Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut GINA 2017 Asma merupakan suatu penyakit heterogen, biasanya


ditandai oleh inflamasi kronis pada saluran nafas. Kekerapan bervariasi yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan (hiperaktivitas) saluran napas
sehingga memicu episode yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan atau berat
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi
dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
(GINA, 2017).
Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan
inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh
22 juta warga Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi
komplek dari sel, mediator-mediator, sitokin, dan kemokin.1 Asma memiliki
manifestasi klinis berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan
yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat
penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat
(Alsagaff, dkk. 2002).
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini
jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan
diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun
2025 (Partridge, 2007). Meskipun dengan pengobatan efektif, angka morbiditas
dan mortalitas asma masih tetap tinggi. Satu dari 250 orang yang meninggal
adalah penderita asma (Ratnawati J, 2011). Angka mortalitas penyakit asma di
dunia mencapai 17,4% dan penyakit ini menduduki peringkat 5 besar sebagai
penyebab kematian (Widjaja, 2003).
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik
dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.2
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan akan tetapi penderita dapat sembuh
dalam arti asmanya terkontrol. Bila tidak, akan mengganggu kualitas hidup
penderita. Disamping itu penderita harus mampu meminimalkan faktor-faktor
pemicu penyakit tersebut seperti keadaan lingkungan dimana kita berada dan
perilaku (Danususanto, 2000).
Asma bronkial merupakan salah satu daftar diagnosis yang harus dikuasai
oleh dokter umum, mulai dari proses penegakan diagnosis hingga melalukan
tatalaksana secara tuntas pada pasien yang menderita asma bronkial. Penegakan
diagnosis dan tatalaksana pun harus dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga
mencegah perburukan dari pasien yang sedang mengalami serangan asma
bronkial.

BAB II
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS
Nama : An. FAJ
Nama Orang Tua : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 6 tahun
Alamat : Jln. Bening Sari RT/RW.010/003 Kelurahan
Dusun II Kecamatan Sekip, Palembang
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 18 Mei 2019
1.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
Keluhan Utama :
Batuk dan sesak sejak 1 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


± 1 hari SMRS pasien mengeluh batuk bertambah berat dan merasakan
sesak. Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak dipengaruhi cuaca dingin
terutama malam dan dini hari. Sesak muncul hilang timbul 3-4 kali,
mengganggu saat aktivitas dan tidur malam hari sampai terbangun 3-4 kali.
Pasien lebih suka duduk daripada berbaring. Batuk (+) tidak berdahak, pilek
(-), demam (-), nyeri dada (-), mual(-), muntah (-), sakit saat menelan (-),
BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Os pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya. Keluhan
dirasakan tidak lebih dari 4 hari

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluhan yang sama pada ayah Os

Riwayat Alergi :
Pasien memiliki alergi terhadap debu dan cuaca dingin. Alergi terhadap
makanan, dan obat-obatan, disangkal.

Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak pernah berobat menggunakan obat apapun.

Riwayat Kebiasaan :
Pasien sering bermain di jalan depan rumahnya yang banyak dilalui
kendaraan. Os tinggal di rumah yang sangat dekat dengan jalan dan dengan
kondisi jendela serta pintu yang selalu terbuka pada siang hari

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIKUS
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Sensorium : compos mentis
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : frekuensi 85x/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
Frekuensi pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6C
Berat Badan : 17 kg
Tinggi : 105 cm
Keadaan gizi : Baik

KEADAAN SPESIFIK
Kepala :
 Mata : konjungtiva palpebrae pucat tidak ada, sklerajikterik tidak
ada, pupil
bulat, isokor, 3mm, refleks cahaya (+/+)
 Telinga : Liang telinga luas, sekret (-)
 Hidung : Cavum nasi luas (+/+), perdarahan (-/-), secret (-/-), nyeri
tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi(-), tidak terdapat
pembengkakan pada daerah muka
 Mulut : Mukosa bibir dan mulut hiperemis (-),
Leher : pembesaran KGB tidak ada
Dada : bentuk simetris
 Paru : vesikuler (+) normal,rhonkhi (-/-), wheezing (+/+)
 Jantung : bunyi jantung I dan II(+)normal, HR= 85x/mnt, murmur
(-), gallop (-)
Perut : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising nusus (+)
normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas atas : bentuk simetris, akral hangat, edema tidak ada
Ekstremitas bawah: bentuk simetris, akral hangat, edema tidak ada.
Genitalia eksterna : tidak diperiksa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

1.4 RESUME
An. AR, usia 6 tahun, mengeluh batuk bertambah berat dan merasakan
sesak sejak ± 1 hari SMRS. Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak
dipengaruhi cuaca dingin terutama malam dan dini hari. Sesak muncul hilang
timbul 3-4 kali, mengganggu saat aktivitas dan tidur malam hari sampai
terbangun 3-4 kali. Pasien lebih suka duduk daripada berbaring. Batuk ada dan
tidak berdahak, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Keluhan yang dialami os
sering hilang dan timbul sebelumnya, namun tidak pernah lebih dari 4 hari.
Dari anamnesis didapatkan keluarga Os, yaitu ayahnya, menderita keluhan
yang sama. Os sering bermain di jalan depan rumahnya yang berdebu dan
sering dilewati kendaraan. Os tinggal di rumah dengan pintu dan jendelanya
yang selalu terbuka pada siang hari.

1.5 DIAGNOSIS BANDING


 Bronkitis Kronik
 Bronkopneumonia

1.6 DIAGNOSIS KERJA


 Asma Bronchial

1.7 PENATALAKSANAAN
 Non- Medikamentosa
Edukasi mengenai kebersihan rumah dari debu untuk menghindari dari
alergen penyebab. Menganjurkan agar menutup pintu dan jendela yang
menghadap ke jalan yang berdebu. Menganjurkan untuk selalu menjaga
kebersihan tempat tidur dan tempat bermain serta mainan seperti boneka
agar tidak berdebu. Menganjurkan untuk selalu menggunakan selimut
ketika tidur di udara dingin.
 Medikamentosa
Antihistamin H2 : Cetirizine 1 x 10 mg
Ambroxol 2x1
Salbutamol 2x2 mg

1.8 KOMPLIKASI
 Gangguan Tidur

1.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi
kronis pada saluran nafas. Kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan
peningkatan kepekaan (hiperaktivitas) saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi
dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
(GINA, 2017).

Gambar 1. Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisiologi Asma


Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. (Keputusan menteri
kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008).
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional
asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal),
musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.

B. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi meningkat di banyak negara,
terutama lebih banyak terjadi pada anak-anak. Asma merupakan penyebab utama
seseorang tidak masuk atau tidak hadir di sekolah dan tempat kerja (GINA, 2017).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu
pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per
1.000 penduduk (PDPI,2006).
Hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah
sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi
asma bronkial sebesar 5–15%.

Gambar 2. Prevalensi asma pada anak usia 13-14 tahun

C. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Asma


Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma
kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007).
Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan
kuat sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu
umur 5 – 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian
asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of
America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian
Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok
umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun
menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan
menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun
(Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki
merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan
tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih
sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa
tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis
kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling
penting. Alergen – allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak,
binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada
lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah
dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di
perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA
(2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing
dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara
bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam
bentuk partikel – partikel besar.
Iritan – iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga
telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan
dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan
derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap
pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk
(1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih
tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama
kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang
adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk,
2007). Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah
dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif
oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan
riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan
terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.
5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik
pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi
derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status
sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

D. Patogenesis Asma Bronkial


Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara
satu individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen,
polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat
atau ekspresi emosi yang berlebihan, rinitis, sinusitis bakterial, poliposis,
menstruasi, refluks gastroesofageal dan kehamilan (Riyanto BS dan Hisyam
B,2007).
Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan
IgE dependent dari sel mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk
diantaranya histamin, prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi
otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga
terjadi oleh karena saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiper responsif
terhadap bermacam-macam jenis serangan. Akibatnya keterbatasan aliran udara
timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran nafas dengan atau
tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran
mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot
polos saluran pernafasan (Riyanto BS dan Hisyam B, 2007).

Gambar 3. Bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma bronkial

Penyempitan saluran pernafasan yang bersifat progresif yang disebabkan


oleh inflamasi saluran pernafasan dan atau peningkatan tonos otot polos
bronkioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap
peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner, dan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi (Riyanto BS dan Hisyam B, 2007).
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut
dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana (Riyanto BS dan
Hisyam B, 2007).
 Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan
berkontraksi/ memendek/ mengkerut
 Produksi kelenjar lendir yangberlebihan
 Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam
saluran napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suaranapas
yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang
sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas (Riyanto BS dan Hisyam B, 2007).

Gambar 4. Patofisiologi asma bronkial


Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma
akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi
dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory
Flow Rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi
aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran
aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap
tekanan atmosfer maka akan terjadi hiper inflasi dinamik. Besarnya hiper inflasi
dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume
cadangan.
Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks yang memperlihatkan
gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar (Riyanto
BS dan Hisyam B, 2007).
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas
otot pernafasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular.
Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena
peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru (Riyanto BS
dan Hisyam B, 2007).
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional dan pasien akan bernapas
pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas
(Manurung P,dkk,2006).
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar,
sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi (Manurung P, dkk, 2006).

E. Klasifikasi Asma Bronkial


Berdasarkan derajatnya, asma dapat dibagi menjadi (GINA, 2017):
1. Intermiten
a. Gejala klinis < 1kali/minggu
b. Gejala malam < 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luarserangan
d. Serangan berlangsung singkat
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilaiterbaik
f. Variabilitas APE <20%
2. Persisten ringan
a. Gejala klinis > 1 kali/minggu tetapi < 1kali/hari
b. Gejala malam > 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luar serangan
d. Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dantidur
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f. Variabilitas APE 20%-30%
3. Persisten sedang
a. Gejala setiap hari
b. Gejala malam > 2 kali/minggu
c. Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur
d. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik
e. Variabilitas APE >30%
4. Persisten berat
a. Gejala terus menerus
b. Gejala malam sering
c. Sering kambuh
d. Aktivitas fisik terbatas
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) < 60% nilaiterbaik
f.Variabilitas APE >30%

Sedangkan berdasarkan derajat beratnya serangan asma, dibagi menjadi (GINA, 2017):
Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat Lebih suka duduk Duduk
berbaring dari pada berbaring membungkuk
kedepan
Bicara Beberapa Kalimat terbatas Kata demi kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya terganggu Biasanya
terganggu terganggu
Frekuensi nafas Meningkat Meningkat > 30x/menit

Retraksi otot Kadang kala Kadang kala ada Ada


bantu nafas ada
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi nadi 100-120 100-120 >120
Pulsus Tidak ada Mungkin ada Sering ada
paradoksus (<10mmHg) (10-25mmHg) (>25mmHg)
PEF sebelum >50% >50% ≤50%
bronkodilator
APE setelah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SpO2 >95% 90-95% <90%

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut).
a) Asma saat tanpa serangan
Pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma
episodik sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma pada anak

b) Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan
asma serangan berat.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan


Parameter klinis,
Ancaman henti
fungsi faal paru, Ringan Sedang Berat
napas
laboratorium
Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi tangis
Sesak (breathless) Bayi Menangis pendek dan Bayi tidak mau
keras lemah, kesulitan makan/minum
menetek/makan
Duduk
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Mungkin
Kesadaran Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan
iritabel
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Nyaring,
Sedang, sering Sangat nyaring,
sepanjang Sulit/tidak
Wheezing hanya pada terdengar tanpa
ekspirasi ± terdengar
akhir ekspirasi stetoskop
inspirasi
Gerakan
Penggunaan otot paradok
Biasanya tidak Biasanya ya Ya
bantu respiratorik torako-
abdominal
Dangkal, Sedang, ditambah Dalam,
Dangkal/
Retraksi retraksi retraksi ditambah napas
hilang
interkostal suprasternal cuping hidung
Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia Frekuensi napas normal/menit
Frekuensi napas < 2 bulan < 60
2-12 bulan < 50
1-5 tahun < 40
6-8 tahun < 30
Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi normal per menit
Frekuensi nadi
2-12 bulan < 160
1-2 tahun < 120
6-8 tahun < 110
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
(< 10 mmHg) (10-20 mmHg) (>20mmHg) tanda
kelelahan otot
respiratorik
PEFR atau FEV1
(%nilai dugaan/
%nilai terbaik)
Pra bonkodilator >60% 40-60% <40%

