Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

TRAUMA KAPITIS

Penyusun :

dr. Nur Ilmi Sofiah

Dokter Pendamping :

dr. M. El Yandiko, Sp.An

dr. Herawati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA MAYANG MANGURAI
JAMBI
2021

i
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : dr. Nur Ilmi Sofiah


Nama Wahana : RS Bhayangkara Jambi
Topik : Trauma Kapitis
Tanggal Kasus : 10/3/2021
Nama Pasien : An TS No.RM : 014240
Nama Pendamping :
dr. M. El Yandiko, Sp.An
dr. Herawati

Tanggal Presentasi :
Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Jambi
Obyektif Presentasi
√Keilmuan Ketrampilan Penyegaran √Tinjauan Pustaka
√Diagnostik √Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja √Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Seorang wanita 47 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala setelah
tertimpa kayu dari arah atas.
Tujuan : Diagnosis, Manajemen
Bahasan √ Tinjauan Pustaka Riset √Kasus Audit
Cara Pembahasan Diskusi √Presentasi & Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama : An. TS No. RM 014240
Nama Klinik : IGD

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Trauma Kapitis

Oleh:
dr. Nur Ilmi Sofiah

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia di RS Bhayangkara Mayang Mangurai Jambi periode
I 18 Februari 2021-18 Juni 2021.

Jambi, April 2021

dr. M. El Yandiko, Sp.An

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Trauma Kapitis

Oleh:
dr. Nur Ilmi Sofiah

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia di RS Bhayangkara Mayang Mangurai Jambi periode
I 18 Februari 2021-18 Juni 2021.

Jambi, April 2021

dr. Herawati

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya laporan kasus yang berjudul “Trauma Kapitis” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat mengikuti Program Internship Dokter Indonesia di RS Bhayangkara
Mayang Mangurai Jambi.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
dr. Herawati selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama penulisan laporan kasus ini sehingga menjadi lebih baik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kekeliruan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa
yang akan datang.

Jambi, April 2021

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
BORANG PORTOFOLIO................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
DAFTAR ISI..................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II STATUS PASIEN................................................................................ 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 15
ANATOMI......................................................................................... 15
FISIOLOGI......................................................................................... 21
TRAUMA KAPITIS........................................................................... 23
DEFINISI....................................................................................... 23
KLASIFIKASI............................................................................... 23
BERDASARKAN MORFOLOGI................................................. 24
BERDASARKAN DERAJAT....................................................... 29
PATOFISIOLOGI.......................................................................... 30
DIAGNOSIS.................................................................................. 32
TATALAKSANA.......................................................................... 33
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 47

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kapitis merupakan kasus yang sering terjadi setiap harinya. Bahkan,
bisa dikatakan merupakan kasus yang hampir selalu dijumpai di unit gawat darurat
di setiap rumah sakit, dan merupakan penyebab kematian terbesar pada kelompok
umur usia produktif. Trauma kapitis dapat disebut juga dengan cedera kepala (head
injury) ataupun traumatic brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki
pengertian yang sedikit berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada kulit kepala,
tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari trauma. Sedangkan, traumatic
brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi pada otak yang
disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana saja.1,2,3
Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian lebih dari 70 persen
kasus. Insidensi cedera kepala di banyak negara berkisar antara 200-300 / 100.000
populasi per tahun. Di Amerika Serikat cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 200.000 kasus. Korban cedera kepala yang dirawat
terdapat 52.000 kematian tiap tahunnya. Dari jumlah di atas, 10 % penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Sedangkan yang sampai di rumah sakit, 80%
termasuk cedera kepala ringan Glasgow Coma Scale (GCS) 14-15, 10% cedera
kepala sedang (GCS 9-13) dan sisanya (10%) cedera kepala berat (GCS kurang dari
atau sama dengan 8). Di Indonesia, tidak terdapat data nasional mengenai trauma
kepala. Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan, 315
pasien trauma kepala sedang, dan 28 pasien trauma kepala berat. Di RS Siloam
pada tahun 2005 terdapat 347 kasus trauma kepala. Di RS Atma Jaya pada tahun
2007, jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang dari 256 pasien rawat
inap bagian saraf.1,4,5
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala adalah
harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen (airway dan
breathing) yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah (circulation) yang
cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk menghindari

1
terjadinya cedera otak sekunder, yang akhirnya akan meningkatkan tingkat
kesembuhan pasien. Manajemen cedera kepala yang baik dapat mencegah cedera
kepala sekunder sehingga akan sangat membantu dalam menurunkan angka kematian
dan kecacatan akibat cedera kepala.

2
BAB II
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. TS
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 12 Februari 1974
Usia : 47 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jalan Marene RT.024 Keluarahan Eka Jaya
Warga Negara : Warga Negara Indonesia
Tanggal masuk RS : 10 Maret 2021 pukul 13.05 WIB

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala.
b. Keluhan Tambahan
Benjol dan kepala terasa berat.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
+ 2 jam SMRS pasien mengeluh nyeri kepala setelah tertimpa kayu
dari arah atas. Nyeri dirasakan terus menerus, tidak berputar, dan
dirasakan pada bagian atas kepala. Selain itu juga pasien mengeluh
benjol (+) pada bagian atas kepalanya dan mengeluh kepala terasa
berat (+). Keluhan lain seperti pingsan/tidak sadar (-), mengantuk (-),
kejang (-), lupa ingatan sebelum/setelah kejadian (-), keluar darah atau
cairan dari telinga, hidung, dan mulut pasien (-), kelemahan anggota
gerak atas dan bawah (-), gangguan pendengaran (-), penglihatan kabur
atau ganda (-), bicara pelo (-).

3
Kronologi kejadiannya adalah saat pasien sedang bersih-bersih
disekitar pondok kayu miliknya, tiba-tiba kepala pasien tertimpa kayu
dari atas saat suami pasien hendak memaku pondoknya.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

3. Pemeriksaan Fisik
3.1 Primary Survey (Tanggal 10 Maret 2021 pukul 13.05 WIB di IGD)
A: Paten/Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas, stridor (-), snoring
(-), gurgling (-)
B: Nafas spontan (+), reguler (+), laju pernafasan = 22x/m, suara nafas
vesikuler normal (+), gerakan dinding dada statis/dinamis simetris
kanan-kiri, SpO2 98%
C: Akral hangat, nadi 75x/menit, isi dan tegangan cukup, irama
reguler, CRT <2 detik, TD 130/70 mmHg
D: GCS = E4M6V5, pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, RC +/+
E: Scalp: hematoma (+) diameter +10 cm pada regio vertex parietal,
luka terbuka (-). Jejas pada regio tubuh lain (-).

3.2 Secondary Survey


History
Allergies :-
Medication :-
Past illness :-
Last meal : Nasi putih
Event : Tertimpa kayu dari arah atas

4
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : GCS = E4M6V5 = 15
Kooperasi  : Kooperatif
Keadaan gizi : Baik
Postur : Athletikus
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 75x/menit, isi dan tegangan cukup, irama
reguler
Suhu Badan : 36,70 C
Pernafasan :22x/menit, irama reguler, tipe
torakoabdominal
VAS :7
SpO2 : 98%

Keadaan Spesifik
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi
merata, tidak mudah dicabut, tidak ada
alopesia, hematoma (+) diameter +10 cm
pada regio vertex parietal, luka terbuka (-).
Mata : Ekimosis periorbita/Brill hematom (-/-),
oedem palpebra (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), ptosis (-/-),
lagoftalmus (-/-), pupil bulat isokor, refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+), diameter 3 mm/3mm.
Telinga : Normotia (+/+), hematoma retroaurikuler/
Battle’s sign (-/-), perdarahan (-/-), otorrhea
(-/-).
Hidung : Deviasi septum (-/-), perdarahan (-/-),
rhinorrhea (-/-).

5
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), perdarahan (-).
Leher : Bentuk simetris, jejas (-), hematom (-),
pulsasi Aa. Carotis teraba cukup, irama
reguler, kanan dan kiri sama, deviasi trakhea
(-), kelenjar getah bening tidak teraba
membesar, JVP (5-2) cm H2O.
Thoraks : Simetris, jejas (-), perdarahan (-), retraksi
sela iga (-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : ICS III linea
sternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV linea
sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea
midclavikularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Gerakan nafas simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus simetris, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas (-)
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri
tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi:  BU (+) normal

6
Ekstremitas
Ekstemitas atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-),
deformitas (-/-), jejas (-/-), ekskoriasi (-/-),
perdarahan (-/-), CRT < 2 detik
Ekstemitas bawah: Akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-),
deformitas (-/-), jejas (-/-), ekskoriasi (-/-),
perdarahan (-/-), CRT < 2 detik

Status Lokalis
Kepala
Inspeksi (look) : hematoma (+) diameter +10 cm pada regio vertex
parietal, laserasi (-).
Palpasi (feel) : krepitasi (-)

3.3 Pemeriksaan Neurologis


a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -                     
b. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Penurunan kesadaran (-)
Pupil anisokor (-)
Trias cushing (-)
Papil oedem (-)
c. N. Kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II
Visus : 6/6
Tes buta warna : normal

7
N.III ; N.IV ; N.VI
Kedudukan bola mata : ortoforia
Pergerakan bola mata
Nasal : normal
Temporal : normal
Atas : normal
Bawah : normal
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
Bentuk : Bulat / bulat
Diameter : 3 mm / 3 mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung: +/+

N.V
Cabang motorik
Membuka mulut : Baik
Menggerakkan rahang : Baik
Jaw refleks : Baik
Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik
Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik
Cabang sensorik mandibularis: Baik/ Baik

N.VII
Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)
Chovstek : Negatif
Pengecapan lidah : Baik

8
N.VIII
Vestibular
Vertigo :  Negatif
Nistagmus :  -/-
Cochlear : Fungsi pendengaran dalam batas normal

N.IX ; N.X
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik

N.XI
Mengangkat bahu : Baik/baik
Menoleh :  Baik/baik

N.XII
Pergerakan lidah : Lidah di tengah
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Sistem motorik tubuh
Kekuatan otot :555 | 5555
5 55 | 5555

d. Gerakan involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
Tics : -/-
Trofik : Eutrofik/Eutrofik
Tonus : Normotonus /Normotonus
Sensorik : Baik

9
e. Fungsi cerebellar dan Koordinasi
Ataxia :-
Jari - jari : Baik
Jari - hidung : Baik
Hipotoni : -/-

f. Fungsi Luhur
Astereognosia   : -
Apraksia           : -
Afasia               : -

g. Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat: baik

h. Refleks fisiologis
Kornea : +/+
Biseps : N/N
Triseps : N/N
Patella : N/N
Tumit : N/N
Fissura ani : tidak dilakukan

i. Refleks patologis
Babinski : -/-

j. Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Tanda regresi :-
Demensia :-

10
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 11 Maret 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hb 13,9 g/dl 11,5– 15 g/dl
WBC 10.850/ mm3 4000 – 10.000/ mm3
Hematokrit 41,1% 36 – 47 %
Trombosit 202.000/ mm3 100 – 350 x 103/ mm3
RBC 4,32 x 106/mm3 4,00-5,00 x 106/mm3
MCV 95,2 um3 80-100 um3
MCH 32,1 pg 27-34 pg
MCHC 33,7 g/dl 32-36 g/dl
RDW 12% 11-16 %
Diff Count
Basofil 0,2% 0–1%
Eosinofil 1,9% 0,5 – 5,0 %
Neutrofil 79,8% 50 – 70 %
Limfosit 15,1% 20 – 40 %
Monosit 3,0% 3.0 – 12.0 %

3.4.2 Pemeriksaan Radiologi


Foto kranium AP/Lateral

Hasil pemeriksaan foto cranium AP/Lateral


- Tidak tampak kelainan pada tabula eksterna, diploe, dan tabula interna

11
- Sutura jelas dan vaskular baik
- Tidak tampak fraktur pada frontal. temporal, parietal, oksipital, dan
tulang wajah
- Sella tursika baik
- Tampak massa jaringan lunak vertex
- Tak tampak soft tissue lusensi
Kesan:
Soft tissue tumor vertex parietal
DD/ Subgaleal hematoma
Tidak tampak kelainan radiologis pada tulang kranium

3.4.3 EKG

Kesan:
Normal sinus rhythm

12
5. Diagnosis Kerja
Cephalgia + CKR GCS 15 + soft
tissue tumor vertex susp. Hematoma
subgaleal

6. Penatalaksanaan
Non-farmakologis
- Konsul dr. SpS
- Saran rawat inap
- Tirah Baring
- Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan sekitar 30-450
- Diet nasi biasa
Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% + Tramadol 1 ampul 10 tpm
- Injeksi asam traneksamat 3x250 mg IV
- Injeksi ranitidin 2x1 ampul
- Analsik tab (Diazepam 2mg + Methampirone 500mg) 1x1 (malam)

7. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

13
8. Follow Up
Tanggal CATATAN KEMAJUAN (S/O/A) RENCANA TATALAKSANA
– Jam
11 S: nyeri kepala (+) muntah (-) pandangan kabur (-) P:
Maret lemas (-) Nonfarmakologi
2021 O: - Tirah Baring
KU : Tampak sakit sedang - Posisi tidur, bagian kepala
07.00 TD 120/70mmHg Nadi 75x/m, RR 20x/m, T 36,7 C ditinggikan sekitar 30-450
WIB VAS: 6/10 - Diet nasi biasa
Keadaan Spesifik : Farmakologi
Kepala: hematom (+) regio vertex, konjungtiva - IVFD NaCl 0,9% + Tramadol 1
anemis (-), sklera ikterik (-) ampul 10 tpm
Thorax : simetris, retraksi intercostal (-). Abdomen: - Injeksi asam traneksamat 3x250
tidak ada kelainan. Extremitas: akral hangat, CRT mg IV
<2” - Injeksi ranitidin 2x1 ampul IV
Status neurologis: dalam batas normal. - Analsik tab (Diazepam 2mg +
A: Cephalgia + CKR GCS 15 + soft tissue tumor Methampirone 500mg) 1x1
vertex susp. Hematoma subgaleal (malam) PO

12 S: nyeri kepala (+) berkurang, muntah (-) pandangan P:


Maret kabur (-) lemas (-) Nonfarmakologi
2021 O: - Tirah Baring
KU : Tampak sakit ringan - Posisi tidur, bagian kepala
08.00 TD 110/70mmHg Nadi 85x/m, RR 20x/m, T 36,5 C ditinggikan sekitar 30-450
WIB VAS: 5/10 - Diet nasi biasa
Keadaan Spesifik : Farmakologi
Kepala: hematom (+) regio vertex, konjungtiva - IVFD NaCl 0,9% + Tramadol 1
anemis (-), sklera ikterik (-) ampul 10 tpm
Thorax : simetris, retraksi intercostal (-). Abdomen: - Injeksi asam traneksamat 3x250
tidak ada kelainan. Extremitas: akral hangat, CRT mg IV
<2” - Injeksi ranitidin 2x1 ampul IV
Status neurologis: dalam batas normal. - Analsik tab (Diazepam 2mg +
A: Cephalgia + CKR GCS 15 + soft tissue tumor Methampirone 500mg) 1x1
(malam) PO
vertex susp. Hematoma subgaleal
13 S: nyeri kepala (+) sedikit, muntah (-) pandangan P:
Maret kabur (-) lemas (-) - Tirah Baring
2021 O: - Posisi tidur, bagian kepala
KU : baik ditinggikan sekitar 30-450
07.00 TD 120/80mmHg Nadi 80x/m, RR 20x/m, T 36,4 C - Diet nasi biasa
WIB VAS: 2/10 - Aff infus
Keadaan Spesifik : - Pasien diperbolehkan pulang
Kepala: hematom (+) regio vertex, konjungtiva
anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax : simetris, retraksi intercostal (-). Abdomen:
tidak ada kelainan. Extremitas: akral hangat, CRT
<2”
Status neurologis: dalam batas normal.
A: Cephalgia + CKR GCS 15 + soft tissue tumor
vertex susp. Hematoma subgaleal

BAB III

14
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi
3.3.1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu:1,6
a. Skin atau kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea, tebal, dan
berambut.
b. Connective Tissue atau jaringan ikat yang merupakan jaringan lemak
fibrosa.
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Jaringan ikat
longgar yang menempati ruang subaponeurotik. Jaringan ikat ini
banyak mengandung arteri kecil dan v.emissaria yang penting.
e. Perikranium atau periosteum merupakan periosteum yang menutupi
permukaan luar tulang tengkorak.

Gambar 1. Struktur Kulit Kepala

Kulit kepala juga kaya akan vaskularisasi. Struktur pembuluh darah


tersebar di dalam lapisan kedua dari kulit kepala, yaitu lapisan jaringan
ikat (connective tissue) yang terletak subkutan di antara kulit dan

15
aponeurosis epikranial. Arteri yang memperdarahi kulit kepala berasal dari
percabangan arteri carotis eksterna (a. oksipitalis, a. aurikularis posterior,
dan a. temporalis superfisial) dan arteri karotis interna (a. supraorbital dan
a. supratrochlear). Arteri-arteri ini beranastomosis secara bebas dengan
arteri yang berdekatan dan menyeberang ke bagian tengah untuk bertemu
dengan arteri dari sisi kontralateral. Dinding arteri-arteri ini terlekat erat
pada jaringan ikat di sekitarnya. Arteri dari kulit kepala sangat sedikit
sekali mensuplai vaskularisasi ke neurokaranium, sebagian besar
vaskularisasinya berasal dari a. meningea media.1,6

Gambar 2. Suplai Darah Scalp

Drainase vena pada kulit kepala berasal dari vena yang berjalan
bersama dengan arteri kulit kepala, yaitu v. supraorbital dan v.
supratrokhlear yang merupakan percabangan dari v. fasialis serta v.
temporalis superfisial, v. aurikularis posterior, dan v. oksipitalis yang
merupakan percabangan dari v. jugularis eksterna. Selain itu, drainase
vena kulit kepala pada lapisan yang agak lebih dalam oleh v. temporalis
profunda yang merupakan percabangan dari v. jugularis interna.1,6

16
Gambar 3. Drainase Vena Scalp

3.3.2. Tulang Tengkorak (Kranium)


Tulang tengkorak disusun dari beberapa tulang yang saling bersendi
pada sendi yang tidak bergerak disebut sutura. Jaringan ikat di antara
tulang-tulang disebut ligamentum sutura. Mandibula merupakan
pengecualian karena tulang ini berhubungan dengan cranium melalui
articulatio temporomandibularis yang bergerak. Tulang-tulang tengkorak
dapat dibedakan menjadi cranium dan wajah. Cranium bagian atas disebut
calvaria dan cranium bagian bawah disebut basis cranii. Tulang penyusun
cranium yaitu 1 os frontale, 2 os parietale, 1 os occipitale, 2 os temporale,
1 os sphenoidale, dan 1 os ethmoidale.1,6
Permukaan luar dan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis,
sagittalis, dan lambdoidea. Titik pertemuan antara sutura coronalis kiri-
kanan dan sutura sagittalis disebut bregma dan titik pertemuan sutura
lambdoidea kiri-kanan dan sutura sagittalis disebut lambda. Calvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal yang tebal.1,6

17
Gambar 4. Tulang Calvaria

Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar (basis cranii) dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior,
fossa media, dan fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus
frontalis, fossa media adalah tempat lobus temporalis, dan fossa posterior
adalah tempat bagian-bagian otak belakang, yaitu medulla oblongata,
pons, dan cerebellum.1,6

Gambar 5. Basis Cranii

18
3.3.3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak. Selaput ini
terdiri dari beberapa lapis, yaitu:1,6
a. Durameter

Duramater adalah selaput yang keras terdiri atas jaringan ikat


fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam
kranium. Duramater tidak melekat dengan selaput araknoid
dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial (ruang subdural:
sering dijumpai perdarahan subdural).
Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins (dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural). Pada beberapa tempat tertentu duramater
membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus yang mengalirkan darah
vena dari otak. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus umumnya
lebih dominan di sebelah kanan. Sinus-sinus ini dapat pecah pada
cedera kepala dan mengakibatkan perdarahan hebat. Perdarahan sinus
sagitalis superior pada 1/3 anterior dapat diligasi dengan aman bila
diperlukan. Namun ligasi pada 2/3 posterior sinus ini akan sangat
berbahaya karena menyebabkan infark vena pada otak dan kenaikan
tekanan intra kranial yang refrakter yang sulit diatasi.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula
interna tengkorak. Jalannya arteri-arteri ini dapat tampak pada foto
polos tengkorak karena membuat alur pada tabula interna tengkorak.
Laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Araknoid

Araknoid terdapat di bawah duramater yang tipis dan tembus

19
pandang
c. Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan


serebro spinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piamater
dalam ruang subaraknoid. Bila terjadi perdarahan sub araknoid maka
darah bebas akan berada dalam ruang ini (umumnya disebabkan oleh
pecahnya aneurysma intra kranial atau akibat cedera kepala).

3.3.4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.1,6

20
3.2. Fisiologi
3.2.1. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi
yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula
kesembuhan penderita. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10
mmHg (136 mmH20), TIK lebih tinggi dari 20 mm Hg dianggap tidak
normal dan TIK lebih dari 40 mm Hg termasuk dalam kenaikan TIK
berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.1,7

3.2.2. Doktrin Monro-Kellie


Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah
bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada
dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang
normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK
umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai
titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-
volume. Bila terdapat penambahan masa seperti adanya hematoma akan
menyebabkan tergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang
intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun
bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah masa
yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.1,7

21
Gambar 6. Doktrin Monro-Kellie

3.2.3. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Tekanan Perfusi Otak (TPO) mempertahankan tekanan darah yang
adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting, dan ternyata
dalam observasi selanjutnya Tekanan Perfusi Otak (TPO) adalah
indikator yang sama pentingnya dengan TIK.1,7
TPO mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan
yang buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi
ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang
normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah
yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat pada
penderita cedera kepala berat.1,7

22
3.2.4. Aliran Darah Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 mL/100 gr jaringan otak per
menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 mL/100 gr/menit maka aktivitas
EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak
mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-
trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang
konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan
arteri rata-rata di bawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila
tekanan arteri rata- rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi
sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya,
penderita-penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder
karena iskemia sebagai akibat hipotevnsi yang tiba-tiba.1,7

3.3. Trauma Kapitis


3.3.1. Definisi
Trauma kapitis dapat disebut juga dengan cedera kepala (head injury)
ataupun traumatic brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki
pengertian yang sedikit berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada
kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari trauma.
Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak
ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force)
eksternal yang dapat terjadi di mana saja.1,2,3

3.3.2. Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan
mekanisme, berat-ringannya dan morfologi.1,4
1. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:1,4

23
a. Cedera kepala tumpul
Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga
cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.1,4
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun
tusukan.1,4

2. Berdasarkan Morfologi
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi,
yaitu:1,4
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara
lain ekimosis periorbital (Raccoon eyes sign), ekimosis
retroaurikuler (battle sign), kebocoran CSS dari hidung
(rhinorrhea) dan telinga (otorrhea), gangguan nervus kranialis VII
dan VIII (parese otot wajah dan gangguan kehilangan
pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis
lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu
kemudian, sementara pemulihan N VIII sangat buruk. Fraktur
dasar tengkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak

24
arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau thrombosis) dan
pertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan arteriografi Fraktur
kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya
selaput duramater.1,4
b. Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasi dalam lesi fokal dan lesi difus. Cedera
lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural dan
kontusio (atau perdarahan intra cerebral). Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT scan yang normal namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat
dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya
koma, maka cedera difus dikelompokkan menurut Kontusio
Ringan, Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal Difus (CAD).1,4
1) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural terletak di luar dura tetapi di dalam
rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal
atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya a.
meningea media akibat retaknya tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh
arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat
perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural
terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio
parieto oksipital dan pada fosa posterior.1,4,8
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat
penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan
epidural berkaitan langsung dengan status neurologis penderita
sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural

25
Pemeriksaan
Definisi : Pasien
umumsadar
untuk
RIWAYAT
dan
menyingkirkan
berorientasi (GCS
cedera13-15)
sistemik

 Nama, umur, jenis kelamin


 Mekanisme cedera
 Waktu Cedera
 Tidak sadar segera setelah cedera
dapat menunjukan adanya "Interval Lucid" yaitu adanya fase
 Sakit kepala : ringan, sedang, berat
sadar diantara 2 fase tidak sadar karena bertambahnya volume
darah.1,4,8
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang
tengkorak dan duramater,umumnya daerah temporal, dan
tampak bikonveks.1

Gambar 7. CT Scan Hematom Epidural.

2) Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural sering terjadi akibat robeknya vena-


vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga
terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosis lebih buruk daripada perdarahan epidural.1,4,9
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara
duramater dan arakhnoid, umumnya karena robekan dari
bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.

26
Gambar 8.CT Scan Hematom Subdural

3) Kontusio dan Perdarahan Intraserebral

Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan


perdarahan subdural akut. Kontusio serebri sangat sering
terjadi di frontal dan lobus termporal, walaupun dapat terjadi
juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan
intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri
dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami
evolusi membentuk perdarahan intra serebral.1,4,10
4) Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak


akibat cedera akselerasi dan deselerasi (bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala). Komosio serebri ringan adalah
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat.1,4
Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia (pulih
kembali tanpa gejala sisa sama sekali). Cedera komosio yang
lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia
retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada

27
peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komosio
serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya
berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel. Dalam
definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio serebri
klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia
terhadap peristiwa yang terjadi (pada beberapa penderita
dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu). Defisit
neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lainnya (gejala-gejala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat).1,4
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa
atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan
koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat
berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedera batang otak primer. Membedakan antara cedera
aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis
tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering
terjadi bersamaan.1,4,11
c. Fraktur basis kranii
1. Anterior

28
Gejala dan tanda klinis :
a) Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
b) Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
c) Anosmia

Gambar 9. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye.6

2. Media
Gejala dan tanda klinis : Keluarnya cairan likuor melalui
telinga/otorrhea.6
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :Bilateral mastoid ecchymosis/battle’s
sign.6

Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign

3. Berdasarkan Derajat
Berdasarkan Derajat, cedera kepala dikelompokkan menjadi,
yaitu:1,4
a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri

29
 Skor GCS 14-15
 Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
 Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
 Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
 Skor GCS 9-13
 Ada pingsan lebih dari 10 menit s/d ≤ 6 jam
 Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrograd
 Pemeriksaan neurologis terdapat kelumpuhan saraf dan anggota
gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
 Skor GCS 3-8
 Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
 Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
 Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas

3.3.3. Patofisiologi
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala
ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan
regulasi peredaran darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like”
ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya
glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem. Sebagai akibat
berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan
energi yang turut menyebabkan terjadinya kegagalan pompa ion di
membran sel yang bersifat energy-dependent.1,4

30
Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang diikuti
dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang
berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh
teraktifasinya N-methyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxa
zolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-
dependent.1,4
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-
digesting di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim
seperti lipid peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal
bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-
like proteins), translokase, dan endonuklease mampu menginisiasi
perubahan struktural dari membran biologis dan nucleosomal DNA secara
progresif. Fase-fase ini secara bersamaan mendukung terjadinya proses
degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya
menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram
(apoptosis).1,4

a. Cedera Otak Primer


Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang
tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat
setelah terjadi trauma. Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk
kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai
akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini
menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat
mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya
menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak.
Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh
darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi,
ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh
darah otak dapat berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid,
dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-Scan.1,4

31
b. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan
pada otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa
contoh gangguan sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi,
hiponatremi, dan kejang. Cedera otak sekunder merupakan lanjutan
dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi
peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan
autoregulasi, neuro-apoptosis, dan inokulasi bakteri.1,4
Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak
sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat
penurunan perfusi ke jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan
arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam,
vasospasme, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial
(sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan
istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia,
hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi,
hipopro-teinemia, serta hemostasis.1,4

3.3.4. Diagnosis
Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pmeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1,4,5
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/raccoon eyes

32
e. Ecchymosis mastoid bilateral/battle sign
f. Gangguan fokal neurologis
g. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
h. Refleks patologis
i. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye
phenomen
j. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic
hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath
k. Gangguan fungsi otonom
l. Funduskopi
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala AP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur
linier, impresi, terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi
berupa gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran
perdarahan (hiperdens), hematoma epidural, hematoma subdural,
hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS
harus dilakukan dalam 6 jam sejak terjadinya trauma

3.3.5. Tatalaksana
a. Tatalaksana Cedera Kepala Ringan
Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera
kepala akan termasuk dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita
tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia terhadap hal-hal yang
bersangkutan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat
hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan
terutama bila disertai minum alkohol atau di bawah pengaruh obat-
obatan.1,4,5

33
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna,
walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun
sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak terduga, dengan
akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya dapat
dicegah dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih awal.1,4,5
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT
scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat. Namun bila pemeriksaan
CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita tanpa
gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi
selama 12-24 jam di rumah sakit.1,4,5
Dewasa ini, pemeriksaan foto rontgen kepala hanya dilakukan
pada cedera kepala tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila
pemeriksaan foto ronsen dilakukan maka dokter harus menilai hal-hal
berikut ini: (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang
biasanya digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara air pada
sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda
asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur tengkorak
pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai
65%. Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar
tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto
rontgen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign
merupakan indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita
harus dirawat dengan observasi khusus.1,4,5
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri
atau rasa pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti
nyeri non narkotik seperti acetaminophen, walaupun dapat juga
diberikan kodein pada keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid
tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka Bila tidak
ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan

34
Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat
toksik dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun
untuk tujuan medikolegal.
Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk
dibawa kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan
dengan nasihat-nasihat yang perlu bagi keluarganya. Pada keluarga
penderita diberikan lembar observasi penderita selama sedikitnya 12
jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa
kembali ke rumah sakit. Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya
untuk observasi penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka
penderita sebaiknya dilakukan observasi di rumah sakit selama
beberapa jam dan dilakukan evaluasi secara periodik mengenai fungsi
neurologisnya dan dibolehkan pulang bila tidak terdapat gejala
perburukan. Bila pada CT scan jelas terdapat lesi massa, maka
penderita harus dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan
mendapat penatalaksanaan selama beberapa hari sesuai dengan
perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada di
rumah sakit semula maka, penderita harus segera dirujuk ke rumah
sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf. Pemeriksaan CT scan
ulang perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau segera dilakukan
bila keadaan memburuk.1,4,5

35
Algoritma Tatalaksana Cedera Kepala Ringan1

b. Tatalaksana Cedera Kepala Sedang


Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita
cedera kepala sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti
perintah-perintah sederhana, namun biasanya mereka tampak bingung
atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang
mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Karena itu, penderita-
penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagai 'penderita

36
cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi.
Namun demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga
kelancarannya.1,4,5
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan
segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan
neurologis dilaksanakan. CT scan kepala selalu dilakukan pada setiap
penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian terhadap 341
penderita dengan GCS 9-13, ternyata 40% kasus menunjukan
gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8% diantaranya
memerlukan tindakan pembrdahan). Penderita harus dirawat untuk
observasi walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status
neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak
menunjukan adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa hari
kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip
penatalaksanaanya menjadi sama dengan penatalaksanaan penderita
dengan cedera kepala berat.1,4,5

Algoritma Tatalaksana Cedera Kepala Sedang1

37
c. Tatalaksana Cedera Kepala Berat
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah- perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya
telah distabilisasi. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis
cedera kepala, tetapi mengidentifikasikan penderita-penderita yang
mem-punyai resiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang
berat. Pendekatan "Tunggu dulu" pada penderita-penderita cedera
kepala berat sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang
cepat sangatlah penting.1,4,5
1) Primary Survey dan Resusitasi
Cedera otak dapat diperburuk akibat cedera sekunder, pasien cedera
otak berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih
banyak dibandingkan pasien tanpa hipotensi. Adanya hipoksia pada
pasien dengan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai
75%. Oleh karena itu tindakan stabilisasi kardiopulmonar pada
pasien cedera otak berat harus segera dilaksanakan. 1,4,5
a) Airway
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan
miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik
untuk menghindari aspirasi muntahan. Terhentinya pernafasan
sementara sering terjadi pada cedera kepala berat sehingga
intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada pasien
koma.
b) Breathing
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi

38
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne
Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.Kelainan
perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru,
emboli paru, atau infeksi. Tindakan hiperventilasi harus
dilakukan secara hati-hati pada pasien cedera otak berat dan
hanya dilakukan saat timbul perburukan neurologis.
Tatalaksana berupa oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,
intermiten, cari dan atasi faktor penyebab, kalau perlu pakai
ventilator
c) Circulation
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi yang
terjadi akibat cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medula oblongata sudah mengalami
gangguan.HipotePnsi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.Tata
laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
d) Disability
Penentuan tingkat kesadaran dengan menggunakan skor GCS,
dan nilai pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan
penurunan oksigenasi dan atau perfusi ke otak, atau
disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran
menuntut dilakukannya re-evaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
e) Exposure/Environment
Periksa apakah terdapat luka di tempat lain dengan membuka

39
pakaian penderita.

2) Secondary Survey
Secondary Survey dilakukan setelah Primary survey selesai dilakukan
dan ABC-nya dipastikan membaik.
1. Anamnesis
a. Riwayat AMPLE
A : Alergi
M : Medikasi (obat yg diminum saat ini)
P : Past illness (penyakit penyerta)/pregnancy
L : Last Meal
E : Event/environment (lingkungan)
b. Mekanisme Perlukaan sangat menentukan keadaan pasien.
a. Trauma Tumpul ( Blunt trauma )
b. Trauma Tajam (Penetrating trauma )
c. Cedera karena suhu panas/dingin
d. Bahan berbahaya (Hazardous environment)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Pada Secondary Survey dilakukan berurutan
dari kepala ke eksteremitas hingga status neurologis. Penderita
dengan cedera kepala sering disertai cedera multipel. Dalam satu
penelitian penderita cedera kepala, lebih dari 50% disertai.
cedera sistemik mayor yang memerlukan bantuan konsultasi
dokter ahli lain.1,4,5
3) Tes Diagnostik

Pemeriksaan CT Scan harus segera diperoleh secepat mungkin,


idealnya dalam waktu 30 menit setelah cedera. Dan
pemeriksaan CT Scan ulang harus juga dapat dikerjakan bila
terjadi perubahan status klinis penderita. Dalam interpretasi CT
Scan kepala harus dilakukan secara sistematik agar tak ada yang
terlewatkan. Kulit kepala pada tempat benturan biasanya

40
mengalami pembengkakan atau dijumpai hematoma subgaleal.
Retak atau garis fraktur dapat tampak jelas pada pemeriksaan
teknik bone window, walaupun kadang.1,4,5
Advanced Trauma Life Support kadang dapat tampak juga
pada CT Scan teknik jaringan lunak. Penemuan penting dalam CT
Scan kepala adalah adanya perdarahan intra kranial dan
pergeseran garis tengah (efek masa). Septum pelusidum yang
terletak di antara kedua ventrikel lateralis seharusnya terletak di
tengah-tengah. Garis tengah dapat ditarik antara krista galli di
bagian anterior dan Inion di bagian posterior. Derajat pergeseran
septum pelusidum terhadap garis tengah harus dicatat dan dihitung
menurut skala yang tertera di samping hasil scan. Pergeseran
aktual 5 mm atau lebih umumnya dianggap cukup bermakna pada
penderita cedera kepala dan biasanya merupakan indikasi
tindakan pembedahan.1,4,5
Walaupun tidak selalu dapat dibedakan antara perdarahan
epidural dan subdural pada CT Scan, namun yang khas pada
perdarahan epidural gumpalan darah tampak berbentuk bikonveks
atau menyerupai lensa cembung, karena perdarahan terletak di
antara dura dan tabula interna yang melekat erat yang mencegah
perdarahan melebar. Sebanyak 20% dari perdarahan ekstraserebral
dijumpai adanya gumpalan darah baik pada epidural maupun pada
ruang subdural. Pada hakekatnya membedakan perdarahan
epidural dan subdural lebih bersifat akademis karena keduanya
memerlukan tindakan operatif bila terdapat pergeseran struktur
garis tengah yang bermakna. Perdarahan subdural dibedakan atas
perdarahan akut, subakut dan kronik. Riwayat penyakit pada tiap
penderita membantu dalam membedakan keduanya. Pada CT Scan
perdarahan subdural akut tampak gambaran lesi hiperdens dan
perdarahan subdural subakut tampak sebagai lesi yang isodens
atau densitas campuran, sedangkan pada perdarahan kronik

41
gambaran lesinya adalah hipodens, dibandingkan dengan densitas
jaringan otak.1,4,5
Perdarahan intraserebral traumatika biasanya terletak di lobus
frontalis dan lobus temporalis anterior, walaupun dapat terjadi di
lokasi lain. Perdarahan ini umumnya terjadi segera setelah cedera,
walaupun jenis perdarahan yang terjadi kemudian sering juga
dijumpai, biasanya dalam minggu pertama. Pada CT Scan tampak
sebagai lesi yang hiperdens yang biasanya dikelilingi oleh zona
berdensitas rendah. Hematoma kecil yang multipel biasanya
disebut sebagai kontusio jaringan otak dan ciri-cirinya. pada CT
Scan adalah gambaran menyerupai "garam dan merica" (salt and
pepper appearance).1,4,5
Algoritma Tatalaksana Cedera Kepala Berat1

d. Terapi Medikamentosa (Cedera Kepala Berat)

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya


cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip
dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali,
sebaliknya bila sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan
kehilangan fungsi sampai mengalami kematian.1,4,5

42
1) Cairan Intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi


penderita agar tetap normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu
dianggap sebagai konsep terapi bagi cedera kepala, kini ternyata
justru merupakan tindakan yang membahayakan bagi
penderita.1,4,5
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan
berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita cedera
kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak
yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau Ringer Laktat. Kadar
Natrium serum juga harus dipertahankan dalam batas normal.
Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema
otak yang harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi.1,4,5
2) Hiperventilasi

Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PCO2 dan


menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan
volume intra kranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi
yang berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia
otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada
akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PCO2 turun
sampai di bawah 25 mm Hg (3,3 kPa).1,4,5
Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 30 mm Hg (4 kPa) atau
sedikit di atas. Nilai PCO2 antara 25-30 mm Hg (3,3-4 kPa)
dapat dipertahankan pada keadaan TIK yang tinggi. Tetapi yang
penting hiperventilasi harus dicegah bila PCO2 < 25 mm Hg.1,4,5
3) Manitol

Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK,


biasanya dengan konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya

43
dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra vena.
Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang
jelas penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal tetapi kemudian timbul
dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini
pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan secara cepat
(sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi.1,4,5
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil
dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak
hipotensi. Indikasi pemberian manitol untuk penderita-penderita
cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau tanpa
perburukan neurologis tidaklah jelas.1,4,5
4) Furosemide

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.


Penggunaan kombinasi kedua obat ini akan meningkatkan
diuresis. Dosis yang lazim adalah 0,3-0,5 mg/kg BB, diberikan
secara intra vena.1,4,5

44
45
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang wanita berusia 47 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala setelah
tertimpa kayu dari arah atas + 2 jam SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus, tidak
berputar, dan dirasakan pada bagian atas kepala. Selain itu juga pasien mengeluh
benjol (+) pada bagian atas kepalanya dan mengeluh kepala terasa berat (+).
Keluhan lain seperti pingsan/tidak sadar (-), mengantuk (-), kejang (-), lupa
ingatan sebelum/setelah kejadian (-), keluar darah atau cairan dari telinga, hidung,
dan mulut pasien (-), kelemahan anggota gerak atas dan bawah (-), gangguan
pendengaran (-), penglihatan kabur atau ganda (-), bicara pelo (-).
Anamnesis nyeri kepala, muntah, pingsan/mengalami
penurunan kesadaran, mengantuk, dan kejang ditanyakan untuk
mencari kemungkinan kenaikan tekanan intrakranial. Keluar
cairan atau perdarahan dari telinga, mulut, dan hidung untuk
mencari kemungkinan adanya fraktur basis cranii. Kelemahan
anggota gerak, penglihatan ganda, gangguan pendengaran,
bicara pelo ditanyakan untuk mencari kemungkinan adanya
defisit atau gangguan neurologis. Dari hasil anamnesis, pasien
mengalami cedera kepala namun tidak menunjukkan gejala-
gejala penurunan kesadaran maupun gangguan neurologis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan primary survey ABCDE
didapatkan airway, breathing, dan circulation yang stabil
dengan GCS E4M6V5. Selanjutnya dilakukan secondary
survey dan pemeriksaan fisik spesifik, didapatkan hematoma
(+) diameter +10 cm pada regio vertex parietal tanpa adanya
laserasi/luka terbuka dan krepitasi. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa foto cranium AP/lateral dan
didapatkan kesan adanya soft tissue tumor vertex parietal
dengan DD/ subgaleal hematoma serta tidak tampak kelainan
radiologis pada tulang kranium.

46
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik melalui
primary survey dan secondary survey dapat ditegakkan
diagnosis bahwa pasien mengalami cedera kepala ringan tertutup
GCS 15 dan subgaleal hematoma regio vertex.
Secara umum, tatatalaksana pada pasien trauma adalah
manajemen ABCDE. Pada pasien ini, airway, breathing,
circulation dalam keadaan stabil dengan GCS E4M6V5.
Tatalaksana nonfarmakologis pada pasien ini adalah
adalah dengan mengobservasi KU dan tanda vital, tirah baring,
dan elevasi kepala 30-45o.
Selanjutnya tatalaksana farmakologis adalah dengan
memberikan cairan isotonis dana analgetik. Pada pasien diberikan
cairan berupa IVFD NaCl 0,9% untuk mempertahankan keadaan
normovolemia. Anti nyeri yang diberikan berupa tramadol drip
intravena dan tablet analgetik (analsik) yang berisikan diazepam 2
mg dan methampirone 500 mg, diminum 1x1 tab peroral pada
malam hari untuk mengurangi nyeri kepala pada pasien yang
menjadi keluhan utamanya. Selain itu diberikan juga injeksi asam
traneksamat 3x250 mg IV yang merupakan antifibrinolitik untuk
mencegah perdarahan pada pasien.
Selama observasi dan perawatan dilakukan, pasien
menunjukkan perbaikan gejala klinis dengan tanda vital yang
stabil. Nyeri kepala yang dirasakan pasien sudah jauh berkurang,
dimana saat pasien datang ke IGD, pasien mengeluhkan nyeri
kepala dengan VAS 7 dan saat hari ke-3 di rawat nyeri kepala
pasien sudah sangat jauh berkurang yaitu dengan VAS 2.
Sehingga prognosis quo ad vitam, functionam, dan sanationam
pada pasien ini adalah dubia ad bonam.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramenofsky, Max L., Bell, R. M. Advance Trauma Life Support 9th Edition.
USA: American College of Surgeons. 2014.
2. Kennedy, Eleanor, Cohen M, Munafo, M. Childhood Traumatic Brain Injury
and the Associations With Risk Behavior in Adolescence and Young
Adulthood: A Systematic Review. Wolters Kluwer Health. 2017.
3. Yates PJ, Williams WH, Harris A, Round A, Jenkins R. An epidemi- ological
study of head injuries in a UK population attending an emergency
department. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2006;77:699– 701.
doi:10.1136/jnnp.2005.081901
4. Chapman SB. Neurocognitive stall: a paradox in long-term recov- ery from
pediatric brain injury. Brain Inj Prof. 2007;3(4):10–13.
5. Taylor HG, Alden J. Age-related differences in outcomes following childhood
brain insults: an introduction and overview. J Int Neuropsychol Soc.
1997;3:555–567.
6. Blakemore S-J, Mills KL. Is adolescence a sensitive period for sociocultural
processing? Annu Rev Psychol. 2014;65:187–207. doi:10.1146/annurev-
psych-010213-115202.
7. Standring, Susan. Gray's Anatomy; The Anatomical Basis of Clinical Practice
41st Ed. UK: Elsevier. 2016.
8. Ellis, Harold. Clinical Anatomy; Applied Anatomy for Students and Junior
Doctors 11th Ed. Australia: Blackwell Publishing. 2006
9. Barret, K. E., Barman, S. M., Boitano S., Brooks, H. L. Ganong's Review of
Medical Physiology 23rd Ed. New York: McGraw Hill. 2010
10. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakata: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. Olson, D.A. Head Injury [internet]. 2016. Available from:

48
http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview.
12. Dowadu, S.T. Traumatic Brain Injury [internet]. 2015. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview.
13. Satyanegara. 2008. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
14. Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B., Turana, Y. 2009. Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
15. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
16. Liebeskind, D.S. Epidural Hematoma [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1137065-overview.
17. Maegher, R.J. Subdural Hematoma [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview
18. Liebeskind, D.S. Intracranial Hemorrhage [internet]. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/ 1163977-overview.

49

Anda mungkin juga menyukai