Disusun Oleh:
dr. Adinda Nurani Putri
Pembimbing:
dr. H. Muhammad Fachri, SpP
dr. Hj. Fitri Yanti
Disusun Oleh :
dr. Adinda Nurani Putri
Tanggal :
30 Mei 2019
------------------------------------------
dr. Atik Mufidah, Sp. JP
------------------------------------------
dr. Atik Mufidah, Sp. JP
------------------------------------------
dr. Atik Mufidah, Sp. JP
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul penurunan kesadaran et causa sepsis dan tb paru dalam waktu yang
telah ditetapkan. Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter
internship di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi 2019.
Dengan disusunnya laporan kasus ini, penulis berharap agar dapat
memberikan wawasan dan pemahaman kepada para pembaca mengenai keadaan
kegawatdaruratan pada bagian ilmu kandungan dan ginekologi yang masih banyak
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang
teliti dan segera.
Penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penulis dalam pengerjaan tugas ini sehingga tugas ini dapat selesai tepat
pada waktunya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis
agar dapat memperbaikan penulisan selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa dengan pasien
disangkal.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien
Kepala
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Sclera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bulat isokor,
RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-), Perdarahan dari liang telinga (-)
Mulut : Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-)
Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5 – 2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha
tidak ada pembesaran.
Thorax
Paru-Paru
Inspeksi : simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan
dinamis, dan tidak ada kelainan kulit
Palpasi : Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri
tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris kanan
dan kiri.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang.
Peranjakan paru (+)
Auskultasi : Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah
kasar, Wheezing -/-,
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting
dullness (-), ketok CVA (-)
Palpasi :Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4 kuadran
abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung kemih tidak
teraba,Undulasi (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema -/-.
RADIOLOGI
I.7 Resume
Pasien datang ke IGD RSI Jakarta Pondok Kopi dengan keluhan sesak napas
sejak 1 minggu. Sesak dirasakan hilang timbul dan bertambah berat jika pasien batuk.
Sesak timbul perlahan dan tidak menetap.
Selain itu juga pasien mengeluh batuk sejak lebih dari 1 tahun, batuk disertai
dahak berwarna putih kehijauan dan dirasakan setiap hari. Pasien mengaku pernah
batuk disertai darah. Keluhan sering berkeringat saat malam dan napsu makan
berkurang diakui pasien. Pasien juga mengeluh berat badannya semakin menurun.
Demam dirasakan oleh pasien hilang timbul.
Pasien dalam pengobatan TB Paru 2 minggu.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan : TD : 85/69 mmHg, Nadi : 123 x/menit, Suhu
: 39,3 oC, Pernafasan : 40 x/menit. Terdapat rhonki di kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan lab di dapatkan leukositosis, hipokalemi, gds-ureum,creatinine
meningkat. Dan analasisa gas darah didapatkan asidosis respiratorik terkeompensasi
penuh. Dan dari pemeriksaan radiologi terdapat massa di paru kanan kesan Tumor.
FOLLOW UP
19 Maret 2019. Jam 14.10
S/- O/ A/ P/
KU : Lemah Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
Kesadaran : Somnolen kesadaran e.c IVFD RL
GCS : E3V5M6 sepsis Paracetamol drip 1
TD : 105/79 mmHg Elektrolit gram
N : 110 x/m imbalance Konsul dpjp :
R : 32 x/m CKD IVFD NaCl 0,9% /
S : 39.3 10 jam
Mata : CA-/-, SI-/- Injeksi merophenem
Thorax : 3x1
Cor Pulmo DBN
B I, II reg, G - M – Nebulize ventolin 4
Ves +/+ Wh -/- Rh +/+ x1
Abdomen : BU +, supel Nebulizer pulmicort
Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/- 4x1
KSR 3 x 1
Lanjut OAT 1 x 3
Adanya tumor
Rawat isolasi
Rawat bersama
interna
Saran rujuk
19 Maret 2019. Jam 16.30
S/- O/ A/ P/
KU : Lemah Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
Kesadaran : Delirium kesadaran e.c IVFD NaCl 0,9% /
GCS : E2V3M4 sepsis 10 jam
TD : 73/32 mmHg Elektrolit Injeksi merophenem
N : 113 x/m imbalance Vascon 0,05 = 1,5
R : 30 x/m CKD
S : 38.3
Mata : CA-/-, SI-/-
Thorax :
Cor Pulmo DBN
B I, II reg, G - M –
Ves +/+ Wh -/- Rh +/+
Abdomen : BU +, supel
Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
S/ O/ A/ P/
Apneu TD : tidak terukur Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
N : tidak teraba arteri carotis kesadaran e.c IVFD NaCl 0,9% /
R : tidak ada sepsis 10 jam
Mata : Pupil midriasis Elektrolit Injeksi merophenem
imbalance Vascon 0,05 = 1,5
CKD RJP 30:2
Injeksi adrenalin 2
ampul
Bagging +
Tidak ada respon
Keluarga menilak
ETT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
II.2 ETIOLOGI
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis11.
