Anda di halaman 1dari 6

Evaluasi Status Respirasi

Evaluasi ini dilakukan sebelum pengobatan, setelah 1 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam, 12 jam

dan 24 jam pengobatan. Parameter yang dievaluasi untuk status respirasi ini yaitu Respiratory

rate, heart rate, pulsus paradoxus, penggunaan otot tambahan, mengi dan saturasi oksigen.

Data parameter diatas juga dapat mengevaluasi pulmonary score. Respiratory rate dihitung

dengan mengamati pergerakan abdomen dan dinding dada selama 1 menit ketika anak tidur.

Heart rate dan saturasi oksigen dimonitor dengan menggunakan hand-held oximeter. Pulsus

paradoxus diukur dengan sphygmomanometer dan stetoskop.

Analisis Statistik

Data dikoleksi dan dianalisis dengan bantuan software MS Excel dan SPSS 12.0. Mean

score dan standard deviation juga dihitung dan dicantumkan. Perbandingan antar grup

dievaluasi menggunakan uji Chi square ‘t’. Nilai kebenaran dari pulmonary score dihitung

dengan menggunakan uji student ‘t’, dimana nilai kebenaran ditentukan dengan p <0,05.

Hasil Penelitian

Selama masa penelitian dari November 2009 sampai Desember 2010, total 214 pasien

anak-anak menderita serangan asma akut. 80 pasien yang memenuhi persyaratan penelitian

dilakukan pembagian kedalam 2 grup secara acak. Grup I terdiri dari 37 pasien dan grup II 43

pasien. Seluruh pasien yang terbagi dalam kedua grup telah mendapat perlakuan yang sama.
Karakteristik yang diuji dalam kedua grup ditampilkan dalam tabel 1, selain itu kedua

grup juga dibandingkan beberapa karakteristik termasuk umur, anthropometri dan klinis.

Mean dari HR, RR, SaO2 dan pulmonary scores tidak menunjukan perbedaan yang

signifikan antar 2 grup. Setelah terapi, pulmonary scores menurun dikedua grup, penurunan

secara signifikan lebih pada grup I daripada grup II pada 1 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam setelah

pemberian terapi namun tidak signifikan pada 12 jam, 24 jam setelah pemberian terapi.
Diskusi

Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien yang mendapat terapi budesonide dan

prednisolon terhadap serangan asma akut mengalami perbaikan disemua karakteristik klinis

yang diuji termasuk pulmonary scores. Hasil penelitian ini didukung oleh fakta bahwa onset

yang cepat dari inhalasi kortikosteroid diperantarai oleh interaksi spesifik ataupun yang tidak

spesifik oleh corticosteroid-binding receptor yang ada pada membran sel saluran pernafsan

sehingga lebih cepat dalam menimbulkan efek detik hingga menit. Nebulisasi budesonide

ditoleransi oleh seluruh kelompok umur tanpa adanya efek samping yang nyata, sehingga terapi

inhalasi mungkin dapat berguna sebagai terapi paling awal dalam serangan akut eksaserbasi.

Penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa pengobatan yang berulang atau

berkelanjutan dari SABA merupakan pengobatan terbaik dalam memperbaiki obstruksi jalan

nafas. Pada pasien yang menderita asma eksaserbasi moderete dan severe namun tidak

merespon terhadap pengobatan SABA maka dibutuhkan terapi tambahan kortikosteroid.

Pengobatan ini mempercepat resolusi dari obstruksi, mengurangi angka relaps dan menurunkan

angka rawat inap. Prednisolon oral mempunyai efek yang sepadan dengan methyl prednisolon

secara intravena, namun dalam penggunannya, prednidolon oral lebih mudah.

Tidak ada standar atau konsensus yang membatasi dosis dan aturan pakai dari

budesonide inhalasi untuk asma eksaserbasi. Dosis dan aturan pakai dari budesonide inhalasi

ini cukup beragam dari penelitian sebelumnya yaitu 500mcg-1000mcg/kali pakai atau dosis

maksimal yaitu antara 2000mcg-3000mcg. Dalam penelitian ini digunakan dosis rekomendasi

budesonide 800mcg/kali dengan dosis maksimal 2400mcg dimana penentuan dosis ini diambil

dari penelitian sebelumnya. Efek vasokontriksi dapat tercapai dalam 30-60 menit setelah
penggunaan inhalasi, untuk memaksimalkan hasil pengobatan maka sebaiknya dikombinasi

dengan obat bronkodilator dengan dosis yang bervariasi.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah membahas perbandingan efek kortikosteroid

inhalasi dengan placebo, dan hasilnya inhalasi steroid dapat menurunkan pulmonary scores,

meningkatkan saturasi oksigen, dan menurunkan angka rawat inap. Penelitian sebelumnya juga

sudah membahas tentang perbandingan inhalsi steroid dengan oral, namun penelitian lanjutan

yang lebih besar dibutuhkan untuk menentukan dosis optimal dan aturan pakai inhalasi steroid

pada pasien asma eksaserbasi.

Ada beberapa keterbasan dalam penelitian ini, tidak dilakukannya pengukuran yang

obyektif terhadap fungsi paru dikarenakan pasien anak yang terlibat terlalu muda untuk

dilakukan pengukuran. Meskipun 65% pasien anak berusia antara 5-18tahun dapat dilakukan

pengukuran FEV1/PEF saat serangan, namun sisanya diamana pasien kurang dari 5tahun tdak

mungkin dapat diukur. Namun demikian, penggunaan pulmonary scores dalam penelitian ini

mempunyai korelasi yang bagus dengan pengukuran FEV1/FEV.

Kesimpulan

Kami menyimpulkan bahwa sebenarnya efek terapetik inhalasi dan sistemik

kortikosteroid hampir sama, namun penggunaan inhalasi steroid dapat lebih cepat

menghasilkan perbaikan kondisi yang signifikan. Ditmbah lagi pengunaan inhalasi yang non-

invasive, tidak nyeri dan mudah dilakukan baik untuk dokter dan pasien, maka pengobatan ini

dapat digunakan sebagai protokol dalam mengobati serangan asma eksaserbasi akut moderate

untuk anak. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis optimal serta aturan

pakai sehingga dapat digunakan sebagai standar manajemen (guidelines).

Anda mungkin juga menyukai