PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS
Nama : An. FAJ
Nama Orang Tua : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 6 tahun
Alamat : Jln. Bening Sari RT/RW.010/003 Kelurahan
Dusun II Kecamatan Sekip, Palembang
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 18 Mei 2019
1.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
Keluhan Utama :
Batuk dan sesak sejak 1 hari yang lalu
Riwayat Alergi :
Pasien memiliki alergi terhadap debu dan cuaca dingin. Alergi terhadap
makanan, dan obat-obatan, disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak pernah berobat menggunakan obat apapun.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien sering bermain di jalan depan rumahnya yang banyak dilalui
kendaraan. Os tinggal di rumah yang sangat dekat dengan jalan dan dengan
kondisi jendela serta pintu yang selalu terbuka pada siang hari
KEADAAN SPESIFIK
Kepala :
Mata : konjungtiva palpebrae pucat tidak ada, sklerajikterik tidak
ada, pupil
bulat, isokor, 3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : Liang telinga luas, sekret (-)
Hidung : Cavum nasi luas (+/+), perdarahan (-/-), secret (-/-), nyeri
tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi(-), tidak terdapat
pembengkakan pada daerah muka
Mulut : Mukosa bibir dan mulut hiperemis (-),
Leher : pembesaran KGB tidak ada
Dada : bentuk simetris
Paru : vesikuler (+) normal,rhonkhi (-/-), wheezing (+/+)
Jantung : bunyi jantung I dan II(+)normal, HR= 85x/mnt, murmur
(-), gallop (-)
Perut : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising nusus (+)
normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas atas : bentuk simetris, akral hangat, edema tidak ada
Ekstremitas bawah: bentuk simetris, akral hangat, edema tidak ada.
Genitalia eksterna : tidak diperiksa
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
1.4 RESUME
An. AR, usia 6 tahun, mengeluh batuk bertambah berat dan merasakan
sesak sejak ± 1 hari SMRS. Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak
dipengaruhi cuaca dingin terutama malam dan dini hari. Sesak muncul hilang
timbul 3-4 kali, mengganggu saat aktivitas dan tidur malam hari sampai
terbangun 3-4 kali. Pasien lebih suka duduk daripada berbaring. Batuk ada dan
tidak berdahak, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Keluhan yang dialami os
sering hilang dan timbul sebelumnya, namun tidak pernah lebih dari 4 hari.
Dari anamnesis didapatkan keluarga Os, yaitu ayahnya, menderita keluhan
yang sama. Os sering bermain di jalan depan rumahnya yang berdebu dan
sering dilewati kendaraan. Os tinggal di rumah dengan pintu dan jendelanya
yang selalu terbuka pada siang hari.
1.7 PENATALAKSANAAN
Non- Medikamentosa
Edukasi mengenai kebersihan rumah dari debu untuk menghindari dari
alergen penyebab. Menganjurkan agar menutup pintu dan jendela yang
menghadap ke jalan yang berdebu. Menganjurkan untuk selalu menjaga
kebersihan tempat tidur dan tempat bermain serta mainan seperti boneka
agar tidak berdebu. Menganjurkan untuk selalu menggunakan selimut
ketika tidur di udara dingin.
Medikamentosa
Antihistamin H2 : Cetirizine 1 x 10 mg
Ambroxol 2x1
Salbutamol 2x2 mg
1.8 KOMPLIKASI
Gangguan Tidur
1.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma merupakan suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi
kronis pada saluran nafas. Kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan
peningkatan kepekaan (hiperaktivitas) saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi
dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
(GINA, 2017).
B. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi meningkat di banyak negara,
terutama lebih banyak terjadi pada anak-anak. Asma merupakan penyebab utama
seseorang tidak masuk atau tidak hadir di sekolah dan tempat kerja (GINA, 2017).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu
pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per
1.000 penduduk (PDPI,2006).
Hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah
sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi
asma bronkial sebesar 5–15%.
Sedangkan berdasarkan derajat beratnya serangan asma, dibagi menjadi (GINA, 2017):
Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat Lebih suka duduk Duduk
berbaring dari pada berbaring membungkuk
kedepan
Bicara Beberapa Kalimat terbatas Kata demi kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya terganggu Biasanya
terganggu terganggu
Frekuensi nafas Meningkat Meningkat > 30x/menit
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut).
a) Asma saat tanpa serangan
Pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma
episodik sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma pada anak
F. Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala tergantung dari berat ringannya pada waktu serangan.
Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan
dan gejala tak ada yang khas (Mangunnegoro, dkk, 2004).
Kemungkinan besar gejala yang sering pada asma (keluhan yang khas) (GINA,
2017): Lebih dari satu gejala (sesak nafas, nafas berbunyi, batuk, dada rasa
tertekan,dispneu)
Gejala sering lebih buruk pada malam dan dinihari
Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya juga bervariasi
Gejala dicetuskan/dipicu oleh infeksi virus, perubahan cuaca, olahraga
yang berlebihan, terpapar alergen, iritan (asap, knalpot mobil, bau
yangkuat)
Kemungkinan kecil gejala yang dapat dijumpai pada asma (GINA, 2017):
Batuk terisolasi dengan tidak ada gejala pada salurannafas
Terdapat sputum yang produktif
Sesak nafas lebih yang terkait dengan pusing, pusing, kesemutan pada
bagian perifer
Nyeri dada
Dispneu karena aktivitas dengan stridor.
Tanda-tanda fisik (Mansjoer A, 2001):
Cemas/gelisah/panik/berkeringat
Tekanan darah meningkat
Nadi meningkat
Pulsus paradoksus: penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10
mmHg pada waktu inspirasi
Frekuensi pernafasan meningkat
Sianosis
Otot-otot bantu pernafasan hipertrofi paru
Didapatkan ekspirasi yang memanjang
Wheezing
G. Diagnosis
YA Pertimbangkan percobaa
n
pengobatan untuk kemungkinan
Terapi asma diagnosis, atau
Riwayat/pemeriksaan yang
TIDAK Pemeriksaan lebih lanjut
K
riwayat dan tes alternatif
l
untuk diagnosis asma?
i
n
i
s
u
r
g
e
n
c
y
,
d
i
a
g
n
o
s
i
s
l
a
i
n
y
a
n
g
m
u
n
g
k
i
n
YA
Lakukan pemeriksaa
n
spirometri/PEF dengan
tes reversiilitas
Ulangi pad
a
kesempatan lain
TIDAK
Apakah diagnosis
Terapi empiris dengan ICS dan
bila perluSABA.
b. Pemeriksan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran
nafas. Tekanan darah biasanya meningkat, sesak nafas, nafas berbunyi, batuk,
dada rasa tertekan, dispneu, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga meningkat,
ekspirasi memanjang disertai ronki kering, mengi (wheezing) dapat dijumpai pada
pasien asma, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar
serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar
(silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Gejala sering lebih buruk pada malam dan dini hari. Umumnya gejala dipicu oleh
infeksi virus, perubahan cuaca, olahraga yang berlebihan, terpapar alergen, iritan
(asap, knalpot mobil, bau yang kuat) (GINA, 2017). Secara umum pasien yang
sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai
derajat serangan:
1. Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
2. Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus
3. Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
4. Auskultasi: ekspirasi memanjang, mengi, suara lendir
c. Pemeriksaan laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal
Charcot Leyden) (PDPI, 2006).
d. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Reversibilitas penyempitan saluran nafas yang merupakan ciri khas asma
dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah
pemberian bronkodilator (GINA, 2017).
2. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
3. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
4. Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
5. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
6. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokais bronkus merupakan cara untuk
membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran nafas pada orang yang
diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu Uji provokasi
dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik
seperti metakolin dan histamine (PDPI, 2006).
H. Tatalaksana
Terapi non farmakologi (GINA, 2017)
Berhenti merokok
Tiap visit, berikan rekomendasi pada pasien untuk berhenti merokok
dan menjauhi ruangan/mobil yang terdapat asap rokok
Aktivitas fisik
Berikan rekomendasi agar pasien melakukan aktivitas fisik yang teratur
dan informasi terkait mengatasi Exercise-Induced bronchoconstriction
Asma okupasi
Identifikasi dan sarankan untuk menghilangkan allergen okupasi
secepat mungkin
NSAID termasuk aspirin
Selalu tanyakan riwayat asma pada pasien sebelum memberikan obat
tersebut.
Terapi Farmakologi (GINA, 2017)
Terapi asma pada pasien yang bukan serangan atau terkontrol Asma
ringan: terkontrol baik dengan Step 1 atau2 (pemberian dosis rendah short acting
beta agonist (SABA).
Asma sedang : terkontrol baik dengan Step 3 (pemberian dosis sedang
ICS/LABA + SABA) Asma berat : terkontrol baik dengan Step 4 atau 5
(pemberian dosis tinggi ICS/LABA + SABA)
25
mulai pemberian SABA dan O2. Persiapan untuk dilakukan tindakan intubasi.
Jika tidak ditemukan salah satu manifestasi klinik dari 3 hal yang kita nilai
maka tindakan yang kita lakukan adalah menentukan apakah klinis yang kita
temukan tersebut termasuk derajat ringan,sedang, dan berat. Pada derajat ringan
sedang akan ditemukan gejelaberupa:
-berbicara dengan frase
-lebih memilih duduk dibanding berbaring
-tidak teragitasi
-laju pernafasan meningkat
-otot-otot aksesoris tidak terpakai
-nadi 100-120x
-saturasi oksigen 90-95 %
-PEF <50%
Jika ditemukan klinis diatas segera lakukan pemberian short acting beta 2
agonis, ipratroporium bromide, pemberian oksigen dengan target saturasi
mencapai 93-95% pada anak-anak 94-98%, dan pemberian oral kortikosteroid.
Derajat berat akan dtemukan manifestasi klinis berupa:
-berbicara dengan kata-kata
-duduk dengan membungkuk/condong kedepan
-teragitasi
-otot aksesoris pernafasan terpakai
-saturasi oksigen <90%
-PEF <50%
Jika ditemukan klinis diatas segera lakukan pemberian short acting beta 2
agonis, ipratroporium bromide, pemberian oksigen dengan target saturasi
mencapai 93-95% pada anak-anak 94-98%, dan pemberian oral atau intravena
kortikosteroid. Tambahan pemberian IV magnesium dan dosis tinggi ICS.
Jika manifestasi klinis ditemukan berat atau tidak ada pebaikan maka
tindakan selanjutnya adalah segera konsulkan ke ICU atau dirawat diICU.
Kondisi membaik, selanjutnya kita lakukan penilaian ulang FEV, PEP jika
26
60% - 80% maka termasuk derajat ringan sedang dan lanjutkan terapi, jika
didapatkan nilai FEV, PEP >80% termasuk derajat berat selanjutnya lakukan
terapi sesuai sesuai dengan derajatberat.
27
Bagan 1. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
28
Bagan 2. Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang
J. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih tua lebih
banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak- kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang
30
tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan
commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan (PDPI, 2006).Pada
penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan) angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9% (PDPI, 2006
BAB IV
PENCEGAHAN DAN PEMBINAAN
Tn. A/ Ny.
30 th W/
27 th
Keterangan:
An.AR
An.AR An. Y/ Penderita
/5
/5 th
th 1 th 31
Home Visit
1. Fungsi holistik.
Fungsi holistik merupakan fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, fungsi psikologis, dan fungsi sosial ekonomis.
a. Fungsi biologis: Ayah Os memiliki riwayat alergi. Keluarga Os
menyangkal jika dikeluarganya terdapat yang menderita hipertensi,
kencing manis, dan penyakit menular lainnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa fungsi biologis keluarga Os cukup baik.
b. Fungsi psikologis: Hubungan antar keluarga harmonis dan sangat akrab,
walaupun ayah Os sering keluar kota untuk bekerja. Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat dikatakan bahwa fungsi psikologis keluarga ini
berjalan baik.
c. Fungsi sosial ekonomi: Kondisi ekonomi keluarga Os menengah ke
bawah. Ayah Os bekerja sebagai buruh di Batam dengan penghasilan +
1.500.000 sebulan dan Ibu Os adalah ibu rumah tangga. Keluarga Os
bersosialisasi dengan baik. Ayah Os ikut kerja bakti dan berkumpul dengan
anggota masyarakat lain pada saat pulang ke rumah. Ibu Os dan Os selalu
menghadiri acara-acara kemasyarakatan yang diadakan di lingkungan
sekitar.
2. Fungsi fisiologis
Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR score
adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain. APGAR score meliputi:
a. Adaptation
Keluarga ini mampu beradaptasi antar sesama anggota keluarga, saling
mendukung, saling menerima, dan memberikan saran satu sama yang
lainnya.
b. Partnership
Komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling berbagi
informasi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah
yang dialami oleh keluarga tersebut.
c. Growth
32
Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota keluarga
akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut.
d. Affection
Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga ini sudah
terjalin dengan cukup baik.
e. Resolve
Tn.A sering bekerja di luar kota dan jarang menghabiskan waktu bersama-
sama dengan anggota keluarganya. Adapun skor APGAR keluarga ini
adalah 9 dengan interpretasi Baik. (Data terlampir).
3. Fungsi patologis
Fungsi patologis dinilai dengan SCREEM score, dengan rincian sebagai
berikut.
a. Social, interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup baik.
b. Culture, keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang baik
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.
c. Religious, keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Economic, status ekonomi keluarga ini kurang, yaitu menengah kebawah.
e. Educational, tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang. Tn. A dan
Ny. W adalah tamatan SLTP
f. Medical, Keluarga telah menjadi anggota BPJS. Keluarga berobat ke
fasilitas kesehatan terdekat di Puskesmas Sekip
33
Keluarga ini sering mendapatkan informasi mengenai kesehatan
melalui program-program promosi kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas.
Namun masih kurang dalam mengaplikasikan ilmu dan informasi yang
didapatkan, seperti mengenai kondisi rumah yang sehat dan tidak adanya
inisiatif keluarga untuk mengobati keluhan yang sudah sering dialami Os.
8. Fungsi indoor
Lingkungan dalam rumah tergolong tidak sehat. Rumah penderita
terbuat dari papan tipis dan beratap seng. Rumah keluarga ini juga selalu
terbuka saat siang hari sehingga debu dari jalan bisa langsung masuk ke
rumah. Pakaian dan barang ditumpuk dan kondisi lantai rumah kotor dan
berdebu. Dapur terbuka dan menghadap ke jalan yang berdebu. Tidak terdapat
wastafel di dapur. Terdapat 1 kamar mandi. Kamar mandi tersebut
menggunakan air PDAM.
9. Fungsi outdoor
Gambaran lingkungan di luar rumah kurang baik, jarak antar rumah
cukup padat, di depan rumah terdapat got yang tidak mengalir dan air yang
menggenang serta sampah sampah yang tidak dibersihkan akibat kurangnya
pengolahan sampah dikawasan ini. Tempat pembuangan sampah yang dekat
dengan rumah dan kebiasaan warga membakar sampah pada malam hari
membuat lingkungan luar rumah warga sekitar ini kurang baik.
34
Penatalaksanaan non-farmakologis lebih cenderung kepada penyuluhan tentang
penyakit asma serta pentingnya mengubah pola hidup menjadi lebih sehat.
Penyuluhan tersebut tentang penyebab timbulnhya keluhan, pentingnya menjaga
kebersihan dalam rumah, pentingnya memiliki rumah yang layak huni, serta
pentingnya memeriksakan diri ke Puskesmas apabila keluhan muncul.
Terapi farmakologis berupa obat sistemik yaitu obat anti histamin
(cetirizine) menjadi pilihan saya karena obat tersebut yang tersedia di puskesmas
dan cukup ampuh untuk mengatasi penyakit rinitis alergi. Dijelaskan juga kepada
pasien untuk meminum obat anti histamin ditujukan untuk mengurangi keluhan
pilek dan diminum cukup 1 tablet dalam sehari.
35
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Simpulan
1. Os mengalami asma, pasien memiliki masalah ekonomi, namun tidak
memiliki masalah sosial dan psikologi
2. Penyakit yang dialami Os dapat disebabkan oleh kebersihan di dalam
rumah dan lingkungan Os
3. Fungsi patologi yang dinilai dengan skor SCREEM menunjukkan adanya
masalah ekonomi pada keluarga Os.
5.2 Saran
1. Pelayanan kedokteran keluarga hendaknya dapat diterapkan dengan lebih
baik di Indonesia karena dapat memberikan penanganan secara
menyeluruh terhadap pasien serta dapat meningkatkan status kesehatan
masyarakat Indonesia.
2. Keluarga Os hendaknya memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan
di sekitar karena merupakan faktor yang mempengaruhi kekambuhan
penyakit asma yang dialami Os.
36
DAFTAR PUSTAKA
3. Odom RB, James WD, Berger TG. Atopic dermatitis, eczema, and
noninfectious immunodeficiency disorders. Dalam: Andrew’s Diseases of The
Skin: Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2000: 69-94.
4. C.A. Holden & J. Berth-Jones. Lichen Simplex Chronic. Dalam: Rook’s Text
Book of Dermatology. Blackwell Publishing. 2004:17.41-17.43.
9. Stewart KM. Clinical care of vulvar pruritus, with emphasis on one common
cause, lichen simplex chronicus. Dermatol Clin 2010 Oct; 28(4):669-80.
37
LAMPIRAN 1
DENAH RUMAH
38
LAMPIRAN 2
KONDISI RUMAH DAN LINGKUNGAN
39
Aliran air yang kotor di luar rumah Os
40
Ruang Tamu yang Kotor
41
LAMPIRAN 3
APGAR SCORE
LAMPIRAN 4
SCREEM SCORE
42
Religious Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Economic Status ekonomi keluarga ini kurang
Educational Tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang.
Tn. A dan Ny. W adalah tamatan SLTP
Medical Keluarga ini tergolong cukup mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai.
43