Anda di halaman 1dari 9

Alur Perkaderan HMI

A. Latar Belakang Perkaderan


Persoalan-persoalan ummat dan bangsa senantiasa harus direspon dengan
memberikan jawaban-jawaban yang cerdas, konstruktif dan bertanggungjawab
serta berada dalam bingkai yang jelas. Inilah yang mungkin dikehendaki oleh
mahasiswa yang mengorganisasikan diri dalam Himpunan Mahasiswa Islam, yang
sejak berdirinya tahun 1947 telah mengkonsentrasikan diri untuk menjawab
persoalan-persoalan pelik ummat dan bangsa. Praktek-praktek ini sebenarnya bisa
diletakkan dalam konteks kemampuan kader HMI untuk membaca dan
merealisasikan ayat-ayat Tuhan.
Setengah abad lebih HMI lahir dan berkembang, dan sampai hari ini HMI
masih menegaskan diri sebagai organisasi kader. HMI bertanggungjawab untuk
memfasilitasi seluruh potensi dan nilai-nilai kreatif kadernya. Oleh karena itu,
menjadi tidak bijak jika HMI hanya memberikan ‘ruang kreatif’nya hanya dalam
satu bidang, seperti hanya ‘ruang kreatif’ politik. Harus menjadi
pertanggungjawaban moral-intelektual dan organisatoris bagi HMI untuk
mendorong dan mempersiapkan ruang untuk mengembangkan potensi dan nilai-
nilai kreatif kader di setiap bidang.
Mengingat realitas hari ini, konsentrasi anggota HMI cenderung mendominasi
hal-hal yang bersifat pragmatis dan menafikan pentingnya proses guna menjadi
kader yang tangguh dan bersungguh-sungguh dalam mencapai tujuan organisasi,
maka jelaslah organisasi perkaderan yang sesungguhnya bertujuan menicptakan
manusia-manusia yang unggul namun justru terjebak dalam kekerdilan regenerasi.
Pola perkaderan yang tidak dilalui dengan proses yang sebenarnya kerap
menciptakan insane yang tak layak disebut sebagai kader HMI. Minimnya
pengetahuan akan keutuhan HMI sebagai organisasi perkaderan justru memberi
ruang yang menggilas alur perkaderan. Maka, betapa pentingya penanaman nilai-
nilai secara komprehensif dan sistematis terhadap anggota HMI guna terciptanya
kader-kader yang sesuai dengan citra dan tujuan HMI.
Di HMI kita mengenal Training formal dan Training non-formal. Dalam
Training formal terdapat tiga jenjang pelatihan (training), yaitu 1) Basic Training,
2) Intermediate Training, dan 3) Advance Training. Setiap jenjang pelatihan ini
memiliki tujuan masing-masing. Untuk melaksanakan tiga jenjang pelatihan ini
setiap kader dan institusi HMI dapat mengacu kepada Pedoman Perkaderan HMI
hasil lokakarya tahun 2000. sampai hari ini HMI, yang direpresentasikan oleh
Pengurus Besar (PB) nya hanya mampu memiliki pedoman perkaderan.
Dengan demikian betapa urgensi diciptakannya penataan pola perkaderan
yang kompleks dan sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga diharapkan
HMI tidak hanya melahirkan massa yang terkesan militant namun juga harus
menjadi organisasi yang unggul dalam memegang kendali arus globalisasi. Bukan
hanya anggota yang terkunkung dengan system senioritas yang mumpuni namun
juga harus menjadi pelopor dalam menggagas perubahan yang lebih baik.
Sehingga makna perkaderan tidak diibaratkan dengan Mariotchka Doll, yakni
boneka Cina yang menggambarkan proses kekerdilan dalam alur regenerasi, tapi
justru sebaliknya, mampu bangkit untuk menyusun susunanan regenerasi yang
lebih baik dan berkualitas.

B. Pola Umum Perkaderan


Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner's
Dictionary) dikatakan bahwa "Cadre is a small group of People who are
specially chosen and trained for a particular purpose, atau “cadre is a member of
this kind of group; they were to become the cadres of the new community party".
Jadi pengertian kader adalah "sekelompok orang yang terorganisasir secara terus
menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar".
Hal ini dapat dijelaskan, pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam
organisasi, mengenal aturan-aturan permainan organisasi dan tidak bermain
sendiri sesuai dengan selera pribadi. Bagi HMI aturan-aturan itu sendiri dari segi
nilai adalah Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam pemahaman memaknai
perjuangan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-Islam-an yang
membebaskan (Liberation force), dan memiliki kerberpihakan yang jelas terhadap
kaum tertindas (mustadhafin). Sedangkan dari segi operasionalisasi organisasi
adalah AD/ART HMI, pedoman perkaderan dan pedoman serta ketentuan
organisasi lainnya. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang terus
menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah
(konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga,
seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung atau
kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar.
Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas.

