Anda di halaman 1dari 18

Referat

POLINEUROPATI DIABETES MELITUS

Oleh:

Dika Dwiyasa, S.Ked 04054821820075

Pembimbing:
dr. H. M. Hasnawi Haddani, Sp. S(K)

BAGIAN / DEPARTEMEN NEUROLOGI


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
Polineuropati Diabetes Melitus

Oleh:

Dika Dwiyasa, S.Ked 04054821820075

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 April 2019 s.d
20 Mei 2019.

Palembang, Mei 2019

dr. H. M. Hasnawi Haddani, Sp. S(K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Polineuropati Diabetes Melitus”
ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H. M. Hasnawi
Haddani, Sp. S(K) atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Palembang, Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Definisi .............................................................................................................5
2.2 Epidemiologi .....................................................................................................5
2.3 Manifestasi Klinis ............................................................................................5
2.4 Kriteria Diagnosis ............................................................................................6
2.5 Patofisiologi .....................................................................................................8
2.6 Tatalaksana .....................................................................................................11
2.7 Prognosis ........................................................................................................14
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronik yang


paling sering ditemukan dalam Diabetes Mellitus (DM), risiko yang dihadapi
pasien diabetes mellitus dengan neuropati diabetik antara lain adalah: infeksi
berulang, ulkus yang tidak sembuh dan amputasi jari kaki. Kondisi inilah yang
menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian yang berakibat pada
meningkatnya biaya pengobatan pasien diabetes mellitus dengan neuropati
diabetik.
Hingga saat ini patogenesis neuropati diabetik belum seluruhnya diketahui
dengan jelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia presisten
merupakan faktor primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunya yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati diabetik, tetapi beberapa teori
lain, yang diterima adalah teori vaskular, autoimun, dan nerve growth factor.
Studi prospektif oleh Solomon dkk menyebutkan bahwa, selain peran kendali
glikemi, kejadian neuropati juga berhubungan dengan risiko kardiovaskular yang
potensial masih dapat dimodifikasi.
Manifestasi neuropati diabetik sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan
dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan
nyeri yang hebat. Gejala nyeri merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
pasien dengan neuropati diabetik. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan
bahwa nyeri dijumpai pada 7%-13% kasus neuropati diabetik. Kebanyakan 40%
dari para penderita dengan neuropati diabetik datang dengan keluhan nyeri dan
parestesia pada satu atau beberapa anggota tubuhnya. Mengingat terjadinya
neuropati diabetik merupakan rangkaian proses yang dinamis dan bergantung
pada banyak faktor, maka pengelolaan dan pencegahan neuropati diabetik, pada
dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan diabetes secara keseluruhan. Untuk
mencegah neuropati diabetik tidak berkembang menjadi ulkus pada kaki,
diperlukan berbagai upaya, khususnya, pentingnya perawatan kaki. Bila neuropati
disertai nyeri diberikan berbagai jenis obat sesuai dengan nyeri dengan harapan
untuk menghilangkan keluhan, hingga kualitas hidup dapat diperbaiki. Umumnya
neuropati diabetik terjadi setelah adanya intoleransi glukosa yang cukup lama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda dari disfungsi
saraf perifer dari penderita diabetes melitus tanpa adanya penyebab lain selain
diabetes melitus setelah dilakukan eksklusi penyebab lain. Polineuropati diabetika
menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya
bilateral simetris meliputi gangguan sensorik, motorik maupun otonom.

2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30%-40% pasien dewasa
dengan DM tipe 2 menderita Distal Peripheral Neuropathy. Berkaitan dengan
berbagai faktor resiko yang mencakup derajat hiperglikemia, indeks lipid, indeks
tekanan darah, durasi menderita diabetes dan tingkat keparahan. Studi
epidemiologik menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang tidak terkontrol
beresiko lebih besar untuk terjadi neuropati. Setiap kenaikan kadar HbA1c 2%
beresiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4 tahun.
Pada suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5%
dari 6.500 pasien DM. Pada studi Rochester, walaupun neuropati simptomatis
ditemukan hanya 13% pasien DM, ternyata lebih besar dari segalanya ditemukan
neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain melaporkan kelainan kecepatan
hantar saraf sudah didapati pada 15,2% pasien DM baru, sementara tanda klinis
neuropati hanya dijumpai pada 2,3%.

2.3 Manifestasi Klinis


Polineuropati diabetika merupakan neuropati diabetika yang paling sering
terjadi. Pada pasien-pasien DM tipe 2, 59% menunjukkan berbagai neuropati,
45% diantaranya menderita polineuropati diabetika. Gejala yang mudah dikenal
adalah kelainan yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata
dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Ditandai
dengan hilangnya akson dan serabut saraf terpanjang terkena terlebih dulu.
Umumnya gejala berupa nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari.
Khas biasanya diawali dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring
memberatnya penyakit jari tangan dan lengan terkena sehingga memberi
gambaran ‘sarung tangan dan kaos kaki’. Kelainan ini dapat mengenai saraf
sensoris, motor dan fungsi otonom dengan bermacam-macam derajat tingkat,
dengan predominan terutama disfungsi sensoris. Kelemahan otot-otot tungkai dan
penurunan reflek lutut dan tumit terjadinya lebih lambat. Adanya nyeri
menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan serabut saraf kecil (small fuber
neuropathy) dan merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan
propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan
keterlibatan serabut saraf ukuran besar yaitu large fiber neuropathy. Disfungsi
otonom yang timbul adalah adanya anhidrosis, atonia kandung kemih dan pupil
reaksi lambat. Awitan geala perlahan sebagai gejala negatif dan /atau positif.
Serabut saraf berukuran besar dan kecil terkena walaupun manifestasi dini yang
muncul mingkun dari serabut kecil.

2.4 Kriteria Diagnosis


Ada beberapa kriteria untuk menentukan adanya komplikasi neuropati
pada penderita diabetes, salah satunya adalah Konsensus San Antonio.
Konsensus San Antonio
Penegakkan neuropati diabetika selain berdasarkan WHO, dapat pula
ditegakkan berdasarkan konsensus San Antonio. Pada konsensus tersbut telah
direkomendasikan bahwa paling sedikit 1 dari 5 kriteria dibawah ini dapat dipakai
untuk menegakkan diagnosis neuropati diabetika yaitu:
1. Symptom scoring
2. Physical examination scoring
3. Quantitative Sensory Testing
4. Cardiovascular Autonomic Function Testing
5. Electrodiagnostic studies
Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination scoring yang
telah terbukti memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi untuk mendiagnosis
neuropati atau polineuropati diabetika adalah skor Diabetic Neuropathy Symptom
dan skor Diabetic Neuropathy Examination.
Diabetic Neuropathy Examination
Alat ini mempunyai sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas sebesar 51%.
Skor DNE adalah sebuah sistem skor untuk mendiagnosis polineuropati distal
pada diabetes melitus. DNE adalah sistem skor yang sensitif dan telah divalidasi
dengan baik dan dapat dilakukan secara cepat dan mudah di praktek klinik. Terdiri
dari 8 item, yaitu: A) Kekukatan otot: (Quadrisep femoris (ekstensi sendi lutut)
dan tibialis anterior (dorsofleksi kaki), B) Refleks: (Trisep surae/tendon achiles),
C) Sensibilitas jari telunjuk: (sensitivitas terhadap tusukan jarum), D) Sensibilitas
ibu jari kaki: (sensitivitas terhadap tusukan jarum, terhadap sentuhan, persepsi
geta dan posisi sendi).
Skor 0: normal
Skor 1: Defisit ringan atau sedang (kekuatan otot 3-4, refleks dan sensitivitas
menurun)
Skor 2: Defisit berat (kekuatan otot 0-2, refleks dari sensitivitas negatif/tidak ada).
Nilai maksimal dari 4 macam pemeriksaan tersebut diatas adalah 16. Sedangkan
kriteria diagnostik untuk neuropati bilai nilai >3 dari 16 nilai tersebut.
Diabetic Neuropathy Symptom
Skor Diabetic Neuropathy Symptom merupakan 4 point yang bernilai
untuk skor gejala, dengan prediksi nilai yang tinggi untuk menyaring
polineuropati pada diabetes. Gejala lain tidak stabil, nyeri neuropatik, parastesi
atau rasa tebal. Satu gejala dinilai skor 1, maksimum skor 4. Skor 1 atau lebih
diinterpretasikan sebagai positif polineuropati diabetika.
Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Elektromiografi adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa
saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak tergantung input
penderita dan tak ada bias. EMG dapat memberi informasi yang dapat dipercaya,
kuantitatif dari fungsi saraf. EMG dapat mengetahui denervasi parsial pada otot
kaki sebagai tanda dini neuropati diabetika. EMG jg dapat menunjukkan kelainan
dini pada neuropati diabetika yang asimptomatik. Pemeriksaan kecepatan
hantaran saraf sensorik mengakses integritas sel-sel ganglion radiks dorsalis dan
akson perifernya. Kecepatan hantar saraf berkurang pada demielinisasi serabut
saraf sensorik.

2.5 Patofisiologi
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang patofisiologi
terjadinya neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui
sepenuhnya. Faktor-faktor etiolog neuropati diabetika diduga adalah vaskular,
berkenaan dengan metabolisme, neutrofik dan imunologik. Studi terbaru
menunjukkan adanya kecenderungan suatu multifaktorial patogenesis yang terjadi
pada neuropati diabetika. Adapu beberapa teori yang diterima adalah:

2.5.1 Teori vaskular (Iskemia-hipoksia)


Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke
endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat
hiperglikemia. Biopsi nervus suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan
adanya penebalan pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan
menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifita Na+/K+ ATPase yang
akhirnya menimbulkan degenerasi akson.

2.5.2 Teori Metabolik


2.5.2.1 Jalur Polyol
Teori jalur polyol berperan dalam beberapa perubahan dengan
metabolisme ini. Pada status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa
instraseluler di fosforilasi ke glukosa-6-phosphate oleh hexokinase, hanya
sebagian kecil dari glukosa masuk jalur polyol. Pada kondisi-kondisi
hiperglikemi, hexokinase yang disaturasi, maka akan terjadi influks glukosa ke
dalam jalur polyol. Aldose reduktase yang secara normal mempunya fungsi
mengurangi aldehid beracun di dalam sel ke dalam alkohol non aktif, tetapi ketika
konsentrasi glukosa ke dalam jalur sorbitol, yang mana kemudian dioksidasi
menjadi fruktosa. Dalam proses mengurangi glukosa intraseluler tinggi ke
sorbitol, aldose reduktase mengkonsumsi co-faktor NADPH (nicotinamide
adenine dinucleotide phosphat hydrolase). NADPH adalah co-faktor yang penting
untuk memperbarui intracelluler critical anti oxidant, dan pengurangan
glutathione. Dengan mengurangi jumlah glutathione, jalur polyol meningkatkan
kepekaan stres oksidatif intraseluler. Stres oksidatif berperan utama di dalam
patogenesis neuropati diabetika perifer. Ada bukti peningkatan oksigen radikal
bebas dan peningkatan beberapa penanda stres oksidatif seperti malondialdehide
dan lipid hydroksiperoksida pada penderita neuropati diabetika. Indikator kuat
untuk membuktikan bagaimana peran stres oksidatif dalam neuropati diabetika,
dibuktikan oleh beberapa penelitian mengenai penggunaan antioksidan baik pada
binatang percobaan maupun pada pasien.
Gambar 1. Jalur Polyol
Sorbitol sesudah dioksidasi sorbitol dehydrogenase menjadi fruktosa,
mengalami degradasi secara perlahan dan tidak cukup menebus ke membran sel.
Akumulasi sorbitol intraseluler mengakibatkan perubahan osmotik yang
berpotensi ke arah kerusakan sel. Adanya peningkatan osmolalitas instraseluler,
dalam kaitan aliran glukosa ke dalam jalur polyol dan akumulasi sorbitol, sebagai
akibatnya akan terjadi kompensasi pengurangan endoneural osmolit taurine dan
mioinositol untuk memelihara keseimbangan osmotik. Metabolit intraseluler,
seperti mioinosiol menjadi berkurang dan mendorong ke arah kerusakan sel saraf.
Pada percobaan binatang penurunan mioinositol berkaitan dengan penurunan
aktifitas Na+/K+-ATPase dan memperlambat velositas konduksi saraf.
2.5.2.2 Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced
glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein
seluler. Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs.
Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan kelompok
amino pada protein. Pada hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa
berkombinasi dengan asam amino pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini
pada awalnya membentuk produk glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya
membentuk AGEs yang ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita
DM. Pada endotel mikrovaskular manusia, AGEs menghambat produksi
prostasiklin dan menginduksi PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan
akibatnya terjadi agregasi trmbosit dan stabilisasi fibrin, memudahkan trombosis.
Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia lokal dan
meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangipati.
2.5.2.3 Jalur Aktivasi Protein Kinase C
Aktivasi Protein Kinase C juga berperan dalam patogenesis neuropati
perifer diabetika. Hiperglikemia di dalam sel meningkatkan sintesis atau
pembentukan diacylglyserol (DAG) dan selanjutnya peningkatan Protein Kinase
C. Protein kinase juga diaktifkan oleh stres oksidatif dan advanced glycosilation
products. Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular, gangguan sintesis nitric oxyde dan perubahan aliran darah. Ketika PKC
diaktifkan oleh hiperglikemia intraseluler, mempunyai efek pada beberapa ekspres
genetik. Vasodilator yang memproduksi endothelial nitric oxyde synthase
berkurang, sedangkan vasokonstriksi endothelin-1 akan meningkat. Transformasi
Growth Factor B dan plasminogen inhibitor-1 juga meningkat. Dalam endothelial
sel, PKC juga mengaktifkan nuclear factor, suatu faktor transkripsi yang dirinya
sendiri mengaktifkan banyak gen proinflamasi di dalam pembuluh darah.

2.5.3 Teori Nerve Growth Factor


Faktor neutrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan
regenarasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat
penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi.
Nerve Growth Factor (NGF) berupa protein yang memberi dukungan besar
terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. Telah banyak dilakukan
penelitian mengenai adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang
berperan pada ketahanan hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik
sistem saraf perifer. Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya
defisiensi neurotropik sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan
mengganggu pemeliharaan saraf. Pada pasein dengan DM terjadi penurunan NGF
sehingga transport aksonal yang retrograde (dari organ traget menuju badan sel)
terganggu. Penurunan kadar NGF pada kulit pasien DM berkorelasi positif dengan
adanya gejala awal small fibers sensory neuropathy.

2.5.4 Teori Autoimun


Neuropati autoimun adalah mekanisme hasil pengembangan dari neuropati
diabetika telah menarik minat untuk dipelajari. Neuropati autoimun dapat muncul
dari peubahan imunologik sel endothelial kapiler. Teori ini juga mulai dapat
dianggap benar atas dasar sukses yang telah dilaporkan menggunakan
immunoglonulin ke dalam pembuluh darah untuk pengobatan neruropati
diabetika.

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Penatalaksanaan Farmakologik
1. Terapi kausatif
Neuropati perifer disebabkan oleh banyak penyebab.Kausa yang
paling bisa ditatalaksanai meliputi diabetes melitus, hipotiroidisme, dan
defisiensi vitamin neurotropik. Adapula obat yang merangsang
proteosintesis untuk regenerasi sel Schwann diantaranya metilkobalamin
(derivat B12) dengan dosis 1500 mg/hari selama 6-10 minggu, gangliosid
(intrinsik membran sel neuron) dengan dosis 2 x 200 mg intramuskuler
selama 8 minggu.
2. Simptomatis : analgetik, antiepileptik misalnya gabapentin (neurontin),
topiramate (topamax), carbamazepine (tegretol), pregabalin (lyrica)] dan
antidepresan (misalnya amitriptilin). Obat-obat narkotika dapat digunakan
dalam mengobati nyeri neuropatik kronik pada pasien tertentu.
3. Vitamin neurotropik : B1, B6, B12, asam folat
2.6.2 Penatalaksanaan Non-farmakologik
1. Terapi suportif seperti menurunkan berat badan, diet dan pemilihan sepatu
yang sesuai ukuran, nyaman, dan tidak menyebabkan penekanan juga
dapat membantu.
2. Fisioterapi, mobilisasi, masase otot dan gerakan sendi.
Sasaran pengobatan neuropati perifer adalah mengontrol penyakit yang
mendasarinya dan menghilangkan gejala (simptomatis).Yang pertama dilakukan
adalah menghentikan penggunaan obat-obatan atau bahan yang menjadi pencetus,
memperbaiki gizi (pada defisiensi vitamin neurotropik), dan mengobati penyakit
yang mendasarinya (seperti pemberian kortikosteroid pada immune-
mediatedneuropathy).Neuropati inflamasi akut membutuhkan penanganan yang
lebih cepat dan agresif dengan pemberian immunoglobulin dan plasmapheresis.

