Anda di halaman 1dari 99

LAPORAN KASUS

PENURUNAN KESADARAN ET CAUSA SEPSIS


dan
TB PARU

Disusun Oleh:
dr. Adinda Nurani Putri

Pembimbing:
dr. H. Muhammad Fachri, SpP
dr. Hj. Fitri Yanti

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RS ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
MEI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Dengan Judul :


PENURUNAN KESADARAN ET CAUSA SEPSIS dan TB PARU

Diajukan sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter internship


di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Disusun Oleh :
dr. Adinda Nurani Putri

Tanggal :
30 Mei 2019

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

dr. Hj Fitri Yanti


dr. H. Muhammad Fachri, SpP dr. Hj. Fitri Yanti

------------------------------------------
dr. Atik Mufidah, Sp. JP

dr. Hj Fitri Yanti


dr. Hj Fitri Yanti

------------------------------------------
dr. Atik Mufidah, Sp. JP
------------------------------------------
dr. Atik Mufidah, Sp. JP
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul penurunan kesadaran et causa sepsis dan tb paru dalam waktu yang
telah ditetapkan. Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter
internship di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi 2019.
Dengan disusunnya laporan kasus ini, penulis berharap agar dapat
memberikan wawasan dan pemahaman kepada para pembaca mengenai keadaan
kegawatdaruratan pada bagian ilmu kandungan dan ginekologi yang masih banyak
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang
teliti dan segera.
Penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penulis dalam pengerjaan tugas ini sehingga tugas ini dapat selesai tepat
pada waktunya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis
agar dapat memperbaikan penulisan selanjutnya.

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... 1

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4

BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 45


BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit infeksi ditandai


dengan disfungsi organ yang mengancam nyawa dan merupakan masalah kesehatan
di dunia saat ini. Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat karena ada
gangguan dalam pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan
penanganan kegawat daruratan segera. WHO mengestimasikan terdapat 21.600.000
kejadian abortus di seluruh dunia pada tahun 2008. Angka kematian akibat abortus di
dunia yaitu 30 per 100.000 kelahiran hidup. Di negara berkembang, kejadian unsafe
abortion sekitar 21.200.000 dengan rate 16 per 1000 wanita usia 15- 44 tahun. Angka
kejadian abortus tidak aman di Asia Tenggara yaitu 3.130.000 dengan rate 22 per
1000 wanita usia 15- 44 tahun. Tingginya angka abortus tidak aman ini menyumbang
47.000 kematian ibu di negara berkembang dan 2.300 kematian ibu di Asia
Tenggara.8

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan


bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutamaparu-paru. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk6.
BAB I

I.1 Identitas Pasien


Nama : Ny.S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 62 Tahun
Alamat : Kp. Cipinang Muara
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 19 Maret 2019
No.Rekam Medis : 879453
I.2 Anamnesis (Aloanamnesis)
Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSI Jakarta Pondok Kopi dengan keluhan sesak napas
sejak 1 minggu. Sesak dirasakan hilang timbul dan bertambah berat jika pasien batuk.
Sesak timbul perlahan dan tidak menetap. Keluhan sesak disertai dengan napas
berbunyi dan terbangun malam hari karena sesak disangkal pasien. Pasien mengeluh
nyeri dada yang tidak menjalar ke bagian lain. Penderita masih dapat tidur dengan 1
bantal.
Selain itu juga pasien mengeluh batuk sejak lebih dari 1 tahun, batuk disertai
dahak berwarna putih kehijauan dan dirasakan setiap hari. Pasien mengaku pernah
batuk disertai darah. Keluhan sering berkeringat saat malam dan napsu makan
berkurang diakui pasien. Pasien juga mengeluh berat badannya semakin menurun.
Demam dirasakan oleh pasien hilang timbul. Buang air besar dan buang air kecil
diakui pasien tidak ada keluhan.
Pasien dalam pengobatan TB Paru 2 minggu.
Pasien menyangkal adanya mual, muntah. pasien menyangkal adanya riwayat
trauma pada dada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pengobatan paru sebelumnya diakui pasien 1,5 tahun yang lalu namun
hanya berlangsung 3 bulan pengobatan. Pasien mengaku tidak meneruskan
pengobatan karena alasan masalah keluarga sehingga tidak dapat memperhatikan dan
meneruskan pengobatan penyakit parunya.
Riwayat asma, kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung maupun penyakit
kuning disangkal pasien.

Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa dengan pasien
disangkal.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien

I.3 Pemeriksaan Fisik (diperiksa tgl 2 April 2014)


Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E3M6V5
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 15,62 (status gizi kurang)
TD : 85/69 mmHg
Nadi : 123 x/menit
Suhu : 39,3 oC
Pernafasan : 40 x/menit

Kepala
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Sclera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bulat isokor,
RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-), Perdarahan dari liang telinga (-)
Mulut : Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-)

Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5 – 2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha
tidak ada pembesaran.

Thorax
Paru-Paru
Inspeksi : simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan
dinamis, dan tidak ada kelainan kulit
Palpasi : Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri
tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris kanan
dan kiri.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang.
Peranjakan paru (+)
Auskultasi : Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah
kasar, Wheezing -/-,

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting
dullness (-), ketok CVA (-)
Palpasi :Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4 kuadran
abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung kemih tidak
teraba,Undulasi (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema -/-.

I.4 Pemeriksaan Penunjang


LABORATORIUM
TEST RESULT REFERENSI
Hematologi
Hemoglobin L 12.0 12.5 – 15.5 mg/dL
Leukosit H 34.3 5.0 – 10.0 10^3/uL
Hematokrit 37 37 – 47 %
Trombosit 269 150 – 400 10^3/uL
Elektrolit
Natrium 137 132 – 145 mmol/L
Kalium L 2.84 3.50 – 5.50 mmol/L
Clorida L 88 98 – 110 mmol/L
Chemistry
Glukosa Darah Sewaktu H 229 70 – 200 mg/dL
Urea HH 120 10 – 50 mg/dL
Creatinine H 1,8 0.51 – 0.95 mg/dL
Analisa Gas Darah
Temperature 39.3 C
PH 7.442 7.350 – 7.450
PCO2 H 51.1 35.0 – 45.0 mmHg
PO2 88.7 75.0 – 100.0 mmhg
HCO3 H 32.3 22.0 – 24.0 mmol/L
Base excess H 9.9 -2.5 – 2.5 mmol/L
O2 saturation 95.9 94.0 – 98.0 %

RADIOLOGI

Kesan : Terdapat massa di paru kanan


I.5 Diagnosa Kerja
Penurunan kesadaran e.c sepsis + elektrolit imbalance + CKD

I.6 Diagnosa Banding


 Pneumonia
 Tumor Paru
 Ca Paru

I.7 Resume
Pasien datang ke IGD RSI Jakarta Pondok Kopi dengan keluhan sesak napas
sejak 1 minggu. Sesak dirasakan hilang timbul dan bertambah berat jika pasien batuk.
Sesak timbul perlahan dan tidak menetap.
Selain itu juga pasien mengeluh batuk sejak lebih dari 1 tahun, batuk disertai
dahak berwarna putih kehijauan dan dirasakan setiap hari. Pasien mengaku pernah
batuk disertai darah. Keluhan sering berkeringat saat malam dan napsu makan
berkurang diakui pasien. Pasien juga mengeluh berat badannya semakin menurun.
Demam dirasakan oleh pasien hilang timbul.
Pasien dalam pengobatan TB Paru 2 minggu.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan : TD : 85/69 mmHg, Nadi : 123 x/menit, Suhu
: 39,3 oC, Pernafasan : 40 x/menit. Terdapat rhonki di kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan lab di dapatkan leukositosis, hipokalemi, gds-ureum,creatinine
meningkat. Dan analasisa gas darah didapatkan asidosis respiratorik terkeompensasi
penuh. Dan dari pemeriksaan radiologi terdapat massa di paru kanan kesan Tumor.

I.8 Tata Laksana


 O2 10 lpm (MNRB)
 IVFD RL
 Nebulizer : combivent + bisolvon (1:1)
I.9 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad malam
 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

FOLLOW UP
19 Maret 2019. Jam 14.10
S/- O/ A/ P/
KU : Lemah  Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
Kesadaran : Somnolen kesadaran e.c IVFD RL
GCS : E3V5M6 sepsis Paracetamol drip 1
TD : 105/79 mmHg  Elektrolit gram
N : 110 x/m imbalance Konsul dpjp :
R : 32 x/m  CKD IVFD NaCl 0,9% /
S : 39.3 10 jam
Mata : CA-/-, SI-/- Injeksi merophenem
Thorax : 3x1
Cor Pulmo DBN
B I, II reg, G - M – Nebulize ventolin 4
Ves +/+ Wh -/- Rh +/+ x1
Abdomen : BU +, supel Nebulizer pulmicort
Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/- 4x1
KSR 3 x 1
Lanjut OAT 1 x 3
Adanya tumor
Rawat isolasi
Rawat bersama
interna
Saran rujuk
19 Maret 2019. Jam 16.30
S/- O/ A/ P/
KU : Lemah  Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
Kesadaran : Delirium kesadaran e.c IVFD NaCl 0,9% /
GCS : E2V3M4 sepsis 10 jam
TD : 73/32 mmHg  Elektrolit Injeksi merophenem
N : 113 x/m imbalance Vascon 0,05 = 1,5
R : 30 x/m  CKD
S : 38.3
Mata : CA-/-, SI-/-
Thorax :
Cor Pulmo DBN
B I, II reg, G - M –
Ves +/+ Wh -/- Rh +/+
Abdomen : BU +, supel
Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-

20 Maret 2019. 05.12


S/ O/ A/ P/
bradikardi KU : Lemah  Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
Kesadaran : Koma kesadaran e.c IVFD NaCl 0,9% /
GCS : E1V1M1 sepsis 10 jam
TD : 89/47 mmHg  Elektrolit Paracetamol drip 1
N : 45 x/m imbalance gram
R : 16 x/m  CKD Vascon 0,05 = 1,5
S : 39.6 RJP 30:2
Mata : CA-/-, SI-/- Injeksi adrenalin 2
Thorax : ampul
Cor Pulmo DBN
B I, II reg, G - M – Bagging +
Ves +/+ Wh -/- Rh +/+
Abdomen :
BU +, Supel
Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
20 Maret 2019. Jam 06.20

S/ O/ A/ P/
Apneu TD : tidak terukur  Penurunan O2 10 lpm (MNRB)
N : tidak teraba arteri carotis kesadaran e.c IVFD NaCl 0,9% /
R : tidak ada sepsis 10 jam
Mata : Pupil midriasis  Elektrolit Injeksi merophenem
imbalance Vascon 0,05 = 1,5
 CKD RJP 30:2
Injeksi adrenalin 2
ampul
Bagging +
Tidak ada respon
Keluarga menilak
ETT
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS

II.1 Definisi dan Epidemiologi


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsif 6,8,9.
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated
hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain.
Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi
perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian4.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat
lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah
urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang
vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan
zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding
piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM3.
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus
per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu
350 per 100.000 penduduk6.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul6.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia6.
Latar belakang penulisan sari pustaka ini adalah untuk mempelajari dan
mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, cara penularan, patogenesis, klasifikasi,
gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, DOTS,
pencegahan, cara pencatatan dan pelaporan Tuberkulosis paru.

II.2 ETIOLOGI
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis11.

II.3 Cara Penularan


Penyakit Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk,
dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa.
Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang
biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah),
dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab
itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru,
otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain,
meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru11.
Gambar 2. Penyebaran bakteri Tuberkulosis11.

Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka


dengan segera akan tumbuh koloni bakteri y ang berbentukglobular (bulat). Biasanya
melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha
dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi
jaringan parut dan bakteri Tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan
foto rontgen11.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel
bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam
paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).
Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi Tuberkulosis10.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial
ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari
infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan
jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya
infeksi Tuberkulosis10.

II.4. Patogenesis
II.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas,
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.

2.3.B. Tuberkulosis Pasca Primer ( Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post
primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol,
penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior
lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan
tidak ke nodus hiler paru3.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat3.
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini
ini dapat menjadi3:
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan
jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis,
menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan
keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-
lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam
jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang
berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang
terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi
bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi3:
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier.
Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura,
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik
kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian
menjadi mycetoma,
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti
bintang yang disebut stellate shape.

II.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan
tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin
lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan
sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai.
Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan
sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3,
seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi
TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang
yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit
aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3
sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.

Klasifikasi Tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil


Tahan Asam / BTA), TB paru dibagi atas6:
1) TB paru BTA (+), adalah :
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif,
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
2) TB paru BTA (-), adalah :
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radologi menunjukkan
Tuberkulosis aktif.
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. Tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya


yaitu6:
1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk
tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang
dari satu bulan.
2) Kasus pengobatan ulang :
a) Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
b) Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani
pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal,
ditandai dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah
mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c) Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah
pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
4) Kasus Bekas TB :
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada)
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak
aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks
ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik.

Klasifikasi Tuberkulosis ekstraparu6:


Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain. Tbc
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari
tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen
maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif. tbc

Gambar 3. Skema klasifikasi Tuberkulosis6.

TB paru TB paru BTA (+)

TB
TB paru BTA (-)

TB ekstraparu
Kasus baru

Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop Out

Kasus gagal
pengobatan

Kasus kronik

II.6 Gejala Klinis


II.6.1 Gejala Respiratori
Gejala respiratori yaitu3:
1) Batuk / Batuk Darah
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut adalah
batuk darah (hemoptisis).
Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri
pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang
hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah
aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.
2) Sesak Napas
Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik / melepaskan nafasnya.

2.5.B Gejala Sistemik


Gejala sistemik yaitu3:
1) Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadand panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari serangan
demam influenza.
2) Malaise
Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

2.5.C GejalaTuberkulosis ekstrapulmonal


Gejala Tuberkulosis ekstrapulmonal yaitu4:
1) Pleuritis dengan Efusi
Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M.
tuberculosis. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura dapat
terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke
pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura terjadi,
kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat sangat. Efusi
terjadi plaing sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi bersifat eksudatif, dan
gambaran cairan pleura yang paling khas adalah konsentrasi protein yang
lebih dari 3,0 g/dL. Biopsi jarum pada pleura parietal dapat mengungkap
adanya granuloma, yang menguatkan diagnosis pleuritis tuberkulosis.Respons
terhadap kemoterapi baik. Pengeluaran seluruh cairan pleura tidak diperlukan.
Pada kasus yang jarang diperlukan dekortikasi secara bedah.
Fistula bronkopleura dan empiema tuberculosis merupakan penyulit
yang sangat berbahaya pada tuberculosis yang tidak diobati akibat terjadinya
ruptur lesi paru ke salam rongga pleura. Diagnosis biasanya tidak sukar, dan
basil tahan asam biasanya dengan mudah tampak pada eksudat pleura.
Pengobatan terdiri dari drainase secara bedah dan kemoterapi yang adekuat.

2) Peritonitis dan Perikarditis tuberkulosis


Perikardium dan peritoneum dapat menjadi tempat tuberkulosis.
Perikarditis kadang terjadi bersama dengan pleuritis. Yang lebih sering,
perikardium terinfeksi akibat drainase dari kelenjar limfe yang terinfeksi.
Terjadilah efusi eksudatif, dan pasien datang dengan demam dan nyeri
perikardial. Bisa didapati bising gesek (friction rub). Diagnosis perikarditis
tuberkulosis sering sukar dan kadang-kadang memerlukan torakotomi untuk
melakukan biopsi perikardial.
Peritonitis tuberkulosis disebabkan penyebaran secara hematogen pada
peritoneum atau jalan masuk basilus dari sumber organ kemih kelamin atau
limfatik abdomen. Diagnosisnya seringkali sukar. Mungkin diperlukan biopsi
secara bedah untuk menegakkan diagnosis.

3) Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal
adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis.
Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol.
Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi
manifestasi utamanya.
4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial
Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru
yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan
mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial
menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan
cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronchitis
tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis
utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya
sangat infeksius.

5) Tuberkulosis Tulang
Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi
tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang,
biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra
secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar
limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung
yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis.
Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.

6) Tuberkulosis Genitourinarius
Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria
mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi
yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan.
Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat
tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada
perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai
prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat
ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui
dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan
asam.

7) Adenitis Tuberkulosis
Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis

Scrofula merupakan limfadenitis tuberkulosis kronik pada kelenjar


limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena tetapi tempat yang paling
sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah mandibula. Pembesaran
kelenjar tuberkulosis biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan. Dengan
perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih keras dan
kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsi secara bedah.

8) Tuberkulosis pada AIDS


Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita
infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan M. tuberculosis
dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberculosis adalah 5 hingga
10 persen pertahun.
Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang dikerahkan
untuk infeksi tuberkulosis, dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi uji kulit
tuberkulin dapat tidak ada pada individu yang terinfeksi HIV yang masih
sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun begitu banyak dua pertiga
persen pasien yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis memiliki uji kulit
tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4 pada pasien tuberkulosis
seropositif-HIV yang khas berada dalam rentang 150-200 sel per milimeter
kubik.
Hampir separuh pasien AIDS dengan tuberkulosis memiliki bentuk
ekstrapulmonal, dengan limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya di
leher anterior. Hampir setengah pasien ditemukan gambaran rontgen yang
atipik, dengan infiltrat halus yang difus, infiltrat pneumonik, adenopati hilus,
dan infiltrat perihilus, serta seringkali tampak efusi pleura.

9) Tuberkulosis Saluran Makanan


Lambung sangat resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Hal yang
jarang, yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit paru yang berkavitas
luas dan kecacatan berat, organism yang tertelan mencapai ileum terminalis,
dan sekum sehingga timbul ileitis tuberkulosa. Diare kronik dan terbentuknya
fistula merupakan manifestasi utama, dan penyakit ini sulit dibedakan dari
penyakit Crohn.

10) Tuberkulosis Milier


Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran hematogen yang luas.
Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang dewasa. Yang klasik,
tuberkulosis milier timbul setelah penyebaran hematogen sewaktu infeksi
primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat tuberkulosis sebelumnya. Lesi
timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien menjadi sakit sebelum terdapat
perubahan radiografik, yang memakan waktu 4 hingga 6 minggu untuk dapat
dikenali.
Temuan radiologi yang khas adalah nodul-nodul halus, tersebar secara
uniformis, dan lembut pada kedua lapangan paru. Temuan ini sering dapat
diketahui pertama kali pada foto toraks lateral, atau foto toraks posteroanterior
yang penyinarannya dikurangi. Diagnosisnya sulit, dan sputum yang
dibatukkan jarang mengandung organisme.

II.7 Pemeriksaan Fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan
struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus
inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum6.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess6.
II.8 Pemeriksaan Penunjang
Gambar 5. Pemeriksaan Tuberkulosis paru

II.8.1 Pemeriksaan Bakteriologi


1) Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan.
Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien
yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu
hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2
liter dan diajarkan melakukan refles batuk. Dapat juga dengan memberikan
tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau
bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage)3.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (3) Kuman berbentuk batang
yang ramping (diameter kurang dari 0,5 µm), kadang melengkung, sering
bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis
sebagai pasangan atau kelompok beberapa organism yang terletak bersisian4.

Gambar 6. Sputum BTA

Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok


yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.

Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :


a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,
b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus),
c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur),
d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet
walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan
yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik3.
Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini
membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak,
basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali4.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila
setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan
negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen,
Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook6.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada
fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat
mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang
cepat mematikan kuman BTA3.

2) Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan


biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari :
a) Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui
kadar protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum
simultan protein dan glukosa). Jumlah sel darah putih juga
harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi
serum protein), limfositosis, dan glukosa yang rendah adalah
khas meningitis tuberkulosis2.
b) Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya3. Sekitar 50 ml isi
lambung harus diaspirasi pada pag hari, setelah pasien
menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien
masih di tempat tidur.
c) Cairan pleura, peritoneum, dan perikardial dapat dianalisis
untuk mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan
dengan total serum simultan protein dan glukosa). Sel dan
diferensial jumlah harus diperoleh. Protein yang tinggi (50%
dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa yang
rendah biasanya ditemukan pada infeksi tuberkulosis.
d) Bilasan urin biasanya menunjukkan hasil negatif dan
karenanya tidak efektif untuk dilakukan2.

II.8.2 Pemeriksaan Radiologi


Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan
seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal
ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum selalu negatif3.
Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior. Gambaran
yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah :
1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta segmen
superior lobus bawah paru ditemukan berupa bercak-bercak
seperti awan / nodular6.
2) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula
berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat
menebal,
3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru3.
4) Efusi pleura unilateral atau bilateral.

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah6:


1) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,
2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi,
3) Schwarte atau penebalan pleura.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru
adalah bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks)
dan atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang
dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru
Berdasarkan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut3:
1) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat
nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi
jumlahnya, tidak melebihi satu lobus paru.
2) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan
diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus
tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak
lebih dari sepertiga bagian paru.
3) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang
melebih keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Gambar 7. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru

II.8.3 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)


Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita)3.
Teknik standar tes Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin
PPD (Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U.
tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal
lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang
dengan permukaan miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke
bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10
mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan
tepat dan cermat9.
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu
antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode
tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit
ditekuk. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritem yang
bernilai9.
Hasil tes mantoux ini dibagi dalam3:
1) Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif
2) Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan
3) Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif
4) Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat
5) Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5 mm, dinilai
positif.

Gambar 8. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)12

Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang


atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin
ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir seluruh pasien
tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan
tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi
Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak dijumpai daripada positif
palsu3.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni3:
1) Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.
2) Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),
3) Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili,
cacar air, poliomielitis,
4) Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.
5) Pemberian kortikosteroid yang lama,
6) Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.

II.8.4 Pemeriksaan Penunjang Lain

1) Pemeriksaan Histopatologi Jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau
otopsi, yaitu6:
a) Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah
bening (KGB),
b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram,
Cope dan Veen Silverman),
c) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB)
dengan bronkoskopi,
d) Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai
tuberkulosis.
e) Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan di kirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur, serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan
histologi6.
2) Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifk untuk tuberkulosis. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke
arah normal lagi3.

II.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3
bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan6. Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT1.

II.9.1 Obat Anti Tuberkulosis


Obat yang dipakai :
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunaka adalah :
INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon,
Etionamid, Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin,
Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin3.
Kemasan :
1) Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT

Dosis Obat (mg)


Berat
Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
Badan
(R) (H) (Z) (E) (S)
< 40 300 150 750 750 Sesuai BB
40-60 450 300 1000 1000 750
>60 600 450 1500 1500 1000

2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
International union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis
obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada berikut1:

Tabel 2. Dosis OAT KDT


Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
Berat 3 kali seminggu selama 16
tiap hari selama 56 hari
Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
55-70 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet

Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan dalam


pengobatan TB1:
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar.

II.9.2 Paduan obat Anti Tuberkulosis


Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia
pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi6:
1) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA
negatif beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru).
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau
2RHZE/6HE. Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E)
diberikan setiap hari selama dua bulan.
Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE,
maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan
setiap hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan.
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi.
2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks
lesi minimal.
Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3
atau 6RHE
3) Pasien TB paru kasus kambuh.
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan.
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE.
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2
(contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan
2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
5) Pasien TB kasus putus obat.
Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB :
RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria berikut :
a) Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif
pengobatan diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan
Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau
ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA
saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.

6) Pasien TB paru kasus kronik.


a) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4
macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain.
Pengobatan minimal selama 18 bulan.
b) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan.
d) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi1:
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru

2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.

II.9.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannya


Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek samping
ringan maupun berat dengan pendekatan gejala1.
Tabel 4. Efek samping ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum malam
makan, mual, sakit sebelum tidur
perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg
terbakar di kaki per hari
Warna kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
pada air seni (urine) penjelasan kepada pasien

Tabel 5. Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk penatalaksanaan
kulit OAT dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
keseimbangan Etambutol
.
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
lain OAT ikterus menghilang.

Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT, segera


muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati.
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin.
(syok)
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”1:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin,
sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada
sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu
kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu
sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini
bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

II.9.4 Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus


Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus dibagi menjadi1:
1) Kehamilan dan menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier
placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Tidak ada indikasi
penguguran pada pasien TB dengan kehamilan.
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan
OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan
bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
2) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

3) Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan
streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama
6 bulan.

4) Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3
kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan.
Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau
diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
(rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

5) Hepatitis Imbas Obat

Dikenal sebagai kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat


hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaannya :
a) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+])  OAT Stop
b) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali  OAT stop
c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin
> 2  OAT stop
d) SGOT, SGPT > 5 kali  OAT stop
e) SGOT, SGPT > 3 kali  teruskan pengobatan, dengan
pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


a) Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
b) Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan
laboratorium normalkembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampaidengan dosis penuh
(300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratoriumsaat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium
normal , tambahkan rifampisin,desensitisasi sampai dengan
dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan
obatmenjadi RHES3.
c) Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

6) Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien
dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui
ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal.
Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.
7) Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tdak terkontrol,
maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.

8) Pasien TB Milier
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan
demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40
mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.

9) Pasien Efusi Pleura TB


Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan
dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas
dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.

10) Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),


adalah:
a) Untuk TB paru:
a. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi
dengan cara konservatif.
b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang
tidak dapat diatasi secara konservatif.
c. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB
tulang yang disertai kelainan neurologik.

11) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama
efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis
HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus
memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal).
Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi
dalam satu unit pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan
secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu
dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul
sukarela dengan test HIV).

12) Tuberkulosis pada organ lain


Paduan OAT untuk pengobatan tuberculosis di berbagai organ tubuh
sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan. Paduan OAT yang
diberikan adalah : 2HRZE/7-10RH
II.9.5 Evaluasi Pengobatan

1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi
keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.

2) Evaluasi bakteriologi
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi
pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti
biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.

3) Evaluasi radiologis
Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan6.

4) Evaluasi efek samping secara klinis6.


a) Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal, dan darah lengkap.
b) Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar
penyakit peyerta atau efek samping pengobatan.
c) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
d) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol (bila ada keluhan)
e) Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji keseimbangan
dan audiometric (bila ada keluhan)
f) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah
evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila
pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penangan efek samping obat sesuai pedoman.

5) Kriteria sembuh6:
a) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat.
b) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap
sama/perbaikan.
c) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan
negatif.

6) Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak
dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh)6.

II.10 DIRECTLY OBESERVED TREATMEN SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci


keberhasilan program penanggulagan tuberkulosis adalah dengan menerapkan
strategi DOTS yang juga telah dianut oleh negara kita. Karena itu
pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar
tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan bak. DOTS memiliki komponen,
yaitu6:
1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional,
2) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Obsered Therapy),
3) Pengadaan OAT secara berkesinambungan,
4) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.

II.10.1 Strategi stop TB oleh WHO

1) Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan


penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif
terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.
2) Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, Multi Drug Resistance
(MDR)-TB, dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan
pendekatan-pendekatan lain yang relevan.
3) Konstribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama
program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.
4) Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non
pemerintah dengan pendekatan Public-Private Mix (PPM) untuk
mematuhi International Standarts of TB care.
5) Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengruh untuk
berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.
6) Memunkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat
baru, alat diagnostik, dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk
meningkatkan keberhasilan program6.

II.10.2 Tujuan DOTS


1) Mencapai angka kesembuhan yang tinggi.
2) Mencegah putus berobat.
3) Mengatasi efek samping obat jika timbul.
4) Mencegah resistensi

II.10.3 Langkah Pelaksanaan DOT


Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai,
pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang pengawasan menelan
obat (PMO) dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk
mendapatkan penjelasan tentang DOT6.

II.10.4 Persyaratan PMO


1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien1.

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa,


perawat, pekarya, sanitarian, juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
(PPTI), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga6.

II.10.5 Tugas PMO


1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (UPK)1.

II.10.6 Informasi penting oleh PMO


1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK1.

II.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1) Terapi pencegahan.
2) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan

Terapi pencegahan4:
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
II.12 Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting,
penyuluhan dapat dilakukan secara6:
1) Perorangan/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lain-
lain.
2) Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien,
kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, dan lain-
lain.
Cara memberikan penyuluhan :
a) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada.
b) Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui
tingkat penerimaannyasebagai bahan untuk penatalaksanaan
selanjutnya.
c) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal
yang belum jelasd.
d) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah
dimengerti, kalau perludengan alat peraga (brosur, leaflet dan
lain-lain)

II.13 Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat
penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana
pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan
yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe
penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula6.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi
beberapa item/formulir yaitu6 :
1) Kartu pengobatan TB (01)
2) Kartu identitas penderita TB (TB02)
3) Register laboratorium TB (TB04)
4) Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5) Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6) Formulir pindah penderita TB (TB09)
7) Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)

Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman


penanggulangan TB Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang
ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03)
dan direkap ke dalam formulir rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota6.
TINJAUAN PUSTAKA

TUMOR PARU
DEFINISI
Kanker paru adalah penyakit dengan ciri khas adanya pertumbuhan sel yang tidak
terkontrol pada jaringan paru-paru.(2)

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kanker paru merupakan kanker paling sering, setelah kanker
prostat pada pria dan kanker payudara pada wanita. American Cancer Society
memproyeksikan ada 221.220 kanker pada paru dan bronkus akan didiagnosis di
Amerika Serikat pada tahun 2014, dengan 158.040 kematian. Sekitar 85% dari kanker
ini adalah NSCLC. Di Amerika Serikat, insiden kanker paru semakin menurun sejak
pertengahan tahun 1980-an. Di Inggris prevalensi kejadiannya mencapai
40.000/tahun, sedangkan Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak, di RS
Dharmais jakarta tahun 1998 menduduki peringkat ketiga setelah kanker payudara
dan rahim. Angka kematian akibat kanker paru di seluruh dunia mencapai kurang
lebih satu juta penduduk tiap tahunnya. Karena sistem pencacatan kita yang belum
baik prevalensi pastinya belum diketahui pasti, tapi klinik tumor dan paru di Rumah
Sakit merasakan benar peningkatannya. Di negara berkembang lain dilaporkan
insidennya naik denngan cepat antara lain karena konsumsi rokok berlebihan seperti
di China yang mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru
mengenai pria (65%).(2)

ETIOLOGI
Penyebab dari kanker paru, adalah sebagai berikut:
1. Rokok (78% pada laki-laki, dan 90% pada wanita).
Prevalensi rokok pada Amerika menurun pada 4 dekade terakhir ini. Pada
tahun 2012, diestimasikan terdapat 42,1 juta perokok aktif di Amerika Serikat.
Prevalensi perokok secara keseluruhan menurun dari 20,9% tahun 2005, ke
18,1% pada 2012. Secara mendunia, insiden merokok pada negara
berkembang pesat, hampir 320 juta perokok pada negara China saja.(1)
Perkembangan kanker paru berkaitan langsung dengan jumlah puntung
rokok yang dihisap, lamanya memiliki riwayat merokok, dan kandungan tar
dan nikotin pada rokok. Resiko tentunya tinggi pada perokok dari pada non
perokok. Penelitian yang besar menemukan bahwa perokok yang persisten
memiliki 16 kali lebih beresiko untuk terkena kanker paru, yang semakin
berlipat ganda jika mulai meroko pada usia kurang dari 16 tahun.
Walaupun merokok adalah penyebab utama dari kanker paru, baru-baru
ini ditemukan bahwa adanya perbedaan kerentanan terhadap karsinogen antara
laki-laki dan perempuan yang terpapar tembakau. Perbedaan ini mungkin
karena adanya perbedaan mekanisme perbaikan DNA, yang walaupun masih
kontroversial, ditemukan bahwa perempuan lebih rentan untuk terjadinya
adenokarsinoma dari stadium ke stadium, perempuan dapat hidup lebih lama.
Resiko terkena kanker paru menurun dengan penghentian rokok.
Penelitian jangka lama, menunjukkan bahwa resiko tinggi menetap pada 10
tahun pertama setelah penghentian dan secara perlahan menurun hingga 2 kali
lipat, sekitar 30 tahun penghentian rokok.
Rokok mengandung N-nitrosamin yang karsinogenik dan aromatik
polisiklik hidrokarbon yang dapat diinhalasi secara pasif oleh perokok pasif.
Kandungan karsinogen pada urin pada non-perokok adalah 1-5%. Sebanyak
25% kanker paru pada non-perokok diidentifikasi sebagai perokok pasif.
2. Paparan terhadap asbes
Paparan terhadap asbes menunjukkan kontribusi yang kuat terhadap kanker
paru, mesotelioma malignan, dan fibrosis pulmonal. Paparan asbes dapat
meningkatkan resiko pertumbuhan kanker paru sebanyak 5 kali lipat.
Rokok dan paparan asbes bekerja secara sinergis dan jika terpapar bersamaan,
resiko terkena kanker paru 80-90 kali daripada populasi kontrol.
3. Paparan terhadap radium/radon
Randon adalah gas inert yang dihasilkan sebagai uranium yang hancur.
Paparan terhadap randon adalah faktor resiko kanker paru pada pekerja
tambang uranium. Sekitar 2-3% dari tumor paru diestimasikan disebabkan
oleh paparan randon. Namun pengguna uranium pada perumahan tidak
ditemukan bukti menyebabkan kanker paru.
4. Halogen ether
5. Paparan arsen
6. Paparan terhadap radioisotop
7. Polusi atmosfer
Tidak seperti keganasan lainnya, yang sebagian besar etiologinya tidak
diketahui, kanker paru dikenal sebagai penyakit yang disebabkan oleh rokok
sebanyak 90% pasien. Karena tidak semua perokok berkembang menjadi kanker
paru, dan tidak semua pasien kanker paru memiliki riwayat merokok, maka faktor
lain juga memiliki peran sebagai penyebab, baik secara mandiri ataupun berkaitan
dengan merokok. Studi oleh Bagnardi et al menemukan bahwa alkohol bukanlah
etiologi secara mandiri pada kanker paru. Faktor genetik mungkin berkontribusi pada
semua populasi, namun kontribusi faktor lain adalah spesifik pada populasi tertentu.

PATOFISIOLOGI
Kedua paparan (secara lingkungan maupun okupasional) pada partikel agen
serta sensitivitas individu pada partikel ini berkontribusi terhadap terjadinya kanker
paru. Pada Amerika Serikat, merokok secara akatif bertanggung jawab sekitar 90%
pada terjadinya kasus kanker paru. Paparan okupasi yang bersifat karsinogenik ada
sekitar 9-15% penyebab karsinoma paru.(1)
Rokok mengandung lebih dari 300 substansi berbahaya dengan sedikitnya 40
yang diketahui poten karsinogenik. Poliaromatik hidrokarbon dan nicotine-derived
nitrosamine ketone diketahun menyebabkan kerusakan DNA pada binatang
percobaan. Benzo-A-pyrine juga terlihat menyebabkan mutasi pada p53 dan gen
supresor tumor lainnya. Sebagai tambahan, penyakit paru lain seperti PPOK, fibrosis
pulmonel idiopatik, dan tuberkulosis terlihat berhubungan dengan meningkatnya
frekuensi kanker.(1)
Penelitian oleh Ito et al mengemukakan bahwa perubahan tipe histologik pada
kanker paru di Jepang dan Amerika berhubungan dengan perubahan tipe rokok dari
non-filter menjadi filter. Studi tersebut menyatakan bahwa perubahan tipe sel terjadi
sebagian besar pada kanker paru, yang berubah dari SCC menjadi adenokarsinoma.(1)
Teknik molekular yang canggih telah mengidentifikasi pembesaran onkogen
dan inaktivasi dari gen tumor supresor pada NSCLC. Penemuan yang paling penting
adalah mutasi melibatkan ras onkogen. Keluarga ras onkogen mempunyai 3 anggota:
H-ras, K-ras, dan N-ras. Gen ini mengkode protein pada bagian dalam dari membran
sel dengan aktivitas guanosin trifosfat dan mungkin melibatkan transdukis sinyal.
Penelitian pada manusia menyatakan aktivasi tiga ras tersebut berkontribusi pada
progresivitas tumor pada kanker paru. Mutasu ras ini terjadi terutama pada
adenokarsinoma dan ditemukan pada 30% kasus tersebut. Namun mutasi ini tidak
ditemukan pada adenokarsinoma yang berkembang pada pasien yang tidak merokok.
Abnormalitas molekular ditemukan juga pada NSCLC termasuk mutasi pada
onkogen c-myc dan c-raf pada gen tumor supresor.(1)
Penelitian Bruin dan kolega menemukan bahwa adalah periode yang lama
antara dimulainya mutasi dan gejala klinis, yang terlihat setelah mutasi baru
mengstimulasi perkembangan penyakit secara cepat. Pada beberapa perokok, mutasi
inisial terjadi ketika mereka sedang merokok sekitar 20 tahun yang lalu. Semakin
waktu berjalan, mutasi tersebut dikendalikan oleh protein yang disebut APOBEC.(1)
Kanker paru secara umum dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu SCLC dan
NSCLC. NSCLC berkisar antara 85% dari semua kanker paru. NSCLC dibagi lagi
menjadi adenokarsinoma dan SCC, dan karsinoma sel besar.
1. Adenokarsinoma: terbentuk dari kelenjar mukosa bronkus, adalah kanker
NSCLC yang paling sering di Amerika Serikat, merepresentasikan 35-40%
dari semua kanker paru. Tipe ini adalah subtipe yang ditemukan lebih
banyak pada orang yang tidak merokok, yang biasanya terjadi pada lokasi
perifer dari paru, pada beberapa kasus di tempat yang dulunya memiliki
jejas, atau inflamasi.
Karsinoma bronkoalveolar berasalh dari pneumosit tipe II dan bertumbuh
sepanjang alveolar septa. Subtipe ini mungkin bermanifestasi sebagai nodul
perifer yang soliter, multifokal, atay bentuk pneumonik yang berkembang
cepat. Karakteristik yang ditemukan pada pasien dengan penyakit yang
sudah parah adalah sputum yang cair dan banyak
2. Karsinoma sel skuamosa: terdiri dari 25-30% dari semua kasus kanker paru.
Kalau adenokarsinoma adalah di tempat yang perifer, maka KSS ini
ditemukan pada bagian sentral dari paru. Manifestasi klasik adalah lesi
kavitas pada bronkus proksimal. Tipe ini secara histologis memiliki
karakteristik adanya mutiara keratin dan dapat dideteksi dengan uji sitologi
karena memiliki kecenderungan untuk mengelupas. Tipe ini adalah tipe yang
paling sering berhubungan dengan hiperkalsemia.
3. Karsinoma sel besar: sekitar 10-15% dari seluruh kasus kanker paru, yang
secara tipikal sebagai masa perifer yang besar pada rontgen toraks. Secara
histologis, ditemukan sel-sel yang atipik dengan nekrosis fokal, dan tidak
ditemukannya keratinisasi (seperti pada KSS) atau pembentukan kelenjar
(seperti pada adenokarsinoma).

Dengan prosedur histopatologis yang sudah berkembang dan penggunaan


mikroskop elektron, sebagian besar NSCLC yang sebelumya dikategorikan sebagai
karsinoma sel besar, diidentifikasi sebagai adenokarsinoma tidak teridentifikasi, atau
lebih jarang lagi, sebagai KSS.(1)
GELAJA KLINIS
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru
lainnya, terdiri dari keluhan subjektif dan gejala objektif. Dari anamnesis akan
didapatkan keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor-faktor lain yang
sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa:
 Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
sekitar 45%-75%
 Batuk darah 57%
 Sesak napas
 Suara serak
 Sakit dada
 Sulit / sakit menelan
 Benjolan di pangkal leher
 Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan
rasa nyeri yang hebat.(1,2)

Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis.
Bila sudah menampakkan gejala berarti sudah stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat:
 Lokal (tumor tumbuh setempat):
o Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
o Hemoptosis
o Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
o Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
o Atelektasis
 Invasi lokal
o Nyeri dada
o Dispnoe karena efusi pleura
o Invasi ke perikardium.
o Sindroma vena kava superior
o Sindrom Horner
o Suara serak, karena penekanan pada nervus laringeal rekurer
 Gejala Penyakit Metastasis
o Pada otak, tulang, hati, adrenal
o Limfadenopati servikal dan supraklavikula
 Sindrom Paraneoplastik: terdapat pada 10% kanker paru dengan gejala:
o Sistemik: penurunan BB, anoreksia, demam
o Hematologi: leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
o Hipertrofi osteoartropati
o Neurologik: dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
o Endokrin: sekresi berlebihan pada hormon paratiroid
(hiperkalsemia)
o Dermatoologik: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
 Asimtomatis dengan kelainan radiologis:
o Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang
terdeteksi secara radiologis
o Kelainan berupa nodul soliter(1)

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis
di luar paru, seperti kelainan yang timbul akibat kompresi hebat di otak,
pembesaran hepar, atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas,
seperti:
 Berat badan berkurang
 Nafsu makan hilang
 Demam hilang timbul
 Sindrom paraneoplastik, seperti “Hypertropic pulmonary
osteoartheopathy”, trombosis vena perifer dan neuropatia
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang
didapat sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru
ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan meberikan
hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk
penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor di luar paru.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan
funduksopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur
sebagai akibat metastasis ke tulang.(2)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Gambaran Radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis,
serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan
radiologi paru yaitu foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks,
bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk
menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis.
a. Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda
yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat
ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar
dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada
seorang penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas
untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang
tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis
penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT
yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1
bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain
masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah
pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan
dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut Bila foto
toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti
dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau
pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor
primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b. CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di
paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat
mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih
tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus,
tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan
telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa
gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang
sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena
pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
c. Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan CT-
scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya
metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain,
misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala /
jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi
metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ
lain dalam rongga perut.

2. Pemeriksaan Khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus
dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar
dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya
masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti
terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol,
hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan yang
abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding
bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
b. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya
karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol,
maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan
biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada
posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan memberikan informasi
ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi metastasis
KGB subkarina atau paratrakeal.
d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk
fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus
dilakukan.

e. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)


Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan
bantuan flouroscopic angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2
cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan tuntunan
CTscan.
f. Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB
atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus
dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher atau
aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru
belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat
pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan
informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus
dilakukan jika ada efusi pleura.
g. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura
viseralis, pleura parietal dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.
h. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan
murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer,
penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan
sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl
3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan.
Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas
harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa
fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol
absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus
difiksasi dalamformalin 4%.(2)

3. Pemeriksaan Invasif Lain


Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi
dan tindakan bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan
biopsi paru terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan
ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan yang telah
dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat
ditentukan :
1. Jenis histologis.
2. Derajat (staging).
3. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").

Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.(2)


4. Pemeriksaan Lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak
dapat digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi
hasil pengobatan.
CEA (Carcinoembryonic Antigen)
CEA adalah tumor marker yang paling sering digunakan untuk mendeteksi tumor
paru, namun CEA sendiri juga berhubungan dengan tumor yang lainnya. Tidak ada
tumor marker spesifik untuk kanker paru. Penggunaan tumor marker untuk kanker
paru jarang dilakukan karena kurang sensitivitasnya dan spesifitasnya, namun
kegunaan mereka pada monitoring penyakit dapat diandalkan. Beberapa peneliti
merekomendasikan penggunaan beberapa tumor marker sebagai kombinasi untuk
follow-up pasien kanker paru, namun kombinasi yang paling berguna sekalipun
masih dalam pembahasan. Beberapa tumor marker yang dapat digunakan adalah
CEA, CA-125, SCC, CYFRA21-1 dan NSE, dengan sensitivas masing-masing
adalah: CYFRA21-1: 76%, CA 125: 55%, CEA 52%, SCC 33%, dan NSE 22%.
Khusus untuk CEA sendiri, nilai rujukannya adalah < 2,5ng/ml untuk non-perokok,
dan <5ng/ml untuk perokok. Jika nilai CEA >10ng/ml, mengindikasikan
kemungkinan adanya metastasis.(4)
Pada penelitian dengan menggunakan tumor marker tersebut didapatkan
bahwa adanya hubungan CEA dan CA-125 dengan perubahan gejala klinis yang
diderita pasien. Tumor marker yang paling bisa dijadikan sebagai alat prognostik
adalah CEA, yaitu dalam faktor klinis (nyeri dada, dispnoe, dan hemoptosis), ukuran
tumor, ataupun analitikal (CA-125, SCC, albumin, dan LDH).
b. Pemeriksaan biologi molekuler. Pemeriksaan biologi molekuler telah
semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai ekspresi
beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti
protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi
molekuler adalah menentukan prognosis penyakit.

5. Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi
histologis menurut WHO tahun 1999, tetapi untuk kebutuhan klinis cukup
jika hanya dapat diketahui:
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma) Berbagai keterbatasan
sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami
kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat.

Karena itu, untuk kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal


harusditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK
atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan
sel kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC)
5. Penderajatan
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For
Lung Cancer 1997, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor
yang dikatagorikan atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah
bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3, sedangkan M adalah
menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh.

