Oleh:
Pembimbing:
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS
Referat
Judul
Oleh:
Telah dinilai dan dinyatakan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher (THT-KL)
RSUP Dr. Moh. Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 20 Mei
2019 s.d 24 Juni 2019.
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya
Telaah Ilmiah yang berjudul “Abses Intrakranial sebagai komplikasi OMK” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik
di Bagian THT RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini, terutama kepada yang terhormat Dr.
Abla Ghanie Irwan, Sp. T.H.T.K.L. (K)., FICS atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan
dalam pembuatan laporan kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan. Akhir kata, semoga
referat ini membawa manfaat bagi banyak pihak dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
2.1 Anatomi......................................................................................................................3
PENDAHULUAN
Bagian –bagian telinga terdiri dari telinga luar, tengah, dan dalam.
a. Auris externa / Telinga luar
Gambar 2. Telinga luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius eksternus,
dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana
timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi
mata. Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago,
kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu
pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus.
Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput
mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus
ketika membuka dan menutup mulut. Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5
sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana
kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis
auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung
kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang
disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan
serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan
memberikan perlindungan bagi kulit. Bagian-bagian telinga luar terbagi menjadi 3
bagian, yaitu:
1. Daun telinga (Auricula) mengandung cartilago elastic
a) Concha Auricula: Cymba Conchae dan Cavum Conchae
b) Lobulus Aurikula (lembek, tidak mengandung cartilago, mengandung jaringan
ikat fibrosa dan lemak)
c) Helix, bagian pangkal dibatasi oleh crus helicis, sedangkan crus helicis menjadi
pembatas antara cymba conchae dan cavum conchae
d) Anti helix, mengandung fossa triangularis/tulang rawan dengan bagian pangkal
dibatasi oleh crura anti helix. Helix dan anti helix dibatasi oleh scapha
e) Tragus
2. Liang telinga luar (Meatus acusticus externus)
a) Meatus acusticus cartilageus berambut dan mengandung glandula sebasea dan
seruminosa yang mengeluarkan secret seperti lilin. Posisi 1/3 lateral.
b) Meatus acusticus asseus terdapat di Posisi 2/3 medial
b. Auris medial / Telinga tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral
dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana
timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga,
Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan
translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli
(tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan
dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes.
Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu
hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah,
yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak
pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan
ke getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki
stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat
maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat
mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe.
Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm,
menghubngkan telingah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat
terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap
atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan
tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer. Bagian-bagian dari telinga tengah
terdiri dari :
1. Cavitas tympatica
2. Membrana tympatica
3. Ossicula auditoria tulang telinga
Maleus : Terdapat Tuba auditorius
Incus : Eustachius berhubungan
Stapes : Dengan nasopharinx dan membuka pada saat menelan
4. Tuba Auditoria / Tuba Auditorius / Tuba Eustachius
Telinga terngah terdiri dari suatu ruang yang terletak antara membran timpani dan
kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat didalamnya beserta
penunjangnya, tuba eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Bagian ini
dipisahkan dari dunia luar oleh suatu membran timpani dengan diameter kurang
lebih setengah inci.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida
(membran shrapnel), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars
flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan
bagian dalam dilapisi olehsel kubus bersilia, seperti sel epitel saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagendan
sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian
dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu
pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus
longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan
bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-belakang, untuk menyatakan
letak perforasi membran timpani. Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang
pendengaran yang tersusun dari luar kedalam yaitu, maleus, inkus dan stapes. Tulang
pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melakat pada stapes. Stapes
terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-
tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga
tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.5
Arteri yang menyuplai membran timpani terutama berasal dari cabang aurikuler a.
maksilaris interna yang bercabang-cabang dibawah lapisan kulit dan dari cabang
stilomastoid a. aurilularis posterior dan cabang timpanik a. maksilaris yang mendarahi
bagian mukosa. Vena yang letaknya superficial bermuara ke v. jugularis eksterna
sedangkan vena yang lebih dalam sebagian bermuara ke sinus transversus, ke vena-vena
duramater dan ke pleksus di tuba eustachius, a. timpani anterior yang merupakan cabang
a. maksilaris dan mendarahi bagian anterior kavum timpani termasuk mukosa membran
timpani, a. aurikularis profunda cabang dari a. maksilaris interna menembus tulang rawan
atau tulang dinding liang telinga untuk mendarahi kutikular permukaan luar membran
timpani.
Perdarahan kavum timpani berasal dari cabang a. karotis eksterna. Arteri timpani
anterior cabang dari a. maksilaris yang mendarahi bagian anterior kavum timpani. Arteri
timpani posterior merupakan cabang a. stilomastoid mendarahi bagian posterior kavum
timpani. Arteri timpani inferior cabang asendens a. karotis eksterna mendarahi bagian
inferior kavum timpani. Arteri petrosus superior superasialis dan a. timpani superior
cabang dari a. meningea media mendarahi bagian superior kavum timpani. Arteri karotis
timpani cabang a. karotis interna. Aliran vena jalan seiringan dengan arterinya untuk
bermuara ke sinus petrosus superior dan pleksus pterigodeus.