Pasca bronkodilator >80% 60-80% <60%, respon<2


jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%
Normal
(biasanya tidak
PaO2 >60 mmHg <60 mmHg
perlu
diperiksa)
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

F. Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala tergantung dari berat ringannya pada waktu serangan.
Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan
dan gejala tak ada yang khas (Mangunnegoro, dkk, 2004).
Kemungkinan besar gejala yang sering pada asma (keluhan yang khas) (GINA,
2017): Lebih dari satu gejala (sesak nafas, nafas berbunyi, batuk, dada rasa
tertekan,dispneu)
 Gejala sering lebih buruk pada malam dan dinihari
 Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya juga bervariasi
 Gejala dicetuskan/dipicu oleh infeksi virus, perubahan cuaca, olahraga
yang berlebihan, terpapar alergen, iritan (asap, knalpot mobil, bau
yangkuat)

Kemungkinan kecil gejala yang dapat dijumpai pada asma (GINA, 2017):
 Batuk terisolasi dengan tidak ada gejala pada salurannafas
 Terdapat sputum yang produktif
 Sesak nafas lebih yang terkait dengan pusing, pusing, kesemutan pada
bagian perifer
 Nyeri dada
 Dispneu karena aktivitas dengan stridor.

Tanda-tanda fisik (Mansjoer A, 2001):
 Cemas/gelisah/panik/berkeringat
 Tekanan darah meningkat
 Nadi meningkat
 Pulsus paradoksus: penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10
mmHg pada waktu inspirasi
 Frekuensi pernafasan meningkat
 Sianosis
 Otot-otot bantu pernafasan hipertrofi paru
 Didapatkan ekspirasi yang memanjang
 Wheezing

G. Diagnosis

Pasien dengan gejala pada


TIDAK saluran nafas.

Apakah gejala itu gejala

YA Pertimbangkan percobaa
n
pengobatan untuk kemungkinan
Terapi asma diagnosis, atau

rujuk untuk penyelidikan lebih


Rincian pemeriksaan atau
riwayat asma.

Riwayat/pemeriksaan yang
TIDAK Pemeriksaan lebih lanjut
K
riwayat dan tes alternatif
l
untuk diagnosis asma?
i
n
i
s

u
r
g
e
n
c
y
,
d
i
a
g
n
o
s
i
s

l
a
i
n
y
a
n
g

m
u
n
g
k
i
n
YA

Lakukan pemeriksaa
n
spirometri/PEF dengan
tes reversiilitas

Apakah hasilnya mendukung

Ulangi pad
a
kesempatan lain
TIDAK

atau mengatur tes


TIDAK lainnya.

Apakah diagnosis
Terapi empiris dengan ICS dan
bila perluSABA.

Tinjau respon Terapi untuk diagnosis


a. Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap
asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi (GINA, 2017). Ada beberapa
hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
1. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
2. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan?
3. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan
sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
4. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan
aktifitas atau olah raga?
5. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
6. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca
atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
7. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjungtivitis
alergi)?
8. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,
saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?

b. Pemeriksan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran
nafas. Tekanan darah biasanya meningkat, sesak nafas, nafas berbunyi, batuk,
dada rasa tertekan, dispneu, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga meningkat,
ekspirasi memanjang disertai ronki kering, mengi (wheezing) dapat dijumpai pada
pasien asma, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar
serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar
(silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Gejala sering lebih buruk pada malam dan dini hari. Umumnya gejala dipicu oleh
infeksi virus, perubahan cuaca, olahraga yang berlebihan, terpapar alergen, iritan
(asap, knalpot mobil, bau yang kuat) (GINA, 2017). Secara umum pasien yang
sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai
derajat serangan:
1. Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
2. Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus
3. Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
4. Auskultasi: ekspirasi memanjang, mengi, suara lendir

c. Pemeriksaan laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal
Charcot Leyden) (PDPI, 2006).

d. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Reversibilitas penyempitan saluran nafas yang merupakan ciri khas asma
dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah
pemberian bronkodilator (GINA, 2017).
2. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
3. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
4. Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
5. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
6. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokais bronkus merupakan cara untuk
membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran nafas pada orang yang
diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu Uji provokasi
dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik
seperti metakolin dan histamine (PDPI, 2006).