TNM
Stage
T N M
Occult Carcinoma Tx N0 M0
0 Tis N0 M0
IA T1 N0 M0
IB T2 N0 M0
II A T1 N1 M0
II B T2 N0 M0
III A T3 N2 M0
T3 N3 M0
III B Seberang T N3 M0
T4 Seberang N M0
IV Seberang T Seberang N M1

Keterangan:
T : Tumor Primer
T0 : Tidak ada bukti adanya tumor primer.
Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan
sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tammpat
secara radiologis atau bronkoskopi.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak lebih dari 3 cm, dikelilingi
oleh jaringan paru atau pleura visceral dan secara bronkoskopik invasi
tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkus
utama). Tumor supervisial sebarang ukuran dengan komponen invasif
terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus
utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut:
 Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
 Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal
 Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif
yang meluas ke daerah hilus, tetapi belum mengenai seluruh
paru

T3 : Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding


dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura
mediastinum, atau tumor dalam bronkus utama yang haraknya kurang
dari 2 cm sebelah distal karina atau tmor yang berhubungan dengan
atelektasis atau pneumonitis obstruktif seluruh paru
T4 : Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung,
pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang
disertai dengan efusi pleura ganas atau satelit tumor nodul ipsilateral
pada lobus yang sama dengan tumor primer.

N : Kelenjar getah bening regional (KGB)


Nx : Kelenjar getah bening tak dapat dinilai
N0 : Tak terbukti keterlibatan kelenjaar getah bening
N1 : Metastasis pada kelenjar peribronkial dan/atau hilus ipsilateral,
termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral
dan/atau KGB subkarina
N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB
skalenus/supraklavikula ipsilateral/ kontralateral

M : Metastasis (anak sebar jauh)


Mx : Metastasis tak dapat dinilai
M0 : Tak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh

6. Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif
yang dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international untuk
menilai tampilan ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak
dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai skala tampilan WHO.
Tampilan inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya kemoterapi atau
radioterapi kuratif diberikan.

Karnofsky WHO Batasan


90-100 0 Aktivitas normal
70-80 1 Ada keluhan, tapi masih aktif, dapat mengurus sendiri
50-60 2 Cukup aktif, namun kadang memerlukan bantuan
30-40 3 Kurang aktif, perlu perawatan
10-20 4 Tidak dapat meninggalkan tempat tidur, perlu dirawat
di RS
0-10 - Tidak sadar

Diagnosis banding kanker paru:


 Tumor mediastinum
 Tuberculosis paru
 Bronkopneumoni
 PPOK
 Metastasis tumor di paru
 Tuberkuloma (1,3)

PENATALAKSANAAN
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada
jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medis
seperti fasiliti yang dimiliki rumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan
faktor yang amat menentukan. Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk
KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine
modality therapy”, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA.
Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti
kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip pembedahan adalah
sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner,
dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya
dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan
potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB
mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi
anatomis.(1)

PROGNOSIS
Angka kematian karena kaner paru tinggi. Di Eropa, survival 5 tahun sekitar
11%. Angka survival 5 tahun yang paling tinggi yang dilaporkan terdapat di Amerika
Serikat. Amerika Serikat mencatat dari tahun 2004-2010 bahwa angka survival
selama 5 tahun dari kanker paru sekitar 16,8%, yang merefleksikan perkembangan
yang membaik walaupun lambat yaitu dari 12,5 % di tahun 1975. Namun, tingkat
survival seseorang tergantung dari stage kanker paru yang dideritanya. Estimasi
survival 5 tahun berdasarkan stage penyakit adalah sebagai berikut:
 Stage IA - 75%
 Stage IB - 55%
 Stage IIA - 50%
 Stage IIB - 40%
 Stage IIIA - 10-35%
 Stage IIIB – kurang dari 5%
 Stage IV – kurang dari 5%

PENCEGAHAN
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang
dikandung asap rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat
kaitan kuat antara kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat
disangkal lagi menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang
dapat dilakukan. Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data
bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi
daripada mereka yang tidak terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di
atas adalah wajar bahwa pencegahan utama kanker paru berupa upaya memberantas
kebiasaan merokok. Menghentikan seorang perokok aktif adalah sekaligus
menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif. Pencegahan Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma Di Indonesia 3 harus diusahakan sebagai usaha perang
terhadap rokok dan dilakukan terus menerus. Program pencegahan seharusnya diikuti
dengan tindakan nyata anti-rokok yang melibatkan tenaga medis dan mahasiswa FK
dan non-FK.(3)
TINJAUAN PUSTAKA

SEPSIS

3.1 Definisi Sepsis


Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012, sepsis diartikan sebagai adanya
infeksi yang disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi sistemik. Sepsis
juga merupakan komplikasi infeksi yang berpotensi mengancam nyawa.
Sepsis berat merupakan keadaan sepsis yang diikuti dengan gangguan fungsi
organ, hipotensi atau hipoperfusi jaringan. Sedangkan sepsis dengan hipotensi
ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90mmHg atau rata-rata tekanan arteri
(Mean Arterial Pressure) <70 mmHg atau penurunan tekanan sistolik
>40mmHg.
Perkembangan dari Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure
(MODS/MOF) akan menyebabkan suatu keadaan yang dinamakan syok
septik. Syok septik didefinisikan sebagai suatu keadaan kegagalan sirkulasi
akut yang ditandai dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan
resusitasi cairan yang cukup ataupun adanya hipoperfusi jaringan
(dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang >4mg/dL) yang tidak dapat
dijelaskan oleh sebab-sebab lain.
3.2 Epidemiologi
Banyak studi epidemiologi terhadap 6 juta orang menunjukkan bahwa insiden
terjadinya sepsis adalah 3 orang per 1000 populasi per tahunnya atau sekitar
750.000 kasus per tahun di Amerika Serikat. Tingkat rawat inap akibat sepsis
yang berat 2 kali lipat selama dekade terakhir, dan dengan angka kematian
saat ini 30%. Perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa angka kematian
berdasarkan populasi disesuaikan dengan peningkatan umur.

3.3 Etiologi Sepsis


Mayoritas kasus sepsis disebabkan oleh infeksi bakteri, beberapa disebabkan
oleh infeksi jamur, dan sangat sedikit yang disebabkan oleh penyebab lain.
Penyebab bakteri umum sepsis adalah basil gram negatif (misalnya, E. coli, P.
aeruginosa, E. corrodens, dan Haemophilus influenzae pada neonatus).
Bakteri lain juga menyebabkan sepsis adalah S. aureus, Streptococcus spesies,
spesies Enterococcus dan Neisseria. Namun ada sejumlah besar generasi
bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis. Spesies Candida adalah
beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis.
3.4 Patofisiologi Sepsis

Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu
protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding
protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh
faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS
akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga
mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan
transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin
kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang
menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14
terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2
(TLR2).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram
positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai
superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.
Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting
cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T
dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.
Gambar 6. Skema Infeksi – Sepsis
a. Peran sitokin pada sepsis

Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap


infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi
mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal
maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit
dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen,
pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain
mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase
dan berbagai hormon.

Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi
dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel
menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan
regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi
molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth
factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-
α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang
pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2
(TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti
bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan
serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem
komplemen. Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator
inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi
anti-inflamasi.

b. Peran komplemen pada sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan
produk inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi
terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen
pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan
berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa:
kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen,
ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi
faktor jaringan.

c. Peran NO pada sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat,
menyebabkan gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga
berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi
sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi
trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan
septik yang tidak responsif dengan vasopresor.

d. Peran netrofil pada sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil
dengan pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil
dalam sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya
dapat menurun. Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman,
namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya
bertanggung jawab terhadap kerusakan organ. Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi
sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil
pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif .

Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang
terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak
disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ
multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada
tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke
organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya
faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan.

e. Tahap Perkembangan Sepsis


 Infeksi
Proses patologi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogenik
ke jaringan tubuh yang normalnya steril.
 Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
Respons peradangan sistemik terhadap beragam serangan klinis yang
berat. Respons ini berupa dua atau lebih dari kondisi-kondisi berikut:
a. Suhu tubuh >38°C atau <36°C
b. Denyut nadi >90 kali/menit
c. Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2<4,3 kPa (<32 Torr) / 32 mm
HG
d. Jumlah leukosit >12.000 sel/mm3, <4.000 sel/mm3, atau >10% sel
neutrofil batang
 Sepsis

Sindrom klinis ditandai dengan adanya infeksi dan respon inflamasi


sistemik, yang bermanifestasi dalam dua atau lebih kondisi-kondisi
seperti yang ditemukan pada SIRS sebagai akibat infeksi.
 Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ.

 Syok septik
Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi cairan yang adekuat
telah diberikan, disertai adanya kelainan perfusi.

 Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)


Adanya perubahan fungsi organ pada pasien yang sakit akut di mana
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
3.5 Penegakkan Diagnosis Sepsis

a. Anamnesis
Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi
mengenai faktor resiko potensial terjadinya infeksi, berhubunagn dengan
patogen spesifik pada area jaringan tertentu.

b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum pasien, tanda-tanda vital.
Gambaran klasik sepsis berat adalah pasien hipermetabolik dengan
temperatur tinggi, takikardia, takipnea, sirkulasi vasodilatasi
hiperdinamik, tekanan diastolik rendah.

c. Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim dijumpai,
leukopenia bisa saja terjadi. Seringkali laju endap darah meningkat.
Kadar laktat darah umumnya meningkat seperti halnya kadar gula
darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien dengan disfungsi
liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus, miokardium, dan
koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain
dapat berhubungan dengan sumber infeksi mula-mula. Pengambilan
level laktat harus dalam 3 jam.

o Kultur

Sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan terapi antimikrobial dan


proes pengambilan sebaikanya tidak menjadi penyebab penundaan
pemberian terapi antibiotik. Pengambilan kultur sebelum antimikrobial
berguna untuk konfirmasi infeksi dan mengetahui patogen penyebab.
Pengambilan kultur darah harus selesai dalam 3 jam. Untuk
mengoptimalisasi identifikasi organisme penyebab, direkomendasikan
untuk mengambil sedikitnya 2 set kultur darah (botol aerob dan
anaerob), dengan satu diambil decara perkutaneus dan satu diambil
vascular access device, jika device <48 jam digunakan. Darah ini
dapat diambil bersamaan waktu jika diambil dari tempat yang berbeda.
Kultur dapat dari urin, cerebrospinal fluid, luka, sekret pernafasan dan
cairan tubuh lain yang mungkin menjadi penyebab infeksi.
o Gram stain
Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk menentukan adanya sel
inflamatori.

o Biomarker
Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk
menentukan patern akut inflamasi dari sepsis.

o Polymerase chain reaction, mass spectroscopy, microarray diharapkan


dapat menjadi cara identifikasi patogen yang lebih cepat.

Berikut merupakan kriteria diagnosis untuk sepsis berdasarkan Surviving Sepsis


Campaign 2012:
1. Variabel umum
- Demam (>38.3C)
- Hipotermia ( <36C)
- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai normal
sesuai usia
- Takipneu
- Gangguan status mental
- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama 24
jam)
- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa disertai
dengan diabetes

2. Variabel inflamasi
- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)
- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia

3. Variabel hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressure
menurun >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di
bawah normal sesuai usia)

4. Variabel disfungsi organ


- Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)
- Oligouria akut (output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2
jam setelah pemberian resusitasi cairan yang adekuat)
- Kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60)
- Ileus (tidak adanya bising usus)
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 µL L)
- Hiperbilirubinemia (total plasma bilirubin >4mg/dL atau 70 µmol/L)

5. Variabel perfusi jaringan


- Hiperlaktatemia (>1mmol/L)
- Penurunan capillary refill atau mottling

Sedangkan kriteria diagnosis untuk sepsis berat adalah sebagai berikut:


1. Sepsis dengan hipotensi
2. Laktat di atas batas atas nilai normal
3. Output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah
pemberian resusitasi cairan yang adekuat
4. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa disertai dengan
pneumonia sebagai sumber infeksi
5. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 disertai dengan pneumonia
sebagai sumber infeksi
6. Kreatinin >2,0 mg/dL (178,8 µmol/L)
7. Bilirubin >2mg/dL (34,2 µmol/L)
8. Jumlah platelet <100.000 µL
9. Koagulopati (INR>1,5)

3.8 Diabetes Mellitus

Pada sebuah studi in vitro didapatkan hasil bahwa hipergilkemia seperti yang
terjadi pada diabetes melitus dapat merusak performa Polymorphonuclear
(PMN). Seperti diketahui bahwa PMN ini berperan besar dalam innate
immune system. Pada pasien diabetes melitus telah diteliti bahwa terjadi
penurunan fungsi sel PMN, aderens ke endotel, kemotaksis, dan fagositosis
dan kemampuan bakterisid. Hiperglikemia terbukti memperpanjang durasi
respon sitokin. Hal ini diperkirakan berhubungan diabetes tipe 2 yaitu
ditemukan perpanjangan waktu dalam produksi sitokin.
Sebuah literatur mengemukakan tentang hasil penelitian preklinik dan klinik
mengenai terjadinya sepsis pada diabetes. Di antaranya, dikemukakakan
bahwa diabetes melitus berdampak langsung terhadap adaptive immune
system. Hasil penelitian Spatz et al menunjukkan terjadi penurunan proliferasi
dan gangguan fungsi sel T yang berpengaruh terhadap produksi antiinflamasi
dan proinflamasi serta defek pada Antigen Presenting Cell (APC). Mekanisme
lain yang diduga berkaitan dengan perkembangan sepsis pada pasien diabetes
melitus adalah bahwa diabetes melitus memicu disfungsi endotel dan
procoagulant state. Mekanisme yang sama merupakan bagian dari
patofisiologi.

3.9 Tatalaksana Sepsis

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang


sesuai, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila
diperlukan. Diperlukan pula terapi suportif, seperti bila terjadi respons imun
maladaptif host terhadap infeksi dapat diberikan vasopresor dan inotropik,
terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi. Skrining sumber infeksi menjadi esensial dalam penanganan
pasien sepsis, diperlukan ketelitian dalam menduga mikroorganisme patogen
yang menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di
RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba
empirik.
a. Resusitasi
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi.
Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-
induced hypoperfusion adalah:
a) CVP 8–12 mm Hg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians
ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal
tinggi, target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr
d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous
oxygen saturation (SvO2) 70% or 65%,
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level
laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.
Terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi
bila diperlukan. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai
70% atau mixed venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan
resusitasi cairan, transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian cairan inisial kristaloid,
minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan tambahan albumin pada pasien yang
membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk mempertahankan cukup MAP.
Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid buatan tidak terbukti
menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal akut.

1. Skrining untuk sepsis dan perkembangan keadaan


Skrining rutin perlu dilakukan pada pasien dengan sakit berat pada severe
sepsis untuk mendapatkan terapi lebih awal. Mengurangi waktu untuk
diagnosis sepsis berat menjadi komponen penting untuk menurunkan angka
kematian akibat disfungsi multiorgan.

2. Terapi antimikroba
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur
diambil. Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan
mortalitas. Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi
ke tempat yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba empiris tergantung
pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan antibiotik
sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen
berdasarkan komunitas dan rumah sakit.
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom
syok toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien
tertentu. Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan
untuk pasien dengan sulit untuk disembuhkan,
Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan mengenani
virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus aureus dan
resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk gram negatif
bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.
- terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,
amfoterisin B).
- Pemilihan terapi antibiotik definitif tergantung pada tipe patogen,
karakteristik pasien, dan regimen terapi rumah sakit. Karena pasien dengan
sepsis berat atau syok septik punya latar yang sedikit untuk menentukan
terapi, maka terapi pilihan inisial harus spektrum luas untuk dapat melawan
patogen luas. Setelah patogen kausatif diidentifikasi, baru dilakukan de-
eskalasi dengan memakan agen antimikroba yang sesuai patogen tersebut,
lebih aman, dan biaya yang paling efektif. Dapat juga digunakan
antimikroba kombinasi setelah tes susceptibilitas dilakukan,

Level procalcitonin dan biomarker lain dapat membantu untuk


diskontinuitas penggunaan antimikroba empirik pada pasien yang klinis
sepsis namun tidak ada cukup bukti infeksi. Penggunaan antibiotik yang
dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang
hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal
multi organ. Patogen bakteri yang resisten terhadap beberapa obat seperti
Acinetobacter dan Pseudomonas spp.
- Pada pasien infeksi berat yang berhubungan dengan gagal pernafasan dan
syok septik, kombinasi terapi dengan spektrum beta laktam dan
aminoglikosida atau fluoroquinolon disarankan uuntuk P. Aeruginosa.

Kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk pasien dengan syok septik dari
infeksi bakteri Steptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris ini
sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi menggunakan
single-agent terapi yang tepat setelah ada profil patogen yang kemungkinan
menginfeksi teridentifikasi. Terkecuali, pada monoterapi aminoglikosida,
khususnya pada P. Aeruginosa karena untuk mencegah endocarditis, maka
prolong terapi harus dilakukan. Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10
hari. Penentuhan meneruskan, menurunkan, atau menghentukan terapi
intimikrobial tergantuk pada informasi klinis pasien.

Terapi antiviral diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis berat
atau syok septik dengan penyebab virus.

- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi untuk
komplikasi
- terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan zanamivir) untuk
H1N1 virus, influenza A(H3N2), influenza B.

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data


mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada
bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:


 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen
(Pseudomonas aureginosa, Enterokokus)
3. Kontrol Sumber
Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai
pertimbangan untuk mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis atau
dieksklusi sesegera mungkin dan intervensi harus dilakukan pada kontrol
sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan. Misalnya infeksi
jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis).

4. Pencegahan Infeksi
Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus
diketahui dan diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kasus
pneumonia yang terkait ventilator. Hal ini harus menjadi perhatian pada
pelayanan kesehatan secara efektif.

Glukonat klorhexidin chlorhexidine gluconate (CHG) oral dapat digunakan


sebagai dekontaminasi orofaring untuk mengurangi resiko pneumonia yang
terkait ventilator pada pasien dengan sepsis berat di ICU.
Peencegahan lain meliputi penanganan perawatan selama di ICU,
pengguunaan kateter, managemen jakan nafas, pengangkatan kepala di kasur,
suction.

5. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.

b. Terapi cairan
Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi
pada sepsis berat dan syok septik.Oksigenasi pada keadaan hipoksemia
berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja
ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
 Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan
pada sepsis berat dan syok septik.
 Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis
ketika pasien membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.
 Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai
minimal 30 ml/kg dari kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan
jumlah cairan yang lebih banyak mungkin dibutuhkan oleh beberapa
pasien.

c. Vasopresor
Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata
(MAP) 65 mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama vasopressor.
Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi dari
norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan untuk menjaga
tekanan darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit dapat
ditambahkan pada norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan MAP atau
menurunkan dosis norepinefrin. Dopamin dapat menjadi alternative
vasopressor selain norepinefrin hanya pada pasien tertentu. Misalnya pada
pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau
relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan pada pengobatan syok septik
kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang berhubungan dengan
aritmia yang serius, curah jantung diketahui akan tinggi atau tekanan
darah akan secara persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat ketika
kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah
telah gagal untuk mencapai target MAP. Dopamin dosis rendah
seharusnya tidak digunakan untuk proteksi renal.

d. Terapi Inotropik
Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam
keadaan disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena peningkatan
tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah atau gejala
hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai volume intravascular
secara adekuat dan MAP yang cukup.

e. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati
pasien dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi
vasopressor dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal tersebut
tidak tercapai, direkomendasikan untuk memakai hidrokortison saja
dengan dosis 200mg per hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes
stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik
yang seharusnya menerima hidrokortison. Pasien dalam terapi
hidrokortison diturunkan dosisnya jika vasopressor tidak lagi digunakan.
Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi sepsis tanpa syok.

f. Pemberian produk darah


Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan jika tidak ada keadaan
khusus, seperti iskemia miokardial, hipoksemia yang berat, perdarahan
akut, atau penyakit jantung iskemik, direkomendasikan bahwa transfusi sel
darah merah hanya dilakukan ketika konsentrasi Hb menurun hingga <7
g/dl dan untuk mencapai target Hb 7-9 g/dl pada orang dewasa. Tidak
dianjurkan untuk menggunakan eritropoietin sebagai terapi spesifik dari
anemia terkait sepsis. FFP tidak diberikan untuk mengkoreksi
abnormalitas pembekuan pada kondisi tidak perdarahan atau prosedur
invasif terencana.

Pada pasien dengan sepsis berat, diberikan profilaksis platelet jika


jumlahnya <10.000/mm3 (10x109/L) pada kondisi tidak ada perdarahan.
Disarankan untuk transfusi trombosit profilaksis jika jumlahnya
<20.000/mm3 (20x109/L) jika pasien memiliki resiko perdarahan yang
signifikan. Jumlah trombosit yang lebih tinggi (≥50.000/mm3) disarankan
pada perdarahan aktif, pembedahan, atau prosedur invasif.

g. Imunoglobulin
Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan
sepsis berat atau syok septik
h. Selenium
Tidak menggunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.

i. Kontrol gula darah


j. Pendekatan menurut protocol dalam manajemen glukosa darah pada
pasien sepsis berat di ICU memerlukan insulin jika hasil tes gula darah
dua kali berturut turut ≤180 mg/dl. Protokol ini mengharuskan target gula
darah mencapai ≤180mg/dl daripada ≤110 mg/dl. Nilai glukosa darah
dimonitor setiap 1-2 jam hingga nilai glukosa dan pemberian insulin stabil
dan kemudian setiap 4 jam.
k. Renal Replacement Therapy
Terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan hemodialisis intermiten
adalah setara dengan pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut.
Dapat terus melakukan terapi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam
pasien sepsis yang tidak stabil hemodinamiknya.
l. Bikarbonat
Tidak menggunakan sodium bikarbonat untuk tujuan memeperbaiki
hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien dengan
hipoperfusi yang menyebabkan asidemia laktat dengan pH ≥7,15.
m. Profilaksis DVT (Deep Vein Thrombosis)
Pasien dengan sepsis berat menerima farmacoprofilaksis harian terhadap
tromboemboli vena (VTE). Hal ini harus dilakukan dengan low molecular
weight heparin (LMWH) secara subkutan. Jika nilai creatinine clearance
adalah <30 mL / menit, dapat menggunakan dalteparin atau bentuk lain
dari LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal rendah atau UFH.

Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi farmakologis


dan perangkat kompresi penumatik intermiten jika memungkinkan.
Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk digunakannya heparin
(misalnya, trombositopenia, koagulopati yang parah, perdarahan aktif,
perdarahan intraserebral baru-baru ini) tidak menerima farmakofilaksis,
tetapi menerima pengobatan profilaksis mekanik, seperti stoking kompresi
atau perangkat kompresi intermiten , kecuali kontraindikasi. Ketika resiko
menurun, farmakofilaksis dapat dimulai.
n. Profilaksis stress ulcer
Dapat menggunakan H2 blocker atau PPI pada pasien dengan sepsis berat
atau syok septik yang memiliki faktor resiko perdarahan. Ketika
profilaksis ini digunakan, PPI lebih dipilih daripada H2RA. Pasien tanpa
faktor resiko tidak memerlukan profilaksis.
o. Nutrisi
Berikan makanan oral atau enteral yang dapat ditoleransi daripada puasa
total atau provisi dari hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama
setelah diagnosis sepsis berat/syok sepsis ditegakkan. Makanan tinggi
kalori harus dihindari dalam minggu pertama tetapi lebih
direkomendasikan untuk dosis rendah (hingga 500 kal/hari) sesuai
toleransi. Pemberian glukosa intravena dan nutrisi enteral lebih baik
daripada hanya TPN (Total Parenteral Nutrition) atau nutrisi parenteral
dengan konjungsi dengan makanan enteral pada 7 hari pertama setelah
didiagnosis sepsis berat atau syok septik. Gunakan nutrisi tanpa suplemen
imunomodulasi yang tidak spesifik daripada nutrisi dengan suplemen
imunomodulasi pada pasien dengan sepsis berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
5. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru.
Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.
10. http://www.emedicine.medscape.com
11. http://www.medicastore.com
12. Winston W. Non-Small Cell Lung Cancer. Medscape 2015 [updated: 16 July
2015, cited: 30 September 2015] Aveailable from:
http://emedicine.medscape.com/article/279960-overview#a5
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker Paru Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2003.
14. Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Nasional Penanganan
Kanker Paru versi 1,0 2015. Komite Penanggulangan Kanker. 2015.
15. Molina R, Fillella X, Auge J, Fuentes R, Bover I, Rifa J, et al. Tumor Markers
(CEA, CA 125, CYFRA 21-1, SCC dan NSE) in Patients with Non-Small
Cell Lung Cancer as an Aid in Histological Diagnosis and Prognosis. Tumor
Biology 2003;24 (4): 209-18
16. Fatah, AC. Sepsis dan syok septik. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan
PediatriTropis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2003. 358.2.
17. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Definitions for Sepsis and
OrganDysfunction in Pediatrics. Pediatric Critical Care Medicine. 2005; 6. 2-
83.
18. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J,Angus
DC. The Epidemiology of Severe Sepsis in Children in The UnitedStates. Am
J Respir Critical Care Medicine. 2003; 167. 695-701.4.
19. Sundareson R and Seargean JN. Current Understanding and Treatment
ofSepsis. Infection Medical Journal. 2005; 6. 261-2655.
20. Yulianti E, Antonius H, Pudjiadi, Said M, Dady Suyoko E.M.
Hubunganantara Kadar High Density Lipoprotein dengan Derajat Sepsis
BerdasarkanSkor Pediatric Logistic Organ Dysfunction. Sari Pediatri. 2013;
15. 161-117.6.
21. Pierrakos C and Vincent JL. Sepsis Biomarker. A Review Critical
CareMedicine. 2010; 14. 15-197.
22. Bonardo Pardede DK dan Siahaan D. Eosinopenia sebagai PenandaDiagnosis
Sepsis. Jurnal CDK-221. 2014; 41. 741-744.8.
23. Yefta EK, Yuniarti T, Rahayuningsih SE. Validitas Eosinopenia
sebagaiPenanda Diagnosis pada Sepsis Neonatal Bakteralis. Jurnal
KedokteranIndonesia. 2008; 59. 601-606.9.
24. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal
SM.Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management
ofSevere Sepsis and Septic Shock 2012. Critical Care Medicine. 2013;
41.580-587.10.
25. Abidi K, Khoudri I, Belayachi J, Madani N, Zekraoui A, Zeggwagh
AA.Eosinopenia is a Reliable Marker of Sepsis on Admission to
MedicalIntensive Care Units. Critical Care Medicine. 2008; 12. 59-6311.
26. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International Pediatric SepsisConsensus
Conference: Sefinition for sepsis and Organ Dysfunction inPediatrics.
Pediatric Critical Care Medicine. 2005; 6. 2-8.12.
27. Rismala D. Sepsis pada Anak: Pola Kuman dan Uji Kepekaan.
JurnalKedokteran Indonesia. 2011; 61. 101-105.

Anda mungkin juga menyukai