Pola Umum Perkaderan HMI

Landasan Teologis

Landasan Konstitusi Landasan Historis

Landasan Sosio-Kultural

Landasan Perkaderan dalam HMI adalah Islam, ini merupakan landasan nilai
dalam menjalani kehidupan. Islam universalis berwajah modern yang rajin
menuntut ilmu dan senang beramal untuk kemajuan, keadilan, dan kemakmuran
secara kolektif. Selanjutnya, Landasan Konstitusi , merupakan tata nilai penting
dalam mengatur perjalanan organisasi secara jelas dan terarah. Konstitusi dalam
HMI terdiri dari Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Anggaran Dasar
Pasal 3 tentang Asas, Pasal 4 tentang Tujuan, Pasal 5 tentang Usaha, Pasal 6
tentang Independensi, Pasal 7 tentang Status, Pasal 8 tentang Fungsi, Pasal 9
tentang Peran, dan Pasal 10 tentang Keanggotaan. Anggaran Rumah Tangga Pasal
Bab I tentang Keanggotaan.
Adapun Landasan Historis HMI, menjadi alas an penting sehingga
terbentuknya organisasi HMI. Motivasi dasar kelahiran HMI yakni semangat
Keislaman. Meski selanjutnya dikategorikan dalam semangat kebangsaan dan
kemahasiswaan. Sehingga beberapa Literature menungkapkan bahwas HMI
dibentuk atas dua motivasi, yaitu pertama, mempertahankan NKRI dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan
syiar agama Islam. Motivasi dasar tersebut menjadikan kader HMI sebagai bagian
integral umat & bangsa.
Adapun Landasan Sosio-Kultural, realitas perkembangan zaman menuntut
sebuah organisasi untuk mencermati aspek kultur secara universal, berikut juga
perkaderan HMI diinspirasi oleh dan dikontekstualisasikan dalam sosiokultural
kedaerahan, nasional, dan global

C. Pola Dasar Perkaderan


1. Rekruitmen Kader
Adapun konteks recruitment merupakan langkah penting dalam
menformulasikan terciptanya kader-kader yang berkualitas, sehingga pentingnya
mempersiapkan alur dan mekanisme perekruitan sebaik mungkin, baik yang
dimulai dari pra-Perguruan Tinggi ataupun pada saat di Perguruan Tinggi.
Beberapa hal yang penting dalam perekruitan yang disusun secara sistematis
antara lain:
1. Prioritas pada kualitas tanpa mengabaikan kuantitas calon kader
2. Prioritas pada PT/Lembaga Pendidikan sederajat yg berkualitas
3. Memperhatikan integritas, potensi dasar akademik, potensi berprestasi,
potensi dasar kepemimpinan, serta keinginan melakukan peningkatan
kualitas individu secara terus-menerus dari calon kader.
4. Pendekatan rekruetmen dilakukan pada dua kelompok sasaran yakni
Tingkat Pra PT dan Tingkat PT.
2. Pembentukan Kader (cadre forming)
1. Latihan Kader ( Basic, Intermediate, and Advance)
2. Pengembangan
- Up Grading
- Pelatihan
- Aktifitas (organisasional, kelompok, dan perorangan).
3. Pengabdian Kader
- Penjabaran dari peranan HMI sebagai organisasi perjuangan
- Jalur pengabdian dapat dilakukan di jalur akademis, dunia profesi,
birokrasi dan pemerintahan, dunia usaha, sosial politik,
TNI/Kepolisian, sosial kemasyarakatan, LSM, dll.
D. Arah Perkaderan
 Maksud dan Tujuan
“Usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan organisasi melalui
suatu proses sadar dan sistematis sebagai alat transformasi nilai ke-Islaman
dalam proses rekayasa peradaban melalui pembentukan kader berkualitas
muslim-intelektual-profesional.”
 Target
Terciptanya kader muslim-intelektual-profesional yang berakhlakul
karimah serta mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah fil ardh
dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
 Profil Kader HMI Masa Depan
Muslim-Intelektual-Profesional

E. Pola Dasar Training


 Jenis Training
1. Training Formal (Perjenjangan Basic, Intermediate, & Advance)
2. Training Non Formal
Dilakukan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan profesionalisme
kepemimpinan serta keorganisasian anggota (misal Pusdiklat, SC, LKK, Up
Grading Kepengurusan, Up Grading Kesekretariatan, dll)
 Tujuan Training Perjenjangan
Basic: Terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar
akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya
sebagai kader umat dan bangsa.
Intermediate: Terbinanya kader HMI yang mempunyai kemampuan
intelektual dan mampu mengelola organisasi serta berjuang untuk meneruskan
dan mengemban misi HMI.
Advance: Terbinanya kader pemimpin yang mampu menterjemahkan dan
mentransformasikan pemikiran konsepsional serta profesional dalam gerak
perubahan organisasi.
F. Target Training Perjenjangan
 Latihan Kader I (Basic)
- Memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari
- Mampu meningkatkan kemampuan akademis
- Memiliki kesadaran & tanggungjawab keumatan & kebangsaan
- Memiliki kesadaran berorganisasi
 Latihan Kader II (Intermediate)
- Memiliki kesadaran intelektual yang kritis, dinamis, progresif,
dan inovatif dalam memperjuangkan misi HMI
- Memiliki kemampuan manajerial dalam berorganisasi
 Latihan Kader III (Advance)
- Memiliki kemampuan kepemimpinan yang amanah, fathanah,
sidiq dan tabligh serta mampu menterjemahkan dan
mentransformasikan pemikiran konsepsional dalam dinamika
perubahan sosial.
- Memiliki kemampuan mengorganisasi masyarakat dan
mentransformasikan nilai-nilai perubahan untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.

G. Pengelolaan Training
1. Screening Peserta
Screening merupakan tahapan penyeleksian peserta yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan calon peserta. Adapun materi yang dites antara
lain: Ke-HMI-an, ke-Islaman, PTKP, NDP serta membaca Al-quran. Dalam hal
ini peserta juga dinilai tingkat keseriusannya mengikuti tes serta motivasinya.
Screening diperlukan sebagai tahapan awal mendalami wawasan keilmuan
peserta.
2. Setting Forum
Bagian ini merupakan hal yang paling penting guna menciptakan suasana
yang kondusif dan terarah selama proses pembelajaran berlangsung. Setting forum
yang tidak tertib cenderung menimbulkan kekacauan dan atmosphere yang tidak
nyaman, sehingga dikhawatirkan proses pembelajaran atau perkaderan tidak
berjalan dengan baik. Adapun model forum yang kerap diterapkan penulis antara
lain: model peer group setting, model letter U, bahkan partner discussion. Model-
model tersebut diterapkan dalam rangka memberi ruang yang lebih fleksible
kepada peserta selama proses pembelajaran.
3. Metode Evaluasi
Evaluasi dilakukan dalam setiap proses pembelajaran berlangsung, sehingga
setiap perkembangan peserta menjadi indicator yang penting untuk dinilai secara
kontinyu. Adapun aspek penilaian yang konkrit antara lain: 1) aspek kognitif,
diakhir pembahasan setiap peserta diminta untuk membuat berbagai tulisan terkait
materi yang telah disampaikan. 2) aspek afektif, ini terkait dengan tingkat emosi
dan perkembangan peserta dalam hal menata sikap dan etika, sehingga kerap
diintegrasikan dengan perkembangan mental ataupun kepribadian. 3) aspek
psikomotorik, ini merupakan aspek penilaian yang dibutuhkan peserta guna
mendalami potensi kreativitas peserta.
4. Persoalan yang Muncul
Adapun persoalan yang kerap muncul dalam pelaksanaan training adalah
tingkat siginifikansi materi dan kebutuhan peserta. Selama ini panitia cenderung
menggaungkan pemateri-pemateri yang terlalu elegant dan elit secara public,
namun substansi dari materi yang seharusnya diberikan kepada peserta menjadi
kurang diperhatikan, sehingga wawasan peserta cenderung mentok dalam hal-hal
yang universal bahkan kerap peserta ngaur dalam memaknai proses perkaderan
HMI. HMI bahkan tidak dinilai secara utuh sebagai organisasi perkaderan, namun
cenderung dipandang sebagai organisasi elite yang memiliki kekuatan super.
Jaringan yang luas dan merupakan miniature Indonesia.
Disamping itu, mindset peserta yang dijejalkan dengan kemegahan HMI
membuat mereka serta merta menuntut kemudahan di HMI, peserta cenderung
menanam keinginan mendapat output yang tinggi dari organisasi secara membabi
buta dan kerap melupakan hakikat dari organisasi tersebut. Sehingga proses yang
dilalui menjadi instant karena orientasi kepada hasil. Hal tersebut menjadi
pemahaman pribadi penulis dimana sebelum mengikuti LK 1, saya cenderung
mendengar wejangan-wejangan dari senior tentang kemegahan HMI sehingga
dalam suasana forumpun pemateri kerap masih mewacanakan atau bertasbih
dengan sejarah, sementara realita cenderung berbalik. Nah, hal ini yang membuat
peserta tidak mampu menfilter informasi secara baik, apapun pemahaman yang
diberikan senior adalah hal mutlak, sehingga kesalahan-kesalahan masa lalu juga
masih terjadi sampai sekarang.
Sehingga ketika diperhatikan wacana dalam proses pembelajaran didominasi
oleh sejarah-sejarah yang melenakan, sementara arah perubahan yang ditata
kurang terbentuk dalam diri peserta. Disinilah muncul kekerdilan dalam proses
regenerasi, artinya proses perkaderan dirasa semakin mengalami kegagalan.

