Anda di halaman 1dari 76

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PADANG PARIAMAN

NOMOR : 5 TAHUN 2011

TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN PADANG PARIAMAN 2010 – 2030

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PADANG PARIAMAN

Menimbang : a. bahwa ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang


bersifat terbatas dan tidak terbaharui, sehingga perlu
dikelola secara bijaksana dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan
generasi yang akan datang;
b. bahwa perkembangan pembangunan khususnya
pemanfaatan ruang di Kabupaten Padang Pariaman
diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia dengan tetap
memperhatikan daya dukung, daya tampung, dan
kelestarian lingkungan hidup;
c. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ,
serta terjadinya perubahan faktor-faktor eksternal dan
internal membutuhkan penyesuaian penataan ruang wilayah
Kabupaten Padang Pariaman secara dinamis dalam satu
kesatuan tata lingkungan berlandaskan kondisi fisik, kondisi
sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi melalui penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Padang Pariaman
sampai tahun 2030;
d. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman
Nomor 08 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang Wilayah
Kabupaten Padang Pariaman sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang terjadi sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana termaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu
ditetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Padang Pariaman tahun 2010-2030;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Tahun 1945;
2. Undang-undang nomor 12 tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Kabupaten di Lingkungan Propinsi Sumatera
Tengah;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3260);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan
Kabupaten Daerah Tingkat II Padang Pariaman (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 64, tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3452)
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3469);
8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3647);
9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412);
10. Undang-undang Nomor 49 tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai;
11. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4169);
12. Undang-undang Nomor 12 tahun 2002 tentang
Pembentukan kota Pariaman di Propinsi Sumatera Barat;
13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4327;
14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3477);
15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4411);
16. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
17. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Nomor 4421);
18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437 ), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4844);
19. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
444);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4722);
21. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
22. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
23. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4746 );
24. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4849);
25. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4851);
26. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4956);
27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
28. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);
29. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5014);
30. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96);
31. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
32. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
149, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor
5068);
33. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya( Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130
tahun 2010, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia
NomoR 5168);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1980 tentang
Prubahan batas wilayah kodya Dati II Padang
35. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3660);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5217);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Ketelitian Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 3034);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 146; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4490);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4624);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4655);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4696);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembar Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republuk Indonesia
Tahun 2009 Nomor 151);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2009 tentang
Pemindahan Ibukota Kabupaten Padang Pariaman dari
Wilayah Kota Pariaman ke Nagari Parit Malintang
Kecamatan Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman
Provinsi Sumatera Barat;
48. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Hutan;
49. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar;
50. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan
Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 1503)
51. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan;
52. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara;
53. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan
54. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
55. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Pengembangan Infrastruktur Instana Kepresidenan, Kebun
Raya dan Benda Cagar Budaya Tertentu.
56. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Daerah
57. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009
tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
58. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009
tentang Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan
Rancangan peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota Beserta Rencana Rincinya;
59. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten;
60. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Sumatera Barat 2006-2010;
61. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun
2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang;
62. Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 2
Tahun 2008 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Padang
Pariaman dari Kota Pariaman ke Nagari Parit Malintang di
Wilayah Kabupaten Padang Pariaman;
63. Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 02
Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2005 –
2025;
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN PADANG PARIAMAN
dan
BUPATI PADANG PARIAMAN

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN PADANG PARIAMAN TAHUN 2010 – 2030

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Padang Pariaman.
2. Bupati adalah Bupati Padang Pariaman.
3. Pemerintah Daerah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan Daerah.
4. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disingkat RTRW
Kabupaten adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang mengatur
rencana struktur dan pola tata ruang wilayah Kabupaten.
5. Tata Ruang adalah wujud struktural ruang dan pola ruang.
6. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
7. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
8. Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan
pemerintah daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan
misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang
pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional.
9. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan
wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten guna mencapai
tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua
puluh) tahun.
10. Strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah penjabaran kebijakan
penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih
nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola
ruang wilayah kabupaten.
11. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten adalah rencana yang mencakup
sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan
perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah
kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten
selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem
jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah
hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan
prasarana lainnya.
12. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau
beberapa kecamatan.
13. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau
beberapa desa.
14. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat
permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
15. Rencana sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten adalah rencana
jaringan prasarana wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan
wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan
wilayah layanan prasarana skala kabupaten.
16. Rencana sistem perkotaan di wilayah kabupaten adalah rencana susunan
kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten
yang menunjukkan keterkaitan saat ini maupun rencana yang membentuk
hirarki pelayanan dengan cakupan dan dominasi fungsi tertentu dalam
wilayah kabupaten.
17. Rencana pola ruang wilayah kabupaten adalah rencana distribusi
peruntukan ruang wilayah kabupaten yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan akhir masa
berlakunya RTRW kabupaten yang memberikan gambaran pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten hingga 20 (dua puluh) tahun mendatang.
18. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan
pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW kabupaten melalui penyusunan
dan pelaksanaan program penataan/pengembangan kabupaten beserta
pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber
pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.
19. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk
yang memuat usulan program utama, lokasi, waktu pelaksanaan, sumber
dana, dan instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang kabupaten
yang sesuai dengan rencana tata ruang.
20. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten
yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan,
ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah
kabupaten.
21. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan
umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan kabupaten dan unsur-
unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap
klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW kabupaten.
22. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi
oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat
dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.
23. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi
pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana
tata ruang.
24. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja
yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang yang berlaku.
25. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan atau aspek fungsional.
26. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
27. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam,
sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan.
28. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
29. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas
yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya
maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi
serta pemeliharaan kesuburan tanah.
30. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.
31. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
32. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang menudukung prikehidupan dan penghidupan.
33. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
34. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
35. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
36. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
37. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi
untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air
bumi (akuifer) yang berguna sebagai sumber air.
38. Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan
kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan tersedianya ruang untuk lain
lintas umum.
39. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk
sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat
penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
40. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau
waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi danau/waduk.
41. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukan oleh adanya
keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman
dan sistem agrobisnis.
42. Kawasan Minapolitan adalah kawasan pengembangan ekonomi berbasis
usaha penangkapan ikan yang dikembangkan secara terintegrasi oleh
pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang
lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan
pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.
43. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan
sebagai warisan dunia.
44. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
45. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
46. Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau
ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter
fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
47. Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-
batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan
lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat
perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan
fasilitas penunjang lainnya.
48. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar,
naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal
dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
49. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu
pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan
masyarakat.
50. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
51. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani,
agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya
alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan
bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk
mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
52. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik,
benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya
ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
53. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral, batubara dan
panas bumi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang.
54. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun
atau didirikan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
55. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya.
56. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
57. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya.
58. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keSungaimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.
59. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer
sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada
generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu variasi defenisi
pembangunan berkelanjutan).
60. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui membangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
61. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
62. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat
hukum adat, korporasi/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain
dalam penyelenggaraan penataan ruang.
63. Peran serta masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses
perencanaa tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
64. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
65. Likuifaksi (liquefaction) adalah suatu proses atau kejadian berubahnya sifat
tanah dari keadaan padat menjadi keadaan cair, yang disebabkan oleh
beban siklik pada waktu terjadi gempa sehingga tekanan air pori meningkat
mendekati atau melampaui tegangan vertikal.
66. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan.
67. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD
adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung Unang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten
Padang Pariaman dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas
Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
68. Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi.
BAB II
FUNGSI DAN KEDUDUKAN

Pasal 2

(1) RTRW Kabupaten berfungsi sebagai arahan struktur dan pola ruang,
pemanfaatan sumberdaya, dan pembangunan daerah serta penyelaras
kebijakan penataan ruang Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) RTRW Kabupaten juga berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten dan pedoman
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten.
(3) Kedudukan RTRW Kabupaten adalah :
a. sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun tata ruang nasional;
penyelaras bagi kebijakan penataan ruang provinsi; dan pedoman bagi
pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang di Kabupaten dan,
b. sebagai dasar pertimbangan dalam penyelarasan penataan ruang antar
wilayah lain yang berbatasan dan kebijakan pemanfaatan ruang
kabupaten, lintas kecamatan, dan lintas ekosistem.

BAB III
LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN, SUBSTANSI, DAN JANGKA WAKTU RTRW
KABUPATEN

Pasal 3

(1) Lingkup wilayah perencanaan merupakan daerah dengan batas yang


ditentukan berdasarkan aspek administratif mencakup wilayah daratan,
wilayah pesisir dan laut, perairan lainnya, serta wilayah udara.
(2) Batas-batas wilayah meliputi:
a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah
Datar;
b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok;
c. sebelah selatan dengan Kota Padang; dan
d. sebelah barat dengan Samudera Hindia.
(3) Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kecamatan Batang Anai;
b. Kecamatan Lubuk Alung;
c. Kecamatan Enam Lingkung;
d. Kecamatan 2x11 Enam Lingkung;
e. Kecamatan 2x11 Kayu Tanam;
f. Kecamatan Sintuk Toboh Gadang;
g. Kecamatan Ulakan Tapakis;
h. Kecamatan Nan Sabaris;
i. Kecamatan VII Koto Sungai Sarik;
j. Kecamatan Patamuan;
k. Kecamatan Padang Sago;
l. Kecamatan V Koto Kampung Dalam;
m. Kecamatan V Koto Timur;
n. Kecamatan Sungai Limau;
o. Kecamatan Batang Gasan;
p. Kecamatan Sungai Geringging; Dan
q. Kecamatan IV Koto Aur Malintang.

Pasal 4

RTRW Kabupaten yang diatur dalam Peraturan Daerah ini substansinya memuat
tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana struktur ruang, rencana
pola ruang, penetapan kawasan strategis, arahan pemanfaatan ruang, dan
arahan pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 5

(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun
terhitung sejak Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2030.
(2) RTRW Kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ditinjau kembali 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana
alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
BAB IV
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH
KABUPATEN

Bagian Kesatu
Tujuan

Pasal 6

Tujuan penataan ruang wilayah adalah terwujudnya penataan ruang Kabupaten


Padang Pariaman yang berimbang dan ramah bencana didukung kegiatan
agribisnis, kelautan dan ekowisata.

Bagian Kedua
Kebijakan

Pasal 7

Kebijakan penataan ruang Kabupaten meliputi:


a. pengembangan agribisnis dan potensi kelautan berbasis komoditas unggulan
yang berkelanjutan.
b. pengembangan kawasan dan objek wisata yang ramah lingkungan dan
bersesuaian dengan budaya lokal.
c. penguatan konservasi dan mitigasi bencana untuk seluruh wilayah.
d. penciptaan keSungaimbangan pembangunan wilayah utara dan selatan.

Bagian Ketiga
Strategi

Pasal 8

(1) Strategi pengembangan agribisnis dan potensi kelautan berbasis komoditas


unggulan yang berkelanjutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
dilakukan dengan:
a. menetapkan komoditas unggulan perwilayah sesuai dengan daya dukung
lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat pada masing-masing
wilayah;
b. menyusun skenario pengembangan (road map) agribisnis dengan
pendekatan klaster industri yang bersifat hulu-hilir;
c. meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan melalui pendekatan
agropolitan;
d. mengembangkan ekonomi kelautan dan perikanan dengan pendekatan
minapolitan;
e. melakukan revitalisasi dan pembangunan prasarana pertanian dan
perkebunan secara memadai;
f. mengembangkan teknik budidaya pertanian dan perkebunan yang ramah
lingkungan dan terpadu (integrated green farming);
g. meningkatkan nilai tambah komoditas unggulan pasca panen berupa
kegiatan pengolahan dan pemasaran; dan
h. meningkatkan peran Kabupaten sebagai salah satu lumbung padi
Sumatera Barat dan sekaligus bagian dari program ketahanan pangan
daerah.

(2) Strategi pengembangan kawasan dan objek wisata yang ramah lingkungan
dan bersesuaian dengan budaya lokal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b dilakukan dengan:
a. menetapkan kawasan atau objek daerah tujuan wisata (ODTW) di seluruh
wilayah Kabupaten mengembangkan berbagai jenis wisata budaya, wisata
kreatif, wisata alam dan buatan melalui pemanfaatan sumber daya alam
secara arif dan tidak merusak lingkungan serta sesuai dengan budaya
lokal;
b. menyusun skenario pengembangan wisata terpadu yang ramah lingkungan
yang didukung prasarana dan sarana yang memadai;
c. melakukan revitalisasi dan pengembangan kawasan dan atau objek wisata
dengan pendekatan wisata berbasis masyarakat lokal;
d. mengembangkan kapasitas pelaku pariwisata dan masyarakat dalam
mendukung pariwisata daerah; dan
e. menggalang kerjasama dengan berbagai pihak dan melakukan promosi
yang efektif untuk meningkatkan jumlah wisatawan dalam dan luar negeri.

(3) Strategi penguatan konservasi dan mitigasi bencana untuk seluruh wilayah,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dengan:
a. melakukan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan konservasi dan atau
kawasan lindung berbasis masyarakat;
b. memantapkan batas kawasan lindung untuk seluruh wilayah Kabupaten;
c. mengidentifikasi dan memetakan seluruh jenis potensi bencana, berikut
dengan teknik mitigasi bencana yang hasilnya disosialisasikan secara
efektif pada masyarakat;
d. menetapkan klasifikasi kawasan rawan bencana beresiko tinggi, sedang
dan rendah dengan ketentuan umum peraturan zonasi untuk setiap
kawasan;
e. menyusun rencana penataan dan pembangunan serta menetapkan
peraturan daerah tentang tata bangunan yang ramah bencana;
f. melakukan pembangunan bangunan dan infrastruktur yang secara teknis
mengacu pada klasifikasi kawasan rawan bencana;
g. meningkatkan upaya mitigasi bencana melalui pengadaan peralatan
pengingat dini (early warning system) dan pembangunan bangunan
penyelamat (road and building escape);
h. mengembangkan pemanfaatan sumber daya air dan pengendalian daya
rusak air; dan
i. mengidentifikasi dan mengembangkan berbagai jenis sumber energi
terbarukan (renewable energy), sesuai kewenangan yang dimiliki daerah.

(4) Strategi penciptaan keSungaimbangan pembangunan wilayah utara dan


selatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d dilakukan dengan:
a. melakukan pemetaan ketimpangan pembangunan kawasan utara dan
selatan;
b. mengembangkan pusat kegiatan dan pelayanan secara berimbang antara
wilayah bagian utara dan selatan;
c. mengidentifikasi dan mengembangkan sumber daya alam potensial di
wilayah bagian utara dengan pendekatan pengelolaan yang berkelanjutan;
d. merumuskan program pembangunan ekonomi wilayah secara tepat pada
sektor-sektor strategis yang mampu mendorong pertumbuhan kawasan
utara; dan
e. membangun infrastuktur yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan
ekonomi wilayah dan berbasis masyarakat lokal.

BAB V
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9

(1) Rencana struktur ruang wilayah meliputi:


a. sistem perkotaan;
b. sistem jaringan transportasi;
c. sistem jaringan energi;
d. sistem jaringan telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumber daya air; dan
f. sistem prasarana lingkungan.

(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1 : 100.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran I dan
merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Bagian Kedua
Rencana Sistem Perkotaan

Paragraf 1
Rencana Sistem Perkotaan

Pasal 10

(1) Rencana sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a dikembangkan secara hierarkis dan dalam bentuk pusat-pusat
kegiatan, sesuai kebijakan nasional dan provinsi, potensi, dan rencana
pengembangan wilayah kabupaten.
(2) Pengembangan pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. pusat kegiatan lokal (PKL);
b. pusat kegiatan lokal promosi (PKLp);
c. pusat pelayanan kawasan (PPK); dan
d. pusat pelayanan lingkungan (PPL).
(3) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PKL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a berada di Kecamatan Lubuk Alung (ibukota Kecamatan
Lubuk Alung).
(4) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PKLp sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b berada di Kecamatan Sungai Geringging (ibukota Kecamatan
Sungai Geringging)
(5) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c berada di :
a. Sungai Limau (ibukota Kecamatan Sungai Limau);
b. Sungai Sariak (ibukota Kecamatan VII Koto Sungai Sarik);
c. Parit Melintang (ibukota Kabupaten); dan
d. Pasar Usang (ibukota Kecamatan Batang Anai).
(6) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d adalah pusat-pusat kegiatan yang tidak termasuk sebagai
PKW, PKL dan PPK, meliputi:
a. Sintuk ( ibukota Kecamatan Sintuk Toboh Gadang);
b. Ulakan (ibukota Kecamatan Ulakan Tapakis);
c. Pauh Kambar (ibukota Kecamatan Nan Sabaris);
d. Sicincin (ibukota Kecamatan 2x11 Enam Lingkung);
e. Kayu Tanam (ibukota Kecamatan 2x11 Kayu Tanam);
f. Tandikek (ibukota Kecamatan Patamuan);
g. Padang Sago (ibukota Kecamatan Padang Sago);
h. Kampung Dalam (ibukota Kecamatan V Kota Kampung Dalam);
i. Kudu Ganting (ibukota Kecamatan V Koto Timur);
j. Gadang Gasan (ibukota Kecamatan Batang Gasan); dan
k. Batu Basa (ibukota Kecamatan IV Koto Aur Melintang).

Bagian Ketiga
Rencana Sistem Jaringan Transportasi

Paragraf 1
Rencana Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 11

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi meliputi sistem


transportasi darat, laut, udara dan perkeretaapian.
(2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas jaringanlalu lintas angkutan jalan dan jaringan penyeberangan.
(3) Sistem jaringan transportasi laut terdiri atas pelabuhan dan alur pelayaran.
(4) Sistem jaringan transportasi udara terdiri atas bandar udara dan ruang
udara.
(5) Sistem jaringan teransportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi peningkatan kapasitas dan revitalisasi jalur kereta api yang
sudah ada serta pengembangan jalur kereta api baru.

Pasal 12

(1) Pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2)
meliputi pengembangan jaringan jalan dan jembatan.
(2) Rencana peningkatan fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi jalan bebas hambatan, arteri primer, kolektor primer, jalan lokal
primer dan jalan lingkungan primer.

Pasal 13

(1) Pengembangan jaringan bebas hambatan meliputi ruas jalan:


a. PPL Batang Anai-PPK Parit Melintang
b. PPK Parit Melintang-PPL Sicincin; dan
c. PPL Sicincin-PPL Tandikek.
d. PPL Tandikek-Batas Kabupaten Agam
(2) Pengembangan jaringan jalan arteri primer meliputi ruas jalan yang
menghubungkan simpul-simpul sebagai berikut:
a. Batas kota Padang-PPK Batang Anai-PKL Lubuk Alung
b. PPK Batang Anai-PKL Lubuk Alung
c. PKL Lubuk Alung -PPL Sicincin
d. PPL Sicincin-PPL Kayutanam
e. PPL Kayutanam-perbatasan Tanah Datar
f. PKL Lubuk Alung-PPL Sintuk
g. PPL Ulakan-PPL Pauh Kembar
h. PPL Pauh Kembar-Batas Kota Pariaman
i. Batas Kota Pariaman-PPK Sungai Limau
j. PPK Sungai Limau -PPL Gasan Gadang
k. PPL Gasan Gadang-Batas Kabupaten Agam
l. Simpang Duku (Batang Anai) – Bandar Udara Internasional Minangkabau
(BIM)
(3) Pengembangan jaringan jalan kolektor primer meliputi ruas jalan yang
menghubungkan simpul-simpul sebagai berikut:
a. Batas Kota Padang-PPL Ulakan
b. PPL Ulakan-Batas Kota Pariaman
(4) Pengembangan jaringan jalan Lokal Primer meliputi ruas jalan berikut :
a. PPK Sungai Limau- PKLp S.Geringging
b. PKLp S.Geringging-PPL Batu Basa
c. PPL Batu Basa -Batas Kabupaten Agam
(5) Pengembangan jaringan jalan Lingkungan Primer meliputi ruas jalan berikut :
a. PKLp S.Geringging-PPL Kudu Ganting
b. PPL Kudu Ganting-PPL Tandikek
c. PPL Tandikek-PPL Sicincin
d. PPL Sintuk-PPL Ulakan

Pasal 14

(1) Pengembangan dan pembangunan sistem terminal sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 12 ayat (1) meliputi terminal tipe C.
(2) Pengembangan terminal tipe C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
peningkatan fungsi terminal Lubuk Alung dan Sungai Geringging.

Pasal 15

(1) Pengembangan jaringan kereta api Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 ayat (2) merupakan bagian dari rencana pengembangan jaringan
Kereta Api Trans Sumatera
(2) Jaringan kereta api yang dimaksud pada ayat (1) akan menghubungkan :
a. Batas Kota Padang-PPK Batang Anai
b. PPK Batang Anai-PPL Sintuk
c. PPL Sintuk– PPL Pauh Kemba
d. PPL Pauh Kembar - Batas kota Pariaman
e. Batas kota Pariaman - PPK Sungai Limau
f. PPK Sungai Limau - PPL Gasan Gadang
g. PPL Gasan Gadang-Batas Kabupaten Agam
h. Simpang Duku – Bandara Internasional Minang
Pasal 16

Pengembangan sistem transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


ayat (3) dilakukan melalui pengembangan dan/atau peningkatan fungsi dan
pembangunan pelabuhan pendaratan ikan di Batang Anai dan Sungai Limau

Pasal 17

(1) Pengembangan sistem transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 ayat (4) diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Bandar
Internasional Minangkabau.
(2) Bandar Udara Internasional Minangkabau sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan bandar udara pusat pengumpul skala sekunder
(3) Dalam pengembangan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengacu pada Rencana Induk Bandar Udara sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan penerbangan.

Bagian Keempat
Rencana Sistem Jaringan Energi

Paragraf 1
Rencana Sistem Jaringan Energi

Pasal 18

(1) Pengembangan sistem jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c ditujukan bagi pengembangan jaringan
prasarana energi listrik yang meliputi prasarana pembangkit dan jaringan
listrik.
(2) Pengembangan prasarana pembangkit energi listrik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kecamatan
Lubuk Alung.
(3) Pembangkit energi listrik terbarukan dapat dikembangkan sesuai kewenangan
pemerintah daerah.
(4) Prasarana jaringan listrik berupa gardu induk dikembangkan di Kecamatan
Lubuk Alung berdaya 10 MVA, Batang Anai (kawasan industri) berdaya 20
MVA dan Sungai Geringging dengan daya 20 MVA.
(5) Pengembangan jaringan energi listrik dilakukan melalui pembangunan
jaringan interkoneksi Sumatera Barat.
Bagian Kelima
Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi

Paragraf 1
Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 19

(1) Pengembangan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


9 ayat (1) huruf d, meliputi sistem terestrial yang terdiri atas sistem kabel,
sistem seluler; dan sistem satelit sebagai penghubung antara pusat kegiatan
dan atau dengan pusat pelayanan.
(2) Pengembangan prasarana telekomunikasi dilakukan hingga ke kawasan
perdesaan yang belum terjangkau sarana prasarana telekomunikasi.
(3) Pengembangan teknologi informasi untuk menunjang kegiatan pelayanan
sosial dan ekonomi wilayah seperti kegiatan pemerintahan, pariwisata,
industri, agropolitan, minapolitan, kawasan pesisir dan kawasan wisata.
(4) Pengembangan pelayanan telekomunikasi dan teknologi informasi untuk
kawasan industri di Batang Anai serta kawasan agroindustri di Sungai Sariak,
Sungai Geringging dan V Koto Kampung Dalam.

Bagian Keenam
Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Paragraf 1
Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 20

(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf e meliputi:
a. sistem jaringan sungai;
b. sistem jaringan irigasi;
c. sistem jaringan air baku;
d. sistem pengendalian banjir;
e. sistem pengamanan pantai; dan
f. sistem pengembangan rawa.
(2) Sistem jaringan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud ayat (1)
direncanakan melalui pendekatan DAS dan cekungan air tanah serta
keterpaduannya dengan pola ruang dengan memperhatikan keseimbangan
pemanfaatan sumber daya air permukaan dan air tanah.
(3) Dalam rangka pengembangan penatagunaan air pada DAS diselenggarakan
kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan sumberdaya air
dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.
(4) Pengembangan penatagunaan air pada sub DAS untuk Kabupaten meliputi:
a. sub DAS Air Dingin;
b. sub DAS Kamumuan;
c. sub DAS Paingan;
d. sub DAS Gasan Gadang;
e. sub DAS Sungai Sirah;
f. sub DAS Naras;
g. sub DAS Pariaman;
h. sub DAS Mangau;
i. sub DAS Ulakan;
j. sub DAS Anai; dan
k. sub DAS Tapakis.
l. sub DAS Manggung
m. sub DAS Limau
n. sub DAS Tiku
o. sub DAS Antokan
(5) Pengembangan wilayah sungai di Kabupaten sebagai wilayah sungai strategis
nasional adalah Wilayah Sungai Akuaman (Anai-Kuranji-Arau-Mangau-
Antokan)

Pasal 21

(1) Rencana pengembangan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e meliputi konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
(2) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau serta sumber air
lainnya, antara lain embung/bendungan, waduk, dan bangunan penampung
air lainnya untuk penyediaan air baku di seluruh kecamatan terutama
untuk Kecamatan Batang Anai, Lubuk Alung, Enam Lingkung, 2x11 Enam
Lingkung, 2x11 Kayu Tanam, Ulakan Tapakis, Nan Sabaris dan Sintuk
Toboh Gadang yang merupakan kawasan pertanian lahan basah.
(3) Peningkatan dan pemeliharaan sumberdaya air yang berskala regional
guna menjaga kelestarian lingkungan dilakukan pada seluruh sungai yang
berhulu di kawasan suaka alam dan hutan lindung di bagian utara dan
timur Kabupaten.
(4) Peningkatan daerah irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat
yaitu daerah irigasi Antokan seluas kurang lebih 4.200 Ha dan daerah irigasi
Batang Anai kurang lebih 13.604 Ha.
(5) Peningkatan daerah irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah
Provinsi yaitu daerah irigasi Ladang Lawas seluas kurang lebih 1.140 Ha
dan daerah irigasi Sicaung kurang lebih seluas 1.285 Ha.
(6) Pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang berada dalam
kewenangan Pemerintah Kabupaten seluas kurang lebih 21.353 Ha serta
kecuali jaringan irigasi desa seluas kurang lebih 6.685 Ha.
(7) Pengembangan jaringan irigasi tersier untuk mengaliri sawah seluas kurang
lebih 6.840 Ha
(8) Pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang tersebar di seluruh
kecamatan di Kabupaten .
(9) Pembangunan prasarana pengendalian banjir di Batang Anai, Sintuk Toboh
dan Nan Sabaris.
(10) Pengamanan abrasi pantai meliputi pesisir pantai Kecamatan Batang Anai,
Ulakan Tapakis, Nan Sabaris, V Koto Kampung Dalam, Sungai Limau dan
Batang Gasan.
(11) Pemanfaatan sumber daya air baku untuk keperluan air minum meliputi,
Pasar Usang, Lubuk Alung, Parit Melintang, Sicincin, Kayu Tanam, VII Koto
Sungai Sarik, Sungai Limau dan Sungai Garingging.

