Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

KETUBAN PECAH DINI

Penyusun :
dr. Nur Ilmi Sofiah

Dokter Pendamping :

dr. Herawati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA MAYANG MANGURAI
JAMBI
2021

i
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : dr. Nur Ilmi Sofiah

Nama Wahana : RS Bhayangkara Jambi

Topik : Ketuban Pecah Dini

Tanggal Kasus : 1 Maret 2021

Nama Pasien : Ny. HP No.RM : 080621

Nama Pendamping :

Tanggal Presentasi : dr. Herawati

Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Jambi

Obyektif Presentasi

√Keilmuan Ketrampilan Penyegaran √Tinjauan Pustaka

√Diagnostik √Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja √Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi : Wanita, 19 tahun, G1P0A0 hamil aterm dengan Ketuban Pecah Dini

Tujuan : Diagnostik, Manajemen, Keilmuan, Tinjauan Pustaka,

Bahasan √Tinjauan Pustaka Riset √Kasus Audit

Cara Pembahasan √Diskusi Presentasi & Diskusi Email Pos

Data Pasien Nama : Ny. HP No. RM 080621

Nama Klinik : IGD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya laporan kasus yang berjudul “Ketuban Pecah Dini” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat mengikuti Program Internship Dokter Indonesia di RS Bhayangkara Mayang
Mangurai Jambi.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
dr. Herawati selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama penulisan laporan kasus ini sehingga menjadi lebih baik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kekeliruan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Jambi, April 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
BORANG POTOFOLIO....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban........................................ 7
3.1.1 Struktur Selaput Ketuban ..................................................... 7
3.1.2 Fisiologi Amnion .................................................................. 9
3.1.3 Fungsi Metabolik Amnion .................................................... 10
3.1.4 Cairan Amnion ..................................................................... 10
3.2 Ketuban Pecah Dini ....................................................................... 11
3.2.1 Definisi ................................................................................. 11
3.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko.................................................... 11
3.2.3 Patofisiologi.......................................................................... 15
3.2.4 Diagnosis. ............................................................................ 17
3.2.5 Tatalaksana .......................................................................... 20
3.2.6 Komplikasi. .........................................................................21
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan korion yang sangat
erat kaitannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seeprti sel epitel, sel mesenkim, sel trofoblas yang
terikat erat dalam matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan
melindungi janin terhadap infeksi.
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini
(KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah
dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature
rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm
premature rupture of membranes (PPROM).
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya yang cukup besar
dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm1
dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari
kehamilan kembar2. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari semua kelahiran prematur,
yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 19813 .
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen
matriks ekstraselular amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua
bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi
mediator seperti prostaglandin, sitokin, dan protein hormon yang merangsang aktifitas “matriks
degarding enzym”3.
KPD merupakan masalah penting dalam obstetrik yang berkaitan dengan penyulit kelahiran
prematur dan terjadinya infeksi khorioamnioritis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas perinatal, dan menyebabkan infeksi ibu. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena
berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor
tersebut. Penatalaksanaan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi
pada komplikasi ibu dan janin, dan adanya tanda-tanda persalinan.4,5
KPD menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga
memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau
menjadi pembatasan dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi.
Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim. Persalinan
1
prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi / janin
dalam rahim. 6
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik bagi tenaga kesehatan mengenai kejadian
ketuban pecah dini dan juga memahami tata cara menolong persalinan preterm untuk meminimalkan
dampak yang terjadi pada bayi maupun ibu sehingga Angka Kematian Ibu dan Anak dapat berkurang.

2
BAB II STATUS
PASIEN

I. IDENTIFIKASI
• Nama : Ny. HP

• Tanggal Lahir/Umur : 09-02-2002 / 19 tahun


• Alamat : Kenali Asam Atas RT.18 Jambi
• Suku Bangsa : Indonesia
• Agama : Islam
• Pendidikan : SMA
• Pekerjaan : IRT
• MRS : 1 Maret 2021 : 080621

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Hamil cukup bulan dengan keluar air-air dari kemaluan.

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 12 jam pasien mengeluh keluar air-air dari kemaluan, warnanya jernih, tidak berbau,
banyaknya ±3x ganti pembalut. Keluhan keluar darah dan lendir (-), perut mules yang menjalar
ke pinggang hilang timbul (+) tapi masih jarang, riwayat trauma (-), perut diurut- urut (-),
riwayat coitus dengan suami (-), minum obat dan jamu-jamuan (-), demam (-), sakit gigi (-),
keputihan (+) warna putih, tidak berbau.
Pasien mengaku hamil cukup bulan dengan gerakan janin masih dirasakan aktif.

Riwayat Penyakit Dahulu

R/ keputihan (-)
R/ darah tinggi(-)
R/ Asma (-)
R/ kencing manis (-)
R/ sakit gigi (-)
R/ keganasan (-)
R/ sakit kulit (-)

3
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
R/ darah tinggi (-)
R/ kencing manis (-)
R/ keganasan (-)

Riwayat Pasien:
Status Sosial ekonomi dan gizi : menengah keatas
Status Reproduksi : menarche usia 13 tahun, teratur, siklus haid 28 hari,
lamanya 5-7 hari.

HPHT:28/5/2020 HPL 7-3-2021

Status Perkawinan : menikah, 1 kali, lamanya 1 tahun


Status Persalinan : 1. hamil ini
Riwayat KB : tidak ada

Riwayat Pengobatan : tidak ada


Alergi obat : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum :Tampak sakit sedang
Kesadaran :Compos mentis
BB : 89 kg
TB : 165 cm
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler
Respirasi : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,5oC

PEMERIKSAAN KHUSUS
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-),sklera ikterik (-/-)

2
- Mulut : Bibir pucat (-), atropi papil (-), cheilitis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
- Thoraks : Bentuk normal, simetris
• Paru
- Inspeksi :gerakan dada simetris kanan dan kiri
- Palpasi :stem fremitus kanan = kiri
- Perkusi :sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi :vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
• Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, HR 84x/menit, reguler, murmur(-),gallop(-)

- Abdomen :
• Pemeriksaan luar: FUT 2 jari di bawah procesus xipoideus (30 cm), letak
memanjang, puki, penurunan kepala 5/5, his (-), DJJ: 142 kali/menit, TBJ
2950 gram.

- Ekstremitas : Edema pretibia (-/-), akral pucat (-/-)

- Genitalia
• Vaginal touche:
Portio lunak, posterior, eff 0% (tebal), ø kuncup, kepala floating,
ketuban (-) dan penunjuk UUK.

3
IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hb 11,9 mg/dl 11,2-15,5 mg/dl
RBC 3,85 juta/m3 4,2-4,5 juta/m3
WBC 9,52 x 103/m3 4,5-11 x 103/m3
Ht 34 % 43-49 %
Trombosit 206.000/m3 150-450/m3
Diff. Count 0/4/68/19/9 0-1/1-6//2-6/50-70/25-40/2-8
Faal Hemostasis
PT+INR Kontrol: 14,70 s 12-18 detik
Pasien: 13,1 s
INR 0,96
APTT Kontrol: 31,1 s 27-42 detik
Pasien: 29,9 s
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 129,9 mg/dL <200 mg/dL
Imunoserologi
CRP Kualitatif Non reaktif Non reaktif
CRP kuantitatif <5 <5
HBsAg Negatif Negatif

4
V. DIAGNOSIS KERJA
G1P0A0 hamil 39 minggu dengan KPD 12 jam janin tunggal hidup presentasi kepala

VI. PROGNOSIS
Prognosis Ibu : dubia ad bonam
Prognosis Janin : dubia ad bonam

VII. TATALAKSANA
Non farmakologi
• Observasi TTV, his, denyut jantung janin (DJJ)
Farmakologi
• IVFD RL gtt xx/menit
• Drip oxitosin ½ ampul dalam RL 500cc (gtt max 40)
• Injeksi ceftriaxone 1gr (skin test)

VIII. LAPORAN PERSALINAN


1 Maret 2021
Pukul 14.00 WIB
Pembukaan 6 cm, penurunan kepala 2/5, his adekuat, DJJ 145x/m regular,drip oksitosin
20 tpm diteruskan
Pukul. 18.00 WIB
Pembukaan lengkap, his adekuat, DJJ 140x/menit, ibu dipimpin mengejan.
Pukul. 18.25 WIB
Bayi lahir spontan segera menangis, dilanjutkan IMD, BB: 3200 gram, PB: 52 cm, A/S
8/9, jenis kelamin laki-laki, anus (+).
Dilakukan injeksi oksitosin 1 ampul, masase fundus uteri, peregangan tali pusat
terkendali.
Pukul. 18.40 WIB
Lahir lengkap plasenta secara spontan. Dilakukan eksplorasi jalan lahir, ditemukan
adanya laserasi jalan lahir yakni pada otot perineum dan mukosa vagina sebelah kiri.
Luka episiotomi dijahit dengan catgut cromic 2.0 secara jelujur. Perdarahan aktif (-).
Pukul 19.00 WIB
Ibu dan area bersalin dibersihkan, dilakukan pemantauan kala IV.
5
IX. FOLLOW UP

(2 Maret 2019)
S Pasien sehabis melahirkan normal, kontraksi uterus (+) baik, Keluhan nyeri (-
), mobilisasi baik.

O St.Present
Keadaan umum: baik
Sensorium : CM
Tekanan darah: 120/80
mmHg Nadi : 90 x/menit
Resp rate : 20 x/menit
Suhu : 36,7ºC
PL: kontraksi uterus baik, TFU 2 cm bawah pusat, perdarahan aktif (-)
A P1A0 post partum spontan pervaginam
P Ibu diperbolehkan pulang
Tatalaksana
Non Farmakologi
1. KIE ibu untuk menjaga kebersihan daerah genitalia dengan baik, setiap
BAK dibersihkan dengan air mengalir lalu dikeringkan.
2. Ibu diberikan makanan tinggi protein dan tinggi karbohidrat untuk
mempercepat proses pemulihan, disarankan untuk menyusui bayi setiap 2-
3 jam sekali untuk membantu rahim berkontraksi dengan baik.
Farmakologi
3. Neurodex tab 1x1 PO
4. Cefadroxil tab 2x500 mg PO
5. Asam mefenamat tab 3x500 mg PO

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban/ Amnion


Amnion pada kehamilan aterm merupakan sebuah membran yang kuat dan ulet
tetapi lentur. Amnion adalah membran janin paling dalam dan berdampingan dengan
cairan amnion. Struktur avaskular khusus ini memiliki peran penting dalam kehamilan pada
manusia. Pada banyak kasus obstetrik, pecahnya selaput ketuban secara dini pada kehamilan
dini merupakan penyebab tersering kelahiran preterm. Amnion adalah jaringan yang
menentukan hampir semua kekuatan regang membran janin. Dengan demikian,
pembentukan komponen- komponen amnion yang mencegah ruptur atau robekan sangatlah
penting bagi keberhasilan kehamilan7

3.1.1 Struktur Selaput Ketuban/ Amnion


Jaringan amnion terdiri dari lima lapisan. Permukaan dalam, yang dibasahi oleh
cairan amnion, adalah selapis rapat sel epitel kuboid yang diperkirakan berasal dari ektoderm
embrionik. Epitel ini melekat erat ke sebuah membran basal yang dihubungkan ke lapisan
padat aselular, yang terutama terdiri dari kolagen interstisial tipe I, III, dan V. Di sisi luar
lapisan padat, terdapat sederet sel mesenkim mirip fibroblas (yang pada kehamilan aterm
tersebar luas). Sel-sel ini mungkin berasal dari mesoderm diskus embrionik.
Di amnion juga terdapat beberapa makrofag janin. Lapisan paling luar amnion adalah
zona spongiosa yang relatif aselular yang bersebelahan dengan membran janin kedua, korion
leave. Elemen penting yang “hilang” pada amnion manusia adalah sel otot polos, saraf,
pembuluh limfe, dan yang penting, pembuluh darah 7.

7
Gambar 1. Struktur selaput ketuban8
3.1.2 Fisiologi Amnion

Pada awal proses implantasi, terbentuk suatu ruang antara massa sel mudigah dan trofoblas
di dekatnya. Sel-sel kecil yang melapisi permukaan dalam trofoblas ini disebut sel amniogenik,
prekursor epitel amnion. Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7
atau hari ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya, sebuah vesikel kecil yaitu amnion,
berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Karena
semakin membesar, amnion secara bertahap menelan mudigah yang sedang tumbuh, yang
mengalami prolaps ke dalam rongga amnion9.
Peregangan kantung amnion akhirnya menyebabkan amnion berkontak dengan permukaan
dalam korion leave. Aposisi mesoblas korion leave dan amnion menjelang akhir trimester pertama
kemudian menyebabkan obliterasi selom ekstraembrionik. Amnion dan korion leave, walaupun
sedikit melekat, tidak pernah berhubungan erat, dan biasanya mudah dipisahkan, bahkan pada
kehamilan aterm7.

9
Gambar 2. Perkembangan embrio manusia mulai dari fertilisasi sampai dengan tertutupnya neural tube10

3.1.3 Fungsi Metabolik Amnion


Amnion jelas lebih dari sekedar membran avaskular yang berfungsi menampung cairan
amnion. Membran ini aktif secara metabolis, terlibat dalam transpor air dan zat terlarut untuk
mempertahankan homeostasis cairan amnion, dan menghasilkan berbagai senyawa bioaktif
menarik, termasuk peptida vasoaktif, faktor pertumbuhan, dan sitokin7.

3.1.4 Cairan Amnion


Cairan amnion adalah cairan yang normalnya jernih dan menumpuk di dalam rongga
amnion yang akan meningkat jumlahnya seiring dengan perkembangan kehamilan sampai
menjelang aterm, saat terjadi penurunan volume cairan amnion pada banyak kehamilan normal.
Pada kehamilan aterm, rata-rata terdapat 1.000 ml cairan amnion walaupun jumlah ini dapat sangat
bervariasi dari beberapa mililiter sampai beberapa liter pada keadaan abnormal (oligohidramnion
dan polihidramnion atau hidramnion)7.

10
3.2 Ketuban Pecah Dini
3.2.1 Definisi11
KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia < 37 minggu sebelum onset
persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24
sampai kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara
34 minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai
kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan
kurang dari 37 minggu.
KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM) adalah pecahnya ketuban
sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+),
IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.

3.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Sampai sekarang etiologi atau penyebab terjadinya ketuban pecah dini masih
belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa etiologi yang
berhubungan dengan meningkatnya insiden KPD adalah:

a. Fisiologi selaput ketuban yang abnormal atau bisa juga karena volume air ketuban
yang abnormal, misalnya pada kasus hidramnion/polihidramnion yaitu jumlah cairan
ketuban lebih dari 2000 cc. Pada keadaan normal, jumlah rata-rata cairan ketuban
adalah 1.000 cc. Hidramnion bisa terjadi bila pengaliran air ketuban bertambah, bisa
juga bila pengaliran air ketuban terganggu atau kedua-duanya. Air ketuban dibentuk
dari sel-sel amnion. Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan diganti
dengan yang baru. Salah satu cara pengeluaran air ketuban ialah ditelan oleh janin,
diabsorpsi oleh usus kemudian dialirkan ke plasenta untuk akhirnya masuk peredaran
darah ibu. Ekskresi air ketuban akan terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti
pada atresia esophagus atau tumor- tumor plasenta. Hidramnion dapat memungkinkan
ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum
waktunya.

11
b. Inkompetensi serviks, yaitu leher rahim yang kelenturannya hilang sehingga sulit
untuk menahan kehamilan yang berakibat terjadinya ketuban pecah dini karena janin
tidak dapat ditahan lagi.
c. Infeksi vagina/serviks, misalnya kasus terbanyak akibat infeksi kuman Clamidia
trachomatis yaitu salah satu bakteri obligat intraselular yang potensial. Angka
prevalensi C. Trachomatis pada kehamilan bervariasi antara 2-35%.
d. Kehamilan ganda/gemeli, yaitu kehamilan dua janin atau lebih. Kehamilan kembar
dapat memberikan resiko yang lebih tinggi baik janin maupun ibu. Faktor resiko
ketuban pecah dini pada kembar dua 50% dan kembar tiga 90% (Manuaba, 2008).
Hamil ganda dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat
selaput ketuban pecah sebelum waktunya.
e. Trauma, misalnya ibu hamil yang terjatuh atau perutnya terbentur sesuatu benda
keras atau tajam yang menyebabkan robeknya selaput ketuban.
f. Distensi uteri, terjadi biasanya akibat dari kehamilan gemeli, trauma, ataupun
hidramnion yang dapat menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan.
Karena jumlah janin berlebihan dan isi rahim yang lebih besar sedangkan kantung
(selaput ketuban) relatif kecil sehingga dibagian bawah tidak ada yang menahan maka
mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.
g. Stres maternal dan stres fetal. Beban psikologik yang ditanggung oleh ibu dapat
mengakibatkan gangguan perkembangan janin. Stresor yang banyak baik stresor
internal maupun stresor eksternal dapat mengakibatkan depresi pada ibu hamil, maka
kemungkinan besar motivasi ibu untuk menjaga kehamilannya juga akan merurun.
Perlakuan seperti itu terhadap kehamilan sudah dapat dipastikan akan menimbulkan
banyak masalah dan komplikasi salah satunya adalah terjadinya persalinan prematur.
Stres pada ibu dapat meningkatkan kadar katekolamin dan kortisol yang akan
mengaktifkan placental corticotrophin releasing hormone dan mempresipitasi
persalinan melalui jalur biologis. Stres juga mengganggu fungsi imunitas yang dapat
menyebabkan reaksi inflamasi atau infeksi intraamnion dan akhirnya merangsang
proses persalinan.
h. Serviks yang pendek. Resiko terjadinya persalinan preterm akan meningkat apabila
serviks yang pendek (< 30 mm). Semakin pendek serviks, semakin mudah terjadi
infeksi pada amnion.

12
i. Prosedur medis yang kurang baik. Tingkat higienitas baik peralatan medis, tempat
bersalin, maupun paramedis yang melakukan tindakan dalam persalinan harus
diperhatikan guna menekan resiko infeksi yang terjadi.
j. Infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis) dapat melemahkan selaput ketuban.
Bakteri-bakteri patogen di dalam saluran urogenital dapat meningkatkan frekuensi
amnionitis, endometritis, dan infeksi neonatal sebanyak 10 kali.
Infeksi uterus dapat berlokasi di ruang antara desidua dan selaput ketuban, selaput
ketuban sendiri, cairan amnion, dan janin.

Gambar 3. Lokasi potensial infeksi bakteri ke dalam uterus.


Sumber: Goldenberg RL et al. N Engl J Med 2000;342:1500-1507.

Selain itu, terjadinya ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh faktor keturunan,
malposisi atau malpresentasi janin, riwayat KPD sebelumnya dua kali atau lebih
sebelumnya, faktor yang berhubungan dengan berat badan sebelum dan selama hamil,
merokok selama kehamilan, usia ibu yang lebih tua, riwayat hubungan seksual baru-baru
ini, multiparitas, anemia, dan keadaan sosial ekonomi.