H. Penutup dan Rekomendasi


Demikian secara singkat penulis memaparkan pokok pikiran tentang pola
umum perkaderan HMI serta pengalaman dalam pengelolaan training. Selanjutnya
penulis menganggap pentingnya merumuskan pola perkaderan yang sesuai dengan
perkembangan zaman saat ini, namun perkaderan yang selama ini dilakukan juga
memiliki effek yang sangat baik terhadap peserta, hanya saja follow-up yang tidak
sistematis atau amburadul justru yang membuat peserta jenuh atau bahkan
meninggalkan organisasi HMI, maka penulis menambahkan satu bentuk
perkaderan yang dikonkritkan alurnya dalam bentuk follow-up yang nyata, yaitu:
fase yang dimulai dari penentuan criteria rekruitment, selanjutnya adalah
recruitment peserta, adapun masa perekruitan kader mesti dimulai dengan
penambahan materi yang lebih menarik, yakni dengan aadanya parade atau
semacam pertunjukkan bahkan bisa dengan menampilkan theatre yang
menceritakan tentang sejarah HMI, keaktifan lembaga seni mahasiswa Islam
dalam mendesign theatre merupakan salah satu bentuk perkaderan yang bagus,
dengan demikian para mahasiswa tidak hanya menikmati nuansa theatre tapi juga
dibangun ketertarikannya terhadap organisasi. Selanjutnya inovasi yang demikian
mesti diselaraskan dalam bentuk pelaksanaan training yang lebih kreatif, dimana
pengelolaan Lk1 benar-benar didasarkan pada pembentukan kepribadian kader,
jadi tidak perlu menjejalkan mereka dengan sekelumit materi, hanya bagaimana
member ransangan atau motivasi yang membuat peserta berkeinginan mendalami
setiap materi dalam kurikulum. Dalam hal ini aspek psikologis adalah hal penting
yang perlu diperhatikan terhadap setiap peserta. Finalisasi dari training, peserta
dengan sadar diri merasa betanggungjawab meningkatkan keilmuan serta
membentuk diri menjadi pribadi yang muslim. Namun, follow-up yang rutin dari
para instruktur menjadi penting dalam merawat semangat peserta, dengan
demikian pasca training, peserta diajak mengikuti pendalaman materi, kegiatan
tersebut bisa dilaksanakan dalam keadaan yang lebih santai dan variatif. Inovasi
yang tinggi adalah alat penting dalam merawat semangat militansi peserta.
Demikian juga dengan training LK-II dan LK-III, tindak follow-ip yang
dilakukan adalah mengajak peserta berperan langsung dalam isu-isu permasalahan
sosial, para instruktur menjadi partner peserta dalam menghimpunkan berbagai
informasi ataupun melakukan studi kasus. Sehingga konteks keilmuan semakin
terasah dan intelektual peserta cenderung terealisasikan dalam setiap analisis
masalah. Sehingga peserta training tidak hanya berkutat dalam forum namun
pasca forum mereka diajak terlibat langsung di lapangan. Demikian pentingya
follow-up guna merawat proses perkaderan, sehingga tidak mengalami
pengkerdialan regenerasi.

Anda mungkin juga menyukai