Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS PASAL 1266 DAN PASAL 1267 KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PERDATA TERKAIT DENGAN KONTRAK BISNIS


Wahyu Satya Wibowo
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jambi
Jl. Arif Rahman Hakim, Telanaipura, Kec. Telanaipura, Kota Jambi, Jambi 36361
Email: wsw_satya@yahoo.com

Abstrak
Kontrak bisnis memiliki peran yang sentral guna menjalankan berbagai kegiatan yang telah disepakati. Kontrak
dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut. Menurut Pasal 1266
dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), di setiap kontrak dianggap selalu
dicantumkan syarat batal dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam praktek, terutama dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pelaku
bisnis, sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang dari Pasal 1266 dan Pasal
1267 KUHPerdata. Para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267
KUHPerdata. Dalam kontrak, pencantuman klausula mengenai syarat-syarat batal merupakan salah satu
klausula yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan pemberi proyek. Demikian pentingnya klausula itu
bagi pemberi proyek, sehingga seandainya klausula itu tidak ada di dalam kontrak, maka berakibat
pelaksanaan pembatalan kontrak hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui
proses litigasi yang panjang dan lama, sehingga pemberi proyek akan merasa dirugikan karena proyeknya
menjadi terbengkalai.
Kata kunci: Analisis Pasal; Pasal 1266 KUHPerdata; Pasal 1267 KUHPerdata; Kontrak Bisnis; Syarat Batal .

Abstract
Business contracts have a central role in carrying out various agreed activities. Contracts can create rights and
obligations for the parties who enter into the contract. According to Articles 1266 and 1267 of the Civil Code ,
every contract is deemed to always include a void condition in reciprocal agreements, when one of the parties
does not fulfill its obligations. In practice, especially in agreements made by business actors, it is often found
that the parties have agreed to deviate from Article 1266 and Article 1267 of the Civil Code. The parties
expressly waived the provisions in Article 1266 and Article 1267 of the Civil Code. In the contract, the inclusion
of a clause regarding the terms of void is one of the most important clauses for the protection of the interests of
the project provider. Such is the importance of this clause for the project giver, so that if the clause is not in the
contract, then the implementation of contract cancellation can only occur based on a court decision or a judge
through a long litigation process, so that the project giver will feel disadvantaged because the project has
become neglected.
Keywords: Article Analysis; Article 1266 of the Civil Code; Article 1267 of the Civil Code; Business Contract;
Terms of Cancellation.

1
1. PENDAHULUAN

Pada dasarnya suatu kontrak berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan
diantara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali
dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan
bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan suatu yang diinginkan (kepentingan) melalui
proses tawar menawar.
Kontrak menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang ada
dalam kontrak. Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak, artinya prestasi atau
kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang
diharuskan dari pihak lainnya. Prestasi juga terdapat dalam kontrak yang bersifat timbal balik atau
bilateral, dimana dalam bentuk kontrak ini masing-masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi
atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.
Sahnya perjanjian tidak semata-semata hanya telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, namun juga harus memenuhi prinsip-prinsip kepatutan dan kebiasaan yang timbul dalam
masyarakat. Terkait dengan wanprestasi sebagai syarat batal, maka apabila dilihat dari
kepentingannya, melepaskan Pasal 1266 KUHPerdata dapat memunculkan masalah baru. Masalah
tersebut seperti kapan, dan bagaimana wanprestasi dianggap terjadi. Apabila tidak diatur secara jelas,
tentu dapat merugikan pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan kepastian hukum akan
semakin jauh.
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa permasalahan yang
dikemukakan menarik untuk diketahui dan diteliti lebih jauh mengenai syarat batal yang terdapat
dalam perjanjian yang akan dituangkan dalam bentuk karya yang berjudul “ANALISIS PASAL 1266
DAN 1267 KUHPERDATA TERKAIT DENGAN KONTRAK BISNIS”.

2. PEMBAHASAN

Syarat batal seperti yang tercantum dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata tersebut dianggap se
lalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pemba
talan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal men
genai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan d
alam persetujuan, hakim dapat memberikan jangka waktu bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya,
jangka waktu tersebut tidak boleh lebih dari satu bulan.

2
Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata ini jelas memberikan intervensi yang besar dari
pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Pasal ini pada intinya menyebutkan bahwa dengan
alasan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak lainnya dapat membatalkan
kontrak akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu saja melainkan harus melalui
pengadilan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam praktek sering ada ketentuan yang
mengesampingkan pasal tersebut yang berarti bahwa kontrak tersebut dapat diputuskan sendiri oleh
salah satu pihak (tanpa campur tangan pengadilan) , jika pihak lainnya melakukan wanprestasi.
Dalam praktek terutama dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis sering
dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang dari Pasal 1266 dan Pasal 1267 K
UHPerdata. Misalnya, dalam salah satu klausul dari suatu perjanjian yang dibuat oleh para pelaku
bisnis menyebutkan bahwa kedua belah pihak, sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan
batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan
Pasal 1267 KUHPerdata, sepanjang ketentuan tersebut mensyaratkan diucapkannya suatu keputusan
pengadilan untuk pengakhiran/batalnya suatu perjanjian.
Selain itu, apabila dikaitkan dengan perlindungan terhadap pihak-pihak yang kedudukannya lebih
lemah dibandingkan pihak lainnya, pembatalan perjanjian sepihak tanpa melalui proses pengadilan
dapat merugikan pihak yang lemah. Pihak yang lebih lemah umumnya hanya bisa menerima segala
kondisi yang ditawarkan oleh pihak lawan. 
Ketentuan pada Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata dapat dikatakan bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak seperti yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata
memberi kebebasan pada para pihak untuk menentukan isi perjanjian termasuk di dalamnya membuat
ketentuan tentang batalnya suatu perjanjian. Namun di lain sisi Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata
menyatakan bahwa pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan melalui keputusan
hakim/pengadilan, tidak bisa dilakukan berdasarkan kehendak para pihak meskipun sudah
dicantumkan dalam perjanjian.
Kebebasan menentukan isi dan klausula perjanjian menurut hemat penulis adalah kebebasan men
entukan isi dan klausula perjanjian, sepanjang isi dan klausula tersebut belum diatur dalam undang-un
dang.

3. KESIMPULAN

Dengan demikian, menurut Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata pembatalan perjanjian hanya
dapat dilakukan melalui pengadilan atau keputusan hakim (das sollen), namun pada prakteknya, perjan
jian khususnya perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis, pembatalan perjanjian dapat dilakukan
bersandarkan pada klausul syarat batal yang disepakati para pihak (das sein). Karena menurut Pasal
1338 KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi para pihak yang

3
membuatnya, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan pasal 1266 KUHPerdata, ha
rus ditaati oleh para pihak.

4. DAFTAR PUSTAKA

Agus Yudha Harmoko, (2001), Hukum Perjanjian Indonesia, Widya Utama, Yogyakarta.
Setiawan, (2007), Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV, Binacipta, Jakarta.
Suharnoko, (2008), Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus Ed. 1. Cetakan ke. 5, Kencana,
Jakarta.
Subekti, (2006), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung.
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, (2003), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
Pradnya Paramita, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai