PERDARAHAN SUBARAKNOID
Oleh
Pembimbing
BAGIAN/DEPARTEMEN NEUROLOGI
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian/ Departemen Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 7 Oktober s/d 4 Desember 2019
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Perdarahan subarakonid (PSA) adalah suatu penyebab stroke yang langka namun
memiliki karakteristik dampak mortalitas dan morbiditas yang tinggi. PSA didefinsiikan
sebagai suatu kelainan di mana terjadi pecahnya pembuluh darah di ruang yang berada
dibawah arakhnoid (subaraknoid). PSA menyiratkan adanya darah didalam ruang
subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Penggunaan istilah medis umum PSA
merujuk kepada tipe perdarahan non-trauma, di mana sumber perdarahan biasanya berasal
dari ruptur aneurisma Berry atau malformasi arteriovenosa (MAV). Prevalensi terjadinya
perdarahan subaraknoid dapat mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat.
PSA mencakup 5% dari seluruh kejadian stroke di seluruh dunia. Perdarahan subarakhnoid
memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk
perempuan. Lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2. Insiden SAH mencapai
angka 62% per tahunnya dan sering kali perdarahan subaraknoid timbul untuk pertama kali
pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling
sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu
cedera kepala. Pada MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita. Perdarahan subaraknoid
menjadi fokus terutama pada stroke-stroke yang terjadi di kelompok wanita dan usia muda.
Angka mortalitas 30 hari diperkirakan mencapai 40 persen dan sekitar 50% dari penyintas
PSA akan mengalami disabilitas permanen.1,2
Perdarahan subarakhnoid lebih mudah didiagnosis pada pasien yang datang dengan
klinis yang berat. Gejala klinis yang timbul pada perdarahan subarakhnoid dapat berupa sakit
kepala hebat, kekakuan pada leher, mual, muntah, dan penurunan kesadaran biasanya terjadi
secara mendadak. Sebelumnya telah terdapat tanda peringatan yang dapat muncul beberapa
jam, minggu, atau lebih lama lagi sebelum perdarahan hebat. Tanda-tanda perigatan dapat
berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri
kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita
mengalami serangan seperti “disambar petir”.1,3,4 Tingkat mortalitas dari perdarahan
subarakhnoid kurang lebih 50% pada 30 hari pertama sejak saat serangan, dan pasien yang
bisa bertahan hidup kebanyakan akan menderita defisit neurologis yang bisa menetap. Oleh
karena itu, kemampuan dokter umum dalam mendiagnosis dan menatalaksana kasus
perdarahan subaraknoid menjadi sangat penting untuk mencegah mortalitas dan morbiditas
yang ditimbulkan. 1,2
3
BAB 2
STATUS PASIEN
I. Identifikasi
Nama : Ny IA
Usia : 37 tahun (1 Januari 1987)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun 01 Pulau Rimau, Banyuasin, Sumatera Selatan
Agama : Islam
MRS : 5 Oktober 2019
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS
Status Internus
Kesadaran : (E:3, M:5, V:4) : 12
4
Gizi : Cukup
Suhu Badan : 36,7 ºC
Nadi : 87 x/m
Pernapasan : 20 x/m
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Jantung : HR = 104 x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : vesikuler(+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Anggota Gerak : lihat status neurologikus
Genitalia : tidak diperiksa
STATUS NEUROLOGIKUS
KEPALA
Bentuk : Normocephali
Ukuran : Normal
Simetris : simetris
LEHER
Sikap : lurus Deformitas : (-)
Torticolis : (-) Tumor : (-)
Kaku kuduk : (-) Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman bdd bdd
Anosmia bdd bdd
Hyposmia bdd bdd
Parosmia bdd bdd
5
Kanan Kiri
- Anopsia bdd bdd
- Hemianopsia bdd bdd
Fundus Oculi
- Papil edema tidak dilakukan tidak dilakukan
- Papil atrofi tidak dilakukan tidak dilakukan
- Perdarahan retina tidak dilakukan tidak dilakukan
- Refleks cahaya
- Langsung (+) (+)
- Konsensuil (+) (+)
- Akomodasi (+) (+)
- Argyl Robertson (–) (–)
Nn.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit bdd
- Trismus bdd
- Refleks kornea tidak ada kelainan
Sensorik
- Dahi bdd
- Pipi bdd
- Dagu bdd
6
N.Facialis Kanan Kiri
Motorik
Mengerutkan dahi bdd
Menutup mata bdd
Menunjukkan gigi bdd
Lipatan nasolabialis plica nasolabialis kiri datar, sudut mulut kiri tertinggal
Bentuk Muka
- Istirahat asimetris
- Berbicara/bersiul bdd
Sensorik
2/3 depan lidah bdd
Otonom
- Salivasi bdd
- Lakrimasi bdd
- Chvostek’s sign bdd
7
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Lateralisasi ke kanan
Kekuatan Lateralisasi ke kanan
Tonus Meningkat Normal
Refleks fisiologis
- Biceps Meningkat Normal
- Triceps Meningkat Normal
- Radius Meningkat Normal
- Ulna Meningkat Normal
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner (-) (-)
8
SENSORIK
Belum dapat dinilai
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : (-)
Lordosis : (-)
Gibbus : (-)
Deformitas : (-)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)
9
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Kanan Kiri
Kaku kuduk (-) (-)
Kernig (-) (-)
Lasseque (-) (-)
Brudzinsky
- Neck (-) (-)
- Cheek (-) (-)
- Symphisis (-) (-)
- Leg I (-) (-)
- