Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

KOLELITIASIS

A. KONSEP MEDIS

DEFENISI

Kolelitiasis adalah (kalkulus atau kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk


dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Batu
empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Smeltzer,
Suzanne, C. 2001).
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya. Batu empedu bisa terdapat pada
kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik.
Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak
di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis,
sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal
duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis (Muttaqin dan Sari, 2011).

ETIOLOGI
Faktor predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi
kandung empedu.
1. Perubahan komposisi empedu
Faktor tersebut merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu
empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini
mengendap dalam kandung empedu untuk membentuk batu empedu.
2. Statis empedu
Keadaan tersebut dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-
unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter
oddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon
kolesistokinin dan sekretin ) dapat dikaitkan dengan keterlambatan
pengosongan kandung empedu.
3. Infeksi kandung empedu
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu. Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat
dari terbentuknya batu ,dibanding panyebab terbentuknya batu.
Adapun faktor – faktor lain penyebab terjadinya cholelithiasis, antara lain
adalah usia yang semakin bertambah, penyakit tersebut juga paling sering
terjadi pada gender wanita, pengaruh pola hidup, pengkonsumsian obat-
obatan untuk menurunkan kadar serum kolesterol.

MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala akut

Tanda : epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme, saat akan melakukan inspirasi
pada pernafasan ketika di raba akan terdapat nyeri tekan, kandung empedu
membesar dan nyeri, ikterus ringan.
Gejala : Rasa nyeri (kolik empedu) yang menetap, mual dan muntah, febris
(38,5°C)
2. Gejala kronis

Tanda : biasanya tak tampak gambaran pada abdomen, kadang terdapat nyeri di
kuadran kanan atas.
Gejala : rasa nyeri (kolik empedu), tempat : abdomen bagian atas (mid
epigastrium), sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula kanan, mual
dan muntah, intoleransi dengan makanan berlemak, flatulensi, eruktasi
(bersendawa).
PATOFISIOLOGI
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea
lain dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian
kandung empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain
leher cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan.
Ketika empedu tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan
iritasi lokal dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung
empedu

MANIFESTASI KLINIS
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang
benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara
tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan
gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan
pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak
berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami
dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung
empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu
oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan
epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada
kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa
nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam
waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali
serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan
intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak
mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa
nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian
kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran
kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat
pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K
yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST
(SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila
obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di
fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik
bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping
itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur
ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.
5. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan
akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan
diit, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan
farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan
antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan
evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol
bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan
bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih.
Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien
mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu
radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam
kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat
dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang
sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati
dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada
dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru
dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama
6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan
pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien.
Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau
dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala
akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan
melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam
kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-
tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan,
atau bisa juga melalui endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang
diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan
listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan
ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan.
Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu
empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya
akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan
dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu
yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan
cara irigasi dan aspirasi.

2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup
kolesistektomi segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa
perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24
jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka
kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain
mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang
ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk
meneruskan bentuk penanganan ini.

c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari
kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier
tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah
empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk
drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter
itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah
empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga
peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk
menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai
setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang
mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini
mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien
gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum
yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung
empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi
untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian
sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk
dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan
bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi
berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter
ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan
bersama-sama kolesistektomi.

KOMPLIKASI
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat
menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-
alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang
dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi
alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat
terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh
batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam
empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses
peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian
dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan
perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local.
Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum,
dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga
terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
1. Melakukan anamnesse yang meliputi : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Aggama,
Alamat, Pendidikan dan Pekerjaan.
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama yang di rasakan klien saat ini
b) Riwayat kesehatan sekarang
c) Riwayat kesehatan massa lalu
d) Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola Aktivitas/Istirahat
a) Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan
Tanda : gelisah
b) Sirkulasi
Tanda : takikardi, berkeringat
c) Eliminasi
Gejala : perubahan warna urine dan feses
Tanda : distensi abdomen
d) Terba masssa pada kuadran atas
e) Urine pekat, gelap
f) Feses warna tanah liat, steatorea
g) Makanan/cairan
h) Gejiala : anereksia, mual/muntah
i) Tidak toleran terhadap lemak dan makanan “pembentuk lemak. Regurgitas
berulang, nyeri epigastrium, tidak dapt makan, flatus dyspepsia
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan
j) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat atas abdomen, dapat menyebar ke punggung atau bahu
kanan
k) Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan
l) Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan;
tanda Murphy positif
m) Pernapasan
Tanda : peningkatan prekuensi pernapasan
n) Pernapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal
o) Keamanan : demam, menggigil
p) Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal (pruritus)
q) Kecendrungan perdarahan (kekurangn vitamin K)
4. Riwayat Psiko, Sosial, Spiritual
 Pola koping
Sebelum sakit : Baik, dapat mengatasi masalah dengan sendiri tanpa
bantuan orang lain.

Selama sakit : Pasien terbaring lemah dan tidak bisa


mengambil/memutuskan suatu masalah.

