Anda di halaman 1dari 2

MAU JADI PENERJEMAH? Yah, Kira-Kira Beginilah Caranya.

Baiklah, by popular demand, akhirnya tulisan ini dibuat juga. Bagaimana


caranya supaya bisa menjadi penerjemah? Beginilah, hehehe. Aku akan
menjelaskannya dalam beberapa langkah—sekarang aku belum tahu bakal ada
berapa langkah—supaya nggak membingungkan. Ingat, ini cuma pembagian
pengalaman dariku, dan jalan semua orang kan berbeda-beda, ya. Jadi, silakan
dibaca saja, boleh ditiru, boleh juga tidak. Dan, karena ini menurutku, jadi
nggak boleh diprotes, hahahha ….

Apa Sih Menerjemahkan Itu?

Apakah menerjemahkan sama dengan mengalihbahasakan? Benar dan tidak. Yang


lebih tepatnya, menerjemahkan adalah mengalihkan jiwa. See, setiap buku, setiap
artikel, setiap teks punya nyawa. Nyawa itu sifatnya unik, berbeda-beda dalam setiap
teks. Nah, nyawa inilah yang berusaha kita pindahkan ke dalam sebuah karya
terjemahan, jadi bukan sekadar bahasanya. Maka, jelas kurang tepat kalau kita
menerjemahkan sebuah buku dari kalimat per kalimat atau kata per kata. Kita harus
melihat sebuah buku secara keseluruhan. Harus memahami apa yang terjadi di
dalamnya. Harus mendalami karakter setiap tokohnya dan menempatkan diri dalam
posisi mereka. Karena itulah, seharusnya gaya menerjemahkan dalam setiap buku
juga berbeda. Ada kata-kata yang wajar ditampilkan dalam buku A, tapi jadi aneh jika
muncul dalam buku B, begitu pula sebaliknya.

Dalam pandanganku (dan ternyata pendapat Suze Marie juga sama, secara kami
berdua memang terobsesi ingin menjadi artis), menerjemahkan sama dengan
berakting. Misalnya, waktu aku menerjemahkan The Kite Runner, suasana hatiku juga
harus menjadi kacau balau, mengikuti keabu-abuan si Amir, naratornya. Lain halnya
waktu menerjemahkan Middlesex, aku tidak perlu berbuat banyak untuk menghayati
peran karena sifat si Cal mirip denganku (hush, bukan hermaphrodite-nya, tetapi
sarkasme dan kesukaannya berbicara sompral). Maka, begitulah, kita harus betul-
betul memahami esensi buku yang kita terjemahkan sebelum bisa menerjemahkannya
dengan baik.

Siapa Sajakah yang Bisa Menjadi Penerjemah?

Aku sering mendengar orang bilang, “Ah, pengin juga deh jadi penerjemah, tapi aku
kan bukan lulusan Sastra.” Lhoo, siapa bilang yang bisa menjadi penerjemah hanya
lulusan Sastra? Nggak kok, coba lihat si astronom murtad ini (tapi namanya Umay,
bukan Brian May), atau Mbak Femmy. Yah, cuma sedikit kok, penerjemah yang
kukenal yang lulusan Fakultas Sastra. Kebetulan aku satu di antaranya.
Keuntungannya hanyalah aku pernah mengikuti mata kuliah Translation sepanjang
enam semester (hanya satu yang dapat A, satu dapat C, lainnya B), meskipun
sebenarnya yang lebih berguna lagi dalam urusan menerjemahkan adalah mata kuliah
Syntaxes—soalnya dalam mata kuliah ini aku mengetahui tentang cara membedah
kalimat berdasarkan strukturnya.

Sebenarnya, yang lebih penting dalam menerjemahkan bukanlah penguasaan


penerjemah terhadap bahasa asli teks, tapi penguasaannya terhadap bahasa
Indonesia. Yah, percuma saja kalau bahasa Inggrisnya (atau bahasa manapun, deh)
jago tapi bahasa Indonesianya kacau. Waktu jadi editor dulu, aku sering mendapatkan
lamaran dari orang-orang yang CV-nya tampak mengesankan, misalnya lulusan luar
negeri, dan dari surat lamarannya ketahuan banget kalau bahasa Inggrisnya memang
oke, tapi begitu disuruh menerjemahkan, eh, kok nggak banget, ya. Jadi, begitulah.
Penguasaan bahasa Inggris penting, tapi penguasaan bahasa Indonesia jauh lebih
penting. So, bagi yang ingin menjadi penerjemah, ayo dilihat, sudahkah Anda
menguasai EYD, memiliki banyak kosa kata, dan memahami gaya bahasa?

Bagaimanakah Prospek Profesi Penerjemah di Indonesia?

Believe it or not, prospeknya sangat cerah. Dalam industri buku saja, penerjemah
yang bagus masih sangat dibutuhkan. Selama dua tahun aku menjadi editor,
penerjemah yang dapat dipercaya buat flying solo masih bisa dihitung dengan jari
(dari satu tangan, pula). Maka, nggak heran kalau penerjemah yang bagus selalu
menjadi buruan banyak penerbit. Soal penghasilan? Wah, di atas lumayan, dong.
Sebagai gambaran, tarif untuk penerjemah pemula biasanya adalah Rp.10.000,-
/halaman terjemahan (spasi ganda, font 12 pt.). Untuk novel, biasanya jumlah
halamannya minimal 200. Jadi, yah, hitung saja sendiri berapa pendapatan seorang
penerjemah. Buat yang sudah senior, tentunya tarif itu akan terus naik. Apalagi kalau
penerjemah itu sudah tidak membutuhkan editor (alias hasil terjemahannya sudah
bersih tanpa perlu diedit), tarifnya tentu lebih mahal lagi.

Anda mungkin juga menyukai