13
Faktor-faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini yang didapatkan secara klinis
adalah13:
a. Mempunyai riwayat ketuban pecah dini sebelumnya.
Ibu yang telah mengalami KPD sebelumnya akan beresiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat
penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya ketuban
pecah dini/ ketuban pecah preterm. Wanita yang pernah mengalami KPD pada
kehamilan atau menjelang persalinan, pada kehamilan berikutnya akan lebih beresiko
daripada wanita yang tidak pernah mengalami KPD sebelumnya. Hal ini terjadi karena
komposisi membran yang menjadi rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya.
b. Kebiasaan merokok. Merokok dapat menyebabkan vaskulopati pada desidua sehingga
mengakibatkan iskemik dan nekrosis. Perokok memiliki asam amino, glukosa, asam
lemak, vitamin B12, dan asam askorbat rendah yang mungkin menghambat α1
antitripsin sebagai protease inhibitor.
c. Hubungan seks, diduga mempengaruhi hormon atau perubahan infeksius pada segmen
bawah rahim yang dapat menjadi predisposisi kontraksi uterus dan ketuban pecah
dini.
d. Defisiensi trace elements dan vitamin C yang berperan dalam biosintesis kolagen.
Ketuban pecah dini dan preterm dikaitkan dengan penurunan kadar serum asam
askorbat dan tembaga, keduanya penting untuk pembentukan dan stabilitas kolagen.
e. Kelainan jaringan ikat. Kelainan ini berhubungan dengan melemahnya selaput
membran ketuban. Salah satu contoh kasusnya adalah sindrom Ehler Danlos. Pada
sindrom ini, didapatkan adanya kelainan kongenital jaringan ikat yang terjadi karena
adanya kelainan sintesis kolagen . Hal ini juga berhubungan dengan
ketidakseimbangan dari aktivitas Matrik Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Matrik Metalloproteinase (TIMP), yang secara fisiologi akan bergeser
kearah degradasi proteolitik dari matrik ekstraseluler selaput membran ketuban pada
saat mendekati persalinan.
f. Riwayat operasi saluran genitalia misalnya dilatasi dan kuretase.
g. Peradangan pelvis dalam kehamilan.

14
3.2.3 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh.4
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular.
Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen di mediasi oleh
matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan
inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan tissue
inhibitors metalloproteinase-1 (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang
persalinan.4
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga, selaput
ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi
perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh
adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Di samping itu,
ketuban pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks,
serta solusio plasenta.4
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen,sampai infeksi. Pada
sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%). Termasuk
diantaranya high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi yaitu Lactobacillus. Kolagen
terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion dan trofoblas.
Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifasi dan inhibisi
interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan
mudah pecah spontan.4

15
Gambar 2. Ketuban Pecah Dini

Pada sebuah penelitian disimpulkan bahwa progesteron dan estradiol dapat menurunkan
konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta dapat meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas
kelinci. Hormon progesteron dalam konsentrasi yang tinggi dapat menurunkan produksi fibroblas
babi tetapi progesteron dan estradiol dalam konsentrasi rendah dapat merangsang pembentukan
kolagen pada babi yang hamil.14
Kematian sel yang terprogram (apoptosis)
Kematian sel yang terprogram atau apoptosis telah diimplikasikan pada pembentukan
kembali jaringan reproduksi termasuk serviks dan uterus. Pada tikus yang hamil 21 hari, sel-sel
epitel amniotik mengalami apoptosis pada awal persalinan. Kematian sel ini timbul mengikuti awal
terjadinya degradasi matriks ekstraselular. Hal ini menunjukkan bahwa apoptosis merupakan
akibat dan bukan merupakan sebab terjadinya katabolisme matriks ekstraselular. Pada kehamilan
aterm dengan KPD, amnion dan korion banyak mengandung sel-sel apoptosis terutama di daerah
yang berdekatan dengan tempat ruptur dibandingkan daerah membran yang lain. Respon imun
dapat mempercepat terjadinya kematian sel pada membran janin (Menon, 2007).
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel terpogram
(apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput ketuban. Pada korioamnionitis
telihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit, yang menunjukkan respon
imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah
proses degradasi matriks ekstraseluler dimulai yang menunjukkan bahwa apoptosis merupakan
akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun, mekanisme regulasi dari apoptosis ini
belum diketahui dengan jelas (Garite, 2004).

16
Dari penelitian yang dilakukan oleh Prabantoro dkk (2011) menunjukkan bahwa peningkatan
apoptosis sel amnion pada ibu hamil yang menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini
kemungkinan besar disebabkan oleh adanya infeksi dan berhubungan dengan endonuclease-G
karena adanya hambatan pada jalur caspade dependent. Pada keadaan sel yang mengalami infeksi
atau stres, biasanya jalur apoptosis klasik atau caspade dependent pathway tidak berjalan, sehingga
diduga mekanisme apoptosis yang terjadi melalui jalur yang lain yang disebut caspade independent
pathway (Numazaki dkk, 2003; Burdon dkk, 2002). Parameter yang digunakan untuk mengetahui
terjadinya peningkatan apoptosis melalui jalur caspade independent pathway adalah endonuclease-
G , hal ini disebabkan faktor endonuclease-G ini muncul paling awal dan dominan sebagai bentuk
respon adanya apoptosis melalui caspade independent (Zhang dkk, 2003).
Keregangan membran
Overdistensi uterus terutama pada polihidramnion dan kehamilan multifetus menyebabkan
keregangan membran serta meningkatkan resiko ketuban pecah dini. Mekanisme keregangan
membran janin mengatur beberapa faktor amniotik termasuk PGE2 dan IL-8. Keregangan ini juga
dapat meningkatkan aktivitas MMP-1 pada membran. Prostaglandin E2 meningkatkan iritabilitas
uterus, mengurangi sintesa kolagen membran janin, dan meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-
3. Interleukin-8 dihambat oleh progesteron pada trimester kedua kehamilan. Produksinya dalam
cairan amnion akan meningkat selama trimester ketiga. Produksi kedua substrat ini diakibatkan oleh
perubahan biokimia pada membran janin yang dimulai oleh keregangan membran (Menon, 2007).
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban
mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus,
kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput
ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis12.

3.2.4 Diagnosis11
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus meliputi 3 hal, yaitu
konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan
maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang
baik dan dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana pemeriksaan yang perlu
dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.

17
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi adanya cairan amnion
pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar,
usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor risikonya.
Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari karena hal
ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih
dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak menyentuh
serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat,
atau prolaps bagian terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran
serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual.
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan baik.
Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk
diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk dikultur.
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi pemeriksaan
lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH
dari forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5
- 6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran
cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan
yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus
dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali
pusat.

Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang digunakan adalah
adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih dari 16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive
protein cairan ketuban dan gas-liquid chromatography, serta amniosentesis untuk mendapatkan
bukti yang kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri pada
pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-7,5. Darah
dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu. Mikroskopik (tes pakis),

18
yaitu dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.

Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara subyektif, semikuantitatif (pengukuran
satu kantong), dan pengukuran empat kuadran menurut Phelan. Sayangnya, tidak ada satupun
metode pengukuran volume cairan ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas.
Penilaian subyektif oleh seorang pakar dengan menggunakan USG “real-time” dapat memberikan
hasil yang baik.
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas pengalaman subyektif
pemeriksa di dalam menentukan volume tersebut berdasarkan apa yang dilihatnya pada saat
pemeriksaan. Dikatakan normal bila masih ada bagian janin yang menempel pada dinding uterus,
dan bagian lain cukup terisi cairan ketuban. Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh janin akan
melekat pada dinding uterus, sedangkan bila hidramnion, maka tidak ada bagian janin yang
menempel pada dinding uterus.
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satu kantong (single pocket)
ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus dan tubuh janin, tegak lurus terhadap lantai.
Tidak boleh ada bagian janin yang terletak didalam area pengukuran tersebut. Klasifikasinya dapat
dilihat dalam tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1: Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan Ketuban

Pengukuran volume cairan ketuban empat kuadran atau indeks cairan amnion (ICA) /
amnion fluid index (AFI) diajukan oleh Phelan, dkk (1987) lebih akurat dibandingkan cara lainnya.
Pada pengukuran ini, abdomen ibu dibagi atas empat kuadran. Garis yang dibuat melalui

19
umbilikus vertikal ke bawah dan transversal. Kemudian transduser ditempatkan secara vertikal
tegak lurus lantai dan cari diameter terbesar dari kantong ketuban, tidak boleh ada bagian janin atau
umbilikus didalam kantong tersebut. Setelah diperoleh empat pengukuran, kemudian dijumlahkan
dan hasilnya ditulis dalam millimeter atau sentimeter.6

Tabel 2. Indeks Cairan Ketuban Berdasarkan Pengukuran Empat Kuadran (Phelan)


HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI
50 – 250 mm Normal
>250 mm Polihidramnion
< 50 mm Oligohidramnion

3.2.5 Tatalaksana12
Tatalaksana pada kasus ketuban pecah dini dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara
konservatif dan secara aktif.
a. Konservatif
Ada beberapa pilihan langkah konservatif pada pasien dengan ketuban pecah dini berdasarkan
usia kehamilannya yaitu sebagai berikut :
1. Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak
tahan ampisilin, dan metronidazol 2x500 mg selama 7 hari).
2. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau
sampai air ketuban tidak keluar lagi.
3. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, dan tes busa
negatif, beri deksametason, observasi tanda- tanda infeksi, dan kesejahteraan janin.
4. Jika pada kehamilan 37 minggu, maka lakukan terminasi.
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, dan tidak ada infeksi, berikan tokolitik
(salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24 jam.
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, dan ada infeksi, beri antibiotik, lakukan induksi, dan
nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
7. Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin,
dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis
betametason 12 mg/ hari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 kali.

20
b. Aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal lakukan seksio sesaria. Dapat
juga diberikan misoprostol 25µg-50µg intravaginal setiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-
tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
1. Bila skor Bishop/ skor pelvik <5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesaria.
2. Bila skor Bishop/ skor pelvik >5 dilakukan induksi persalinan.

3.2.6. Komplikasi11
a. Pada janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih awal. Periode laten,
yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara umum bersifat
proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah
studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami persalinan dalam
1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan
preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode laten 4 minggu. Bila KPD terjadi
sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi
tali pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan
intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan.
b. Pada ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut dapat
berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada sebuah
penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2%
mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia.
Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik
spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti.
40,9% pasien yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa
plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak
ada kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama.

c. Penatalaksanaan Komplikasi
Pengenalan tanda infeksi intrauterin, tatalaksana infeksi intrauterin. Infeksi intrauterin
sering kronik dan asimptomatik sampai melahirkan atau sampai pecah ketuban. Bahkan setelah
21
melahirkan, kebanyakan wanita yang telah terlihat menderita korioamnionitis dari kultur tidak
memliki gejala lain selain kelahiran preterm: tidak ada demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada
leukositosis, maupun takikardia janin. Jadi, mengidentifikasi wanita dengan infeksi intrauterin
adalah sebuah tantangan besar.
Tempat terbaik untuk mengetahui infeksi adalah cairan amnion. Selain mengandung bakteri,
cairan amnion pada wanita dengan infeksi intrauterin memiliki konsentrasi glukosa tinggi, sel darah
putih lebih banyak, komplemen C3 lebih banyak, dan beberapa sitokin. Mengukur hal di atas
diperlukan amniosentesis, namun belum jelas apakah amniosentesis memperbaiki keluaran
darikehamilan, bahkan pada wanita hamil dengan gejala persalinan prematur. Akan tetapi tidak
layak untuk mengambil cairan amnion secara rutin pada wanita yang tidak dalam proses
melahirkan.
Pada awal 1970, penggunaan jangka panjang tetrasiklin, dimulai dari trimester tengah,
terbukti mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita dengan bakteriuria asimtomatik
maupun tidak. Tetapi penanganan ini menjadi salah karena adanya displasia tulang dan gigi pada
bayi. Pada tahun-tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa tatalaksana dengan metronidazol
dan eritromisin oral dapat secara signifikan mengurangi insiden persalinan preterm apabila
diberlikan secara oral, bukan vaginal. Ada pula penelitian yang menunjukkan efikasi metronidazol
dan ampisilin yang menunda kelahiran, meningkatkan rerata berat bayi lahir, mengurangi
persalinan preterm dan morbiditas neonatal.
Sekitar 70-80% perempuan yang mengalami persalinan prematur tidak melahirkan
prematur. Perempuan yang tidak mengalami perubahan serviks tidak mengalami persalinan
prematur sehingga sebaiknya tidak diberikan tokolisis. Perempuan dengan kehamilan kembar
sebaiknya tidak diterapi secara berbeda dibandingkan kehamilan tunggal, kecuali jika risiko edema
paru lebih besar saat diberikan betamimetik atau magnesium sulfat. Belum ada bukti yang cukup
untuk menilai penggunaan steroid untuk maturitas paru-paru janin dan tokolisis sebelum gestasi 23
minggu dan setelah 33 6/7 minggu. Amniosentesis dapat dipertimbangkan untuk menilai infeksi
intra amnion (IIA) (insidens sekitar 5-15%) dan maturitas paruparu (khususnya antara 33-35
minggu). IIA dapat diperkirakan berdasarkan status kehamilan dan panjang serviks.
Kortikosteroid (betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada perempuan dengan
persalinan prematur sebelumnya pada 24-< 34 minggu efektif dalam mencegah sindrom distres
pernapasan, perdarahan intraventrikel, enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal.
Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya dipertimbangkan jika beberapa minggu telah
berlalu sejak pemberian awal kortikosteroid dan adanya episode baru dari KPD preterm atau
22
ancaman persalinan prematur pada usia gestasi awal. Satu tahapan tambahan betametason terdiri
dari 2x12 mg selang 24 jam, diterima pada usia gestasi < 30 minggu, minimal 14 hari setelah terapi
pertama, yaitu saat usia gestasi < 30 minggu, berhubungan dengan penurunan sindrom distres
pernapasan, bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan, dan morbiditas neonatal. Akan tetapi,
pemberian kortikosteroid lebih dari dua tahap harus dihindari.
Pemberian magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30 menit, diikuti dosis
pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-< 32 minggu segera dalam 12 jam sebelum persalinan prematur
berhubungan dengan penurunan insidens serebral palsi secara signifikan.
Tokolitik sebaiknya tidak digunakan tanpa penggunaan yang serentak dengan kortikosteroid
untuk maturasi paru-paru. Semua intervensi lain untuk mencegah persalinan prematur, meliputi
istirahat total, hidrasi, sedasi dan lain-lain tidak menunjukkan keuntungan dalam manajemen
persalinan prematur.
Pada neonatus prematur, penundaan klem tali pusar selama 30-60 detik (maksimal 120
detik) berhubungan dengan angka transfusi untuk anemia, hipotensi, dan perdarahan intraventrikel
yang lebih sedikit dibandingkan dengan klem segera (< 30 detik).