 Harapan klien terhadap penyakitnya, pasien dan keluarga berharap klien bisa
sembuh dari penyakitnya.
 Faktor stressor : klien sangat khawatir dengan kondisinya.
 Konsep diri

Sebelum sakit : Klien dapat melakukan semua aktivitasnya dengan baik.


Selama sakit : Klien hanya terbaring lemah di tempat tidur.
 Pengetahuan klien tentang penyakitnya
Pasien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya
 Adaptasi
Sebelum sakit : klien mampu beradaptasi dengan lingkungannya
Selama sakit : Klien Terbaring Lemah dan tidak mampu beradaptasi
 Hubungan dengan anggota keluarga : Baik
 Hubungan dengan masyarakat : Baik
 Perhatian dengan orang lain dan lawan bicara :

Klien mampu menjawab ketika diberikan pertanyaan.


 Aktivitas social
Sebelum sakit : klien aktiv dengan melakukan sosialisasi, tolong-menolong.
Selama sakit : klien tidak mampu melakukan aktivitas
 Bahasa yang digunakan : Bahasa makassar
 Keadaan lingkungan : Baik
 Kegiataan keaggamaan baik saat sebelum sakit, tidak pernah dilakukaan saat
sakit.
 Keyakinan tentang kesehatan

Keluarga klien berharap agar klien cepat sembuh dan dengan pengobatan
dapat membuat klien lebih baik.

DIAGNOSA
1. Nyeri akut
2. Risiko infeksi
3. Risiko kekurangan cairan
4. Hambatan mobilitas fisik
5. Kekurangan integritas kulit

INTERVENSI
1) Nyeri akut
NOC :
Tujuan : kontrol nyeri
Skala : 1. Tidak pernah menunjukkan, 2. Jarang menunjukkan, 3. Kadang-kadang
menunjukkan, 4. Sering menunjukkan, 5. Secara konsisten menunjukkan.
Kriteria hasil :
2. Mengenali kapan nyeri terjadi
3. Menggunakan tindakan pencegahan
4. Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
5. Melaporkan nyeri yang terkontrol

NIC :
1. Manajemen nyeri

a. Indentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas


nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi pemberian analgesik
2) Risiko infeksi
NOC :
Tujuan : keparahan infeksi
Skala : 1. Berat, 2. Cukup berat, 3. Sedang, 4. Ringan, 5. Tidak ada
Kriteria hasil :
1. Kemerahan
2. Demam
3. Nyeri
NIC :
1. Pencegahan infeksi
a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
b. Batasi jumlah pengunjung
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
d. Anjurkan meningkatkan asupan cairan

3) Risiko kekurangan cairan


NOC :
Tujuan : hidrasi
Skala : 1. Sangat terganggu, 2. Besarly compromised, 3. Cukup terganggu, 4.
Sedikit terganggu, 5. Tidak terganggu
Kriteria hasil :
1. Membrane mukosa lembab
2. Haus
3. Kehilangan berat badan
NIC :
1. Manajemen cairan
a. Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis
b. Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
c. Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
4) Hambatan mobilitas fisik
NOC :
Tujuan : pergerakan
Skala : 1. Sangat terganggu, 2. Banyak terganggu, 3. Cukup terganggu, 4. Sedikit
terganggu, 5. Tidak terganggu
Kriteria hasil :
1. Keseimbangan
2. Gerakan otot
3. Gerakan sendi
NIC :
1. Dukungan mobilisasi
a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilitas
c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
5) Kekurangan integritas kulit
NOC :
Tujuan : integrita jaringan : kulit & membrane mukosa
Skala : 1. sangat terganggu, 2. Banyak terganggu, 3. Cukup terganggu, 4. Sedikit
terganggu, 5. Tidak terganggu
Kriteria hasil :
1. hidrasi
2. Integritas kulit
3. Jaringan parut
NIC :
1. Perawatan integritas kulit
a. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubaha sirkulasi,
perubahan status nutrisi, peurunan mobilitas)
b. Anjurkan air yang cukup
c. Anjurkan meningatkan asupan nutrisi
d. Anjurkan meningkatkan buah dan sayur

IMPLEMENTASI
Implementasi adalah tahap pelaksanaan terhadap tindakan keperawatan yang
telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilakukan sesuai
dengan rencana setelah dilakukan validasi di samping itu juga dibutuhkan
interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien dalam
situasi yang tepat dengan selalu memperlibatkan keadan psikososial.

EVALUASI
Merupakan tahap terakhir dari peroses keperawatan kegiatan evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yng telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan
tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. 3 alternatif dalam menentukan tujuan
tercapai :
1. Berhasil, perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal
ditetapkan tujuan
2. Tercapai, menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam tujuan
3. Belum tercapai, tidak mampu menunjukkan sama sekali perilaku yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA

Nuratif Huda Amir, Kusuma Narasi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasrkan
Diagnosa Medis Dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta.Medication Publishing.
TIM Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan keperawatan. Jakarta Selatan. Dewan Pengurus SUrat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
TIM Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnosa. Jakarta Selatan. Dewan Pengurus Surat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Moorhead Sue Dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan. Indonesia. CV. Mocimedia dan diterbitkan dengan
pengawasan with Elsevier Inc.
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi
dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai