Anda di halaman 1dari 54

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas case report ini mengenai “G3P2A0 gravida 24 minggu dengan
Haemorragic Antepartum et causa Plasenta Previa+Premature Kontraksi+Presyok”
sebagai salah satu syarat tugas dokter internship di RS Islam Pondok Kopi Jakarta
Timur periode 5 Februari 2019-03 Juni 2019.
Presentasi kasus ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya karena adanya
dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Kartini, SpOG selaku Pembimbing dan Narasumber
2. dr. Hj. Fitri Yanti selaku Pembimbing Dokter Internship
3. Rekan sejawat selaku dokter – dokter IGD RS Islam Pondok Kopi
4. Teman-teman sejawat dokter intrenship dan rekan perawat

Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari kata
sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan yang
membangun untuk menjadi lebih baik dan semoga presentasi kasus ini dapat
bermanfaat dengan baik.

Jakarta, April 2019

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir


fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit
jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Efusi cairan yang berupa transudat terjadi apabila hubungan normal antara
tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpi oleh pleura
lainnya. Penyebabnynya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal
jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan,
atelektasis paru dan pneumotoraks.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Ny. RF
Umur : 33 Tahun
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Kontraktor
Status Menikah : Menikah
Tanggal Periksa : 01 April 2019

Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan suami pasien pada hari Senin
tanggal 01 April 2019
Keluhan Utama : Keluar darah dari jalan lahir sejak 10 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien G3P2A0 mengaku hamil 24-25 minggu datang ke IGD RS Islam
Pondok Kopi dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 10 jam SMRS.
Darah yang keluar berwarna merah segar. Tidak terdapat jaringan yang keluar
bersama dengan perdarahan. Pasien tidak merasakan adanya nyeri seiring dengan
perdarahan yang terjadi. Pasien mengaku sudah mengganti pembalut sebanyak 4x
dan penuh dengan darah. Pasien mengaku merasakan perut yang kencang dan mulas
sejak perdarahan terjadi. Pasien mengaku sejak kehamilan 11 minggu mengalami
flek-flek.
Riwayat adanya trauma sebelumnya disangkal.
Pada tanggal 25 Maret 2019 pasien kontrol ke poli kandungan di RS
Tanggerang dan dari hasil USG dinyatakan letak plasenta berada dibawah bagian
perut.

3
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat Diabetes Melitus disangkal
 Riwayat Tekanan Darah Tinggi disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung disangkal
 Riwayat Asma disangkal
 Riwayat Kejang saat kehamilan disangkal
 Riwayat Alergi disangkal
 Riwayat Perdarahan saat kehamilan (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
 Riwayat penyakit jantung, hati, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
 Riwayat alergi tidak ada di keluarga.

Riwayat Kebiasaan :
 Riwayat penggunaan jarum suntik disangkal
 Riwayat merokok disangkal
 Riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal

Riwayat Haid :
 Menarche : 15 Tahun
 Siklus Haid : 30 hari, teratur
 Lamanya : 5 – 7 hari
 Banyaknya : Normal
 Riwayat KB : Tidak Ada
 HPHT : 21 Oktober 2018

Riwayat Perkawinan
Perkawinan ke - 1

4
Riwayat Obstetri
Anak Tanggal Umur Jenis Penolong Penyulit Sex BB Ket
ke - Persalinan Kehamilan Persalinan
1. 15/12/2007 Aterm (39 Normal Bidan Tidak Laki - Laki 4000 Hidup
minggu) ada gr
2. 15/01/2012 Aterm (39 Normal Bidan Tidak Perempuan 3500 Hidup
minggu) ada gr
3. Hamil ini

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital : Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 108x/menit, irama teratur,isi lemah
Suhu : 36.8o C
Pernafasan : 32 x/menit, regular
Status Gizi : BB : 44 kg
TB : 159 cm
IMT : 18,6 kg/m3 ( Normal )
Kepala : Normochepal, tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung : Deviasi septum -/-, sekret -/-
Mulut : Mukosa mulut lembab
Leher : Trakea terletak ditengah, KGB tidak teraba membesar,
kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5-2cm𝐻2 𝑂

Thoraks :
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 midclavikularis sinistra kuat
angkat

5
Perkusi : sulit dinilai karna pasien tidak bisa berbaring
Auskultasi : S1 S2 Normal reguler, murmur (-), galllop (-)

Paru - paru
Pemeriksaan depan
Inspeksi : Bentuk dada normal, luka (-), bekas luka (-), benjolan (-),
pelebaran sela iga (-).
Palpasi : Benjolan (-), nyeri tekan (-).
Perkusi : Lapang paru kanan dan kiri sonor.
Auskultasi : Ronkhi -/-,wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi : Membuncit, striae gravidarum (+)
Palpasi : Nyeri tekan (sulit dinilai), teraba kencang
Perkusi : Sulit dinilai
Auskultasi : Bising usus (sulit dinilai)

Ektremitas : akral dingin, crt > 2”, edema (-)

Status Obstetri
Inspeksi : Perut membucit, tidak ada bekas luka, tidak
ada bekas operasi, terdapat striae gravidarum
Auskultasi : Sulit dinilai
Palpasi : Nyeri tekan (sulit dinilai), teraba kencang
Tinggi Fundus Uteri : 20 cm
Taksiran Berat Janin : 550 gram
Denyut Jantung Janin : 157 x/menit
Kontraksi : Terdapat kontraksi
Inspekulo : Terdapat stolsel darah ostium, perdarahan
mengalir

6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 01 April 2019
Hematologi
No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1 Hemoglobin 9,6 g/dl 12,5-15,5 g/dl
2 Hematokrit 28 vol% 37-47 vol%
3 Leukosit 25 x 103/mm3 5,0 -10,0 x 103/mm3
4 Trombosit 234 x 103/mm3 150-400 x 103/mm3

Hemostasis

No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


1. Bleeding Time 2,00 minute 1,00 – 3,00
2. Cloating Time 4,00 minute 3,00 – 6,00

Resume
Pasien Laki-Laki (55 tahun) datang ke IGD RS Islam Pondok Kopi dengan
keluhan sesak napas sejak ± 3 jam SMRS. Sesak napas dirasakan pasien terus
menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas dirasakan sepanjang hari,
baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak sedikit berkurang dengan
perubahan posisi yaitu jika duduk. Sesak tidak disertai bunyi mengi atau ‘ngik-
ngik’. Sesak tidak berkurang dengan penggunaan 3 bantal saat tidur. Keluhan sesak
disertai dengan perut yang membesar dan kedua tungkai kaki pasien bengkak.
Keluhan batuk diakui pasien semenjak 1 minggu SMRS saat perut mulai membesar.
Keluhan nyeri dada disangkal. BAK seperti teh disangkal.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan pasien compos mentis, tampak sakit
sedang, TD 130/90 mmHg, HR 93x/menit, RR 32x/menit, suhu afebris. Dari
pemeriksaan fisik paru, didapatkan vocal fremitus kiri melemah, redup pada paru
kiri, dan suara napas vesikuler melemah pada paru kiri. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan dinding perut lebih besar dibandingkan dinding dada, terdapat asites.
Pada ekstremitas bawah didapatkan edem pada kedua tungkai disertai pitting edem.
Status generalis lain dalam batas normal. Hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan albumin 1.8 mg/dl, HBsAg reactive. Foto rontgen thorax menunjukkan

7
kesan efusi pleura sinistra. Serta hasil USG abdomen menunjukkan kesan sirosis
hepatis dengan hipertensi portal.
Diagnosis Banding
 G3P2A0 gravida 24 - 25 minggu dengan HAP et causa Plasenta Previa
Totalis
 G3P2A0 gravida 24 – 25 minggu dengan HAP et causa Solusia Plasenta
Diagnosis Kerja
G3P2A0 gravida 24 - 25 minggu dengan HAP et causa Plasenta Previa
Totalis
Anjuran pemeriksaan penunjang
 Laboratorium : Hb, Ht, Leukosit, Trombosit
 USG
Penatalaksanaan
- Pemberian oksigen menggunakan nasal canule 4 liter/menit
- Posisi Fowler
 Konsul dr. Muhammad Fachri Sp.P (07:25)
- Konsul Sp. PD
- Koreksi albumin target = 3 mg/dl
- Bisa dilakukan pungsi jika albumin target = 3 mg/dl
- Cek lab LED, Diff Count, Elektrolit
 Konsul dr. H. Lukman Ali Husin, Sp.PD (08:15)
- Infus D5 asnet
- Aldactone 50ml 1x1 pagi
- Lasix 1 amp (pre albumin)
- Albumin 20% 100cc
- Rawat ruang biasa

Prognosis
Prognosis Ibu
• Quo ad vitam : dubia ad bonam
• Quo ad fungsional : dubia ad bonam
• Quo ad sanationam : dubia ad bonam

8
Prognosis Janin
 Quo ad vitam : ad malam
 Quo ad fungsional : ad malam
 Quo ad sanationam : ad malam

Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi
17/3/2018 S: Perut membesar (+), kaki P/
bengkak (+), mata berwarna - IVFD D5 asnet
T:130/90 kuning (+), batuk (+) Sesak (+) - Aldacton 1x1
mmHg - Lasix 1 amp (pre
N:92 x/mnt O: CM, tampak sakit sedang albumin)
P:28 x/mnt Anemis (-) Ikterus (+) Sianosis - Albumin 20% 100 cc
S: 36,8 °C (-)
Leher: JVP tidak meningkat
Thorax: BP Vesikuler.
Fremitus vokal dan Fremitus
Taktil Menurun pada
hemithoraks S, rh +/+ wh -/-
Cor: BJ I.II reguler
Abd: BU sulit dinilai, Hepar
sulit dinilai
Lien sulit dinilai
Ascites Shifting dullness (+)
Eks: udem +/+ ekstremitas
bawah, pitting edem +/+
spider nevi (-) eritema
palmaris (-)

Foto rontgen : Efusi Pleura Kiri


Lab :
Hb: 9.7 g/dl
Ht : 29 vol%
SGOT : 51.20 U/L
SGPT : 20.50
Albumin : 1.8 mg/dl

A: Efusi Pleura Sinistra ec


Sirosis hepatis dekompensata

18/3/2018 S: Perut membesar (+), kaki R/


bengkak (+), mata berwarna - Albumin 20% 100cc
kuning (+), batuk (+) Sesak (+)

9
T:130/70 O: CM, tampak sakit sedang - Spironolactone 100mg
mmHg Anemis (-) Ikterus (+) Sianosis 1x1
N:88 x/mnt (-) - Lasix 1x2 amp
P:22 x/mnt Leher: JVP tidak meningkat
S: 36,7 °C Cor: BJ I.II reguler
Pulmo: BP Vesikuler. Fremitus
vokal dan Fremitus Taktil
Menurun pada hemithoraks S,
rh +/+ wh -/-
Abd: BU sulit dinilai, Hepar
sulit dinilai
Lien sulit dinilai
Ascites Shifting dullness (+)
Eks: udem +/+ ekstremitas
bawah, pitting edem +/+
spider nevi (-) eritema
palmaris (-)

Lab:
Hb : 9.5 g/dl
Ht : 28 vol%
Tr : 107 x 103/mm3
Albumin : 1.9 mg/dl
HbsAg : 5856.000 Reactive

A: Efusi Pleura Sinistra ec


Sirosis hepatis dekompensata

21/3/2018 S: Perut membesar (+), kaki R/


bengkak (+), mata berwarna - Albumin 20%100cc
T:130/80 kuning (+), batuk (+) Sesak - Spironolactone 100mg
mmHg (+)namun sudah tidak 1x1
N: 84 x/mnt memberat - Lasix 1x2 amp
P: 22 x/mnt O: CM, tampak sakit sedang
S: 36.9 °C Anemis (-) Ikterus (+) Sianosis
(-)
Cor: BJ I.II reguler
Pulmo: BP Vesikuler. Fremitus
vokal dan Fremitus Taktil
Menurun pada hemithoraks S,
rh -/- wh -/-
Abd: BU sulit dinilai, Hepar
sulit dinilai
Lien sulit dinilai
Ascites Shifting dullness (+)
(+)

10
Lab:
Albumin : 2.4 mg/dl

A: Efusi Pleura Sinistra ec


Sirosis hepatis dekompensata

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Sirosis Hepatis

Anatomi Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, berkontribusi sekitar 2% dari total
berat badan atau sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Hati merupakan organ plastis
lunak dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Permukaan superior berbentuk
cembung dan terletak dibawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri.
Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung,
pankreas, dan usus. Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis yang tidak
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan
dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh
peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat
langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan
peritoneum membantu menyokong hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan
penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi seluruh
permukaan organ; kapsula ini melapisi mulai dari hilus atau porta hepatis di
permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka
untuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu.

Gambar 1. Permukaan anterior hati [5]

12
Gambar 2. Permukaan posterior hati
Histologi Hati
Setiap lobus hati terbagi
menjadi struktur-struktur
yang dinamakan lobulus,
yang merupakan unit
mikroskopis dan fungsional
organ. Setiap lobulus
merupakan badan
heksagonal dengan diameter
antara 0,8 – 2 mm yang
Gambar 3. Struktur dasar lobulus hati [4]
terdiri atas lempeng-lempeng
sel hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara
lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, tang
merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti kapiler lain,
sinosoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer merupakan sistem
monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing
lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai massa sel monosit-
makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati, jadi hati merupakan
salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan organ toksik.
Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian
perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular
membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang dinamakan kanalikuli, berjalan
ditengah-tengah lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit

13
diekskresi ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang
semakin lama semakin besar (duktus koledokus).

Gambar 4. Pola lobular hati normal


Vaskularisasi Hati
Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta, dan aorta melalui arteria hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah
darah arteria dan sekitar dua pertiga adalah darah dari vena porta. Volume total
darah yang melewati hati setiap menit adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena
hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior.
Vena porta bersifat unik karena terletak antara dua daerah kapiler, satu dalam hati
dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang
yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian
mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-lobulus.
Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara lempengan
hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobulus
membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali menyatu dan membentuk
vena hepatika. Cabang-cabang terhalus dari arteria hepatika juga mengalirkan
darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteria dari arteria
hepatika dan darah vena dari vena porta. Peningkatan tekanan dalam sistem ini
sering menjadi manifestasi gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan
pembuluh-pembuluh darimana darah portal berasal. Beberapa lokasi anastomosis

14
portakaval memiliki arti klinis yang penting. Pada obstruksi aliran ke hati, darah
porta dapat dipirau ke sistem vena sistemik.
Fisiologi Hati
Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada
hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan khususnya bertanggung jawab atas lebih
dari 500 aktivitas berbeda. Untunglah hati memiliki kapasitas cadangan yang besar,
dan hanya dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati mampu mempertahankan
kehidupan. Destruksi total atau pembuangan hati mengakibatkan kematian dalam
10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Pada sebagian besar
kasus, pengangkatan sebagian hati, baik karena sel sudah mati atau sakit, akan
diganti dengan jaringan hati yang baru.
Tabel 1. Fungsi utama hati
Fungsi Keterangan
Pembentukan dan ekskresi Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi
empedu lemak dan vitamin yang larut dalam lemak di usus.
Metabolisme garam empedu
Metabolisme pigmen empedu Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir
metabolisme pemecahan sel darah merah yang sudah tua;
proses konjugasinya.
Metabolisme karbohidrat Hati memegang peranan penting dalam mempertahankan
Glikogenesis kadar glukosa darah normal dan menyediakan energi
Glikogenolisis untuk tubuh. Karbohidrat disimpan dalam hati sebagai
Glukoneogenesis glikogen.
Metabolisme protein Protein serum yang disintesis oleh hati termasuk albumin
Sintesis protein serta α dan β globulin (γ globulin tidak).
Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh hati adalah
fibrinogen (I), protrombin (II), dan faktor V, VII, VIII, IX,
dan X. Vitamin K diperlukan sebagai kofaktor pada
sintesis semua faktor ini kecuali faktor V.
Pembentukan urea Urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH3, yang
Penyimpanan protein (asam kemudian diekskresi dalam kemih dan feses.
amino)

15
NH3 dibentuk dari deaminsasi asam amino dan kerja
bakteri usus terhadap asam amino.
Metabolisme lemak Hidrolisis trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan
lipoprotein (diabsorbsi dari usus) menjadi asam lemak dan
gliserol.
Ketogenesis
Sintesis kolesterol Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol,
sebagian besar diekskresi dalam empedu sebagai
kolesterol atau asam kolat.
Penyimpana lemak
Penyimpanan vitamin dan Vitamin yang larut lemak (A, D, E, K) disimpan dalam
mineral hati; juga vitamin B12, tembaga dan besi.
Metabolisme steroid Hati menginaktifkan dan mensekresi aldosteron,
glukokortikoid, estrogen, dan testosteron.
Detoksifikasi Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat
berbahaya menjadi zat-zat tidak berbahaya yang
kemudian dieksresi oleh ginjal (misalnya obat-obatan)
Ruang penampung dan fungsi Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir
penyaring kembali dari vena kava (payah jantung kanan); kerja
fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari
darah.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utam ahati; saluran
empedu hanya mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dan
mengeluarkan empedi ke usus halus sesuai kebutuhan. Hati mensekresi sekitar 1
liter empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit,
garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin) kolesterol, dan pigmen empedu
(terutama bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan
absorbsi lemak dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka
sebagian besar garam empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami resirkulasi ke
hati, serta kembali dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu)
merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun

16
merupakan petunjuk penyakit hati dan saluran empedu yang penting, karena
bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan yang berkontak dengannya.
Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan
yang dikirimkan oeh vena porta pasca absorbsi di usus. Bahan makanan tersebut
adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah
menjadi glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini,
glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan
untuk menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam jaringan subkutan. Hati mampu mensintesis glukosa dari protein
dan lemak (glukoneogenesis). Peranan hati pada metabolisme sangat penting untuk
kelangsungan hidup. Semua protein plasma, kecuali gamma globulin, disintesis
oleh hati. Protein ini termasuk albumin yang diperlukan untuk mempertahankan
tekanan osmotik koloid, dan protrombin, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan
lain. Selain itu, sebagian besar degradasi asam amino dimulai dalam hati melalui
proses deaminasi atau pembuangan gugus amonia (NH3). Amonia yang dilepaskan
kemudian disintesis menjadi urea dan disekresi oleh ginjal dan usus. Amonia yang
terbentuk dalam usus oleh kerja bakteri pada protein juga diubah menjadi urea
dalam hati. Fungsi metabolisme hati yang lain adalah metabolisme lemak,
penyimpanan vitamin, besi, dan tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal
dan gonad, serta detoksifikasi sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Fungsi
detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati melalui oksidasi,
reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya, dan mengubahnya
menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Zat-zat seperti indol, skatol, dan fenol
yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada asam amino dalam usus besar dan zat-zat
eksogen seperti morfin, fenobarbital, dan obat-obat lain, didetoksifikasi dengan
cara demikian.
Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan karena
letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada sinusoid
menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan dengan cara
fagositosis.

17
Regenerasi Hati
Berbeda dengan organ padat lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai
kemampuan beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah
terbatas, maka sekelompok sel pruripotensial oval yang berasal dari duktulus-
duktulus empedu akan berproliferasi sehingga membentuk kembali hepatosit dan
sel-sel bilier yang tetap memiliki kemampuan beregenerasi. [
Dari penelitian model binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari tikus dapat
mengalami pembelahan hingga ± 34 kali, atau memproduksi jumlah sel yang
mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian dpaat
dikatakan sengatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hingga 2/3 dari
seluruh hati.

Etiologi
Secara konvensional, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan sebagai makronodular
(besar nodul lebih dari 3 mm), mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm), atau
campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan
etiologi dan morfologis.
Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis
menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik), biliaris, kardiak,
dan metabolik,keturunan, dan terkait obat
Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik, sedangkan di
Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Berdasarkan hasil
penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis
sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya
tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non C).
Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga frekuensinya sangat kecil
walaupun belum terdapat data yang menunjukkan hal tersebut.

Patofisiologi
Gambaran patologi hati biasanya mengerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari
nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dna lebar. Gambaran
mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat

18
bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim
regenerasi yang susunannya tidak teratur.
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai
peranan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses
degradasi. Pembenrukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan.
Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misal: hepatitis
virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus menerus maka fibrosis akan berjalan
terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan digantikan oleh
jaringan ikat.

Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis) sehingga
kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rtin atau
karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,
19
berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah
dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis
dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan darah,
perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti
teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah
lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.. Mungkin disertai
hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi

Gambar 5. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis [1]

20
Pemeriksaan Fisis

Gambar 6. Manifestasi hipertensi portal

Gambar 7. Manifestasi kegagalan fungsi hati


Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider
telangiektasis), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil.
Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya
belum diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula pada orang sehat,
walau umumnya ukuran lesi kecil.
Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, arthritis
rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.

21
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi
hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik
berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus,
distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminism. Kebalikannya pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga diduga fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Tanda
ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali
sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik.
Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.
Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila
konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap,
seperti air teh.
Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-ngepak
dari tangan, dorsofleksi tangan.

Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya:


 Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
 Batu pada vesika felea akibat hemolisis

22
 Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat
sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi
insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Pemeriksaan Penunjang
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada
waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi
keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali fosfatase,
gamma glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil oksaloasetat
transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil
piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengeyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis billier primer.
Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkohol
kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatic, juga bisa
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan
hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin.
Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang.
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan eksresi air bebas.

23
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali
kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
a. Sirosis Hepatis Kompensata

24
b. Sirosis Hepatis Dekompensata

25
26
Gambar 8. Algoritma untuk evaluasi tes fungsi hati abnormal
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta. Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin
digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan
USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa.
Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada
peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites,
splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma
hati pada pasien sirosis.
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin
digunakan karena biayanya relatif mahal.
Magnetic Resonance Imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis
sirosis selain mahal biayanya.

Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas
hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.

27
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20 sampai
40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan berbagai cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom
hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal.
Tabel 2. Grade ensefalopati hepatik

Penatalaksanaan
Sekali diagnosis Sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus tanpa
dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum
alcohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan
suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang mengandung
protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.

28
Penatalaksanaan sirosis kompensata
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan
etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat
mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin dan
obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid
atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan
mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg
secara oral setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12
bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa
diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan,
namun ternyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU
tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah
kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan
stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi
utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata bisa merupakan salah satu
pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan
pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek antiperadangan dan
mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam penelitian sebagai
anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai
antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penlitian.
Penatalaksanaan sirosis dekompensata
Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-
obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200
mg sehari.Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bilamana

29
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites
sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin. [2]
Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia.
Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet
protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang.
Varises esophagus, Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan
obat β-blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim
intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur
keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.
Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu.

Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh, juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang
akan manjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada
tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child
A, B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan hidup
selama satu tahun pada pasien. Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk
penderita sirosis dengan Child-Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-masing 100,
80, dan 45%

30
Tabel 3. Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis
Faktor Unit 1 2 3
Serum µmol/L < 34 34−51 > 51
bilirubin mg/dL < 2,0 2,0−3,0 > 3,0
Serum albumin g/L > 35 30−35 < 30
g/dL > 3,5 3,0−3,5 < 3,0
Prothrombin Detik 0−4 4−6 >6
time pemanjangan
INR < 1,7 1,7-2,3 > 2,3
Ascites Tidak ada Dapat Tidak dapat
dikontrol dikontrol
Hepatic Tidak ada Minimal Berat
encephalopathy

31
TINJAUAN PUSTAKA
Efusi Pleura

A. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari

dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa

cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya

mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan

cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah

yaitu < 1,5 gr/dl.

B. Etiologi

A. Berdasarkan Jenis Cairan

 Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.

 Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.

Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui

pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan,

pleura.

Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga

kriteria berikut

ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga

criteria ini:

 Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

 LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

32
 LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang

normal didalam serum.

Efusi pleura berupa :

a) Eksudat, disebabkan oleh :

1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,

Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-

6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,

malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat

dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan

efusi.

2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh

bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun

anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,

Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-

lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin

33
dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari

rongga pleura.

3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat

terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi

melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat

juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya

cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan

nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk

ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi

yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan

jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala

febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,

mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral

dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi

ini diduga karena :

 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi

kebocoran kapiler.

 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,

bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran

balik sirkulasi.

34
 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra

pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan

berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin

menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis

dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi

pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).

6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,

abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai

predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna

purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini

dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada

empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4

indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi

parapneumonik:

 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada

nilai pH bakteri.

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik

yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam

saja.

7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,

Skleroderma.

35
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi

parapneumonik.

b) Transudat, disebabkan oleh :

1. Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab

lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.

Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik

dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada

pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan

menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran

getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke

rongg pleura dan paru-paru meningkat.

Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga

menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan

adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.

Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi

dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera

menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita

amat sesak.

2. Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura

dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan

bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan

36
memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang

terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui

lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi

biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan

dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol

asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang

dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal

venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui

bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan

skelorasis.

4. Meig’s Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita

dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan

sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor

ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites

timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi

pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus

di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi

unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga

37
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti

dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.

c) Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar

Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah

hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini

mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya

diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka

biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

C. Patofisiologis

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura

berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang

saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi

filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan

diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan

yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya

kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan

cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan

dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada

sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

38
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari

rongga pleura.

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh

peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,

39
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar

pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena

pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga

pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah

tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru (Halim et al.,

2007).

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain

bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,

dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis

konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks (Halim et al., 2006).

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial

berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam

rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena

mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa

(Halim et al., 2006). Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif

atau eksudatif.

D. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan

fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan

analisa cairan pleura.

40
E. Manifestasi Klinis

a. Gejala Utama.

Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika

mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah

sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul

akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri

tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,

menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi

(kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak

riak.

Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi

penumpukan cairan pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.

 Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak

lebih cembung

 Palpasi. Penurunan fremitus vocal atau taktil

 Perkusi. Pekak pada perkusi,

 Auskultasi. Penurunan bunyi napas

Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila

terjadi atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat

menyebabkan bunyi napas bronkus (Ward et al., 2007).

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan

berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang

sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah

41
(raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam

keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung

(garis Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi

redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga

Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong

mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati

vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir

penyakit terdengar krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang.

Foto thoraks

Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang

terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti

kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian

medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul (Davey., 2003). Pada

pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan

mengikuti posisi gravitasi (Halim et al., 2006).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik

maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk.

Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris

posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran

cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap

aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

42
a. Warna cairan.

Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-

santrokom).

b. Biokimia.

Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya

dapat dilihat pada tabel dibawah:

c. Sitologi.

Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila

ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.

 Sel neutrofil: pada infeksi akut

 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau

limfoma maligna).

 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru

 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma

 Sel giant: pada arthritis rheumatoid

 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik

 Sel maligna: pada paru/metastase.

d. Bakteriologi.

43
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat

mengandung mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob.

Paling sering pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas,

enterobacter (Halim et al., 2006).

Biopsi Pleura.

Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan

tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,

penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada (Halim et al., 2006).

F. Penatalaksanaan

Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).

Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,

aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis

dapat dilakukan sebagai berikut:

1. penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul

atau diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi

dapat dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.

2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks,

atau di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea

aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup.

3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan

dengan jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan

aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampaui

44
rendah sehingga mengenai diahfrahma atau terlalu dalam

sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai

rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura parietalis

tebal.

Gambar 2. Metode torakosentesis

4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500

cc pada setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru

akibat pengembangan paru secara mendadak. Selain itu

pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak

menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang

berat, dan hipotensi.

45
Pemasangan WSD.

Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara

lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:

1. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7,

8, 9 linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea

medioklavikuralis.

2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan

transversal selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.

3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.

4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem

sampai mendapatkan pleura parietalis.

5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan

kemudian trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk

memastikan posisi selang toraks.

6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta

dibebat dengan kasa dan plester.

7. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura.

Ujung selang dihubungkan dengan botol penampung cairan

pleura. Ujung selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam

sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam

rongga pleura.

46
Gambar 3. Pemasangan jarum WSD

8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat

undulasi pada selang, kemungkinan cairan sudah habis dan

jaringan paru mengembang. Untuk memastikan dilakukan foto

toraks.

9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan

jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat

ekspirasi maksimum.

G. Diagnosa Banding

o Konsolidasi paru akibat pneumoni

o Keganasan paru dengan disertai kolaps paru

o Pneumotoraks

o Fibrosis paru

47
H. Prognosa

Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh

sendiri setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.

48
Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh
manusia, yaitu sekitar 55 - 60% dari protein serum yang terukur. Albumin terdiri
dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585
asam amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang
menghubungkan asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin
berbentuk elips sehingga bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan
viskositas plasma dan terlarut sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh
fungsi laju sintesis, laju degradasi dan distribusi antara kompartemen intravaskular
dan ektravaskular. Cadangan total albumin sehat 70 kg) dimana 42% berada di

kompartemen plasma dan sisanya dalam kompartemen ektravaskular.9

Sintesis albumin hanya terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan 12


- 25 gram/hari. Pada keadaan normal hanya 20 - 30% hepatosit yang memproduksi
albumin. Akan tetapi laju produksi ini bervariasi tergantung keadaan penyakit dan
laju nutrisi karena albumin hanya dibentuk pada lingkungan osmotik, hormonal dan
nutrisional yang cocok. Tekanan osmotik koloid cairan interstisial yang membasahi

hepatosit merupakan regulator sintesis albumin yang penting.9

Degradasi albumin total pada dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar 14


gram/hari atau 5% dari pertukaran protein seluruh tubuh per hari. Albumin dipecah
di otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar 10% dan 10% sisanya
merembes ke dalam saluran cerna lewat dinding lambung. Produk degradasi akhir
berupa asam amino bebas. Pada orang sehat kehilangan albumin lewat urine
biasanya minimal tidak melebihi 10-20 mg/hari karena hampir semua yang
melewati membran glomerolus akan diserap kembali.

Fungsi Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang berfungsi sebagai berikut:
1. Mempertahankan tekanan onkotik plasma agar tidak terjadi asites
2. Membantu metabolisme dan tranportasi berbagai obat-obatan dan senyawa
endogen dalam tubuh terutama substansi lipofilik (fungsi metabolit, pengikatan zat
dan transport carrier)

49
3. Anti-inflamasi

4. Membantu keseimbangan asam basa karena banyak memiliki anoda bermuatan
listrik

5. Antioksidan dengan cara menghambat produksi radikal bebas eksogen oleh
leukosit polimorfonuklear

6. Mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga dapat mencegah masuknya
kuman-kuman usus ke dalam pembuluh darah, agar tidak terjadi peritonitis
bakterialis spontan
7. Memiliki efek antikoagulan dalam kapasitas kecil melalui banyak gugus
bermuatan negatif yang dapat mengikat gugus bermuatan positif pada antitrombin
III (heparin like effect). Hal ini terlihat pada korelasi negatif antara kadar albumin

dan kebutuhan heparin pada pasien heemodialisis. 

8. Inhibisi agregrasi trombosit 

Indikasi Pemberian Albumin pada Sirosis Hepatis
Terdapat berbagai indikasi untuk memberikan infus albumin bagi pasien
sirosis hati, seperti memperbaiki kondisi umum, mengatasi asites atau mengobati
sindroma hepatorenal. Dari sekian banyak alasan pemberian albumin ada empat

indikasi yang ditunjang oleh data uji klinis memadai, yaitu:9



1. Peritonitis bakterialis spontan

2. Sindroma hepatorenal tipe 1

3. Sebagai pengembang plasma sesudah parasentesis volume besar (>5 liter)

4. Meningkatkan respons terapi diuretika
Selain itu masih ada beberapa indikasi lain yang masih menjadi kontradiksi,
misalnya pada sirosis hati dengan hipoalbuminemia berat yang disertai penyulit
atau pasien sirosis hati yang akan menjalani operasi besar. Tidak ditemukannya
kesepakatan untuk memberikan infus albumin pada beberapa indikasi klinis
berkaitan dengan lemahnya data penelitian yang dapat dijadikan bukti penunjang.
Meskipun begitu sebagian klinisi tetap memberikannya dengan berdasarkan
laporan-laporan kasus, pendapat pakar maupun pengalaman pribadi.
Cara Pemberian Albumin
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian albumin adalah:
1. Kecepatan infus

50
a. Pada infus albumin 20% kecepatan maksimal adalah 1 ml/ menit 

b. Pada infus albumin 5% kecepatan maksimal adalah 2-4 ml/ menit 

2. Pada tindakan parasentesis volume besar (>5 liter)
a. Dosis albumin yang diberikan adalah 6-8 gram per 1 liter cairan asites
yang dikeluarkan.
b. Cara pemberian adalah 50% albumin diberikan dalam 1 jam pertama
(maksimum 170 ml/jam) dan sisanya diberikan dalam waktu 6 jam
berikutnya.
3. Sindroma hepatorenal tipe 1
a. Pada keadaan ini albumin diberikan bersama-sama dengan obat-obat
vasoaktif seperti noradrenalin, oktreotid, terlipressin atau ornipressin.
b. Cara pemberiannya adalah:
 Hari pertama: 1 gram albumin/kg BB. 
Hari
kedua dan seterusnya: 20-40 gram/hari kemudian dihentikan bila CVP
(Central Venous Pressure) >18 cm H2O.
4. Peritonitis bakterialis spontan
a. Pada keadaan ini, infus albumin diberikan pada dosis 1,5 g/kgBB dengan
disertai pemberian antibiotik yang sesuai.
b. Cara pemberian: infus albumin diberikan pada saat diagnosis PBS dibuat
dan diberikan dalam waktu 6 jam. Pada hari ke-3 infus albumin diberikan
dengan dosis 1 gram/kgBB.

51
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Raymon T. Chung, Daniel K. Podolsky. Cirrhosis and its complication. In:
Kasper DL et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62
2. Nurdjanah S. Sirosis hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. p. 443-6.
3. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C, editor.
Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 1994. p. 426-
63.
4. Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In Textbook of medical physiology.
11th ed.: Elsevier; 2006. p. 859-64.
5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic
Atlas].: Saunders/Elsevier; 2003.
6. Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, K. MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 415-9.
7. Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of
pathophysiology: concepts of altered health states. 2nd ed.: Lippincott Williams
& Wilkins; 2004. p. 494-516.
8. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2005. p.
1808-13.
9. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta
: 2008.

52
10. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua.
EMS. Jakarta : 2008.
11. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.
12. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

53
54

Anda mungkin juga menyukai