Persarafan sensoris bagian luar membran timpani, merupakan terusan dari
persarafan sensoris kulit liang telinga. N. aurikulotemporalis mengurus bagian posterior
dan inferior membran timpani, sedangkan bagian anterior dan superior diurus oleh cabang
aurikuler n. vagus (a. arnold), persarafan sensoris permukaan dalam membran timpani
(mukosa) diurus oleh n. jacobson yaitu cabang timpani n. glosofaringeus.
Saraf sensoris kavum timpani terutama oleh pleksus timpani cabang dari n.
glosofaringeus. Persarafan simpatis berasal dari pleksus saraf simpatis karotis interna,
persarafan simpatis terutama berfungsi pada vaskularisasi dan mempunyai efek
vasokontriksi. Muskulus stapedius dipersarafi oleh n. fasialis, akan berkontraksi bila ada
suara keras. Muskulus tensor timpani dipersarafi N. VII, bila kontraksi akan menarik
maleus ke medial sehingga membran timpani lebih tegang.
c. Auris Interna / Telinga dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk
pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII
(nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari
komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint.
Ketiga kanalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat
satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ
ahir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.
Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua
setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan
organ Corti. Di dalam lulang labirin, namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin
membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan
langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis. Labirin
membranosa tersusun atas utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis,
dan organan Corti. Labirin membranosa memegang cairan yang dina¬makan endolimfe.
Terdapat keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga
dalam; banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu.
Percepatan angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis
dan merang-sang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terja¬di aktivitas elektris
yang berjalan sepanjang cabang vesti-bular nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan
posisi kepala dan percepatan linear merangsang sel-sel rambut utrikulus. Ini juga
mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis
VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis (akus-dk), yang muncul dari
koklea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis,
utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII). Yang bergabung
dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis (nervus
kranialis VII). Kanalis auditorius internus mem-bawa nervus tersebut dan asupan darah
ke batang otak
Bagian-bagian dari telinga dalam terdiri atas :
1. Labirinthus osseus / Tulang labirin
a) Cochlea
Berisi duktus cochlear. Teridiri dari :
Skala vestibule
Skala medial
Skala tympani
Skala vestibule dan media dipisahkan oleh membrane vestibularis. Skala
media dan tympani dipisahkan oleh membrane basilaris, dibagian
permukaan terdapat organ corti (sel rambut).
b) Canalis semicircularis yaitu berisi ductus semicircularis dengan berujung
pada ampula
c) Vestibula merupakan organ keseimbangan tubuh.
Terdiri atas Sacculus dan Utriculus
2. Labirynthus membranaceus / Labirin membranosa
Terdiri dari :
a) Labirynthus vestibularis
b) Labirynthus cochlearis
Mengandung :
a) Cairan
Perilimfe (kaya ion Natrium)
Endolimfe (kaya ion Kalium)
b) Sel rambut
c) Masa gelatinosa (mempengaruhi terhadap kecepatan impuls saraf)
Terdapat beberapa system yang berkaitan dengan system pendengaran antara lain:
1. Musculus / Otot
a) Otot ekstrinsik
Musculus Auricularis Anterior
Musculus Auricularis posterior
Musculus Auricularis Superior
b) Otot intrinsic
Musculus elicis mayor
Musculus helicis minor
Musculus tragicus
Musculus anti tragicus
Musculus obliqus auricularis
Musculus tranversus auricularis
Musculus auricularis / auriculare
2. Vaskuler / Pembuluh darah
a) Rami Auriculares arteri temporal Superficiale
b) Rami Auriculares arteri auriculars posterior
3. Os Temporal
a) Pars Squamosa
Terdapat tonjolan kea rah depan ( Processus zygomaticus Ossis
Tempolaris
Bagian caudal ( Tuberculum articulare)
Lekukan di caudal ( Fossa mandibularis)
b) Pars Tympatica
c) Pars Styloidea (tonjolan memanjang )
d) Pars mastoidea (bagian caudal dari Os temporal); Tonjolan kearah caudal
( Processus Mastoideus)
e) Pars Petrosa ( berbentuk pyramid besisi 3 dengan puncak petromedial)
4. Persarafan
a) Nervus Vagus R Auricularis : sebelah luar, peremukaan luar membran
timpani
b) Nervus Auricularis magnus R posterior : di belakang daun telinga
c) Nervus auricularis magnum R anterior : di permukaan depan daun telinga
d) Nervus Mandibularis
e) Nervus auriculo temporalis
f) Nervus meatus acustici eksterni 3-5 berada di akar depan daun telinga,
dasar, dinding depan dan atap saluran pendengaran luar, lapisan luar
membran tympani, dan membrane tympatic
g) Nervus facialis
h) Nervus auricularis posterior R auricularis berada di semua otot daun
telinga
Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring melalui
tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga tengah. Pada
saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan pada telinga tengah yang
dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti
keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah permeabilitas pembuluh
darah dan menambah pengeluaran sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan
beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri
menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu lapisan,
epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratifiedrespiratory epithelium dengan banyak lapisan
sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia,
mempunyai stroma yang banyak serta pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan
hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.
Bagan perjalanan penyakit OMSK :
f. Klasifikasi OMSK
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu10 :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas
atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan
tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan
derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret
mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa
telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:
a) Fase aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah
berenang dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi
dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar
jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang
besar pada liang telinga luar. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid
mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap
harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau
jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari
kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran
posterosuperior.
b) Fase tidak aktif / fase tenang
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan
mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli
konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu
rasa penuh dalam telinga.
Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :
a) Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis
b) Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis
c) Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi
d) Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
e) Otitis media supuratif akut yang berulang
2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral
lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi
yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih,
terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas
2 tipe yaitu :
a) Kongenital
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan
Clemis (1965) adalah :
1) Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2) Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3) Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel
undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama
perkembangan.
4) Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau
tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan
fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
b) Didapat
Kolesteatoma yang didapat seringnya berkembang dari suatu kantong
retraksi. Jika telah terbentuk adhesi antara permukaan bawah kantong retraksi
dengan komponen telinga tengah, kantong tersebut sulit untuk mengalami
perbaikan bahkan jika ventilasi telinga tengah kembali normal : mereka
menjadi area kolaps pada segmen atik atau segmen posterior pars tensa
membran timpani.
Epitel skuamosa pada membran timpani normalnya membuang lapisan sel-
sel mati dan tidak terjadi akumulasi debris, tapi jika terbentuk kantong
retraksi dan proses pembersihan ini gagal, debris keratin akan terkumpul dan
pada akhirnya membentuk kolesteatoma.
Pengeluaran epitel melalui leher kantong yang sempit menjadi sangat sulit
dan lesi tersebut membesar. Membran timpani tidak mengalami ‘perforasi’
dalam arti kata yang sebenarnya : lubang yang terlihat sangat kecil,
merupakan suatu lubang sempit yang tampak seperti suatu kantong retraksi
yang berbentuk seperti botol, botol itu sendiri penuh dengan debris epitel
yang menyerupai lilin.
Teori lain pembentukan kolesteatoma menyatakan bahwa metaplasia
skuamosa pada mukosa telinga tengah terjadi sebagai respon terhadap infeksi
kronik atau adanya suatu pertumbuhan ke dalam dari epitel skuamosa di
sekitar pinggir perforasi, terutama pada perforasi marginal.
Destruksi tulang merupakan suatu gambaran dari kolesteatoma didapat, yang
dapat terjadi akibat aktivitas enzimatik pada lapisan subepitel. Granuloma
kolesterol tidak memiliki hubungan dengan kolesteatoma, meskipun namanya
hampir mirip dan kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan pada
telinga tengah atau mastoid.
Granuloma kolesterol, disebabkan oleh adanya kristal kolesterol dari eksudat
serosanguin yang ada sebelumnya. Kristal ini menyebabkan reaksi benda
asing, dengan cirsi khas sel raksasa dan jaringan granulomatosa.
g. Patofisiologi
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada
menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran
patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau
kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan
parut.
OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat
menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang
telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga
tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.
h. Pemeriksaan diagnostic
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagaiberikut11 :
1. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi
dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran
suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita
OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin
ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan
penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal
terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea.
Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat,
dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test berbisik).
Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan intensitas
pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen
dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut
ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea.
Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta
penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,
dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan
pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu :
a) Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
b) Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif
30-50 dB apabila disertai perforasi.
c) Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang
masihutuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
d) Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun
keadaanhantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian
pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur
dengan masking adalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli
campur.
2. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai
diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,
lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya
atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan
kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :
a) Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah
lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan
posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran
radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus
lateral.
b) Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan
tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui
apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
c) Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan
yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan
kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan
melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.
d) Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT
scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau
tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang
berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila
dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit
mastoid.
e) Cholesteatoma.
Cholesteatoma yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida. Banyak teori yang
diajukan sebagai penyebab cholesteatoma didapat primer, tetapi sampai
sekarang belum ada yang bisa menunjukan penyebab yang sebenarnya.
f) Secondary acquired cholesteatoma.
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis
biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal
pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna
yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong
retraksi membran timpani pars tensa.
i. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan OMSK yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebab dan
pada stadium penyakitnya. Dengan demikian haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta
mengganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom,
maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol
infeksi sebelum operasi.11 Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
dimana pengobatan dapat dibagi atas konservatif dan operasi
1. OMSK Benigna Tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan
segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk
mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.11
2. OMSK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah11 :
a) Membersihkan liang telinga dan kavum timpani
Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang
baik bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga (aural
toilet)11 :
1) Aural toilet secara kering (dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di
beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik
atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang
telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
2) Aural toilet secara basah (syringing).
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah,
kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun
cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat
mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid.
Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan
reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk
antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.
3) Aural toilet dengan pengisapan (suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis
operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan
pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber
infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan
resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan
tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan anastesi. Pencucian
telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
“ displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan
Ludmann.
b) Pemberian antibiotika :
Antibiotika/antimikroba topical
Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotika
topikal untuk OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga
dengan secret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif.
Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan
garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang
buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi
pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono
menggunakan antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil
cukup memuaskan, kecuali kasus dengan jaringan patologis yang menetap
pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat pemberian obat
topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak
dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak
lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Obat-
obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai
setelah telinga dibersihkan dahulu.11 Bubuk telinga yang digunakan
seperti11 :
1) Acidum boricum dengan atau tanpa iodine
2) Terramycin.
