Anda di halaman 1dari 38

Laporan kasus

TRAUMA KAPITIS

Oleh:
dr. Nur Ilmi Sofiah

Pembimbing:
dr. Herawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA MAYANG MANGURAI JAMBI
PERIODE I 18 FEBRUARI 2021-18 JUNI 2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus
Trauma Kapitis

Oleh:
dr. Nur Ilmi Sofiah

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia di RS Bhayangkara Mayang Mangurai Jambi periode
I 18 Februari 2021-18 Juni 2021.

Jambi, April 2021

dr. Herawati

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya laporan kasus yang berjudul “Trauma Kapitis” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat mengikuti Program Internship Dokter Indonesia di RS Bhayangkara
Mayang Mangurai Jambi.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
dr. Herawati selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama penulisan laporan kasus ini sehingga menjadi lebih baik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kekeliruan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa
yang akan datang.

Jambi, April 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15
ANATOMI 15
FISIOLOGI 21
TRAUMA KAPITIS 23
DEFINISI 23
KLASIFIKASI 23
BERDASARKAN MORFOLOGI 24
BERDASARKAN DERAJAT 29
PATOFISIOLOGI 30
DIAGNOSIS 32
TATALAKSANA 33
BAB III KESIMPULAN 45
DAFTAR PUSTAKA 47

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kapitis merupakan kasus yang sering terjadi setiap harinya.


Bahkan, bisa dikatakan merupakan kasus yang hampir selalu dijumpai di unit
gawat darurat di setiap rumah sakit, dan merupakan penyebab kematian terbesar
pada kelompok umur usia produktif. Trauma kapitis dapat disebut juga dengan
cedera kepala (head injury) ataupun traumatic brain injury. Kedua istilah ini
sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit berbeda. Head injury merupakan
perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari
trauma. Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak
ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang
dapat terjadi di mana saja.1,2,3
Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian lebih dari 70 persen
kasus. Insidensi cedera kepala di banyak negara berkisar antara 200-300 / 100.000
populasi per tahun. Di Amerika Serikat cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 200.000 kasus. Korban cedera kepala yang dirawat
terdapat 52.000 kematian tiap tahunnya. Dari jumlah di atas, 10 % penderita
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Sedangkan yang sampai di rumah
sakit, 80% termasuk cedera kepala ringan Glasgow Coma Scale (GCS) 14-15,
10% cedera kepala sedang (GCS 9-13) dan sisanya (10%) cedera kepala berat
(GCS kurang dari atau sama dengan 8). Di Indonesia, tidak terdapat data nasional
mengenai trauma kepala. Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma
kepala ringan, 315 pasien trauma kepala sedang, dan 28 pasien trauma kepala
berat. Di RS Siloam pada tahun 2005 terdapat 347 kasus trauma kepala. Di RS
Atma Jaya pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala mencapai 125
orang dari 256 pasien rawat inap bagian saraf.1,4,5
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala
adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen
(airway dan breathing) yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah

1
(circulation) yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting
untuk menghindari terjadinya cedera otak sekunder, yang akhirnya akan
meningkatkan tingkat kesembuhan pasien. Manajemen cedera kepala yang baik
dapat mencegah cedera kepala sekunder sehingga akan sangat membantu dalam
menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat cedera kepala.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi
3.3.1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu:1,6
a. Skin atau kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea, tebal, dan
berambut.
b. Connective Tissue atau jaringan ikat yang merupakan jaringan lemak
fibrosa.
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Jaringan ikat
longgar yang menempati ruang subaponeurotik. Jaringan ikat ini
banyak mengandung arteri kecil dan v.emissaria yang penting.
e. Perikranium atau periosteum merupakan periosteum yang menutupi
permukaan luar tulang tengkorak.

Gambar 1. Struktur Kulit Kepala

Kulit kepala juga kaya akan vaskularisasi. Struktur pembuluh darah


tersebar di dalam lapisan kedua dari kulit kepala, yaitu lapisan jaringan

3
ikat (connective tissue) yang terletak subkutan di antara kulit dan
aponeurosis epikranial. Arteri yang memperdarahi kulit kepala berasal dari
percabangan arteri carotis eksterna (a. oksipitalis, a. aurikularis posterior,
dan a. temporalis superfisial) dan arteri karotis interna (a. supraorbital dan
a. supratrochlear). Arteri-arteri ini beranastomosis secara bebas dengan
arteri yang berdekatan dan menyeberang ke bagian tengah untuk bertemu
dengan arteri dari sisi kontralateral. Dinding arteri-arteri ini terlekat erat
pada jaringan ikat di sekitarnya. Arteri dari kulit kepala sangat sedikit
sekali mensuplai vaskularisasi ke neurokaranium, sebagian besar
vaskularisasinya berasal dari a. meningea media.1,6

Gambar 2. Suplai Darah Scalp

Drainase vena pada kulit kepala berasal dari vena yang berjalan
bersama dengan arteri kulit kepala, yaitu v. supraorbital dan v.
supratrokhlear yang merupakan percabangan dari v. fasialis serta v.
temporalis superfisial, v. aurikularis posterior, dan v. oksipitalis yang
merupakan percabangan dari v. jugularis eksterna. Selain itu, drainase
vena kulit kepala pada lapisan yang agak lebih dalam oleh v. temporalis
profunda yang merupakan percabangan dari v. jugularis interna.1,6

4
Gambar 3. Drainase Vena Scalp

3.3.2. Tulang Tengkorak (Kranium)


Tulang tengkorak disusun dari beberapa tulang yang saling bersendi
pada sendi yang tidak bergerak disebut sutura. Jaringan ikat di antara
tulang-tulang disebut ligamentum sutura. Mandibula merupakan
pengecualian karena tulang ini berhubungan dengan cranium melalui
articulatio temporomandibularis yang bergerak. Tulang-tulang tengkorak
dapat dibedakan menjadi cranium dan wajah. Cranium bagian atas disebut
calvaria dan cranium bagian bawah disebut basis cranii. Tulang penyusun
cranium yaitu 1 os frontale, 2 os parietale, 1 os occipitale, 2 os temporale,
1 os sphenoidale, dan 1 os ethmoidale.1,6
Permukaan luar dan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis,
sagittalis, dan lambdoidea. Titik pertemuan antara sutura coronalis kiri-
kanan dan sutura sagittalis disebut bregma dan titik pertemuan sutura
lambdoidea kiri-kanan dan sutura sagittalis disebut lambda. Calvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal yang tebal.1,6

5
Gambar 4. Tulang Calvaria

Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar (basis cranii) dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior,
fossa media, dan fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus
frontalis, fossa media adalah tempat lobus temporalis, dan fossa posterior
adalah tempat bagian-bagian otak belakang, yaitu medulla oblongata,
pons, dan cerebellum.1,6

Gambar 5. Basis Cranii

6
3.3.3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak. Selaput ini terdiri
dari beberapa lapis, yaitu:1,6
a. Durameter
Duramater adalah selaput yang keras terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam
kranium. Duramater tidak melekat dengan selaput araknoid
dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial (ruang subdural:
sering dijumpai perdarahan subdural).
Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins (dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural). Pada beberapa tempat tertentu duramater
membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus yang mengalirkan darah
vena dari otak. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus umumnya
lebih dominan di sebelah kanan. Sinus-sinus ini dapat pecah pada
cedera kepala dan mengakibatkan perdarahan hebat. Perdarahan sinus
sagitalis superior pada 1/3 anterior dapat diligasi dengan aman bila
diperlukan. Namun ligasi pada 2/3 posterior sinus ini akan sangat
berbahaya karena menyebabkan infark vena pada otak dan kenaikan
tekanan intra kranial yang refrakter yang sulit diatasi.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula
interna tengkorak. Jalannya arteri-arteri ini dapat tampak pada foto
polos tengkorak karena membuat alur pada tabula interna tengkorak.
Laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan epidural.
Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Araknoid
Araknoid terdapat di bawah duramater yang tipis dan tembus
pandang

7
c. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebro spinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piamater
dalam ruang subaraknoid. Bila terjadi perdarahan sub araknoid maka
darah bebas akan berada dalam ruang ini (umumnya disebabkan oleh
pecahnya aneurysma intra kranial atau akibat cedera kepala).

3.3.4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.1,6

8
3.2. Fisiologi
3.2.1. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi
yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula
kesembuhan penderita. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10
mmHg (136 mmH20), TIK lebih tinggi dari 20 mm Hg dianggap tidak
normal dan TIK lebih dari 40 mm Hg termasuk dalam kenaikan TIK
berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.1,7

3.2.2. Doktrin Monro-Kellie


Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak
berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap
dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Bila terdapat penambahan masa seperti adanya hematoma akan
menyebabkan tergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang
intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun
bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah masa
yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.1,7

9
Gambar 6. Doktrin Monro-Kellie

3.2.3. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Tekanan Perfusi Otak (TPO) mempertahankan tekanan darah yang
adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting, dan ternyata
dalam observasi selanjutnya Tekanan Perfusi Otak (TPO) adalah indikator
yang sama pentingnya dengan TIK.1,7
TPO mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan
yang buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi
ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang
normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah
yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat pada
penderita cedera kepala berat.1,7

10
3.2.4. Aliran Darah Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 mL/100 gr jaringan otak per
menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 mL/100 gr/menit maka aktivitas
EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami
kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma,
fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan
apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata
di bawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri rata-
rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO
meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada
penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut sangat
rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat
hipotevnsi yang tiba-tiba.1,7

3.3. Trauma Kapitis


3.3.1. Definisi
Trauma kapitis dapat disebut juga dengan cedera kepala (head injury)
ataupun traumatic brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki
pengertian yang sedikit berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada
kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari trauma.
Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak
ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force)
eksternal yang dapat terjadi di mana saja.1,2,3

3.3.2. Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan
mekanisme, berat-ringannya dan morfologi.1,4
1. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:1,4

11
a. Cedera kepala tumpul
Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga
cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.1,4
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun
tusukan.1,4

2. Berdasarkan Morfologi
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi,
yaitu:1,4
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara
lain ekimosis periorbital (Raccoon eyes sign), ekimosis
retroaurikuler (battle sign), kebocoran CSS dari hidung
(rhinorrhea) dan telinga (otorrhea), gangguan nervus kranialis VII
dan VIII (parese otot wajah dan gangguan kehilangan
pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis
lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu
kemudian, sementara pemulihan N VIII sangat buruk. Fraktur
dasar tengkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak

12
arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau thrombosis) dan
pertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan arteriografi Fraktur
kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya
selaput duramater.1,4
b. Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasi dalam lesi fokal dan lesi difus. Cedera lesi
fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural dan kontusio
(atau perdarahan intra cerebral). Cedera otak difus umumnya
menunjukkan gambaran CT scan yang normal namun keadaan
klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya koma,
maka cedera difus dikelompokkan menurut Kontusio Ringan,
Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal Difus (CAD).1,4
1) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural terletak di luar dura tetapi di dalam
rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal
atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya a.
meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan
darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun
pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena,
karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya
sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada
fosa posterior.1,4,8
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat
penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan
epidural berkaitan langsung dengan status neurologis penderita
sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural

13
Pemeriksaan
Definisi : Pasien RIWAYAT
umumsadar
untukdan
menyingkirkan
berorientasi (GCS
cedera13-15)
sistemik

Nama, umur, jenis kelamin


Mekanisme cedera
Waktu Cedera
dapat menunjukan adanya "Interval Lucid" yaitu adanya fase
Tidak sadar segera setelah cedera
sadar diantara 2 fase tidak sadar karena bertambahnya volume
darah.1,4,8
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang
tengkorak dan duramater,umumnya daerah temporal, dan
tampak bikonveks.1

Gambar 7. CT Scan Hematom Epidural.

2) Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural sering terjadi akibat robeknya vena-
vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga
terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosis lebih buruk daripada perdarahan epidural.1,4,9
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara
duramater dan arakhnoid, umumnya karena robekan dari
bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.

14
Gambar 8.CT Scan Hematom Subdural

3) Kontusio dan Perdarahan Intraserebral


Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan
perdarahan subdural akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi
di frontal dan lobus termporal, walaupun dapat terjadi juga
pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.
Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral
traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja
dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi
membentuk perdarahan intra serebral.1,4,10
4) Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat cedera akselerasi dan deselerasi (bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala). Komosio serebri ringan adalah
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat.1,4
Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan
bingung dan disorientasi tanpa amnesia (pulih kembali tanpa
gejala sisa sama sekali). Cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan
amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa
sebelum dan sesudah cedera) Komosio serebri klasik adalah

15
cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa
waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita
ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak
penderita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa
cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi
(pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk
beberapa waktu). Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala
lainnya (gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat).1,4
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa
atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan
koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat
berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
batang otak primer. Membedakan antara cedera aksonal difus
dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan
memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.1,4,11
c. Fraktur basis kranii
1. Anterior
Gejala dan tanda klinis :
a) Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
b) Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye

16
c) Anosmia

Gambar 9. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye.6

2. Media
Gejala dan tanda klinis : Keluarnya cairan likuor melalui
telinga/otorrhea.6
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :Bilateral mastoid ecchymosis/battle’s
sign.6

Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign

3. Berdasarkan Derajat
Berdasarkan Derajat, cedera kepala dikelompokkan menjadi,
yaitu:1,4
a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
● Skor GCS 14-15
● Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
● Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

17
● Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
● Skor GCS 9-13
● Ada pingsan lebih dari 10 menit s/d ≤ 6 jam
● Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrograd
● Pemeriksaan neurologis terdapat kelumpuhan saraf dan anggota
gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
● Skor GCS 3-8
● Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
● Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
● Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas

3.3.3. Patofisiologi
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala
ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan
regulasi peredaran darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like”
ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya
glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem. Sebagai akibat
berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan
energi yang turut menyebabkan terjadinya kegagalan pompa ion di
membran sel yang bersifat energy-dependent.1,4
Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang diikuti
dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang
berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh
teraktifasinya N-methyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxa
zolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-

18
dependent.1,4
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-
digesting di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim
seperti lipid peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal
bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-
like proteins), translokase, dan endonuklease mampu menginisiasi
perubahan struktural dari membran biologis dan nucleosomal DNA secara
progresif. Fase-fase ini secara bersamaan mendukung terjadinya proses
degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya
menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram
(apoptosis).1,4

a. Cedera Otak Primer


Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang
tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat
setelah terjadi trauma. Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk
kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai
akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini
menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat
mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya
menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak.
Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh
darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi,
ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh
darah otak dapat berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid,
dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-Scan.1,4
b. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan
pada otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa
contoh gangguan sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi,
hiponatremi, dan kejang. Cedera otak sekunder merupakan lanjutan

19
dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi
peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan
autoregulasi, neuro-apoptosis, dan inokulasi bakteri.1,4
Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak
sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat
penurunan perfusi ke jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan
arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam,
vasospasme, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial
(sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan
istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia,
hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi,
hipopro-teinemia, serta hemostasis.1,4

3.3.4. Diagnosis
Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pmeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1,4,5
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/raccoon eyes
e. Ecchymosis mastoid bilateral/battle sign
f. Gangguan fokal neurologis
g. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
h. Refleks patologis

20
i. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye
phenomen
j. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic
hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath
k. Gangguan fungsi otonom
l. Funduskopi
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala AP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur
linier, impresi, terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi
berupa gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran
perdarahan (hiperdens), hematoma epidural, hematoma subdural,
hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS
harus dilakukan dalam 6 jam sejak terjadinya trauma

3.3.5. Tatalaksana
a. Tatalaksana Cedera Kepala Ringan
Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera
kepala akan termasuk dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita
tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia terhadap hal-hal yang
bersangkutan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat
hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan
terutama bila disertai minum alkohol atau di bawah pengaruh obat-
obatan.1,4,5
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna,
walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun
sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak terduga, dengan
akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah

21
dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih awal.1,4,5
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat. Namun bila pemeriksaan
CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita tanpa
gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi
selama 12-24 jam di rumah sakit.1,4,5
Dewasa ini, pemeriksaan foto rontgen kepala hanya dilakukan pada
cedera kepala tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila
pemeriksaan foto ronsen dilakukan maka dokter harus menilai hal-hal
berikut ini: (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang
biasanya digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara air pada
sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda
asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur tengkorak
pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%.
Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar
tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto
rontgen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign merupakan
indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat
dengan observasi khusus.1,4,5
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau
rasa pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non
narkotik seperti acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein
pada keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin
diberikan pada setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain,
pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan Pemeriksaan kadar
alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik dalam urine sangat
berguna baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan medikolegal.
Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan

22
nasihat-nasihat yang perlu bagi keluarganya. Pada keluarga penderita
diberikan lembar observasi penderita selama sedikitnya 12 jam dan
bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa kembali ke
rumah sakit. Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk
observasi penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita
sebaiknya dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan
dilakukan evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan
dibolehkan pulang bila tidak terdapat gejala perburukan. Bila pada CT
scan jelas terdapat lesi massa, maka penderita harus dirawat oleh
seorang ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama
beberapa hari sesuai dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli
bedah saraf tidak ada di rumah sakit semula maka, penderita harus
segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf.
Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita pulang
atau segera dilakukan bila keadaan memburuk.1,4,5

Algoritma Tatalaksana Cedera Kepala Ringan1

23
b. Tatalaksana Cedera Kepala Sedang
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita
cedera kepala sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti
perintah-perintah sederhana, namun biasanya mereka tampak bingung
atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang
mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Karena itu, penderita-
penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagai 'penderita
cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi.
Namun demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga

24
kelancarannya.1,4,5
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan
segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan
neurologis dilaksanakan. CT scan kepala selalu dilakukan pada setiap
penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian terhadap 341
penderita dengan GCS 9-13, ternyata 40% kasus menunjukan
gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8% diantaranya
memerlukan tindakan pembrdahan). Penderita harus dirawat untuk
observasi walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status
neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak
menunjukan adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan
maka penderita dapat dipulangkan beberapa hari kemudian. Tetapi bila
penderita jatuh dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi
sama dengan penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat.1,4,5
Algoritma Tatalaksana Cedera Kepala Sedang1

c. Tatalaksana Cedera Kepala Berat


Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan

25
perintah- perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah
distabilisasi. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera
kepala, tetapi mengidentifikasikan penderita-penderita yang mem-
punyai resiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang berat.
Pendekatan "Tunggu dulu" pada penderita-penderita cedera kepala
berat sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang cepat
sangatlah penting.1,4,5
1) Primary Survey dan Resusitasi
Cedera otak dapat diperburuk akibat cedera sekunder, pasien
cedera otak berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dibandingkan pasien tanpa hipotensi. Adanya
hipoksia pada pasien dengan hipotensi akan menyebabkan
mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu tindakan stabilisasi
kardiopulmonar pada pasien cedera otak berat harus segera
dilaksanakan. 1,4,5
a) Airway
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan
miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik
untuk menghindari aspirasi muntahan. Terhentinya pernafasan
sementara sering terjadi pada cedera kepala berat sehingga
intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada pasien
koma.
b) Breathing
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne
Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.Kelainan
perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru,

26
emboli paru, atau infeksi. Tindakan hiperventilasi harus
dilakukan secara hati-hati pada pasien cedera otak berat dan
hanya dilakukan saat timbul perburukan neurologis.
Tatalaksana berupa oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,
intermiten, cari dan atasi faktor penyebab, kalau perlu pakai
ventilator
c) Circulation
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi yang
terjadi akibat cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medula oblongata sudah mengalami
gangguan.HipotePnsi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.Tata
laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
d) Disability
Penentuan tingkat kesadaran dengan menggunakan skor GCS,
dan nilai pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan
penurunan oksigenasi dan atau perfusi ke otak, atau
disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran
menuntut dilakukannya re-evaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
e) Exposure/Environment
Periksa apakah terdapat luka di tempat lain dengan membuka
pakaian penderita.
2) Secondary Survey

27
Secondary Survey dilakukan setelah Primary survey selesai
dilakukan dan ABC-nya dipastikan membaik.
1. Anamnesis
a. Riwayat AMPLE
A : Alergi
M : Medikasi (obat yg diminum saat ini)
P : Past illness (penyakit penyerta)/pregnancy
L : Last Meal
E : Event/environment (lingkungan)
b. Mekanisme Perlukaan sangat menentukan keadaan pasien.
a. Trauma Tumpul ( Blunt trauma )
b. Trauma Tajam (Penetrating trauma )
c. Cedera karena suhu panas/dingin
d. Bahan berbahaya (Hazardous environment)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Pada Secondary Survey dilakukan
berurutan dari kepala ke eksteremitas hingga status neurologis.
Penderita dengan cedera kepala sering disertai cedera multipel.
Dalam satu penelitian penderita cedera kepala, lebih dari 50%
disertai. cedera sistemik mayor yang memerlukan bantuan
konsultasi dokter ahli lain.1,4,5
3) Tes Diagnostik
Pemeriksaan CT Scan harus segera diperoleh secepat mungkin,
idealnya dalam waktu 30 menit setelah cedera. Dan pemeriksaan
CT Scan ulang harus juga dapat dikerjakan bila terjadi perubahan
status klinis penderita. Dalam interpretasi CT Scan kepala harus
dilakukan secara sistematik agar tak ada yang terlewatkan. Kulit
kepala pada tempat benturan biasanya mengalami pembengkakan
atau dijumpai hematoma subgaleal. Retak atau garis fraktur dapat
tampak jelas pada pemeriksaan teknik bone window, walaupun
kadang.1,4,5

28
Advanced Trauma Life Support kadang dapat tampak juga pada
CT Scan teknik jaringan lunak. Penemuan penting dalam CT Scan
kepala adalah adanya perdarahan intra kranial dan pergeseran garis
tengah (efek masa). Septum pelusidum yang terletak di antara
kedua ventrikel lateralis seharusnya terletak di tengah-tengah.
Garis tengah dapat ditarik antara krista galli di bagian anterior dan
Inion di bagian posterior. Derajat pergeseran septum pelusidum
terhadap garis tengah harus dicatat dan dihitung menurut skala
yang tertera di samping hasil scan. Pergeseran aktual 5 mm atau
lebih umumnya dianggap cukup bermakna pada penderita cedera
kepala dan biasanya merupakan indikasi tindakan pembedahan.1,4,5
Walaupun tidak selalu dapat dibedakan antara perdarahan
epidural dan subdural pada CT Scan, namun yang khas pada
perdarahan epidural gumpalan darah tampak berbentuk bikonveks
atau menyerupai lensa cembung, karena perdarahan terletak di
antara dura dan tabula interna yang melekat erat yang mencegah
perdarahan melebar. Sebanyak 20% dari perdarahan ekstraserebral
dijumpai adanya gumpalan darah baik pada epidural maupun pada
ruang subdural. Pada hakekatnya membedakan perdarahan epidural
dan subdural lebih bersifat akademis karena keduanya memerlukan
tindakan operatif bila terdapat pergeseran struktur garis tengah
yang bermakna. Perdarahan subdural dibedakan atas perdarahan
akut, subakut dan kronik. Riwayat penyakit pada tiap penderita
membantu dalam membedakan keduanya. Pada CT Scan
perdarahan subdural akut tampak gambaran lesi hiperdens dan
perdarahan subdural subakut tampak sebagai lesi yang isodens atau
densitas campuran, sedangkan pada perdarahan kronik gambaran
lesinya adalah hipodens, dibandingkan dengan densitas jaringan
otak.1,4,5
Perdarahan intraserebral traumatika biasanya terletak di lobus
frontalis dan lobus temporalis anterior, walaupun dapat terjadi di

29
lokasi lain. Perdarahan ini umumnya terjadi segera setelah cedera,
walaupun jenis perdarahan yang terjadi kemudian sering juga
dijumpai, biasanya dalam minggu pertama. Pada CT Scan tampak
sebagai lesi yang hiperdens yang biasanya dikelilingi oleh zona
berdensitas rendah. Hematoma kecil yang multipel biasanya
disebut sebagai kontusio jaringan otak dan ciri-cirinya. pada CT
Scan adalah gambaran menyerupai "garam dan merica" (salt and
pepper appearance).1,4,5
Algoritma Tatalaksana Cedera Kepala Berat1

d. Terapi Medikamentosa (Cedera Kepala Berat)


