggaran hak asasi manusia akan selalu terjadi di Tanah Papua.
sebab sesungguhnya bukan Orang Asli Papua yang dicintai oleh negara,
sebaliknya alam raya Papua yang dicintai oleh negara ini. Demikianlah, impuls-
impuls yang memotivasi lahirnya masalah-masalah atau harapan-harapan
kemanusiaan yang timbul dideskripsikan sebagai berikut.

2. Deskripsi Bidang Hak Asasi Manusia


a. Kondisi yang Dipersoalkan dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Khusus di Bidang Hak Asasi Manusia
1) Belum terwujudnya perwakilan komisi nasional hak azasi manusia;
pengadilan hak asasi manusia, dan komisi kebenaran dan rekonsialiasi.
2) Adanya kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam
segala aspek kehidupan Orang Asli Papua secara sistematis,
berkelanjutan, dan tidak terbendung.
3) Tidakadanya alokasi dana khusus dibidang hak asasi manusia dalam
rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Tanah Papua.
b. Kondisi yang Diharapkan terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus di
Bidang Hak Asasi Manusia
1) Diharapkan adanya kesadaran pihak Pemerintah Pusat dan Orang Asli
Papua, bahwa pelanggaran hak asasi Manusia mesti dihentikan dan
dicegah.
2) Diharapkan menciptakan “kebudayaan damai” berasaskan “Kebudayaan
Papua” menurut pola pandang Masyarakat Adat Papua.
3) Diharapkan dilakukannya Dialog Jakarta Papua sebagai sarana yang
paling efektif untuk menemukan solusi atas berbagai masalah.

3. Kesimpulan Bidang Hak Asasi Manusia


Sejarah Papua mencatat, bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Tanah
Papua terjadi seirama dengan berjalannya waktu kebersamaan antara Orang Asli
Papua dengan Pemerintah Indonesia. Begitu banyak lembaran sejarah
pelanggaran hak asasi manusia yang sudah ditutup tanpa penyelesaian, tetapi
juga selalu terbuka kemungkinan untuk membuka lembaran-lembaran baru bagi
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.

60
D. Implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang
terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban
keuangan negara.
Sistem baru dalam RUU-PP berimplikasi terhadap aspek kehidupan masyarakat
khususnya masyarakat Papua dimana masyarakat papua akan lebih partisipasi aktif dan
kreatif serta pemantapan penghargaan jati diri dalam aktifitas kehidupan masyarakat
asli Papua membangun dirinya bersama-sama dengan masyarakat lain di tanah papua,
sekaligus mengikat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam NKRI.
Dalam sistem baru ini juga, akan membawa dampak terhadap aspek beban
keuangan negara, dimana untuk membangun Papua baik fisik maupun non fisik
diperlukan sejumlah dana yang besar karena luas wilayah Papua yang besar dan sulit
dijangkau dan masyarakat yang kebanyakan masih tertinggal.

61
BAB IV
TINJAUAN REGULASI

Kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi dasar


pembentukan RUU ini adalah analisis substansi dan konteks terhadap peraturan
perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi yang susunannya terdapat dalam
pasal 7 UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UUD 1945,
Ketetapan MPR, dan UU atau Perppu yang masih berlaku dan belum dicabut, serta
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan uji materiil beberapa pasal
dalam UU Nomor 21 tahun 2001.

UUD 1945 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B

Pemerintahan daerah secara konstitusional telah diatur dalam UUD 1945 perubahan
ke-dua yang telah disahkan tanggal 18 Agustus 2000 dalam Sidang Tahunan MPR RI,
pada pasal 18 baru, 18A, dan 18B. Pasal ini telah menjadi dasar konstitusional baru
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Aturan ini hendak mencari keseimbangan
antara otonomi dan sentralisasi, agar di satu pihak NKRI dapat terjaga dan di lain pihak
memaksimalkan peran aktif dan partisipasi daerah untuk mewujudkan berbagai cita-
cita kemerdekaan.

Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 mengandung prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya,
artinya Daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi
pemerintahan yang oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan
pusat. Selain dalam pengertian urusan atau fungsi pemerintahan, Otonomi luas
terutama tercermin pada kemandirian dan kebebasan daerah. Campur tangan pusat
harus dibatasi pada hal-hal yang benar-benar bertalian dengan upaya menjaga
keseimbangan antara prinsip kesatuan (unity) dan perbedaan (diversity).25

Pasal 18A, ayat (1) mengandung Prinsip kekhususan dan keragaman daerah.26 Prinsip
ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam
(uniformitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus
dan keragaman setiap daerah. Otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda
dengan daerah-daerah industri, atau antara daerah pantai dan pedalaman, dan lain
sebagainya. Begitu pula perbedaan-perbedaan potensi daerah harus menjadi dasar
menentukan bentuk dan isi otonomi. Inilah aspek penting paham otonomi nyata atau
otonomi riil, yaitu otonomi yang beragam. Harus diakui, pelaksanaan otonomi semacam
ini lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan yang serba seragam. Tetapi masalah
utama bukanlah mudah atau sulit melaksanakan, tetapi upaya maksimum untuk
mewujudkan cita-cita otonomi yaitu masyarakat daerah yang demokratis dan sejahtera.

Pasal 18B ayat (1) mengandung Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa.27 Yang dimaksud '''bersifat istimewa" adalah

25
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12.
26
Ibid., hlm. 12-13.
27
Ibid., hlm. 15-16.

62
pemerintahan asli atau desa atau pemerintahan bumiputra seperti daerah istimewa
Yogyakarta, dan daerah khusus ibu kota (DKI Jaya). Daerah Istimewa Yogyakarta
terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Pakualam. Daerah Khusus Ibu Kota, karena sebagai ibu kota negara (state capital).
Dalam Pasal 18B perkataan "khusus" memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain
karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus. Ini
berarti setiap daerah dapat menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan
faktor-faktor tertentu tanpa suatu kriteria umum yang telah ditentukan dalam undang-
undang.

Pasal 18B, ayat (2) mengandung Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.28 Yang dimaksud masyarakat
hukum adat adalah masyarakat hukum (rechtsgemeinschaft) yang berdasarkan hukum
adat atau adat istiadat seperti desa, marga, nagari, kampong, meunasah, huta, negorij
dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat - bersifat teritorial atau
genealogis – yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan
dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau ke luar
sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri
mereka sendiri.

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya
mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan
pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung makna,
bahwa kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan hukum adat berhak atas segala
perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai sub-sistem NKRI yang maju,
sejahtera, dan modern. Hal ini merupakan esensi yang membedakan dengan pengakuan
kolonial terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintahan kolonial tidak
bermaksud menghormati, tetapi membiarkan agar kesatuan masyarakat adat tetap
hidup secara tradisional sehingga tidak akan menjadi pengganggu kekuasaan kolonial.
Pengakuan dan penghormatan sebagaimana diatur dalam Pasal 18B, justru
mengandung tuntutan pembaharuan kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan
perannya sebagai sub-sistem NKRI yang maju dan modern.

Tap MPR Nomor IV/MPR/1999

Bergulirnya reformasi politik, ekonomi, dan hukum di Indonesia dengan jatuhnya resim
orde baru (Suharto) tanggal 21 Mei 1998 telah membuka pintu bagi timbulnya berbagai
pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa
Indonesia. Untuk kasus Papua, wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia (MPR-RI) menetapkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada
Provinsi Irian Jaya (tanah Papua) sebagaimana yang diamanatkan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004 Bab IV huruf (g) butir 2,
yaitu : “... dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh
permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-

28
Ibid., hlm. 13-14.

63
sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (a) mempertahankan
integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya
melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b)
menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses
pengadilan yang jujur dan bermartabat ...”.

Tap MPR Nomor IV/MPR/2000

Amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tersebut yang menyangkut penetapan


Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000,
ditekankan kembali melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang
rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang ditujukan kepada
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, disebutkan : “... Undang-undang Otonomi
Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999 – 2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya
1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan ...”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam


Amandemen UUD 1945 telah diberikan dasar konstitusional yang tegas mengenai
penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia, yaitu dengan pemberian otonomi
yang seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan
sendiri serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus
maupun kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang ada, asalkan tidak melanggar batas-
batas dari prinsip NKRI. Hal ini berarti menurut UUD 1945 setelah di amandemen, titik
tolak penyelenggaraan pemerintahan lokal semata-mata menekankan kepada otonomi
daerah.

Eksistensi kebijakan otonomi daerah ini sangat penting dipahami sebagai bagian dari
perwujudan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sebagai
instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan umum.29 Sedang kebebasan dan
persamaan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan prinsip-prinsip
demokrasi yang sangat penting dalam suatu negara hukum. Dengan demikian
pelaksanaan otonomi daerah bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi tersebut.

UU Nomor 12 tahun 1969

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Tentang: Pembentukan Propinsi Otonom Irian


Barat Dan Kabupaten-Kabupaten Otonom Di Propinsi Irian Barat, yang berlaku
Tanggal: 10 September 1969, Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Undang-undang ini
hanya mengatur pembagian daerah dan batas wilayahnya Provinsi Irian Jaya, serta
beberapa urusan yang dianggap penting ketika itu.

A. UU Nomor 45 tahun 1999 dan perubahannya

29
Ibid., hlm. 3.

64
Undang-Undang Nomor: 45 tahun 1999 Tentang: Pembentukan Propinsi Irian
Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya, Dan Kota Sorong, yang berlaku Tanggal: 4 Oktober 1999 Sumber: LN NO.
1999/173; TLN NO. 3894 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999
Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong.
Undang-undang ini ketika diundangkan, telah ditolak oleh sebagian terbesar
masyarakat Papua, sehingga tidak jadi diberlakukan.

B. UU Nomor 21/2001 dan UU Nomor 35/2008

Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Papua secara khusus


penegakan HAM, Pemerintah Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan
beberapa peraturan perundang-undangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun
hanya dalam UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua UU Nomor 21 Tahun 2001, hak-
hak dasar penduduk asli (indigenous people) sebagai hak asasi manusia begitu
mendapat pengakuan dan perlindungan. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban
terhadap tuntutan kemerdekaan bangsa Papua yang hendak memisahkan diri dari
Republik Indonesia dalam jaman Reformasi. UU ini sebagai jalan keluar atau jalan
tengah yang bijaksana antara kepentingan bangsa Papua sendiri dan kepentingan
bangsa Indonesia pada umumnya. Mengingat sejak integrasi Papua dengan NKRI dan
dalam penerapan kebijakan pemerintahan Soeharto di era Orde Baru membawa
penderitaan, kemelaratan, dan harga diri bangsa Papua yang ditindas dan diinjak-injak.
Bangsa Papua merasa tidak aman di atas tanahnya sendiri, dimana suasana
kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan tidak dirasakan di atas tanah yang telah
menjadi wilayah dari NKRI itu sejak 1963 sampai 1998. Bangsa Papua merasa terasing
di negerinya sendiri. Singkat kata, HAM individu dan rakyat Papua dalam negaranya
sendiri tidak dihormati dan dilindungi. Inilah masalah yang melatarbelakangi atau
melandasi upaya para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengambil langkah-langkah
politik dan merumuskan norma hukum bagi perlindungan HAM rakyat Papua dalam UU
Otonomi Khusus.

Pada awal tahun baru 2003 masyarakat Papua merasa senang setelah mendengar
bahwa Pemerintah Pusat dalam hal ini Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono,
tanggal 29 Desember 2002 menyatakan berkeinginan mencari “penyelesaian
permasalahan di Papua secara beradab dan adil” sebagai salah satu prioritas dalam
kebijakannya. Pada kesempatan yang sama Menko Polkam menyatakan: “Otonomi
khusus yang kita pilih ke depan akan ditingkatkan lagi untuk bisa memenuhi dan
mengatasi masalah kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua, sehingga hal
itu benar-benar diwujudkan”. Tentunya semua pihak setuju jika terhadap permasalahan
di Papua dapat diberikan suatu perhatian yang serius dan menjadi pokok pergumulan
bersama menuju suatu jalan keluar yang lebih permanen. Pergumulan demikian akan
menuntut kearifan serta keterbukaan dari segala pihak yang berkepentingan guna
mencapai suatu hasil bersama dan memuaskan dalam penegakan HAM bagi masyarakat
Papua. Tujuan tersebut sudah terungkap dalam jiwa dan semangat UU Otonomi Khusus

65
untuk Papua, yang telah didorong dan disahkan oleh Pemerintah Pusat sehingga
penerapannya secara benar sudah seharusnya menjadi suatu kewajiban semua pihak.
Ketika Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi beserta masyarakat Papua sedang
berupaya mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, yang masih diperhadapkan pada kendala belum
tersedianya sejumlah instrumen hukum sebagai landasan teknis operasional, seperti
MRP, Perdasi, dan Perdasus, serta belum terbentuknya sejumlah perangkat
kelembagaan seperti Perwakilan Komnas HAM, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR)
dan Pengadilan HAM seperti yang diamanatkan Otsus; Pemerintahan Daerah, DPRD dan
berbagai komponen masyarakat di Propinsi Papua dikejutkan oleh keluarnya Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,
Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya,
dan Kota Sorong, pada tanggal 27 Januari 2003. Terbitnya instruksi ini mengejutkan
masyarakat Papua karena seakan-akan ‘jatuh dari langit’ begitu saja. Suatu instruksi
yang memang tidak dinantikan, mengingat soal pemekaran telah diatur dalam Undang
Otonomi Khusus di Papua Nomor 21 Tahun 2001. Maka, terbitnya Inpres Nomor 1 serta
deklarasi propinsi baru oleh seorang ‘calon gubernur yang baru’, Bram Ataruri, di
bagian barat Propinsi Papua membuat banyak orang tidak mengerti lagi apa yang
sebenarnya terjadi. Juga penjelasan dari Pemerintah Pusat yang sangat simpang siur
tidak membantu untuk memahami kebijakan ‘mendadak’ ini. Isi Inpres tersebut antara
lain: memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Papua dan
Para Bupati di Propinsi Papua untuk mengambil langkah-langkah percepatan
Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan Undang-
undang Nomor 45 Tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat Gubernurnya. Dikeluarkannya
Inpres ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana termuat dalam
konsiderans menimbangnya, antara lain: (1) untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor
45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya
Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong
dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan
organisasi perangkat Daerah, dan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (2)
Sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional
yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Propinsi
Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan
berkesinambungan. Menindaklanjuti Inpres ini, maka Menteri Dalam Negeri telah
menerbitkan Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Propinsi Papua,
Bupati/Walikota se-Propinsi Papua, dan seluruh Pejabat Eselon I Departemen Dalam
Negeri. Radiogram Nomor 134/221 /SJ, tertanggal 3 Pebruari 2003, antara lain
berisikan: (1) seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota, agar segera mengambil langkah-langkah operasional yang
relevan; (2) ditegaskan bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan
dengan operasionalnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus di Propinsi Papua; (3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk
pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor kepada Menteri
Dalam Negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambatnya dua
minggu.
Sejak awal mula masyarakat luas memprotes niat dan kegiatan pembentukan propinsi
baru di bagian barat Propinsi Papua, dan wakil-wakil pemerintahan didukung oleh ahli-

66
ahli hukum yang tidak perlu diragukan kredibilitasnya menyatakan bahwa semuanya
tidak sah. Maka Inpres Nomor 1 sebaiknya dicabut saja, dan proses ‘judicial review’
diprakarsai. Walau timbul reaksi kontra dari masyarakat Papua, Pemerintah Pusat30
yang didukung BIN tidak peduli dengan adanya protes dari segala pihak di Papua, dan
pemekaran tetap diterapkan. Setelah Pejabat Gubernur Irja Barat yang baru diangkat
secara “resmi” pada 11 November 2003 di Manokwari, menyusul pada awal Maret 2004
para pegawai eselon I dan II di Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi baru tersebut terus
dikunjungi oleh petinggi-petinggi dari Jakarta – termasuk mantan Wakil Presiden RI Try
Sutrisno pada tgl. 5 Maret 2004 - seakan-akan mau menggarisbawahi sahnya status
provinsi Irja Barat. Nampak para penguasa di Jakarta tidak mempedulikan Mahkamah
Konstitusi di Jakarta yang sedang memproses suatu judicial review mengenai sah-
tidaknya UU Nomor 45 Tahun 1999 atas permintaan DPRD Papua tanggal 17 Februari
2004, dan juga pernyataan dari acara dengar pendapat tanggal 16 Desember 2003 yang
diselenggarakan oleh DPRD dimana pemekaran ditolak sedangkan pelaksanaan Otsus
secara konsisten dituntut dan mendapat penekanan. Kekacauan sekitar pemekaran
masih diperbesar dengan pengangkatan diam-diam seorang “sekretaris KPU setempat”
pada tanggal 23 Desember 2003 walau pendirian KPU di propinsi tersebut secara resmi
telah ditolak tanggal 16 Desember 2003 oleh KPU Provinsi Papua.
Seakan-akan persoalan pemekaran di Manokwari-Irjabar belum cukup, muncul
lagi upaya sejenis di bagian tengah Propinsi Papua, yakni di Timika. Sebenarnya pola
persiapan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah tidak beda jauh dengan pola yang
sama di Irian Jaya Barat. Sambil mengambil isi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 sebagai
legitimasi utama, rencara pemekaran mulai dipersiapkan, semuanya terjadi secara agak
tersembunyi, ada yang diajak mendukung termasuk para anggota DPRD setempat,
kecuali satu anggota yakni wakil Ketua, dengan menandatangani suatu pernyataan
dukungan yang disodorkan kepada mereka di rumah masing-masing. Sekalipun
masyarakat setempat menyatakan tidak menerima pembentukan propinsi yang baru
ini, Ketua DPRD Timika, Andreas Anggaibak, tetap nekad untuk memproklamasikan
propinsi tersebut. Sementara waktu kebanyakan anggota DPRD sudah mulai gelisah dan
mulai menyembunyikan dukungannya. Bupati dan unsur Muspida lainnya ternyata
bungkam seribu bahasa, atau bahkan membiarkannya.

Ada sejumlah permasalahan mendasar yang mewarnai kebijakan pemekaran Propinsi


Papua sebelumnya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: (1) Undang-
undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,
Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak
Jaya, dan Kota Sorong belum dicabut dan sebagian dari materi muatannya yang
mencakup pembentukan ketiga kabupaten dan satu kota sebagaimana dimaksud telah
dilaksanakan secara efektif. Sedangkan materi muatan yang terkait dengan
pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat belum dapat
dilaksanakan; (2) Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua adalah wujud nyata dari kemauan politik
Pemerintah untuk mengatasi permasalahan politik, dan sekaligus sebagai solusi bagi
penyelesian konflik yang terjadi di Papua, dalam rangka mempertahankan integritas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun demikian sejak
pengesahannya undang-undang ini belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif;
30
Dukungan ini dengan jelas dinyatakan melalui pengangkatan resmi Bram Atururi sebagai pejabat
Gubernur Propinsi Irian Jaya Barat pada tanggal 14 November 2003, bertempat di kantor Kementrian Dalam
Negeri.

67
(3) Pemekaran dan pembentukan propinsi baru di Papua, sebagaimana halnya dengan
pemekaran atau pembentukan kabupaten baru yang sudah dilakukan di Propinsi
Papua, merupakan kebijakan Pemerintah yang penting, dalam rangka memperpendek
rentang kendali pemerintahan dan sebagai upaya lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di Papua.

Menurut pendapat pemerintah, mengingat secara yuridis Undang-undang Nomor 45


Tahun 1999 masih memiliki daya keberlakuan, karena belum dicabut maka setelah
kurang lebih 4 (empat) tahun sejak terjadinya penolakan oleh berbagai komponen
masyarakat dan DPRD Propinsi Irian Jaya tersebut, Pemerintah kembali melaksanakan
materi muatan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi
Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003.
Disadari sepenuhnya bahwa tujuan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003
adalah untuk melaksanakan kewajiban konstitusi oleh Pemerintah yaitu menjalankan
Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang masih memiliki keberlakuan yuridis.
Demikian pula Inpres Nomor 1 Tahun 2003 mempunyai tujuan positif, yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun demikian fakta juga
memperlihatkan bahwa segera setelah keluarnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 muncul
berbagai reaksi negatif sebagai berikut: (1) Pengangkatan Pejabat Gubernur Irian Jaya
Barat tanpa adanya komunikasi dan konsultasi dengan Gubernur Propinsi Papua,
sebagai Propinsi Induk; (2) Berkembangnya opini publik yang mengarah pada
pengelompokan sikap pro dan kontra terhadap penbentukan propinsi baru yang dapat
menjurus pada muncul dan berkembangnya konflik horisontal; (3) Berkembang
keinginan dari elit politik lokal dengan memobilisasi massa pendukung ke Jakarta agar
kabupatennya dijadikan propinsi baru, di luar yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 45 Tahun 1999, seperti; Kabupaten Yapen, Kabupaten Merauke, dan kabupaten
Fak-Fak.
Akibat dari pemaksaan pemekaran dengan diterbitkannya Inpres untuk
mengimplementasikan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 menyebabkan
masyarakat terbagi dalam 2 kelompok, timbul konflik horisontal antara kelompok yang
mendukung pemekaran dan kelompok yang menolak pemekaran. Sikap pro dan kontra
terhadap pemekaran propinsi juga semakin meluas dengan melibatkan berbagai
komponen masyarakat dan timbul di seluruh Papua, khususnya di Manokwari sendiri
yang menjadi Ibukota Irian Jaya Barat maupun di tempat-tempat lain seperti Jayapura
dan di Timika. Timika malahan timbul perang adat antara kubu pro dan kubu kontra,
selama bulan Agustus 2003. Perang adat itu berlangsung hampir satu bulan, yang
dimulai tanggal 23 Agustus 2003 dan baru berdamai pada tanggal 26 September 2003
dengan memakan 5 orang korban jiwa, dan ada serangkaian pertikaian misteri yang
menyebabkan misalnya, 2 orang tukang ojek tewas. Rentetan ketegangan ini juga
menciptakan konflik vertikal, antara pusat dan daerah sudah mulai terasa. Karena orang
Papua merasa pusat mempermainkan mereka lagi sehingga muncul kembali sikap
ketidakpercayaan masyarakat pada semua unsur pemerintahan, baik di tingkat
Kebupaten, Propinsi maupun Pusat, yang sebenarnya sudah dapat diatasi dengan
pengesahan UU Otsus. Masyarakat merasa tidak dihiraukan, bahkan ditipu karena
ternyata apa yang sudah ditetapkan dalam UU yang resmi (Otsus) tidak dilaksanakan.
Keadaan ini menyebabkan pemda tidak bisa menjalankan Undang-undang Otonomi
Khusus dengan baik demi kepentingan masyarakat dan Republik ini. Jadi dampaknya
ada peningkatan konflik horisontal dan vertikal.

68
Bahkan berkembang pula fenomena publik bernuansa negatif yang dihembuskan
oleh elit tertentu secara propokatif, yang dengan sengaja menjadikan kebijakan
pemekaran propinsi dengan Otonomi Khusus sebagai opsi yang kontradiktif. Bahkan
sangat ironis ketika pendukung otonomi khusus diidentikkan sebagai kelompok
separatis, sedangkan pendukung pemekaran diidentikkan sebagai pendukung setia
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan ini bukan hanya keliru, akan tetapi
sangat menyesatkan publik, sebab kebijakan Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua yang
dilakukan melalui sarana Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undang-
undang Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 juga
merupakan bukti nyata komitmen Pemerintah untuk: (1) Menjawab masalah yang
terjadi di Papua dalam kurun waktu lama secara tepat dan bermartabat; (2)
Melaksanakan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1999 tentang GBHN (Pemberian
Otonomi Khusus bagi Propinsi Irian Jaya) dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi kepada Presiden dan DPR dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
(segera menyusun undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Irian Jaya);
(3) Menjalankan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B bahwa
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang dan negara mengakui dan
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonresia yang diatur dalam undang-undang.

Proses pemekaran juga membawa serta suatu persaingan antar pejabat pemerintah di
Papua menyebabkan hilangnya kewibawaan pemerintah daerah; ternyata ada banyak
agenda berbeda yang sering berkaitan dengan ambisi pribadi orang. Akibatnya, tidak
jelas lagi kekompakan kepemimpinan di Papua sehingga masyarakat merasa tidak
memiliki lagi kepemimpinan. Perpecahan di tingkat kepemimpinan memang
melumpuhkan efektifitas kerja pemerintah propinsi serta instansi-instansi terkait.
Sesekali terdapat suara dari pribadi seorang pejabat, namun tidak ada kekuatan
didalamnya yang mengikat sehingga mau didengar atau tidak; sedangkan Pemerintah
Pusat kurang peduli dan melanjutkan strateginya sendiri. Akhirnya sering terdengar
dari pejabat di tingkat Propinsi Papua: “kami tunggu keputusan dari Pusat”. Seakan-
akan tidak ada daya perjuangan lagi; seakan-akan pimpinan sipil merasa tidak ada
wewenang lagi untuk mengatur Propinsi Papua; sementara waktu masyarakat merasa
kehilangan pemimpinnya.

Persaingan di tingkat pejabat (tinggi) juga mengakibatkan perpecahan di tingkat


masyarakat biasa. Setiap kubu, yang pro dan yang kontra, mencari pendukungnya, dan
ternyata selalu dapat, maka masyarakat sendiri akhirnya terpecah. Argumentasi utama
dalam usaha merangkul masyarakat adalah ‘nanti akan ada uang banyak tersedia;
sekarang uang itu dimakan habis di Jayapura’. Jelaslah dinamika mencari ‘pendudkung’
di masyarakat bukan berdasarkan suatu diskusi yang sehat, bukan berdasarkan
informasi yang tepat dan kritis, melainkan berdasarkan emosi-emosi atau rasa kecewa
pada masyarakat yang ternyata mudah mendorong mereka untuk menerima tawaran
tersebut. Tentu cara ini dapat menyesatkan masyarakat biasa, dan di Timika akhirnya
menuntut korban cukup banyak, terbukti membawa masyarakat ke dalam suatu konflik
horisontal.
Akhirnya akibat pemekaran yang sangat menentukan dan fatal adalah
kemacetan penegakan Otonomi Khusus. Kemacetan ini disebabkan karena kebijakan

69
Pemerintah Pusat yang melanggar isi dari UU Nomor 21 Tahun 2001, sulit menghindar
dari kesan bahwa proses pemekaran untuk sebagian dimulai dengan sengaja guna
menghalangi implementasi Otsus yang isinya menurut sejumlah tokoh di tingkat
Pemerintah Pusat sudah memberikan peluang terlalu banyak kepada masyarakat di
Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka,
sejumlah suara di tingkat Pemerintah Pusat ingin supaya isi Otsus diubah secara
substansial, dan menurut informasi terakhir proses revisi terhadap UU Otonomi Khusus
sedang dijalankan. Ada kesan kuat bahwa jika jiwa dan tujuan Otsus sebagaimana
dirancang oleh para tokoh Papua, de facto sudah dinyatakan mati oleh Pemerintah
Pusat, maka dampak pembatalan otsus akan serius karena:
1. Papua kehilangan peluang administrasi kenegaraan untuk tangani konflik: komisi
rekonsiliasi, komisi HAM, pengadilan HAM, kuota perempuan di MRP, pembentukan
MRP dan kewenangannya.
2. Papua kehilangan alokasi dana yang kiranya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan masyarakat terutama di wilayah pedalaman.
3. Papua dipecah dari dalam dan sebagian orang Papua dengan sadar melibatkan diri
dalam pemecah belahan atau politik devide et impera gaya Belanda ini.
Pendek kata, suasana pemekaran yang serba semrawut mempunyai dampak
yang luar biasa terhadap kehidupan bermasyarakat di Papua selama tahun 2003-2004
dan berlangsung sampai saat ini. Secara umum dampaknya negatif karena lebih
merusak daripada membangun. Menanggapi keadaan tersebut, DPRP telah
mengeluarkan pendapatnya berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Propinsi Papua Nomor 6/DPRD/2003 tentang Usulan Peninjauan Kembali Inpres
Nomor 1 Tahun 2003. sementara DPRP juga mengajukan uji materiil UU Nomor 45
Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Dewan Adat
Papua juga menyampaikan hasil Sidang Adat Papua II yang diselenggarakan tanggal 22 -
26 Febrari 2004 di Biak, Papua kepada MK melalui surat Nomor 03/A.1/DAP/III/2004
tertanggal 9 Maret 2004. Sidang tersebut merupakan sikap resmi Masyarakat Adat
Papua di Tanah Papua yang menolak pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-
propinsi baru berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999.
Dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut sama sekali tidak
dikonsultasikan secara demokratis dengan masyarakat Papua, hal demikian
mengejutkan masyarakat yang sebetulnya sedang menantikan perwujudan konkrit dari
kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 yang dapat dianggap sebagai hasil yang dicapai melalui suatu proses demokratis;
dalam arti telah melibatkan masyarakat dalam perumusan undang-undang tersebut.
Adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 de facto menyangkal adanya UU Nomor 21 Tahun
2001 yang telah mengikat masyarakat dan pemerintah untuk dilaksanakan.
Jika meneliti secara seksama isi dari Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21
Tahun 2001 yang diberlakukan di Provinsi Papua ini, mengenai pemekaran provinsi-
provinsi baru sudah secara jelas diatur dalam pasal 76 yang mensyaratkan terlebih dulu
adanya persetujuan dari DPR Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP); dalam
UU Nomor 21 Tahun 2001 juga disyaratkan adanya proses studi dan pengkajian budaya,
kesiapan infrastruktur, kebutuhan dan tentunya kesiapan sumber daya manusia di
suatu wilayah yang ingin dimekarkan menjadi suatu provinsi di Tanah Papua ini.
Dengan demikian, Inpres ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam UU Otsus
sebagai produk hukum diatasnya yang sudah disetujui dan disahkan oleh pemerintah
pusat sendiri. Maka dengan adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut sangat
mencemaskan karena menimbulkan ketidakpastian hukum maupun politik yang

70
berdampak mengganggu ketenteraman hidup masyarakat dan penegakan hukum di
Papua. Bangsa Papua merasa diri dipecah-belah secara paksa bahkan sampai terjadi
kekerasan yang hebat di Timika. Sekaligus dilakukannya pemekaran melumpuhkan
segala pelaksanaan Otsus selama tahun 2003 dan berdampak sampai saat ini. Dapat
dipahami pula bertambahnya ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap niat
pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan Papua secara damai dan
demokratis. Bukan hanya itu, dunia internasional juga meragukan keseriusan
pemerintah Indonesia menangani masalah Papua, yang semula telah ada dukungan
penyelesaian melalui Otsus.
Langkah penegakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh DPRP yang
mewakili masyarakat Papua dalam masalah ini adalah pertama, dengan mengajukan
gugatan uji materiil (Judicial Review) Inpres Nomor 1 Tahun 2003 terhadap undang-
undang di atasnya yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 kepada Mahkamah Agung. Uji
materiil ini sangat penting untuk melihat taraf sinkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan, yaitu harmonisasi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dengan UU Otsus
tersebut. Namun langkah ini tidak dilakukan DPRP. Langkah kedua yang dilakukan oleh
DPRP adalah dengan mengajukan permohonan uji materiil UU Nomor 45 Tahun 1999
terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Mahkamah Agung;
karena Mahkamah Agung hanya berwenang mengadili perkara uji materiil terhadap
semua peraturan perundang-undangan dibawah UU. Walaupun kedua lembaga
kehakiman ini memiliki kesamaan kewenangan melakukan uji materiil peraturan
perundang-undangan, namun kompetensinya berbeda. MK hanya mengadili perkara uji
materril UU terhadap UUD.
Langkah hukum yang dilakukan oleh Ketua DPRP John Ibo dalam mengatasi
masalah pemekaran Provinsi di Papua dengan mengajukan gugatan permohonan
judicial review Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada
Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Pada dasarnya pemohon memohon agar menyatakan
pasal-pasal di dalam UU Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 5
Tahun 2000, baik sebagian atau keseluruhannya, sepanjang yang mengatur tentang
pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, bertentangan dengan
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Gugatan tersebut diajukan karena rakyat Papua mengajukan desakan ke
DPRP bahwa pelaksanaan Otsus di Papua dinilai diimplementasikan secara tidak layak
akibat pemberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut melalui Inpres Nomor 1
Tahun 2003.
Dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi sejumlah ahli tata negara
dengan jelas dan tegas menandaskan bahwa pemekaran bertentangan dengan UU Otsus
dan bahkan bertentangan dengan konstitusi. Seperti di hadapan Mahkamah Konstitusi,
Prof. Dr. Harun Al-Rasyid menegaskan bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku
lagi dengan dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
berdasarkan prinsip UU baru meniadakan UU lama. Selain itu, ditambahkan bahwa UU
Nomor 45 Tahun 1999 juga bertentangan dengan UU 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah yang mensyaratkan adanya pemekaran wilayah berdasarkan persetujuan rakyat
dari provinsi induk. Hal senada ditegaskan oleh Prof. Dr. Sri Soemantri, bahwa UU 45
Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18B yang menegaskan bahwa negara
harus menghormati wilayah khusus yang diatur dengan undang-undang. Selain itu Dr.
Maria F. Suprapto, S.H., M.H., juga memberi keterangan yang pada pokoknya bahwa
Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 berkaitan erat dengan Undang-undang Otonomi
Khusus. Yang dirumuskan di dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 adalah

71
mengenai pemekaran Irian Jaya sedangkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
mengenai otonomi khusus bagi Propinsi Papua dalam konsideran huruf k dan
Ketentuan Umum Pasal 1 huruf a menggantikan nama Irian Jaya menjadi Papua.
Selanjutnya suatu peraturan tidak hanya dapat dilihat dari pasal itu saja, namun harus
melihat hubungan pasal-pasal ini dan dengan keseluruhan pasal-pasal yang ada dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 juga
mengalami sesuatu yang berlebihan. Dalam konsideran huruf d Undang-undang Nomor
45 Tahun 1999 mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan
menyebutkan adanya Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat di samping adanya
kabupaten. Kalau dilihat, maka sebetulnya dalam ketentuan Peralihan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 125 hanya dikatakan Kotamadya, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Simelue, dan semua Kota
Administratif dapat ditingkatkan menjadi daerah otonomi dengan memperhatikan Pasal
5 undang-undang ini. Berarti perintah untuk pemekaran atau pembentukan Propinsi
Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat tidak diamanatkan oleh Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999. Jadi kesalahannya tidak hanya dari hubungan antara Undang-undang
Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, tapi pembentukan
Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 itu bertentangan juga dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999.31
Beberapa pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh MK mengenai pokok
perkara dalam gugatan Judicial Review UU Nomor 45 Tahun 1999 yang diubah dengan
UU Nomor 5 Tahun 2000 terhadap UUD 1945 tersebut di atas, setelah mendengar
keterangan Pemerintah, DPR, Pemda Irjabar, Pemda Papua, Pemohon, Saksi, Bukti-bukti
adalah sebagai berikut:
1. Menurut pertimbangan MK bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 diundangkan sebelum
perubahan UUD 1945, karena itu dasar konstitusional pembentukannya merujuk
kepada UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain Pasal 18 yang hanya terdiri dari
satu pasal yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa”. Sebab itu Mahkamah berpendapat tidak terbukti pasal-pasal yang
dimohonkan untuk diuji dalam kedua undang-undang tersebut bertentangan dengan
UUD 1945. Namun dengan adanya perubahan UUD 1945 maka berarti terdapat
suatu tertib hukum baru (new legal order) yang mengakibatkan tertib hukum yang
lama (old legal order) kehilangan daya lakunya sebagaimana dikemukakan oleh
Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” (versi bahasa
Inggris, edisi 1961, hal. 118-119) “… that the norms of the old order are regarded as
devoid of validity because the old constitution end, therefore, the legal norms based
on this constitution, the old legal order as a whole, has lost its efficacy; because the
actual behavior of men does no longer conform to this old legal order. Every single
norm loses its validity when the total legal order to which it belongs loses its efficacy
as a whole”;
2. memperhatikan argumentasi Pemohon yang menggunakan asas lex superiori
derogat legi inferiori. Mahkamah berpendapat bahwa asas dimaksud tidak tepat
untuk diterapkan dalam kasus ini, karena UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor

31
Lihat Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 tanggal 11
November 2004, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004.

72
5 Tahun 2000 diundangkan sebelum UUD 1945 Perubahan Kedua (18 Agustus
2000). Sedangkan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang
Rekomendasi Kebijaksanaan dalam Otonomi Daerah, Tap MPR Nomor
IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. Dengan demikian, Mahkamah
menilai bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 adalah sah
dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi yang terkandung
dalam UUD 1945, sehingga segala hal yang timbul sebagai akibat hukum
diundangkannya kedua undang-undang tersebut adalah sah pula;
3. terhadap dalil Pemohon bahwa UU Nomor 45 tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun
2000 menjadi batal untuk sebagian sepanjang yang mengatur pembentukan
Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dengan berlakunya UU Nomor 21
tahun 2001 karena bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generalis dan
asas lex posteriori derogat legi priori; Mahkamah berpendapat bahwa kedua asas
tersebut tidak dapat diterapkan terhadap UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor
5 Tahun 2000 dikaitkan dengan diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, karena
materi muatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 dan UU
Nomor 5 Tahun 2000 adalah mengatur tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya dan Kota Sorong, yang berbeda dengan materi muatan yang diatur oleh
UU Nomor 21 Tahun 2001, yang berisi ketentuan tentang segala hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Lagi pula UU Nomor 21
Tahun 2001 tidak taat asas (inkonsisten) dan bersifat mendua (ambivalen).
Inkonsistensi dan ambivalensi tersebut terlihat antara lain dalam Penjelasan Umum
undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang mengakui wilayah Provinsi Papua
terdiri atas 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, termasuk Kabupaten Paniai,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong yang dibentuk dengan
UU Nomor 45 Tahun 1999. Sementara itu UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak
menyinggung sedikitpun keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya
Tengah, padahal kedua Provinsi itu pun dibentuk dengan UU Nomor 45 Tahun 1999.
4. Menimbang bahwa Ketentuan Peralihan yang tercantum dalam Pasal 74 UU Nomor
21 Tahun 2001 yang berbunyi: “Semua peraturan perundang-undangan yang ada
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini” tidak
memberikan kepastian tentang status UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5
Tahun 2000 setelah diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001. Hal ini
menimbulkan berbagai macam penafsiran atau multi interpretasi, sebagaimana
tercermin dalam dalil yang dikemukakan Pemohon dan keterangan Pemerintah.
Dalam permohonannya, Pemohon hanya memohon agar pasal-pasal UU Nomor 45
Tahun 1999 yang berkaitan dengan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan
Irian Jaya Barat saja yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
yang berarti Pemohon masih mengakui pasal-pasal lainnya, termasuk pasal yang
berkaitan dengan pembentukan Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota
Sorong. Sementara itu Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003, yang
berarti mengakui keberadaan UU Nomor 45 Tahun 1999 secara keseluruhan.
5. Menimbang, sikap Pemerintah dimaksud didasarkan pada pertimbangan bahwa
secara normatif pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat telah
terjadi sejak diundangkannya UU Nomor 45 Tahun 1999, sehingga UU Nomor 21
Tahun 2001 berlaku terhadap ketiga Provinsi yang dibentuk oleh UU Nomor 45
Tahun 1999 tersebut. Sebaliknya, Pemohon berpendapat bahwa UU Nomor 45

73
Tahun 1999 berlaku terhadap pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota,
karena pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota itu, selain sah secara
normatif juga secara faktual telah berjalan efektif. Faktor efektivitas inilah yang
dijadikan kriteria oleh Pemohon untuk mendalilkan bahwa sepanjang mengenai
pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, UU Nomor 45 Tahun
1999 tidak berlaku lagi, karena menurut pendapat Pemohon, pada saat UU Nomor
21 Tahun 2001 diundangkan, kedua Provinsi itu belum terbentuk secara efektif.
6. Mahkamah sependapat bahwa efektivitas dapat dijadikan salah satu ukuran
(kriteria) untuk menentukan berlakunya suatu undang-undang. Namun Mahkamah
tidak sependapat baik dengan Pemohon maupun dengan Pemerintah mengenai saat
mulai berlakunya dan pasal-pasal mana saja dalam UU Nomor 45 Tahun 1999 yang
masih berlaku. Pemohon berpendapat bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 telah
kehilangan daya laku sejak diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, sehingga
segala akibat hukum yang terjadi sebelumnya adalah sah, termasuk pembentukan 3
(tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota, sedangkan hal-hal yang menjadi materi muatan
undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tetapi belum terlaksana (efektif) sampai
diundangkannya undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, termasuk pembentukan
Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, menurut pendapat Pemohon, tidak
lagi mempunyai dasar hukum;
7. mahkamah berpendapat bahwa baik pendapat Pemohon maupun pendapat
Pemerintah, masing-masing mempunyai argumentasi yang cukup beralasan, dan
lahir sebagai akibat inkonsistensi dan ambivalensi UU Nomor 21 Tahun 2001 yang
tidak secara tegas menentukan keberlakuan atau ketidakberlakuan UU Nomor 45
Tahun 1999 sebagaimana diuraikan di atas. Namun walaupun materi muatan yang
diatur oleh UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 21 Tahun 2001 berbeda, tetapi
dalam beberapa hal bersinggungan, yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan
penafsiran dalam pelaksanaannya. Perbedaan penafsiran itu secara yuridis akan
menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, dan secara sosial politis dapat
menimbulkan konflik dalam masyarakat;
8. untuk mengakhiri ketidakpastian hukum serta mencegah timbulnya konflik dalam
masyarakat, maka Mahkamah berpendapat bahwa perbedaan penafsiran timbul
karena terjadinya perubahan atas UUD 1945, yang mengakibatkan sebagian materi
muatan UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan UUD 1945, khususnya
Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan UU”. Namun demikian, sebagaimana telah diutarakan di atas, Pasal
18B UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak
dapat dipergunakan sebagai dasar konstitusional untuk menilai keberlakuan UU
Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diundangkan sebelum UUD 1945 Perubahan
Kedua;
9. Menimbang bahwa persyaratan tentang pemekaran Provinsi Papua yang tercantum
dalam Pasal 76 dan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah berlaku setelah
diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tetapi tidak berlaku terhadap
pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat yang secara normatif
dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999;
10. Menimbang bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secara faktual telah
berjalan efektif, yang antara lain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan
Provinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta
kelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatan daerah

74
(APBD), serta terpilihnya Anggota DPD yang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat.
Sementara itu, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum
terealisasikan. Dengan demikian Mahkamah berpendapat, keberadaan provinsi dan
kabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999
adalah sah adanya;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
(MK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie, memberikan Keputusan terhadap Perkara Nomor
018/PUU-I/2003 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 95
Tahun 2004, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka
untuk umum pada hari Kamis, tanggal 11 November 2004 sebagai berikut:
1. Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan;

2. Menyatakan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001


tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 135), pemberlakuan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999
tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3894), bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan, sejak diucapkannya Putusan ini, Undang-undang Nomor 45 Tahun


1999 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Dari sembilan hakim MK, hanya satu hakim MK Maruarar Siahaan menyatakan
dissenting opinion (perbedaan pendapat) atas putusan ini. Walaupun ia dapat
menyetujui diktum putusan dalam perkara tersebut, akan tetapi berbeda dengan
pendapat mayoritas dalam pertimbangan hukum yang menyangkut akibat hukum dari
diktum putusan yang menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun l999
bertentangan dengan UUD l945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat
sebagai hukum. Ia berpendapat bahwa konsekuensi dari penerimaan judicial review ini
harusnya berimplikasi juga terhadap pembatalan pembentukan Provinsi Irjabar.
Alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut:32
Putusan Mahkamah dalam hal ini seharusnya hanya menegaskan berkerjanya
prinsip hukum yang diakui oleh konstitusi bahwa dengan berlakunya undang-undang
yang baru, undang-undang yang lama tidak berlaku lagi, karena meskipun tidak secara
tegas dinyatakan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, tetapi
sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, Undang-undang
Nomor 45 tahun 1999 tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Sehingga
seyogyanya Provinsi Irian Jaya Barat dan seluruh ikutan strukturnya dinyatakan batal.
Alasan hukum tidak diberlakukannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999,
terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah dan
Irian Jaya Barat, adalah karena telah bertentangan dengan Konstitusi. Sepintas UU
Nomor 45 Tahun 1999 kelihatannya tidak bertentangan dengan pasal 18 UUD 1945
sebelum perubahan yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-
undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat

32
Ibid.

75
istimewa”. Namun jika memperhatikan Penjelasan Pasal 18 butir II, UUD 1945 sebelum
perubahan, mengakui juga daerah yang memiliki susunan asli sebagai daerah istimewa:
Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zeifbesturende
landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Apabila Penjelasan tersebut diperhatikan, maka maknanya tidak berbeda dengan


adanya ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU”. Hanya saja Pasal 18B UUD 1945
setelah perubahan lebih memperjelas pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan. Karena
itu tidak ada kesan pertentangan antara pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan dengan
Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan. Tegasnya UU Nomor 45 Tahun 1999 yang
diberlakukan kembali oleh Inpres Nomor 1 Tahun 2003 bukan hanya bertentangan
dengan pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan tetapi juga bertentangan dengan Pasal
18 UUD 1945 berikut penjelasannya sebelum perubahan. Jadi UU Nomor 21 Tahun
2001 yang baru yang berlandaskan Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan,
mengenyampingkan UU Nomor 45 Tahun 1999. Dalam hal ini perlaku prinsip suatu
tertib hukum baru mengenyampingkan tertib hukum yang lama. Dengan demikian
terdapat suatu tertib hukum baru (new legal order) yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001
yang berlandaskan Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan mengakibatkan tertib
hukum yang lama (old legal order) UU Nomor 45 Tahun 1999 telah kehilangan daya
lakunya.
Dalam hal ini juga berlaku asas lex posteriori derogat legi priori yaitu aturan
hukum yang kemudian mengesampingkan aturan hukum yang dahulu, atau apabila ada
dua undang-undang yang masing-masing mengatur masalah yang sama, akan tetapi
dengan substansi yang berbeda, yang berlaku adalah undang-undang yang berlaku
belakangan atau terakhir. Dengan demikian Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999
harus dikesampingkan setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2001 berdasarkan Pasal
18B UUD RI 1945. Karena itu, tindakan Pemerintah Pusat melalui Inpres Nomor 1
Tahun 2003 untuk memberlakukan kembali Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999
setelah berlakunya Pasal 18B UUD RI Tahun 1945 jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001 adalah bertentangan dengan asas lex posieriori derogat lex priori, sehingga UU
Nomor 45 Tahun 1999 harus dikesampingkan. Dengan demikian akibat hukum yang
timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 45
Tahun l999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar l945 dan karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seharusnya dengan sendirinya
mengakibatkan batalnya pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dengan segala ikutan
struktur yang terlanjur terbentuk atas dasar UU tersebut.
Implikasi hukum lain dari penerapan Pasal 18B UUD RI Tahun 1945 dan
perundangan lain seperti: TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 juncto TAP MPR Nomor
IV/MPR/1999 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebabkan semua
peraturan perundangan lainnya yang bertentangan atau melanggar semangat, asas,
prinsip, dan pasal perundangan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Karena itu, Undang-
undang Nomor 45 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang

76
Nomor 5 Tahun 2000 harus dinyatakan tidak berlaku atau dikesampingkan untuk
keseluruhannya dan atau sebagiannya, terutama pasal-pasal yang mengatur
pembentukan atau pemekaran wilayah Provinsi Papua.
Ternyata perintah konstitusi yang juga telah dijabarkan di dalam berbagai
peraturan perundangan lainnya untuk melaksanakan otonomi di Propinsi Papua
tersebut, telah tidak dipatuhi oleh Pemerintah Pusat, karena pada tanggal 27 Januari
2003 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 2003 yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Inpres
tersebut mengatur mengenai percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun
1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 bermaksud memberlakukan
kembali daya berlakukannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak hanya telah
melanggar konsitusi dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Papua tetapi juga telah mendapat tantangan dari hampir
seluruh lapisan masyarakat Papua. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut juga
merupakan indikasi dari perwujudan pemaksaan kehendak dan tindakan melawan
hukum dari Pemerintah Pusat terhadap satu wilayah kesatuan yang secara
konstitusional telah diakui kekhasannya dengan telah diberlakukannya Undang-undang
Otonomi Khusus di seluruh bagian Propinsi Papua yang dulu bernama Propinsi Irian
Jaya.
Di dalam Pasal 76, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 secara jelas dan tegas
mengatur; "Pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi dilakukan atas
persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua)
setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan
sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang''.
Begitu pula dengan Pasal 74 yang secara implisit mengemukakan, bahwa “semua
peraturan perundangan lain yang bertentangan dengan Undang-undang Otonomi
Khusus Bagi Papua dinyatakan tidak berlaku”.
Jadi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang memberlakukan kembali UU Nomor 45
Tahun 1999 telah bertentangan dengan Pasal 74 dan Pasal 76 UU Nomor 21 Tahun
2001, selain itu Inpres tersebut juga bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22
Tahun 1999, juga bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945. Selain itu bertentangan
juga dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori yaitu aturan hukum yang
lebih tinggi menyampingkan aturan hukum yang lebih rendah, atau peraturan yang
derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya
lebih tinggi. UUD RI Tahun 1945 dalam Pasal 18B (1) dan (2) menyatakan "Negara
mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa, serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya". Implementasi ketentuan tersebut adalah
lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Dengan demikan, menurut hukum, keberadaan Inpres yang mempercepat pelaksanaan
pemekaran Provinsi Irian Jaya berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999
telah di kesampingkan oleh Pasal 18B UUD RI Tahun 1945. Dengan demikian, tindakan
Pemerintah Pusat mengeluarkan Inpres 1 Tahun 2003 untuk mempercepat pemekaran
di Propinsi Papua dengan menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 45 Tahun
1999 adalah melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori tersebut.

77
Juga karena masalah pemekaran propinsi di Papua telah diatur secara khusus
oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, maka ada kewajiban hukum bagi
Pemerintah Pusat jika hendak melakukan pemekaran Propinsi Papua seharusnya
menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 bukan Undang-
undang Nomor 45 Tahun 1999. Pemerintah Pusat tidak bisa mengingkari dan
mengabaikan keberadaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dalam pemekaran
Propinsi Papua, karena itu berarti Pemerintah Pusat telah melanggar konstitusi.
Sayangnya dalam pertimbangan hukum MK tersebut tidak disinggung mengenai
fakta hukum bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal
4 Oktober 1999 tersebut tidak memenuhi persyaratan keberlakuan hukum,33 baik
secara sosiologis dan filosofis karena ditentang oleh masyarakat Papua dan dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, juga tidak memenuhi keberlakuan yuridis
karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu Pasal 5
ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 7 Mei 1999, dan secara
substansial telah bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001, dan bahkan tidak
sesuai pula dengan asas Lex posteriori derogat legi priori. Sebab itu UU Nomor 45
Tahun 1999 sebenarnya sejak awal telah batal demi hukum. Selain itu UU Nomor 45
Tahun 1999 tersebut bukan merupakan peraturan hukum yang disebut sebagai “living
law” oleh Eugen Ehrlich.34 Karena tidak berlaku secara efektif setelah ditolak oleh
masyarakat Papua dan DPRP ketika diundangkan.
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa materi
muatan kedua UU itu berbeda, namun bersinggungan dan tidak hanya itu, tetapi juga
tidak dilihat bahwa sebenarnya UU Nomor 21 Tahun 2001 bertentangan dengan UU
Nomor 45 Tahun 1999, khususnya Pasal 11 yang menyatakan bahwa “Dengan
dibentuknya Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya
diubah namanya menjadi Propinsi Irian Jaya Timur.” Provinsi Irian Jaya yang dirubah
namanya menjadi Provinsi Irian Jaya Timur batas wilayahnya mengalami reduksi atau
berkurang. Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 1a menyatakan bahwa
“Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus. Atau dengan
kata lain Provinsi Irian Jaya dirubah namanya menjadi Provinsi Papua.” Wilayah Provinsi
Irian Jaya adalah sama dengan wilayah Provinsi Papua. Jadi kedua undang-undang
tersebut mengatur perubahan nama yang berimplikasi kepada batas wilayah
pemerintahan.
Dari keputusan MK tersebut juga terlihat pertimbangan sosial-politik begitu
kental ketimbang pertimbangan hukumnya. Hal itu terbukti dari adanya pemisahan
institusi atau lembaga di satu pihak dan hukum di pihak lain yang biasanya dibuat oleh
ahli-ahli ilmu sosial-politik. Menurut Hans Kelsen, dalam pandangan hukum murni,35
negara identik dengan hukum atau negara sebagai tata hukum. Jadi seharusnya institusi
atau lembaga negara tidak dapat dipisahkan dengan hukum, karena tata negara

33
J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (Terj. Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm. 147-153.
34
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hlm. 66-67; Lihat juga Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda
Karya, Bandung, 1993, hlm. 82-85. Walaupun Ehrlich sepaham dengan von Savigny, namun “volkgeist” dibuat
menjadi realistis tentang “fakta-fakta hukum” dan konsep “living Law” yaitu hukum yang hidup dalam
masyarakat, lihat W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Susunan II (Terj. Muhamad Arifin), Rajawali,
Jakarta, 1990, hlm. 104-106.
35
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, hlm. 181-193.
Lihat juga, Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (terj. Raisul Muttaqien),
Nuansa-Nusamedia, Bandung, 2006, hlm. 316-352.

78
merupakan tata hukum. Atau negara merupakan suatu entitas hukum, karena
berdirinya suatu lembaga negara dibentuk oleh hukum. Apabila hukum tersebut di
cabut maka secara otomatis lembaga negara tersebut runtuh pula. Provinsi merupakan
salah suatu organ negara yang dibentuk oleh hukum, dalam hal ini undang-undang,
dengan demikian jika hukum tersebut dibatalkan, maka dengan sendirinya organ
negara tersebut harus pula bubar. Hanya dengan ini maka kepastian hukum dapat
ditegakan.
Dampak lain dari Keputusan MK tersebut juga berakibat terhadap sejauhmana
masa jabatan Pjs Gubernur Irian Jaya Barat berlaku. Timbul pertanyaan, apabila
pembentukan Provinsi IJB diakui berdasarkan keputusan MK maka bagaimana dengan
status Gubernur IJB yang telah dianulir dengan Putusan PTUN? Ketua DPRP John Ibo
ketika mengemukakan pendapatnya di depan sidang MK meminta agar Mejelis Hakim
mempertimbangkan putusan PTUN tentang peninjauan kembali status Gubernur
Irjabar.
Pengadilan Tata Usaha Negara telah menjatuhkan putusan menganulir Keppres
No, 213/M/2003 tentang Pengangkatan Abraham O. Atururi sebagai Gubernur IJB
tetapi langkah-langkah hukum ini seakan-akan tidak mempunyai dampak dalam
kehidupan politik kenegaraan. Presiden Megawati tidak juga mencabut Keppres-nya
sehingga Gubernur IJB dihadapan publik mengatakan bahwa pihaknya hanya mengikuti
perintah atasannya.36 Kelihatannya hukum dalam hal ini putusan hakim dapat
dikesampingkan oleh politik kekuasaan. Juga dengan tidak mempertimbangkan putusan
PTUN tentang peninjauan kembali status Gubernur IJB maka keputusan MK terkesan
mendukung kebijakan politik kekuasaan. Dalam kasus ini supremasi hukum berada
dibawah supremasi politik sehingga dalam kenyataannya pada tataran praktis,
Indonesia masih diragukan sebagai negara hukum.
Namun demikian jika kita menyimak pertimbangan hukum dari keputusan MK
tersebut di atas kelihatannya cukup bijaksana menghadapi masalah Papua karena
berani mengambil keputusan jalan tengah terhadap dua kubu dengan cara “win-win
solution”. Saya melihat keputusan tersebut tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan
pertimbangan yuridis tetapi juga menggunakan pertimbangan sosiologis-politis, jadi
logika sosial-politik cukup berperan. Bisa saja putusan MK ini sebagai jalan tengah
untuk menghindari konflik antar masyarakat, tetapi sikap kemenduaan seperti ini jelas
tidak membantu siapa pun baik itu pihak Provinsi Papua, pihak IJB maupun Pemerintah
Pusat. Berbeda dengan pendapat Maruarar Siahaan yang memang benar-benar
berdasarkan pertimbangan yuridis, dengan berpegang pada logika hukum. Itulah
sebabnya dilihat dari sudut kepastian hukum, maka Keputusan MK berada jauh dari
kepastian hukum karena masuknya pertimbangan sosial-politis. Hal ini membawa
dampak bagi status hukum pembentukan Provinsi IJB yang sekarang diubah namanya
menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat
yang berlaku sejak diundangkan pada tanggal 18 April 2007.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut melahirkan dampak hukum dimana
UU Nomor 45 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku namun Provinsi IJB tetap diakui
keberadaannya. Itu berarti sejak tanggal keputusan tersebut provinsi Irian Jaya Barat
terbentuk dengan tidak memiliki dasar hukum dan wilayah kekuasaan. Berdasarkan
UUD 1945 pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa pembagian daerah besar atau kecil
36
Lihat Harian Cenderawasih Pos yang terbit di Papua pada Hari Sabtu, 16 Oktober 1999, ketika
diwawancarai oleh wartawan Surat Kabar Harian (SKH) Cenderawasih Pos.

79
ditetapkan dengan Undang-undang. Sebab itu Pemerintah dan DPR harus segera
membuat atau menetapkan landasan hukum pembentukan Provinsi IJB dalam bentuk
UU, karena Undang Undang Dasar 1945 mengharuskan pembentukan suatu Provinsi
oleh undang-undang. Namun sampai sekarang belum dikeluarkan undang-undang baru
untuk menjadi dasar hukum IJB. Ini berimplikasi kepada semua produk hukum Provinsi
IJB baik, keputusan gubernur dan perda Provinsi IJB akan tidak memiliki dasar hukum
sehingga dapat digugat apabila terjadi masalah hukum.
Keputusan MK tersebut dalam tradisi anglo saxon dapat dianggap sebagai
preseden yang membentuk suatu yurisprudensi.37 Apabila ditinjau dari segi ilmu
pengetahuan hukum, diakui bahwa yurisprudensi juga merupakan suatu sumber
hukum. Sebab itu dasar hukum IJB dalam tradisi anglo saxon dapat berpijak pada
Yurisprudensi MK. Namun demikian sistem hukum Indonesia telah berorientasi pada
tradisi Eropa Kontinental, sehingga menurut pasal 18 ayat (1) UUD 1945, pembentukan
suatu provinsi harus berdasarkan suatu undang-undang. Untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut sementara menunggu terbentuknya Undang-undang bagi Provinsi IJB
maka Provinsi IJB tetap dapat berjalan berdasarkan putusan hakim MK yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atau yurisprudensi tersebut.
Konsekuensi dari penerimaan judicial review ini seharusnya berimplikasi juga
terhadap pembatalan pembentukan Irjabar. Sementara putusan MK hanya
membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, tetapi keberadaan Irjabar tetap
dikukuhkan karena mendapat pengakuan. Dengan demikian Putusan MK justru
menghasilkan masalah baru dimana payung hukum sebagai dasar pembentukan
Provinsi IJB menjadi mengambang sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Agar
masalah ini tidak berlarut-larut yang berdampak pada terhambatnya penegakan hukum
di Indonesia dan khususnya di Papua sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5
Tahun 2000 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap oleh Keputusan MK,
maka pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan Pasal 76
Undang-undang Otonomi Khusus untuk membentuk landasan hukum bagi Provinsi IJB
dan Kabupaten Mimika, kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, serta Kota Sorong
berupa undang-undang seperti yang dimaksud oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Sementara menunggu undang-undang dimaksud, maka keputusan hakim MK tersebut
dijadikan dasar hukum bagi semua Keputusan Kepala Daerah dan Perdasi dan Perdasus
IJB. Sedangkan dasar hukum bagi semua Keputusan Kepala Daerah dan Perda
kabupaten Paniai, Puncak Jaya, Mimika, dan Kota Sorong digunakan Pasal 125 UU
Nomor 22 Tahun 1999 jo Pasal 231, Pasal 232 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku
sejak tanggal 15 Oktober 2004, sebulan sebelum keputusan MK diucapkan.
Akhirnya pada tanggal 16 April 2008, Pemerintah menetapkan Perpu Nomor 1
Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu
tanggal 16 April 2008. Dengan demikian berakhirlah masalah mengenai status hukum
Provinsi Papua Barat. Ada dua dasar pertimbangan penting dari Perpu tersebut yaitu:
a. bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi
Provinsi Papua Barat, dalam kenyataannya telah menjalankan urusan
pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada
masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan Otonomi Khusus

37
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, hlm. 346-
347; Juga Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2006, hlm.131-132. Lihat
juga Hans Kelsen, 1961, Op.Cit., hlm. 146-150.

80
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua;
b. bahwa pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat
memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak
menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial,
ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat;
Kemudian dalam Perpu tersebut hanya tiga ayat dari dua pasal yang dirubah
yaitu pasal 1 huruf a, dan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l, yang berbunyi, Provinsi
Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan pasal yang dihapus adalah pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l
yang berbunyi: DPRP mempunyai tugas dan wewenang:
c. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;
d. memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan Perpu tersebut Provinsi Papua Barat telah
memiliki dasar hukum yang kuat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan. Namun demikian Perpu tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR
dalam masa sidang berikutnya. Apabila Perpu tersebut tidak mendapat persetujuan
dalam masa sidang DPR berikutnya, maka status hukum Provinsi Papua Barat terus
bermasalah. Untuk mengatasi masalah tersebut kiranya DPR perlu mendengarkan
pendapat MRP dan DPRP sebelum memberikan persetujuan mengenai Perpu tersebut
dalam masa sidang berikutnya. Akhirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tersebut
kemudian disahkan dalam rapat Paripurna DPR tanggal 25 Juli 2008 menjadi Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, menjadi dasar pembentukan
daerah otonom Provinsi Papua Barat.
Agar supaya ada kepastian dan landasan hukum bagi Provinsi Papua Barat dan
kabupaten kota yang telah dibentuk menurut UU Nomor 45 tahun 1999, maka UU
nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian
Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota
Sorong, perlu dihidupkan kembali. Namun mengingat status UU Nomor 45 tahun 1999
yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh putusan MK,
maka pasal-pasal yang menyangkut pembantukan Provinsi Papua Tengah harus dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku dalam RUU yang baru ini. Dengan demikian selanjutnya
untuk pembentukan provinsi di tanah papua harus berdasarkan ketentuan dalam UU
baru yang akan dibentuk.
Undang-undang Otsus juga telah diuji materiil di MK berkenaan dengan masalah
keanggotaan DPRP yang mewakili rakyat Papua, berdasarkan Putusan Nomor
116/PUU-VII/2009, yang dibacakan pada hari Senin tanggal 1 Februari 2010 yang amar
putusannya a.l.:
• Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151)
sepanjang frasa ”berdasarkan peraturan perundangundangan” adalah
inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam
pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”;
• Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

81
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ”berdasarkan
peraturan perundang-undangan” tidak diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah
Khusus”;
• Menyatakan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua periode 2009-2014
sebanyak 56 (lima puluh enam) anggota sah menurut hukum, ditambah 11 (sebelas)
anggota yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Khusus sebagaimana amar
putusan ini dan berlaku hanya sekali (einmalig) untuk periode 2009-2014;
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka MRP dan DPRP segera membentuk perdasus
untuk menjawab masalah tersebut.

C. UU nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang


terkait yang kewenangannya diatur secara khusus dalam RUU-PP.
Rancangan Undang-undang Pemerintahan Papua yang apabila ditetapkan
menjadi UU merupakan UU yang hanya berlaku di wilayah Provinsi di Tanah Papua
yang diberi otonomi khusus. Sebab itu harus dipandang sebagai undang-undang
yang berlaku menurut asas lex spesialis derogat lex generalis. Sedang UU nomor 32
tahun 2004 dan Undang-undang terkait yang kewenangannya diatur secara khusus
dalam RUU-PP, merupakan UU yang berlaku secara nasional termasuk di tanah
Papua.
Pemerintah pusat memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam pasal
10 ayat 3 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, meliputi politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, Yustisi, meneter dan fiskal nasional, dan agama.
Sedang kewenangan lain yang bukan merupakan kewenangan pusat melalui RUU-PP
hendak dilaksanakan oleh Pemerintahan Papua untuk mensejahterakan masyarakat
di Tanah Papua. Sebagian kewenangan yang menjadi kewenangan Pemerintahan
Provinsi yang diperlukan antara lain di bidang: Kehutanan, Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Perlindungan Anak, Kepegawaian, Penataan Ruang, Perseroan Terbatas, Kesehatan,
Kekuasaan Kehakiman, Kesejahteraan Anak, Penanaman Modal, Minyak dan Gas
Bumi, Ketenagakerjaan, Keuangan Negara, Sistem Pendidikan Nasional,
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jalan, Sistem Keolahragaan Nasional, Penerbangan, Mineral
dan Batubara, Kepariwisataan, Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Kepemudaan,
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pangan, Penanganan Konflik
Sosial, Pendidikan Tinggi, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Hubungan Luar Negeri, Perjanjian Internasional, Perikanan, Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, narkotika dan obat-obat terlarang.

82
BAB V
LANDASAN PENGATURAN

Landasan Filosofis

Kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang
dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan
dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari
jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini. Ada sejumlah landasan fiolosofis
yang dikedepankan oleh Naskah Akademik ini:
1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang
adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat
manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama,
demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum
adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;
4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat
Papua melalui penerapan daerah otonomi khusus;
5. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai
dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral,
hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi,
pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga
negara;
6. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak
dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

Landasan Sosiologis
Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya
dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram
dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa disepanjang
pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas
digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua.38

Zending atau misi kristen protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau
Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama
38
Lihat Agus A Alua, Papua Barat Dari Pangkuan ke Pangkuan Suatu Ikhtisar Kronologis, Sekretariat
Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2006, h. 3, lihat juga H.W. Bachtiar Sejarah
Irian Jaya dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta Djambatan 1994, h.44-h.49

83
disepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari
50.000 orang menganut agama kristen protestan. Kemudian pada tahun 1898
pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintahan pertama di Fakfak dan
Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka pos pemerintah di Merauke pada tahun
1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya
disepanjang pantai selatan Irian.

Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan
dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana
guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate,
Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan
dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik
dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen
Katholik di Selatan. Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran
pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan
ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961.

Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor
perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan
agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha
peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani
dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa "Melayu" dijadikan sebagai bahasa "Franca"
(Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari
sekolah dasar, bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua
yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.

Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan
tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi
dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776
dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan
seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib
dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah
pertama, 95 orang Irian Belajar diluar negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia
dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk Sekolah Pertanian
maupun Sekolah Perawat Kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for
Tropica Agriculture dan Papua Medical College di Port Moresby).

Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk menbangun Irian
Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampung tetap terbatas. Hubungan
laut dan luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij
(KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak,
dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal kecil milik
pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor
POS dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang
dapat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga ditiap kota terdapat
telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart
Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan-penerbangan secara
teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan
pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk

84
Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri dari Biak. Sudah sejak
tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan
tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan
yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang
diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA)
yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan
terdapat disekitar kota besar yaitu di Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105
Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km.

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan
beraneka ragam. Beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan
mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan
suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir
dan tari.

Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa
lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari
Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian
Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus
dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan
diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet,
Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika,
Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi,
Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut
diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4
kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya
tersendiri.

Penduduk Pesisir Pantai. Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan
disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan
pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi
mereka. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah; Mereka termasuk
peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling
lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang
mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran
sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

Penduduk pegunungan yang mendiami lembah; Mereka bercocok tanam, dan


memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil
dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang
ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan
secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan
menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam
mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai
pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat
penduduk tipe 2 (kedua).

85
Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung; Melihat kepada
tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa
mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini
mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat
istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri
merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana
dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari
keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Di dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang
dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan
cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama
"KORERI". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun
1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " WERE/WEGE"
sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik.

Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan,
pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah
diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan
kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan
tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua
(pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya
dan juga tidak ada pembeli pada masa itu. Belanda juga meninggalkan ekses konflik
antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara
"Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara
"Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun
dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-
Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-
Indonesia.

Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam


kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati
sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda
sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan
permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu
bentuk "Etis-Politik Gaya Baru".Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk
Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian
Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu
keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan
tekanan dari Belanda.

Landasan Yuridis
Ada beberapa peraturan perundang-undangan (produk hukum negara/pemerintah,
termasuk landasan konstitusional Undang-undang Dasar 1945) yang berhubungan
dengan pengaturan Pemerintahan Papua dengan berbagai aspek jangkauannya. Produk
hukum yang merupakan landasan yuridis antara lain:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil
amandemen keempat; Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,

86
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 Tentang:
Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat Dan Kabupaten-Kabupaten Otonom
Di Propinsi Irian Barat ;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah,
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak;
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan
Ruang
12. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
13. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan;
14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman,
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal
17. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi
18. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
19. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
20. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
23. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
24. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
25. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
26. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional

87
27. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang
28. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
29. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara
30. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan
31. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial
32. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
33. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan
34. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
35. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
36. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial
37. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi,
38. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
39. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia;
40. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan
Luar Negeri;
41. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional;
42. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
43. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme,
44. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
45. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

Di samping produk hukum dalam bentuk undang-undang, maka landasan yuridis ini
memperhatikan dengan cermat tentang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik
Indonesia, yaitu:
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan;

88
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah;

Landasan Politis
Landasan politis dalam naskah ini menunjuk pada komitmen politik dan kebijakan yang
menjadi dasar bagi kebijakan selanjutnya dalam Pembangunan Papua. Dalam konteks
pembangunan nasional, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
memiliki komitmen terhadap Pembangunan Papua, antara lain tercatat: (1) penetapan
Arah kebijakan Kewilayahan Pulau Papua, di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RP-JMN) Tahun 2010-2014 (Buku III) (2) Koridor VI Papua dan
Kepulauan Maluku, di dalam Perpres Nonomor 32 Tahun 2011 tentang Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-
2025, (3) pembentukan Badan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat, di dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2011 (BP4B), (4) penetapan Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan Terpadu, di dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan
Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) (5) penentapan Kebijakan-kebijakan
Pembangunan Sektoral (Kementerian/ Lembaga) untuk Papua.

Belakangan, dengan mempertimbangkan evaluasi pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001


Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan tantangan kedepan, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memberikan komitmen politik dan arah Triple Track Strategy for Papua
kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, Ketua
MRP Timotius Murib, dan Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda di Istana Negara, pada 29
April 2013. Triple Track Strategy for Papua itu adalah: (1) Pemberian kewenangan
yang lebih luas (otonomi khusus plus); (2) Penyelesaian konflik untuk Papua
Aman dan Damai; (3) Pembangunan Papua yang komprehensif dan ekstensif.
Demikian pula, dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2013, Presiden SBY menegaskan:
“Kita sedang merancang formula Otonomi Khusus yang memberikan nilaitambah
dan terobosan untuk kemajuan dan kemuliaan Papua”.

Landasan Historis
Landasan historis ini ingin mengemukakan sejarah perkembangan Papua (orang Papua)
kontak dengan Orang Luar Papua yang turut mempengaruhi perkembangan Orang
Papua.

Seperti sejarah mencatat bahwa Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 13 dan
Kerajaan Majapahit pada abad ke 14 sesungguhnya belum menampakan data sejarah
yang jelas dan tegas tentang penguasaannya atas Tanah Papua.39 Adanya hubungan
Papua dengan Sriwijaya, entah langsung atau tidak langsung, diketahui dari dua Raja
Sriwijaya bernama Sri Indrawarman yang mempersembahkan burung khas40 Tanah
Papua kepada Raja Tiongkok. Hal ini diandaikan bahwa kerajaan Sriwijaya pernah
menjalin kontak dengan Tanah Papua. Pada waktu itu pulau Papua disebut “Janggi”,

39
Masyarakat Adat Papua Manokwari, http://www. tribal land. blog.spot.com/2009/01/
40
Burung khas Papua dimaksud diduga kuat adalah burung cenderawasih yang sampai saat ini
digunakan oleh Universitas Cenderawasih sebagai “Lambang Universitas, dan selalu digunakan oleh suku-suku
asli di Papua sebagai lambang budaya yang biasa digunakan dalam upacara-upacara adat, maupun dalam tari-
tarian adat suku-suku asli di Papua.

89
yang dalam sebutan dan dialek Tionghoa disebut “Turki” yang diperkenalkan oleh
musafir Tionghoa pada abad ke 13. Sedangkan hubungan dengan kerajaan Majapahit
hanya diketahui dari karya pujangga Prapanca tahun 1365 yang berjudul:
Negarakertagama.41

Dalam karya itu disebut beberapa nama yang menurut beberapa ahli Jawa Kuno identik
dengan beberapa nama tempat di Tanah Papua, yakni Wanim (Onim); Sran ( nama lain
dari Koiwa); Timur (nama lain dari bagian Timur Papua Barat). Hubungan ini dijalin
melalui Maluku. Hubungan Sriwijaya dan Majapahit atas Tanah Papua tidak secara
langsung namun secara tidak langsung melalui Maluku. Hubungan tersebut lebih
bersifat hubungan perdagangan daripada politik42.

Kontak dengan Spanyol dan Portugal. Kontak pertama Orang Papua dengan dunia
luar (orang asing) tercatat dari adanya usaha-usaha Spanyol dan Portugis mencapai
Tanah Papua. Misi pertama Orang Spanyol dan Portugis hanya dalam rangka
perdagangan; bukan untuk mencari dan mendudukinya untuk memperluas tanah
jajahan (miisi imperialisme dan kolonialisme). Tahun 1511 pelaut Portugis bernama
Antonio d’Abreu mengunjungi pulau Papua dan ia memberi nama ilha de Papoia. Tahun
1517 Francisco Rodriguez mengunjungi pulau Papua.43 Catatan sejarah dari beberapa
referensi menyatakan bahwa pada tahun 1521-1522 dilakukan pelayaran Magelhaens
mengelilingi dunia dengan Kapal “Victoria” yang dinakhodai oleh Juan Sebastian del
Cano. Pada tahun 1521 Kapal tersebut pernah singgah di Tidore. Seorang penulis Italia
bernama Antonio Pigafetta ikut dalam pelayaran itu. Dari catatan harian Antonio
Pigafetta dalam laporan tertulisnya ia menyebut-nyebut nama Papua. Nama “Papua”
diperolehnya ketika kapal Victoria singgah di Tidore, tetapi apa yang ia maksudkan
dengan “Papua” tidak jelas diuraikan dalam laporannya. Pigafetta dalam laporannya
menjuluki pulau ini dengan julukan Isla de Oro artinya Pulau Emas. Pada tahun 1522
para pedagang Portugis mulai membuka perdagangan dan menetap di Ambon dan
Ternate. Tahun 1526 gubernur Portugal pertama di Maluku bernama Jorge de Menesez
mengunjungi Pulau waigeo. Waigeo waktu itu diperintah oleh Raja Papua. Ia menamai
daerah itu dengan nama Ilhas dos Papua..

Tahun 1529 (pertengahan) Alvaro de Saavedra diperintahkan oleh Herman Cortez


orang Spanyol dari Mexico ke Maluku untuk menyelesaikan sengketa antara Portugal
dan Tidore dan sekaligus mencari dan menaklukkan pulau perjalanannya ke Mexico
pernah singgah di salah satu tempat pantai utara (Biak) karena angin kencang
menghadangnya. Ia tinggal di situ selama sebulan untuk mencari emas di Pulau tersebut
namun tidak menemukannya.

Tercatat dalam sejarah kontak Orang Papua dengan Orang asing bahwa pada 1537
Herman Cortez dari Mexico mengirim lagi Herman Griyalva untuk mencari dan
menaklukkan pulau emas (Isla de Oro) sebab Alvaro de Saavedra yang pertama telah
gagal. Namun akibat pemberontakan ABK-nya (Anak Buah Kapal), ia bersama ABK
lainnya tewas. Hanya 7 orang yang lolos, kemudian ditawan oleh penduduk setempat

41
Peranan Lembaga Adat Dalam Era Otsus, http://www. ire yogya org/adat/peranan.html.
42
Selanjutnya lihat H. Bachtiar, Pengantar Antropologi Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Jakarta. 1996 h. 44-45.
43
Lembaga Adat Amungme. http://www. id.wklpedia.org./wki/ lembaga_adat_suku Amungme.

90
dan dibebaskan dalam beberapa tahun kemudian, lantas diserahkan kepada Gubernur
Portugal di Ternate.

Tanggal 20 Juni 1545 seorang Spanyol bernama Kapten Ynigo Ortiz de retes dengan
kapalnya bernama San Juan berlayar di Tidore menuju Panama. Ia sempat mencapai
sekitar sarmi (Bier) di muara sungai Amberno (Membramo). Ia memberikan nama
pulau ini Nueva Guinea dan mengklaimnya sebagai milik raja Spanyol. Dalam dokumen-
dokumen bahasa Latin nama pulau ini disebut Nova Guinea. .

Tahun 1606 Kapten Torres (Spanyol) dari arah timur Pulau Papua menelusuri pantai
Selatan Papua Barat dan mengklaim sejumlah tempat sebagai milik raja Spanyol.
Perjalanan inilah yang pertama kali membuktikan bahwa pulau Papua yang sebelumnya
dikira bersatu dengan Australia tenyata ia terpisah dari australia (West Pac. 1:11)44.
Tahun 1663 pedagang-pedagang Spanyol di Maluku menarik diri dan pindah ke Filipina,
karena gagal menguasai rempah-rempah di Maluku

Kontak dengan Belanda. Tahun 1606 Willem Janz, seorang navigator, menelusuri
pantai barat dan selatan papua Barat dalam rangka mencari emas. Ia adalah orang luar
pertama yang menemukan sungai Digul di Pantai Selatan. Tanggal 24 Juli 1616 Lemaire
dan Schoutem mulai menjelajahi teluk Geelvink (sekarang:teluk cenderawasih) dan
singgah dipulau Biak. Kepulauan Biak Numfor diberi nama Schouten Eilanden
(Kepulauan Scouten). Tahun 1623 bulan februari, jan Carstenz berlayar dari Maluku
dan menelusuri pantai Selatan Papua Barat. Ketika Ia sampai pada titik 4 derajat LS,
lantas dengan teropong melihat salju dipuncak gunung, setelah itu ia menamai gunung
salju itu Carstenz yang sekarang dikenal dengan nama Puncak Jaya.

Tahun 1660 dilakukan perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore dan Bacan tentang
batas-batas wilayah kekuasaan atas Papua Barat dan pengamanan wilayah perairannya
dari gangguan pengacauan orang papua. Perjanjian tersebut diperbaharui tahun 1667
dimana VOC mempertegas kedaulatan Tidore atas wilayah kepulauan sekitar Papua
Barat. Tahun 1678 untuk pertama kali bendera Belanda ditancapkan dibeberapa tempat
di pesisir pantai bagian barat Papua. Tahun 1705 pelaut Belanda Geelvink dan
Kraanvogel melayari dan memetakan seluruh teluk cenderawasih. Setelah itu teluk itu
dinamai Geelvink Bai atau Teluk Geelvink.

Tahun 1710 dari memorandum timbang terima Gubernur Claaz di Maluku terdapat
bahwa VOC mengakui kekuasaan Tidore atas pulau-pulau disekitar Pulau Papua. Tahun
1779 Gubernur Belanda di Maluku (J.r. Thomaszen) mengakhiri kekuasaan Tidore atas
kepulauan di Perairan Papua karna sultan Tidore tidak dapat dikendalikan Belanda.
Karena itu Belanda melakukan penangkapan Sultan Tidore beserta Putra mahkota dan
Sultan bacan, lantas diasingkan (ditawan) di Batavia (Jakarta).

Tanggal 24 Agustus 1828 pertama kali pemerintah belanda mendirikan dan


meresmikan Benteng Fort du Bus diteluk Triton, Kaimana (Fakfak) sebagai simbol
kekuasaannya atas Pulau Papua atau New Guinea. Peresmian itu bertepatan dengan
HUT Raja Belanda Willem I. Benteng itu didirikan oleh komisaris A.J. van Delden atas
44
Sumber ini diakses dari Agus A Alua, Op. Cit. h. 79, dengan mengutip West PAC 1999, singkatan
Wet PAC kepanjangan dari West Papua from Colonization to Recolonization (Papua Barat dari Kolonisasi ke
Rekolonisasi) Jakarta, West Papua Community.

91
nama Gubernur Maluku.Setelah itu ditempatkan sejumlah pegawai di daerah itu. Tahun
1835 (7 tahun kemudian) benteng itu tidak difungsikan lagi karena situasi di daerah
initidak menguntungkan kesehatan orang belanda. Sekitar 10 orang aparat pemerintah
dan 50 orang eropa dan 50 anggota pasukan Indonesia (VOC) dikabarkan meninggal
dunia. Karena itu Gubernur Maluku memerintahkan untuk mencari tempat lain yang
lebih baik; namun tidak mendapatkan penggantinya. Tanggal 30 Juli 1848 gubernur
Hindia Belanda J.J.Rochussen mengeluarkan suatu keputusan rahasia yang menetapkan
batas-batas kekuasaan Tidore atas Papua Barat. Rochussen menetapkan batas timur
140,47 BT pantai utara di semenanjung Ponland (Teluk Humboldt) sampai ke barat dan
141 BT Pantai Selatan sebagaimana diatur dalam proklamasi 24 Agustus 1828. Dengan
keputusan rahasia itu segala milik (kekuasaan) Tidore di hapuskan dan menjadi milik
Belanda. Kebijakan ini diambil secara rahasia karena adanya sengketa antara Inggris
dan Belanda atas Neuva Guinea atau Pulau Papua. Pada tahun 1849 sampai dengan
1850 pemerintah Belanda segera mematok seluruh wilayah papua barat (kemudian
disebut Nieuw guinea) dari Pantai Utara sampai Selatan sebagai wilayah kekuasaannya.

Tanggal 5 Februari 1855 penginjil zending Jerman yang pertama Ottow dan Geisler
menginjak kakinya di Tanah papua tepatnya di Pulau Mansinam (Manokwari). Ottow
dan Geisler berangkat dari Ternate tanggal 10 Januari 1855 ditemani oleh seorang anak
12 tahun bernama Fritz, anak seorang guru. Ottow dan Geisler menumpang kapal
Fabritus milik seorang saudagar bernama Duivendode. Namun tidak lama kemudian
setelah 6,5 tahun berkarya, pada tanggal 9 November 1862 Ottow meninggal dunia di
Kwawi (Manokwari) dan dikuburkan di daerah itu.

Tahun 1861 pemerintah Belanda mengambil keputusan bahwa tidak akan mendirikan
lagi benteng pengganti Fordubus di daerah lain. Pada tahun yang sama pemerintah
Belanda melarang orang Tidore untuk merampok dan mengambil budak dari Papua.
Pada tahun 1879 pemerintah Belanda membeli kembali semua budak Papua yang ada di
Ternate dan Tidore, lalu membebaskannya. Tanggal 11 Oktober 1871 A. Smith
menempatkan tanda patok batas kekuasaan Belanda di Pantai Utara bagian Timur,
yakni di semenanjung Bonpland (sudut timur di Teluk Humboldt) pada titik 141,9 BT.
Patok itu berbentuk besi panjang dengan gambar lambang Kerajaan Belanda.

Kontak dengan Prancis, Inggris, dan Jerman. Aryesam45 mencatat bahwa pada tahun
1768 seorang pelaut Prancis bernama Louis Antonie Baron de Baouginville pernah
singgah di Teluk Imbi (kini teluk Yos Sudarso), lantas Baouginville memberi nama
gunung Dobonsolo menjadi Cycloope dan gunung Tami menjadi Baouginville sesuai
mitos Yunani yang dipercayainya. Tahun 1770 seorang navigator inggris bernama
James Cook yang banyak melakukan penemuan-penemuan dikawasan Pasifk melewati
pantai selatan. James Cook pernah dihadang oleh perampok Papua di pantai selatan.
Pada tahun 1775 Thomas Forrest dari Usaha Dagang Inggris di India tiba di Manokwari
untuk mencari peluang perdagangan di Papua Barat. Pada kesempatan itu kapten John
Hayes mendirikan benteng Fort New Albion. Namun benteng tersebut segera
dihancurkan oleh orang Arfun dan Arfak. Tahun 1791 seorang Inggris bernama John
McCluer membuat pemetaan di wilayah teluk Bintuni. Teluk tersebut dinamakan
McCluer Gulf. Hasil pemetaan itu memperbaiki peta lama yang memisahkan bagian

45
Alexander Aryesam, Masalah Irian Barat dan Gagasan Pembentukan Negara Papua, Tesis S-2
Universitas Indonesia, Jakarta 1997, tidak dipublikasikan. Lihat juga Agus A Alua, Op. Cit. h. 77

92
Kepala Burung dan Fakfak. Pemetaan baru itu menghasilkan peta Papua Barat seperti
sekarang dengan kenyataan.

Tahun 1795 sesuai dengan cita-cita kapten John Hayes, saudagar Inggris mendirikan
benteng Fort Coronation yang lebih permanen di Manokwari, namun dihancurkan lagi
oleh penduduk setempat setelah 20 hari berdiri. Dalam tahun ini juga Inggris
mendukung Pangeran Nuku dalam pertikaiannya dengan sultan Tidore yang waktu itu
didukung oleh Belanda. Tahun 1810-1815 Inggris secara politik menguasai Indonesia
sebagai wilayah jajahannya. Tanggal 27 Oktober 1814 diadakan perjanjian antara
Inggris dan Sultan Tidore yang disaksikan oleh W.B. Martin (Residen Inggris di Maluku).

Perjanjian itu mengakhiri perjanjian Tidore dan Inggris atas Papua Barat. Tidore
diijinkan untuk menguasai pulau-pulau perairan Papua Barat bagian barat dan 4 distrik
untuk menguasai pulau-pulau perairan Papua Barat bagian barat dan 4 distrik di Teluk
Geelvink (Mansari, Karondefur, Amberpur dan Amberpon)

Tahun 1824 Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London karena sengketa
mereka atas Papua Barat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa selain 4 distrik di
dalam perjanjian 1814 diatas, maka Papua Barat secara keseluruhan dinyatakan sebagai
“Daerah Tak Bertuan”, No Man’s land/ Nie Mans Land. Tahun 1827 pelaut Prancis
bernama Jules Sebastian Cesar d’Urville dalam perjalanannya keliling dunia, ia singgah
di Teluk Imbi (Jayapura), lantas ia memberikan nama teluk itu Humboldt (kini Teluk
Yos sudarso), sesuai dengan nama seorang sarjana Jerman yang bernama F.H. Alexander
Baron von Humboldt, yang pernah singgah sebelumnya antara tahun 1799-1805,
sebagai tanda penghargaan kepadanya.

Kontak dengan Tidore atau Maluku. Pada tahun 1453 orang Tidore mengadakan
kontak intensif dengan orang-orang Papua yang waktu itu disebut Papua Besar. Dalam
buku Museum “Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” tertulis bahwa pada tahun
itu Sultan Tidore X yang bernama Ibnu Mansur bernama Sangaji Patani Sahmardan dan
Kapitan Waigeo bernama Kurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah besar.
Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora itu berhasil menaklukkan beberapa
wilayah di Tanah Besar dan pulau-pulau di sekitarnya yang kemudian dinyatakan
sebagai wilayah tanah besar menjadi tiga wilayah, yakni Kolano Ngaruha (Radja
Ampat), Papo Ua Gam Sio (Papoua Sembilan Negeri), dan Mafor soa Raha (Mafor Empat
Soa).

Wilayah-wilayah di Tanah Besar itu kemudian disebut dengan nama Papoua yang
berarti tidak bergabung atau tidak bersatu atau tidak bergandengan. Tahun 1649 ketika
VOC memasuki wilayah kekuasaan kesultanan Tidore, maka sultan Jamaluddin meminta
bantuan Raja Papua bernama Kurabesi (Biak: kita mendukung mereka). Dengan
Armada 24 perahu perang, Kurabesi berhasil memukul mundur VOC. Atas dasar jasa
baik itu, Sultan Jamaluddin mengikat persahabatan dengan Kurabesi dan pasukannya
(kebanyakan dari Pom, Ansus, dan Biak) “dengan perkawinan dan menyediakan tanah
untuk mereka menetap di Maluku Utara”. Hasil perkawinan (matrilokal) itu kemudian
menjadi penguasa-penguasa baru disejumlah tempat Maluku Utara dan kepulauan Raja
Ampat (Kolano Fat). Hubungan perkawinan itu berdampak pula pembelaan raja-raja
Papua terdapat kekuasaan Sultan-Sultan Maluku Utara di Tidore, Ternate, dan di Tanah
papua Barat..

93
Tahun 1660 dibuat perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore dan Bacan untuk
menentukan batas-batas kekuasaan mereka atas Papua Barat.. Tahun 1667 dipertegas
kembali perjanjian 1660 di atas, dimana VOC menyatakan tegas kekuasaan Tidore atas
wilayah Papua Barat. Tahun 1710 VOC mengakui secara sah kekuasaan Tidore atas
pulau-pulau sekitar Papua Barat. Sejak itu Belanda memberikan kepercayaan kepada
Tidore untuk pengawasan atas tanah Papua Barat. Tahun 1773 perjanjian itu
diperbaharui lagi dengan isi perjanjian yang sama.

Papua Sekitar 1962-1963. Pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno


membentuk Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di
Makassar. Komando Operasi Mandala diketuai oleh Mayjen Soeharto. Tugas pokoknya
adalah merencanakan persiapan dan menyelenggarakan operasi militer untuk
mengembalikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia. Mengembangkan situasi
militer di wilayah Provinsi Irian Barat sesuai dengan taraf perjuangan di bidang
diplomasi supaya dalam waktu sesingkat-singkatnya di wilayah Irian Barat dapat secara
de facto diciptakannya daerah-daerah atau didudukan unsur-unsur kekuatan
Pemerintah Daerah Republik Indonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1962 gugurlah Jos Sudarso bersama Kapal KRI Macan Tutul di
Laur Arafura. Jos Sudarso gugur dalam usaha merebut Irian Barat sebagai
implementasi Trikora dari tangan Belanda. Peristiwa itu terjadi ketika Belanda sedang
patroli di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Irian Barat. Ketika itu hubungan
Belanda dan Indonesia sangat tegang di Irian Barat. Ketegangan ini mulai sejak
Deklarasi 01 Desember 1961 dan Trikora 19 Desember 1961.

Pada tanggal 12 Februari 1962 Presiden Soekarno menerima Roberth F. Kennedy


sebagai utusan Presiden John F. Kennedy (Amerika Serikat). Roberth F. Kennedy
membawa pesan Presiden AS tentang penyelesaian sengketa Irian Barat.. Pada tanggal
16 Februari 1962 Dewan Nieuw Guinea telah menyelesaikan segala prosedur dan
persyaratan untuk pelaksanaan mengatur diri sendiri.

Tanggal 20 Maret 1962 dimulai perundingan antara Indonesia dengan Belanda di


bawah pimpinan utusan Presiden John F Kennedy, yakni diplomat E. Bunker. Pada april
1962 sebagai reaksi atas tewasnya Yos Sudarso, diterjunkan sejumlah besar TNI dan
sukarelawan di seluruh daratan Irian Barat untuk merebutnya dari kekuasaan Belanda.
Perang gerilya antara Indonesia dan Belanda meletus dimana-mana di dataran Papua
Barat, khususnya di Teminabuan terjadi pada tanggal 21 Mei 1962 dan Sausapor pada
tanggal 30 Mei 1962. Perang terbuka tak terelakan lagi. Amerika pun mengirim pesawat
pengintai untuk memantau situasi ini. Situasi politik inilah yang menjadi latar belakang
lahirnya “Bunker Proposal” yang kemudian menjadi New York Agreement Tanggal 2
April 1962 Presiden Amerika Serikat John F Kennedy mengirimkan surat rahasia
kepada Perdana Menteri Belanda Dr. J.E. De Quay untuk menekan pemerintah Belanda
agar menerima proposal Bunker.

Alasan penekanan terhadap Belanda adalah bahaya akan perang terbuka di kawasan
daerah sengketa bila terjadi perang terbuka Belanda dan Blok Barat akan kalah dan
yang akan memetik kemenangan adalah Blok Timur atau Komunis. Presiden John F.
Kennedy menegaskan dalam surat tersebut bahwa keadaan sepertiini serta didorong
oleh tanggungjawab kami terhadap Dunia Bebas (Non-Komunis) saya mendesak dengan

94
sangat agar Pemerintah Belanda menerima rumusan yang digagaskan oleh Tuan Bunker
(West Papua, 28). Tanggal 7 April 1962 pemerintah Indonesia menyetujui proposal
Bunker setelah inti proposal Bunker disepakati dan dirumuskan bahwa pengalihan
kekuasaan kepada Indonesia setelah 6 bulan UNTEA dan Act of Free Choice akan
dilaksanakan 6 (enam) tahun administrasi percobaan.

Tanggal 14 April 1962 pemerintah Belanda akhirnya menyetujui proposal Bunker,


karena ditekan Amerika Serikat. Pada Mei dan Juli 1962 diadakan perundingan rahasia
antara Indonesia dan Belanda yang dimediasi oleh wakil-wakil PBB dan Amerika Serikat
(terutama Bunker) untuk melakukan pembahasan-pemahasan proposal Bunker untuk
penyelesaian masalah Irian Barat.

Tanggal 1 Mei 1962 pemerintah Belanda secara resmi menyatakan akan menyerahkan
kekuasaan atas Nieuw Guinea kepada PBB. Kemudian PBB akan membentuk
pemerintahan sementara yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive
Authority). Tanggal 12 Mei 1962 diluncurkan draft terakhir Bunker Proposal (Kerangka
Usulan) tentang cara-cara penyelesaian masalah Papua atau West Irian antara
Indonesia dan Belanda. Ellwarth Bunker adalah mantan Duta Besar dan berkuasa penuh
Amerika Serikat di India. Sekjen PBB menugaskan Bunker untuk menyusun proposal
tersebut. Bunker dan proposalnya muncul sebagai mediator untuk mengatasi konflik
Indonesia Belanda atas Nieuw Guinea.

Proposal Bunker46 berisikan 4 pokok: (1) Pemerintahan atas Irian Barat harus
diserahkan kepada Indonesia, (2) Sesudah sekian tahun di bawah pemerintahan
Indonesia, maka rakyat Irian Barat diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya
sendiri secara bebas, apakah tetap dengan Indonesia atau memisahkan diri. (3)
Pelaksanaan penyerahan pemerintahan di Irian Barat akan diserahkan dalam waktu 2
(dua) tahun (4) Untuk menghindari kekuasaan Indonesia langsung berhadapan dengan
Belanda, maka perlu diadakan Pemerintahan Peralihan di bawah pengawasan PBB.

Proposal Bunker ini disepakati antara Indonesia dan Belanda. Pemerintahan Belanda
ditekan (dalam arti dipaksa) untuk menyetujui proposal Bunker oleh Amerika Serikat
melalui PBB. Setelah itu proposal ini dikembangkan oleh kedua belah pihak, akhirnya
menjadi New York Agreement. Tanggal 25 Mei 1962 Parlemen Belanda menyetujui
Proposal Bunker. Tanggal 2 Juli 1962 Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio
mengadakan perundingan dengan Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy, di mana
Soebandrio melaporkan perang terbuka dengan Belanda berarti Indonesiaakan
menggerakkan kekkuatan nasiomal dan akan menguntungkan komunisme. Akibat
diplomasi ini John F.Kennedy mendesak dan menekan pemerintahan Belanda agar
menyetujui tanggal 1 Mei 1963 sebagai tanggal penyerahan Administrasi West
Papua/West Irian kepada Pemerintah Indonesia. Tanggal 13 Juli 1962 perundingan
rahasia antara Indonesia dan Belanda dilanjutkan. Tanggal 31 Juli 1962 persetujuan
sementara tentang penyelesaian masalah Papua Barat ditandatangani antara Belanda
dan Indonesia.

46
Informasi ini dapat ditelusuri dalam terbitan Pemda Tk I Irian Jaya, 1972, dicetak ulang 1997,
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Di Irian Barat 1969. Dapat juga diakses pada “Kembalinya Irian Jaya
Ke Pangkuan Republik Indonesia, diterbitkan Pemda Tk I Irian Jaya Jayaura 1998. Sumber lain seperti A.
Mampioper 1972, Jayapura Ketika Perang Pasifik, Labor Jayapura. Makka Teru, Syamsudin, Asal Mula Nama
Irian Jaya, Utama Murni Jakarta, 1975.

95
Tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani secara definitif Perjanjian Antar Pemerintah
Republik Indonesia dan Kerajaan Nederlands mengenai Irian Barat (Agreemennt
Between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Nederlands Concerning West New
Guinea/West Irian) yang kemudian dikenal dengan New York Agreement (Perjanjian
New York) antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal
yang mengatur 13 macam hal. Penandatanganan dokumen diwakili oleh Subandrio
(Selaku menteri luar negeri Indonesia) dan pihak pemerintah Belanda oleh J. Herman
van Roijen dan C.A.W. Schurmann. Persetujuan tersebut pada intinya berisikan hal-hal
sebagai berikut: (a) Transfer administrasi (pengalihan administrasi) dari Pemerintah
Belanda kepada PBB yang diatur dalam Pasal 2 - Pasal 11 (10 pasal); (b) Transfer
administrasi dari PBB kepada Indonesia yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13 (2
pasal). (c) Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang diatur dalam Pasal 14
sampai Pasal 21 (8 pasal). Inti dari 8 pasal ini adalah (1) pelaksanaan penentuan nasib
sendiri harus di bawah nasehat, bantuan, dan partisipasi PBB, (2) prosedur Penentuan
nasib sendiri harus dimusyawarahkan dengan wakil-wakil rakyat, (3) persyaratan
untuk berpartisipasi dalam Penentuan nasib sendiri harus berdasarkan praktek-
praktek internasional. (4) PBB dan Indonesia akan menyampaikan laporan pelaksanaan
Penentuan nasib sendiri kepada Majelis Umum PBB, (5) Indonesia dan Belanda akan
mengakui dan terikat pada hasil Penentuan nasib sendiri. Hak-hak penduduk diatur
dalam Pasal 22 – 23 (2 pasal), Djopari 37 – 39 Pemda 1972, 11 Pemda 1998: 2-3, 9-25).

Tanggal 16 Agustus 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan suatu perintah tentang


Penghentian Permusuhan Belanda–Indonesia yang ditujukan kepada semua gerilyawan
Indonesia di Dataran Irian Barat yang isinya memerintahkan agar segera dihentikan
tembak-menembak mulai 18 Agustus 1962 pukul 09.31, namun tetap adakan
konsolidasi dan waspada serta siaga penuh menerima perintah lebih lanjut. Tanggal 1
September 1962 DPR-GR mengeluarkan pernyataan pendapat tentang persetujuan
Indonesia – Netherlands mengenai penyerahan Irian Barat kepada RI. Isinya
menegaskan bahwa DPR-GR setelah menerima laporan dari Menlu Soebandrio dalam
rapat dewan 31 Agustus 1962, memutuskan bahwa menerima persetujuan Indonesia–
Belanda mengenai Irian Barat yang ditandatangani 15 Agustus 1962, namun
persetujuan itu tidak ditetapkan melalui tap khusus DPR-GR-RI, Tanggal 21 September
1962 pernjanjian New York diratifikasi dalam Sidang Majelis Umum PBB yang ke XVII
dan ditetapkan dalam resolusi No.1752, maka sejak tanggal tersebut persetujuan itu
mulai berlaku dan ditetapkan.47

Pada bulan September 1962 setelah New York Agreement disahkan dalam resolusi PBB,
para elit politik Papua Pro-Kemerdekaan Papua melakukan suatu Kongres Nasional
yang diprakarsai oleh Ketua Partai Nasional (ParNas) Hermanus Wayoi dan anggota
Nieuw Guinea Raad Nicolas Tanggahma. Kongres ini memutuskan (dihadiri 90 elit
Papua) untuk menerima Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dengan ragu-ragu,
menyetujui kerjasama dengan PBB dan RI, dan menuntut agar UNTEA menghormati
bendera dan lagu nasional Papua serta menentukan pemilihan umum dilakukan tahun
1963 segera setelah masa kerja resmi UNTEA selesai.

47
Pemda Provinsi Irian Barat, Op. Cit. 1972: 11; Djopari Op. Cit. h. 57, Pemda Provinsi Irian Jaya
1998:Op Cit h. 23

96
Tanggal 30 September 1962 dikeluarkan Roma Agreement (Perjanjian Roma) antara
Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Perjanjian ini sering diperdebatkan
kebenarannya sebab sulit ditemukan teks aslinya, namun Herman Wayoi (selaku pelaku
sejarah) selalu mengatakan penuh keyakinan bahwa beliau memiliki dokumen asli.
Teks terjemahan isi perjanjian Roma seperti di bawah ini:

Isi Perjanjian Roma :


a. Act of Free Choice (AFC) yang dijadikan pelaksanaannya pada tahun 1969,
sebagaimana tercantum dalam perjanjian Agustus 1962, agar ditunda atau
jika mungkin dibatalkan;
b. Indonesia memerintah Papua Barat selama 25 (dua puluh lima) tahun
berikut terhitung 1 Mei 1963;
c. Metode yang digunakan dalam AFC adalah dengan cara musyawarah, sesuai
dengan Dewan Permusyawaratan Indonesia;
d. Laporan terakhir PBB tentang pelaksanaan AFC yang disampaikan pada
Sidang Umum PBB agar diterima tanpa perdebatan;
e. Amerika berkewajiban bagi penanaman modal melalui BUMN Indonesia bagi
eksplorasi mineral, minyak bumi serta sumber daya alam lainnya di Papua
Barat;
f. Amerika Serikat menjamin Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank) sebagai dana pembangunan PBB bagi Irian Barat sebesar USD 30 juta
untuk jangka waktu 25 tahun;
g. Amerika Serikat menjamin Indonesia melalui Bank Dunia (World Bank)
dengan sejumlah dana bagi perencanaan dan pelaksanaan Transmigrasi bagi
penempatan orang-orang Indonesia di Papua Barat terhitung mulai tahun
1977.
Tanggal 1 Oktober 1962 mulai berlangsung pemerintahan UNTEA di bawah pimpinan
Administrator Jose Rolz Bennet ( pada tanggal 1 Oktober sampai dengan 31 Desember
1962). Pada hari itu juga bendera PBB dikibarkan bersamaan dengan bendera Belanda.
Wakil pemerintah Belanda untuk penyerahan kekuasaan kepada PBB adalah H.
Veldkamp.

Pada bulan Oktober setelah UNTEA berkuasa pemerintah Indonesia mengirimkan


sejumlah elit dan tokoh masyarakat Papua ke Pulau Jawa untuk melakukan sejumlah
kunjungan supaya mendapat gambaran yang sebenarnya tentang Indonesia. Selama
UNTEA diawasi oleh tentara PBB dan Pakistan. Pada bulan Oktober 1962 ini juga suatu
delegasi Indonesia di PBB menyatakan bahwa Bendera Bintang Kejora bertentangan
dengan perjanjian maka harus dilarang pemakaiannya.

Pada awal Desember 1962 suatu delegasi berjumlah 7 orang papua di bawah pimpinan
E.J. Bonay mendesak kepada Indonesia, Belanda dan PBB agar penyerahan kekuasaan
oleh UNTEA kepada Indonesia dilakukan sebelum 31 Desember 1962. Usul itu ditolak
oleh Sekjen PBB dan Belanda karena tidak sesuai dengan Perjanjian New York
sedangkan Indonesia mengambil sikap netral atau diam. Tanggal 31 Desember 1962
Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Bendera Merah Putih berdampingan
dengan Bendera PBB. Dicatat bahwa pada hari itu (Tanggal 31 Desember 1962 )

97
pejabat UNTEA diganti dari H. Veldkamp kepada Dr. Djalal Abdoh. Pada saat yang sama
Indonesia mengganti nama Kota Hollandia dengan nama Kota Baru. Dengan nama kota
Baru (sekarang Jayapura) ini mulailah era Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.

98
BAB VI
RUANG LINGKUP DAN
MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA

Sasaran yang akan diwujudkan

Sasaran yang akan diwujudkan dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini
adalah menuju masyarakat Papua yang adil dan sejahtera, dengan meningkatkan
pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.

Jangkauan

Jangkauan RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini adalah perluasan kewenangan


baik kewenangan diluar kewenangan pusat maupun kewenangan pusat yang berkaitan
dengan wilayah dan Orang Asli Papua. Penegasan subyek yang menjadi sasaran
pelayanan dan pembangunan masyarakat di tanah Papua, secara khusus Orang Asli
Papua. Sedangkan subjek perantaranya adalah pemerintah Provinsi di Tanah Papua
yang melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Arah Pengaturan
a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan Provinsi di tanah Papua;
b. Menciptakan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Provinsi tanah Papua;
c. Meningkatkan kenyamanan bagi semua penduduk di tanah Papua.

Materi Muatan RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua


Ruang lingkup Materi muatan Pemerintahan Otsus di Tanah Papua yang diatur dalam
RUU ini, meliputi:
A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa
yang muncul dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini;
B. materi yang akan diatur adalah:

Materi muatan dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini terdiri dari 48
(empat puluh delapan) bidang pengaturan strategis, yaitu (1) Nama Undang-undang,
(2) Ketentuan Umum, (3) Orang Asli Papua; (4) Pembagian Daerah dan Penataan
Daerah, (5) Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota (6)
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota;
(7) Penyelenggaraan Sebagian Urusan Pemerintah; (8) Penyelenggaraan Urusan
Perlindungan Dan Pemberdayaan Orang Asli Papua; (9) Badan Nasional Percepatan
Pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua; (10) Bentuk Dan Susunan Pemerintahan;
(11) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil
Walikota; (12) Peraturan Daerah Khusus,Peraturan Daerah Provinsi Dan Peraturan
Gubernur; (13) Perangkat Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota; (14) Pemerintahan
Adat; (15) Kampung; (16) Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat; (17) Keuangan; (18)

99
Perekonomian; (19) Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah; (20)
Kepariwisataan; (21) Kehutanan; (22) Pertanian Dan Ketahanan Pangan; (23) Kelautan
Dan Perikanan; (24) Perdagangan Dan Investasi; (25) Pertambangan dan Energi; (26)
Pengelolaan Sumber Daya Alam; (27) Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan
Hidup; (28) Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang; (29) Pertanahan; (30)
Perumahan Rakyat; (31) Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi; (32) Pendidikan; (33) Kebudayaan; (34) Kesehatan; (35) Sosial; (36)
Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (37) Hak Atas Kekayaan
Intelektual; (38) Komunikasi dan Informatika; (38) Perhubungan Dan Transportasi;
(39) Kependudukan dan Ketenagakerjaan; (40) Kepemudaan dan Keolahragaan; (41)
Narkotika, Psikotropika, Bahan Adiktif Lainnya dan Minuman Beralkohol; (42) Partai
Politik; (43) Lambang Daerah, Bendera Daerah, dan Hymne Daerah; (44) Supervisi,
Pengawasan dan Evaluasi; (45) Kerja Sama dan Penyelesaian Perselisihan; (46)
Pembentukan Provinsi dan Kabupaten/Kota; (47) Penyebarluasan; (48) Ketentuan
Lain-Lain; (49) Ketentuan Peralihan; (50) Ketentuan Penutup.

1. Nama Undang-Undang
Dengan mempertimbangkan bebagai bidang pengaturan strategis sesuai nilai, asas,
tujuan, sasaran pengaturan (addressat norm), kepentingan, pelaku peran dalam
pelaksanaannya nanti, dan dengan didasarkan pada 2 (dua) pola dasar atau orientasi
dasar kebijakan pengaturan, yakni (1) kewenangan asimetris dan (2) kebijakan
afirmatif, maka undang-undang ini seterusnya disebut Undang-Undang
Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Frasa otonomi khusus sengaja
ditulis secara eksplisit dimaksudkan sebagai nama dan identitas yang jelas, sekaligus
secara politik frasa itu membedakan dengan term “merdeka”. Artinya betapapun Tanah
Papua memiliki pemerintahan yang memiliki otonomi seluas-luasnya, namun dipayungi
dengan otonomi khusus yang berada dalam bingkai NKRI.

2. Ketentuan Umum

a. Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua adalah pemerintahan


dengan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua,
Provinsi Papua Barat, dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masing-masing
provinsi.
b. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;
c. Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota Provinsi
yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua.
d. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan
Eksekutif Provinsi di Tanah Papua.
e. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan dibawah
Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan
Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan

100
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
f. Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan
Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota.
g. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, asal-usul
dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah Kabupaten/Kota dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
h. Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab
penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil
Pemerintah di Provinsi.
i. Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi.
j. Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural
orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-
hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan
budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat
beragama sebagaimana diatur Undang-Undang ini.
k. Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan simbol
kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yang tidak diposisikan sebagai simbol
kedaulatan.
l. Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan
Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus
dalam Undang-Undang ini.
m. Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan
Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
n. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat
pemerintahan Kabupaten/Kota.
o. Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan
Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat
pemerintahan kampung.
p. Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang
dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.
q. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan
terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi
diantara para anggotanya.
r. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertahankan
oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun.
s. Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan mempertahankan
serta mempunyai sanksi.
t. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak
kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum
adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.
u. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan untuk kehidupan

101
para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta
isinya.
v. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga
sekumpulan orang yang dipilih dan diakui oleh warga setempat.
w. Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
x. Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang
menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah Papua.

.
3. Asas
a. Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan,
perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua.
b. Desentralisasi asimetris.

4. Kelembagaan Pemerintahan Papua


Kelembagaan pemerintahan Papua berkaitan dengan kedudukan Gubernur, Majelis
Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

1.1. Gubernur
a. Kedudukan dan Wewenang Gubernur. Hal ini diatur bahwa (1)
Pemerintahan di Tanah Papua dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai
Kepala Pemerintah Provinsi Tanah Papua dan dibantu oleh seorang Wakil
Gubernur. (2) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga
Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan
Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (3) Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah yang bertanggung jawab kepada
Presiden dan Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan
Papua bertanggung jawab kepada DPRP.(4) Gubernur dalam menjalankan
tugasnya dibantu oleh perangkat daerah Papua. (5) Gubernur bertanggung
jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Papua pada semua sektor
pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan ketenteraman serta
ketertiban masyarakat.

b. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah,


memiliki tugas dan wewenang: (a) Setiap kebijakan Lembaga Negara,
Kementerian/Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan
PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan
Pemerintahan Papua; (b) Melakukan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Papua dan
kabupaten/kota; (c) Melakukan koordinasi penyelenggaraan urusan
Pemerintahan di Papua dan kabupaten/kota; (d) Melakukan koordinasi,
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten/kota; (e) Melakukan koordinasi, pembinaan dalam
penyelenggaraan kekhususan Papua ; (f) Melakukan koordinasi
pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan

102
antarkabupaten/kota di Papua; (g) Melakukan koordinasi, pembinaan,
pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan
atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota
dan antara Kabupaten/Kota; (h) Meminta laporan secara berkala atau
sewaktu-waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota; (i) Melakukan pemantauan dan
koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan
pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta
penilaian atas laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota; (j) Melakukan
pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama
Presiden; (k) Menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi
penegakan peraturan perundang-undangan di Provinsi Papua; (l)
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan
pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi Papua; (m) Memberikan
pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan,
dan pemekaran daerah.

c. Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Papua, memiliki


tugas dan wewenang adalah: (a) Gubernur melakukan koordinasi dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi
Papua; (b) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga
Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan
Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (c) Pemerintah
dapat memberikan pelimpahan dan perbantuan sebagian kewenangan
Pemerintah kepada Gubernur Papua baik sebagai wakil Pemerintah Pusat di
Daerah maupun Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan
Papua, baik di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter
dan fiskal, yustisi, dan sebagian urusan keagamaan; (d) Gubernur
melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap instansi
vertikal, unit pelaksanana teknis, balai besar, maupun Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) di Provinsi Papua; (e) Gubernur memiliki hak dan
kewenangan untuk membuat kebijakan afirmative dalam hal menentukan
besaran dan jenis perangkat organisasi daerah di tingkat Propinsi Papua
dengan pertimbangan DPRP; (f) Dalam konteks perbaikan, percepatan dan
perluasan pelayanan publik, Pemerintah Propinsi Papua dapat membentuk
atau mengusulkan daerah administrative atau kawasan khusus sesuai
dengan kebutuhan; (g) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP; (h) mengajukan
rancangan Perdasus dan Perdasi; (i) menetapkan Perdasus dan Perdasi yang
telah mendapat persetujuan bersama DPRP; (j) menyusun dan mengajukan
rancangan Perda tentang APBD kepada DPRP untuk dibahas dan ditetapkan
bersama; (k) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; (l) mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan (m) melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

d. Gubernur membentuk Tim Pengendali Pelaksanaan dan Evaluasi (TP2E)


Otonomi Khusus Plus Papua (OKPP) yang kedudukannya berada dibawa

103
koordinasi langsung Gubernur Papua. (1) Bertugas untuk melakukan
evaluasi berkala atas pelaksanaan UU ini. (2) Bertugas memastikan
komitmen dari kementrian, lembaga, dunia usaha dan pemerintah daerah
dalam melaksanakan amanat Undang Undang ini (3) Memastikan tahapan
dan indikator pencapaian amanat dan pelaksanaan pasal pasal dalam UU ini.

1.2. Majelis Rakyat Papua (MRP)


Kedudukan dan Wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP)
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus dalam payung
Pemerintahan Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan
representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu
dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan
pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,
dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
(2) Dalam rangka meningkatkan keterwakilan kaum adat, agama, dan
perempuan di seluruh Kabupaten/Kota, serta untuk melakukan perlindungan
hak-hak orang asli Papua, maka MRP dibentuk di tingkat Provinsi.
(3) MRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.
(4) MRP mempunyai tugas dan wewenang: (1) memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP
bersama-sama dengan Gubernur; (2) memberikan pertimbangan terhadap
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama
alokasi Dana Otonomi Khusus yang terkait dengan pelayanan dasar bagi
penduduk asli Papua; (3) melakukan pengawasan terhadap penggunaan
Dana Otonomi Khusus dan memberikan pertimbangan, saran, dan pemikiran
terhadap kebijakan pemanfaatan Dana Otonomi Khusus yang lebih baik dan
tepat; (4) memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap
rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun
Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua,
khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; (5)
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur
dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (6) memperhatikan dan
menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama,
perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang
asli Papua, dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (7)
memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota
serta Bupati/Wakil Bupati mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua.
(5) MRP mempunyai hak: (1) meminta keterangan kepada Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua; (2) meminta peninjauan kembali
Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua; (3) mengajukan rencana Anggaran
Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua.

104
1.3. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)
Kedudukan dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)
(1) Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.
(2) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih berdasarkan peraturan perundang-
undangan. (3) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah
anggota DPRD.
(4) Tugas DPRP adalah: (1) DPRP dan DPRK mempunyai fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. (2) Dalam konteks Pemerintahan Papua, DPRP
wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nasional yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Papua; (3) DPRP
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. (4) mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden
Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri; (5) membahas rancangan
Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; (6) menetapkan
Perdasus dan Perdasi;(7) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perdasus dan Perdasi dan peraturan perundang-undangan lain; (8)
melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Papua dalam
melaksanakan program pembangunan Papua, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama
internasional; (9) menyusun dan menetapkan arah kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah
serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur; (10) membahas
dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama
dengan Gubernur; (11) bersama Gubernur menyusun dan menetapkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Papua dengan
berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan
memperhatikan kekhususan Provinsi Papua; (12) memberikan pertimbangan
terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang
berkaitan langsung dengan Papua; (13) memberikan pertimbangan terhadap
rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
daerah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua; (14)
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; (15) meminta
laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan
pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan; (16) melaksanakan
pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Nasional (APBN) yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Papua dan semua
perjanjian internasional yang terkait dengan Papua wajib disetujui oleh
Gubernur Papua dan DPRP; (b) pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan
Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya; (c) pelaksanaan
pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Provinsi Papua; (d) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
(e) pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua; (f)
memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan
pengaduan penduduk Provinsi Papua;

105
2. Kewenangan Pemerintah Papua
(1) Sebagai otonomi dan desentralisasi asimetris di Indonesia, Pemerintahan Papua
dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional,
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan urusan tertentu dalam bidang agama.
(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya pada poin 2, Pemerintah dapat: melaksanakan sendiri;
menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Papua dan
pemerintah kabupaten/kota; melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku
wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan menugaskan sebagian
urusan kepada Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dan distrik
(kecamatan) berdasarkan asas tugas pembantuan.
(4) Dengan maksud memperkuat kedudukan Gubernur Papua dalam struktur
pemerintahan Papua, maka: Rencana persetujuan internasional yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Papua yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Papua dan DPRP. Rencana
pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Papua dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan Gubernur Papua dan DPRP. Kebijakan administratif yang
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Tanah Papua yang akan dibuat oleh
Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada poin 1, poin 2, dan poin 3 diatur
dengan Peraturan Presiden.
(5) Kewenangan Terbatas di Bidang Luar Negeri. Dalam kerangka otonomi khusus
plus atau yang diperluas, maka Pemerintah memberikan tugas atau
melimpahkan kewenangan terbatas (limited authority), urusan, dan tugas
tertentu di bidang luar negeri (limited authority on foreign affairs) kepada
Pemerintah Provinsi di Tanah Papua di dalam hal membangun kerjasama dan
kemitraan dengan lembaga/badan atau negara-negara asing maupun di dalam
menangani kegiatan-kegiatan tertentu baik didalam aspek politik, investasi,
perdagangan, hukum, demokrasi, pertahanan, dan keamanan.
(6) Pemerintah Provinsi Tanah Papua dapat mewakili Pemerintah Pusat dalam
urusan bilateral dengan Negara-negara lain dalam meningkatkan hubungan
bilateral dan meningkatkan hubungan antara penduduk (people to people
contact) dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama dengan memiliki kewenangan
untuk melakukan hubungan ekonomi, perdagangan, investasi, dan pariwisata
dengan luar negeri, terutama kawasan Pasifik Selatan dan Pasifik Barat Daya;
(7) Pemerintah Provinsi Tanah Papua yang didukung oleh Pemerintah Pusat untuk
membangun wilayah perbatasan antara Republik Indonesia - Papua New Guinea,
Republik Indonesia – Australia, dan Republik Indonesia – Republik Palau;
Pemerintah Papua dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di
luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Pemerintah Papua
dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga

106
internasional. Pemerintah Papua dapat membangun kerjasama dalam
menciptakan kemitraan strategis (strategic partnership) dengan kawasan Pasifik
Selatan dan Pasifik Barat Daya. Dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi
nasional dan menjadikan Papua sebagai pintu gerbang internasional untuk
perdagangan, investasi, dan pariwisata di Wilayah Timur Indonesia, diperlukan
pembukaan kembali jalur penerbangan internasional melalui Bandar Udara
Frans Kaisepo Biak sebagai wujud Papua sebagai daerah terbuka bagi dunia
internasional. Pemerintah Papua memilki kewenangan untuk memberikan
pertimbangan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Pertahanan, sehingga
dapat mendesain kebijakan pertahanan yang sesuai dengan konteks wilayah,
dinamika pembangunan, dan konteks sosial-budaya di Papua. Rencana
persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua
yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
DPRP.

3. Perangkat dan Kepegawaian Pemerintahan Papua


(1) Perangkat Provinsi Tanah Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi,
dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi. (2)
Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan. (3) Pengaturan
tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan.(4) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan
kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur
penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
daerah setempat. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Perdasi.

4. Keuangan Pemerintahan Tanah Papua


(1) Perlu ada kelembagaan keuangan yang bercirikan masyarakat adat papua yang
mencerminkan roh dari UU Otsus itu sendiri. (2) Sebagai NKRI, Pemerintah Pusat
harus mencari solusi permasalahan tingkat kemahalan harga di Papua untuk bisa
setara dengan tingkat harga di Luar Papua. (3) Memperbaiki implementasi bidang
keuangan dari kebijakan otonomi khusus tersebut dengan membuat peraturan
khusus yang mendukung undang-undang otonomi khusus plus (4) Mengalihkan
dana otonomi khusus ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU (5) Mengalihkan dana
otonomi khusus ke dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) (6) Mendirikan
Lembaga/Badan Khusus yang menangani Dana OTSUS (7) Mengenai keuangan
sudah waktunya dimuat pasal-pasal Bagi Hasil dari penghasilan bersumber dari
Hidrokarbon. (8) Setiap perumusan dan perencanaan APBN wajib
mempertimbangkan karakter kekhususan Papua sebagai otonomi asimetris,
kemahalan harga barang, kondisi geografis wilayah, distribusi penduduk yang tidak
merata, dan konteks sosial budaya dalam pembangunan Papua; (9) Perlu
dipertimbangkan agar pendapatan negara yang berasal dari pajak berbagai PMA,
PMDN, BUMN, dan Dunia Usaha yang beroperasi di Papua diserahkan lebih dulu ke

107
Kas Daerah, dan kemudian diserahkan 30 persen ke Kas Negara selama 20 tahun;
(10) Perjanjian kontrak kerjasama antara pemerintah dan pihak lain yang ada saat
ini dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara pemerintah dan
Pemerintah Papua dan masyarakat adat di Papua melalui MRP.(11) Kontrak
kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam
rangka pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan jika keseluruhan isi
perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh pemerintah dan
Pemerintah Papua. Dan Masyarakat adat Sebelum melakukan pembicaraan dengan
pemerintah mengenai kontrak kerjasama tersebut, pemerintah Papua mendapat
pertimbangan DPRD;
(2) Pemerintah menyediakan Dana Otonomi Khusus sebesar 10 persen dari
DAU Nasional selama 20 tahun yang ditujukan untuk membiayai pengentasan
kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, dan kesehatan. (3)
Pemerintah menyediakan dana tambahan dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus sebesar 2% dari total APBN, terutama ditujukan untuk
pembiayaan pembangunan infrastruktur. (4) Pemerintah Papua berhak atas
kepemilikan saham di setiap usaha pengelolaan sumberdaya alam dan memiliki
hak pengelolaan bersama dalam sumberdaya alam di bidang pertambangan,
perkebunan, pertanian, perikanan, kelautan, energi (PLTA , PLTU, PLTS) dan
pariwisata, serta perdagangan. (5) Setiap program pembangunan masyarakat
(Corporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh dunia usaha di wilayah Papua
wajib mengikuti desain kebijakan pembangunan Pemerintahan Papua. Desain Bagi
Hasil Sumber Daya Alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
rakyat Papua dan Pemerintahan Papua.
Kebijakan keuangan dalam Pemerintahan Papua: Penyelenggaraan urusan
pemerintahan di Papua dan kabupaten/kota diikuti dengan pemberian sumber
pendanaan kepada pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Papua dan
kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai dari dan atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua (APBP) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Kabupaten (APBK). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilimpahkan kepada Gubernur Papua selaku wakil Pemerintah disertai dengan
pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan
Papua, pemerintahan kabupaten/kota, distrik, dan kampung disertai dengan
pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pemerintah
Papua dapat menerima bantuan, pinjaman, dan hibah baik yang bersumber dari luar
negeri dan dalam negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.
Pemerintah Papua dapat melakukan penyertaan modal dengan Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan. Pemerintah Papua
dan pemerintah kabupaten/kota mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja
Papua (APBP)/APBK secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Pengelolaan APBP dan APBK dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan
dalam APBP dan APBK yang setiap tahun diatur dalam Perdasus. Alokasi anggaran
belanja untuk pelayanan publik dalam APBP/APBK lebih besar dari alokasi
anggaran belanja untuk aparatur.

108
Sumber penerimaan dan pengelolaan keuangan Papua Sumber-sumber
penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi: pendapatan asli Provinsi,
Kabupaten/Kota; dana perimbangan; penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi
Khusus; pinjaman Daerah; dan lain-lain penerimaan yang sah.
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas: pajak
Daerah; retribusi Daerah; hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan Daerah yang
sah.
Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka
Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut: Bagi hasil pajak. (1) Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90% (sembilan puluh persen); (2) Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
(3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).
Pajak Penghasilan yang diterima karyawan Freeport diwajibkan pengelolaan dan
pendistribusian dikelola oleh KAS DAERAH Provinsi Papua.
Bagi hasil sumber daya alam , Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan umum sebesar 80%
(delapan puluh persen); Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh
persen); dan Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).

Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-


undangan. Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua;
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya
setara dengan 4 % (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, ekonomi
kerakyatan, dan pengentasan kemiskinan; dan Dana tambahan dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan
DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus yang berasal dari bagi hasil
pertambangan minyak bumi sebesar 70 % untuk Papua dan bagi hasil
pertambangan gas alam sebesar 70 % untuk Papua berlaku selama 25 (dua puluh
lima) tahun; Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka
Otonomi Khusus dari bagi hasil pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas
alam menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan
sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam; Untuk
mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil dari pertambangan minyak bumi dan
pertambangan gas bumi Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja. Pembagian
lebih lanjut penerimaan Dana Otonomi Khusus antara Provinsi Papua, Kabupaten,
Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan
memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan bagi hasil pertambangan minyak
bumi dan pertambangan gas bumi dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan
sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi,
dan 20 % (dua puluh persen) untuk ekonomi kerakyatan dan pengentasan
kemiskinan.

109
Pinjaman Daerah dan penerimaan lain-lain. Provinsi Papua dapat menerima
bantuan, pinjaman, dan hibah baik yang bersumber dari luar negeri dan dalam
negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua dapat
melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk
membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk
Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. Pinjaman dari sumber luar
negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP
dan persetujuan dari Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari
Menteri Dalam Negeri. Total kumulatif pinjaman dari sumber dalam negeri dan luar
negeri besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan kemudian diatur pelaksanaannya dengan Perdasi. Pemerintah Papua
dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah dari luar negeri dengan
kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan DPRP/DPRD Kabupaten/Kota
Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah
seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana
pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan kepada
DPRP/DPRD Kabupaten/Kota.

Penerimaan hibah bersifat: tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah,
Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota; tidak mempengaruhi kebijakan
Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota; tidak dilarang oleh peraturan
perundang-undangan; dan tidak bertentangan dengan ideologi negara.

Penyertaan Modal dan Obligasi. Pemerintah Papua dan pemerintah


kabupaten/kota dapat melakukan penyertaan modal/kerja sama pada/dengan
Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar
prinsip saling menguntungkan. Penyertaan modal/kerja sama dapat ditambah,
dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dilakukan divestasi atau
dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Penyertaan modal/kerja sama
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditetapkan dengan
Perdasi. Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal/kerja sama sebagaimana
dimaksud dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua/APBD
Kabupaten/Kota. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat
menerbitkan obligasi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana
cadangan yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana
relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

Penyertaan modal yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan


BUMN/Daerah, mengikutsertakana masyarakat adat setempat dalam pemilikan
modal/saham sebesar 10%. Pemerintah papua dan daerah/kota dalam
menerbitkan obligasi daerah mengikutsertakan masyarakat adat dalam penerbitan
obligasi daerah tersebut. Dan pengaturan lanjutnya di atur dalam peraturan
gubernur.

8. Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)


Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban
untuk menumbuhkan, membangun, meningkatkan, dan memberdayakan koperasi

110
dan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi (UMKM) yang dimiliki
penduduk asli Papua sebagai sumber kekuatan ekonomi rakyat; Pemerintah Papua
melakukan koordinasi dalam rangka keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan terhadap urusan Pemerintah yang bersifat lintas
Kementerian/Lembaga yang terkait dengan koperasi dan UMKM; Pemerintah Papua
dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun standar pemberian izin di bidang Usaha
Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Koperasi dan memberikan kemudahan
perijinan dan insentif khusus untuk menumbuhkan koperasi dan UMKM; Setiap
penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri (PMDN), usaha
swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi di wilayah Papua
berkewajiban untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memberdayakan
koperasi dan UMKM. Majelis Rakyat Papua melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pembangunan koperasi dan UMKM penduduk asli Papua.

9. Parawisata dan Ekonomi Kreatif

a. Kebijakan Pembangunan kepawisataan


Pembangunan kepariwisataan di Papua diselenggarakan berdasarkan asas
manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian,
kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan .
Pembangunan kepariwisataan di Papua bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus
kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan
sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk
rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
mempererat persahabatan antarbangsa.
Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
untuk menjadikan keadaan alam , flora, fauna, peninggalan purbakala,
peninggalan sejarah, seni, dan budaya sebagai modal pembangunan
kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Papua.
Pembangunan kepariwasataan merupakan bagian integral dari pembangunan
Papua yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan
bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan nilai-nilai agama,
budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan, serta
kepentingan nasional.
Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
untuk melakukan pembangunan kepawisataan yang meliputi industri pariwisata,
destinasi wisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong
penanaman modal negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan
sesuai dengan rencana induk kepariwisataan nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
b. Kawasan Strategis Pariwisata
Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan
kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi,
dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota yang merupakan bagian
integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah
provinsi, dan rencana tata ruang kabupaten/kota.

111
Kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek meliputi:
sumber daya pariwisata alam dan budaya potensial menjadi daya tarik
pariwisata; potensi pasar; lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan
bangsa dan keutuhan wilayah; perlindungan terhadap lokasi tertentu yang
mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup; lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan
pemanfaatan aset budaya; kesiapan dan dukungan masyarakat; dan kekhususan
dari wilayah
Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan
agama yang dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan
dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang dibentuk oleh Pemerintah
berkewajiban untuk meningkatkan citra kepariwisataan Papua, meningkatkan
kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara ke Papua, dan
melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata
Papua.

10. Kehutanan.

a. Prinsip-prinsip kebijakan kehutanan di Papua, Penyelenggaraan kehutanan


di Papua berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan di Papua bertujuan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan: menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, terutama
memberi manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat adat di dalam hutan
maupun di sekitar hutan; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan
sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan
terhadap akibat perubahan eksternal; dan menjamin distribusi manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan.
b. Penguasaan Hutan. Penguasaan hutan oleh Negara memberi wewenang kepada
Pemerintah melalui pertimbangan dan persetujuan Gubernur Papua untuk:
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan
hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan mengatur dan
menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan hutan
oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hokum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.
c. Status Hutan dan Fungsi Hutan. Pemerintah menetapkan status hutan dengan
persetujuan Gubernur Papua setelah mendapat pertimbangan dari

112
Bupati/Walikota dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menetapkan hutan berdasarkan
fungsi pokok sebagai berikut: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi Pemerintah melalui pertimbangan dan persetujuan Gubernur Papua
dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus. Penetapan
kawasan hutan dengan tujuan khusus, diperlukan untuk kepentingan umum
seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan
budaya.
d. Inventarisasi Hutan dan Pengukuhan Hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan
secara bersama antara Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang
sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
Inventarisasi hutan dilakukan secara bersama antara Pemerintah, Pemerintah
Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan survei mengenai status dan
keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Hasil inventarisasi hutan dipergunakan
sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya
hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
Berdasarkan inventarisasi hutan, Pemerintah melalui persetujuan Gubernur
Papua menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan
kawasan hutan tersebut, dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai
berikut: penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan
kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan
dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua.
e. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih
intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Tata hutan
meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe,
fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak
berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak,
disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan lebih
lanjut tentang tata hutan, blok-blok, dan petak tersebut diatur oleh Pemerintah
Papua dengan Peraturan Daerah Khusus.
f. Penatagunaan Kawasan Hutan. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan,
Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menyelenggarakan
penatagunaan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan
penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
Pemerintah melalui Gubernur Papua menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi masyarakat setempat.
g. Gubernur Papua menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.Gubernur Papua menetapkan
perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis.

113
h. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Gubernur Papua
menetapkan ijin pemanfataan hutan dan penggunaan kawasan hutan.Dalam
rangka pemanfaatan hutan lindung, Gubernur Papua memberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu.Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Dalam
rangka pemanfaatan hutan produksi, Gubernur Papua memberikan pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia
yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan
koperasi atau kelompok usaha masyarakat setempat. Usaha pemanfaatan hasil
hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan
pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana
dimaksud pada diatur oleh Gubernur Papua.
i. Ijin Pemanfaatan Hutan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan,
dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan. Setiap pemegang izin pemungutan hasil
hutan hanya dikenakan provisi. Ketentuan lebih lanjut tentang iuran izin usaha,
provisi, dana reboisasi, dana jaminan kinerja, dan dana investasi untuk biaya
pelestarian hutan diatur dengan Perdasus.
j. Penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan (seperti
pertambangan) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan
di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung.Penggunaan kawasan hutan pada poin 1
dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian
izin pinjam pakai oleh Gubernur Papua dengan mempertimbangkan batasan luas
dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan
lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai strategis dilakukan oleh Gubernur Papua.
k. Perdasus tentang Pemanfatan Kehutanan Ketentuan pelaksanaan tentang
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan menyangkut ijin
pemanfataan kawasan, ijin usaha pemanfataan jasa lingkungan, ijin pemungutan
hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan lindung dan hutan produksi,
pengelolaan hutan untuk tujuan khusus, pemanfaatan hutan hak dan hutan adat,
dan pemanfatan hutan untuk kepentingan pembangunan (termasuk
pertambangan) dan ijin pinjam pakai diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan
mendapatkan pertimbangan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

114
l. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Penggunaan kawasan hutan yang
mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi
sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah Papua, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal
pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai
dengan tahapan kegiatan pertambangan. Pihak-pihak yang menggunakan
kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang
mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar
dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Rehabilitasi dan reklamasi hutan diatur
dengan Perdasus.
m.Perlindungan Hutan Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam
maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, serta pihak-pihak
yang menerima wewenang pengelolaan hutan, diwajibkan melindungi hutan
dalam areal kerjanya.Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh
pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang
sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
Ketentuan lebih lanjut dengan Perdasus. Dunia usaha dalam bidang kehutanan
wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

11. Pertanian
Dengan potensi sumber daya lahan di Papua, Pemerintah wajib untuk memberikan
dukungan kebijakan, program, dan pembiayaan untuk pembangunan kedaulatan
pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan keamanan pangan di Papua.
Pemerintah wajib memberikan dukungan kebijakan, program, dan pendanaan untuk
percepatan pembangunan tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan kesehatan
hewan, perkebunan, prasarana dan sarana pertanian, ketahanan pangan, karantina,
pengolahan dan pemasaran hasil, dan penyuluhan dan pengembangan sumber daya
manusia dengan memperhatikan karakteristik sosial penduduk asli Papua, potensi
wilayah, kondisi geografis wilayah, dan kondisi infrastruktur wilayah di Papua.
Pemerintah pusat dan daerah membentuk LEMBAGA PEMBIAYAAN KHUSUS
SEKTOR PERTANIAN Papua. Patut dicatat bahwa memang sudah ada lembaga
namun, pola pengembalian pinjaman bank yang biasanya dilakukan sebulan sekali.
Hal tersebut menyulitkan petani karena mereka biasanya baru mendapatkan dana
setelah musim panen tiba. Sebagian besar petani di papua adalah petani gurem
dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Mereka itu tidak bankable,
sehingga memasukkan masalah lembaga pembiayaan dalam draft RUU Otonomi
Khusus Plus.Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan kepada petani local
pemberian subsidi, yaitu petani akan mendapatkan uang tunai pengganti pembelian
pupuknya. Bentuk subsidi langsung tersebut ada tiga macam, berupa uang tunai
(reimbursement), voucher, dan pemberian produk pupuk. Masyarakat adat diberikan
kebebasan membentuk wadah serikat tempat berkumpulnya para petani lokal
(OAP) di Papua.

115
12. Penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/kota memberikan ruang dan waktu
kepada perguruan tinggi yang ada di Papua melaksanakan kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan untuk di wilayah provinsi
Papua.Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan di Provinsi Papua
melibatkan para pakar ilmu yang ada di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Pusat serta perguruan tinggi yang ada di Papua mendirikan suatu
wadah dibidang penelitian dan pengembangan dan dikoordinasikan oleh perguruan
tinggi negeri di Papua. Pemerintah mengembangkan sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kelautan dengan
mengacu pada peraturan perundangundangan dan hukum laut internasional yang
berlaku serta perjanjian-perjanjian dengan negara atau lembaga internasional yang
berwenang.
Pemerintah mengembangkan Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi kelautan yang merupakan dari Sistem Nasional tentang
Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Bidang-bidang Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK kelautan meliputi
antara lain kegiatan penelitian dasar dan terapan untuk meningkatkan pemahaman
tentang biologi, kimiawi, fisika, geologi dan dasar laut serta tanah dibawahnya ,
proses dan interaksi laut dan pantai dengan hidrologi, cuaca , serta pengaruh laut
dan pantai terhadap masyarakat dan komunitas di sekitar laut-lingkungan serta
pengembangan metodologi dan instrumen untuk meningkatkan pemahaman
tentang laut.
Pemerintah menetapkan persyaratan tentang pelaksanaan penelitian ilmiah
kelautan oleh Lembaga Internasional atau pihak asing. Pelaksanaan Penelitian,
Pengembangan, Penerapan IPTEK Kelautan dapat dilakukan dengan bekerjasama
secara regional dan internasional dengan Negara lain.
Koordinasi pelaksanaan kegiatan Penelitian, Pengembangan, Penerapan IPTEK
Kelautan secara nasional, dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pemerintah yang
diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah menyusun, mengelola, memelihara dan mengembangkan Bank Data
Kelautan yang dihimpun dari berbagai kegiatan penelitian, pengembangan dan
penerapan ilmu dan teknologi kelautan.
Data Kelautan meliputi diantaranya data tentang karakteristik laut , baku mutu laut,
bathimetry, hydrography, oceanography, data tentang cuaca, data sumberdaya
hayati dan non hayati, data tentang lempeng tanah dasar laut, data tentang gempa di
laut, tsunami, data tentang pulau-pulau, data tentang peta laut, data tentang
penduduk pesisir dan data lain yang diperlukan. Bank Data Kelautan disimpan,
dikelola dan dikembangkan (updated) oleh Lembaga penelitian pemerintah, yang
berfungsi sebagai Pusat Informasi Nasional tentang data kelautan.

13. Pengelolaan Sumber Daya Alam.


Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di
Papua baik di darat maupun di laut wilayah Papua sesuai dengan kewenangannya.
Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan
dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan
budidaya Sumber daya alam meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas
pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian,
perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip

116
transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam melaksanakan pengelolaan
SDA, Pemerintah Papua dapat: membentuk badan usaha milik daerah; dan
melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara. Kegiatan usaha dapat
dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi,
badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing. Dalam melakukan kegiatan
usaha, pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia
setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Papua. Setiap pelaku
kegiatan usaha bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi
lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi. Sebelum melakukan kegiatan usaha,
pelaku usaha wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi yang
besarnya akan diperhitungkan pada waktu pembicaraan kontrak kerja eksplorasi
dan eksploitasi.
Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan
pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan yang seimbang
sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Setiap pelaku usaha pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan
di Papua berkewajiban menyiapkan dana pengembangan masyarakat. Dana
pengembangan masyarakat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah
Papua dan pemerintah kabupaten/kota, dan pelaku usaha yang besarnya paling
sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap tahun.
Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai program
yang disusun bersama dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sekitar
kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain serta mengikutsertakan pelaku usaha
yang bersangkutan diatur lebih lanjut dalam Perdasus.
Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan
masyarakat dikelola sendiri oleh pelaku usaha yang bersangkutan.

14. Pengelolaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi.


Pemerintah dan Pemerintah Papua melakukan pengelolaan bersama sumber daya
alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan
Papua. Untuk melakukan pengelolaan SDA miyak dan gas bumi, Pemerintah dan
Pemerintah Papua dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang
ditetapkan bersama. Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat
dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati
bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Papua. Sebelum melakukan pembicaraan
dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama, Pemerintah Papua harus
mendapat persetujuan DPRP. Perjanjian kontrak kerja sama antara Pemerintah dan
pihak lain yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang
setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Papua.

15. Perikanan dan Kelautan.


Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola
sumber daya alam yang hidup di laut wilayah Papua. Kewenangan untuk mengelola
sumber daya alam yang hidup di laut meliputi: konservasi dan pengelolaan sumber
daya alam di laut; pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau
pembudidayaan ikan; pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau
kecil; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut

117
yang menjadi kewenangannya; pemeliharaan hukum adat laut dan membantu
keamanan laut; dan keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin
penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut sekitar
Papua sesuai dengan kewenangannya.
Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dilakukan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.

16. Perdagangan dan Investasi.


Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota menjamin pelaksanaan
perdagangan internal di Papua bebas dari hambatan. Penduduk Papua (diutamakan
OAP) dapat melakukan perdagangan secara bebas dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan pajak, bea, atau
hambatan perdagangan lainnya, kecuali perdagangan dari daerah yang terpisah dari
daerah pabean Indonesia. Setiap pelaku usaha di Papua dapat membentuk
organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.
Penduduk di Papua dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan
internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya,
dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi
dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan
impor dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara
nasional.
Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
dan berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang berlaku nasional berhak
memberikan: izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum; izin konversi
kawasan hutan; izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan
satu per tiga dari wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah
kabupaten/kota; izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan
ukuran;
izin penggunaan air permukaan dan air laut; izin yang berkaitan dengan pengelolaan
dan pengusahaan hutan; dan izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi.
Pemberian izin harus mengacu pada prinsip-prisip pelayanan publik yang cepat,
tepat, murah, dan prosedur yang sederhana. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian izin diatur dengan Perdasus. Pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dapat menyediakan fasilitas perpajakan berupa keringanan
pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak-pajak dalam rangka impor barang
modal, dan bahan baku ke Papua dan ekspor barang jadi dari Papua, fasilitas
investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Papua.

17. Pertahanan (TNI)


(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan
negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memelihara,
melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan

118
Republik Indonesia dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti
penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah
berkonsultasi dengan Gubernur Papua.
(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua tetap menjunjung
tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya
serta adat istiadat Papua.
(5) Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Papua
diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Peradilan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum, kecuali
peraturan perundang-undangan menentukan lain.

18. Keamanan (Kepolisian)


(1) Kepolisian di Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(2) Kepolisian di Papua bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan
melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Papua dikoordinasikan
oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua kepada Gubernur.
(4) Pelaksanaan tugas kepolisian di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan oleh
Kepala Kepolisian Daerah Papua kepada Gubernur.
(5) Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Papua dalam kerangka
pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
(7) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara
tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
permintaan persetujuan diterima.
(8) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kepolisian Republik Indonesia
mengangkat Kepala Kepolisian Daerah Papua.
(9) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia mengajukan satu kali lagi calon lain.
(10) Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Papua dilakukan oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(11) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan keamanan, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dapat mengangkat pejabat sementara Kepala
Kepolisian di Papua sambil menunggu persetujuan Gubernur.
(12) Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik
Indonesia di Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Papua dengan memperhatikan
ketentuan hukum, dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur
Papua.

119
(13) Pendidikan dasar bagi calon bintara dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian
Papua diberi kurikulum muatan lokal dan dengan penekanan terhadap budaya
dan adat istiadat di Papua dan hak asasi manusia.
(14) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(15) Penempatan bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar
Papua ke wilayah hukum Kepolisian Daerah Papua dilaksanakan atas Keputusan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan
kebutuhan, hukum, budaya, dan adat istiadat.

19. Kejaksaan
(1) Kejaksaan di Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia.
(2) Kejaksaan di Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang
penegakan hukum .
(3) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung
dengan persetujuan Gubernur.
(4) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara
tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
permintaan persetujuan diterima.
(5) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung mengangkat Kepala
Kejaksaan Tinggi Papua.
(6) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa Agung mengajukan
satu kali lagi calon lain.
(7) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung.
(8) Seleksi dan penempatan jaksa di Papua dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan
memperhatikan ketentuan hukum, budaya, dan adat istiadat Papua.

20. Pertanahan
(1) Setiap warga negara Indonesia yang berada di Papua memiliki hak atas tanah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur
dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan
dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak
yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan
prosedur yang berlaku secara nasional.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kewenangan
Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan hak
guna bangunan dan hak guna usaha sesuai dengan norma, standar, dan prosedur
yang berlaku.
(4) Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan
pelindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta agama, dan keperluan
suci lainnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Perdasi yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.

120
(6) Pemerintah Papua berwenang memberikan hak guna bangunan dan hak guna
usaha bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing sesuai
dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi Papua.

21. Hak Asasi Manusia


Masalah hak-hak asasi manusia (HAM) muncul karena manusia yang satu
menindas dan memperbudak manusia yang lain dari masa ke masa sejak manusia
berada di permukaan bumi, padahal manusia mempunyai kedudukan, harkat dan
martabat yang sama. Perhatian terhadap masalah HAM sebenarnya telah dilakukan
ribuan tahun yang silam oleh bangsa-bangsa seperti Jahudi, Yunani, Babylonia,
Romawi dan Inggris, dituangkan dalam Al-Quran, Alkitab, bahkan telah dilakukan
oleh masyarakat-masyarakat (hukum) adat.

Perlawanan terhadap eksploitasi manusia satu sama lain sebenarnya telah


dilakukan bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri, tetapi hal itu
dipandang sebagai bagian dari gerakan moral, dan agama, bukan sebagai masalah
juridis. Pengaturan tentang HAM secara juridis diawali dengan lahirnya Magna
Charta di Inggris, 12 Juni 1215. Kelahiran Magna Charta diikuti dengan pernyataan-
pernyataan tentang HAM seperti: Hobeas Corpus Act, 1679; Bill Of Rights, 1689;
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1787; Deklarasi tentang Hak-Hak
Warga Negara di Perancis Tahun 1789 dan pernyataan-pernyataan lainnya.
Hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat maupun Deklarasi tentang Hak-Hak Warga Negara dari Perancis
sebagaimana disinggung di atas sebenarnya berasal dari pemikiran atau gagasan
John Locke. John Locke dalam teori hak-hak kodrati (natural rights theory)
mengatakan bahwa setiap individu oleh alam diberikan hak hidup, kebebasan dan
hak milik yang tidak dapat dicabut oleh negara. Natural rights theory ini sebenarnya
berasal dari teori hukum kodrati (natural law theory) yang dikemukakan oleh
Thomas Aquinas. Hugo de Groot (Grotius) yang mempopulerkan natural law
theory setelah mengeluarkan unsur-unsur Ketuhanan. Teori hak-hak alam ditentang
oleh Edmund Burke, Jeremy Benthan dan John Austin, tetapi pendapat John
Locke muncul di akhir Perang Dunia Kedua, sebab dalam perang ini hampir
memusnahkan umat manusia di dunia.

Babak baru yang terjadi pada pertengahan abad ke dua puluh adalah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Piagamnya yang terdiri atas 111(seratus
sebelas ) pasal itu, 40 (empat puluh) pasal di antaranya nengatur tentang hak-hak
asasi manusia. Ketentuan-ketentuan mengenai HAM dalam Piagam PBB telah
dijabarkan melalui The Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) Tahun 1948.
UDHR dijabarkan lagi dalam The International Covenant On Civil And Political
Rights (ICCPR) dan The International Covenant On Economic, Social And Cultural
Rights (ICESCR) tahun 1966 dan mulai berlaku tahun 1976.
ICCPR dikenal sebagai hukum HAM generasi pertama; dan ICESCR biasa
disebut sebagai hukum HAM generasi kedua. Hukum HAM dalam perkembangannya
muncul HAM generasi ketiga yaitu hak-hak kolektif yang meliputi: hak penentuan
nasib sendiri; hak atas pembangunan; hak atas kekayaan dan sumber daya alam;
serta hak atas lingkungan hidup.

121
Negara-negara di benua Eropa, Amerika, Afrika, dunia Arab juga mengumumkan
konvensi atau deklarasi mengenai HAM yang berlaku pada kawasan-kawasan dunia
tersebut, disamping berlakunya hukum HAM bersifat global yang telah disebutkan
sebelumnya.
Perang Dunia Kedua setelah berakhir, maka terjadi perubahan peta politik dunia,
di mana negara-negara di belahan bumi Afrika, Asia, Timur Tengah dan Pasifik
berangsur-angsur memperoleh kemerdekaan. Negara-negara yang baru merdeka ini
sesuai perkembangan zaman mencantumkan masalah HAM dalam undang-undang
dasar negaranya masing-masing, termasuk Indonesia.
Masalah HAM dewasa ini telah menjadi isu global sebab bersifat universal dan
transparan.
Hak-hak asasi manusia bersifat universal sebab terdapat di segala tempat dan
waktu. Sifat universal ini nampak melalui martabat manusia, kebebasan, persamaan
dan keadilan yang yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak-hak asasi manusia
berlaku untuk semua orang tanpa memandang suku-bangsa, status, jender atau
perbedaan lainnya. Sifat HAM yang universal ini ditegaskan dalam Bab I Ayat (5)
Deklarasi Wina Tahun 1993 sebagai berikut:
All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated.
The international community must treat human rights globally in a fair and equal
manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significane of
national and regional particularities and various historical, cultural and religious
backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their
political, economic and cultural system, to promote and protect all human rights
and fundamental freedoms.

Pandangan bahwa HAM bersifat universal disangkal oleh teori relativisme


budaya (cultural relativism). Inti teori ini adalah HAM berbeda satu sama lain di
berbagai tempat di dunia sesuai budaya setempat yang berkembang dari masa ke
masa. Menurut Boer Mauna mengatakan bukan saja aspek budaya tetapi berbagai
aspek lain seperti sejarah, sosial, latar belakang politik, agama, dan tingkat
pertumbuhan ekonomi menyebabkan HAM belum dilaksanakan secara efektif di
berbagai negara.

HAM bersifat transparan sebab apabila terjadi pelanggaran terhadap salah satu
aspek HAM terutama hak-hak sipil dan politik di suatu negara atau pada kawasan
dunia tertentu, maka negara-negara lain atau seluruh dunia akan berbicara atau
mengecamnya seakan-akan terjadi di negaranya masing-masing.
HAM dikaji dari aspek hukum berarti berbicara tentang bagaimana HAM
seharusnya dilaksanakan (das sollen), bukan HAM itu telah dilaksanakan (das sein).
HAM sebagai das sollen diatur dalam hukum (internasional dan nasional). Hukum
dalam bentuk piagam (charter), resolusi (resolution), deklarasi (declaration),
kovenan atau konvensi (covenant atau convention), undang-undang dasar
(constitution), undang-undang (act) dan dalam bentuk hukum yang lain.
Tanggungjawab mengenai HAM yang das sein pada dasarnya diberikan kepada
negara. Bentuk tanggungjawab itu dikelompokkan menjadi: menghormati (to
respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), memajukan (to promote) dan
menegakkan (to enforce) HAM. Hal ini berpedoman kepada sistem hukum HAM
internasional yang menempatkan negara sebagai aktor utama yang mempunyai
kewajiban dan tanggungjawab (duty holders), sedangkan individu, kelompok, rakyat

122
yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holders). Negara diberi kewajiban
atau tanggungjawab (obligation or responsibility) untuk melaksanakan hak-hak
rakyatnya yang diatur oleh hukum.
Hukum HAM merupakan bagian dari hukum internasional. Hukum HAM sebagai
bagian dari hukum internasional, maka sumber hukumnya adalah Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional (SMI), namun dikaji dari aspek sejarah dan sifat
HAM sebagaimana disinggung di atas, maka sumber hukum HAM ada yang dalam
bentuk hukum internasional dan hukum nasional.
Berpedoman kepada ketentuan Pasal 38 ayat (1) SMI, maka sumber-sumber
hukum HAM internasional yang terpenting adalah: 1. The Charter of United Nations;
2.The International Bill of Human Rights yang terdiri dari: a. UDHR ; b. ICCPR ;
c.ICESCR. Hukum internasional mengenai HAM yang lainnya dijabarkan dari
sumber-sumber hukum HAM ini.
Hukum HAM juga diatur di berbagai kawasan dunia seperti Eropa, Amerika,
Afrika, dan dunia Arab yang berlaku di kawasan-kawasan dunia tersebut, di
samping berlakunya hukum HAM Internasional bersifat global sebagaimana
disebutkan sebelumnya.
Setiap negara biasanya mengatur masalah HAM dalam hukum nasionalnya baik
dalam undang-undang dasar, undang-undang dan atau bentuk hukum nasional yang
lain. Misalnya, Indonesia mengatur hukum nasional mengenai HAM dalam:
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan
Pengubahannya; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan 5.hukum nasional lainnya.
Berpedoman pada uraian di atas maka dapat dipahami bahwa HAM diatur
dalam berbagai instrumen hukum (internasional, regional dan nasional) dalam
bentuk deklarasi, resolusi, konvensi, undang-undang dasar, undang-undang dan
sebagainya yang menyangkut hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
hak-hak kolektif . Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa bahwa jenis
atau cabang dan bentuk hukum yang mengatur masalah HAM berbeda satu sama
lain, tetapi muatan, isi, materi atau ketentuan mengenai HAM adalah sama.
Pelaksanaannya dapat berbeda yang disesuaikan dengan kemajuan suatu negara di
bidang ekonomi, sosial, politik, sejarah dan idiologi dari negara yang bersangkutan.
Pernyataan di atas didukung dengan menampilkan contoh dalam tabel di bawah
dengan menampilkan ketentuan-ketentuan UDHR dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

NO KETENTUAN-KETENTUAN/ PASAL-PASAL
ISI/MATERI
UDHR UU/39/1999

I. Persamaan Harkat, Martabat, dan Derajat 1-2 2-3


Manusia
II. Hak-Hak Sipil
1. Hak hidup, kebebasan dan kesamaan 3 3-4,9

123
2. Bebas dari perbudakan dan perhambaan 4 20

3. Bebas dari penyiksaan atau perlakuan 5 33


maupun pidana yang kejam, tak
berperikemanusiaan ataupun
merendahkan derajat manusia
4. Hak untuk memperoleh pengakuan dan 6-11 17
perlakuan yang sama di depan hukum

5. Hak jaminan keselamatan dan keamanan 12 29-32


pribadi, keluarga, tempat tinggal, surat
menyurat, perlindungan terhadap nama
baik
6. Hak untuk memperoleh suaka politik dan 13-15 26-28
bebas memilih kewarganegaraan

7. Hak berkeluarga dan mempunyai hak 16-17 10-11


milik
8. Hak beragama, berkeyakinan dan 18-19 22
beribadat
III. Hak-Hak Politik
1. Hak berkeyakinan politik dan 23
mengeluarkan pendapat
2. Hak berhimpun dan berserikat, 20 24
mendirikan partai politik
3. Hak untuk mengambil bagian dalam 21 43-44
pemerintahan dan hak akses yang sama
terhadap pelayanan masyarakat

IV. Hak-Hak Ekonomi


1. Hak atas jaminan sosial 22 41
2. Hak bekerja, hak atas upah yang sama 23 38-39
untuk pekerjaan yang sama, hak untuk
bergabung dalam serikat-serikat buruh

3. Hak atas istirahat dan waktu senggang 24 -

4. Hak atas tempat tinggal dan standar 25:1 40,42


hidup yang layak
5. Perlindungan ekonomi terhadap anak- 25:2 49,62
anak dan ibu-ibu
V. Hak-Hak Sosial
1. Hak atas pendidikan 26 12,48,60
2. Hak atas kesehatan 25:1 42
VI. Hak-Hak Kebudayaan
1. Hak untuk berpartisipasi dalam 27 6
kehidupan kebudayaan masyarakat

124
VII Kewajiaban Hak Asasi Manusia(KAM)
Suatu negara atau masyarakat tertib, aman, 29-30 67-70
tentram, apabila semua warga (negara)
menghormati hak asasi manusia satu sama
lain

Uraian di atas menunjukkan bahwa HAM bersifat universal dan transparan


sehingga bentuk hukum berbeda, tetapi isi atau materi HAM sama.Setiap negara
mempunyai tanggungjawab (responsibility) dan berkewajiban(obligation) untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), memajukan
(to promote) dan menegakkan (to enforce) HAM. Dengan dalam undang-undang
Otonomi khusus Papua in,pengaturan HAM diatur secara singkat yang
pelaksnaannyan berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum internasional dan
hukum nasional.

22. Peradilan Adat

1. Tinjauan terhadap Eksistensi Peradilan Adat


Konsep negara hukum (rechstaat atau rule of Law) adalah konsep yang
menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa-bernegara. Berdasarkan hal ini, maka konsep negara hukum tidak bisa
dipisahkan dari entitas negara sebagai struktur sosiopolitik makro yang memiliki
kuasa atas seluruh warga negara yang ada di dalamnya, ermasuk kekuasaan
dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai dasar dari negara tersebut.
Sehingga, jika membicarakan konsep negara hukum atau supremasi hukum, maka
sejatinya kita sedang embicarakan konsep supremasi hukum negara (the rule of
the state laws). Di sisi lain, realitas struktur sosio-politik masyarakat Indonesia
sangatlah plural dan heterogen, karena ada begitu banyak kelompok-kelopmpok
entitias sosio-politik mikro yang terbentuk di masyarakat yang kehidupan dan
ubungan antar manusia di dalamnya didasarkan pada hukum di luar hukum
negara yang mereka buat sendiri. Salah satu contoh utama dari kelompok
masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat yang sudah ada eksistensinya jauh
sebelum Negara Indonesia didirikan. Konstitusi Indonesia (UUD 1945) di pasal
18B ayat 2 secara tegas mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak
tradisionalnya. Namun, sebagai konsekuensi konsep negara hukum, pengakuan
dan perlindungan atas eksistensi masyarakat adat dilakukan dalam konstruksi
hukum positif negara, sedangkan eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya
adalah suatu hal yang hidup dalam konstruksi hukum adat yang sama sekali
berbeda dan dalam banyak hal kontradiktif dengan hukum negara.

Suatu keniscayaan bahwa Keberadaan dan ekstensi peradilan adat di


masyarakat telah lama di akui. Namun dalam praktiknya, hukum adat justru tidak
terkandung dalam sistem peradilan atau hukum formal. Sehingga terkadang
masih banyak masyarakat kurang memahami. Jadi, tidaklah mengherankan masih
terdapat pro dan kontra terhadap penyelesaian hukum yang menggunakan
hukum adat. Pertanyaannya, "akankah hukum adat dapat dimasukkan ke dalam
praktik peradilan formal.

125
Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu
menyadari bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan
Ideologi Pancasila dimana memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika
yaitu “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda
agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa
Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi
landasan pijak dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman
dan pemikiran sempit yang mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang
berimbas pada disintegrasi bangsa. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara
hukum, dimana hukum menjadi panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara
ini. Dan Negara merupakan penjamin hak agar masyarakat merasa terlindungi
untuk melaksanakan haknya dalam bingkai kemajemukan atau pluralisme.

Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun


politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni
kelompok atau aliran keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial
pada satu kelompok atau aliran.Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui
sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka
Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi
keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai
kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan.
Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk
didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara
konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya
ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9
dalam Magdalia Alfian : 2010).Yang menjadi persoalan adalah bagaimana konsep
tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan
bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-
ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu
unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara. Dalam
konteks ini sering yang menjadi isu utama dalam aras politik bangsa kita ialah
konflik antara masyarakat adat dan pemerintah ataupun masyarakat adat dengan
pengusaha. Yang menyedihkan adalah yang selalu menjadi korban ketidak adilan
dan tindakan kekerasan adalah masyarakat adat yang minim akses untuk
memeperoleh keadilan. Meskipun keberadaan masyarakat adat ini diakui dalam
konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 18 B, namun pengakuan ini juga dianggap
pengakuan sepihak dan setengah hati. Karena masih ada kalimat pengecualian
yaitu “ sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Hal inilah yang selalu, menjadikan dilemma
bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak adatnya.

Kenyataannya bagi masyarakat Indonesia, konsep peradilan ternyata


bukanlah hal yang baru dikenal setelah masuknya hukum kolonial. Jauh sebelum
kedatangan bangsa-bangsa lain, yang menawarkan sistem hukumnya, di semua
komunitas masyarakat di wilayah Nusantara, telah berlangsung proses
“menyelesaikan sengketa” berdasarkan mekanisme yang beragam yang bertujuan
untuk “mengembalikan keseimbangan sosial” melalui pemberian keadilan kepada
para pihak. Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau

126
lokal, yang dari segi bentuknya sangat beragam. Ada yang berada dibawah
kewenangan lembaga yang khusus, sedangkan di sebagian tempat lainnya
diselenggarakan oleh lembaga yang tidak secara khusus menangani sengketa.
Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-jejak
yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Di beberapa tempat,
malah bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan hingga
sekarang. Ternyata, upaya intervensi dan penundukan sistem peradilan adat,
tidak terlalu berhasil meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat.
Kenyataan ini membuktikan, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini
sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi
pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya
berada pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lebih praksis
melalui tindakan nyata di lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi
negatif dan pelucutan kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan
seperti ini, peradilan adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Meskipun
potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas msyarakat belum
memiliki interaksi dengan budaya luar, kenyataan tersebut tidak mengurangi
nilai dari kemampuan ‘survival’-nya. Pilihan sikap masyarakat terhadap sistem
nilai yang dimilikinya, mungkin menjadi kunci atas tetap eksisnya sistem ini.
Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, pengaruhnya bisa
dieliminir, sepanjang masyarakat – sebagai pemangku sistem tersebut - secara
sadar bersedia menjadikannya sebagai pilihan yang utama. Faktor lain yang
menyebabkan tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah
sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apapun oleh
kelompok-kelompok dominan dari luar komunitas, fungsionalitasnya tidak
berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi
warganya, sehingga membuatnya sangat layak - untuk dipercaya dan dipegang
teguh oleh komunitas pemangkunya.

Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat,


peradilan adat mengemban peran penting bagi peradaban komunitas adat di
Indonesia. Peradilan Adat berfungsi sebagai pilar penjaga keseimbangan
hubungan sosial dan kearifan lokal, misalnya, menjaga harmonisasi hubungan
antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian Peradilan Adat bukan hanya
pilar penyeimbang, tetapi juga entitas budaya masyarakat adat. Pasang surut
eksistensi Peradilan adat tidak terlepas dari kuatnya pengaruh positivisme
hukum dalam cara pikir penyelenggara negara. Cara pikir ini sangat
mengagungkan formalitas legal, dan dengan demikian memaklumkan tidak ada
pengadilan lain, selain Peradilan negara. Akibatnya, peradilan adat yang ada sejak
ratusan tahun lalu dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal von Savigny (W.
Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat tentang hukum
diantaranya: pertama, hukum ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum
merupakan proses yang tidak disadari dan organis, akibatnya perundang-
undangan kurang penting dibandingkan adat kebiasaan. Kedua, Undang-undang
tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat
mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat
istiadat dan konstitusi yang khas, sehingga Volksgeist (Jiwa Bangsa) akan terlihat
dalam hukumnya.

127
Eksistensi peradilan adat tidak dapat dilepaskan dari masyarakat hukum
adatnya. Mengenai konsep dasar tentang Masyarakat Adat itu sendiri, yang paling
klasik bisa dirujuk pada apa yang dikemukakan oleh Ter Haar (1979: 27) dengan
konsepnya yang disebut sebagai adatrechts-gemeenschap (masyarakat hukum
adat), yakni masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli yang
terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu
kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, di mana segala sesuatu dalam
kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu
aturan tertentu (yang tiada lain adalah aturan hukum adat). Lebih jauh, Hazairin
(dikutip Simarmata: 36) mengungkapkan bahwa masyarakat-masyarakat hukum
adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatra Selatan, nagari di Minangkabau, kuria
di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat
yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Sehingga,
dari uraian mengenai konsep masyarakat (hukum) adat di atas bisa dikatakan
bahwa masyarakat adat adalah suatu masyarakat hukum sebagai suatu institusi
politik yang mandiri (mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada institusi
sosial yang lebih besar) beserta segala macam perangkat kelembagaan yang ada
yang pembentukan dan kehidupan di dalamnya didasarkan pada aturan hukum
adat yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berangkat dari sini, maka kiranya
jelas bahwa kehidupan masyarakat adat pada dasarnya tidak bertumpu pada
keberadaan negara beserta kelengkapan hukum negaranya, melainkan bertumpu
pada aturan hukum adat mereka. Sehingga, setiap hak yang lahir dan eksis, baik
itu hak kolektif maupun hak perseorangan, dalam suatu komunitas masyarakat
adat disebabkan karena adanya aturan hukum adat dalam komunitas masyarakat
tersebut.

2. Kedudukan Peradilan Adat di Indonesia.


Secara yuridis, dikenal ada dua macam penyelesaian perkara dalam masalah
hukum, yang pertama dikenal dengan penyelesaian litigasi, dan kedua yang
dikenal dengan non litigasi. Maksud yang pertama adalah penyelesaian di depan
pengadilan1, seperti penyelesaian perkara di Peradilan Umum, Peradilan Agama
atau Mahkamah Syar‟iyah, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan bentuk tersebut dikelola oleh negara, dan sering disebut dengan nama
governement judicial system2. Kemudian maksud yang kedua yaitu penyelesaian
perkara di luar pengadilan seperti arbitrase, mediasi Pengadilan seperti ini
dikenal dengan sebutan native administration of justice, village administration of
justice, indigenous system of justice, religious tribunals dan village tribunal Tahun
1935 merupakan titik awal bagi pengadilan non litigasi yang diakui oleh koloni
Belanda lewat Statblaad 1935 No. 102. Pengakuan ini didorong oleh bentuk
politik balas budi yang diperankan oleh Belanda terhadap wilayah jajahannya.
Kebijakan politik demikian ternyata juga memberi peluang positif terhadap
bentuk peradilan yang tidak dikelola oleh negara. Dengan demikian, melalui
kebijakan tersebut dapat ditegaskan bahwa Belanda telah mengakui keberadaan
Peradilan Adat dan Peradilan Agama saat itu, meskipun pengakuan tersebut
masih bersifat terbatas, seperti hakim-hakim adat tidak diperbolehkan
menjatuhkan hukuman. Bukan hanya Peradilan Desa yang diakui, tetapi juga
Peradilan Adat dan Peradilan Swapraja juga turut diakui.

128
3. Terma Peradilan Adat Atau Pengadilan Adat
Istilah „Peradilan Adat‟ atau „Pengadilan Adat‟ tidak begitu lazim dipakai
oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang sering
digunakan adalah „sidang adat‟ atau „rapat adat‟ dalam ungkapan khas masing-
masing komunitas. Menariknya, dalam adat tidak dikenal istilah „adil‟, sebab kata
adil itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, pengadilan adat tidak
mengenal keadilan, yang ada hanya ketika dilakukan penyelesaiaan suatu
sengketa dalam masyarakat adat tidak ditujukan untuk menemukan keadilan,
tetapi untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan hubungan
kekeluargaan. Perdamaian dan keseimbangan merupakan muara akhir dari
Peradilan Adat. Musyawarah menjadi metode untuk menemukan perdamaian.
Pelaksanaan ritual tertentu, seperti makan bersama, upacara saling memaafkan
atau mengucapkan ikrar serta pelaksanaan hukuman denda, dimaksudkan untuk
mengembalikan keseimbangan alam fisik dan sosial. Musyawarah dilakukan pada
setiap tingkatan peradilan atau sidang adat. Perdamaian selalu diupayakan ketika
sengketa dimulai diselesaikan di tingkat keluarga. Setiap keluarga dari pihak yang
bersengketa selalu berusaha agar penyelesaian sengketa berakhir pada
musyawarah keluarga. Jika tidak bisa diselesaikan dan akhirnya harus dibawa ke
tingkat kampung, ini akan membuat malu para pihak keluarga, sebab perkaranya
sudah diketahui oleh umum.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Peradilan Adat ini sangat dekat
dengan tradisi musyawarah. Ini dibuktikan oleh banyaknya konsep yang
digunakan oleh sejumlah suku bangsa dengan cara yang beragam, misalnya di
Kalimantan Barat, Pengadilan Adat dikenal dengan istilah ‘beduduk’, di Sumatara
Utara, khususnya Kabupaten Karo dikenal dengan ‘harungguan’, di Sasak dikenal
dengan sebutan ‘bagundem’ atau ‘paras paros sagilik saguluk sabayan taka’ di
Bali. Di Aceh, disebut dengan „peradilan atau „pengadilan adat‟.
Penggunaan istilah tersebut untuk menunjukkan fenomena yang terjadi
dalam masyarakat seperti dalam masyarakat sebagai suatu pranata sosial yang
sangat berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dialami
oleh masyarakat. Penggunaan istilah „Peradilan Adat‟ itu sendiri juga bukan
karena dilihat dari kelembagaan, mekanisme dan fungsinya dalam menyelesaikan
sengketa, melainkan karena secara lembaga adat, lembaga ini sama seperti
dengan lembaga peradilan formal lainnya, hanya saja ada beberapa aspek yang
berbeda seperti pada konsekuensi dan efek hasil.

Pada masa kolonial, kepentingan pemberdayaan lembaga pengadilan adat


menjadi pertimbangan atas kebutuhan lembaga peradilan bagi penduduk asli.
Melalui sejumlah staadblad lembaga ini diberdayakan, diantaranya : a. Staatsblad
no.83/tahun 1881 untuk Aceh Besar; b. Staatsblad no.220/tahun 1886 untuk
Pinuh (Kalimantan Barat); c. Staatsblad no.90/tahun 1889 untuk daerah
Gorontalo Adanya berbagai Staatblad ini tidak kemudian diartikan bahwa
keberadaan lembaga-lembaga ini hanya ditempat-tempat tertentu saja, karena
dalam kenyataannya keberadaan lembaga-lembaga ini ada diberbagai daerah
diseluruh Indonesia. Keberadaan berbagai staatblad ini juga tidak dapat diartikan
bahwa tidak ada campur tangan dari pemerintah kolonial terhadap keberadaan
lembaga ini. Berbagai bentuk campur tangan pemerintah seperti campur tangan
peradilan gubermen yang juga terjadi terhadap berbagai Pengadilan adat

129
diberbagai wilayah yang terlihat dalam: a. Staadsblad No.80 tahun 1932 tentang
Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak in rechtsstreeks bestuurd gebied
(pengadilan adat).b. Zelfbestuursregelen 19386 tentang pengadilan swa praja
serta c. Staatsblad no.102 tahun 1935 menyisipkan Pasal 3a ke dalam Reglement
Ordonantie yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-
masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menjadi kewenangannya.Kewenangan hakim ini tidak mengurangi kewenangan
para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada hakim.Melalui
staatblad ini maka kedudukan pengadilan desa diakui. Sehingga dalam
kenyataannya selama pemerintahan Kolonial, terdapat dua pengadilan yang pada
dasarnya tidak memiliki perbedaan yang prinsipiil yaitu pengadilan adat dan
pengadilan desa. Terlepas dari pelembagaan yang demikian di Indonesia,
berdasarkan catatan yang dibuat oleh Sonclair Dinnen menunjukan bahwa
mekanisme ini masih berlaku didaerah-daerah pedalaman dibanyak negara
didunia. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain : (a) Terbatasnya akses
masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada; (b) Masyarakat tradisional
didaerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat
berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan permasalahan hukum
yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau ”custom” masih
berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realita dimana perubahan
masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga
merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih ”steril”
keberlakukan sistem hukum formal). (c) Tipe pemecahan masalah yang
ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang
berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan
masyarakat yang masih memegang tradisi hukum mereka sendiri; (d) Kurang
memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum
formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa
keadilan masyarakat setempat.

Sinclair Dinnen memahami bahwa posisi peradilan adat dalam sistem


hukum formal kerap dipertanyakan, bukan hanya terkait dengan pola
hubungannya bila keduanya akan diterapkan, akan tetapi juga mencakup
sejumlah keraguan berkaitan dengan keberadaan institusi peradilan adat ini
antara lain: (a) Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat
dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana kerangka berfikir dari mereka
kerap kali tidak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada
masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang
mereka buat seperti bahwa putusannya mendiskriminasi perempuan dan anak-
anak (khususnya dalam masyarakat patrilineal); (b) Dugaan bahwa dalam
peradilan adat pun budaya nepotisme dan korupsi rentan terjadi; (c) Kekuatan
memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan; (d) Prinsip dan
tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang
ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda
(dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan
dampak positif atau pun negatif); (e) Bahwa institusi peradilan adat hanya akan
effektif dan mengikat dalam masyarakat tradiional yang homogen akan tetapi
akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area; Terkait dengan
hal-hal tersebut maka Sinclair menawarkan model ”collaborative approach”

130
atau hybrid justice system antara peradilan adat dan sistem hukum formal.
Namun demikian dalam implementasinya juga harus melihat kepada: (a) Bahwa
perlakuan diskriminatif tidak lagi diterapkan; (b) Bahwa hukuman yang
dijatuhkan harus melihat kepada perkembangan pemidanaan yang mengacu pada
penghormatan hak asasi manusia; (c) Harus pula dipertimbangkan apakah
mekanisme ini dapat berlaku bagi pelaku tindak pidana yang serius seperti
perkosaan atau pembunuhan; (d) Adanya jaminan kepastian hukum yang dijamin
oleh undang-undang atas setiap putusan yang dibuat melalui jalur informal ini.
Dalam praktik, permasalahan yang dihadapi oleh lembaga kepolisian di
berbagai daerah di Indonesia dalam posisinya sebagai gerbang sub sistem
peradilan pidana adalah banyaknya perkara pidana yang tidak diteruskan karena
telah diselesaikan melalui jalur lembaga adat.10 Di dalam masyarakat yang masih
memegang erat norma adat dalam kehidupannya sehari-hari, keberadaan
lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa memiliki posisi yang
penting dan menentukan. Karena hukum adat tidak membedakan antara hukum
publik dan privat11 dalam kaidah hukumnya, maka penyelesaian perkara pidana
oleh lembaga adat dapat dianggap sebagai suatu alternatif utama. Hal ini
disebabkan karena penyelesaian yang ditawarkan atas suatu perkara pidana
dapat membawa dampak yang langsung dirasakan oleh mereka yang terlibat
sesuai dengan sifatnya yang terang dan tunai. Maka tak heran dalam kondisi
demikian proses peradilan pidana menjadi terhenti dengan adanya penyelesaian
secara adat tersebut. Karena alasan terhentinya proses pemeriksaan di tingkat
kepolisian bukan berdasarkan hal yang diperkenankan dalam hukum acara
pidana yang berlaku, maka kondisi atau jumlah perkara demikian hampir tidak
dapat ditemui dalam statistik kepolisian. Inisiatif penyelesaian melalui jalur adat
dapat terjadi karena berbagai hal yaitu: (a) atas inisiatif pelaku atau keluarganya,
atau (b) atas inisiatif korban atau keluarganya, (c) saran para ketua adat atau
pejabat desa atau alim ulama atau (d) saran dari pihak kepolisian.
Seperti diketahui bahwa di dalam Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 disebutkan:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan jaman dan peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: Dalam rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah. Jadi
menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan
memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan
manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran
dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengakuan
dan penghormatan ini juga bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau
oleh pengadilan negara.
Sampai kini banyak masyarakat, terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa,
menggunakan pengadilan adat, karena biayanya murah, tidak bertele-tele dan
sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Seperti kata pepatah Dayak Iban:
Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk, Bepanggal ke Pengingat (berjalan
bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah), maka pengakuan, penghormatan
dan pemajuan pengadilan adat sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia
merupakan langkah pasti menuju peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan
substantif.

131
Diskursus peradilan adat pada dasarnya merefleksikan hubungan negara dan
masyarakat. Hubungan ini dapat dikatakan secara sederhana sebagai sebuah
realitas politik bahwa dalam negara pun sesungguhnya ada ruang untuk
masyarakat. Dalam negara demokrasi, yang dimaksud dengan ruang negara
adalah keseluruhan wewenang dan struktur terkait yang oleh rakyat telah
diserahkan kepada negara untuk diatur. Sedangkan sebagian urusan lain tetap
diurus oleh masyarakat sendiri karena mereka mampu dan akan lebih efektif.
Peradilan adat sebagai salah satu ekspresi keberadaan hukum adat bukanlah
hal baru atau pun yang sudah dilupakan orang di Indonesia. Tapi pertanyaannya
adalah apa itu peradilan adat? Upaya penyelesaian sengketa di tingkat komunitas
masyarakat adat yang dibatasi oleh wilayah dan struktur pengurusan komunitas
mungkin dapat menjadi penjelasan sederhana tentang apa itu peradilan adat.
Menurut rekaman sejarah tertulis, system peradilan telah ada di pulau-pulau
nusantara sejak abad ke-9. Prasasti Bulai dari Rakai Garung dari Kerajaan
Sriwijaya, bertahun 860 telah menyebutkan tentang peradilan adat untuk perkara
perdata. Bahkan sebelum kedatangan budaya Hindu dan Islam berbagai
komunitas masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara telah mengenal sistem
peradilan, meskipun tidak ada bukti sejarah tertulis untuk ini.
Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-
jejak yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Bahkan di
beberapa tempat bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan
hingga sekarang. Kenyataan ini sekaligus menggambarkan kemampuan bertahan
dari sistem ini terhadap seluruh upaya pemberangusannya. Meskipun potretnya
sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas masyarakat belum memiliki
interaksi yang luas dengan budaya luar. Kenyataan tersebut tidak mengurangi
nilai dari upaya serta kemampuan adaptif dari sistem ini.
Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum pengakuan yang berbeda-
beda tentang keberadaan peradilan adat di berbagai tempat di nusantara dengan
mengeluarkan berbagai Staatblaad. Beberapa contohnya adalah Stb. 1881 No. 83
untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889
No. 90 untuk daerah Gorontalo. Kemudian pada 18 Februari 1932, pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan
berbagai ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat, yang
sebagian disebutkan di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah
baru. Namun adanya peraturan ini tidak berarti peradilan adat hanya ada di
tempat-tempat yang disebutkan oleh Staatblad tersebut. Nyatanya, peradilan adat
ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang diberikan
tersebut juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh dan
menghormati sistem peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan seperti
yang dilakukannya terhadap peradilan gubernemen juga berlangsung terhadap
peradilan adat di daerah-daerah tersebut. Staatblad. 1935 No. 102 menyisipkan
Pasal 3a ke dalam R.O yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari
masyarakat- masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-
perkara adat yang menjadi kewenangannya. Kewenangan hakim ini tidak
mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya
kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya pasal ini kedudukan peradilan desa
diakui. Sehingga kemudian selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk
peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak
memiliki dasar perbedaan yang prinsipil.

132
Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini berlanjut dengan dikeluarkannya
Undang- Undang Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13 januari 1951, yang
mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Melalui
ketentuan ini dipertegas niatan untuk mewujudkan unifikasi system peradilan.
Undang-undang ini berisi 4 hal pokok, yaitu: Penghapusan beberapa peradilan
yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan; Penghapusan secara
berangsur-angsur peradilan swapraja di daerah-daerah tertentu dan semua
peradilan adat; Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang
peradilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari peradilan
adat; Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat dimana
landgerecht dihapuskan.
Untuk melaksanakan undang-undang ini terkait dengan penghapusan
peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk
menghapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di Sulawesi, Lombok,
Kalimantan, dan Irian Barat. Tahun 1964 keluar Undang-Undang No. 19 (LN. 1964
No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat
(1) undang-undang ini menyebutkan bahwa peradilan di wilayah Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.
Undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No. 14 tahun
1970 (LN. 1970 no. 74).
Dalam Pasal 3 ayat (1) -nya, disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah
Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-
undang. Di Pasal 39 disebutkan juga mengenai penghapusan pengadilan adat dan
swapraja yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, sejak hadirnya
undang-undang ini maka pengadilan swapraja dan peradilan adat di Indonesia
tidak diakui lagi. Tetapi usaha untuk mengintervensi dan menundukkan system
peradilan adat ternyata tidak sesukses yang diharapkan. Di banyak komunitas,
proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini membuktikan bahwa
kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh luar biasa. Pilihan sikap
masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin merupakan salah
satu jawaban kunci terhadap kenyataan ini. Faktor lain yang menyebabkan tetap
eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah sifat fungsional dari
peradilan adat itu sendiri. Fungsionalitasnya tidak berkurang untuk
memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi warganya.
Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas masyarakat adat yang hingga
saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga
komunitas inilah yang menjadi daya pemberi hidup bagi keberadaan sistem
peradilan adat di lingkungan mereka. Posisi peradilan adat yang merupakan
bagian dari system sosial masyarakat semakin mempertinggi kemampuan
bertahan dari sistem ini. Hal ini dapat dilihat dari tujuan dasar peradilan adat
yang umumnya untuk menjaga harmoni dalam komunitas masyarakat adat, dan
pemahaman akan konsep keadilan mereka yang tidak semata-mata bersifat
material. Ada contoh kontemporer tentang sistem peradilan adat yang masih
diketahui, dijalankan, dan sampai tingkat tertentu masih dipatuhi oleh anggota
komunitas masyarakat adat.
Di daerah Kei Maluku Tenggara misalnya dikenal hukum Larwur Ngabal yang
berlaku di seluruh wilayah Kei. Ketentuan ini masih sangat kuat. Saat ini Larwur
Nagabal ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: Nevnev, yang terdiri dari

133
tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang
menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia; Hanilit, yang
terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilaan, serta; Hawaer
batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan. Hukum ini menjadi
satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negara yang
ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang kewenangan
penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara. Prosesnya sendiri
berawal dari laporan kepada pemimpin adat oleh orang yang merasa haknya
dilanggar. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak yang berperkara
dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan pihak-pihak yang
berperkara hadir dengan saksi masingmasing. Sidang dipimpin oleh pemimpin
adat didampingi Dewan Adat. Dalam perkara pelanggaran susila, perempuan
hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan yang dituakan.
Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi
kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma.
Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses
persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini
tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi
semua pihak yang ikut dalam proses persidangan. Kenyataan di beberapa daerah
lain menunjukkan tidak semua peradilan adat memiliki daya tahan yang sama
seperti peradilan adat di atas. Daerah yang berdekatan dengan wilayah
perkotaan, sistem peradilan adatnya sudah tidak lagi tampak.
Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif
sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem
peradilan nasional Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk
menyelesaikan sengketa di peradilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan
atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat
yang bisa memaksakan penegakannya. Namun, sejumlah kelemahan yang saat ini
ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan
negara terhadap eksistensinya. Persoalan yang penting untuk dijawab negara
dalam hubungannya dengan masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi
ruang dengan masyarakat dalam hal-hal tertentu. Misalnya di bidang hukum dan
peradilan, dengan penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib
sosial dan tercapainya kesejahteraan. Upaya menemukan sebuah sistem hukum
yang dapat menjamin secara setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam
realitas sosial yang demikian beragam seperti Indonesia memang bukanlah
persoalan mudah. Namun, kesulitan tidaklah pantas untuk dijadikan alasan
pembenaran penyeragaman seluruh konsep hidup masyarakat di Indonesia.
Alasan utama adalah bahwa tindakan itu merupakan refleksi upaya mekanisasi
manusia, membuat manusia seperti mesin yang dapat dikendalikan oleh sebuah
pusat kontrol, yang dalam komputer kita kenal sebagai central processing unit.
Hal itu juga mengingkari prinsip bahwa setiap kelompok masyarakat,
sebagaimana individu, sesungguhnya memiliki kapasitas membangun
otonominya sendiri dalam mengurusi urusan-urusan yang dapat dibereskan
sendiri. Di sini terkandung unsur meringankan beban negara. Pola hubungan
inilah yang mesti terus dibangun dan bukannya diberangus.
Bila ditelusuri tentang beberapa dasar hukum pemberlakuan Peradilan Adat
di Indonesia, maka yang pertama kali ditinjau adalah keberadaan dengan
dicantumkannya Pasal 18.B ayat (2) dan Pasal 28.I ayat (3) dalam UUD 1945

134
maka pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional kesatuan
masyarakat hukum adat semestinya diderivasi dalam peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang Dasar, yaitu pada level undang-undang.
Sesuai dengan teori hirarki norma48, undang-undang tidak boleh mengatur hal
yang bertentangan dengan jiwa atau prinsip yang dianut dalam Undang-undang
Dasar. Dengan diakuinya hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat
(termasuk kekuasaan mengadili) dalam UUD 1945, semestinya eksistensi
peradilan adat juga mendapat pengakuan dalam undang-undang. ”Pengakuan”
yang dimaksudkan di sini adalah pengesahan formal terhadap suatu entitas
(dalam hal ini peradilan adat) yang mempunyai status khusus.
Sebagai istilah teknis yuridis, istilah “peradilan adat” secara resmi digunakan
dalam beberapa undang-undang. Yang terbaru dan paling ekplisit menyebutkan
istilah ”peradilan adat” dalam pasal-pasalnya adalah Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Istilah “peradilan
adat” juga disebutkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan di mana disebutkan bahwa peradilan adat sebagai salah satu
unsur yang menjadi indikator bahwa suatu masyarakat hukum adat dalam
kenyataannya masih ada. Jauh sebelumnya, istilah “peradilan adat” dan
“pengadilan adat” digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun
1951. Walaupun kedua istilah tersebut sesungguhnya dapat dibedakan
pengertiannya, yaitu ”peradilan adat” menyangkut proses atau sistem, sedangkan
”pengadilan adat” menyangkut lembaga peradilannya; tetapi Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tampaknya tidak membedakan pengertian
keduanya, karena kedua istilah tersebut digunakan secara bersamaan dalam
tanpa membedakan pengertiannya. Dalam pasal-pasal undang-undang tersebut,
istilah yang digunakan adalah ”pengadilan adat”, sedangkan dalam penjelasannya
di samping istilah “pengadilan adat” juga digunakan istilah ”peradilan adat”.
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah suatu undang-undang
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia,
merombak susunan peradilan warisan Pemerintah Hindia Belanda. Undang-
undang inilah yang menghapuskan keberadaan peradilan adat dalam sistem
hukum di Indonesia, yang dibentuk pada jaman kolonial Belanda. Dengan begitu,
untuk memahami konsep peradilan adat yang dimaksudkan oleh Undang-undang
Darurat Tahun 1951 maka perlu dipahami sistem peradilan pada jaman
Pemerintahan Hindia Belanda.
Pada jaman Pemrintahan Hindia Belanda dieknal lima macam peradilan,
yaitu, yaitu: (a) Gouvernements-rechtspraak (Peradilan Gubernemen), (b)
Inheemsche rechtspraak (Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat), (c) Zelfbestuur
rechtspraak (Peradilan Swapraja), (d) Godsdienstige Rechtspraak (Peradilan
Agama) dan (e) Dorpjustitie (Peradilan Desa)49. Dari lima jenis peradilan di atas,
iheemsche rechtspraak oleh beberapa penulis – seperti yang dilakukan oleh

48
Menurut Hans Kelsen, tata hukum merupakan suatu hirarki dari norma-norma yang mempunyai level
berbeda. Kesatuan norma itu disusun secara hirarkis di mana validitas norma yang lebih rendah ditentukan oleh
norma yang lebih tinggi. Norma dasar adalah level tertinggi dalam hukum nasional. Lihat: Jimly Assiddiqie-Ali
Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2006), hlm. 109.
49
H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, (Jakarta: CV Miswar, 1989), hlm. 37.

135
Tresna50, Sudikno Mertokusumo51, dan H. Irine Muslim52 – diterjemahkan dengan
istilah “peradilan adat” atau “pengadilan adat”, sedangkan penulis lain
menterjemahkannya dengan istilah “peradilan asli”53 atau “peradilan pribumi54.
Dengan demikian, dari perspektif sejarah dapat diketahui bahwa sesungguhnya
yang dimaksudkan dengan “peradilan adat” dan “pengadilan adat” oleh Undang-
undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah inheemsche rechtspraak, yang
menurut perundang-undangan Hindia Belanda adalah peradilan yang
diperuntukkan bagi golongan penduduk pribumi (penduduk asli Indonesia).
Walaupun peradilan pribumi ini mengadili menurut tata hukum adat, tetapi
peradilan ini tetap berada di bawah kontrol Residen (pejabat Pemerintah Hindia
Belanda) yang mempunyai kekuasaan sangat besar, pertama: berkuasa
mengangkat hakim-hakim peradilan pribumi (peradilan adat); yang kedua:
berkuasa menetapkan hukum adat yang diberlakukan55. Selain inheemsche
rechtspraak, dalam masyarakat Indonesia di masa kolonial terdapat peradilan
asli dikalangan golongan pribumi yang disebut dorpjustitie (peradilan desa),
suatu peradilan yang dilaksanakan oleh hakim desa, yang diperankan oleh kepala
desa selaku kepala masyarakat hukum adat. Menurut Hazairin56, hakim desa
adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam setiap masyarakat hukum
adat merupakan conditio sine qua non sebagai alat perlengkapan kekuasaan desa
selama desa itu sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat
keistimewaannya sebagai kesatuan social ekonomi yang berdiri sendiri.
Kekuasaan hakim desa itu tidak terbatas pada kekuasaan mendamaikan saja,
tetapi meliputi kekuasaan memutuskan semua silang sengketa dalam semua
bidang hukum tanpa membedakan antara masalah di bidang hukum pidana,
perdata, publik dan sipil.
Menurut Abdurrahman, tidak ada perbedaan prinsipiil pada dua bentuk
peradilan bagi penduduk pribumi tersebut. Peradilan Desa umumnya terdapat
pada hampir seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang bersifat
teritorial, namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat hukum adat
teritorial maupun geneologis57. Bagi penulis, peradilan adat dalam pengertian
sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak memiliki suasana dan latar belakang
yang berbeda dengan dorpjustitie (peradilan desa). Walaupun keduanya sama-
sama merupakan peradilan yang mengadili perkara antara orang-orang pribumi,
inheemsche rechtspraak bukanlah peradilan yang dilaksanakan oleh kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat secara mandiri, melainkan suatu peradilan
yang diadakan untuk golongan penduduk pribumi (Indonesia) sebagai
konskwensi dianutnya sistem dualisme hukum berdasarkan penggolongan
50
R. Tresna, Peradilan di Indonesdia Dari Abad Ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 73
51
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942
dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1970), hlm. 52.
52
Ny H. Irene A Muslim, “Peradilan Adat Pada Masyarakat Daya di Kalimantan Barat”, Pidato
Pengukuhan jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, (Pontianak: Universitas
Tanjungpura,15 Juni 1991), hlm. 2.
53
Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, (Bandung: Alumni, 1991), hlm.
30.
54
Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm. 23.
55
R. Tresna, op.cit., hlm. 73.
56
Hazairin, “Kata Pengantar (Hakim Desa)”, dalam R. Soepomo, Pertautan Peradilan Desa Kepada
Peradilan Gubernemen, terjemahan: Rasjad St. Suleman, (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 5.
57
Abdurrahman, ”Penyelesaian Sengketa Hukum Adat: Antara Peradilan Adat dan Lembaga Adat”,
makalah, tanpa tahun, hlm. 6-9.

136
penduduk (penduduk golongan Eropa yang tunduk lepada hukum Eropa dan
penduduk pribumi yang tunduk pada hukum adat) dan dikontrol oleh pemerintah
Hindia Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Soepomo, inheemsche rechtspraak
tidak lain dari pada sistem peradilan gubernemen yang disederhanakan dan agak
merdeka, yang untuk itu tidak berlaku aturan-aturan pengadilan gubernemen
yang lebih sukar pelaksanaannya dan sifatnya lebih formal. Peradilan pribumi
yang diakui dalam daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah
Hindia Belanda, juga diatur oleh pemerintah dan pemerintah turut campur dalam
hal itu secara sama seperti peradilan gubernemen biasa58. Berbeda dengan
inheemsche rechtspraak yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena
dianutnya politik dualisme hukum, keberadaan peradilan desa diakui sebagai
penghormatan terhadap sistem hukum dan peradilan lokal yang hidup dan
berkembang dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang
termuat dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001. Menurut Pasal 51
ayat (1) undang-undang tersebut, “Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di
lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa
dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Selanjutnya, dalam ayat-ayat
berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan adat disusun menurut ketentuan
hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan;...memeriksa dan
mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana...berdasarkan hukum adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Dengan demikian, konsep
peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih
mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem peradilan yang diselenggarakan
oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman
Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan hingga kini secara yuridis
belum pernah dihapuskan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam
makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche
rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus
bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi
perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu,
peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah
dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah
“peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan
istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan
adat dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat
mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam
masyarakat Indonesia saat ini. Konsep ini sesuai pula dengan difinisi peradilan
adat yang dikembangkan oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan
adat adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh
komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan

58
R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita,
1972), hlm. 50-51.

137
hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem
peradilan negara”59. Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat
adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka
peradilan adat mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan
terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan
terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma
hukum tata negara adat setempat60. Peradilan adat merupakan pranata atau
perangkat hukum adat yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi
kesatuan masyarakat hukum adat setempat61, sehingga termasuk sebagai entitas
yang mendapat pengakuan dan penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
1945.
Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut dalam
kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup
dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili
perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Perkara-perkara adat yang
diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa maupun pelanggaran hukum adat.
Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat
setempat, sehingga mustahil dirumuskan secara seragam mengenai struktur dan
mekanisme peradilan adat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat yang jumlahnya ribuan di seluruh wilayah Indonesia. Penting
ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah bagian dari sistem
peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru dari peradilan adat
sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal pada jaman
Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta pluralisme
hukum62, sebab dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu, di
samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga berlaku
sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk.
Kedudukan Peradilan adat seakan Timbul Tenggelam bahkan terintervensi
dalam Pusaran Arus Kebijakan Pemerintah Kolonial maupun di alam
kemerdekaan. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran tentang
masalah tersebut. Catatan terpenting bahwa sejarah intervensi terhadap
peradilan adat, sejalan dengan niatan untuk mengubah dan merombak otonomi
komunitas menjadi sebuah sistem yang tidak lagi berdiri sendiri terhadap
struktur masyarakat baru yang diperkenalkan. Proses ini berlangsung seiring

59
Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1.
60
Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945
Menyongsong Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: ‘Pemberdayaan Awig-
awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010,
hlm 4-6.
61
Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
62
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum
yang berlaku di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam
Journal of Legal Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of
Legal Pluralismm,1986), hlm. 1.

138
dengan politik penundukan komunitas-komunitas lokal yang otonom ke dalam
sistem, yang hubungannnya terjalin secara hirarkis. Sistem yang hirarkis ini tidak
menghendaki pola hubungan yang horizontal dan setara dengan komunitas lokal.
Meskipun sedikit sekali dokumen yang menjelaskan, namun proses intervensi ini
telah dimulai sejak dikenalnya sistem kerajaan yang memulai meluaskan
pengaruhnya dengan menundukkan komunitas-komunitas di sekitar kota raja.
Perlucutan sistem hukum dan peradilan masyarakat dengan pemberlakuan
hukum kraton terhadap komunitas-komunitas lokal, menjadi bagian dari taktik
dan strategi penundukan.
Masuknya bangsa-bangsa kolonial, melanjutkan sejarah intervensi ini dengan
metode yang lebih terencana dan matang. Sikap dan kebijakan pemerintahan
kolonial pada waktu itu selalu didasari oleh pertimbangan politik. Pertimbangan
seperti ini membuat pemerintah kolonial mengambil langkah dan sikap
penundukan hukum dan peradilan adat pada saat tertentu dan membiarkan serta
mengakuinya pada saat lain3. Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum
pengakuan yang berbedabeda., dengan mengeluarkan berbagai Stb yang berisi
pengakuan pada keberadaan peradilan adat diberbagai tempat di Nusantara.
Beberapa contoh adalah Stb 1881 No. 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220
untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 No. 90 untuk daerah Gorontalo, Stb.
1906 No. 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb. 1908 No. 231 untuk daerah Hulu
Mahakam, Stb. 1908 No. 234 untuk daerah Irian Barat dan Stb. 1908 No. 269
untuk daerah Pasir Tahun 1932, tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah
kolonial mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai
ketentuan atau Stb yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat yang
disebutkan diatas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Pasal 1
Stb ini menyebutkan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah
yang disebutkan, dengan pelaksana peradilannya adalah hakim dari masyarakat
pribumi. Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap. Untuk
daerah Kalimantan Selatan dan Timur dimulai pada tanggal 1 April 1934 dengan
Stb 1934 No. 116 dan Stb. No 340, untuk Aceh pada tanggal 1 September 1934
dengan Stb 1934 No. 517, untuk Tapanuli pada tanggal 1 oktober 1934 dengan
Stb. 1935 No. 465, Untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada tanggal 1 Januari
1936 melalui Stb.1936 No. 490 dan pada tanggal 1 Januari n1937 untuk Bali dan
Lombok.Namun dengan peraturan ini tidak berarti bahwa peradilan adat hanya
ada ditempat-tempat yang disebutkan oleh stb tersebut. Karena peradilan adat
tersebut ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang
diberikan Stb ini juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh
dan menghormati bentuk peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan
seperti yang dilakukannya terhadap peradilan governemen juga berlangsung
terhadap peradilan adat di daerah-daerah tersebut.Tahun 1935, melalui Stb. 1935
No. 102, disisipkan Pasal 3a kedalamn R.O, yang secara singkat pasal ini
menyebutkan melanjutkan kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-
masyarakat hukum kecil untuk memeriksa perkara-perkara adat yang menjadi
kewenangannya, untuk mengadili secara adat tanpa menjatuhkanhukuman.
Kewenangan hakim-hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk
setiap saat menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya
pasal ini, menurut Sudikno, diakui sudah kedudukan peradilan desa.
Berdasarkan ini, selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan
bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki

139
dasar perbedaan yang prinsipil Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini
berlanjut dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13
januari 1951, yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-
pengadilan sipil. Melalui UU ini dipertegas niatan untuk mewujudkan univikasi
sistem peradilan. UU ini berisi 4 hal pokok yaitu: (1) Penghapusan beberapa
pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan (2)
Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja didaerah-daerah
tertentu dan semua pengadilan adat (3) Melanjutkan peradilan agama dan
peradilan desa, sepanjang pangadilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri
atau terpisah dari pengadilan adat (4) 4. Pembentukan pengadilan negeri dan
kejaksaan ditempat-tempat dimana dihapuskan landgerecht. Untuk
melaksanakan UU ini, terutama penghapusan peradilan adat, pemerintah
mengeluarkan ketentuan-ketentuan berikut: (1) Melalui Peraturan Mentri
Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 (TLN 276), dihapuskan
pengadilan-pengadilan swapraja dan pengadilan adat di seluruh Sulawesi (2) .
Melalui Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No. J.B.4/4/7
(TLN462) dihapuskan pengadilan adat di seluruh Lombok (2) Melalui Peraturan
Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 (TLN.641) jo. Surat
Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 No. J.B.4/4/20
(TLN.642) dihapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di seluruh
Kalimantan (3) Melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966 dihapuskan
pengadilan adat dan swapraja serta dibentuk Pengadilan Negeri di Irian Barat
Tahun 1964 keluar UU No. 19 (LN. 1964 No. 107). UU ini berisi Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) UU ini menyebutkan
bahwa peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang
ditetapkan dengan UU. Penjelasan pasal ini menegaskan dengan UU ini tidak ada
lagi tempat bagi peradilan swapraja yang bersifat feodalistis atau peradilan adat
yang dilakukan oleh bukan alat perlengkapan negara. UU ini dicabut dan
digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 (LN. 1970 no. 74). Menyangkut peradilan
adat UU ini menyebutkannya pada pasal 3 Ayat (1), yaitu semua peradilan di
wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan UU.
Penjelasan pasal ini menyebutkan arti yang dikandung oleh pasal ini adalah
disamping pengadilan negara tidak diperkenankan lagi adanya peradilan yang
dilakukan oleh bukan peradilan negara. Pasal 39 UU ini menyebutkan
penghapusan pengadilam adat dan swapraja dilakukan oleh pemerintah. Dengan
demikian sejak saat UU ini keluar tidak diakui lagi peradilan adat dalam sistem
peradilan nasional. Dengan UU ini sempurnalah sudah upaya penyingkiran
peradilan adat untuk mewujudkan unifikasi peradilan. Reformasi
penyelenggaraan sistem pemerintahan dari yang sentaralistik ke sistem
terdesentralisasi, dengan mengakui dan menghormati sifat dan susunan
masyarakat yang otonom, melalui UU 22 tahun 1999, peradilan adat sepertinya
dikembalikan dan memperoleh ruang. Penyebutannya memang masih belum jelas
dan tegas, karena UU ini hanya menyebut tentang mendamaikan perselisihan
masyarakat desa sebagai salah satu tugas dan kewajiban dari Kepala Desa.
Pemberian kewenagan untuk mendamaikan perselisihan kepada kepala desa,
harus dilihat sebagai wujud kesadaran, bahwa sistem peradilan sebagai bagian
yang utuh dari hak otonomi masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.

140
Sorotan utama memang ingin diarakan pengaturan Peradilan Adat dari
perspektif konstitusi negara. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945,
yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada
satu pasalpun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum
adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini".
Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar
Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104
ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-
alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang
dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapii
ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum adat" itu seluas-Iuasnya,
memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya
hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya
(Undang-Undang organik).
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal darii
zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal
131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum
Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka.
Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat
ordonansi dapat menentukan bagi mereka: a. hukum Eropa b. hukum Eropa yang
telah diubah (gewijzigd Europees recht) c. hukum bagi beberapa golongan
bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum
memerlukannya: d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan
"syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven
atau "ambtenarenrecht" van Idsinga)
Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama,
ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu
ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi
hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 januari 1920 dan tanggal 1 Januari
1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR
1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum
terjadi.
Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum
dagang yang sekarang "thans" berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi. seperti yang
diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku
bagi kedua golongan hukum itu. Jadi, selama belum ada kodifikasi bagi kedua
golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, seperti yang sebelum
tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR
1854. Inilah penafsiran kata "thans" -- "sekarang", menurut artinya dalam bahasa
"Thans berarti "pada waktu ini", yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi
lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru Pasal tersebut (sehingga
menjadi redaksi Pasal 131 IS). Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi
lama RR 1854 dan Pasal 131 IS (= Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa
perbedaan yang penting. 1. Satu perbudaan yang penting tersebut di atas, yaitu
Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kcpada hakim sedangkan Pasal 131 IS

141
ditujukan kepada pembuat undang-undang. 2. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75
redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli
ditundukan pada suatu hukum baru.
Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila
bertentangan dengan "asas-asas keadilan" (ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854)
dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan perkara, maka hakim. dapat
rnenyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama
RR 1854). Para sarjana hukum yang beranggapan bahwa (setelah tahun 1919)
hakim berkuasa menguji dan menambah hukum adat ialah Capentieir Ailing,
Nederburgh, Andre de In porte dan juga Djojodigoeno (?). tetapi mereka inii
mendapat tantangan dari banyak pengarang lain, yaitu van Vollenhoven, ter'
Haar, Klientjes, Logemann, Soepomo. Yang menjadi alasan van Vollenhoven
bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah
hukum adat, ialah: 1. sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R.
1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan
tersebut. 2. redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun
bagi administrasi (tata usaha) negara. Oleh karena kepada Administrasi negara
tiidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak
boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim. 3.
sejarah praktek kekuasaan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan
tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu
kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi. Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Darurat tahun 1951 nr 1, LN 1951 nr 9, menentukan bahwa
"pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman,
dihapuskan: 1. segala pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatra Timur dahulu,
Keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu,
kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup
merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja. 2. Segala Pengadilan
Adat (Inheemse rechtspraak in rechtsteeks bestuurd gebied), kecuali peradilan
agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian
tersendiri dari peradilan adat.
Akan tetapi menurut Pasal 1 ayat 3 LN 1951 nr 9 ini, dorpsrechter tetap
dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat
yang telah dihapuskan itu, diteruskan oleh Pengadilan Negeri. Daerah-daerah di
mana hakim swapraja dan hakim adat itu telah dihapuskan, adalah beberapa lagi:
Bali (hakim swapraja, Tambahan LN nr. 231), Sulawesi (hakim swapraja maupun
hakim adat, Tambahan LN nr 276), Lombok (hakim adat, Tambahan LN nr 462),
Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor (hakim swapraja, Tambahan LN nr 603) dan
Kalimantan (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 642).
Secara spesifik Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945,
bahwa Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada
kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka
dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya
mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang
memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa,
yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

142
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser
hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat,
Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi
segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang
disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan
keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi
sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan
disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap
bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara
mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan
penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya
pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum,
perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan
kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu
maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki
watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan
harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai
penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa
manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan
niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang
menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie
menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara : 1).
Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional
yang dimilikinya; 2). Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari
kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah
bersifat tertentu; 3). masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4). Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula; 5). Pengakuan dan
penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi
kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya
tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh
dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan
sentimentil; 6). Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna
Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33) Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945
tersebut maka: 1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak
tradisionalnya ; 2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan 4. Sesuai dengan prinsip Negara

143
Kesatuan Republik Indonesia. 5. Diatur dalam undang-undang Dengan demikian
konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat
bila memenuhi syarat: (1) Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan
sesuai perkembangan masyarakat; (2) Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam
undang-undang.
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya
mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI
tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan
penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
(indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi (1) Dalam
rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat dan pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat
(1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung
tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam
masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam
rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat
hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum
adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan
dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah
adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan
zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

4. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan


Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, maka tata
urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : (1) Undang-undang
Dasar 1945; (2) Undang-undang/Perpu (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan
Presiden (5) Peraturan Daerah; Hal ini tidak memberikan tempat secara formil
hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat
dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-
undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana. Dalam
kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta
tahun 1975 telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum
adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan
mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam
sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan,
hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian
hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan

144
dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat
dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan
baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan,
maupun dalam putusan hakim.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal. Mengenai persoalan penegak hukum
adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu
cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap
daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku
Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian
adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan
kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu
tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri
Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28
hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam
menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat
setempat. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan
tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam
pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta
langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat. Peraturan
ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi : 1.
Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1) 2. Kriteria dan penentuan
masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
(Pasal 2 dan 5). 3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah
ulayatnya (Pasal 3 dan 4) Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas
di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan
hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih
menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di
tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam
menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui
keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait
adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat
dalam kepemilikan tanah.
Pengaturan sedikit berbeda dengan kesan adanya intervensi negara.
Poses intervensi dan penundukan sistem peradilan adat yang berlangsung lama,
seperti yang digambarkan diatas, ternyata belum berhasil sama sekali
meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat. Dibanyak komunitas,
proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini dengan sendirinya
menjadi bukti, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar
biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian
sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan,
tetapi sekaligus juga pada aras yang lain, yaitu tindakan-tindakan nyata di
lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan
kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan

145
adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Pensikapan masyarakat terhadap
sistem nilai yang dimilikinya, sepertinya menjadi jawaban kunci terhadap situasi
ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, sepanjang
masyarakat yang menjadi warga dari komunitas tersebut secara sadar mau
menggunakan sistem yang dimilikinya, maka sedikit-banyaknya pengaruh buruk
dari proses intervensi bisa diredakan. Bila dilihat pengalaman beberapa
komunitas yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan
kepercayaan warga komunitas inilah yang menjadi energi dasar bagi tetap
eksisnya proses tersebut dilingkungan mereka. Secara kelembagaan, struktur
peradilan adatnya sangat tergantung dengan sistem sosial komunitas masyarakat
adat yang bersangkutan. Di Kampung Datar Ajab misalnya, kampung yang
menjadi wilayah pemukiman Dayak Meratus ini, didapati 4 (empat) Balai yaitu
Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun Batu, Balai Adat Matinjau dan
Balai Adat Muanjal Pajat. Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun
dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya menjadi urusan tetua adat,
untuk menyelesaiknnya dalam lingkup balai secara musyawarah, untuk
menemukan kesepakatan mengenai kesalahan dan bentuk hukumannya.
Musyawarah ini sendiri dihadiri olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat.
Dalam prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah bayar pamali
(parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti
kesalahannnya dan bayar nyawa. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada
kesalahan serta pertimbangan si korban dan pelaku
Prosesnya sendiri berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala
adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan mengundang kepala adat, penghulu adat
dan tokoh adat untuk memusyawarahkan langkah-langkah penyelesaian.
Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait dengan kasus tersebut
(pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan
memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut, diselenggarakan
rapat adat yang dihadiri oleh masyarakat banyak Di Rejang Lebong kasus yang
bisa diselesaikan diperadilan adat adalah pelanggaran atas adat kampung serta
hal-hal lain yang telah diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri
dimulai dengan apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh
kepala desa dan perangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti.
Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan adat untuk
mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng
dibawah pimpinan Ketua Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan
hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara’ dan Ketua Adat.
Sekadar perbandingan bahwa di Samoa Barat norma masyarakat yang ada
tak lepas dari budaya bahari yang dimilikinya. Daratan dan lautan adalah
perpaduan dan gambaran dari sistem kemasyarakatan. Tiap pulau identik dengan
suatu keluarga besar yang dikepalai oleh seorang Matai. Matai memiliki kuasa
untuk membentuk dewan pertimbangan adat yang disebut Fono. Fono memiliki
tanggungjawab untuk merumuskan hukum yang berlaku di masyarakat,
menyelesaikan sengketa melalui musyawarah adat dan memutuskan bentuk
sanksi yang harus dilaksanakan. Penyelesaian perkara pidana termasuk dalam
kewenangan lembaga ini. Pemenjaraan, pemukulan dan beberapa jenis pidana
lain seperti duduk menghadap matahari untuk jangka waktu lama merupakan
jenis pemidanaan yang dijatuhkan lembaga ini, belakangan sanksi lebih sering

146
berbentuk denda atau gantirugi baik dalam bentuk uang atau benda lainnya.
Hingga saat ini lembaga Fono tetap eksis dan di akui dalam Village Fono Act 1990.
Terkait dengan lembaga ini, terdapat suatu sistem yang kental dengan
nuansa dan nilai restotarif yaitu lembaga ifoga. Dari segi bahasa ifoga meranti
membungkuk, suatu gerakan yang merupakan simbol dari penghormatan dan
permohonan maaf. Namun dalam kaitannya dengan penyelesaian suatu perkara
pidana, ifoga berarti kompensasi. Dalam hal terjadi suatu perkara pidana dan
pelaku minta dilakukan suatu perdamaian, maka ia dan keluarganya akan duduk
dimuka rumah dari korban atau pihak yang dirugikan sambil menengadahkan
tangan. Hal ini terus dilakukan hingga korban keluar dari rumah dan mau duduk
bersama untuk memulai proses negosiasi yang diakhiri dengan kesepakatan
gantirugi, saling memaafkan dan terjadinya rekonsiliasi.
Dalam kasus pertentangan antar suku, orang yang paling dituakan akan
membungkuk dan memberikan sejumlah mahar sebagai tanda agar para pihak
segera berdamai dan saling memaafkan. Para pihak akan merasakan malu satu
sama lain. Biasanya dalam keadaan demikian para pihak lebih memilih
memusnahkan desa mereka dan melarikan diri. Namun dengan suatu upaya
rekonsiliasi yang dilakukan lewat lembaga adat, para pihak dapat bertahan dan
melanjutkan hubungan secara lebih baik
Dominasi hukum ”barat” dalam sistem hukum nasional, menyebabkan
lembaga ifoga ini tidak dapat bekerja secara baik dan maksimal. Perbedaan
mendasar bukan hanya terletak dari sisi kelembagaan yang memiliki otoritas
untuk menjalankan fungsi peradilan akan tetapi karena jenis sanksi (sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya) juga berbeda. Permasalahan lebih lanjut terjadi
manakala suatu kasus diproses kedalam dua sistem hukum yang berbeda ini,
karena solusi akhir dari kedua sistem ini tentu saja berbeda, ditambah dengan
tingkat kepercayaan dari masyarakat yang masih begitu tinggi kepada lembaga
adat ini.
Beberapa tahun belakangan, lembaga pengadilan mencoba berkompromi
dengan kedua sistem hukum ini, dimana pendekatan keadilan restoratif dipilih
sebagai model pendekatan kompromi diantara dua sistem hukum yang
bertentangan. Maxwell mengangkat kasus Gali dan Tuli di tingkat Supreme Court
di Apia pada tahun 1999 sebagai contoh. Hakim Wilson menjatuhkan putusan
atas kasus tersebut sebagai berikut: “I do give each of you credit for your plea of
guilty, for the remorse you have shown (by means of ifoga and otherwise) and for
the co-operation you have shown to the prosecuting authorities. The stating point
by way of sentence in 5 years imprisonment. I give each of you a discount of 1/3 off
the sentence that would otherwise be appropriate for these facts.”
Dengan mempertimbangkan pernyataan bersalah, dan penyesalan yang telah
kamu perlihatkan (dengan atau tanpa pertolongan Ifoga ) dan atas kerjasama
terhadap penuntut umum yang kamu lakukan, maka pengadilan menjatuhkan
masing-masing 5 tahun penjara dengan syarat bahwa hukuman akan dikurangi
1/3nya atas hal dasar pertimbangan tersebut diatas kecuali jika tidak
dilaksanakan maka akan diterapkan sebaliknya.
Sampai saat ini perdebatan seputar eksistensi dari lembaga adat dan
relasinya dengan sistem peradilan pidana yang ada, masih menjadi suatu
perdebatan. Sementara itu di Papua Nugini30 pada masa perang sipil yang terjadi
di Bougainville tak pelak lagi telah meluluh lantakkan semua sendi kehidupan
masyarakatnya, tak terkecuali sistem peradilan pidana. Tidak ada polisi ataupun

147
pengadilan disana. Hukum pidana yang semestinya ditegakkan menjadi lumpuh
dan sistem peradilan pidana tidak dapat dijalankan didaerah ini. Bahkan
pengamanan pun dilakukan oleh tentara dengan suatu hukum darurat (ad hoc).
Termasuk dalam hal penindakan terhadap pelaku pembunuhan, kekerasan dan
penganiayaan yang terjadi antara dua pihak yang saling berhadapan.
Jalan keluar yang diambil sebagai alat untuk mengendalikan situasi yang
terjadi adalah memberlakukan hukum adat (custom law) yang hidup didalam
masyarakat tersebut. Lembaga yang telah lama tidak diakui keberadaannya oleh
pemerintah kolonial selama ratusan tahun dalam situasi tersebut justru akan
dijadikan sandaran bagi upaya perbaikan atas kondisi yang ada. Yang terjadi
adalah kondisi yang sama dengan Samoa Batar sebagaimana dikemukakan diatas,
maka terjadi hal yang dilematis dimana hukum adat ini tidak sejalan dengan
sistem peradilan pidana yang telah dikembangkan oleh pemerintah kolonial.
Akan tetapi kondisi yang terjadi dalam masyarakat Bougainville,
memperlihatkan satu keunggulan dari hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Dalam pandangan Braitwaite, kasus Bougainville telah membuktikan bahwa
hukum adat mampu memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat bahkan
dalam memecahkan kasus pidana yang berat seperti pembunuhan yang terjadi di
sana. m kenyataannya dalam melakukan upaya penyelesaian perselisihan yang
terjadi di Bougainville , para penegak hukum merasa perlu menggunakan jalur
mediasi dan rekonsiliasi. Dengan alasan-alasan tersebut, maka keberlakuan
hukum adat sebagai landasan upaya mediasi dan rekonsiliasi pun di setujui oleh
parlemen.
Lain halnya dengan pandangan keadilan restoratif pada lembaga Shalish yang
secara tradisional ada di sebagian besar masyarakat Bangladesh mengacu kepada
metode community-based, dimana penanganan sengketa yang terjadi
dimasyarakat termasuk didalamnya tindak pidana diselesaikan melalui jalur
informal. Di lembaga ini, terdapat tiga cara proses penanganan dan penyelesaian
sengketa masyarakat, yaitu: (1) Melalui mediasi diantara para pihak (dalam
tindak pidana pelaku dan korban) dalam mencari solusi bagi permasalahan yang
dihadapi; (2) Dapat juga dilakukan melalui suatu panel yang beranggotakan
tokoh masyarakat yaitu mereka yang dituakan dan berpengaruh. Panel ini akan
membantu mencari solusi (termasuk didalamnya pemberian sanksi pidana) bagi
setiap permasalahan termasuk didalamnya tindak pidana yang terjadi dalam
masyarakat. Tentunya penyerahan masalah melalui panel ini harus dengan
persetujuan para pihak dan komitmen untuk mematuhi setiap putusannya; (3)
Kedua konsep diatas dapat juga dilakukan secara bersama-sama yaitu mediasi
antara pihak yang bersengketa (dalam tindak pidana adalah pelaku dan korban)
dimana panel berfungsi sebagai mediator.
Pada masa lalu lembaga Shalish dipergunakan bagi penanganan berbagai
macam tindak pidana dengan segala implikasinya, termasuk didalamnya adalah
penggunaan sanksi pidana yang tidak dirumuskan dalam perundang-undangan.
Akan tetapi beberapa kurun waktu terakhir lembaga ini banyak menjadi rujukan
dalam pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan kekerasan dalam
rumah tangga seperti penganiayaan terhadap perempuan (baik diluar maupun
dalam ikatan perkawinan), perzinahan, poligami, eksploitasi secara ekomomi baik
terhadap perempuan atau anak-anak dan lain sebagainya. (1) Anggota panel di
dalam lembaga Shalish didominasi oleh laki-laki, hal ini berdampak bahwa
putusan-putusan kerap tidak berpihak kepada perempuan dan anak. (2)