3) Acidum boricum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotika topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK
aktif, dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun
dewasa. Neomisin dapat melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus
tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai kerja
yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi.
Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram
negatif tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif. Seperti
aminoglikosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan
basil gram negatif. Tidak ada satu pun aminoglikosida yang efektif
melawan kuman anaerob.11
Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan
hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-
steroid tetes mata. Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier
dan telinga akan sakit bila diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil
gram positif dan gram negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga
efektif melawan kuman anaerob, khususnya. Pemakaian jangka panjang
lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak
foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.11
Antibiotika topikal yang sering digunakan pada pengobatan Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) adalah12 :
Bagan 1.
Antibiotik Topikal
j. Komplikasi
Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang
menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya
pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK
tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen
pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasiakut dari
OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten membrane timpani
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
Shambough (2003) membagi atas komplikasi meningeal dan non meningeal :
1. Komplikasi intratemporal
a) Perforasi membran timpani
Membran timpani yang disebut juga dengan gendang telinga, merupakan
membran translusen yang kaku (tetapi fleksibel) seperti struktur diafragma.
Membran timpani bergerak asecara sinkron sebagai respon pada berbagai tekanan
udara, yang membuat gelombang suara. Getaran gendang telinga sitransmisikan
melalui rantai osikular kea rah kokhlea. Di kokhlea, energi mekanik getaran
berubah menjadi energi elektrokimia dan berjalan melewatu nervus kranial VIII
(vestibulokokhlearis) menuju otak. Membran timpani dan perlekatan tulangnya
kemudian menjadi sebuah transduser, yang merubah satu energi mernjadi energi
yang lain.
Perforasi membran timpani merupakan hasil dari penyakit (terutama infeksi),
trauma maupun perawatan medis. Perforasi bisa terjasi secara temporary ataupun
persisten. Efeknya sangat bervariasi baik dalam ukuran, lokasi perforasy dan
hubungannya dengan keadaan patologi.
b) Mastoiditis akut
c) Paresis n. Fasialis
Pada otitis media akut nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi
langsung melalui kanalis fasialis. Pada otitis media kronis kerusakan terjadi oleh
erosi tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi disusul oleh infeksi
kedalam kanalis fasialis tersebut. Otogenic yang menyebabkan kelumpuhan saraf
wajah termasuk OMA, OMK tanpacholesteatoma, dan cholesteatoma. Yang
pertama biasanya terjadi dengan saluran tuba pecah dalam segmen timpani, yang
memungkinkan kontak langsung mediator inflamasidengan saraf wajah itu
sendiri. OMK dengan atau tanpa cholesteatoma dapatmengakibatkan
kelumpuhan wajah melalui keterlibatan saraf pecah, atau melalui erositulang.
Kelumpuhan wajah sekunder untuk OMA sering terjadi pada anak dengan
paresistidak lengkap yang datang tiba-tiba dan biasanya singkat dengan
pengobatan yang tepat.Di sisi lain, kelumpuhan sekunder pada OMK atau
cholesteatoma sering menyebabkankelumpuhan wajah progresif lambat dan
memiliki prognosis yang lebih buruk.
Diagnosis kelumpuhan wajah otogenic dibuat atas dasar klinis. Paresis atau
kelumpuhanwajah pada OMA, OMK, atau cholesteatoma bukanlah diagnosis
yang sulit untuk dibuathanya dengan pemeriksaan sendiri. Peran diagnostik
pencitraan CT dipertanyakan.Meskipun CT scan tidak diperlukan, dapat berguna
dalam perencanaan terapi dankonseling pasien. Ketika cholesteatoma melibatkan
saluran tuba, juga dapat mengikisstruktur seperti labirin atau tegmen.
Selanjutnya, tingkat erosi tulang dari kanal tuba danderajat keterlibatannya lebih
dapat dinilai pada CT. Penatalaksanaan pada otitis media akut, perlu diberikan
antibiotika dosis tinggi dan drenase untuk menghilangkan tekanan didalam
kavum timpani. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak ada perbaikan setelah
diukur dengan elektromiografi berulah dilakukan dekompresi. Pada otitis media
supuratif kronis, tindakan dekompresi harus segera dilakukan tanpa menunggu
pemerikssaan elektrodiagnostik.
d) Labirinitis
e) Petrositis
2. Komplikasi ekstratemporal
a) Abses subperiosteal
3. Komplikasi intracranial
a) Abses otak
b) Tromboflebitis
c) Hidrosefalus otikus
d) Empiema subdural
e) Abses subdural/ ekstradural
Pada OMSK tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah secret berhenti keluar, hal
ini menandakan adanya secret purulen yang terbendung. Klasifikasi komplikasi otitis media
supuratif
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial dapat melewati tiga lintasan :
1) Penyebaran ke selaput otak
Penyebaran melalui lintasan ini dapat terjadi akibat dari beberapa faktor. Melalui jalan
yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang yang lemah atau defek
karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi. Labirin juga dapat dianggap
sebagai jalan penyebaran yang sudah ada, menyebabkan mudahnya infeksi ke fosa kranii
media. Jalan lain penyebaran ialah melalui tromboflebitis vena emisaria menembus
dinding mastoid ke duramater dan sinus duramater. Tromboflebitis pada susunan kanal
haversian yang (osteitis atau osteomielitis) merupakan faktor utama penyebaran menembus
sawar tulang daerah mastoid dan telinga tengah.
2) Penyebaran menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai duramater, menyebabkan pakimeningitis.
Duramater akan menebal, hiperemi, dan menjadi lebih melekat ke tulang. Jaringan
granulasi terbentuk pada bagian duramater yang tidak melekat, dan ruang subduramater
akan terobliterasi.
3) Penyebaran ke jaringan otak.
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah di antara ventrikel dan permukaan
korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan otak ini dapat
terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virchow Robin yang
berakhir didaerah vaskular subkortek.
b. Komplikasi Intracranial
Abses cerebri
Abses otak otogenik merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang sering
terjadi pada otitis media supuratif kronik tipe maligna. Mortalitasnya masih sangat tinggi
yaitu sekitar 40%. Penyebaran infeksi melalui beberapa cara yaitu melalui tegmen timpani
yang membentuk temporal abses, melalui sinus sigmoid ke fossa kranii posterior yang
membentuk abses serebellum, dari labirin ke sakkus endolimfatikus yang membentuk
abses serebellum dan dapat juga melalui vena-vena dan meatus akustikus internus. Pada
kasus abses otak dimana Otitis Media Suppurativa Kronik (OMSK) sebagai faktor
predisposisi, abses sering berlokasi pada lobus temporalis kemudian diikuti oleh abses pada
serebellum.
Diagnosis sampai sekarang masih merupakan masalah untuk para dokter karena baik
secara anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang sangat tidak spesifik.
Kecurigaan terdapatnya abses otak pada pasien OMSK adalah bila timbul sakit kepala yang
bersifat hemikranial atau yang paling sering pada seluruh kepala, menetap dan tidak
berespon dengan pengobatan penurunan kesadaran, papil edema, defisit neurologis fokal
tidak selalu dijumpai. Akan tetapi bila terdapat hal tersebut maka kecurigaan terhadap
abses otak menjadi lebih kuat.3
Gejala dan tanda klinis abses otak mengikuti patogenesis terjadinya abses seperti
yang digambarkan oleh Neely dan Mawson yaitu :3
1. Stadium inisial: gejalanya biasanya ringan dan sering terabaikan. Penderita
mengeluh sefalgia, malaise, menggigil, rasa mengantuk, mual dan muntah. Gejala
biasanya ringan, sering terabaikan dan kadang-kadang tampak sebagai eksaserbasi
otitis media supuratif kronik. Gejala ini dapat menghilang dalam beberapa hari.
2. Stadium laten: secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, kadang-kadang
masih terdapat malaise, kurang nafsu makan dan sakit kepala yang hilang timbul.
Pada stadium ini abses terlokalisir dan terjadi pembentukan kapsul. Gejala ini dapat
timbul beberapa minggu dan kadang-kadang sampai beberapa bulan.
3. Stadium manifest : pada stadium ini abses mulai membesar dan menyebabkan
gejala bertambah. Pada stadium ini dapat terjadi kejang fokal atau afasia pada abses
lobus temporalis sedangkan pada abses serebellum dapat terjadi ataksia atau tremor
yang hebat. Gejala klinik pada stadium ini terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial dan gangguan fungsi serebrum atau serebellum yang menyebabkan
tanda dan gejala fokal. Gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial berupa;
sakit kepala hebat yang memburuk pada pagi hari, mual dan muntah biasanya
bersifat proyektil terutama bila lesi pada serebellum, perubahan tingkat kesadaran
berupa lethargi, kelemahan yang progresif, stupor edema biasanya tidak tampak
pada kasus dini. Gejala ini tampak bila peningkatan tekanan intrakranial bertahan
selama 2-3 minggu dan denyut nadi lambat dan temperature subnormal.
4. Stadium akhir: pada stadium ini kesadaran makin menurun dari stupor sampai koma
dan akhirnya meninggal yang disebabkan karena ruptur abses ke dalam sistem
ventrikel dan rongga subarakhnoid.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dapat berupa:
a. Laboratorium: umumnya jumlah lekosit normal atau meningkat (<15.000/m3);
b. Lumbal punksi: analisis liquor cerebro spinalis (LCS) pada abses otak tidak spesifik
dan tindakan ini merupakan kontraindikasi untuk membuktikan kecurigaan abses
otak.Penurunan kesadaran dapat terjadi pada 20% pasien yang dilakukan LP.
c. Foto polos kepala, kurang bermakna, mungkin dapat memperlihatkan pergeseran
kelenjar pineal yang mengalami kalsifikasi.
d. Computed tomography (CT) Scan kepala: pemeriksaan ini sangatlah penting untuk
menegakkan diagnosis abses otak merupakan pemeriksaan non invasif. Sebaiknya
dilakukan dengan kontras. Pada pemeriksaan dengan kontras, abses otak tampak
sebagai daerah hipodens yang dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin
(ring sign), penting untuk mengetahui ukuran dan lokasi abses serta membantu
memantau perkembangan abses selama pengobatan.
e. Magnetic resonance imaging (MRI): membantu mengidentifikasi abses otak pada
stadium lebih awal dan lebih sensitif dalam mendeteksi penyebaran ekstra
parenkimal ke ruang subarakhnoid.
Prinsip terapi abses otak adalah menghilangkan fokus infeksi dan efek massa. Terapi
medikamentosa dengan antibiotik dapat diberikan pada abses otak bila:3
1. Keadaan pasien akan menjadi buruk bila tindakan bedah dilakukan
2. Terdapatnya abses multipel terutama bila lokasinya saling berjauhan
3. Letak abses di sebelah dalam atau daerah yang membahayakan
4. Bersamaan dengan meningitis
5. Bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan shunt yang dapat menyebabkan
infeksi pada tindakan bedah
6. Bila setelah pemberian antibiotik pada 2 minggu pertama ukuran abses menjadi
kecil. Pada penanganan medikamentosa diberikan antibiotik dosis tinggi secara
parenteral. Pemberian antibiotik dapat dikombinasikan karena biasanya terjadi
infeksi campuran dan diindikasikan pada infeksi yang berat.Pemilihan antibiotik
biasanya sulit karena adanya variasi bakteri penyebab abses otak. Biasanya
diberikan golongan penisilin untuk bakteri gram positif dan aminoglikosida untuk
bakteri gram negatif dan yang lebih penting bakteri anaerob. Kombinasi
penisilinase-resisten penisilin dan aminoglikosida dapat digunakan untuk bakteri
aerob gram positif dan gram negatif. Kombinasi sefalosforin generasi ketiga dan
metronidazol yang dapat melalui sawar darah otak dan merupakan efektif untuk
bakteri anaerob. Harus diusahakan agar dapat diperoleh bahan baku untuk kultur
dan tes kepekaan. Tes kepekaan dapat membantu pemilihan antibiotik dan
diberikan sampai suhu badan menjadi normal. Kortikosteroid diberikan sebagai
terapi tambahan untuk mengurangi pembengkakan otak dan efek desak ruang yang
disebabkan oleh abses. Dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam secara intravena.
Mengenai kapan dilakukan tindakan bedah pada abses otogenik ada beberapa
pendapat dari para ahli. Saat kondisi pasien sudah stabil maka tindakan mastoidektomi
dapat dilakukan dan biasanya sesudah 3-4 hari sesudah kraniotomi atau dapat lebih
cepat tergantung keadaan umum pasien. Akan tetapi sebelum tindakan bedah dilakukan
maka diberikan dulu antibiotik spektrum luas selama 2 minggu .3
Pendapat yang lain mengatakan bahwa operasi mastoid dan bedah saraf dilakukan
pada waktu yang berdekatan. Kontaminasi infeksi yang terus menerus dari mastoid ke
jaringan otak akan menyebabkan respon pengobatan menjadi buruk. Selanjutnya ada
yang berpendapat bahwa idealnya kedua operasi tersebut dilakukan bersamasama.
Pada kasus-kasus berat tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi bila
pengobatan infeksi telah berhasil mengurangi edema jaringan otak maka operasi
mastoid harus dilaksanakan. Untuk penanganan abses dilakukan oleh ahli bedah saraf
dengan pendekatan aspirasi melalui sawar, eksisi abses, insisi terbuka abses dan
evakuasi pus.3
Abses Ekstradural
Abses ekstradural ialah terkumpulnya nanah diantara duramater dan tulang. Pada
otoitis media supuratif kronis keadaan ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan
kolesteatoma yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau mastoid.
Gejalanya berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Dengan foto rontgen
mastoid yang baik, terutama posisi Schuller, dapat dilihat kerusakan di lempeng tegmen
(tegmen plate) yang menandakan tertembusnya tegmen. Pada umumnya abses ini baru
diketahui pada waktu operasi mastoidektomi.1&2
Abses subdural
Abses subdural jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari abses ekstradural
biasanya sebagai perluasan tromboflebitis melalui pembuluh vena. Gejalanya dapat
berupa demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran sampai koma pada pasien
OMSK. Gejala kelainan susunan saraf pusat bisa berupa kejang, hemiplegia dan pada
pemeriksaan terdapat tanda kernig positif.1&2
Pungsi lumbal perlu untuk membedakan abses subdural dengan meningitis. Pada
abses subdural dengan meningitis. Pada abses subdural pada pemeriksaan likuor
serebrospinal kadar protein biasanya normal dan tidak ditemukan bakteri. Kalau pada
abses ekstradural nanah keluar pada waktu operasi mastoidektomi, pada abses subdural
nanah harus dikeluarkan secara bedah saraf (neuro-surgical), sebelum dilakukan
operasi mastoidektomi.1&2
a. Gejala Klinis
Sebuah indeks yang tinggi dari kecurigaan klinis diperlukan dalam mendiagnosis
komplikasi otitis media ini. Pada banyak kasus, tanda klinis seringkali tersamarkan akibat efek
masking dari terapi antibiotik. Sering pula dijumpai progresi penyakit yang signifikan yang telah
terjadi sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Sama juga dengan adanya penurunan frekuensi
tingkat komplikasi dan menghasilkan jarangnya paparan pelayanan kesehatan profesional terhadap
komplikasi tersebut dapat menyebabkan penundaan potensial pada diagnosis. Dalam istilah umum,
jika gejala klinis lebih lanjut muncul dalam keadaan otitis media, dibutuhkan kontultasi spesialis
sesegera mungkin. (O’Connor, Perry, & Lannigan, 2009; Eaton & Murray)
Adapun beberapa tanda komplikasi intrakranial meliputi demam, sakit kepala, mual
muntah, letargi, penurunan kesadaran, tanda neurologis fokal, kejang, sampai koma (O’Connor,
Perry, & Lannigan, 2009; Eaton & Murray). Pada abses cerebri dapat ditemukan gejala demam,
kejang, tanda neurologis fokal, dan sakit kepala. Untuk meningitis biasanya ditemukan gejala
demam disertai dengan meningismus. Untuk thrombosis sinus sigmoid (lateral) ditemukan gejala
demam tinggi, otitis media, edama dan nyeri pada korteks mastoid, sakit kepala. Sedangkan untuk
hidrosefalus otitik gejala yang dapat muncul berupa sakit kepala, tanda peningkatan tekanan
intrakranial pada keadaan otitis media. (Eaton & Murray)
b. Patofisiologi
Mekanisme komplikasi ke intrakranial pada OMSK dapat melalui beberapa jalur, yang
paling sering penyebaran melalui jalur langsung yakni oleh karena adanya distruksi dinding sinus,
tegmen antrum atau tegmen timpani disebabkan adanya kolesteatoma. Jalur yang kedua
penyebarannya secara hematogen yaitu melalui pembuluh–pembuluh darah kecil pada dinding
mastoid yang mengadakan anastomosis dengan pembuluh – pembuluh darah dura dan sinus
sigmoid. Komplikasi OMSK terjadi pembatasan sawar (penghalang) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalarke strukturdiintas. Stuat
melaporkan 0,5% Otitis Media Akut (OMA) dan 3% dari Otitis Media Kronis (OMS)
menyebabkan abses otak. Komplikasi ke otak (abses otak) dan Otitis Media serta mastoiditis dapat
terjadi melalui 1. Destruksi tulang tegmen timpani yang menyebabkan kolesteatoma, 2.
Hematogen yang didabului tromboflebitis atau melalui "selubung perivaskular". 3. Melalui
strukrut anatomi yang sudah ada: Foramen ovale, foramen rotundum, canalis n. Fasialis, meatus
aucusticus internus.
Pada data durante operasi didapatkan destruksi dinding posterior m.a.e dan terbukanya
dinding sinus sigmoid atau tegmen timpani sebesar 87,50% penderita. Hal ini menunjukkan
kemungkinan terjadinya komplikasi melalui penyebaran secara langsung lebih tinggi dibanding
secara hematogen. Sesuai dengan beberapa kepustakaan yang melaporkan terjadinya komplikasi
intrakranial kebanyakan didahului dengan adanya destruksi dinding kavum mastoid oleh karena
proses patologis yang kemudian meluas dan menyebar ke sekitarnya.12,13 Keberadaan
kolesteatoma pada kasus yang mengalami komplikasi intrakranial sebesar 87,50%. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyatakan peran kolesteatoma dalam terjadinya komplikasi OMSK.
Kolesteatoma menyebabkan pene-kanan dan destruksi jaringan sekitarnya sehingga
memungkinkan penjalaran infeksi dari kavum mastoid ke dalam intrakranial.1
c. Penegakan Diagnosis
Dalam mengevaluasi pasien dengan komplikasi dari otitis media baik akut maupun kronis,
seorang dokter harus menjawab dua pertanyaan, yang pertama adalah komplikasi apa yang muncul
dan dari jenis otitis mana komplikasi tersebut muncul. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
memberikan hampir seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menjawab kedua pertanyaan
tersebut. (Harker, 2003)
Keluarnya cairan purulen yang tidak nyeri selama beberapa minggu atau bulan
mengindikaikan otitis media kronis, tetapi klinisi harus menentukan apakah hal tersebut
merupakan hasil sekunder dari kolesteratoma. Gejala akut dapat mewakili otitis media akut pada
telinga yang sebelumnya normal atau infeksi akut ulangan pada telinga dengan otitis media kronik
atau otitis media kronik dengan efusi. Perbedaannya memiliki signifikansi klinik yang besar.
Untuk membantu membedakan kedua kondisi klinis tersebut, klinisi harus mendapatkan kronologi
yang akurat dari gejala telinga yang sekarang serta riwayat lengkap sebelumnya yang berhubungan
dengan telinga. Seorang dokter sebaiknya memformulasikan impresi terhadap tipe dari otitis media
dan komplikasi senyelah melakukan anamenesis dan pemeriksaan fisis tetapi sebelum melakukan
pemeriksaan lebih lanjut. (Harker, 2003)
Pemeriksaan telinga secara langsung memberikan petunjuk paling baik untuk jenis otitis
media mana yang bertanggung jawab atas komplikasi yang terjadi. Daerah sekitar telinga juga
perlu diperiksa secara cermat untuk menemukan petunjuk penting. Hal ini dapat menegakkan
diagnosis dari abses postaurikular, abses Bezold, atau abses temporal. Pemeriksaan neurologis
memberikan informasi yang penting untuk diagnosis labirintitis supuratif, paralisis facial, dan
komplikasi intrakranial. Sebagai tambahan terhadap pemeriksaan fungsi nervus kranialis, dokter
harus menilai sensoris pasien dan tingkat kesadaran pasien, tentukan juga apakah pasien memiliki
tanda meningeal positif, dan evaluasi pasien terhadap defisit fungsional cerebellum atau cerebrum.