23
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. HP usia 19 tahun datang ke IGD RS Bhayangkara Jambi tanggal 1 Maret 2021
pukul 12.00 WIB dengan keluhan utama keluar air-air dari jalan lahir sejak 12 jam yang lalu. Setelah
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis
G1P0A0 hamil 39 minggu dengan ketuban pecah dini 12 jam janin tunggal hidup presentasi kepala.
Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan HPHT 28 Mei 2020 dan datang dengan
keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Air-air yang keluar
berwarna putih bening dan tidak berbau. Keluhan ini disertai dengan adanya perut mules yang
menjalar ke pinggang hilang timbul (+) tapi masih jarang dan keluar lendir darah (-). Berdasarkan
teori, usia kandungan pasien sudah cukup bulan (aterm) yaitu 39 minggu dan keluhan yang dirasakan
oleh pasien mengarah kepada diagnosis ketuban pecah dini dan menyatakan belum ada tanda-tanda
inpartu.
Pada kasus, pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal, baik pemeriksaan tanda vital,
maupun status generalisata dari pasien. Pada pasien belum didapatkan adanya tanda-tanda infeksi.
Suhu pasien normal yaitu 36,5o C. Denyut nadinya juga dalam batas normal, yaitu 98 kali per menit.
Tekanan darah pasien juga dalam batas normal yaitu 120/80mmHg. Berdasarkan teori, pemeriksaan
fisik pada kasus KPD ini penting untuk menentukan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Hal
ini terkait dengan penatalaksanaan KPD selanjutnya dimana risiko infeksi ibu dan janin meningkat
pada KPD. Umumnya dapat terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Selain itu juga
didapatkan adanya nadi yang cepat. Tetapi pada kasus ini tidak didapatkan sehingga belum ada tanda-
tanda infeksi pada ibu.
Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama terhadap
kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium
uteri eksternum (OUE). Pada pasien KPD akan tampak cairan keluar dari vagina. Cairan yang keluar
dari vagina perlu diperiksa warna, bau dan pHnya. Air ketuban yang keruh dan berbau menunjukkan
adanya proses infeksi. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo.
Pada kasus, dilakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan ada tidaknya pembukaan. Pada
saat di lakukan pemeriksaan dalam pada pasien ini belum ada pembukaan dan ketuban (-).
Pemeriksaan dalam vagina dibatasi seminimal mungkin untuk mencegah infeksi.

24
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa leukosit pasien tidak meningkat
yaitu 9.520/mm3 serta CRP yang tidak meningkat. Hal ini menunjukkan belum adanya proses infeksi.
Pada kasus ini, keluar air ketuban dari jalan lahir atau dalam hal ini pecahnya ketuban dicurigai
terjadi 12 jam sebelum masuk rumah sakit, sementara belum ada tanda-tanda inpartu pada
pemeriksaan dalam.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil tindakan terhadap pasien KPD, yaitu
umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Pemberian antibiotik profilaksis dapat
menurunkan infeksi pada ibu. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah
diagnosis KPD ditegakkan. Pada kasus ini pasien segera diberikan antibiotik ceftriaxone 1gr dan
diinduksi dengan oxytocin ½ ampul.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
pasien pada kasus ini didiagnosis sebagai KPD. Kasus yang ditemukan sudah sesuai dengan teori
yang ada. Penatalaksanaan KPD pada pasien ini pada umumnya tepat.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Skinner SJM, Campos GA, Liggins GC. Collagen Content of Human Amniotic Membranes:
Effect of Gestation Length and Premature Rupture. Obstet Gynecol 1981; 57: 487-9
2. Capeless EL, MEAD PB. Management of Preterm Premature Membranes. Lack Of
National Consensus. Am J Obstet Gynecol 1987; 11: 157
3. Vadillo-Ortega F, Gonzalez-Avila G, Karchmer S, Cruz NM, Ayala-Ruiz A, Lama MS.
Collagen Metabolism in Premature Rupture on Amniotics Membranes. Obstet Gynecol
1990; 98: 1971-8

4. Wilkes, P.T, “Premature Ruptur of Membrane”, 2014 available at www. emedicine. com /
med/med/topic.3246.htm
5. Antonius BM (ed), “Ketuban Pecah Dini dan Infeksi Intrapartum”, Kuliah ObstetriGinekologi
FKUI, www.geocities.com/yosemite/rapids
http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt11.html
6. Svigos, J.M, Robinson, J.S, Vigneswaran,R. “Premature Rupture of the Membranes”, High
Risk Pregnancy Management Options, W.B Saunders Company, London, 2012, h.163-171
7. Cunningham FG, editor. Williams obstetrics. 25th edition. New York: McGraw-Hill;
2018.
8. Parry S, Strauss JF, 3rd (1998) Premature rupture of the fetal membranes. N Eng J Med
338: 663-670.
9. Benirshcke K, Kaufman P. 2000. Pathology of the Human Placenta, 4th ed. New York,
Springer.
10. Gray’s Anatomy (diakses dari www.britannica.com/EBchecked/topic/275660/human-
embryology stages 2-6 from Gray’s Anatomy plate 9).
11. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Ketuban Pecah Dini.
12. Prawirohardjo, S. 2013. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Penerbit Bina Pustaka. Hal: 213; 678;
680.
13. Romero R, Ghidini A, Bahado-Singh R. Premature rupture of membranes; In: Mc Allister
L,ed. Medicine of the fetus and mother. Philadelphia: J.B. Lippincott Company;
1992.p.1430-50. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
14. Karat, C., Madhivanan, P., Krupp, K., et al. 2006. The clinical and microbiological
correlates of premature rupture of membranes. Indian J Med Micro, 24 (4): 283-5)
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov)

26

Anda mungkin juga menyukai