Anda di halaman 1dari 55

Referat

ABSES INTRAKRANIAL SEBAGAI KOMPLIKASI OMK

Oleh:

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked 04054821820039


Rahma Nur Islami, S.Ked 04084821921056
Intan Rahma Dewi, S.Ked 04084821921084
Fatimah Azzahra, S.Ked 04084821921144
Muthiah Azzahrah Arisa Putri 04084821921105

Pembimbing:
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS

ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER


RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

ABSES INTRAKRANIAL SEBAGAI KOMPLIKASI OMK

Oleh:

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked 04054821820039


Rahma Nur Islami, S.Ked 04084821921056
Intan Rahma Dewi, S.Ked 04084821921084
Fatimah Azzahra, S.Ked 04084821921144
Muthiah Azzahrah Arisa Putri 04084821921105

Telah dinilai dan dinyatakan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher (THT-KL)
RSUP Dr. Moh. Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 20 Mei
2019 s.d 24 Juni 2019.

Palembang, Mei 2019

dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya
Telaah Ilmiah yang berjudul “Abses Intrakranial sebagai komplikasi OMK” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik
di Bagian THT RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini, terutama kepada yang terhormat Dr.
Abla Ghanie Irwan, Sp. T.H.T.K.L. (K)., FICS atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan
dalam pembuatan laporan kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan. Akhir kata, semoga
referat ini membawa manfaat bagi banyak pihak dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita.

Palembang, Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................................iii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi......................................................................................................................3

2.2 Otitis Media Supuratif Kronik ...................................................................................3

2.3 Abses Intrakranial sebagai Komplikasi OMK ...........................................................5

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan ...............................................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................55


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media kronik (OMK) adalah peradangan pada mukoperiosteum rongga telinga tengah
yang berlangsung lama, disertai perforasi membran timpani dengan sekret yang keluar terus
menerus atau hilang timbul. Peradangan ini sering menimbulkan destruksi pada struktur
disekitarnya dan kadang dapat mengakibatkan gejala sisa yang bersifat ireversibel.1-4
Sampai saat ini OMK masih sering dijumpai di masyarakat dan masih memerlukan perhatian
dibidang ilmu penyakit telinga hidung dan tenggorok. Penyakit ini terutama banyak ditemukan di
negara-negara dengan tingkat sosial, ekonomi, higiene sanitasi serta pendidikan masyarakat yang
masih belum memadai Menurut survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1994,
OMK merupakan penyebab utama ketulian.
Sebelum era antibiotik, perluasan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi dari otitis
media pada anak-anak merupakan hal yang wajar. Sekarang ini, dengan luasnya penggunaan terapi
antibiotik, tingkat komplikasi dari otitis media telah menurun, walaupun begitu penyakit ini tetap
menjadi pemasalahan yang signifikan dan berkaitan dengan tingginya angka mortalitas (Eaton &
Murray), terutama pada negara berkembang (O’Connor, Perry, & Lannigan, 2009).
Penyebaran infeksi dapat terjadi melalui 3 jalur yaitu: ekstensi langsung, thrombophlebitis,
dan diseminasi hematogen (Eaton & Murray). Komplikasi otitis media secara umum dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) Morbiditas signifikan akibat otitis media pada yang
mengakibatkan gangguan perkembangan pendengaran, berbicara, dan berbahasa, serta pendidikan
pada masa kanak-kanak. 2) Komplikasi ekstrakranial, seperti mastoiditis, cholesteatoma, dan
perforasi membran timpani. 3) Komplikasi intrakranial, seperti meningitis, abses otak, dan
thrombosis sinus sigmoid. Komplikasi ini dapat diakibatkan baik oleh otitis media akut, otitis
media efusi, maupun otitis media suppuratif kronik. (O’Connor, Perry, & Lannigan, 2009)
Prevalensi OMK di 7 propinsi di Indonesia adalah 2,10- 5,20%. Selain itu didapatkan pula
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap kesehatan telinga masih rendah.5 Pada era
sebelum ditemukannya antibiotik, komplikasi intrakranial karena penyakit telinga terjadi 2,3-6,4%
kasus. Sekali penderita mengalami komplikasi intrakraial seperti abses serebri, angka kematian
akan sangat tinggi hingga 75% seperti disampaikan beberapa penelitian. Dikembangkannya anti-
biotik, teknik pencitraan yang canggih dan banyak kemajuan teknik operasi yang lebih baik
menurunkan komplikasi intrakranial hingga 0,04-0,15%.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi Sistem Pendengaran / Sistem Auditorius


Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbanga). Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan
mendengar. Deteksi awal dan diagnosis akurat gangguan otologi sangat penting.

Gambar 1. Penampang depan telinga

Bagian –bagian telinga terdiri dari telinga luar, tengah, dan dalam.
a. Auris externa / Telinga luar
Gambar 2. Telinga luar

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius eksternus,
dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana
timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi
mata. Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago,
kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu
pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus.
Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput
mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus
ketika membuka dan menutup mulut. Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5
sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana
kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis
auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung
kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang
disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan
serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan
memberikan perlindungan bagi kulit. Bagian-bagian telinga luar terbagi menjadi 3
bagian, yaitu:
1. Daun telinga (Auricula) mengandung cartilago elastic
a) Concha Auricula: Cymba Conchae dan Cavum Conchae
b) Lobulus Aurikula (lembek, tidak mengandung cartilago, mengandung jaringan
ikat fibrosa dan lemak)
c) Helix, bagian pangkal dibatasi oleh crus helicis, sedangkan crus helicis menjadi
pembatas antara cymba conchae dan cavum conchae
d) Anti helix, mengandung fossa triangularis/tulang rawan dengan bagian pangkal
dibatasi oleh crura anti helix. Helix dan anti helix dibatasi oleh scapha
e) Tragus
2. Liang telinga luar (Meatus acusticus externus)
a) Meatus acusticus cartilageus berambut dan mengandung glandula sebasea dan
seruminosa yang mengeluarkan secret seperti lilin. Posisi 1/3 lateral.
b) Meatus acusticus asseus terdapat di Posisi 2/3 medial
b. Auris medial / Telinga tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral
dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana
timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga,
Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan
translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli
(tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan
dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes.
Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu
hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah,
yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak
pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan
ke getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki
stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat
maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat
mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe.
Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm,
menghubngkan telingah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat
terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap
atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan
tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer. Bagian-bagian dari telinga tengah
terdiri dari :
1. Cavitas tympatica
2. Membrana tympatica
3. Ossicula auditoria tulang telinga
Maleus : Terdapat Tuba auditorius
Incus : Eustachius berhubungan
Stapes : Dengan nasopharinx dan membuka pada saat menelan
4. Tuba Auditoria / Tuba Auditorius / Tuba Eustachius
Telinga terngah terdiri dari suatu ruang yang terletak antara membran timpani dan
kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat didalamnya beserta
penunjangnya, tuba eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Bagian ini
dipisahkan dari dunia luar oleh suatu membran timpani dengan diameter kurang
lebih setengah inci.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida
(membran shrapnel), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars
flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan
bagian dalam dilapisi olehsel kubus bersilia, seperti sel epitel saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagendan
sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian
dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu
pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus
longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan
bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-belakang, untuk menyatakan
letak perforasi membran timpani. Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang
pendengaran yang tersusun dari luar kedalam yaitu, maleus, inkus dan stapes. Tulang
pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melakat pada stapes. Stapes
terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-
tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga
tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.5
Arteri yang menyuplai membran timpani terutama berasal dari cabang aurikuler a.
maksilaris interna yang bercabang-cabang dibawah lapisan kulit dan dari cabang
stilomastoid a. aurilularis posterior dan cabang timpanik a. maksilaris yang mendarahi
bagian mukosa. Vena yang letaknya superficial bermuara ke v. jugularis eksterna
sedangkan vena yang lebih dalam sebagian bermuara ke sinus transversus, ke vena-vena
duramater dan ke pleksus di tuba eustachius, a. timpani anterior yang merupakan cabang
a. maksilaris dan mendarahi bagian anterior kavum timpani termasuk mukosa membran
timpani, a. aurikularis profunda cabang dari a. maksilaris interna menembus tulang rawan
atau tulang dinding liang telinga untuk mendarahi kutikular permukaan luar membran
timpani.
Perdarahan kavum timpani berasal dari cabang a. karotis eksterna. Arteri timpani
anterior cabang dari a. maksilaris yang mendarahi bagian anterior kavum timpani. Arteri
timpani posterior merupakan cabang a. stilomastoid mendarahi bagian posterior kavum
timpani. Arteri timpani inferior cabang asendens a. karotis eksterna mendarahi bagian
inferior kavum timpani. Arteri petrosus superior superasialis dan a. timpani superior
cabang dari a. meningea media mendarahi bagian superior kavum timpani. Arteri karotis
timpani cabang a. karotis interna. Aliran vena jalan seiringan dengan arterinya untuk
bermuara ke sinus petrosus superior dan pleksus pterigodeus.
Persarafan sensoris bagian luar membran timpani, merupakan terusan dari
persarafan sensoris kulit liang telinga. N. aurikulotemporalis mengurus bagian posterior
dan inferior membran timpani, sedangkan bagian anterior dan superior diurus oleh cabang
aurikuler n. vagus (a. arnold), persarafan sensoris permukaan dalam membran timpani
(mukosa) diurus oleh n. jacobson yaitu cabang timpani n. glosofaringeus.
Saraf sensoris kavum timpani terutama oleh pleksus timpani cabang dari n.
glosofaringeus. Persarafan simpatis berasal dari pleksus saraf simpatis karotis interna,
persarafan simpatis terutama berfungsi pada vaskularisasi dan mempunyai efek
vasokontriksi. Muskulus stapedius dipersarafi oleh n. fasialis, akan berkontraksi bila ada
suara keras. Muskulus tensor timpani dipersarafi N. VII, bila kontraksi akan menarik
maleus ke medial sehingga membran timpani lebih tegang.
c. Auris Interna / Telinga dalam

Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk
pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII
(nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari
komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint.
Ketiga kanalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat
satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ
ahir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.
Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua
setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan
organ Corti. Di dalam lulang labirin, namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin
membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan
langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis. Labirin
membranosa tersusun atas utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis,
dan organan Corti. Labirin membranosa memegang cairan yang dina¬makan endolimfe.
Terdapat keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga
dalam; banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu.
Percepatan angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis
dan merang-sang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terja¬di aktivitas elektris
yang berjalan sepanjang cabang vesti-bular nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan
posisi kepala dan percepatan linear merangsang sel-sel rambut utrikulus. Ini juga
mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis
VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis (akus-dk), yang muncul dari
koklea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis,
utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII). Yang bergabung
dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis (nervus
kranialis VII). Kanalis auditorius internus mem-bawa nervus tersebut dan asupan darah
ke batang otak
Bagian-bagian dari telinga dalam terdiri atas :
1. Labirinthus osseus / Tulang labirin
a) Cochlea
Berisi duktus cochlear. Teridiri dari :
 Skala vestibule
 Skala medial
 Skala tympani
Skala vestibule dan media dipisahkan oleh membrane vestibularis. Skala
media dan tympani dipisahkan oleh membrane basilaris, dibagian
permukaan terdapat organ corti (sel rambut).
b) Canalis semicircularis yaitu berisi ductus semicircularis dengan berujung
pada ampula
c) Vestibula merupakan organ keseimbangan tubuh.
Terdiri atas Sacculus dan Utriculus
2. Labirynthus membranaceus / Labirin membranosa
Terdiri dari :
a) Labirynthus vestibularis
b) Labirynthus cochlearis
Mengandung :
a) Cairan
 Perilimfe (kaya ion Natrium)
 Endolimfe (kaya ion Kalium)
b) Sel rambut
c) Masa gelatinosa (mempengaruhi terhadap kecepatan impuls saraf)

Terdapat beberapa system yang berkaitan dengan system pendengaran antara lain:
1. Musculus / Otot
a) Otot ekstrinsik
 Musculus Auricularis Anterior
 Musculus Auricularis posterior
 Musculus Auricularis Superior
b) Otot intrinsic
 Musculus elicis mayor
 Musculus helicis minor
 Musculus tragicus
 Musculus anti tragicus
 Musculus obliqus auricularis
 Musculus tranversus auricularis
 Musculus auricularis / auriculare
2. Vaskuler / Pembuluh darah
a) Rami Auriculares arteri temporal Superficiale
b) Rami Auriculares arteri auriculars posterior
3. Os Temporal
a) Pars Squamosa
 Terdapat tonjolan kea rah depan ( Processus zygomaticus Ossis
Tempolaris
 Bagian caudal ( Tuberculum articulare)
 Lekukan di caudal ( Fossa mandibularis)
b) Pars Tympatica
c) Pars Styloidea (tonjolan memanjang )
d) Pars mastoidea (bagian caudal dari Os temporal); Tonjolan kearah caudal
( Processus Mastoideus)
e) Pars Petrosa ( berbentuk pyramid besisi 3 dengan puncak petromedial)
4. Persarafan
a) Nervus Vagus R Auricularis : sebelah luar, peremukaan luar membran
timpani
b) Nervus Auricularis magnus R posterior : di belakang daun telinga
c) Nervus auricularis magnum R anterior : di permukaan depan daun telinga
d) Nervus Mandibularis
e) Nervus auriculo temporalis
f) Nervus meatus acustici eksterni 3-5 berada di akar depan daun telinga,
dasar, dinding depan dan atap saluran pendengaran luar, lapisan luar
membran tympani, dan membrane tympatic
g) Nervus facialis
h) Nervus auricularis posterior R auricularis berada di semua otot daun
telinga

2.2. Fisiologi fungsional jendela oval dan bulat


Memegang peran yang penting. Jendela oval dibatasi oleh anulare fieksibel dari stapes
dan membran yang sangat lentur, memungkinkan gerakan penting,dan berlawanan selama
stimulasi bunyi, getaran stapes menerima impuls dari membrana timpani bulat yang membuka
pada sisi berlawanan duktus koklearis dilindungi dari gelombang bunyi oleh menbran timpani
yang utuh, jadi memungkinkan gerakan cairan telinga dalam oleh stimulasi gelombang suara. pada
membran timpani utuh yang normal, suara merangsang jendela oval dulu, dan terjadi jedai sebelum
efek terminal stimulasi mencapai jendela bulat. namun waktu jeda akan berubah bila ada perforasi
pada membran timpani yang cukup besar yang memungkinkan gelombang bunyi merangsang
kedua jendela oval dan bulat bersamaan. Ini mengakibatkan hilangnya jeda dan menghambat
gerakan maksimal motilitas cairan telinga dalam dan rangsangan terhadap sel-sel rambut pada
organ Corti. Akibatnya terjadi penurunan kemampuan pendengaran.
Gelombang bunyi dihantarkan oleh membrana timpani ke osikuius telinga tengah yang
akan dipindahkan ke koklea, organ pendengaran, yang terletak dalam labirin di telinga dalam.
Osikel yang penting, stapes, yang menggo dan memulai getaran (gelombang) dalam cairan yang
berada dalam telinga dalam. Gelombang cairan ini, pada gilirannya, mengakibatkan terjadinya
gerakan mem¬brana basilaris yang akan merangsang sel-sel rambut or¬gan Corti, dalam koklea,
bergerak seperti gelombang.
Gerakan membrana akan menimbulkan arus listrik yang akan merangsang berbagai
daerah koklea. Sel rambut akan memulai impuls saraf yang telah dikode dan kemudian dihantarkan
ke korteks auditorius dalam otak, dan kernudian didekode menjadi pesan bunyi.
Pendengaran dapat terjadi dalam dua cara. Bunyi yang dihantarkan melalui telinga luar
dan tengah yang terisi udara berjalan melalui konduksi udara. Suara yang dihantararkan melalui
tulang secara langsung ke telinga dalam dengan cara konduksi tulang. Normalnya, konduksi udara
merupakan jalur yang lebih efisien; namun adanya defek pada membrana timpani atau terputusnya
rantai osikulus akan memutuskan konduksi udara normal dan mengaki¬batkan hilangnya rasio
tekanan-suara dan kehilangan pendengaran konduktif.