Gambar 2:Pendekatan untuk evaluasi neuropati perifer.


Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah
anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.
Anti Depresan
TCA termasuk imipramine, amitriptyline, desipramin dan nortriptyline. Obat
ini efektif pada penurunan gejala nyeri tetapi menderita dari efek samping dosis
ganda yang tergantung. Salah satu efek samping penting adalah toksisitas jantung,
yang dapat menyebabkan aritmia yang fatal. Pada dosis rendah digunakan untuk
neuropati, toksisitas jarang, tetapi jika gejala menjamin dosis yang lebih tinggi,
komplikasi lebih umum. Di antara TCA, amitriptilin yang paling banyak
digunakan untuk kondisi ini, namun desipramin dan nortriptyline memiliki efek
samping yang lebih sedikit.
Anti konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkan
kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral.Seperti diketahui nyeri
neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf.Nyeri
neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat
menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks
Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati.
Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas
terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan
inhibisi.
Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels
(VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari
neuron.Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya mirip
karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan
dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati menunjukkan hasil
yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin, hanya saja
okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal.
a. Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui
VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat
dari neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak.Khusus
untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis
300 mg perhari.Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari plasebo,
tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek
samping. Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila
dosis ditingkatkan dengan cepat.
b. Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati
cukup populer mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping
minimal.Khusus mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai
obat ini diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes,
nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri neuropati
sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi.Gabapentin
cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada nyeri neuropati yang
disebabkan oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes, sklerosis
multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa gabapentin
dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenis neuropati sesuai denngan
kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk
berinteraksidengan reseptor α2β yang merupakan subunit dari Ca2+-
channel.

2.7 Prognosis
Tipe diabetes melitus yang diberikan akan mempengaruhi diagnosis
neuropati diabetik. Pada NIDDM prognosis tentu lebih baik daripada tipe IDDM.
Lama dan beratnya diabetes melitus serta lama dan beratnya diabetes melitus serta
lama dan beratnya keluhan neuropati yang dialami, dan apakah sudah mengenai
saraf otonom, semuanya akan menentukan prognosis neuropati diabetik
BAB III
KESIMPULAN

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM dengan


prevalensi dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4 faktor (metabolik,
vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada mekanismes patogenik ND,
hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen faktor metabolik merupakan
dasar utama patogenesis ND. Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan
ND pasien DM, yang penting adalah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah
dan perawatan kaki sebaik-baiknya. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya
bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai
mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan nonfarmakologis
termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit bisa dicapai.
DAFTAR PUSTAKA

Aswin S. Diabetes Melitus dan Disfungsi Sistem Saraf.In: Djokomoeljanto,


Darmono,Suhartono T(ed). Naskah Lengkap: Pertemuan Ilmiah
Tahunan V Endrokinologi, Semarang 9-11 Desember 2004. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro 29; 329-49.
Bansal V, Kalita J, Misra UK. Diabetic Neuropathy. Postgrad Med J 2006; 82:95
100.
Boulton AJ, Vinik Alarezo JC. Brillv, Fielman et.al. Diabetic Neuropathies, A
Statement by American Diabetes Association Diabeties Care
2005;28(4):956-62.
Felman EL. Oxidative Stress and Diabetic Neuropathy: A New Understanding of
an Old Problem. J Clin. Invest 2003; 111: 431-33.
Hastuti T. Uji Reabilitas skor DNE untuk menentukan Diagnosis Klinis Neuropati
Diabetika. Yogyakarta; Bagian Ilmu Penyakut Saraf FK UGM; 2003.
Meijer JWK, Bosma E, Lefrandt JD, Links TP, Smith AJ, Steward RE et al.
Clinical Diagnosis of Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic
Neuropathy Examination Scores. Diabetes Care 2003; 23(3): 691-701.
Tesfaye S. Diabetic Neuropathy. In: Veves A, Giurini JM, LoGerfo FW, editor.
The Diabetic Foot, Second Edition. New Jersey: Humaniora Press 2006;
105-29.
Widjaja D. Diagnosis of Diabetic Neuropathy in Course and Workshop on
Neurophysiology in Clinical Practice. Kongres Nasional PERDOSSI
ke 6. Yogjakarta: 2007; 20-39.

Anda mungkin juga menyukai