Pasal 22
Rencana pengembangan sumber daya air dilakukan secara terpadu dalam
penataan ruang, upaya konservasi, pemanfaatan dan pengendalian sumber daya
air.

Bagian Ketujuh
Rencana Sistem Prasarana Lingkungan

Paragraf 1
Rencana Sistem Prasarana Lingkungan

Pasal 23

(1) Sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf f meliputi:
a. tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST);
b. sistem pengembangan air minum (SPAM);
c. sistem drainase kawasan perkotaan;
d. sistem sanitasi lingkungan
e. sarana dan prasarana lingkungan permukiman lainnya
(2) Tempat pengelolaan sampah terpadu dikembangkan dengan pola sanitary
landfill di kecamatan:
a. Lubuk Alung;
b. Sungai Garingging; dan
c. V Koto Sungai Sarik.
(3) Sistem pengelolaan air minum dikembangkan pada pusat-pusat permukiman
dengan memanfaatkan air permukaan terutama pada kawasan pusat
kegiatan wilayah, kegiatan lokal dan pusat pelayanan kawasan, yaitu:
a. PKL Lubuk Alung dan Sungai Garingging; dan
b. PPK Sungai Limau, Sungai Sarik, Pasar Usang dan Parit
c. Melintang PPL Sicincin
(4) Sistem drainase dikembangkan pada pusat-pusat permukiman dengan
memanfaatkan air permukaan terutama pada kawasan pusat kegiatan
wilayah, kegiatan lokal dan pusat pelayanan kawasan, yaitu:
a. PKL Lubuk Alung dan Sungai Garingging; dan
b. PPK Sungai Limau, Sungai Sarik, Pasar Usang dan Parit Melintang
c. PPL Sicincin
(5) Sistem sanitasi lingkungan dikembangkan pada pusat-pusat permukiman
dengan memanfaatkan air permukaan terutama pada kawasan pusat
kegiatan wilayah, kegiatan lokal dan pusat pelayanan kawasan, yaitu:
a. PKL Lubuk Alung dan Sungai Garingging; dan
b. PPK Sungai Limau, Sungai Sarik, Pasar Usang dan Parit Melintang
c. PPL Sicincin
(6) Sistem pengelolaan limbah mencakup pengelolaan air limbah dan pengelolaan
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pengelolaan B3 diutamakan pada
kawasan industri Sungai geringging, Sungai Sarik dan Batang Anai.

BAB VI
RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 24

(1) Rencana pola ruang meliputi:


a. pola ruang kawasan lindung; dan
b. pola ruang kawasan budidaya.
(2) Penetapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan mengacu pada kawasan lindung yang telah ditetapkan
secara nasional dan memperhatikan kawasan lindung yang ditetapkan oleh
provinsi dan kabupaten.
(3) Penetapan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan mengacu pada kawasan budidaya yang memiliki nilai
strategis nasional, serta memperhatikan kawasan budidaya provinsi dan
kabupaten.
Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Kawasan Lindung

Pasal 25

Rencana pengembangan kawasan lindung meliputi:


a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi; dan
g. kawasan lindung lainnya.

Pasal 26

(1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a,


menyebar di seluruh kecamatan yaitu di Kecamatan IV Koto Aur Malintang,
Sungai Geringging, V Koto Kampung Dalam, V Koto Timur, Patamuan, 2x11
Kayu Tanam, Lubuk Alung dan Batang Anai dengan luas kurang lebih 15.520
Ha.
(2) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, berupa kawasan dengan lereng lebih dari
40%, menyebar di seluruh kecamatan yaitu di Kecamatan IV Koto Aur
Malintang, Sungai Geringging, V Koto Kampung Dalam, V Koto Timur,
Patamuan, 2x11 Kayu Tanam, Lubuk Alung dan Batang Anai dengan luas
kurang lebih 2.031 Ha

Pasal 27

Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c,


meliputi:
a. sempadan pantai di Kecamatan Batang Anai, Ulakan Tapakis, Nan Sabaris, V
Koto Timur, Sungai Limau dan Batang Gasan dengan luas kurang lebih 605
Ha;
b. sempadan sungai dikembangkan pada seluruh aliran sungai yang ada di
kabupaten, baik yang mengalir di kawasan permukiman maupun di luar
kawasan permukiman dengan luas kurang lebih 4.721 Ha;
c. kawasan sempadan mata air yang terdapat pada hulu sungai-sungai yang
berasal dari kawasan lindung di Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Sungai
Geringging, V Koto Kampung Dalam, V Koto Timur, Patamuan, 2x11 Kayu
Tanam, Lubuk Alung dan Batang Anai. Kawsan ini berada dalam kawasan
hutan lindung dan hutan suaka alam & wisata.
d. Kawasan sempadan sesar yang melintasi wilayah kabupaten arah barat laut-
tenggara dengan lebar sempadan 100 meter dengan luas keseluruhan kurang
lebih 4.772 Ha.
a. Kawasan pertemuan antara dua atau lebih sesar yang belum rekah, terdapat
di Kecamatan IV Koto Aur Melintang, Sungai Geringging, Sungai Limau,
Sungai Sarik, Lubuk Alung dan Batang Anai dengan seluas kurang lebih
3.141 Ha.

Pasal 28

Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 25 huruf d, berupa Kawasan Suaka Alam yang tersebar di
kecamatan Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Sungai Geringging, V Koto
Kampung Dalam, V Koto Timur, Patamuan, 2x11 Kayu Tanam, Lubuk Alung dan
Batang Anai dengan luas seluruhnya kurang lebih 15.463 Hektar.

Pasal 29

Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e,


meliputi:
a. kawasan rawan tanah longsor, tersebar di seluruh wilayah kabupaten
terutama di Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Sungai Geringging, V Koto
Kampung Dalam, V Koto Timur, Patamuan, 2x11 Kayu Tanam, Lubuk Alung
dan Batang Anai;
b. kawasan rawan gelombang pasang tersebar pada kawasan pesisir yang
meliputi Batang Anai, Ulakan Tapakis, Nan Sabaris, V Koto Kampung Dalam,
Sungai Limau dan Batang Gasan; dan
c. kawasan rawan banjir, tersebar di kecamatan Batang Anai, Ulakan Tapakis,
dan Nan Sabaris.

Pasal 30

Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf f,


meliputi:
a. kawasan Rawan Bencana Alam Geologi terdiri atas:
1) kawasan rawan gempa bumi meliputi seluruh wilayah kabupaten;
2) jalur patahan diberi sempadan setidak-tidaknya 250 meter dari tepi
patahan;
3) kawasan rawan gerakan tanah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi
adalah Kecamatan IV Koto Aur Melintang, Batang Gasan, Sungai
Geringging, Sungai Limau, V Koto Kampung Dalam, V Koto Timur,
Patamuan, Enam Lingkung, Lubuk Alung dan bagian timur Batang Anai;
4) kawasan rawan bencana tsunami, meliputi seluruh kawasan pesisir yaitu
Kecamatan Batang Anai, Ulakan Tapakis, Nan Sabaris, V Koto Kampung
Dalam, Sungai Limau dan Batang Gasan;
5) kawasan rawan gempa dan likuifaksi meliputi kecamatan Batang Anai,
Lubuk Alung, Enam Lingkung, Ulakan Tapakis, dan Kecamatan Nan
Sebaris, Sungai Limau dan Batang Gasan; dan
6) kawasan rawan vulkanisme yang berasal dari Gunung Singgalang dan
Gunung Tandikat meliputi Kecamatan V Koto Timur, Kecamatan Patamuan
dan Kecamatan 2x11 Kayu Tanam
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah, meliputi
kawasan imbuhan air tanah dan sempadan mata air yang terdapat di
Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Sungai Geringging, V Koto Kampung
Dalam, V Koto Timur, Patamuan, 2x11 Kayu Tanam, Lubuk Alung dan
Batang Anai.

Pasal 31

Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf g,


meliputi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang dikembangkan pada
kawasan pesisir Kecamatan Batang Gasan meliputi terumbu karang,
penangkaran penyu dan hutan bakau.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya

Pasal 32

Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya terdiri atas:


a. kawasan hutan rakyat
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan;
d. kawasan pertambangan;
e. kawasan industri;
f. kawasan pariwisata;
g. kawasan permukiman; dan
h. kawasan peruntukan lainnya

Pasal 33

Rencana pengembangan kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 32 huruf a, dilakukan di Kecamatan IV Koto Aur Melintang, Sungai
Geringging, Batang Gasan, V Koto Kampung Dalam, V Koto Timur, Patamuan,
2x11 Kayu Tanam, Lubuk Alung dan Batang Anai

Pasal 34

(1) Rencana pengembangan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32


huruf b terdiri atas:
a. pertanian pangan lahan basah
b. pertanian pangan lahan kering
c. pertanian hortikultura
d. perkebunan, dan
e. peternakan.
(2) Pertanian pangan lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dikembangkan di Kecamatan Batang Anai, Lubuk Alung, Ulakan Tapakis,
Nan Sabaris, Sintuk Toboh Gadang, Enam Lingkung, VII Koto, 2x11 Enam
Lingkung, 2x11 Kayu Tanam dan Patamuan.
(3) Pertanian pangan lahan kering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dikembangkan di Kecamatan Koto Aur Melintang, Sungai Geringging, Batang
Gasan, Sungai Limau, Nan Sabaris, Ulakan Tapakis, Sintuk Toboh Gadang,
Enam Lingkung, 2x11 Kayu Tanam, Lubuk Alung dan Batang Anai,
(4) Pertanian hortikultura, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dikembangkan di Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Sungai Geringging, V
Koto Kampung Dalam, V Koto Timur, Patamuan, 2x11 Kayu Tanam, Lubuk
Alung dan Batang Anai
(5) Perkebunan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dikembangkan
diseluruh wilayah kabupaten dengan komoditas unggulan dapat berupa
kelapa dan kakao.
(6) Peternakan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dikembangkan di
seluruh wilayah kabupaten yang memiliki potensi dan sesuai untuk
pengembangan peternakan, meliputi:
a. pengembangan sentra peternakan ternak besar berupa sapi dan kerbau di
Kecamatan VII Koto, Padang Sago, Patamuan, Enam Lingkung, Sungai
Geringging dan IV Koto Aur Malintang;
b. pengembangan sentra peternakan ternak kecil berupa kambing & domba di
Kecamatan Ulakan Tapakis, Nan Sabaris dan Enam Lingkung;
c. pengembangan sentra peternakan unggas di Kecamatan Nan Sabaris,
Ulakan Tapakis, Enam Lingkung, Kayu Tanam, Lubuk Alung, Sintuk Toboh
Gadang, Batang Anai, 2x1 Enam Lingkung, dan V Koto Kampung Dalam;
dan
d. pengembangan kawasan integrasi kambing dan kakao, sapi dan kakao di
kecamatan V Koto Kampung Dalam, Enam Lingkung, VII Koto Sungai
Sariak, Patamuan, Padang Sago, Sungai Geringging dan Kayu Tanam.
Pasal 35

