Landasan Teologis
Landasan Sosio-Kultural
Landasan Perkaderan dalam HMI adalah Islam, ini merupakan landasan nilai
dalam menjalani kehidupan. Islam universalis berwajah modern yang rajin
menuntut ilmu dan senang beramal untuk kemajuan, keadilan, dan kemakmuran
secara kolektif. Selanjutnya, Landasan Konstitusi , merupakan tata nilai penting
dalam mengatur perjalanan organisasi secara jelas dan terarah. Konstitusi dalam
HMI terdiri dari Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Anggaran Dasar
Pasal 3 tentang Asas, Pasal 4 tentang Tujuan, Pasal 5 tentang Usaha, Pasal 6
tentang Independensi, Pasal 7 tentang Status, Pasal 8 tentang Fungsi, Pasal 9
tentang Peran, dan Pasal 10 tentang Keanggotaan. Anggaran Rumah Tangga Pasal
Bab I tentang Keanggotaan.
Adapun Landasan Historis HMI, menjadi alas an penting sehingga
terbentuknya organisasi HMI. Motivasi dasar kelahiran HMI yakni semangat
Keislaman. Meski selanjutnya dikategorikan dalam semangat kebangsaan dan
kemahasiswaan. Sehingga beberapa Literature menungkapkan bahwas HMI
dibentuk atas dua motivasi, yaitu pertama, mempertahankan NKRI dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan
syiar agama Islam. Motivasi dasar tersebut menjadikan kader HMI sebagai bagian
integral umat & bangsa.
Adapun Landasan Sosio-Kultural, realitas perkembangan zaman menuntut
sebuah organisasi untuk mencermati aspek kultur secara universal, berikut juga
perkaderan HMI diinspirasi oleh dan dikontekstualisasikan dalam sosiokultural
kedaerahan, nasional, dan global
G. Pengelolaan Training
1. Screening Peserta
Screening merupakan tahapan penyeleksian peserta yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan calon peserta. Adapun materi yang dites antara
lain: Ke-HMI-an, ke-Islaman, PTKP, NDP serta membaca Al-quran. Dalam hal
ini peserta juga dinilai tingkat keseriusannya mengikuti tes serta motivasinya.
Screening diperlukan sebagai tahapan awal mendalami wawasan keilmuan
peserta.
2. Setting Forum
Bagian ini merupakan hal yang paling penting guna menciptakan suasana
yang kondusif dan terarah selama proses pembelajaran berlangsung. Setting forum
yang tidak tertib cenderung menimbulkan kekacauan dan atmosphere yang tidak
nyaman, sehingga dikhawatirkan proses pembelajaran atau perkaderan tidak
berjalan dengan baik. Adapun model forum yang kerap diterapkan penulis antara
lain: model peer group setting, model letter U, bahkan partner discussion. Model-
model tersebut diterapkan dalam rangka memberi ruang yang lebih fleksible
kepada peserta selama proses pembelajaran.
3. Metode Evaluasi
Evaluasi dilakukan dalam setiap proses pembelajaran berlangsung, sehingga
setiap perkembangan peserta menjadi indicator yang penting untuk dinilai secara
kontinyu. Adapun aspek penilaian yang konkrit antara lain: 1) aspek kognitif,
diakhir pembahasan setiap peserta diminta untuk membuat berbagai tulisan terkait
materi yang telah disampaikan. 2) aspek afektif, ini terkait dengan tingkat emosi
dan perkembangan peserta dalam hal menata sikap dan etika, sehingga kerap
diintegrasikan dengan perkembangan mental ataupun kepribadian. 3) aspek
psikomotorik, ini merupakan aspek penilaian yang dibutuhkan peserta guna
mendalami potensi kreativitas peserta.
4. Persoalan yang Muncul
Adapun persoalan yang kerap muncul dalam pelaksanaan training adalah
tingkat siginifikansi materi dan kebutuhan peserta. Selama ini panitia cenderung
menggaungkan pemateri-pemateri yang terlalu elegant dan elit secara public,
namun substansi dari materi yang seharusnya diberikan kepada peserta menjadi
kurang diperhatikan, sehingga wawasan peserta cenderung mentok dalam hal-hal
yang universal bahkan kerap peserta ngaur dalam memaknai proses perkaderan
HMI. HMI bahkan tidak dinilai secara utuh sebagai organisasi perkaderan, namun
cenderung dipandang sebagai organisasi elite yang memiliki kekuatan super.
Jaringan yang luas dan merupakan miniature Indonesia.
Disamping itu, mindset peserta yang dijejalkan dengan kemegahan HMI
membuat mereka serta merta menuntut kemudahan di HMI, peserta cenderung
menanam keinginan mendapat output yang tinggi dari organisasi secara membabi
buta dan kerap melupakan hakikat dari organisasi tersebut. Sehingga proses yang
dilalui menjadi instant karena orientasi kepada hasil. Hal tersebut menjadi
pemahaman pribadi penulis dimana sebelum mengikuti LK 1, saya cenderung
mendengar wejangan-wejangan dari senior tentang kemegahan HMI sehingga
dalam suasana forumpun pemateri kerap masih mewacanakan atau bertasbih
dengan sejarah, sementara realita cenderung berbalik. Nah, hal ini yang membuat
peserta tidak mampu menfilter informasi secara baik, apapun pemahaman yang
diberikan senior adalah hal mutlak, sehingga kesalahan-kesalahan masa lalu juga
masih terjadi sampai sekarang.
Sehingga ketika diperhatikan wacana dalam proses pembelajaran didominasi
oleh sejarah-sejarah yang melenakan, sementara arah perubahan yang ditata
kurang terbentuk dalam diri peserta. Disinilah muncul kekerdilan dalam proses
regenerasi, artinya proses perkaderan dirasa semakin mengalami kegagalan.