Gambar 5. Gambaran tes spirometri

H. Tatalaksana
Terapi non farmakologi (GINA, 2017)
 Berhenti merokok
Tiap visit, berikan rekomendasi pada pasien untuk berhenti merokok
dan menjauhi ruangan/mobil yang terdapat asap rokok
 Aktivitas fisik
Berikan rekomendasi agar pasien melakukan aktivitas fisik yang teratur
dan informasi terkait mengatasi Exercise-Induced bronchoconstriction
 Asma okupasi
Identifikasi dan sarankan untuk menghilangkan allergen okupasi
secepat mungkin
 NSAID termasuk aspirin
Selalu tanyakan riwayat asma pada pasien sebelum memberikan obat
tersebut.
Terapi Farmakologi (GINA, 2017)

Gambar 6. Tatalaksana asma diluar serangan

Terapi asma pada pasien yang bukan serangan atau terkontrol Asma
ringan: terkontrol baik dengan Step 1 atau2 (pemberian dosis rendah short acting
beta agonist (SABA).
 Asma sedang : terkontrol baik dengan Step 3 (pemberian dosis sedang
ICS/LABA + SABA) Asma berat : terkontrol baik dengan Step 4 atau 5
(pemberian dosis tinggi ICS/LABA + SABA)

Berikut adalah penatalaksanaan asma dengan eksaserbasi, penatalaksanaan ini


sendiri biasanya dilakukan pada pasien dengan serangan yang berulang:

Gambar 7. Tatalaksana asma saat serangan

Berikut adalah penatalaksanaan asma dengan eksaserbasi, penatalaksanaan


ini sendiri biasanya dilakukan pada pasien dengan serangan yang berulang:
 Pada pasien datang dengan sesak ada 3 hal yang kita harus evaluasi yaitu
airway, breathing, dan circulasi dan jika ditemukan kelainan berupa drownsines,
confusion, dan silentchest maka langkah selanjutnya adalah segera konsul ke ICU,

25
mulai pemberian SABA dan O2. Persiapan untuk dilakukan tindakan intubasi.
 Jika tidak ditemukan salah satu manifestasi klinik dari 3 hal yang kita nilai
maka tindakan yang kita lakukan adalah menentukan apakah klinis yang kita
temukan tersebut termasuk derajat ringan,sedang, dan berat. Pada derajat ringan
sedang akan ditemukan gejelaberupa:
-berbicara dengan frase
-lebih memilih duduk dibanding berbaring
-tidak teragitasi
-laju pernafasan meningkat
-otot-otot aksesoris tidak terpakai
-nadi 100-120x
-saturasi oksigen 90-95 %
-PEF <50%

 Jika ditemukan klinis diatas segera lakukan pemberian short acting beta 2
agonis, ipratroporium bromide, pemberian oksigen dengan target saturasi
mencapai 93-95% pada anak-anak 94-98%, dan pemberian oral kortikosteroid.
Derajat berat akan dtemukan manifestasi klinis berupa:
-berbicara dengan kata-kata
-duduk dengan membungkuk/condong kedepan
-teragitasi
-otot aksesoris pernafasan terpakai
-saturasi oksigen <90%
-PEF <50%
 Jika ditemukan klinis diatas segera lakukan pemberian short acting beta 2
agonis, ipratroporium bromide, pemberian oksigen dengan target saturasi
mencapai 93-95% pada anak-anak 94-98%, dan pemberian oral atau intravena
kortikosteroid. Tambahan pemberian IV magnesium dan dosis tinggi ICS.
 Jika manifestasi klinis ditemukan berat atau tidak ada pebaikan maka
tindakan selanjutnya adalah segera konsulkan ke ICU atau dirawat diICU.
 Kondisi membaik, selanjutnya kita lakukan penilaian ulang FEV, PEP jika

26
60% - 80% maka termasuk derajat ringan sedang dan lanjutkan terapi, jika
didapatkan nilai FEV, PEP >80% termasuk derajat berat selanjutnya lakukan
terapi sesuai sesuai dengan derajatberat.

Berikut adalah obat-obatan yang berperan sebagai kontroler


 Inhaled & systemic Glucocorticosteroid
 Prednisolone,betamethasone
 Beclomethasone,budesonide
 Fluticasone
 Xanthines
 Theophylline slowreleased
 Long actingβ2-agonist
 Salmeterol
 Formoterol
 Anti-leukotrienes
 Montelukast,Zafirlukast
 Mast cellstabiliser
 Sodium cromoglycates
 Combinations
 Salmeterol/Fluticasone
 Formoterol/Budesonide
 Salbutamol/Beclomethasone

27
Bagan 1. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

28
Bagan 2. Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Tujuan dari penatalaksanaan asma (GINA,2017)


29
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi penyakit,
meningkatkan faal paru mendekati normal, mempertahankan faal paru,
meningkatan kualiti hidup, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya
obstruksi yang ireversibel, dan mencegah kematian karena asma.

Penilaian apakah asma terkontrol atau tidak (GINA,2017)

Gambar 8. Kuesioner penilaian asma


I. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah (PDPI, 2006):
1. Status asmatikus
2. Atelektasis Hipoksemia
3. Pneumothoraks
4. Emfisema

J. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih tua lebih
banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak- kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang

30
tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan
commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan (PDPI, 2006).Pada
penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan) angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9% (PDPI, 2006

BAB IV
PENCEGAHAN DAN PEMBINAAN

Genogram Keluarga Ny. Y

Tn. A/ Ny.
30 th W/

27 th

Keterangan:

An.AR
An.AR An. Y/ Penderita
/5
/5 th
th 1 th 31
Home Visit
1. Fungsi holistik.
Fungsi holistik merupakan fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, fungsi psikologis, dan fungsi sosial ekonomis.
a. Fungsi biologis: Ayah Os memiliki riwayat alergi. Keluarga Os
menyangkal jika dikeluarganya terdapat yang menderita hipertensi,
kencing manis, dan penyakit menular lainnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa fungsi biologis keluarga Os cukup baik.
b. Fungsi psikologis: Hubungan antar keluarga harmonis dan sangat akrab,
walaupun ayah Os sering keluar kota untuk bekerja. Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat dikatakan bahwa fungsi psikologis keluarga ini
berjalan baik.
c. Fungsi sosial ekonomi: Kondisi ekonomi keluarga Os menengah ke
bawah. Ayah Os bekerja sebagai buruh di Batam dengan penghasilan +
1.500.000 sebulan dan Ibu Os adalah ibu rumah tangga. Keluarga Os
bersosialisasi dengan baik. Ayah Os ikut kerja bakti dan berkumpul dengan
anggota masyarakat lain pada saat pulang ke rumah. Ibu Os dan Os selalu
menghadiri acara-acara kemasyarakatan yang diadakan di lingkungan
sekitar.

2. Fungsi fisiologis
Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR score
adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain. APGAR score meliputi:
a. Adaptation
Keluarga ini mampu beradaptasi antar sesama anggota keluarga, saling
mendukung, saling menerima, dan memberikan saran satu sama yang
lainnya.
b. Partnership
Komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling berbagi
informasi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah
yang dialami oleh keluarga tersebut.
c. Growth
32
Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota keluarga
akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut.
d. Affection
Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga ini sudah
terjalin dengan cukup baik.
e. Resolve
Tn.A sering bekerja di luar kota dan jarang menghabiskan waktu bersama-
sama dengan anggota keluarganya. Adapun skor APGAR keluarga ini
adalah 9 dengan interpretasi Baik. (Data terlampir).

3. Fungsi patologis
Fungsi patologis dinilai dengan SCREEM score, dengan rincian sebagai
berikut.
a. Social, interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup baik.
b. Culture, keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang baik
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.
c. Religious, keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Economic, status ekonomi keluarga ini kurang, yaitu menengah kebawah.
e. Educational, tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang. Tn. A dan
Ny. W adalah tamatan SLTP
f. Medical, Keluarga telah menjadi anggota BPJS. Keluarga berobat ke
fasilitas kesehatan terdekat di Puskesmas Sekip

4. Fungsi hubungan antarmanusia


Hubungan interaksi antar anggota keluarga maupun antar keluarga dengan
masyarakat sekitar sudah terjalin dengan baik.

5. Fungsi Keturunan (genogram)


Fungsi genogram dalam keadaan baik

6. Fungsi perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) – health literacy


Health literacy merupakan kapasitas seseorang untuk memperoleh,
mengolah, dan memahami informasi dan pelayanan kesehatan sehingga ia
dapat membuat keputusan kesehatan terbaik secara mandiri bagi dirinya
sendiri.

33
Keluarga ini sering mendapatkan informasi mengenai kesehatan
melalui program-program promosi kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas.
Namun masih kurang dalam mengaplikasikan ilmu dan informasi yang
didapatkan, seperti mengenai kondisi rumah yang sehat dan tidak adanya
inisiatif keluarga untuk mengobati keluhan yang sudah sering dialami Os.

7. Fungsi nonperilaku (Lingkungan, pelayanan kesehatan, keturunan)


Lingkungan kurang sehat karena terdapat got yang sangat dekat dengan
rumah. Tempat pembuangan sampah juga kurang dikelola dengan baik.
Keluarga ini kurang aktif memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan,
jarak rumah dengan puskesmas/rumah sakit cukup dekat. Keluarga ini
memiliki riwayat atopi.

8. Fungsi indoor
Lingkungan dalam rumah tergolong tidak sehat. Rumah penderita
terbuat dari papan tipis dan beratap seng. Rumah keluarga ini juga selalu
terbuka saat siang hari sehingga debu dari jalan bisa langsung masuk ke
rumah. Pakaian dan barang ditumpuk dan kondisi lantai rumah kotor dan
berdebu. Dapur terbuka dan menghadap ke jalan yang berdebu. Tidak terdapat
wastafel di dapur. Terdapat 1 kamar mandi. Kamar mandi tersebut
menggunakan air PDAM.

9. Fungsi outdoor
Gambaran lingkungan di luar rumah kurang baik, jarak antar rumah
cukup padat, di depan rumah terdapat got yang tidak mengalir dan air yang
menggenang serta sampah sampah yang tidak dibersihkan akibat kurangnya
pengolahan sampah dikawasan ini. Tempat pembuangan sampah yang dekat
dengan rumah dan kebiasaan warga membakar sampah pada malam hari
membuat lingkungan luar rumah warga sekitar ini kurang baik.

Upaya Pencegahan dan Pembinaan


Upaya pencegahan dan pembinaan yang saya ajukan selaku pembina
kesehatan keluarga Nn. AR adalah untuk meningkatkan kualitas hidup semua
anggota keluarga dan mencegah terjadinya kekambuhan penyakit.
Penatalaksanaan yang saya ajukan berupa non-farmakologis dan farmakologis.

34
Penatalaksanaan non-farmakologis lebih cenderung kepada penyuluhan tentang
penyakit asma serta pentingnya mengubah pola hidup menjadi lebih sehat.
Penyuluhan tersebut tentang penyebab timbulnhya keluhan, pentingnya menjaga
kebersihan dalam rumah, pentingnya memiliki rumah yang layak huni, serta
pentingnya memeriksakan diri ke Puskesmas apabila keluhan muncul.
Terapi farmakologis berupa obat sistemik yaitu obat anti histamin
(cetirizine) menjadi pilihan saya karena obat tersebut yang tersedia di puskesmas
dan cukup ampuh untuk mengatasi penyakit rinitis alergi. Dijelaskan juga kepada
pasien untuk meminum obat anti histamin ditujukan untuk mengurangi keluhan
pilek dan diminum cukup 1 tablet dalam sehari.

35
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Simpulan
1. Os mengalami asma, pasien memiliki masalah ekonomi, namun tidak
memiliki masalah sosial dan psikologi
2. Penyakit yang dialami Os dapat disebabkan oleh kebersihan di dalam
rumah dan lingkungan Os
3. Fungsi patologi yang dinilai dengan skor SCREEM menunjukkan adanya
masalah ekonomi pada keluarga Os.

5.2 Saran
1. Pelayanan kedokteran keluarga hendaknya dapat diterapkan dengan lebih
baik di Indonesia karena dapat memberikan penanganan secara
menyeluruh terhadap pasien serta dapat meningkatkan status kesehatan
masyarakat Indonesia.
2. Keluarga Os hendaknya memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan
di sekitar karena merupakan faktor yang mempengaruhi kekambuhan
penyakit asma yang dialami Os.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA, Djuanda Suria. Neurodermatitis sirkumskripta. Dalam Djuanda


A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keempat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2006:147-148

2. Susan Burgin, MD. Numular Eczema and Lichen Simplex Chronic/Prurigo


Nodularis. Dalam: Fitzpatrick TB, Eizen AZ, Woff K, Freedberg IM, Auten
KF, penyunting: Dermatology in general medicine, 7th ed, New York: Mc
Graw Hill. 2008: 158-162.

3. Odom RB, James WD, Berger TG. Atopic dermatitis, eczema, and
noninfectious immunodeficiency disorders. Dalam: Andrew’s Diseases of The
Skin: Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2000: 69-94.

4. C.A. Holden & J. Berth-Jones. Lichen Simplex Chronic. Dalam: Rook’s Text
Book of Dermatology. Blackwell Publishing. 2004:17.41-17.43.

5. Gulsum Gencoglan et al. Therapeutic Hotline: Treatment of prurigo nodularis


and lichen simplex chronicus with gabapentin. Dermatologic Therapy Volume
23, Issue 2, March/April 2010:194–198 .

6. Hogan D J, Mason S H. Lichen Simplex Chronicus. Diakses dari


www.emedicine.com 22 Mei 2019 pukul 03.00

7. Dalton, L Julius. Incidence Of Lichen Simplex Chronicus In Orientals And


Caucasians. Canad. M. A. J: Dec. 15, 1956, vol. 75.

8. Rajalakshmi R, Thappa DM, Jaisankar TJ, et al. Lichen simplex chronicus of


anogenital region: A clinico-etiological study. Indian J Dermatol Venereol
Leprol 2011 Jan-Feb; 77(1):28-36.

9. Stewart KM. Clinical care of vulvar pruritus, with emphasis on one common
cause, lichen simplex chronicus. Dermatol Clin 2010 Oct; 28(4):669-80.

10. Richards RN. Update on intralesional steroid: focus on dermatoses. J Cutan


Med Surg 2010 Jan-Feb; 14(1):19-23.

37
LAMPIRAN 1
DENAH RUMAH

38
LAMPIRAN 2
KONDISI RUMAH DAN LINGKUNGAN

Dapur yang kotor

Dapur menghadap langsung ke jalan yang berdebu

Kamar yang sempit dan dihuni oleh 4 orang

39
Aliran air yang kotor di luar rumah Os

Kamar mandi yang berlumut dan langsung berhubungan dengan kamar


yang di sebelahnya

40
Ruang Tamu yang Kotor

Suasana Komunikasi dengan Keluarga Os

41
LAMPIRAN 3
APGAR SCORE

Skor untuk masing-masing kategori adalah :


0 = Jarang/tidak sama sekali
1 = Kadang-kadang
2 = Sering/selalu
Tiga kategori penilaian yaitu :
≤ 5 = Kurang

Variabel APGAR APGAR APGAR APGAR


Penilaian Ayah Ibu Anak I Anak II
Adaptation 2 2 2 2
Partnership 2 2 2 2
Growth 1 1 2 2
Affection 2 2 2 2
Resolve 1 2 1 2
Total 8 9 9 10
6-7 = Cukup
8-10 = Baik

Rata-rata APGAR score pada keluarga ini = 9 (Baik)

LAMPIRAN 4
SCREEM SCORE

Variabel Penilaian Penilaian


Social Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup
baik.
Culture Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan
yang baik terhadap budaya, tata karma, dan perhatian
terhadap sopan santun.

42
Religious Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Economic Status ekonomi keluarga ini kurang
Educational Tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang.
Tn. A dan Ny. W adalah tamatan SLTP
Medical Keluarga ini tergolong cukup mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai.

43

Anda mungkin juga menyukai