Pengembangan kawasan pertanian dapat dilakukan dengan pola agropolitan


a. Agropolitan dengan komoditas unggulan Kelapa dan Kakao dikembangkan di
Kecamatan Aur Melintang, Sungai Geringging, V Koto Kampung Dalam, V
Koto Timur
b. Agropolitan dengan komoditas unggulan ternak besar dikembangkan di
Kecamatan VII koto Sungai Sarik, Padang Sago, Patamuan, 2x11 Enam
Lingkung, Enam Lingkung, Nan Sabaris dan Kecamatan Sintuk Toboh
Gadang

Pasal 36

Rencana pengembangan kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


32 huruf c, dilakukan di seluruh wilayah kabupaten yang memiliki potensi dan
sesuai untuk pengembangan perikanan, meliputi:
a. perikanan tangkap dikembangkan di wilayah pesisir dan laut meliputi
Kecamatan Batang Anai, Ulakan Tapakis, Nan Sebaris, Sungai Limau dan
Batang Gasan;
b. perikanan budidaya dikembangkan di Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kayu
Tanam, Enam Lingkung, VII Koto Sungai Sarik, Patamuan, Padang Sago,
Batang Anai, V Koto Timur, V Koto Kampung Dalam, Lubuk Alung, Sintuk
Toboh Gadang dan Sungai Geringging;
c. pengolahan ikan merupakan kegiatan industri pengolahan ikan tangkap yang
dapat dikembangkan disepanjang kawasan pesisir terutama di kecamatan
Ulakan Tapakis, Sungai Limau dan Batang Gasan; dan
d. pengelolaan kawasan perikanan dapat dikembangkan dengan pola
minapolitan

Pasal 37

(1) Rencana pengembangan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 32 huruf d, terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan dan
Wilayah Pertambangan Rakyat dilakukan di Wilayah Pertambangan (WP) yang
menyebar di seluruh kecamatan yang memiliki potensi bahan tambang.
(2) Potensi pertambangan yang dapat dikembangkan di wilayah Kabupaten
berupa pertambangan mineral meliputi:
a. tanah uruk berbatu yang terdapat di Kecamatan Batang Anai, Lubuk
Alung, Sintuk Toboh Gadang, Enam Lingkung, 2 x 11 Kayu Tanam, VII
Koto Sungai Sarik, Patamuan, V Koto Kampung Dalam, V Koto Timur,
Sungai Limau, Sungai Geringging, dan IV Koto Aur Malintang;
b. obsidian atau batu gelas yang terdapat di Kecamatan IV Koto Aur
Malintang;
c. batu apung atau perlit juga terdapat di Kecamatan IV Koto Aur Malintang;
d. trass pasiran yang terdapat di Kecamatan Sungai Geringging;
e. trass yang terdapat di Kec. Lubuk Alung, Sintuk Toboh Gadang, 2 x 11
Enam Lingkung, Enam Lingkung, VII Koto Sungai Sarik, Patamuan, V Koto
Kampung Dalam, V Koto Timur, Sungai Limau, Batang Gasan, Sungai
Geringging dan VI Koto Aur Malintang;
f. trass berbatu apung yang terdapat di Kecamatan VII Koto Sungai Sarik, V
Koto Kampung Dalam, Sungai Limau dan sungai geringging;
g. sirtukil yang terdapat di Kecamatan Batang Anai, Lubuk Alung, Sintuk
Toboh Gadang, Nan Sabaris, 2 x 11 Enam Lingkung, 2 x 11 Kayu Tanam,
VII Koto Sungai Sarik, Patamuan, Padang Sago, V Koto Kampung Dalam, V
Koto Timur, dan Sungai Limau;
h. andesit yang terdapat di Kecamatan Lubuk Alung, 2 x 11 Enam Lingkung,
2 x 11 Kayu Tanam dan Patamuan; dan
i. tanah liat terdapat di Kecamatan Lubuk Alung, Sintuk Toboh Gadang,
Enam Lingkung, VII Koto Sungai Sarik, Patamuan, V Koto Kampung
Dalam, V Koto Timur dan Sungai Limau.
(3) Pengelolaan pertambangan dilakukan dengan memperhatikan dampak
lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

(1) Rencana pengembangan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 32 huruf e, berupa industri besar, sedang, dan industri kecil.
(2) Rencana pengembangan kawasan industri dikembangkan dalam bentuk
kawasan industri, lingkungan industri kecil, maupun industri rumah
tangga.
(3) Pengembangan kawasan industri besar atau manufaktur untuk pengolahan
hasil pertanian, perkebunan, perikanan laut dan hasil laut direncanakan
kawasan industri di Kecamatan Batang Anai.
(4) Pengembangan industri sedang berupa agroindustri yang dikembangkan di
kecamatan Sungai Geringging dan VII Koto Sungai Sarik dan V Koto
Kampung Dalam.
(5) Kawasan industri sedang berupa industri pengolahan hasil laut
dikembangkan di Kecamatan Batang Gasan, Sungai Lima dan Ulakan
Tapakis.
(6) Pengembangan industri rumah tangga diarahkan sebagai industri penunjang
industri besar, industri sedang dan kegiatan pariwisata.

Pasal 39

Rencana pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal


32 huruf f, memperhatikan kawasan dan jenis wisata yang dikembangkan di
Kabupaten terdiri atas :
a. Kawasan Wisata Budaya dan Sejarah terutama wisata religi di Kecamatan
Lubuk Alung, Sintago, Ulakan Tapakis, Nan Sabaris, 2x11 Enam Lingkung,
Enam Lingkung, VII Koto Sungai Sarik, Padang Sago, V Koto Timur, Sungai
Limau, Sungai Geringging, dan IV koto Aur Melintang serta pengembangan
wisata budaya lainnya di seluruh wilayah Kabupaten Padang Pariaman.
b. Kawasan Wisata Alam berupa wisata bahari, tirta, trekking, camping ground
tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten.
c. Kawasan Wisata Buatan meliputi pemandian Tirta Alami, Malibou Anai,
gelanggang pacu kuda di Kecamatan Lubuk Alung, 2x11 Kayu Tanam dan VII
Koto Sungai Sarik.

Pasal 40

(1) Rencana pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 32 huruf g, meliputi :
a. Kawasan permukiman perkotaan; dan
b. Kawasan permukiman perdesaan
(2) Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dikembangkan pada kawasan perkotaan Pasar Usang, Lubuk Alung, Parit
Melintang, Sicincin, Sungai Sarik dan Sungai Geringging.
(3) Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dikembangkan mengikuti pola pengembangan kawasan agropolitan dan
atau minapolitan.
(4) Pengembangan kawasan permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan
harus memperhatikan kawasan rawan bencana, kawasan kumuh, kwasan
tertinggal dan kawasan transmigrasi.

Pasal 41

Rencana pengembangan kawasan budidaya peruntukan lainnya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 huruf h dilakukan di;
a. kawasan pusat pemerintahan kabupaten di Parit Melintang; dan
b. kawasan pertahanan dan keamanan.

Pasal 42

Pengembangan lebih lanjut kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 41 diatur melalui surat keputusan oleh pejabat berwenang sesuai
kewenangannya.

Pasal 43

Rencana pengembangan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis berupa


Kawasan andalan yang ditetapkan secara nasional meliputi seluruh wilayah
Kabupaten dengan sektor unggulan, perikanan laut, perikanan, pertanian,
industri dan pariwisata.
BAB VII
RENCANA KAWASAN STRATEGIS WILAYAH KABUPATEN

Penetapan dan Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 44

(1) Rencana pengembangan kawasan strategis meliputi:


a. kawasan strategis bidang ekonomi; dan
b. kawasan strategis lainnya.
(2) Pengembangan kawasan strategis bidang ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a yang merupakan kawasan strategis provinsi meliputi:
a. Kawasan Jalur Jalan Arteri Primer yang menghubungkan Batang Anai-Kayu
Tanam atau Koridor Jalur Nasional; dan
b. Kawasan Industri Batang Anai.
(3) Pengembangan kawasan strategis bidang ekonomi yang merupakan kawasan
strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Kawasan Agropolitan Sungai Sarik; dan
b. Kawasan Agropolitan Sungai Geringging.
(4) Pengembangan kawasan strategis lainnya yang merupakan kawasan strategis
kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di Pusat
Pemerintahan Kabupaten di Kecamatan Enam Lingkung.
(5) Pengembangan dan pengelolaan lebih lanjut kawasan strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat berwenang sesuai
kewenangannya dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Pembiayaan pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dialokasikan dari sumber dana anggaran Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah (Kabupaten) serta dari dana investasi perorangan dan
masyarakat (swasta/investor) maupun dana yang dibiayai bersama (sharing)
baik antar Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah (Kabupaten) maupun
antara swasta dan/atau investor dengan Pemerintah Provinsi dan/atau
Pemerintah Daerah, dan dana lain-lain dari penerimaan yang sah.
(7) Pengelolaan, penggunaan, dan bentuk-bentuk kerjasama pembiayaan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut berdasarkan
peraturan daerah dan mengacu pada peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 45

(1) Pemanfaatan ruang wilayah mengacu pada:


a. rencana struktur ruang;
b. rencana pola ruang; dan
c. penetapan kawasan strategis kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah mencakup program dan atau kegiatan kawasan
perbatasan.
(3) Pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan indikasi program pemanfaatan
ruang.
(4) Pembiayaan untuk merealisasikan program pemanfaatan ruang dalam rangka
perwujudan rencana struktur ruang dan perwujudan rencana pola ruang
dialokasikan dari sumber dana anggaran Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) serta dari dana investasi
perorangan dan masyarakat (swasta/investor) maupun dana yang dibiayai
bersama (sharing) baik antar Pemerintah (Pusat dan Provinsi), antar
Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) maupun antara
swasta/investor dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dan dana
lain-lain dari penerimaan yang sah.

Pasal 46

(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
disusun berdasarkan indikasi program pembangunan yang memiliki jangka
waktu pelaksanaan selama 20 tahun, pentahapan kegiatan tersebut
dituangkan dalam kegiatan per 5 (lima) tahun dengan indikasi program utama
lima tahun pertama diuraikan per tahun kegiatan yang meliputi perwujudan
rencana struktur ruang dan perwujudan rencana pola ruang;
(2) Indikasi program perwujudan rencana struktur ruang mencakup program
perwujudan pusat-pusat kegiatan yang akan dikembangkan dan perwujudan
sistem prasarana;
(3) Indikasi program perwujudan rencana pola ruang mencakup progam
pembangunan kawasan lindung dan kawasan budidaya;
(4) Indikasi program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam lampiran dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
(5) Pengelolaan, penggunaan, dan bentuk-bentuk kerjasama pembiayaan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) diatur lebih lanjut
berdasarkan peraturan pemerintah/daerah dan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Arahan Pemanfaatan Rencana Struktur Ruang

Pasal 47

(1) Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan struktur ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui
perwujudan pusat kegiatan berupa sistem perkotaan yang meliputi PKL, PPK,
PPL dan perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah.
(2) Perwujudan PKL Lubuk Alung dilakukan melalui:
a. penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan Lubuk Alung;
b. peningkatan kapasitas jalan nasional (arteri primer, koridor timur);
c. pembangunan jalan lingkar (express way);
d. pembangunan terminal C;
e. penataan dan revitalisasi fasilitas perdagangan;
f. pembangunan rumah sakit madya;
g. peningkatan kapasitas instansi pengelola air minum; dan
h. pembangunan Balai Benih Ikan.
(3) Perwujudan PKLp Sungai Garingging dilakukan melalui:
a. penyusunan masterplan agropolis;
b. pembangunan fasilitas/utilitas utama agropolis;
c. pembangunan jalan lingkar;
d. peningkatan kapasitas jalan lokal sekunder (koridor barat);
e. pembangunan jalan produksi;
f. pembangunan terminal tipe C terpadu dengan sub terminal agribisnis; dan
g. pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH)

Pasal 48

(1) Perwujudan PPK Sungai Sariak diupayakan melalui:


a. penyusunan masterplan agropolis;
b. pembangunan fasilitas/utilitas utama agropolis;
c. pembangunan jalan lingkar;
d. pembangunan jalan produksi; dan
e. pembangunan Infrastruktur pemeliharaaan ternak besar.
(2) Perwujudan PPK Pasar Usang direncanakan melalui:
a. pembangunan kawasan industri;
b. pembangunan embarkasi haji;
c. pembangunan gerbang bandara Kataping;
d. pembangunan PPI Plus (marina real estat, kuliner court, play ground);
e. peningkatan kapasitas jalan nasional arteri primer; dan
f. peningkatan pelayanan kapasitas instansi pengelola air minum.
(3) Perwujudan PPK Sungai Limau dilakukan melalui:
a. revitalisasi dan pengembangan fasiltias perdagangan;
b. pembangunan PPI;
c. pembangunan industri pengolahan hasil laut;
d. pembangunan fasilitas penunjang KKLD;
e. pembangunan fasilitas penunjang pariwisata pantai Arta;
f. peningkatan kapasitas jalan nasional kolektor primer;
g. penguatan fungsi kapasitas instansi pengelola air minum;
h. pengembangan PLTMH; dan
i. pembangunan perangkat keras dan lunak mitigasi gempa (early warning
system, jalur evakuasi (escape road) dan bangunan penyelamat).

Pasal 49

(1) Perwujudan PPL Sintuk direncanakan melalui:


a. perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi;
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
c. peningkatan kapasitas jalan nasional kolektor primer; dan
d. pembangunan perangkat keras dan lunak mitigasi gempa (early warning
system, jalur evakuasi/escape road dan bangunan penyelamat).
(2) Perwujudan PPL Ulakan direncanakan melalui:
a. revitalisasi pasar tradisional;
b. revitalisasi dan pegnembangan kawasan wisata tradisional makam Syeikh
Burhanudin;
c. perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi;
d. peningkatan kapasitas jalan nasional kolektor primer; dan
e. pembangunan perangkat keras dan lunak mitigasi gempa (early warning
system, jalur evakuasi/escape road dan bangunan penyelamat).
(3) Perwujudan PPL Pauh Kembar melalui rencana:
a. perbaikan dan Pembangunan jaringan irigasi;
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
c. peningkatan kapasitas jalan nasional kolektor primer; dan
d. pembangunan perangkat keras dan lunak mitigasi gempa (early warning
system, jalur evakuasi/escape road dan bangunan penyelamat).
(4) Perwujudan PPL Sicincin diupayakan melalui:
a. pembangunan dan pengembangan pusat kantor pemerintahan;
b. pembangunan fasilitas perdagangan hasil bumi;
c. peningkatan kapasitas jalan nasional;
d. pembangunan jalan lingkar (express way);
e. pembangunan gedung olah raga (Sport Center);
f. pembangunan Balai Benih Ikan Regional;
g. peningkatan dan pengembangan pelayanan air minum; dan
h. pengembangan PLTMH.
(5) Perwujudan PPL Kayu Tanam melalui rencana:
a. peningkatan fasilitas dan utilitas penunjang kawasan wisata Malibou
Resort dan sekitarnya;
b. peningkatan kapasitas jalan nasional kolektor primer;
c. peningkatan pelayanan Perguruan Tinggi Kayu Tanam;
d. pembangunan rest area dan rumah kuliner;
e. pembangunan rumah hortikultura; dan
f. pengembangan PLTMH.
(6) Perwujudan PPL Tandikek dilakukan melalui:
a. perbaikan dan Pembangunan jaringan irigasi;
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
c. pengembangan PLTMH; dan
d. pembangunan dan Pemantapan jalan alternatif Express Way.
(7) Perwujudan PPL Padang Sago diupayakan melalui :
a. perbaikan dan Pembangunan jaringan jalan produksi perkebunan
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur
dan perkebunan
(8) Perwujudan PPL Kampung Dalam direncanakan melalui:
a. perbaikan dan Pembangunan jaringan jalan produksiperkebunan dan
hortikultura;
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
dan
c. pengembangan PLTMH.
(9) Perwujudan PPL Kudu Ganting diupayakan melalui:
a. perbaikan dan Pembangunan jaringan jalan produksi perkebunan dan
hortikultura;
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
dan
c. pengembangan PLTMH.
(10) Perwujudan PPL Gadang Gasan dilakukan melalui:
a. perbaikan dan Pembangunan jaringan irigasi;
b. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
c. peningkatan kapasitas jalan nasional kolektor primer; dan
d. pembangunan perangkat keras dan lunak mitigasi gempa (early warning
system, jalur evakuasi/escape road dan bangunan penyelamat).
(11) Perwujudan PPL Batu Basa dilakukan melalui:
a. pembangunan fasilitas penunjang pengolahan hasil pertanian hortikultur;
b. peningkatan kapasitas jalan lokal primer; dan
c. pengembangan PLTMH.

Pasal 50

Perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah meliputi:


a. perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi;
b. perwujudan pengembangan sistem prasarana energi dan sumberdaya
mineral;
c. perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi;
d. perwujudan pengembangan sistem prasarana sumberdaya air; dan
e. perwujudan pengembangan sistem prasarana perumahan dan permukiman.

Pasal 51

1) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 huruf a terdiri atas :
a. Program transportasi darat.
b. Program transportasi udara.
c. Program transportasi laut.
2) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi darat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dilakukan melalui:
a. pembangunan terminal tipe C Lubuk Alung;
b. pembangunan jalan menuju pusat pemerintahan Parit Malintang;
c. pembangunan jalan alternatif express way;
d. peningkatan kapasitas dan pemeliharaan jalan arteri primer (Padang-
Bukittinggi), jalan arteri sekunder (Padang-Simpang Empat) dan jalan lokal
primer (Sungai Limau-Batu Basa-Batas Agam);
e. pembangunan jaringan rel kereta api (dari kota Pariaman) sampai kawasan
wisata pantai Arta (Batang Gasan);
f. perbaikan, peningkatan kapasitas dan pemeliharaan jaringan jalan lokal
dan lingkungan primer yang menghubungkan PPK dengan PPL dan antar
PPL; dan
g. pembangunan jalan evakuasi (escape road) dari sisi pantai ke arah darat di
sepanjang pantai (kawasan pesisir).
3) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. pengembangan fasilitas penerbangan menuju bandara berstandar
internasional, meliputi runway (menjadi paralel), taxiway, apron dan
terminal;
b. memperkuat simpul bandara dengan mengkombinasikan menuju terminal
terpadu meliputi angkutan bus, kereta api dan angkutan kota serta
mendukung kegiatan komersial dan pariwisata;
c. mengembangkan fasilitas kargo serta fasilitas pemprosesan barang guna
meningkatkan nilai tambah komoditas;
d. mengembangkan penerbangan langsung ke kota potensi wisatawan, baik
melalui penerbangan reguler maupun charter;
e. pengembangan bandar udara untuk melayani embarkasi haji bagi jemaah
asal Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi dan Provinsi Bengkulu; dan
f. pengembangan bandar udara skala pelayanan sekunder menjadi skala
pelayanan primer.
4) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf c dilakukan melalui:
a. pembangunan terminal nelayan; dan
b. pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan di Batang Anai dan Sungai
Limau.

Pasal 52

(1) Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi dan sumberdaya mineral


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b dilakukan melalui:
a. perluasan jaringan pelayanan listrik sampai pada kawasan perdesaan;
b. Pemantapan fungsi pelayanan PLTA Lubuk Alung
c. pengembangan PLTMH pada kawasan perdesaan yang mempunyai
ketersediaan sumber daya air yang memadai;
d. penyempurnaan gardu induk (Lubuk Alung dan kawasan industri) dan
peningkatan kapasitas layan untuk kawasan perkotaan terutama untuk
kawasan industri Batang Anai, jalur kawasan perkotaan Pasar Usang-
Sicincin, pusat perkantoran dan kawasan BIM; dan
e. pembangunan gardu induk di Sungai Garingging untuk peningkatan
pelayanan listrik wilayah utara.
(2) Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 huruf c dilakukan melalui:
a. pengaturan penempatan menara telekomunikasi secara efektif dan efisien
dengan mendorong pengguanaan menara bersama antara operator (join
operation);
b. pengembangan jaringan dan pelayanan informasi dan telekomunikasi
sampai pada kawasan perdesaan; dan
c. pengembangan dan peningaktan pelayanan telekomunikasi dan informasi
untuk pelayanan publik dan usaha.
(3) Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumberdaya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 huruf d dilakukan melalui:
a. pemanfaatan sumber daya air untuk:
1. pembangkit tenaga listrik (PLTA dan PLTMH);
2. bahan baku air mimun (kemasan dan atau air minum);
3. bahan baku pengarian sawah (irigasi);
4. sarana rekreasi dan olah raga; dan
5. budidaya perikanan air tawar;
b. pengendalian daya rusak air melalui:
1. pembangunan sistem drainase pada kawasan permukiman, areal rawan
longsor dan sepanjang sisi jalan;
2. normalisasi sungai;
3. pembangunan cekdam pada hulu sungai; dan
4. sistem pengamanan pantai dilakukan melalui pendekatan struktur dan
non struktur; pendekatan struktur adalah dengan menggunakan
bangunan buatan seperti bangunan penahan gelombang, turap, tanggul
dan sejenisnya. Pendekatan non struktural adalah dengan pendekatan
alamiah, seperti pelestarian dan pengembangan sendun, bakau, cemara
laut dan sejenisnya.
(4) Perwujudan pengembangan sistem prasarana permukiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 huruf e dilakukan melalui:
a. pembangunan TPST untuk kawasan perkotaan Lubuk Alung, dan Sungai
Geringging, TPS di masing-masing PPK dan PPL;
b. pembangunan IPAL pada kawasan perkotaan Sicincin, Lubuk Alung,
Pasar Usang, Parit Melintang dan kawasan industri Batang Anai;
c. penyediaan air bersih untuk setiap pusat permukiman dan kawasan
wisata; dan
d. pembangunan sistem jaringan drainase untuk kawasan perkotaan,
kawasan industri Batang Anai, kawasan agroindustri Sungai Geringging
dan Sungai Sarik, pusat perdagangan dan kawasan pariwisata.

Bagian Ketiga
Arahan Pemanfaatan Rencana Pola Ruang

Pasal 53

(1) Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan pola ruang dilakukan
melalui perwujudan:
a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya.
(2) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas :
a. perwujudan kawasan hutan lindung;
b. perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan
bawahannya;
c. perwujudan kawasan perlindungan setempat;
d. perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. perwujudan kawasan rawan bencana alam;
f. perwujudan kawasan lindung geologi; dan
g. perwujudan kawasan lindung lainnya.

Pasal 54

(1) Perwujudan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53


ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
a. pemantapan tata batas dan status hutan lindung;
b. identifikasi dan klasifikasi tingkat kerusakan kawasan lindung;
c. rehabilitasi dan reboisasi kawasan kritis secara terprogram dan berbasis
masyarakat sekitar kawasan lindung; dan
d. peningkatan kapasitas masyarakat lokal sebagai bagian penerima manfaat
kawasan lindung dan sekaligus penjaga kawasan lindung tersebut.
e. Program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan suaka alam
(2) Perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dilakukan melalui :
a. penetapan kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya;
b. identifikasi dan klasifikasi tingkat kerusakan kawasan lindung;
c. rehabilitasi dan reboisasi kawasan kritis secara terprogram dan berbasis
masyarakat sekitar kawasan lindung; dan
d. peningkatan kapasitas masyarakat lokal sebagai bagian penerima manfaat
kawasan lindung dan sekaligus penjaga kawasan lindung tersebut.
(3) Perwujudan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf c dilakukan melalui:
a. penetapan sempadan pantai, sungai, sesar dan pertemuan antar sesar;
b. identifikasi dan klasifikasi kondisi sempadan yang sangat kritis, kritis dan
tidak kritis.
c. peningkatan kapasitas masyarakat lokal sebagai bagian penerima manfaat
kawasan lindung dan sekaligus penjaga kawasan lindung tersebut;
d. penghijauan massal dengan melibatkan berbagai stakeholder sebagai
bagian dari gerakan peduli lingkungan dan penyelamatan wilayah pantai
dan sungai Kabupaten Padang Pariaman; dan
e. pemeliharaan dan peningkatakan kualitas sempadan sungai pantai, sesar
dan pertemuan antar sesar berbasis masyarakat.
(4) Perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d yang dalam hal ini
adalah Hutan Suaka Alam atau Pelestarian Alam (HAS/PA) dilakukan
melalui:
a. identifikasi, penetapan dan pemantapan kawasan (HAS/PA);
b. identifikasi dan klasifikasi kondisi kawasan menjadi kawasan sangat
kritis, kritis dan tidak kritis;
c. perumusan program rehabilitasi melalui pendekatan kerjasama lintas
pelaku, partisipatif dan lintas wilayah; dan
d. penumbuhkembangan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap
nilai-nilai lingkungan dan budaya lokal dalam rangka menjaga dan
melestarikan kawasan (HAS/PA).
(5) Perwujudan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf e dilakukan melalui:
a. peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang potensi,
penyebab dan dampak dan teknik mitigasi bencana;
b. penetapan aturan teknis pembangunan bangunan dan infrastruktur;
c. pengadaan perangkat lunak dan keras mitigasi bencana;
d. pembangunan bangunan untuk mengantisipasi bencana, baik yang
berifat struktural maupun non struktural; dan
e. pemeliharaan dan pemutakhiran perangkat lunak maupun keras dan
bangunan penyelamat.
(6) Perwujudan kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) huruf f dilakukan melalui:
a. pemetaan dan klasifikasi kawasan rawan bencana geologi secara detil
dan akurat;
b. pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana geologi untuk
melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun
secara tidak langsung oleh perbuatan manusia;
c. melakukan upaya untuk mengurangi resiko bencana geologi seperti
melakukan penghijauan pada lahan kritis; dan
d. melakukan sosialisasi mitigasi bencana geologi pada masyarakat,
terutama masyarakat yang berada pada/dekat dengan daerah rawan
gempa bumi, gerakan tanah, zona patahan dan rawan tsunami.
(7) Perwujudan kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) huruf g berupa Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
dilakukan melalui:
a. pemantapan tata batas kawasan KKLD;
b. penyusunan masterplan, program pembangunan dan upaya pelestarian
KKLD;
c. pembanguan fasilitas dan utilitas penunjang KKLD; dan
d. penyediaan perangkat keras dan lunak untuk mendukung kegiatan
KKLD.
Pasal 55

Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)


huruf b terdiri atas:
a. perwujudan kawasan hutan rakyat;
b. perwujudan kawasan pertanian;
c. perwujudan kawasan perikanan;
d. perwujudan kawasan pertambangan;
e. perwujudan kawasan industri;
f. perwujudan kawasan pariwisata;
g. perwujudan kawasan permukiman; dan
h. perwujudan kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 56

Perwujudan kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf


a dilakukan melalui:
a. pemantapan tata batas dan status hutan rakyat, sehingga terdapat kepastian
pengelolaannya;
b. identifikasi dan klasifikasi tingkat kerusakan kawasan hutan;
c. rehabilitasi dan reboisasi kawasan hutan kritis secara terprogram dan
berbasis masyarakat;
d. penyusunan program pemanfaatan hutan secara partisipatif dengan tetap
menekankan pada fungsi lindung; dan
e. pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

Perwujudan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b


dikembangkan melalui:
a. penetapan dan mendorong pengembangan komoditas unggulan untuk
masing-masing sub kawasan pertanian;
b. penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan;
c. menyusun masterplan agropolitan untuk masing-masing kawasan;
d. pengembangan pertanian organik;
e. pembangunan prasarana dan sarana pertanian sesuai dengan rencana yang
tertuang dalam masterplan; dan
f. pengembangan kegiatan sekunder pasca panen.
Pasal 58

Perwujudan kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf c


dilakukan melalui:
a. merekomendasikan areal-areal yang potensial untuk pembangunan kolam
ikan pada matra darat;
b. memfasilitasi pembangunan dan pengembangan prasarana budidaya ikan air
tawar dan tambak;
c. meningkatkan kemanfaatan dan membangun balai benih ikan di Sicincin dan
Sungai Limau;
d. melakukan perbaikan lingkungan dan pembangunan perumahan nelayan
berikut dengan prasarana permukiman; dan
e. membangunan dan meningkatkan fungsi pelayanan PPI.

Pasal 59

Perwujudan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55


huruf d dilakukan melalui:
a. penetapan wilayah pertambangan;
b. pengelompokkan wilayah pertambangan berdasarkan nilai ekonomi,
kemanfaatan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan;
c. menetapkan wilayah pertambangan sesuai pengelompokan yang dikaitkan
dengan tahapan waktu pengelolaannya (eksploitasi); dan
d. bagi kegiatan penambangan yang sedang dilakukan, namun mempunyai
dampak penting lingkungan untuk sementara dihentikan, sampai terdapat
kajian kelayakan lingkungan hidup serta rekomendasi keberlanjutannya.

Pasal 60

Perwujudan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf e


dilakukan melalui pengembangan industri unggulan Kabupaten, meliputi:
a. pemantapan kawasan industri Batang Anai;
b. identifikasi dan penetapan kawasan industri pengeolahan hasil agro
Kabupaten, khususnya untuk hasil pertanian, perkebunan dan hasil
kelautan;
c. penyusunan masterplan dan penyiapan kawasan industri; dan
d. peningkatan pelayanan dan pembangunan prasarana penunjang kegiatan
industri.
Pasal 61

Pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf


f ditujukan pada kawasan unggulan wisata maupun kawasan potensial wisata,
meliputi:
a. penyusunan rencana induk pariwisata yang didalamnya ditetapkan kawasan
strategis pariwisata;
b. penyusunan rencana pembangunan prasarana penunjang sesuai
kewenangan, kemampuan keuangan daerah dan waktu pelaksanaan
pembangunan;
c. pembangunan prasarana penunjang pariwisata sesuai prioritas yang
ditetapkan; dan
d. pengembangan ODTW baru dan pemasaran kawasan wisata secara kreatif dan
progresif.

Pasal 62

Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55


huruf g meliputi:
a. percepatan pemulihan dan perbaikan lingkungan dan bangunan pasca
bencana gempa bumi;
b. penetapan kawasan permukiman atau areal perumahan yang relatif aman
dari ancaman bencana alam ataupun bencana geologi;
c. penyusunan rencana perbaikan dan pembangunan perumahan pada kawasan
perkotaan dan perdesaan; dan
d. penyusunan program pembangunan prasarana dan sarana permukiman
untuk seluruh wilayah permukiman perkotaan dan perdesaan.

Pasal 63

Pengembangan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 55 huruf h berupa pusat pemerintahan yang ditetapkan sebagai kawasan
strategis kabupaten dan rencana perwujudannya disampaikan dalam Pasal 64
ayat (3).
Bagian Keempat
Arahan Pemanfaatan Rencana Kawasan Strategis

Pasal 64

Pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1)


huruf c yang ditetapkan untuk Kabupaten dilakukan melalui:
(1) Perwujudan Kawasan Strategis Industri Batang Anai, melalui:
a. pengusulan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang meliputi kawasan
industri dan terminal barang (dryport);
b. penyusunan rencana induk (masterplan) KEK;
c. penyusunan masterplan kawasan PIP;
d. penyiapan lahan dan pembangunan infrastruktur sesuai kesepakatan
kerjasama; dan
e. peningkatan pelayanan dan pengelolaan kawasan industri.
(2) Perwujudan Kawasan Strategis Agropolitan Sungai Garingging dan Sungai
Sariak melalui:
a. penetapan kawasan agropolitan;
b. penyusunan masterplan kawasan agropolitan;
c. pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan agropolitan; dan
d. peningkatan produktivitas dan kualitas produksi melalui pendekatan
teknis dan kinerja pelaku agropolitan.
(3) Perwujudan Kawasan Strategis Pusat Pemerintahan melalui:
a. melakukan kajian daya dukung dan daya tampung kawasan yang sudah
ditetapkan sebagai pusat pemerintahan di Parit Melintang;
b. penyusunan RTRK kawasan berbasis mitigasi bencana;
c. melakukan perbaikan lingkungan dan peningkatan daya dukung
lingkungan secara teknis;
d. pembangunan sistem jaringan prasarana pendukung dan jalan express
way; dan
e. pembangunan fasilitas perkantoran pemerintahan dan fasilitas
pendukungnya.
(4) Perwujudan Kawasan Strategis Koridor Simpang Duku-Malibou Resort
melalui:
a. penyusunan RTRK Koridor;
b. penetapan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation);
c. pembangunan prasarana utama berupa simpang susun Duku, kawasan
industri, kawasan perkotaan Lubuk Alung, pembangunan jalan alternatif
express way; dan
d. pemeliharaan dan pengembangan dengan pengendalian ketat.
Bagian Kelima
Arahan Pemanfaatan Rencana Kawasan Perbatasan

Pasal 65

(1) pengembangan kawasan perbatasan meliputi perbatasan Kabupaten dengan


Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten
Solok, Kota Padang dan Kota Pariaman.
(2) Kegiatan pada kawasan perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1) meliputi :
a. Pengembangan kegiatan di kawasan perbatasan dengan Kabupaten Agam
terdiri atas:
1. peningkatan kapasitas jalan kolektor primer sicincin-malalak;
2. rehabilitasi dan pelestarian kawasan lindung pada daerah berbatasan;
dan
3. menjaga keamanan dan stabilitas daerah perbatasan.
b. Pengembangan kegiatan di kawasan perbatasan dengan Kota Padang
Panjang terdiri atas:
1. pembangunan jalan tembus dan sebagai jalur evakuasi yaitu jalan yang
menhubungkan Kayu Tanam dengan Lubuk Mata Kucing (Kota Padang
Panjang);
2. rehabilitasi dan pelestarian KSA; dan
3. menjaga keamanan dan stabilitas daerah perbatasan.
c. Pengembangan kegiatan di kawasan perbatasan dengan Kabupaten Tanah
Datar terdiri atas:
1. pembangunan jalan tembus dari Kayu Tanam ke Tambangan (Kota
Padang Panjang) yang melintasi Kabupaten Tanah Datar;
2. rehabilitasi dan pelestarian KSA;
3. rengelolaan bersama kawasan wisata Lembah Anai sesuai masterplan
yang sudah disepakati
4. renguatan kerjasama dalam pemeliharaan instalasi PLTA Batang Anai;
dan
5. renjaga keamanan dan stabilitas daerah perbatasan.
d. Pengembangan kegiatan di kawasan perbatasan dengan Kabupaten Solok
terdiri atas:
1. rehabilitasi dan pelestarian KSA; dan
2. menjaga keamanan dan stabilitas daerah perbatasan.
e. Pengembangan kegiatan di kawasan perbatasan dengan Kota Padang terdiri
atas:
1. memerankan kawasan ekonomi Batang Anai sebagai satelit Kota
Padang; dan
2. membangun akses yang baik ke dan dari BIM dengan memperhatikan
kawasan keselamatan operasi penerbangan.
f. Pengembangan kegiatan di kawasan perbatasan dengan Kota Pariaman
terdiri atas:
1. Kabupaten Padang Pariaman akan menjaga dan melestarikan kawasan
hulu untuk keberlanjutan dan ketersediaan air baku untuk Kota
Pariaman;
2. air baku yang dimaksud pada huruf f.1 adalah air baku untuk
keperluan irigasi dan air minum; dan
3. mengembangkan kerjasama dalam mitigasi bencana.

BAB IX
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 66

(1) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten menjadi acuan


pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten.
(2) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 67

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66


ayat (2) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi oleh
pemerintah kabupaten.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana
provinsi dan kabupaten

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

Pasal 68

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a meliputi:
a. kawasan Hutan Lindung;
b. kawasan Resapan Air;
c. kawasan Sempadan Pantai;
d. kawasan Sempadan Sungai;
e. kawasan Sempadan Danau dan/atau Waduk;
f. kawasan Sempadan Mata Air;
g. kawasan Ruang Terbuka Hijau;
h. kawasan Hutan Suaka Alam & Wisata;
i. kawasan Rawan Bencana;
j. kawasan Lindung Geologi; dan
k. kawasan Lindung lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b meliputi:
a. kawasan hutan rakyat;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan;
d. kawasan pertambangan;
e. kawasan industri;
f. kawasan pariwisata;
g. kawasan permukiman; dan
h. kawasan peruntukan lainnya.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana provinsi
dan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf c
meliputi:
a. sistem perkotaan;
b. sistem jaringan transportasi;
c. sistem jaringan prasarana energi;
d. sistem jaringan prasarana telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumberdaya air; dan
f. sistem prasarana lingkungan.

Pasal 69

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan:
1) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
2) pengolahan tanah terbatas;
3) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
4) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau
5) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
b. dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan lain
yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung;
c. kawasan hutan lindung dapat dikelola atau dipinjampakaikan sepanjang
mengikuti prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Kawasan hutan lindung dapat dialihfungsikan sepanjang mengikuti prosedur
dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
e. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat
diperkenankan dengan ketentuan:
1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya
di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan
2) mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

Pasal 70

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b meliputi:
a. dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya;
dan
b. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum
ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus
memenuhi syarat:
1.tingkat kerapatan bangunan rendah dengan KDB paling banyak 20%, dan
KLB paling banyak 40%).
2.perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air
tinggi.
3.dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan.
Pasal 71

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c meliputi:
a. kawasan sempadan pantai ditetapkan 100 meter dari titik pasang tertinggi;
b. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem
peringatan dini (early warning system);
c. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas
dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan
kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan
d. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya
sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d meliputi:
a. kawasan sempadan sungai bertanggul dan berada dalam kawasan
permukiman ditetapkan dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki
tanggul sebelah luar;
b. kawasan sempadan sungai tidak bertanggul dan berada diluar kawasan
permukiman ditetapkan dengan lebar minimal paling sedikit 100 (seratus)
meter dari tepi sungai;
c. kawasan sempadan sungai tidak bertanggul pada sungai kecil diluar kawasan
permukiman ditetapkan dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter
dari tepi sungai;
d. dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai;
e. dalam kawasan sempadan sungai dilarang mendirikan bangunan kecuali
bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau
pemanfaatan air;
f. dalam kawasan sempadan sungai diperuntukkan sebagai ruang terbuka
hijau;
g. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah dan utilitas lainnya sepanjang tidak menyebabkan terjadinya
perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana
tersebut; dan
h. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi.
Pasal 73

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan danau dan/atau waduk


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e meliputi:
a. sempadan danau atau waduk selebar 50 (lima puluh) sampai dengan 100
(seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi;
b. dalam kawasan sempadan waduk/danau tidak diperkenankan dilakukan
kegiatan budidaya yang dapat merusak fungsi danau/waduk;
c. dalam kawasan sempadan waduk/danau diperkenankan dilakukan kegiatan
penunjang pariwisata alam seseuai ketentuan yang berlaku; dan
d. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah dan untilitas lainnya sepanjang:
1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sekitar jaringan prasarana tersebut; dan
2) pembangunannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 74

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf f meliputi:
a. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
budidaya yang dapat merusak mata air; dan
b. dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan
penunjang pariwisata alam.