Tanda meningeal merupakan penanda meningitis, tetapi juga terlihat pada abses intraparenkim,
emphyema subdura, dan kadang-kadang abses epidural dan thrombosis sinus lateral. Defisit
neurologis fokal paling umum ditemukan pada emphyema subdura dan cerebritis atau abses lobus
temporal. (Harker, 2003)
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda infeksi
telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Kecurigaan abses otak pada pasien OMSK adalah
adanya nyeri kepala hemikranial atau seluruh kepala, kesadaran menurun, edema papil. Kelainan
neurologik fokal tidak selalu dijumpai; jika ada, memperkuat kecurigaan terhadap abses otak.20
Pemeriksaan penunjang berupa: pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal, rontgen foto
kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan. Pada pemeriksaan darah umumnya ditemukan jumlah
leukosit normal atau sedikit meningkat, biasanya <15000/mm3, LED meningkat antara 45-55
mm/jam. Pungsi lumbal harus dilakukan kecuali jika ada tanda peninggian tekanan intrakranial.19
Biasanya pungsi lumbal menunjukkan peninggian tekanan, protein dan hitun gsel tetapi mungkin
didapatkan nilai normal.19,20
Pemeriksaan EEG umumnya mendapatkan gelombang abnormal dan sering terdapat
lateralisasi berupa gelombang delta di sisi abses. EEG normal tidak menyingkirkan adanya
absesotak.4
Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan diagnosis abses
otak; akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin
atau ring sign.4 Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan pus dari tempat abses.21
Otitis media supuratif kronis (OMK) adalah proses peradangan kronis yang terjadi pada
telinga tengah dan rongga mastoid yang digambarkan dengan keluarnya cairan oleh karena
perforasi dari membran timpani dan didapati adanya secret yang keluar dari telinga tengah lebih
dari 2 bulan baik terus menerus maupun hilang timbul.
Infeksi telinga tengah dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Karena letak anatomis
yang berdekatan dengan otak, infeksi intrakranial dapat terjadi dan dapat mengancam nyawa
apabila penatalaksanaannya tidak akurat dan diagnosis dini sulit ditegakkan. Penyebaran infeksi
ini memiliki beberapa cara untuk menimbulkan komplikasi diantarnya penyebaran melalui
hematogen, erosi tulang akibat kolesteatoma atau jaringan granulasi dan dari jalan yang sudah ada
akibat operasi tulang atau riwayat otitis media sebelumnya. Penatalaksanaan diperlukan kerjasama
dengan bagian bedah saraf. Karena operasi yang dilakukan intrakranial seperti abses subdura dan
abses otak.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda infeksi
telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
guna membantu memperkuat diagnose berupa: pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal,
rontgen foto kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan.
Penatalaksanaan abses otak otogenit ini pada prinsipnya adalah melokalisasi infeksi
dengan antibiotika, menghilangkan sumber infeksi di telinga dengan mastoidektomi dan evakuasi
abses otak. Prognosis dari abses otak otogenik ini sediri tergantung dari kecepatan diagnosis serta
pengobatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan
Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Jakarta.
2. Halim W. 2006. Gambaran Penyakit Indera Khusus Pada Pasien Poliklinik RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode 1 Juli-31 Desembar 2006. Skripsi. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin.
3. Ghanie A. 2009. Abses Otak Otogenik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Palembang: Simposium Otologi 2 PITO 4 PERHATI-KL.
4. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Dwi R (editor). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.
Edisi 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia. Hlm. 69-72.
5. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi Otitis Media Supuratif. Dalam: Dalam:
Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Dwi R (editor). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia. Hlm. 78-84.
6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Komplikasi Otitis Media Supuratif
dalam buku : Buku ajari lmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed.7.
Jakarta : FKUI, 2012
7. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Komplikasi Otitis media Supuratif dan Mastoiditis dalam
buku : BOIES buku ajar penyakit THT; alih bahasa, caroline wijaya. ED.6. Jakarta : EGC,
2010.
8. Teele DW, Klein JO, Rosner BA, The Greater Boston Otitis Media Study Group. Otitis
media with effusion during the first three years of life and development of speech and
language. Pediatrics, 1984, 74 (2): 282-295.
9. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat Obat
ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi
IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
10. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit
THT,hal.129.EGC,Jakarta.
11. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-76.EGC,Jakarta.
12. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-
62
13. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta; Balai Penerbit
FKUI; 1997.
14. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from URL:
http://www.pediatrics.org/
15. Farid Alfian dan Marcelena Risca. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta:
Media Aesculapis, 2014;1021-1024.
16. Djafar AZ, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007:64-74.
17. Thapa N, Shirastav RP. Intracranial complication of chronic suppuratif otitis media, attico-
antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-39 Available from URL:
http://www.jneuro.org/
18. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi
H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118
19. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
20. WHO. Chronic Suppurative Otitis Media Burden Of Illness And Management Options.
World Health Organization: Geneva, 2004.
21. Nursiah, Siti. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap beberapa
Antibiotika di bagian THT FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Medan; 2003.
22. Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Cermin Dunia Kedokteran
163/vol.35 no.4/ Juli–Agustus 2008.