II.4. Patogenesis
II.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas,
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.
II.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan
tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin
lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan
sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai.
Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan
sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3,
seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi
TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang
yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit
aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3
sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.
TB
TB paru BTA (-)
TB ekstraparu
Kasus baru
Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop Out
Kasus gagal
pengobatan
Kasus kronik
3) Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal
adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis.
Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol.
Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi
manifestasi utamanya.
4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial
Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru
yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan
mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial
menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan
cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronchitis
tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis
utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya
sangat infeksius.
5) Tuberkulosis Tulang
Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi
tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang,
biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra
secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar
limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung
yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis.
Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.
6) Tuberkulosis Genitourinarius
Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria
mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi
yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan.
Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat
tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada
perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai
prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat
ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui
dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan
asam.
7) Adenitis Tuberkulosis
Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis
II.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3
bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan6. Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT1.
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.
8) Pasien TB Milier
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan
demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40
mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.
1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi
keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.
2) Evaluasi bakteriologi
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi
pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti
biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.
3) Evaluasi radiologis
Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan6.
5) Kriteria sembuh6:
a) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat.
b) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap
sama/perbaikan.
c) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan
negatif.
II.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1) Terapi pencegahan.
2) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan
Terapi pencegahan4:
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
II.12 Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting,
penyuluhan dapat dilakukan secara6:
1) Perorangan/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lain-
lain.
2) Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien,
kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, dan lain-
lain.
Cara memberikan penyuluhan :
a) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada.
b) Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui
tingkat penerimaannyasebagai bahan untuk penatalaksanaan
selanjutnya.
c) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal
yang belum jelasd.
d) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah
dimengerti, kalau perludengan alat peraga (brosur, leaflet dan
lain-lain)
TUMOR PARU
DEFINISI
Kanker paru adalah penyakit dengan ciri khas adanya pertumbuhan sel yang tidak
terkontrol pada jaringan paru-paru.(2)
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kanker paru merupakan kanker paling sering, setelah kanker
prostat pada pria dan kanker payudara pada wanita. American Cancer Society
memproyeksikan ada 221.220 kanker pada paru dan bronkus akan didiagnosis di
Amerika Serikat pada tahun 2014, dengan 158.040 kematian. Sekitar 85% dari kanker
ini adalah NSCLC. Di Amerika Serikat, insiden kanker paru semakin menurun sejak
pertengahan tahun 1980-an. Di Inggris prevalensi kejadiannya mencapai
40.000/tahun, sedangkan Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak, di RS
Dharmais jakarta tahun 1998 menduduki peringkat ketiga setelah kanker payudara
dan rahim. Angka kematian akibat kanker paru di seluruh dunia mencapai kurang
lebih satu juta penduduk tiap tahunnya. Karena sistem pencacatan kita yang belum
baik prevalensi pastinya belum diketahui pasti, tapi klinik tumor dan paru di Rumah
Sakit merasakan benar peningkatannya. Di negara berkembang lain dilaporkan
insidennya naik denngan cepat antara lain karena konsumsi rokok berlebihan seperti
di China yang mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru
mengenai pria (65%).(2)
ETIOLOGI
Penyebab dari kanker paru, adalah sebagai berikut:
1. Rokok (78% pada laki-laki, dan 90% pada wanita).
Prevalensi rokok pada Amerika menurun pada 4 dekade terakhir ini. Pada
tahun 2012, diestimasikan terdapat 42,1 juta perokok aktif di Amerika Serikat.
Prevalensi perokok secara keseluruhan menurun dari 20,9% tahun 2005, ke
18,1% pada 2012. Secara mendunia, insiden merokok pada negara
berkembang pesat, hampir 320 juta perokok pada negara China saja.(1)
Perkembangan kanker paru berkaitan langsung dengan jumlah puntung
rokok yang dihisap, lamanya memiliki riwayat merokok, dan kandungan tar
dan nikotin pada rokok. Resiko tentunya tinggi pada perokok dari pada non
perokok. Penelitian yang besar menemukan bahwa perokok yang persisten
memiliki 16 kali lebih beresiko untuk terkena kanker paru, yang semakin
berlipat ganda jika mulai meroko pada usia kurang dari 16 tahun.
Walaupun merokok adalah penyebab utama dari kanker paru, baru-baru
ini ditemukan bahwa adanya perbedaan kerentanan terhadap karsinogen antara
laki-laki dan perempuan yang terpapar tembakau. Perbedaan ini mungkin
karena adanya perbedaan mekanisme perbaikan DNA, yang walaupun masih
kontroversial, ditemukan bahwa perempuan lebih rentan untuk terjadinya
adenokarsinoma dari stadium ke stadium, perempuan dapat hidup lebih lama.
Resiko terkena kanker paru menurun dengan penghentian rokok.
Penelitian jangka lama, menunjukkan bahwa resiko tinggi menetap pada 10
tahun pertama setelah penghentian dan secara perlahan menurun hingga 2 kali
lipat, sekitar 30 tahun penghentian rokok.
Rokok mengandung N-nitrosamin yang karsinogenik dan aromatik
polisiklik hidrokarbon yang dapat diinhalasi secara pasif oleh perokok pasif.
Kandungan karsinogen pada urin pada non-perokok adalah 1-5%. Sebanyak
25% kanker paru pada non-perokok diidentifikasi sebagai perokok pasif.
2. Paparan terhadap asbes
Paparan terhadap asbes menunjukkan kontribusi yang kuat terhadap kanker
paru, mesotelioma malignan, dan fibrosis pulmonal. Paparan asbes dapat
meningkatkan resiko pertumbuhan kanker paru sebanyak 5 kali lipat.
Rokok dan paparan asbes bekerja secara sinergis dan jika terpapar bersamaan,
resiko terkena kanker paru 80-90 kali daripada populasi kontrol.
3. Paparan terhadap radium/radon
Randon adalah gas inert yang dihasilkan sebagai uranium yang hancur.
Paparan terhadap randon adalah faktor resiko kanker paru pada pekerja
tambang uranium. Sekitar 2-3% dari tumor paru diestimasikan disebabkan
oleh paparan randon. Namun pengguna uranium pada perumahan tidak
ditemukan bukti menyebabkan kanker paru.
4. Halogen ether
5. Paparan arsen
6. Paparan terhadap radioisotop
7. Polusi atmosfer
Tidak seperti keganasan lainnya, yang sebagian besar etiologinya tidak
diketahui, kanker paru dikenal sebagai penyakit yang disebabkan oleh rokok
sebanyak 90% pasien. Karena tidak semua perokok berkembang menjadi kanker
paru, dan tidak semua pasien kanker paru memiliki riwayat merokok, maka faktor
lain juga memiliki peran sebagai penyebab, baik secara mandiri ataupun berkaitan
dengan merokok. Studi oleh Bagnardi et al menemukan bahwa alkohol bukanlah
etiologi secara mandiri pada kanker paru. Faktor genetik mungkin berkontribusi pada
semua populasi, namun kontribusi faktor lain adalah spesifik pada populasi tertentu.
PATOFISIOLOGI
Kedua paparan (secara lingkungan maupun okupasional) pada partikel agen
serta sensitivitas individu pada partikel ini berkontribusi terhadap terjadinya kanker
paru. Pada Amerika Serikat, merokok secara akatif bertanggung jawab sekitar 90%
pada terjadinya kasus kanker paru. Paparan okupasi yang bersifat karsinogenik ada
sekitar 9-15% penyebab karsinoma paru.(1)
Rokok mengandung lebih dari 300 substansi berbahaya dengan sedikitnya 40
yang diketahui poten karsinogenik. Poliaromatik hidrokarbon dan nicotine-derived
nitrosamine ketone diketahun menyebabkan kerusakan DNA pada binatang
percobaan. Benzo-A-pyrine juga terlihat menyebabkan mutasi pada p53 dan gen
supresor tumor lainnya. Sebagai tambahan, penyakit paru lain seperti PPOK, fibrosis
pulmonel idiopatik, dan tuberkulosis terlihat berhubungan dengan meningkatnya
frekuensi kanker.(1)
Penelitian oleh Ito et al mengemukakan bahwa perubahan tipe histologik pada
kanker paru di Jepang dan Amerika berhubungan dengan perubahan tipe rokok dari
non-filter menjadi filter. Studi tersebut menyatakan bahwa perubahan tipe sel terjadi
sebagian besar pada kanker paru, yang berubah dari SCC menjadi adenokarsinoma.(1)
Teknik molekular yang canggih telah mengidentifikasi pembesaran onkogen
dan inaktivasi dari gen tumor supresor pada NSCLC. Penemuan yang paling penting
adalah mutasi melibatkan ras onkogen. Keluarga ras onkogen mempunyai 3 anggota:
H-ras, K-ras, dan N-ras. Gen ini mengkode protein pada bagian dalam dari membran
sel dengan aktivitas guanosin trifosfat dan mungkin melibatkan transdukis sinyal.
Penelitian pada manusia menyatakan aktivasi tiga ras tersebut berkontribusi pada
progresivitas tumor pada kanker paru. Mutasu ras ini terjadi terutama pada
adenokarsinoma dan ditemukan pada 30% kasus tersebut. Namun mutasi ini tidak
ditemukan pada adenokarsinoma yang berkembang pada pasien yang tidak merokok.
Abnormalitas molekular ditemukan juga pada NSCLC termasuk mutasi pada
onkogen c-myc dan c-raf pada gen tumor supresor.(1)
Penelitian Bruin dan kolega menemukan bahwa adalah periode yang lama
antara dimulainya mutasi dan gejala klinis, yang terlihat setelah mutasi baru
mengstimulasi perkembangan penyakit secara cepat. Pada beberapa perokok, mutasi
inisial terjadi ketika mereka sedang merokok sekitar 20 tahun yang lalu. Semakin
waktu berjalan, mutasi tersebut dikendalikan oleh protein yang disebut APOBEC.(1)
Kanker paru secara umum dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu SCLC dan
NSCLC. NSCLC berkisar antara 85% dari semua kanker paru. NSCLC dibagi lagi
menjadi adenokarsinoma dan SCC, dan karsinoma sel besar.
1. Adenokarsinoma: terbentuk dari kelenjar mukosa bronkus, adalah kanker
NSCLC yang paling sering di Amerika Serikat, merepresentasikan 35-40%
dari semua kanker paru. Tipe ini adalah subtipe yang ditemukan lebih
banyak pada orang yang tidak merokok, yang biasanya terjadi pada lokasi
perifer dari paru, pada beberapa kasus di tempat yang dulunya memiliki
jejas, atau inflamasi.
Karsinoma bronkoalveolar berasalh dari pneumosit tipe II dan bertumbuh
sepanjang alveolar septa. Subtipe ini mungkin bermanifestasi sebagai nodul
perifer yang soliter, multifokal, atay bentuk pneumonik yang berkembang
cepat. Karakteristik yang ditemukan pada pasien dengan penyakit yang
sudah parah adalah sputum yang cair dan banyak
2. Karsinoma sel skuamosa: terdiri dari 25-30% dari semua kasus kanker paru.
Kalau adenokarsinoma adalah di tempat yang perifer, maka KSS ini
ditemukan pada bagian sentral dari paru. Manifestasi klasik adalah lesi
kavitas pada bronkus proksimal. Tipe ini secara histologis memiliki
karakteristik adanya mutiara keratin dan dapat dideteksi dengan uji sitologi
karena memiliki kecenderungan untuk mengelupas. Tipe ini adalah tipe yang
paling sering berhubungan dengan hiperkalsemia.
3. Karsinoma sel besar: sekitar 10-15% dari seluruh kasus kanker paru, yang
secara tipikal sebagai masa perifer yang besar pada rontgen toraks. Secara
histologis, ditemukan sel-sel yang atipik dengan nekrosis fokal, dan tidak
ditemukannya keratinisasi (seperti pada KSS) atau pembentukan kelenjar
(seperti pada adenokarsinoma).
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis.
Bila sudah menampakkan gejala berarti sudah stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat:
Lokal (tumor tumbuh setempat):
o Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
o Hemoptosis
o Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
o Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
o Atelektasis
Invasi lokal
o Nyeri dada
o Dispnoe karena efusi pleura
o Invasi ke perikardium.
o Sindroma vena kava superior
o Sindrom Horner
o Suara serak, karena penekanan pada nervus laringeal rekurer
Gejala Penyakit Metastasis
o Pada otak, tulang, hati, adrenal
o Limfadenopati servikal dan supraklavikula
Sindrom Paraneoplastik: terdapat pada 10% kanker paru dengan gejala:
o Sistemik: penurunan BB, anoreksia, demam
o Hematologi: leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
o Hipertrofi osteoartropati
o Neurologik: dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
o Endokrin: sekresi berlebihan pada hormon paratiroid
(hiperkalsemia)
o Dermatoologik: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
Asimtomatis dengan kelainan radiologis:
o Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang
terdeteksi secara radiologis
o Kelainan berupa nodul soliter(1)
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis
di luar paru, seperti kelainan yang timbul akibat kompresi hebat di otak,
pembesaran hepar, atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas,
seperti:
Berat badan berkurang
Nafsu makan hilang
Demam hilang timbul
Sindrom paraneoplastik, seperti “Hypertropic pulmonary
osteoartheopathy”, trombosis vena perifer dan neuropatia
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang
didapat sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru
ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan meberikan
hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk
penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor di luar paru.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan
funduksopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur
sebagai akibat metastasis ke tulang.(2)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Gambaran Radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis,
serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan
radiologi paru yaitu foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks,
bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk
menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis.
a. Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda
yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat
ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar
dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada
seorang penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas
untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang
tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis
penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT
yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1
bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain
masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah
pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan
dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut Bila foto
toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti
dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau
pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor
primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b. CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di
paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat
mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih
tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus,
tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan
telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa
gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang
sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena
pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
c. Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan CT-
scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya
metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain,
misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala /
jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi
metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ
lain dalam rongga perut.
2. Pemeriksaan Khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus
dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar
dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya
masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti
terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol,
hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan yang
abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding
bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
b. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya
karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol,
maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan
biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada
posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan memberikan informasi
ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi metastasis
KGB subkarina atau paratrakeal.
d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk
fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus
dilakukan.
5. Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi
histologis menurut WHO tahun 1999, tetapi untuk kebutuhan klinis cukup
jika hanya dapat diketahui:
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma) Berbagai keterbatasan
sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami
kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat.
TNM
Stage
T N M
Occult Carcinoma Tx N0 M0
0 Tis N0 M0
IA T1 N0 M0
IB T2 N0 M0
II A T1 N1 M0
II B T2 N0 M0
III A T3 N2 M0
T3 N3 M0
III B Seberang T N3 M0
T4 Seberang N M0
IV Seberang T Seberang N M1
Keterangan:
T : Tumor Primer
T0 : Tidak ada bukti adanya tumor primer.
Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan
sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tammpat
secara radiologis atau bronkoskopi.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak lebih dari 3 cm, dikelilingi
oleh jaringan paru atau pleura visceral dan secara bronkoskopik invasi
tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkus
utama). Tumor supervisial sebarang ukuran dengan komponen invasif
terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus
utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut:
Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal
Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif
yang meluas ke daerah hilus, tetapi belum mengenai seluruh
paru
6. Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif
yang dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international untuk
menilai tampilan ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak
dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai skala tampilan WHO.
Tampilan inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya kemoterapi atau
radioterapi kuratif diberikan.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada
jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medis
seperti fasiliti yang dimiliki rumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan
faktor yang amat menentukan. Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk
KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine
modality therapy”, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA.
Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti
kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip pembedahan adalah
sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner,
dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya
dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan
potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB
mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi
anatomis.(1)
PROGNOSIS
Angka kematian karena kaner paru tinggi. Di Eropa, survival 5 tahun sekitar
11%. Angka survival 5 tahun yang paling tinggi yang dilaporkan terdapat di Amerika
Serikat. Amerika Serikat mencatat dari tahun 2004-2010 bahwa angka survival
selama 5 tahun dari kanker paru sekitar 16,8%, yang merefleksikan perkembangan
yang membaik walaupun lambat yaitu dari 12,5 % di tahun 1975. Namun, tingkat
survival seseorang tergantung dari stage kanker paru yang dideritanya. Estimasi
survival 5 tahun berdasarkan stage penyakit adalah sebagai berikut:
Stage IA - 75%
Stage IB - 55%
Stage IIA - 50%
Stage IIB - 40%
Stage IIIA - 10-35%
Stage IIIB – kurang dari 5%
Stage IV – kurang dari 5%
PENCEGAHAN
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang
dikandung asap rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat
kaitan kuat antara kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat
disangkal lagi menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang
dapat dilakukan. Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data
bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi
daripada mereka yang tidak terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di
atas adalah wajar bahwa pencegahan utama kanker paru berupa upaya memberantas
kebiasaan merokok. Menghentikan seorang perokok aktif adalah sekaligus
menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif. Pencegahan Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma Di Indonesia 3 harus diusahakan sebagai usaha perang
terhadap rokok dan dilakukan terus menerus. Program pencegahan seharusnya diikuti
dengan tindakan nyata anti-rokok yang melibatkan tenaga medis dan mahasiswa FK
dan non-FK.(3)
TINJAUAN PUSTAKA
SEPSIS
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu
protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding
protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh
faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS
akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga
mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan
transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin
kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang
menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14
terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2
(TLR2).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram
positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai
superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.
Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting
cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T
dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.
Gambar 6. Skema Infeksi – Sepsis
a. Peran sitokin pada sepsis
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi
dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel
menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan
regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi
molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth
factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-
α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang
pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2
(TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti
bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan
serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem
komplemen. Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator
inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi
anti-inflamasi.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang
terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak
disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ
multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada
tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke
organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya
faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan.
Syok septik
Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi cairan yang adekuat
telah diberikan, disertai adanya kelainan perfusi.
a. Anamnesis
Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi
mengenai faktor resiko potensial terjadinya infeksi, berhubunagn dengan
patogen spesifik pada area jaringan tertentu.
b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum pasien, tanda-tanda vital.
Gambaran klasik sepsis berat adalah pasien hipermetabolik dengan
temperatur tinggi, takikardia, takipnea, sirkulasi vasodilatasi
hiperdinamik, tekanan diastolik rendah.
c. Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim dijumpai,
leukopenia bisa saja terjadi. Seringkali laju endap darah meningkat.
Kadar laktat darah umumnya meningkat seperti halnya kadar gula
darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien dengan disfungsi
liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus, miokardium, dan
koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain
dapat berhubungan dengan sumber infeksi mula-mula. Pengambilan
level laktat harus dalam 3 jam.
o Kultur
o Biomarker
Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk
menentukan patern akut inflamasi dari sepsis.
2. Variabel inflamasi
- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)
- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
3. Variabel hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressure
menurun >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di
bawah normal sesuai usia)
Pada sebuah studi in vitro didapatkan hasil bahwa hipergilkemia seperti yang
terjadi pada diabetes melitus dapat merusak performa Polymorphonuclear
(PMN). Seperti diketahui bahwa PMN ini berperan besar dalam innate
immune system. Pada pasien diabetes melitus telah diteliti bahwa terjadi
penurunan fungsi sel PMN, aderens ke endotel, kemotaksis, dan fagositosis
dan kemampuan bakterisid. Hiperglikemia terbukti memperpanjang durasi
respon sitokin. Hal ini diperkirakan berhubungan diabetes tipe 2 yaitu
ditemukan perpanjangan waktu dalam produksi sitokin.
Sebuah literatur mengemukakan tentang hasil penelitian preklinik dan klinik
mengenai terjadinya sepsis pada diabetes. Di antaranya, dikemukakakan
bahwa diabetes melitus berdampak langsung terhadap adaptive immune
system. Hasil penelitian Spatz et al menunjukkan terjadi penurunan proliferasi
dan gangguan fungsi sel T yang berpengaruh terhadap produksi antiinflamasi
dan proinflamasi serta defek pada Antigen Presenting Cell (APC). Mekanisme
lain yang diduga berkaitan dengan perkembangan sepsis pada pasien diabetes
melitus adalah bahwa diabetes melitus memicu disfungsi endotel dan
procoagulant state. Mekanisme yang sama merupakan bagian dari
patofisiologi.
2. Terapi antimikroba
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur
diambil. Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan
mortalitas. Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi
ke tempat yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba empiris tergantung
pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan antibiotik
sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen
berdasarkan komunitas dan rumah sakit.
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom
syok toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien
tertentu. Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan
untuk pasien dengan sulit untuk disembuhkan,
Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan mengenani
virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus aureus dan
resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk gram negatif
bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.
- terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,
amfoterisin B).
- Pemilihan terapi antibiotik definitif tergantung pada tipe patogen,
karakteristik pasien, dan regimen terapi rumah sakit. Karena pasien dengan
sepsis berat atau syok septik punya latar yang sedikit untuk menentukan
terapi, maka terapi pilihan inisial harus spektrum luas untuk dapat melawan
patogen luas. Setelah patogen kausatif diidentifikasi, baru dilakukan de-
eskalasi dengan memakan agen antimikroba yang sesuai patogen tersebut,
lebih aman, dan biaya yang paling efektif. Dapat juga digunakan
antimikroba kombinasi setelah tes susceptibilitas dilakukan,
Kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk pasien dengan syok septik dari
infeksi bakteri Steptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris ini
sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi menggunakan
single-agent terapi yang tepat setelah ada profil patogen yang kemungkinan
menginfeksi teridentifikasi. Terkecuali, pada monoterapi aminoglikosida,
khususnya pada P. Aeruginosa karena untuk mencegah endocarditis, maka
prolong terapi harus dilakukan. Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10
hari. Penentuhan meneruskan, menurunkan, atau menghentukan terapi
intimikrobial tergantuk pada informasi klinis pasien.
Terapi antiviral diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis berat
atau syok septik dengan penyebab virus.
- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi untuk
komplikasi
- terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan zanamivir) untuk
H1N1 virus, influenza A(H3N2), influenza B.
4. Pencegahan Infeksi
Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus
diketahui dan diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kasus
pneumonia yang terkait ventilator. Hal ini harus menjadi perhatian pada
pelayanan kesehatan secara efektif.
5. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi
pada sepsis berat dan syok septik.Oksigenasi pada keadaan hipoksemia
berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja
ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan
pada sepsis berat dan syok septik.
Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis
ketika pasien membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.
Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai
minimal 30 ml/kg dari kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan
jumlah cairan yang lebih banyak mungkin dibutuhkan oleh beberapa
pasien.
c. Vasopresor
Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata
(MAP) 65 mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama vasopressor.
Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi dari
norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan untuk menjaga
tekanan darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit dapat
ditambahkan pada norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan MAP atau
menurunkan dosis norepinefrin. Dopamin dapat menjadi alternative
vasopressor selain norepinefrin hanya pada pasien tertentu. Misalnya pada
pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau
relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan pada pengobatan syok septik
kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang berhubungan dengan
aritmia yang serius, curah jantung diketahui akan tinggi atau tekanan
darah akan secara persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat ketika
kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah
telah gagal untuk mencapai target MAP. Dopamin dosis rendah
seharusnya tidak digunakan untuk proteksi renal.
d. Terapi Inotropik
Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam
keadaan disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena peningkatan
tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah atau gejala
hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai volume intravascular
secara adekuat dan MAP yang cukup.
e. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati
pasien dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi
vasopressor dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal tersebut
tidak tercapai, direkomendasikan untuk memakai hidrokortison saja
dengan dosis 200mg per hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes
stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik
yang seharusnya menerima hidrokortison. Pasien dalam terapi
hidrokortison diturunkan dosisnya jika vasopressor tidak lagi digunakan.
Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi sepsis tanpa syok.
g. Imunoglobulin
Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan
sepsis berat atau syok septik
h. Selenium
Tidak menggunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.