Pasal 75

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf g meliputi:
a. kawasan ruang terbuka hijau untuk wilayah kabupaten berupa hutan seluas
paling sedikit 30% dari luas DAS;
b. kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi; dan
d. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis,
dan estetika kawasan.

Pasal 76

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf h meliputi:
a. pada suaka alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya;
b. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai
dengan fungsi kawasan;
c. tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan rusak
dan menurunnya fungsi kawasan; dan
d. masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam secara terbatas
dan kegiatan penelitian.

Pasal 77

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf i meliputi:
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan longsor terdiri atas:
a. dilarang membangun bangunan pada di bawah/diatas lereng dan pada
lereng yang terjal (>40%);
b. dilarang memotong tebing jalan menjadi tegak;
c. kawasan dengan kemiringan diatas 40% harus dikonservasi; dan
d. areal aman/sempadan longsor minimal lebarnya sama dengan tinggi
tegakan tebing;
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan gempa terdiri atas:
a. dilarang melakukan pembangunan pada jalur sesar;
b. pada kawasan rawan gempa diterapkan peraturan bangunan (building
code);
c. pada kawasan rawan gempa harus dilengkapi jalur evakuasi;
d. bagi perumahan yang sudah terbangun pada kawasan jalur sesar harus
direkonstruksi sehingga tahan gempa;
e. boleh dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi
resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan dini (early
warning system);
f. pada kawasan rawan gempa diperkenankan melakukan kegiatan budidaya
lain seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta bangunan yang
berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam;
g. dilarang membangun bangunan tanpa konstruksi anti gempa;
h. pada jalur sesar dan pertemuan antar sesar tidak diperkenankan adanya
kegiatan permukiman terutama instalasi infrastruktur seperti;
i. pembangkit listrik, gardu listrik, instalasi air minum, tempat pemrosesan
akhir sampah;
j. bangunan instalasi vital yang sudah terbangun pada jalur sesar harus
direlokasi; dan
k. pada kawasan rawan gempa-liquifaksi, struktur bangunan harus tahan
gempa dengan konstruksi tiang pancang.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan tsunami terdiri
atas:
a. dapat dilakukan pembangunan bangunan umum dan infrastrutkur yang
dibutuhkan dengan ketentuan teknis yang ramah tsunami; dan
b. kawasan pesisir rawan tsunami dilengkapi bangunan/tanaman penahan
gelombang tsunami, jalan dan bangunan penyelamat (escape road & escape
building).
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir terdiri atas:
a. kawasan banjir permanen harus dikonservasi (inclave);
b. dilarang membangun perumahan dan permukiman;
c. perumahan yang sudah ada didorong untuk direlokasi;
d. dilarang membangun jembatan yang mengurangi lebar palung sungai; dan
e. dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian/perikanan dengan tetap
mengantisipasi banjir bandang.

Pasal 78

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf j meliputi:
a. pada kawasan cagar alam geologi tidak diperkenankan adanya kegiatan
permukiman;
b. kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan rawan
bencana geologi harus mengikuti peraturan bangunan (building code) yang
sesuai dengan potensi bencana geologi yang mungkin timbul dan dibangun
jalur evakuasi;
c. pada kawasan bencana alam geologi budidaya permukiman dibatasi dan
bangunan yang ada harus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan
rawan bencana alam geologi;
d. pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah tidak
diperkenankan adanya bangunan terkecuali bangunan yang terkait dengan
sistem jaringan prasarana wilayah dan pengendali air;
e. dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah masih
diperkenankan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan sepanjang
tidak mengganggu fungsi lindung terhadap air tanah; dan
f. pada kawasan lindung geologi masih diperkenankan dilakukan budidaya
pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Pasal 79

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan konservasi laut daerah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf k meliputi:
a. kawasan konservasi laut daerah tidak dapat dialihfungsikan menjadi kegiatan
budidaya;
b. dalam kawasan konservasi laut daerah dapat dikembangkan kegiatan hutan
kemasyarakatan tanpa mengganggu fubngsi utama kawasan;
c. dalam kawasan konservasi laut daerah dapat dikembangkan kegiatan
ekowisata selama tidak mengganggu fungsi utama kawasan; dan
d. prasarana dan sarana yang dapat dibangun dalam kawasan konservasi laut
daerah adalah yang bersifat menunjang fungsi kawasan.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

Pasal 80

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan rakyat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf a meliputi:
a. kegiatan pengusahaan hutan rakyat diperkenankan dilakukan terhadap
lahan-lahan yang potensial dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten;
b. kegiatan pengusahaan hutan rakyat tidak diperkenankan mengurangi fungsi
lindung, seperti mengurangi keSungaimbangan tata air, dan lingkungan
sekitarnya;
c. kegiatan dalam kawasan hutan rakyat tidak diperkenankan menimbulkan
gangguan lingkungan seperti bencana alam, seperti longsor dan banjir;
d. pengelolaan hutan rakyat harus mengikuti peraturan perundang-undangan;
dan
e. pengusahaan hutan rakyat oleh badan hukum dilakukan harus dengan
melibatkan masyarakat setempat.

Pasal 81

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 68 ayat (2) huruf b meliputi:
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk pertanian pangan dan hortilkultura
terdiri atas:
a. tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan
mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah
yang tidak memperhatikan aspek konservasi;
b. tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air;
c. diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman
pangan yang telah mempunyai ketetapan hukum;
d. diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang
bersifat mendukung kegiatan pertanian;
e. diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian
dan pendidikan; dan
f. tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk perkebunan terdiri atas:
a. tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat
menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang
berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air;
b. tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan yang tidak
sesuai dengan perizinan yang diberikan;
c. diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan
perkebunan dan jaringan prasarana wilayah;
d. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan
sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
e. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk
dilakukan studi kelayakan lingkungan hidup yang hasilnya disetujui oleh
tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; dan
f. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk peternakan terdiri atas:
a. kawasan budidaya peternakan tidak diperkenankan berdekatan dengan
kawasan permukiman;
b. dalam kawasan peternakan masih diperkenankan adanya kegiatan lain
yang bersifat mendukung kegiatan peternakan dan pembangunan sistem
jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku;
c. kawasan peternakan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. dalam kawasan peternakan masih diperkenankan dilakukan kegiatan
wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
e. kegiatan peternakan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.
Pasal 82

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 68 ayat (2) huruf c, meliputi:
a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan
kawasan yang bersifat polutif;
b. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang
bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan
prasarana sesuai ketentuan yang berlaku;
c. kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata
alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
e. kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.

Pasal 83

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf d meliputi :
a. kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang
berlaku di bidang pertambangan;
b. kegiatan usaha pertambangan dilarang dilakukan tanpa izin dari
instansi/pejabat yang berwenang;
c. kawasan pascatambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau
revitalisasi) sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti
pertanian, kehutanan, dan pariwisata;
d. pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain yang
bersifat mendukung kegiatan pertambangan;
e. pegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang
kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek
keselamatan; dan
f. pebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan
lingkungan hidup yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang
berwenang.

Pasal 84

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 68 ayat (2) huruf e meliputi:
a. untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan pengembangan
kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis;
b. lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan
kawasan permukiman;
c. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang
kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku;
d. pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
e. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau
(greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan
limbah.
f. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau
kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran
aksesibilitas;
g. setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan studi kelayakan lingkungan
hidup; dan
h. kegiatan industri yang berpotensi mencemari lingkiungan diarahkan untuk
mengelola dan memantau limbahnya lebih insentif dan/atau dialihfungsikan
menjadi jasa.

Pasal 85

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 68 ayat (2) huruf f meliputi:
a. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang
dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek
wisata alam;
b. dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang
tidak terkait dengan kegiatan pariwisata;
c. dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang
mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
d. pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan
pendidikan.
e. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain
kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan
f. pengembangan pariwisata harus dilengkapi dengan studi kelayakan
lingkungan hidup.

Pasal 86

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf g meliputi:
a. peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana
pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan
peraturan yang berlaku;
c. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku;
d. kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk
Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan dengan luas paling sedikit 30% dari
luas kawasan perkotaan;
e. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri
skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala
pelayanan lingkungan;
f. kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan
lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
g. dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan
yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial
masyarakat;
h. pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan
peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
i. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus
sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB,
KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya); dan
j. pada kawasan permukiman perkotaan harus disediakan prasarana dan
sarana dasar pendukung permukiman yang tersambung dengan sistem
prasarana perkotaan yang sudah ada.

Pasal 87

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf h meliputi :
a. peruntukan kawasan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas
c. peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang
berlaku;
d. alokasi peruntukan yang diperkenankan adalah lahan terbuka (darat dan
perairan laut) yang belum secara khusus ditetapkan fungsi pemanfaatannya
dan belum banyak dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki akses yang
memadai untuk pembangunan infrastruktur;
e. dilarang melakukan kegiatan yang merusak fungsi ekosistem daerah
peruntukan;
f. pembangunan kawasan peruntukan lainnya harus sesuai dengan peraturan
teknis dan peraturan lainnya yang terkait (KDB, KLB, sempadan bangunan,
dan lain sebagainya).
g. kegiatan pembangunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung;
h. pada kawasan pertahanan dan keamanan pengembangan kegiatan budidaya
dilakukan secara selektif untuk menjaga fungsi utamanya; dan
i. peruntukan kawasan pertahanan dan keamanan diantaranya adalah sebagai
basis militer.

Paragraf 3

Ketentuan umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan


Prasarana dan Sarana Provinsi dan Kabupaten

Pasal 88

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud


dalam 68 ayat (3) huruf a meliputi:
a. sesuai dengan fungsi dan peranan perkotaan yang bersangkutan;
b. sesuai dengan karakteristik fisik perkotaan dan sosial budaya
masyarakatnya;
c. mengacu pada standar teknik perencanaan yang berlaku;
d. pemerintah kabupaten tidak diperkenankan merubah sistem perkotaan yang
telah ditetapkan pada sistem nasional dan provinsi, kecuali atas usulan
pemerintah kabupaten dan disepakati bersama; dan
e. pemerintah kabupaten wajib memelihara dan mengamankan sistem
perkotaan nasional dan provinsi yang ada di wilayah kabupaten Padang
Pariaman.

Pasal 89

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf b ditetapkan sebagai berikut :
a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi darat
meliputi:
1) di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi tidak
diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu
lintas regional;
2) di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi tidak
diperkenankan adanya akses langsung dari bangunan ke jalan;
3) bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi harus
memilki sempadan bangunan yang sesuai dengan ketentuan setengah
ruas milik jalan ditambah 1;
4) ruang milik jalan paling sedikit mempunyai lebar:
a. jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter;
b. jalan raya 25 (dua puluh lima) meter;
c. jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan
d. jalan kecil 11 (sebelas) meter.
5) lebar ruang pengawasan jalan ditentukan dari tepi jalan paling sedikit
dengan ukuran:
a. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
b. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
c. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
d. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
e. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
f. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
g. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
h. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
i. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.
6) lokasi terminal tipe C diarahkan lokasi yang strategis dan memiliki akses
ke jalan kolektor primer sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi laut
meliputi:
1) Pelabuhan laut harus memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai
dengan fungsi dari pelabuhan tersebut; dan
2) Pelabuhan laut harus memiliki akses ke jalan kolektor primer.
c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi udara
meliputi:
1) untuk mendirikan, mengubah atau melestarikan bangunan serta
menanam atau memlihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan
operasi penerbangan (KKOP) tidak boleh melebihi batas ketinggian KKOP;
dan
2) pelabuhan udara harus memilki akses ke jalan kolektor primer.
d. Pengembangan kawasan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas diharuskan
membuat kajian kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 90

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf c ditetapkan bahwa pada
ruang yang berada di bawah SUTT dan SUTET tidak diperkenankan adanya
bangunan permukiman, kecuali berada di kiri-kanan SUTT dan SUTET sesuai
ketentuan yang berlaku.
Pasal 91

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana telekomunikasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf d meliputi:
a. ruang bebas di sekitar menara berjari-jari minimum sama dengan tinggi
menara; dan
b. diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-sama
diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider).

Pasal 92

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf e ditetapkan sebagaimana telah diatur
pada ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat.

Pasal 93

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf f yang berupa Tempat Pengelolaan
Sampah Terpadu (TPST) meliputi:
a. TPST tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan permukiman;
b. lokasi TPST harus didukung oleh studi kelayakan lingkungan hidup yang
telah disepakati oleh instansi yang berwenang;
c. pengelolaan sampah dalam TPST dilakukan dengan sistem sanitary landfill
sesuai ketentuan peraturan yang berlaku; dan
d. dalam lingkungan TPST disediakan prasarana penunjang pengelolaan
sampah.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 94

(1) Jenis perizinan yang terdapat pada Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman
terdiri atas:
a. Izin Prinsip;
b. Izin Lokasi;
c. Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
d. Izin Reklame;
e. Izin Gangguan (HO);
f. Izin Tempat Usaha ( SITU );
g. Izin Pertambangan Daerah (SIPD);
h. Izin Pertambangan Rakyat (SIPR );
i. Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA);
j. Izin Pengolahan dan Pemurnian Bahan Galian Golongan C;
k. Izin Pengkalan Minyak Tanah (PMT);
l. IzinPengangkutan,Penjualan,Penumpukan Bahan Galian B dan C;
m. Izin Usaha Penyediaan Ketenaga listrikan untuk kepentingan umum yang
dikelola swasta;
n. Izin Usaha Industri;
o. Izin Usaha Perdagangan (SIUP);
p. Izin Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
q. Tanda Daftar Gudang (TDG);
r. Izin Usaha Jasa Konstruksi ( IUJK ); dan
s. Izin Rumah Makan,Bar dan Restoran.
(2) Perizinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin
pemanfaatan ruang sesuai rencana struktur ruang dan pola ruang yang
ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini;
(3) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(4) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau
mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(5) Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala kabupaten diberikan
atau mendapat rekomendasi dari Bupati;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah kabupaten
diatur dengan peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Pemberian Insentif dan Disinsentif

Pasal 95

(1) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud


dalam Pasal 66 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pejabat yang
berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif;
(2) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif untuk wilayah Kabupaten
meliputi :
a. Ketentuan umum insentif-disinsentif; dan
b. Ketentuan khusus insentif-disinsentif.
Pasal 96

(1) Ketentuan umum pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang


dimaksud Pasal 96 ayat (2) huruf a berisikan arahan pemberlakuan insentif
dan disinsentif untuk berbagai pemanfaatan ruang secara umum.
(2) Ketentuan khusus pemberian insentif dan disinsentif sebagaiamana yang
dimaksud Pasal 96 ayat (2) huruf b ditujukan untuk pemberlakuan insentif
dan disinsentif secara langsung pada jenis-jenis pemanfaatan ruang atau
kawasan tertentu di wilayah Kabupaten.

Pasal 97

(1) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana


struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi
yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;
(2) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah,
dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini;

Pasal 98

(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang


wilayah dilakukan oleh pemerintah kabupaten kepada tingkat pemerintah
yang lebih rendah (kecamatan/desa) dan kepada masyarakat
(perorangan/kelompok);
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi
berwenang sesuai dengan kewenangannya;
(3) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(4) Insentif dan pengenaan disinsentif diberikan oleh Bupati;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pemberian insentif dan disinsentif
diatur dengan keputusan bupati.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Pemberian Insentif-Disinsentif

Pasal 99

(1) Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang didorong


perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang.
(2) Pemberian disinsentif diberlakukan bagi kawasan yang dibatasi atau
dikendalikan perkembangannya bahkan dilarang dikembangkan untuk
kegiatan budidaya.
(3) Ketentuan pemberian insentif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) meliputi :
a. Pemberian keringanan atau penundaan pajak (tax holiday) dan
kemudahan proses perizinan;
b. Penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk
memperingan biaya investasi oleh pemohon izin;
c. Pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum
rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan;
d. Pemberian kemudahan dalam perizinan untuk kegiatan yang
menimbulkan dampak positif.
(4) Ketentuan pemberian disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (2)
meliputi :
a. Pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang berlokasi di daerah
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti pusat kota, kawasan komersial,
daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi;
b. Penolakan pemberian izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna
bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana
tata ruang dan peraturan zonasi;
c. Peniadaan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu
pengembangannya, atau pengembangannya dibatasi; dan
d. Penolakan pemberian izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan
dilakukan di dalam kawasan lindung.

Paragraf 2
Ketentuan Khusus Insentif-Disinsentif

Pasal 100

(1) Pemberian insentif khusus sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96 ayat
(2) huruf b ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus didorong
pemanfaatannya, meliputi:
a. Kawasan pesisir dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan; dan
b. Kawasan wisata guna peningkatan pendapatan masyarakat dan
pendapatan asli daerah (PAD).
(2) Pemberian disinsentif khusus sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96
ayat (2) huruf b ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus
dibatasi dan atau dikendalikan pemanfaatannya, meliputi:
a. Kawasan rawan bencana, meliputi rawan bencana longsor, gempa,
tsunami atau gelombang pasang dan banjir; dan
b. Kawasan HSAW sebagai kawasan suaka alam yang menjadi salah satu
paru-paru provinsi Sumatera Barat, pelestarian alam, cagar alam dan
wisata alam.

Pasal 101

(1) Ketentuan pemberian insentif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96


ayat (2) huruf a meliputi:
a. Insentif fiskal; dan
b. Insentif non-fiskal
(2) Pemberian insentif fiskal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Penghapusan retribusi;
b. Pengurangan atau penghapusan PBB melalui mekanisme restitusi pajak
oleh dana APBD; dan
c. Bantuan subsidi, modal bergulir atau penyertaan modal.
(3) Pemberian insentif non-fiskal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. Kemudahan dalam perizinan bagi pengusaha;
b. Penyediaan dan atau kemudahan memperoleh sarana dan prasarana
permukiman;
c. Bantuan peningkatan keberdayaan pelaku usaha terkait; dan
d. Penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk.

Pasal 102

(1) Ketentuan umum pemberian disinsentif sebagaimana yang dimaksud dalam


Pasal 96 ayat (2) huruf a meliputi: disinsentif non-fiskal, berupa tidak
diberikannya sarana dan prasarana permukiman yang memungkinkan
pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau kegiatan
komersial.
(2) Ketentuan khusus pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf b hanya diberlakukan disinsentif non
fiskal, meliputi :
a. Pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk
mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut;
b. Penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan
lindung; dan
Penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada saja.
Bagian Kelima
Pengenaan Sanksi

Pasal 103

(1) Pengenaan sanksi merupakan arahan ketentuan pengenaan sanksi


administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang yang akan menjadi acuan
bagi pemerintah daerah kabupaten.
(2) Pengenaan sanksi administratif berfungsi sebagai:
a. perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi
kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang; dan
b. penertiban pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.
(3) Pengenaan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan:
a. hasil pengawasan penataan ruang;
b. tingkat simpangan implementasi rencana tata ruang;
c. kesepakatan antar instansi yang berwenang; dan
d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya.
(4) Pengenaan sanksi administratif dilakukan secara berjenjang dalam bentuk:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan; dan
h. pemulihan fungsi ruang.

Pasal 104

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat (4) huruf a
diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak-
banyaknya 3 (tiga) kali.
(2) Penghentian kegiatan sementara sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat
(4) huruf b dilakukan melalui langkah-langkah:
a. penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat
keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa
terhadap kegiatan pemanfaatan ruang;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi
penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan
tindakan penertiban oleh aparat penertiban;
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan
penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan
e. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan
tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar
untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang
dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang.
(3) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal
104 ayat (4) huruf c dilakukan melalui langkah-langkah:
a. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum
dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang (membuat surat pemberitahuan penghentian
sementara pelayanan umum);
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat
keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum
kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum
yang akan diputus;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara
pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-
jenis pelayanan umum yang akan diputus;
d. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa
pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar,
disertai penjelasan secukupnya;
e. penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada
pelanggar; dan
f. pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan
umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum
kepada pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya
untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang
dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang.
(4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat (4) huruf d
dilakukan melalui langkah-langkah:
a. Penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang
melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat
yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi
penutupan lokasi kepada pelanggar;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan
lokasi yang akan segera dilaksanakan;
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara
paksa; dan
e. pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk
memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan
pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan
ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan
ruang.
(5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat (4) huruf e
dilakukan melalui langkah-langkah:
a. menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi
pencabutan izin pemanfaatan ruang;
c. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai
pengenaan sanksi pencabutan izin;
d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan
permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan
untuk melakukan pencabutan izin;
e. pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin
menerbitkan keputusan pencabutan izin; (6) memberitahukan kepada
pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus
perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang secara
permanen yang telah dicabut izinnya; dan
f. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang
melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-
undangan.
(6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat (4) huruf f
dilakukan melalui langkah-langkah:
a. membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan
ruang menurut dokumen perizinan dengan arahan pola pemanfaatan ruang
dalam rencana tata ruang yang berlaku;
b. memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal rencana
pembatalan izin, agar yang bersangkutan dapat mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal akibat pembatalan
izin;
c. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang berwenang
melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
d. memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan pembatalan
izin;
e. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat yang memiliki
kewenangan untuk melakukan pembatalan izin; dan
f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah
dibatalkan.
(7) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat (4)
huruf g dilakukan melalui langkah-langkah:
a. menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari
pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan
ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat
keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan
yang akan segera dilaksanakan; dan
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban
melakukan pembongkaran bangunan secara paksa.
(8) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 104 ayat (4) huruf
h dilakukan melalui langkah-langkah:
a. menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian
yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya;
b. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan
ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang;
c. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat
keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang;
d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang
yang harus dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu;
e. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan
pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang;
f. apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum
melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab
melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk
melakukan pemulihan fungsi ruang; dan
g. apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan
pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan
pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban
pelanggar di kemudian hari.
Pasal 105

Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama


dengan pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh masing-
masing pemerintah daerah kabupaten.

Pasal 106

Ketentuan pengenaan sanksi administratif ini dapat diatur lebih lanjut melalui
Peraturan Bupati.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut terkait pengenaan sanksi pidana dan sanksi perdata
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 108

Peran serta masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan melalui:


a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang.

Pasal 109

Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 pada tahap
perencanaan tata ruang meliputi:
a. memberikan masukan mengenai:
1) Penentuan arah pengembangan wilayah;
2) Potensi dan masalah pembangunan;
3) Perumusan rencana tata ruang; dan
4) Penyusunan rencana struktur dan pola ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rencana tata ruang; dan
c. melakukan kerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau
sesama unsur masyarakat.
Pasal 110

Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang berupa:


a. Melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal
dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. Memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam
pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. Meningkatkan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. Melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau pencapaian tujuan penataan ruang;
f. Menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan
SDA;
g. Melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; danmengajukan gugatan
ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain apabila kegiatan pembangunan
yang dilaksanakan merugikan.

Pasal 111

Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang berupa:


a. Memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan desinsentif, serta pengenaan sanksi;
b. Turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan opemenuhan standar
pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. Melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
kegiatan oemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran linkungan,
tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi
di masyarakat dalam penyelenggaran penataan ruang;
d. Mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. Mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi/pejabat yang
berwenang.

Pasal 112

Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun


sistem informasi dan dokumentasi penataan.
Pasal 113

Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan


sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 114

Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Padang


Pariaman Tahun 2010-2030 dilengkapi dengan Dokumen Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Padang Pariaman dan peta dengan tingkat ketelitian minimal
1 : 100.000 sebagaimana tercantum dalam Album Peta, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 115

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan


pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah ada
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan
belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa
berlakunya;
b. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan :
1) Untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2) Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang
dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan
penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
dan
3) Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan
berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat
dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan
izin tersebut dapat diberikan penggatnian yang layak
c. Izin pemanfaatan ruang yang sudah habis masa berlakunya dan tidak
sesuai dengan Peraturan Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan
berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
d. Pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan
sebagai berikut :
1) Yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini,
pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan
dengan Peraturan Daerah ini; dan
2) Yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk
mendapat izin yang diperlukan.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 116

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten


Padang Pariaman Nomor 08 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang Wilayah
Kabupaten Padang Pariaman dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
z
Pasal 117

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Padang Pariaman.

ditetapkan di Padang Pariaman


Pada tanggal 2011

BUPATI PADANG PARIAMAN,

d.t.o

ALI MUKHNI

Diundangkan di Padang Pariaman


Pada tanggal 2011

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN PADANG PARIAMAN

d.t.o

Ir. MAWARDI SAMAH, Dipl. HE


Pembina Utama Muda NIP. 19530422 197909 1 001

Lembaran Daerah Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2011 Nomor

Anda mungkin juga menyukai