2.3. Prinsip Fisiologi yang Mendasari Konduksi Bunyi


Bunyi memasuki telinga melalui kanalis auditorius ekternus dan menyebabkan membrana
timpani bergetar Getaran menghantarkan suara, dalam bentukm energi mekanis, melalui gerakan
pengungkit osikulus oval. Energi mekanis ini kemudian dihantarkan cairan telinga dalam ke
koklea, di mana akani menjadi energi elektris. Energi elektris ini berjalan melalui nervus
vestibulokoklearis ke nervus sentral, di mana akan dianalisis dan diterjemahkan dalam bentuk
akhir sebagai suara.
Selama proses penghantaran,gelombang suara menghadapi masa yang jauh lebih kecil,
dari aurikulus yang berukuran sampai jendela oval yang sangat kecil, yang meng batkan
peningkatan amplitudo bunyi.

2.4. Kehilangan Pendengaran


Ada dua jenis kehilangan pendengaran, yaitu:
a. Kehilangan konduktif
biasanya terjadi akibat kelainan telinga luar, seperti infeksi serumen, atau kelainan
telinga tengah, seperti otitis media atau otosklerosis. Pada keadaan seperti itu,
hantaran suara efisien suara melalui udara ke telinga dalam terputus.
b. Kehilangan sensoris
Melibatkan kerusakan koklea atau saraf vestibulokoklear. Selain kehilangan
konduktsi dan sensori neural, dapat juga terjadi kehilangan pendengaran campuran
begitu juga kehilangan pendengaran fungsional. Pasien dengan kehilangan suara
campuran mengalami kehilangan baik konduktif maupun sensori neural akibat
disfungsi konduksi udara maupun konduksi tulang. Kehilangan suara fungsional
(atau psikogenik) bersifat inorganik dan tidak berhubungan dengan perubahan
struktural mekanisme pendengaran yang dapat dideteksi biasanya sebagai
manifestasi gangguan emosional.

2.5. Factor-faktor yang mempengaruhi pendengaran


Pada populasi manula dapat mempengaruhi proses pendengaran antara lain:
a. pemajanan sepanjang terhadap suara keras (mis. jet, senjata api, mesin gergaji mesin)
b. Beberapa obat, seperti aminoglik dan bahkan aspirin, mempunyai efek ototoksik
gangguan ginjal dapat menyebabkan perlambatan ek obat pada manula. Banyak
manula menelan quinin untuk mengatasi kram tungkai, yang dapat mengakib
hilangnya pendengaran.
c. Faktor psikogenik dan pn penyakit lainnya (mis. diabetes) juga sebagian
menimbulkan kehilangan pendengaran sensorineural.

2.6. Otitits Media Supuratif Kronik


a. Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga yang paling sering adalah
infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan juga pada orang dewasa (Soepardi,
1998).
Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga
tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau
bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999). Otitis media koronik adalah perforasi pada gendang
telinga ( warmasif, 2009). Otitis media kronis adalah peradangan teliga tengah yang gigih, secara
khas untuk sedikitnya satu bulan serta orang awam biasanya menyebut congek (Alfatih, 2007)
Otitis media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur tulang
di dalam kavum timpani. Otitis media sering dijumpai pada anak – anak di bawah usia 15 tahun.
Otitis media kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi jaringan irreversible
dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media akut yang tak tertangani.
b. Epidemiologi
Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering dijumpai pada orang
Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang kulit hitam di Afrika Selatan.
Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negara-negara di
Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan
sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang jelek
merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang
sedang berkembang.2
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi
penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK
melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita
kurang pendengaran yang signifikan. Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8%
dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit
di Indonesia.
c. Manifestasi klinis
Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan terdapat
otorrhea intermitten atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada nyeri kecuali pada kasus
mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan merah dan edema.
Kolesteatoma, sendiri biasanya tidak menyebabkan nyeri. Evaluasi otoskopik membrane timpani
memperlihatkan adanya perforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih di belakang
membrane timpani atau keluar ke kanalis eksterna melalui lubang perforasi. Kolesteatoma dapat
juga tidak terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi. Hasil audiometric pada kasus kolesteatoma
sering memperlihatkan kehilangan pendengaran konduktif atau campuran.
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh
perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya secret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat
bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk
degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah
berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda
adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri
mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak
dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran
menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung
dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem
pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli
konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang
didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi
karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin
tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi
tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.
3. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda
yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus.
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses
otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder.
Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhanvertigo
seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin
oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena
perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK
dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif
pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga
tengah. Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna11 :
a) Adanya Abses atau fistel retroaurikular
b) Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
c) Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)
d) Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.
d. Etiologi
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring(adenoiditis, tonsilitis,
rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tubaEustachius. Fungsi tuba Eustachius yang
abnormal merupakan faktor predisposisiyang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s
syndrom. Adanya tubapatulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden
OMSKyang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSKyang
relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral
(sepertihipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan
leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis. Penyebab OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapimempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,dimana kelompok
sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapisudah hampir
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,tempat tinggal
yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakahinsiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagaifaktor genetik. Sistem
sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media,tapi belum diketahui
apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dariotitis media akut
dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktorapa yang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadikeadaan
kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metodekultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalahGram- negatif, flora
tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi salurannafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkanmenurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal beradadalam telinga tengah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.Organisme-organisme dari meatus
auditoris eksternal termasuk Staphylococcus, Pseudomonas aeruginosa,
B.proteus, B.coli dan Aspergillus.
Organisme dari nasofaring diantaranya Streptococcus viridians (Streptococcus α-
hemolitikus, Streptococcus β-hemolitikus dan Pneumococcus).
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besarterhadap otitis
media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggidibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderitayang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya,namun hal ini
belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edematetapi
apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belumdiketahui. Pada
telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untukmengevaluasi fungsi tuba
eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidakmungkin mengembalikan
tekanan negatif menjadi normal.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMSK :
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
2. Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan
dari perforasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratifmenjadi kronis
majemuk, antara lain :
1. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang.
a) Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.
b) Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya padatelinga
tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid. Hal ini
dapatdisebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau
timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten dimastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan
mekanisme pertahanan tubuh.
e. Patogenesis
Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal menemukan
bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang menghubungkan rongga di
belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah (kavum timpani), merupakan penyebab utama
terjadinya radang telinga tengah ini (otitis media, OM). Pada keadaan normal, muara tuba
Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius
ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar
(tekanan udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang relatif
besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi saluran nafas atas
pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga lebih sering menimbulkan OM
daripada dewasa.
Gambar 4. Anatomi tuba eustachius anak dan dewasa

Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring melalui
tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga tengah. Pada
saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan pada telinga tengah yang
dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti
keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah permeabilitas pembuluh
darah dan menambah pengeluaran sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan
beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri
menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu lapisan,
epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratifiedrespiratory epithelium dengan banyak lapisan
sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia,
mempunyai stroma yang banyak serta pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan
hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.
Bagan perjalanan penyakit OMSK :

f. Klasifikasi OMSK
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu10 :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas
atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan
tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan
derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret
mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa
telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:
a) Fase aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah
berenang dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi
dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar
jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang
besar pada liang telinga luar. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid
mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap
harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau
jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari
kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran
posterosuperior.
b) Fase tidak aktif / fase tenang
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan
mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli
konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu
rasa penuh dalam telinga.
Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :
a) Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis
b) Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis
c) Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi
d) Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
e) Otitis media supuratif akut yang berulang
2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral
lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi
yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih,
terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas
2 tipe yaitu :
a) Kongenital
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan
Clemis (1965) adalah :
1) Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2) Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3) Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel
undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama
perkembangan.
4) Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau
tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan
fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
b) Didapat
Kolesteatoma yang didapat seringnya berkembang dari suatu kantong
retraksi. Jika telah terbentuk adhesi antara permukaan bawah kantong retraksi
dengan komponen telinga tengah, kantong tersebut sulit untuk mengalami
perbaikan bahkan jika ventilasi telinga tengah kembali normal : mereka
menjadi area kolaps pada segmen atik atau segmen posterior pars tensa
membran timpani.
Epitel skuamosa pada membran timpani normalnya membuang lapisan sel-
sel mati dan tidak terjadi akumulasi debris, tapi jika terbentuk kantong
retraksi dan proses pembersihan ini gagal, debris keratin akan terkumpul dan
pada akhirnya membentuk kolesteatoma.
Pengeluaran epitel melalui leher kantong yang sempit menjadi sangat sulit
dan lesi tersebut membesar. Membran timpani tidak mengalami ‘perforasi’
dalam arti kata yang sebenarnya : lubang yang terlihat sangat kecil,
merupakan suatu lubang sempit yang tampak seperti suatu kantong retraksi
yang berbentuk seperti botol, botol itu sendiri penuh dengan debris epitel
yang menyerupai lilin.
Teori lain pembentukan kolesteatoma menyatakan bahwa metaplasia
skuamosa pada mukosa telinga tengah terjadi sebagai respon terhadap infeksi
kronik atau adanya suatu pertumbuhan ke dalam dari epitel skuamosa di
sekitar pinggir perforasi, terutama pada perforasi marginal.
Destruksi tulang merupakan suatu gambaran dari kolesteatoma didapat, yang
dapat terjadi akibat aktivitas enzimatik pada lapisan subepitel. Granuloma
kolesterol tidak memiliki hubungan dengan kolesteatoma, meskipun namanya
hampir mirip dan kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan pada
telinga tengah atau mastoid.
Granuloma kolesterol, disebabkan oleh adanya kristal kolesterol dari eksudat
serosanguin yang ada sebelumnya. Kristal ini menyebabkan reaksi benda
asing, dengan cirsi khas sel raksasa dan jaringan granulomatosa.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit OMSK9

g. Patofisiologi
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada
menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran
patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau
kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan
parut.
OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat
menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang
telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga
tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.
h. Pemeriksaan diagnostic
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagaiberikut11 :
1. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi
dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran
suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita
OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin
ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan
penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal
terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea.
Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat,
dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test berbisik).
Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan intensitas
pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen
dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut
ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea.
Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta
penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,
dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan
pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu :
a) Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
b) Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif
30-50 dB apabila disertai perforasi.
c) Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang
masihutuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
d) Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun
keadaanhantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian
pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur
dengan masking adalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli
campur.
2. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai
diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,
lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya
atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan
kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :
a) Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah
lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan
posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran
radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus
lateral.
b) Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan
tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui
apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
c) Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan
yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan
kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan
melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.
d) Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT
scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau
tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang
berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila
dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit
mastoid.
e) Cholesteatoma.
Cholesteatoma yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida. Banyak teori yang
diajukan sebagai penyebab cholesteatoma didapat primer, tetapi sampai
sekarang belum ada yang bisa menunjukan penyebab yang sebenarnya.
f) Secondary acquired cholesteatoma.
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis
biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal
pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna
yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong
retraksi membran timpani pars tensa.

i. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan OMSK yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebab dan
pada stadium penyakitnya. Dengan demikian haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta
mengganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom,
maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol
infeksi sebelum operasi.11 Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
dimana pengobatan dapat dibagi atas konservatif dan operasi
1. OMSK Benigna Tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan
segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk
mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.11
2. OMSK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah11 :
a) Membersihkan liang telinga dan kavum timpani
Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang
baik bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga (aural
toilet)11 :
1) Aural toilet secara kering (dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di
beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik
atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang
telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
2) Aural toilet secara basah (syringing).
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah,
kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun
cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat
mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid.
Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan
reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk
antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.
3) Aural toilet dengan pengisapan (suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis
operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan
pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber
infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan
resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan
tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan anastesi. Pencucian
telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
“ displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan
Ludmann.
b) Pemberian antibiotika :
 Antibiotika/antimikroba topical
Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotika
topikal untuk OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga
dengan secret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif.
Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan
garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang
buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi
pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono
menggunakan antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil
cukup memuaskan, kecuali kasus dengan jaringan patologis yang menetap
pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat pemberian obat
topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak
dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak
lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Obat-
obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai
setelah telinga dibersihkan dahulu.11 Bubuk telinga yang digunakan
seperti11 :
1) Acidum boricum dengan atau tanpa iodine
2) Terramycin.
3) Acidum boricum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotika topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK
aktif, dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun
dewasa. Neomisin dapat melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus
tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai kerja
yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi.
Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram
negatif tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif. Seperti
aminoglikosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan
basil gram negatif. Tidak ada satu pun aminoglikosida yang efektif
melawan kuman anaerob.11
Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan
hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-
steroid tetes mata. Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier
dan telinga akan sakit bila diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil
gram positif dan gram negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga
efektif melawan kuman anaerob, khususnya. Pemakaian jangka panjang
lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak
foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.11
Antibiotika topikal yang sering digunakan pada pengobatan Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) adalah12 :
Bagan 1.

Antibiotik Topikal

Terapi topikal lebih baik dibandingkan dengan terapi sistemik. Tujuannya


untuk mendapatkan konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi. Pilihan
antibiotik yang memiliki aktifitas terhadap bakterigram negatif, terutama
pseudomonas, dan gram positifterutama Staphylococcus aureus.
Pemberian antibiotik seringkali gagal, hal ini dapat disebabkan adanya
debris selain juga akibat resistensi kuman. Terapi sistemik diberikan pada
pasien yang gagal dengan terapi topikal. Jika fokus infeksi di mastoid,
tentunya tidak dapat hanya dengan terapi topikal saja, pemberian antibiotik
sistemik (seringkali IV) dapat membantu mengeliminasi infeksi. Pada
kondisi ini sebaiknya pasien di rawat di RS untuk mendapatkan aural toilet
yang lebih intensif. Terapi dilanjutkan hingga 3-4 minggu setelah otore
hilang.
 Pemberian antibiotika sistemik
Pemilihan antibiotika sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu
dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan
pengobatan , perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada
penderita tersebut.11
Dalam penggunaan antimikroba, perlu diketahui daya bunuh antimikroba
terhadap masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal
terhadap masing-masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di
masing-masing jaringan tubuh dan toksisitas obat terhadap kondisi tubuh.
Berdasarkan konsentrasi obat dan daya bunuh terhadap mikroba,
antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama
antimikroba dengan daya bunuh yang tergantung kadarnya. Makin tinggi
kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang
pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis
tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan
beta laktam.11
Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) mempunyai
aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak
dianjurkan diberikan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun.
Golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidim dan
seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan
secara parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk
OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat mengatasi OMSK.
Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob.
Metronidazol dapat diberikan pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam
selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.11
3. OMSK Maligna
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif
dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya
dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.11 Ada beberapa
jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan
mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain11 :
a) Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy)
b) Mastoidektomi radikal
c) Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
d) Miringoplasti
e) Timpanoplasti
f) Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.11
Pedoman umum pengobatan penderita OMSK adalah Algoritma berikut11 :
Bagan. Algoritma Pengobatan OMSK

j. Komplikasi
Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang
menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya
pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK
tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen
pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasiakut dari
OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten membrane timpani
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
Shambough (2003) membagi atas komplikasi meningeal dan non meningeal :
1. Komplikasi intratemporal
a) Perforasi membran timpani
Membran timpani yang disebut juga dengan gendang telinga, merupakan
membran translusen yang kaku (tetapi fleksibel) seperti struktur diafragma.
Membran timpani bergerak asecara sinkron sebagai respon pada berbagai tekanan
udara, yang membuat gelombang suara. Getaran gendang telinga sitransmisikan
melalui rantai osikular kea rah kokhlea. Di kokhlea, energi mekanik getaran
berubah menjadi energi elektrokimia dan berjalan melewatu nervus kranial VIII
(vestibulokokhlearis) menuju otak. Membran timpani dan perlekatan tulangnya
kemudian menjadi sebuah transduser, yang merubah satu energi mernjadi energi
yang lain.
Perforasi membran timpani merupakan hasil dari penyakit (terutama infeksi),
trauma maupun perawatan medis. Perforasi bisa terjasi secara temporary ataupun
persisten. Efeknya sangat bervariasi baik dalam ukuran, lokasi perforasy dan
hubungannya dengan keadaan patologi.
b) Mastoiditis akut
c) Paresis n. Fasialis
Pada otitis media akut nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi
langsung melalui kanalis fasialis. Pada otitis media kronis kerusakan terjadi oleh
erosi tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi disusul oleh infeksi
kedalam kanalis fasialis tersebut. Otogenic yang menyebabkan kelumpuhan saraf
wajah termasuk OMA, OMK tanpacholesteatoma, dan cholesteatoma. Yang
pertama biasanya terjadi dengan saluran tuba pecah dalam segmen timpani, yang
memungkinkan kontak langsung mediator inflamasidengan saraf wajah itu
sendiri. OMK dengan atau tanpa cholesteatoma dapatmengakibatkan
kelumpuhan wajah melalui keterlibatan saraf pecah, atau melalui erositulang.
Kelumpuhan wajah sekunder untuk OMA sering terjadi pada anak dengan
paresistidak lengkap yang datang tiba-tiba dan biasanya singkat dengan
pengobatan yang tepat.Di sisi lain, kelumpuhan sekunder pada OMK atau
cholesteatoma sering menyebabkankelumpuhan wajah progresif lambat dan
memiliki prognosis yang lebih buruk.
Diagnosis kelumpuhan wajah otogenic dibuat atas dasar klinis. Paresis atau
kelumpuhanwajah pada OMA, OMK, atau cholesteatoma bukanlah diagnosis
yang sulit untuk dibuathanya dengan pemeriksaan sendiri. Peran diagnostik
pencitraan CT dipertanyakan.Meskipun CT scan tidak diperlukan, dapat berguna
dalam perencanaan terapi dankonseling pasien. Ketika cholesteatoma melibatkan
saluran tuba, juga dapat mengikisstruktur seperti labirin atau tegmen.
Selanjutnya, tingkat erosi tulang dari kanal tuba danderajat keterlibatannya lebih
dapat dinilai pada CT. Penatalaksanaan pada otitis media akut, perlu diberikan
antibiotika dosis tinggi dan drenase untuk menghilangkan tekanan didalam
kavum timpani. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak ada perbaikan setelah
diukur dengan elektromiografi berulah dilakukan dekompresi. Pada otitis media
supuratif kronis, tindakan dekompresi harus segera dilakukan tanpa menunggu
pemerikssaan elektrodiagnostik.
d) Labirinitis
e) Petrositis
2. Komplikasi ekstratemporal
a) Abses subperiosteal
3. Komplikasi intracranial
a) Abses otak
b) Tromboflebitis
c) Hidrosefalus otikus
d) Empiema subdural
e) Abses subdural/ ekstradural
Pada OMSK tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah secret berhenti keluar, hal
ini menandakan adanya secret purulen yang terbendung. Klasifikasi komplikasi otitis media
supuratif

2.7. Abses Intrakranial sebaagi Komplikasi OMK


Otitis media supuratif kronis mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi
otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore.
Pemberian antibiotika telah menurunkan insiden komplikasi. Walaupun demikian organisme yang
resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi
didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi
akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK yang
berhubungan dengan kolesteatom.
a. Penyebaran penyakit
Komplikasi OMSK terjadi apabila sawar ( barrier ) pertahanan telinga tengah yang normal
dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama
ini adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran nafas, mampu melokalisasi
infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel
mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya
periostium akan menyebabkan terjadinya abses subperiosteal, suatu komplikasi yang relatif tidak
berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan
paresis n.fasialis atau labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural,
tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses otak.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi akan
terbentuk. Pada OMSK penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya adalah
toksin masuk melalui jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus
internus, duktus perilimfatik, dan duktus endolimfatik.
Dari gejala dan tanda yang ditemukan, dapat diperkirakan jalan penyebaran suatu infeksi
telinga ke intrakranial.7
1) Penyebaran Hematogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya komplikasi terjadi
pada awal suatu nfeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau kedua
sampai hari ke sepuluh. Gejala prodormal tidak jelas seperti didapatkan pada gejala
meningitis lokal. Pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga tegah utuh, dan tulang
serta lapisan mukoperiosteal meradan dan mudah berdarah, sehingga disebut juga
mastoiditis hemoragika.
2) Penyebaran melalui erosi tulang
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila komplikasi terjadi beberapa minggu
atau lebih setelah awal penyakit. Gejala prodormal infeksi lokal biasanya mendahului
gejala infeksi yang lebih luas, misalnya paresis n.fasial ringan yang hilang timbul
mendahului paresis n.fasialisyang total, atau gejala meningtis lokal mendahului meningitis
purulen. Pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara fokus supurasi
dengan struktur sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya dilapisi oleh
jaringan granulasi
3) Penyebaran melalui jalan yang sudah ada
Penyebaran melalui jalan ini dapat diketahui bila komplikasi terjadi pada beberapa
mingggu setelah awal penyakit, ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, mugkin
dapat ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media yang
sudah sembuh. Komplikasi intrakranial mengikuti komplikasi labirinitis supuratif. Pada
operasi ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang yang bukan oleh karena erosi.

Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial dapat melewati tiga lintasan :
1) Penyebaran ke selaput otak
Penyebaran melalui lintasan ini dapat terjadi akibat dari beberapa faktor. Melalui jalan
yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang yang lemah atau defek
karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi. Labirin juga dapat dianggap
sebagai jalan penyebaran yang sudah ada, menyebabkan mudahnya infeksi ke fosa kranii
media. Jalan lain penyebaran ialah melalui tromboflebitis vena emisaria menembus
dinding mastoid ke duramater dan sinus duramater. Tromboflebitis pada susunan kanal
haversian yang (osteitis atau osteomielitis) merupakan faktor utama penyebaran menembus
sawar tulang daerah mastoid dan telinga tengah.
2) Penyebaran menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai duramater, menyebabkan pakimeningitis.
Duramater akan menebal, hiperemi, dan menjadi lebih melekat ke tulang. Jaringan
granulasi terbentuk pada bagian duramater yang tidak melekat, dan ruang subduramater
akan terobliterasi.
3) Penyebaran ke jaringan otak.
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah di antara ventrikel dan permukaan
korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan otak ini dapat
terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virchow Robin yang
berakhir didaerah vaskular subkortek.

b. Komplikasi Intracranial
Abses cerebri
Abses otak otogenik merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang sering
terjadi pada otitis media supuratif kronik tipe maligna. Mortalitasnya masih sangat tinggi
yaitu sekitar 40%. Penyebaran infeksi melalui beberapa cara yaitu melalui tegmen timpani
yang membentuk temporal abses, melalui sinus sigmoid ke fossa kranii posterior yang
membentuk abses serebellum, dari labirin ke sakkus endolimfatikus yang membentuk
abses serebellum dan dapat juga melalui vena-vena dan meatus akustikus internus. Pada
kasus abses otak dimana Otitis Media Suppurativa Kronik (OMSK) sebagai faktor
predisposisi, abses sering berlokasi pada lobus temporalis kemudian diikuti oleh abses pada
serebellum.
Diagnosis sampai sekarang masih merupakan masalah untuk para dokter karena baik
secara anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang sangat tidak spesifik.
Kecurigaan terdapatnya abses otak pada pasien OMSK adalah bila timbul sakit kepala yang
bersifat hemikranial atau yang paling sering pada seluruh kepala, menetap dan tidak
berespon dengan pengobatan penurunan kesadaran, papil edema, defisit neurologis fokal
tidak selalu dijumpai. Akan tetapi bila terdapat hal tersebut maka kecurigaan terhadap
abses otak menjadi lebih kuat.3
Gejala dan tanda klinis abses otak mengikuti patogenesis terjadinya abses seperti
yang digambarkan oleh Neely dan Mawson yaitu :3
1. Stadium inisial: gejalanya biasanya ringan dan sering terabaikan. Penderita
mengeluh sefalgia, malaise, menggigil, rasa mengantuk, mual dan muntah. Gejala
biasanya ringan, sering terabaikan dan kadang-kadang tampak sebagai eksaserbasi
otitis media supuratif kronik. Gejala ini dapat menghilang dalam beberapa hari.
2. Stadium laten: secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, kadang-kadang
masih terdapat malaise, kurang nafsu makan dan sakit kepala yang hilang timbul.
Pada stadium ini abses terlokalisir dan terjadi pembentukan kapsul. Gejala ini dapat
timbul beberapa minggu dan kadang-kadang sampai beberapa bulan.
3. Stadium manifest : pada stadium ini abses mulai membesar dan menyebabkan
gejala bertambah. Pada stadium ini dapat terjadi kejang fokal atau afasia pada abses
lobus temporalis sedangkan pada abses serebellum dapat terjadi ataksia atau tremor
yang hebat. Gejala klinik pada stadium ini terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial dan gangguan fungsi serebrum atau serebellum yang menyebabkan
tanda dan gejala fokal. Gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial berupa;
sakit kepala hebat yang memburuk pada pagi hari, mual dan muntah biasanya
bersifat proyektil terutama bila lesi pada serebellum, perubahan tingkat kesadaran
berupa lethargi, kelemahan yang progresif, stupor edema biasanya tidak tampak
pada kasus dini. Gejala ini tampak bila peningkatan tekanan intrakranial bertahan
selama 2-3 minggu dan denyut nadi lambat dan temperature subnormal.
4. Stadium akhir: pada stadium ini kesadaran makin menurun dari stupor sampai koma
dan akhirnya meninggal yang disebabkan karena ruptur abses ke dalam sistem
ventrikel dan rongga subarakhnoid.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dapat berupa:
a. Laboratorium: umumnya jumlah lekosit normal atau meningkat (<15.000/m3);
b. Lumbal punksi: analisis liquor cerebro spinalis (LCS) pada abses otak tidak spesifik
dan tindakan ini merupakan kontraindikasi untuk membuktikan kecurigaan abses
otak.Penurunan kesadaran dapat terjadi pada 20% pasien yang dilakukan LP.
c. Foto polos kepala, kurang bermakna, mungkin dapat memperlihatkan pergeseran
kelenjar pineal yang mengalami kalsifikasi.
d. Computed tomography (CT) Scan kepala: pemeriksaan ini sangatlah penting untuk
menegakkan diagnosis abses otak merupakan pemeriksaan non invasif. Sebaiknya
dilakukan dengan kontras. Pada pemeriksaan dengan kontras, abses otak tampak
sebagai daerah hipodens yang dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin
(ring sign), penting untuk mengetahui ukuran dan lokasi abses serta membantu
memantau perkembangan abses selama pengobatan.
e. Magnetic resonance imaging (MRI): membantu mengidentifikasi abses otak pada
stadium lebih awal dan lebih sensitif dalam mendeteksi penyebaran ekstra
parenkimal ke ruang subarakhnoid.

Prinsip terapi abses otak adalah menghilangkan fokus infeksi dan efek massa. Terapi
medikamentosa dengan antibiotik dapat diberikan pada abses otak bila:3
1. Keadaan pasien akan menjadi buruk bila tindakan bedah dilakukan
2. Terdapatnya abses multipel terutama bila lokasinya saling berjauhan
3. Letak abses di sebelah dalam atau daerah yang membahayakan
4. Bersamaan dengan meningitis
5. Bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan shunt yang dapat menyebabkan
infeksi pada tindakan bedah
6. Bila setelah pemberian antibiotik pada 2 minggu pertama ukuran abses menjadi
kecil. Pada penanganan medikamentosa diberikan antibiotik dosis tinggi secara
parenteral. Pemberian antibiotik dapat dikombinasikan karena biasanya terjadi
infeksi campuran dan diindikasikan pada infeksi yang berat.Pemilihan antibiotik
biasanya sulit karena adanya variasi bakteri penyebab abses otak. Biasanya
diberikan golongan penisilin untuk bakteri gram positif dan aminoglikosida untuk
bakteri gram negatif dan yang lebih penting bakteri anaerob. Kombinasi
penisilinase-resisten penisilin dan aminoglikosida dapat digunakan untuk bakteri
aerob gram positif dan gram negatif. Kombinasi sefalosforin generasi ketiga dan
metronidazol yang dapat melalui sawar darah otak dan merupakan efektif untuk
bakteri anaerob. Harus diusahakan agar dapat diperoleh bahan baku untuk kultur
dan tes kepekaan. Tes kepekaan dapat membantu pemilihan antibiotik dan
diberikan sampai suhu badan menjadi normal. Kortikosteroid diberikan sebagai
terapi tambahan untuk mengurangi pembengkakan otak dan efek desak ruang yang
disebabkan oleh abses. Dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam secara intravena.
Mengenai kapan dilakukan tindakan bedah pada abses otogenik ada beberapa
pendapat dari para ahli. Saat kondisi pasien sudah stabil maka tindakan mastoidektomi
dapat dilakukan dan biasanya sesudah 3-4 hari sesudah kraniotomi atau dapat lebih
cepat tergantung keadaan umum pasien. Akan tetapi sebelum tindakan bedah dilakukan
maka diberikan dulu antibiotik spektrum luas selama 2 minggu .3
Pendapat yang lain mengatakan bahwa operasi mastoid dan bedah saraf dilakukan
pada waktu yang berdekatan. Kontaminasi infeksi yang terus menerus dari mastoid ke
jaringan otak akan menyebabkan respon pengobatan menjadi buruk. Selanjutnya ada
yang berpendapat bahwa idealnya kedua operasi tersebut dilakukan bersamasama.
Pada kasus-kasus berat tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi bila
pengobatan infeksi telah berhasil mengurangi edema jaringan otak maka operasi
mastoid harus dilaksanakan. Untuk penanganan abses dilakukan oleh ahli bedah saraf
dengan pendekatan aspirasi melalui sawar, eksisi abses, insisi terbuka abses dan
evakuasi pus.3

Abses Ekstradural
Abses ekstradural ialah terkumpulnya nanah diantara duramater dan tulang. Pada
otoitis media supuratif kronis keadaan ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan
kolesteatoma yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau mastoid.
Gejalanya berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Dengan foto rontgen
mastoid yang baik, terutama posisi Schuller, dapat dilihat kerusakan di lempeng tegmen
(tegmen plate) yang menandakan tertembusnya tegmen. Pada umumnya abses ini baru
diketahui pada waktu operasi mastoidektomi.1&2

Abses subdural
Abses subdural jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari abses ekstradural
biasanya sebagai perluasan tromboflebitis melalui pembuluh vena. Gejalanya dapat
berupa demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran sampai koma pada pasien
OMSK. Gejala kelainan susunan saraf pusat bisa berupa kejang, hemiplegia dan pada
pemeriksaan terdapat tanda kernig positif.1&2
Pungsi lumbal perlu untuk membedakan abses subdural dengan meningitis. Pada
abses subdural dengan meningitis. Pada abses subdural pada pemeriksaan likuor
serebrospinal kadar protein biasanya normal dan tidak ditemukan bakteri. Kalau pada
abses ekstradural nanah keluar pada waktu operasi mastoidektomi, pada abses subdural
nanah harus dikeluarkan secara bedah saraf (neuro-surgical), sebelum dilakukan
operasi mastoidektomi.1&2

a. Gejala Klinis
Sebuah indeks yang tinggi dari kecurigaan klinis diperlukan dalam mendiagnosis
komplikasi otitis media ini. Pada banyak kasus, tanda klinis seringkali tersamarkan akibat efek
masking dari terapi antibiotik. Sering pula dijumpai progresi penyakit yang signifikan yang telah
terjadi sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Sama juga dengan adanya penurunan frekuensi
tingkat komplikasi dan menghasilkan jarangnya paparan pelayanan kesehatan profesional terhadap
komplikasi tersebut dapat menyebabkan penundaan potensial pada diagnosis. Dalam istilah umum,
jika gejala klinis lebih lanjut muncul dalam keadaan otitis media, dibutuhkan kontultasi spesialis
sesegera mungkin. (O’Connor, Perry, & Lannigan, 2009; Eaton & Murray)
Adapun beberapa tanda komplikasi intrakranial meliputi demam, sakit kepala, mual
muntah, letargi, penurunan kesadaran, tanda neurologis fokal, kejang, sampai koma (O’Connor,
Perry, & Lannigan, 2009; Eaton & Murray). Pada abses cerebri dapat ditemukan gejala demam,
kejang, tanda neurologis fokal, dan sakit kepala. Untuk meningitis biasanya ditemukan gejala
demam disertai dengan meningismus. Untuk thrombosis sinus sigmoid (lateral) ditemukan gejala
demam tinggi, otitis media, edama dan nyeri pada korteks mastoid, sakit kepala. Sedangkan untuk
hidrosefalus otitik gejala yang dapat muncul berupa sakit kepala, tanda peningkatan tekanan
intrakranial pada keadaan otitis media. (Eaton & Murray)
b. Patofisiologi
Mekanisme komplikasi ke intrakranial pada OMSK dapat melalui beberapa jalur, yang
paling sering penyebaran melalui jalur langsung yakni oleh karena adanya distruksi dinding sinus,
tegmen antrum atau tegmen timpani disebabkan adanya kolesteatoma. Jalur yang kedua
penyebarannya secara hematogen yaitu melalui pembuluh–pembuluh darah kecil pada dinding
mastoid yang mengadakan anastomosis dengan pembuluh – pembuluh darah dura dan sinus
sigmoid. Komplikasi OMSK terjadi pembatasan sawar (penghalang) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalarke strukturdiintas. Stuat
melaporkan 0,5% Otitis Media Akut (OMA) dan 3% dari Otitis Media Kronis (OMS)
menyebabkan abses otak. Komplikasi ke otak (abses otak) dan Otitis Media serta mastoiditis dapat
terjadi melalui 1. Destruksi tulang tegmen timpani yang menyebabkan kolesteatoma, 2.
Hematogen yang didabului tromboflebitis atau melalui "selubung perivaskular". 3. Melalui
strukrut anatomi yang sudah ada: Foramen ovale, foramen rotundum, canalis n. Fasialis, meatus
aucusticus internus.
Pada data durante operasi didapatkan destruksi dinding posterior m.a.e dan terbukanya
dinding sinus sigmoid atau tegmen timpani sebesar 87,50% penderita. Hal ini menunjukkan
kemungkinan terjadinya komplikasi melalui penyebaran secara langsung lebih tinggi dibanding
secara hematogen. Sesuai dengan beberapa kepustakaan yang melaporkan terjadinya komplikasi
intrakranial kebanyakan didahului dengan adanya destruksi dinding kavum mastoid oleh karena
proses patologis yang kemudian meluas dan menyebar ke sekitarnya.12,13 Keberadaan
kolesteatoma pada kasus yang mengalami komplikasi intrakranial sebesar 87,50%. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyatakan peran kolesteatoma dalam terjadinya komplikasi OMSK.
Kolesteatoma menyebabkan pene-kanan dan destruksi jaringan sekitarnya sehingga
memungkinkan penjalaran infeksi dari kavum mastoid ke dalam intrakranial.1
c. Penegakan Diagnosis
Dalam mengevaluasi pasien dengan komplikasi dari otitis media baik akut maupun kronis,
seorang dokter harus menjawab dua pertanyaan, yang pertama adalah komplikasi apa yang muncul
dan dari jenis otitis mana komplikasi tersebut muncul. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
memberikan hampir seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menjawab kedua pertanyaan
tersebut. (Harker, 2003)
Keluarnya cairan purulen yang tidak nyeri selama beberapa minggu atau bulan
mengindikaikan otitis media kronis, tetapi klinisi harus menentukan apakah hal tersebut
merupakan hasil sekunder dari kolesteratoma. Gejala akut dapat mewakili otitis media akut pada
telinga yang sebelumnya normal atau infeksi akut ulangan pada telinga dengan otitis media kronik
atau otitis media kronik dengan efusi. Perbedaannya memiliki signifikansi klinik yang besar.
Untuk membantu membedakan kedua kondisi klinis tersebut, klinisi harus mendapatkan kronologi
yang akurat dari gejala telinga yang sekarang serta riwayat lengkap sebelumnya yang berhubungan
dengan telinga. Seorang dokter sebaiknya memformulasikan impresi terhadap tipe dari otitis media
dan komplikasi senyelah melakukan anamenesis dan pemeriksaan fisis tetapi sebelum melakukan
pemeriksaan lebih lanjut. (Harker, 2003)
Pemeriksaan telinga secara langsung memberikan petunjuk paling baik untuk jenis otitis
media mana yang bertanggung jawab atas komplikasi yang terjadi. Daerah sekitar telinga juga
perlu diperiksa secara cermat untuk menemukan petunjuk penting. Hal ini dapat menegakkan
diagnosis dari abses postaurikular, abses Bezold, atau abses temporal. Pemeriksaan neurologis
memberikan informasi yang penting untuk diagnosis labirintitis supuratif, paralisis facial, dan
komplikasi intrakranial. Sebagai tambahan terhadap pemeriksaan fungsi nervus kranialis, dokter
harus menilai sensoris pasien dan tingkat kesadaran pasien, tentukan juga apakah pasien memiliki
tanda meningeal positif, dan evaluasi pasien terhadap defisit fungsional cerebellum atau cerebrum.
Tanda meningeal merupakan penanda meningitis, tetapi juga terlihat pada abses intraparenkim,
emphyema subdura, dan kadang-kadang abses epidural dan thrombosis sinus lateral. Defisit
neurologis fokal paling umum ditemukan pada emphyema subdura dan cerebritis atau abses lobus
temporal. (Harker, 2003)
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda infeksi
telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Kecurigaan abses otak pada pasien OMSK adalah
adanya nyeri kepala hemikranial atau seluruh kepala, kesadaran menurun, edema papil. Kelainan
neurologik fokal tidak selalu dijumpai; jika ada, memperkuat kecurigaan terhadap abses otak.20
Pemeriksaan penunjang berupa: pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal, rontgen foto
kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan. Pada pemeriksaan darah umumnya ditemukan jumlah
leukosit normal atau sedikit meningkat, biasanya <15000/mm3, LED meningkat antara 45-55
mm/jam. Pungsi lumbal harus dilakukan kecuali jika ada tanda peninggian tekanan intrakranial.19
Biasanya pungsi lumbal menunjukkan peninggian tekanan, protein dan hitun gsel tetapi mungkin
didapatkan nilai normal.19,20
Pemeriksaan EEG umumnya mendapatkan gelombang abnormal dan sering terdapat
lateralisasi berupa gelombang delta di sisi abses. EEG normal tidak menyingkirkan adanya
absesotak.4
Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan diagnosis abses
otak; akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin
atau ring sign.4 Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan pus dari tempat abses.21

CT scan yang menunjukkan abses multipel di lobus temporal sinistra

Gambar . Abses serebri pada CT scan


e. Penatalaksanaan
Komplikasi intrakranial dari otitis medua supuratif kronis biasanya membutuhkan
perawatan inap di rumah sakit. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah sangat bermanfaat
dalam memantau respon terhadap terapi. (Eaton & Murray)
Dalam penatalaksanaan awal, antibiotik intravena ditujukan terhadap patogen paling
umum, diikuti dengan antibiotik spesifik berdasarkan hasil kultur. (Eaton & Murray) Komplikasi
dari OMSK biasanya membutuhkan antibiotik dengan spektrum yang lebih luas yang dapat
menjangkau psudomonas dan organisme anaerob. (Eaton & Murray)
Prinsipnya adalah melokalisasi infeksi dengan antibiotika, menghilangkan sumber infeksi
di telinga dengan masthdektomi dan evakuasi otak. Tindakan mastoidektomi dilakukan 3-4 hari
setelah trepanasi atau dapat lebih cepat tergantung keadaan klinis pasien. Telah diberikan
spektrum antibiotika luas selama 2 minggu. Pada pasien yang telah membuat kapsul dengan defisit
neurologis atau abses harus melakukan tindakan bedah sesegera mungkin
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media supuratif kronis (OMK) adalah proses peradangan kronis yang terjadi pada
telinga tengah dan rongga mastoid yang digambarkan dengan keluarnya cairan oleh karena
perforasi dari membran timpani dan didapati adanya secret yang keluar dari telinga tengah lebih
dari 2 bulan baik terus menerus maupun hilang timbul.
Infeksi telinga tengah dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Karena letak anatomis
yang berdekatan dengan otak, infeksi intrakranial dapat terjadi dan dapat mengancam nyawa
apabila penatalaksanaannya tidak akurat dan diagnosis dini sulit ditegakkan. Penyebaran infeksi
ini memiliki beberapa cara untuk menimbulkan komplikasi diantarnya penyebaran melalui
hematogen, erosi tulang akibat kolesteatoma atau jaringan granulasi dan dari jalan yang sudah ada
akibat operasi tulang atau riwayat otitis media sebelumnya. Penatalaksanaan diperlukan kerjasama
dengan bagian bedah saraf. Karena operasi yang dilakukan intrakranial seperti abses subdura dan
abses otak.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda infeksi
telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
guna membantu memperkuat diagnose berupa: pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal,
rontgen foto kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan.
Penatalaksanaan abses otak otogenit ini pada prinsipnya adalah melokalisasi infeksi
dengan antibiotika, menghilangkan sumber infeksi di telinga dengan mastoidektomi dan evakuasi
abses otak. Prognosis dari abses otak otogenik ini sediri tergantung dari kecepatan diagnosis serta
pengobatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan
Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Jakarta.
2. Halim W. 2006. Gambaran Penyakit Indera Khusus Pada Pasien Poliklinik RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode 1 Juli-31 Desembar 2006. Skripsi. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin.
3. Ghanie A. 2009. Abses Otak Otogenik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Palembang: Simposium Otologi 2 PITO 4 PERHATI-KL.
4. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Dwi R (editor). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.
Edisi 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia. Hlm. 69-72.
5. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi Otitis Media Supuratif. Dalam: Dalam:
Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Dwi R (editor). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia. Hlm. 78-84.
6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Komplikasi Otitis Media Supuratif
dalam buku : Buku ajari lmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed.7.
Jakarta : FKUI, 2012
7. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Komplikasi Otitis media Supuratif dan Mastoiditis dalam
buku : BOIES buku ajar penyakit THT; alih bahasa, caroline wijaya. ED.6. Jakarta : EGC,
2010.
8. Teele DW, Klein JO, Rosner BA, The Greater Boston Otitis Media Study Group. Otitis
media with effusion during the first three years of life and development of speech and
language. Pediatrics, 1984, 74 (2): 282-295.
9. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat Obat
ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi
IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
10. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit
THT,hal.129.EGC,Jakarta.
11. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-76.EGC,Jakarta.
12. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-
62
13. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta; Balai Penerbit
FKUI; 1997.
14. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from URL:
http://www.pediatrics.org/
15. Farid Alfian dan Marcelena Risca. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta:
Media Aesculapis, 2014;1021-1024.
16. Djafar AZ, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007:64-74.
17. Thapa N, Shirastav RP. Intracranial complication of chronic suppuratif otitis media, attico-
antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-39 Available from URL:
http://www.jneuro.org/
18. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi
H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118
19. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
20. WHO. Chronic Suppurative Otitis Media Burden Of Illness And Management Options.
World Health Organization: Geneva, 2004.
21. Nursiah, Siti. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap beberapa
Antibiotika di bagian THT FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Medan; 2003.
22. Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Cermin Dunia Kedokteran
163/vol.35 no.4/ Juli–Agustus 2008.

Anda mungkin juga menyukai