148
Misinterpretasi terhadap syariat islam termasuk didalamnya dalam menerapkan
sanksi-sanksi didalamnya. (3) Keberpihakan pada kelompok-kelompok tertentu
dalam masyarakat.
Menyadari pentingnya keberadaan lembaga Shalish dalam masyarakat, maka
sejumlah upaya pembaharuan lembaga ini pun dilakukan oleh berbagai pihak
antara lain oleh Madaripur Legal Aid Asociation (MLAA). Adapun upaya yang
dilakukan antara lain: (1) Tetap mengupayakan dan meningkatkan peranan
lembaga ini melalui upaya mediasi dalam penanganan dan penyelesaian berbagai
tindak pidana; (2) Melakukan training bagi para anggota panel, dan
pembaharuan metode seleksi keanggotaan panel. Adapun training ini meliputi
peningkatan pengetahuan hukum, HAM dan mediasi termasuk pemahaman atas
peran untuk menjadi mediator yang baik. (3) Meningkatkan partisipasi
perempuan dalam proses; (4) Pembaharuan kelembagaan seperti aturan main
lembaga, pengarsipan, dan juga bantuan hukum. Negara berkembang lainnya
yaitu Peru mayoritas penduduk tinggal di daerah pedesaan. Di Peru misalnya
sepertiga penduduknya atau 20 juta orang tinggal didaerah pedalaman dan
terbagi dalam 70 etnis asli Peru.35 Di daerah Andean terdapat 5 etnis asli dan dua
yang terbesar adalah Quechuas dan Aymaras. Sementara disepanjang sungai
Amazon, terdapat 65 etnis asli yang disebut Conapa. Seluruh penduduk asli ini
tinggal dalam kelompok-kelompok kecil. Di daerah Andean kelompok-kelompok
ini disebut Communidades Compensinas sementara didaerah Amazon kelompok-
kelompok ini disebut Communidades Nativas. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang dalam status ekonomi yang rendah dan terbelakang. Kelompok-
kelompok ini merupakan sub-sub suku yang disebut Ayllus dan masing-masing
memiliki ketuanya sendiri dan sistem hukum tradisional yang telah ada dan eksis
bahkan jauh sebelum kedatangan Spanyol di daerah tersebut. Sistem hukum
Spanyol kemudian menggantikan sistem hukum yang ada hingga sekarang.
Namun kenyataannya, sistem lama tetap berjalan didalam kehidupan penduduk
asli tersebut. Kenyataan tersebut menyebabkan pemerintah memberikan wadah
berupa regulasi yang memungkinkan hukum diberlakukan secara resmi
meskipun dengan batasan-batasan tertentu. Tindak pidana-tindak pidana seperti
kekerasan dalam rumah tangga, perselisihan tentang harta benda umumnya
diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan keluarga, orangtua atau
orang yang dituakan dilingkungannya. Musyawarah dan mufakat yang dicapai
sebagai sarana konsiliasi antar pihak-pihak yang berselisih.
Atas permintaan salah satu pihak atau kedua-duanya, putusan ini dapat
dicatatkan dalam community official registery book.36 Namun bila kesepakatan
tidak tercapai mereka dapat meminta petugas pemerintah untuk menindak
lanjuti baik melalui sistem rekonsiliasi atau memprosesnya melalui jalur formal
yang berlaku. Campur tangan pemerintah juga dilakukan dalam penyelesaian
perkara perkelahian, perkosaan, perkosaan terhadap anak dibawah umur, atau
penganiayaan. Campur tangan ini dalam konstitusi pertama Peru dituangkan
dalam bentuk lembaga Jueces de paz (Justice Of The Peace) yang sudah ada sejak
tahun 1823. Lembaga ini memainkan peran sebagai konsiliator sebagaimana
disebutkan diatas. Anggota Jueces de paz ini umumnya penduduk lokal yang telah
memperoleh pendidikan yang baik dibandingkan dengan penduduk pada
umumnya, seperti guru, teknisi atau orang yang dituakan. Dalam
perkembangannya keanggotaan ini tidak lagi didominasi oleh mereka yang
berusia tua, tetapi anak-anak mudan dan wanita dengan tingkat pendidikan yang

149
baik mulai dilibatkan sejak tahun 1998. Adapun jenis perkara yang ditangani
adalah pelanggaran (33%), kejahatan terhadap harta kekayaan (27%), KDRT
(14%) dan penelantaran (13%).Pendekatan keadilan restoratif melalui
pengadilan pidana adalah pada model penyelesaian perkara diluar lembaga
pengadilan atau out of court settlement. Meskipun dalam kerangka normatif
banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana. Hal ini memperoleh
dukungan dari perserikatan bangsa-bangsa dalam Declaration on The Rights of
Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak
Masyarakat Adat) yang disahkan pada tanggal 7 September 2007. Dalam Pasal 5
dinyatakan bahwa Masyarakat adat berhak untuk mempertahan dan
memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya
mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian
sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial
dan budaya dari Negara. Sementara Pasal 34 dari deklarasi ini merumuskan
bahwa masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan
memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi, prosedur,
praktek mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka
atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional. Dari
catatan diatas, praktek peradilan adat ini digunakan dan dimasukkan dalam
regulasi sebagai mekanisme alternatif. Di Samoa Barat, Kepulauan Fiji, Papua New
Guinea, kepulauan Solomon dan beberapa negara lain di Pasifik tetap
mempertahankan hukum asli masyarakat mereka. Sementara Leah Wambura
Kimathi mencatat praktek penerapan hukum adat melalui lembaga peradilan adat
di negara-negara Afrika Utara. Julio Faudez pun memaparkan bahwa mekanisme
ini juga dapat ditemui di Peru, sementara Stephen Golub mendeskripsikan
keberlakuan mekanisme ini di Bangladesh dan Philippina.

Berdasarkan tinjauan konseptual teoretik dan historik-normatif seperti di


atas, maka dikemukakan pokok-pokok pikiran yang bersifat preskriptif tentang
peradilan adat Papua sebagai berikut:

(1) Asas dan Tujuan. Peradilan adat di Papua berasaskan kekeluargaan


musyawarah dan mufakat; dan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Peradilan adat di Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap
keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat
adat Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan
dengan tujuan menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; serta
membantu pemerintah dalam penegakan hukum.
(2) Kedudukan. Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan
lembaga peradilan masyarakat hukum adat Papua. Pengadilan adat
berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di Papua. Lingkungan
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem
kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem
kepemimpinan campuran.
(3) Kewenangan mengadili (Kompetensi). Pengadilan adat berkompeten
mengadili perkara perdata adat dan perkara pidana adat di antara warga
masyarakat adat di Papua. Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui

150
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara. Dalam hal salah satu pihak
yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh
pengadilan adat, dapat mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri.
(4) Putusan. Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan
mufakat. Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak atau pelaku.
Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan
menurut hukum adat dan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai
sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem
kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran.
(5) Kerjasama. Pengadilan adat dalam penyelesaian perkara adat, dapat
bekerjasama dengan perangkat peradilan negara. Kerjasama pengadilan adat
dengan perangkat peradilan negara selanjutnya diatur dengan Perdasus
23. Keagamaan
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang keagamaan di Papua,
yaitu (1) Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. (2) Setiap penduduk Provinsi
Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar
umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan
dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.(3)
Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka
pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional
berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. (4) Pemerintah
mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang
keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.(5) Gubernur
membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama di tingkat provinsi yang bertujuan
memberikan pertimbangan kebijakan dalam aspek kehidupan antar umat beragama
dan meningkatkan kehidupan yang harmonis, damai, dan kasih di Papua.

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban: (1) menjamin kebebasan, membina


kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; (2) menghormati nilai-nilai
agama yang dianut oleh umat beragama; (3) mengakui otonomi lembaga
keagamaan; dan (4) Memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan
secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

24. Pendidikan
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,
yaitu; (1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. (2)
Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi,
kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan
sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah
Provinsi.(3) Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang
bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat
serendah-rendahnya. (4) Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan
pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya

151
masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan
perundangundangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan
yang bermutu di Provinsi Papua, (4) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan. (5) Pelaksanan ketentuan
tentang pembangunan pendidikanditetapkan dengan Perdasi.

25. Kebudayaan
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,
yaitu; (1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan
kebudayaan asli Papua. (2) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang kebudayaan
asli Papua, Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada
masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.
(3) Pelaksanaan kewajiban di bidang kebudayaan asli Papua disertai dengan
pembiayaan yang ditetapkan dengan Perdasi. (4) Pemerintah Provinsi
berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan
sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. (5)
Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai
bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. (6) Bahasa daerah dapat digunakan
sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

26. Kepemudaan dan Olahraga


Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,
yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan
dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program dengan pemerintah
Papua; (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Pemerintah
menyelenggarakan fungsi di bidang kepemudaan yang meliputi: perumusan dan
penetapan kebijakan; koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan;
pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan
pengawasan atas pelaksanaan tugas. (3) Pemerintah daerah mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan nasional dan menetapkan kebijakan di daerah sesuai
dengan kewenangannya serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan. (4) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, pemerintah daerah membentuk
perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan kepemudaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Pemerintah mempunyai wewenang
menetapkan kebijakan nasional dan koordinasi untuk menyelenggarakan pelayanan
kepemudaan. (6) Pemerintah daerah mempunyai wewenang menetapkan dan
melaksanakan kebijakan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kepemudaan
di daerah. (7) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab melaksanakan
penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi pemuda berdasarkan
kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah
masing-masing. (8) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Menteri dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud mengoordinasikan kebijakan dan
program di bidang kepemudaan dengan kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian, lembaga nonpemerintah, dan/atau pemerintah daerah, serta unsur
terkait lainnya. Menteri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab

152
pelayanan kepemudaan dapat melakukan kerjasama dengan negara lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Kepemudaan dan
Olahraga di Papua, yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan kapasitas dan peran pemuda
dan olah raga di Papua. (2) Dalam rangka mewujudkan harkat dan martabat orang
asli Papua, Pemerintah Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membiayai
pengembangan olah raga, termasuk olah raga profesional yang bersumber dari Dana
Otonomi Khusus. (3) Pemerintah berkewajiban untuk membangun pusat-pusat
pendidikan dan pelatihan olah raga, menyediakan sarana dan prasarana pendukung,
dan mengalokasikan pembiayaan tertentu yang bersifat berkelanjutan. (4)
Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada Papua untuk menjadi
tuan rumah penyelenggaraan kegiatan olah raga berskala nasional dan
internasional. (5) Pemerintah memberikan kesempatan kepada Pemerintahan
Papua untuk berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan olah raga di luar negeri. (6)
Pemerintah berkewajiban mengembangkan kapasitas dan peran serta pemuda-
pemuda Papua, dan memberikan kesempatan untuk berkarya di bidang
pemerintahan, badan usaha milik negara, dan dunia usaha nasional.
27. Kesehatan
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,
yaitu; (1) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan
memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. (2) Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban mencegah dan
menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang
membahayakan kelangsungan hidup penduduk. (3) Setiap penduduk Papua berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
(4) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang pendidikan, Pemerintah Provinsi
memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. (5) Ketentuan
mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban
masyarakat serendah-rendahnya, dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, serta dunia usaha diatur lebih lanjut dengan Perdasi. (6)
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan
gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan yang
diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

28. Sosial
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,
yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/ kota wajib
dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan
kepada: (a) perseorangan; (b) keluarga; (c) kelompok; dan/atau; (d) masyarakat
Papua. (2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan; ketelantaran;

153
kecacatan; keterpencilan; ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban
bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: rehabilitasi sosial; jaminan
sosial; pemberdayaan sosial; dan perlindungan sosial. Pemerintah berkewajiban
untuk mengutamakan perhatian untuk kesejahteraan sosial di Papua melalui dana
APBN dan dana Otonomi Khusus Plus melalui Jaminan Sosial. Jaminan sosial
dimaksudkan untuk menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia
terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita
penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar
kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Papua memiliki kewajiban untuk
memberikan asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan bagi warga Papua yang
tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf
kesejahteraan sosialnya. Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah.
Pokok pikiran penting lain di bidang pembangunan sosial adalah: (1)
Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan
memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang
menyandang masalah sosial. (2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana poin
1, Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada masyarakat
termasuk lembaga swadaya masyarakat (3) Ketentuan sebagaimana poin 1 dan poin
2 diatur lebih lanjut dengan Perdasi. (4) Pemerintah Provinsi memberikan perhatian
dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil,
dan terabaikan di Provinsi Papua. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada poin 4
diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
29. Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,
yaitu; (1) Dalam rangka otonomi khusus dan percepatan pembangunan
ketenagakerjaan di tanah papua maka masyarakat papua memiliki kesempatan
utama dan perlakuan yang lebih baik dalam wilayah tanah papua di bidang
pemerintahan dan legislatif. (2) Pemerintah papua mendapatkan bantuan
affirmative dari kementerian tenega kerja dan transmigrasi dalam perencanaan
tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, dan pemerintah papua
memiliki hak pembinaan serta penempatan tenaga kerja di sektor sektor strategis di
wilayah papua. (3) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.
(4) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan
partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah
Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.(5) Penempatan penduduk di
Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur. (6) Penempatan penduduk
sebagaimana dimaksud pada poin 3 ditetapkan dengan Perdasi. (7) Setiap orang
berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau
pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (8) Orang asli Papua
berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan
dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan
dan keahliannya. (9) Dalam hal mendapatkan pekerjaan pada poin 6 di bidang

154
peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi
Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. (10) Ketentuan agar orang asli Papua berhak
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak diatur lebih lanjut dengan
Perdasi.
30. Komunikasi dan Informatika
1. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
untuk mempercepat pembangunan pada aspek komunikasi dan informatika.
2. Dalarn rangka rnelaksanakan kewenangan pernerintahan di bidang komunikasi
dan informatika, pemerintah kabupaten/kota berwenang rnelaksanakan urusan
bidang pos yang meliputi:
a. pemberian izin pembentukan usaha jasa titipan;
b. pemberian izin usaha jasa titipan untuk kantor cabang; dan
c. penertiban usaha jasa titipan untuk kantor cabang.
3. Pemerintah Papua berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi
yang meliputi:
a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan
telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus, dan
kewajiban pelayanan universal skala wilayah;
b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
keperluan Pemerintah dan badan hukum di wilayah Papua sepaniang tidak
menggunakan spektrum frekuensi radio;
c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi;
d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan
jaringan tetap lokal berbasis kabelcakupan provinsi;
e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di
bidang telekomunikasi;
f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi
diwilayah Papua; dan
g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

4. Pemerintah Papua berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan


pemberian izin galian untuk keperluan penarikan kabeltelekomunikasi lintas
kabupatenljalan provinsi.
5. Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi
Pemerintah Papua dan pemerintah kabupatenftota selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan;
6. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunanantan
umat beragama dan rneningkatkan kehidupan yang harmohis, damai, dan kasih
di. Papua;
7. Pemerintah Papua berkewajiban:
a. menjamin kebebasan, mem'bina kenukunan, dan melindungi semua umat
benagama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang dianutnya;
b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat benagama;
c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara
proporsional berdasankan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

155
31. Kampung
1. Kampung adalah kesatuan masyarakat hukun yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepmtingan masyarakat setempat berdasarkan asal-
usul dan adat istiadat seempat yang diakui dalam sis€m pemerintahan nasional.
2. Berdasarkan keasliannya kampung ditetapkan sebagai kampung asli dengan
memperhatikan karakteristik adat istiadat dan kearifan lokalnya,
3. Perangkat kampung terdiri dari pemerintahan kampung dan badan
permusyawafatan kampung
4. Efektifitas penyelenggaraan pemerintah kampung dilakukan penataan kampung
melalui : pembentukan kampung pengfupusan kampung penggabungan
perubahan status kampung dan penyesuaian keluraharu dengan maksud untuk
mempercepat perdnglotan keseiahteraan masyarakat mempercepat peningkatan
kualitas pelayanan publik meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; dan
merdngkatkan daya saing kampung.
5. Pembmhrkan kampung pada kawasan yang bereifat khusus dan Ftrabgis hanya
untuk nasional yang disetuiui oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah
IGbupaten/ Kota yang bersangkutan.
6. Kampung Asli memiliki kewenangan mengahrr dan mmgurus kepentingan
berdasarkan hak asal-usul adat istiadat dan nilai-nilai sosiat budaya masyarakat
dan melaksanakan bagian-bagian dari suaflr unrs.rn pemerintahan
pemerintahan kabupaten/ kota.
7. Kewenangan kampung mencakup :
a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan
nilai-nitai sosial budaya masyarakat;
b. Kewenangan lokal berskala kampung yang diakui kabupaten/kota;
c. Kewenangan peurerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang
dilimpahkan pelakmnaannya ke kampung dan
d. Masyarakat kampung ber hak : mmcari" meminta, mengawasi dan
memberikan informasi kepada pemerintah kampung bntang kegiatan
pemerintaha& pembangunan dan kemasyarakatan; memperoleh yang sama
dan adrl; mmyanpaikan saran dan pmdapat secara berhnggung jawab
tentang kegiatan pemerintahan, pemhngunan dan kemasyarakatan; memilih,
dipilih dan/atau dietapkan mmjadi kepala perangkat kampung lairurya
anggota Bamuskam dan lembaga kemasyarakatan kampung dan
mmdapatkan perlindungan dari ancanan ketentraman dan ketertiban;
8. Masyarakat kampung mempunyai kewajiban membela kepentingan
lingkungarurya; mimbangun diri dan lingkungarurya; telciptanya
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakan yang
baik, mendorong terciptanya situasi yang anran; menghadiri dan gotong-royong
dan ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan di kampungya.
9. Kampung mempunyai hak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilainilai sosial budaya masyarakat
menetapkan Bamuskan dan perangkat kampung lainnya; mengelola
kelembagaan kampung; dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan
kampung.

C. Ketentuan lain-lain, Peralihan dan Penutup.


RUU-PP perlu mencantumkan norma yang mencabut UU Nomor 45 Tahun 1999
tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan 4 kabupaten/Kota karena telah
156
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa UU tersebut dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga tidak boleh dijadikan sebagai dasar
hukum, namun harus dipikirkan dasar hukum bagi Provinsi Papua Barat dan 4
Kabupaten/Kota tersebut. Begitu pula UU 21 Tahun 2001 berikut UU 35 tahun 2008
perlu dicabut karena tidak sesuai lagi dengan kenyetaan saat ini.
Semua peraturan pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999, dan UU Nomor 21 Tahun
2001 harus disesuaikan dengan UU ini.

157
BAB VII

PENUTUP

A. Simpulan.
Simpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya bahwa:
1. Praktik penyelenggaraan pemerintahan terkesan sentralistik walau kebijakan
Negara telah memberikan status Otonomi Khusus untuk Papua. Hal ini terlihat
dari kewenangan yang telah diatur dalam UU Otsus ternyata tidak dapat
dilaksanakan secara baik karena intervensi pusat dalam melaksanakan
kewenangan tertentu yang bukan merupakan kewenangan pusat.
2. Dari aspek teori, Negara lewat Pemerintah telah berupaya untuk melindungi dan
mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan tujuan Negara dalam UUD 1945 yang
seharusnya menjadi pedoman dan arah pemecahan masalah pemerintahan dan
pembangunan, namun terdapat kendala disekitar implementasi kewenangan, hal
tersebut terjadi karena setiap kewenangan yang telah diberikan dalam UU
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dikembalikan lagi kepada Pemerintah
Pusat, sehingga terkesan sentralistik. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua.
3. Asas-asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya hendaknya menjadi
pedoman dalam perumusan norma sehingga membawa kemaslahatan bagi
pemerintah dan bangsa Indonesia, khususnya Pemerintah di tanah Papua dan
masyarakat asli Papua.
4. Perbaikan materi muatan UU Nomor 21 Tahun 2001 harus dilakukan secara
menyeluruh, logis, rasional dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi di Tanah Papua sesuai kondisi faktual dan mampu mengantisipasi
perubahan masyarakat dan pemerintahan dimasa datang namun tetap berpijak
pada “roh” yang menjadi landasan filosofis dan nilai-nilai pada perumusan dan
pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001.

B. Saran
1. Pemerintah pusat perlu memahami bahwa pemberian status Otonomi Khusus
untuk Pemerintahan di Tanah Papua membawa konsekwensi bahwa Pemerintah
di Tanah Papua memiliki kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, dan
mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua untuk
kesejahteraan masyarakat di Papua dan secara khusus Orang Asli Papua. Dengan
demikian setiap kewenangan yang telah dirumuskan dalam Rancangan Undang-
Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua apabila telah disahkan
harus diperlakukan berdasarkan asas Undang-undang yang berlaku khusus
mengenyampingkan UU yang berlaku umum (Lex Spesialis derogat lex
Generalis), sehingga kewenangan yang diatur dalam undang-undang lain harus
dikesampingkan.
2. Perlu diberi skala prioritas penyusunan Raperdasi dan Raperdasus dalam
Program Legislasi Daerah khusus yang berkaitan dengan sektor keuangan,
kesehatan, pendidikan, keagamaan, social, ekonomi kerakyatan, pemerintahan
Kampung/Adat.
3. Perlu diupayakan kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung
penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik berikut Rancangan Undang-
Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua lebih lanjut, melalui

158
serangkaian Focus Group Disscusition (FGD) lanjutan atau konsultasi publik
dengan berbagai pemangku kepentingan baik di Pusat maupun di Daerah
termasuk masyarakat dan Pemerintahan Provinsi Papua Barat sebelum
Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua ini
diserahkan ke Pusat untuk ditetapkan.

Demikianlah naskah akademik yang berisi laporan kajian dan konsep awal RUU-
Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua telah dikaji dan dirumuskan untuk
diserahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk proses selanjutnya.

159
MASUKAN/TANGGAPAN
RAPAT HARMONISASI
RUU PEMERINTAHAN OTSUS BAGI PROV. DI TANAH PAPUA
24 Juni 2014
KEMENKUMHAM

Setneg:
• Izin Prakarsa sudah di Presiden
• Merupakan amanah presiden untuk segera diselesaikan dan masih banyak cat. Krusial. Mengingat
batas waktu yang sedikit, maka untuk tidak berlarut2 di harmonisasi dan diangkat di kemenko.

Setkab:
• Masih ada bbrp permasalahan substansi dan saat ini untuk dapat diselesaikan sesegera mungkin

Kemlu
• Jangan sampai RUU ini terkesan Transtitional, harus benar2 disisir dan diperhatikan setiap pasalnya
• Dalam setiap pembahasan untuk dilibatkan kemlu
• Arah Politik Hukum RUU, kesan Transtitional constitution sangat kuat, BAB 6 dan BAB 7 untuk
dihilangkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Kemhan/TNI
• Selain 5 poin krusial dalam RUU masih terdapat permasalahan diantaranya, ketidaksesuaian judul
dalam pasal 341, pasal 326 ayat (2) yang berimplikasi pada tugas TNI dan peraturan per-uu-an yang
menyangkut pertahanan Negara.
• Perlu diperhatikan harmonisasi.
• Pasal 21 dan Pasal 22 sudah diatur dalam pasal 7 (redundan), tugas pertahanan merupakan
tanggung jawab pusat
• Pasal 21 dan 22 untuk dihapus
• Otsus tidak mengatur karir TNI, tidak perlu diatur dalam RUU
• Tugas lain TNI juga tdk perlu diatur dalam RUU

Kemenkeu
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Tambahan beban anggaran/fiskal perlu diperhatikan
• Pelaksanaan kebijakan fiskal
• Fiscal neutrality
• Obyek2 baru dana yang dibagi hasil, diselaraskan baik dengan UU hubungan keuangan daerah dan
pusat maupun RUU HKDP
• Kewenangan perpajakan agar tetap pengaturannya

ESDM
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Terkait kontrak migas

Kemenperindag
• Rapat koordinasi internal terlebih dahulu terkait dengan Draft terbaru

Kementan
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Pasal 13 ayat (3) huruf I, kata “karantina” untuk dihilangkan dan jangan di atur dan di otonomikan,
hal ini untuk mencegah penyebaran penyakit.

Kemenhut
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Belum diakomodir terkait klaim Negara atas hutan (pasal 208)
• Pasal 208 hapus
• Pasal 215 ayat (3) hapus, kewenangan Negara dan gub menjadi duplikasi
• Pasal 244, penggeneralisasi sektor2 sebaiknya dihindarkan dan di restrukturisasi kembali

Kemenhub
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Sudah diakomodasi dalam RUU
• Tunjangan kemahalan tidak diperlukan, namun dapat saja dilakukan
• Apakah RUU ini sudah cerminan dari NA-nya?
• Sejauh mana keterpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat papua?
• Pembangunan infrasturktur yang dapat bersifat lex-spesialis untuk Papua

KKP
• Pasal 227 ayat (4) , pengaturan ZEE untuk dihilangkan

NakerTrans
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Masih ada bbrp substansi yg perlu dibahas dalam tim kecil, karena masih ada substansi atau
tanggapan yg belum diakomodir

PU
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Dalam NA, dalam bid. Infra bangunan direncanakan 50 th, namun dalam UU pembangunan tidak
dicantumkan tahunnya namun hanya standar mutunya saja
• Penjelasan umum, 6 kewenangan gubernur apakah tidak bertentangan dengan UUD 1945
• Akan ada masukan tertulis tambahan
• Ketentuan Penutup kurang tegas

KEmenkes
• Pasal terkait 279-286
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Pasal 281 redundan dgn Pasal 279
• Terkait narkoba, (Pasal 310) sudah diatur per-uu-an lain

Dikbud
• -
Kemsos:
• -

Agama
• -

Pariwisata
• -

Kominfo
• Pasal 298-300
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Terkait Pers dan penyiaran perlu melibatkan Dewan Pers

Ristek
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Sudah diakomodir

Koperasi UKM
• UU 17 2014 dibatalkan MK, kembali kepada UU 5/92,
• Pasal 202 ayat (3), usaha simpan pinjam koperasi dst. Dihapus
• Pasal 203 ayat (1) untuk dipertimbangkan terkait perlindungan thdp usaha mikro

LH
• Urusan Pemerintahan Prov., urusan LH merupakan urusan wajib
• Pasal 13 ayat (3) huruf j ditambahkan kata wajib
• Penyesuaian terminologi Lingkungan Hidup
• Bab tersendiri terkait Lingkungan Hidup
• Alokasi Dana keuntungan dan Dana Penjaminan untuk penanggulangan Lingkungan Hidup

Pemberdayaan Perempuan
-

Kemenpan
-

KPDT
-

BAPPENAS
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Telah diakomodir dan sudah sesuai dengan masukan
• Penyaluran dana bagi hasil kepada perorangan atau golongan, sedangkan menurut UU kepada
Pemda hal ini perlu dipertimbangkan kemenkeu.

BUMN
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda (Pasal 181, 183, 186, 191, 195, 233,
235, 242, 243, 244)
• Memperhatikan arahan presiden

Kemenpera
• Pasal 264 (1) bertentangan dengan UU 1/2011 dan UU 20/2011
• Perbaikan ayat (1) “tanggung jawab ada di pemerintah” namun di UU tanggung jawab oleh Negara
• Perhatikan teknis per-uu-an

Kemenpora
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Telah diakomodir dalam Pasal 307, 308, 309

MA
-
Kejaksaan
-
Polri
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Konsistensi nomenkaltur (kepala polisi di tanah papua dan kapolda Papua)
• Pasal 23 ayat (2),kebijakan urusan keamanan di koordinasikan kapolda kepada gubernur,
dihilangkan.
• Penegakan hukum harus independen tanpa perlu koordinasi atau meminta pertimbangan dengan
pihak lain
• Pasal 24 dihapus, sudah diatur
• Pasal 25 dihapus, sudah diatur
• Kurangnya pengawasan dan pengelolaan keuangan di papua
• Tidak sepenuhnya diserahkan sepenuhnya kepada papua
• Pemerintah menyiapkan pemimpin2 di papua yang berkualitas

KPU
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Masukan tambahan:
• Tujuan Otsus Papua untuk kesejahteraan Papua dengan memperhatikan kepentingan nasional
• Perlu dilihat lagi secara umum apa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
• Pemberdayaan masy. Papua dengan hanya difokuskan kepada masyarakat asli papua akan
memperlambat peningkatan kualitas sdm papua. Sebaiknya perlu dipertimbangkan dan
diperhatikan kembali.
• Pasal 135 tidak jelas sistem pemilihan gubernur
• Pasal 136, pemilihan bupati sudah jelas, namun pendelegasian pengaturannya tidak jelas apa yang
akan diatur lebih lanjut.

BPN
• Akan mempersiapkan tanggapan tertulis, perlu koordinasi internal terlebih dahulu
• Tanah adat, BPN telah mengeluarkan Perka BPN yang menjadi dasar pengaturan Tanah adat dan
telah diakomodir dalam RUU Pertanahan
BNN
• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda
• Masukan sama dengan kemenkes

BPPT
-

BNKKBN
-

UP4B
• Kenapa perlu ada RUU ini?
- Daerah tertinggal
- Budaya yang berbeda
- Hak dasar yang di persoalkan
• UU Otsus sebelumnya tidak dapat diterapkan dan sering lemah terhadap perdasus
• Kendala pembangunan papua:
- Izin yang lama
- Juklak juknis diatur oleh pusat sehingga sering tidak sesuai dengan keadaan di lapangan
- Pengendalian keuangan pusat
• Demokrasi tidak dapat diterapkan karena system kekerabatan yang kuat

Bpk. Aris
• Implementasi diperkuat (penguatan manajemen daerah Papua)
• Penguatan regulasi melalui revisi UU Otsus Papua
• Tetap dalam koridor NKRI dan tidak bertentangan dengan kebijakan Pusat

Anda mungkin juga menyukai