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya
cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip
dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali,
sebaliknya bila sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan
kehilangan fungsi sampai mengalami kematian.1,4,5
1) Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi
penderita agar tetap normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu
dianggap sebagai konsep terapi bagi cedera kepala, kini ternyata
justru merupakan tindakan yang membahayakan bagi penderita.1,4,5

30
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan
berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita cedera
kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologis atau Ringer Laktat. Kadar Natrium serum
juga harus dipertahankan dalam batas normal. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang
harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi.1,4,5
2) Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan
volume intra kranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi
yang berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia
otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada
akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PCO2 turun
sampai di bawah 25 mm Hg (3,3 kPa).1,4,5
Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 30 mm Hg (4 kPa) atau
sedikit di atas. Nilai PCO2 antara 25-30 mm Hg (3,3-4 kPa) dapat
dipertahankan pada keadaan TIK yang tinggi. Tetapi yang penting
hiperventilasi harus dicegah bila PCO2 < 25 mm Hg.1,4,5
3) Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK,
biasanya dengan konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya
dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra vena.
Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita hipotensi
karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas
penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula
reaksi cahaya pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi
pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian
bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan secara cepat (sampai 5

31
menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau langsung ke
kamar operasi.1,4,5
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil
dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak
hipotensi. Indikasi pemberian manitol untuk penderita-penderita
cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau tanpa perburukan
neurologis tidaklah jelas.1,4,5
4) Furosemide
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.
Penggunaan kombinasi kedua obat ini akan meningkatkan diuresis.
Dosis yang lazim adalah 0,3-0,5 mg/kg BB, diberikan secara intra
vena.1,4,5

32
BAB III
KESIMPULAN

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramenofsky, Max L., Bell, R. M. Advance Trauma Life Support 9th Edition.
USA: American College of Surgeons. 2014.
2. Kennedy, Eleanor, Cohen M, Munafo, M. Childhood Traumatic Brain Injury
and the Associations With Risk Behavior in Adolescence and Young
Adulthood: A Systematic Review. Wolters Kluwer Health. 2017.
3. Yates PJ, Williams WH, Harris A, Round A, Jenkins R. An epidemi-
ological study of head injuries in a UK population attending an
emergency department. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2006;77:699– 701.
doi:10.1136/jnnp.2005.081901
4. Chapman SB. Neurocognitive stall: a paradox in long-term recov- ery from
pediatric brain injury. Brain Inj Prof. 2007;3(4):10–13.
5. Taylor HG, Alden J. Age-related differences in outcomes following
childhood brain insults: an introduction and overview. J Int Neuropsychol
Soc. 1997;3:555–567.
6. Blakemore S-J, Mills KL. Is adolescence a sensitive period for sociocultural
processing? Annu Rev Psychol. 2014;65:187–207. doi:10.1146/annurev-
psych-010213-115202.
7. Standring, Susan. Gray's Anatomy; The Anatomical Basis of Clinical Practice
41st Ed. UK: Elsevier. 2016.
8. Ellis, Harold. Clinical Anatomy; Applied Anatomy for Students and Junior
Doctors 11th Ed. Australia: Blackwell Publishing. 2006
9. Barret, K. E., Barman, S. M., Boitano S., Brooks, H. L. Ganong's Review of
Medical Physiology 23rd Ed. New York: McGraw Hill. 2010
10. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakata: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. Olson, D.A. Head Injury [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview.
12. Dowadu, S.T. Traumatic Brain Injury [internet]. 2015. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview.
13. Satyanegara. 2008. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
14. Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B., Turana, Y. 2009. Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
15. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
16. Liebeskind, D.S. Epidural Hematoma [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1137065-overview.
17. Maegher, R.J. Subdural Hematoma [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview
18. Liebeskind, D.S. Intracranial Hemorrhage [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/ 1163977-overview.

34

Anda mungkin juga menyukai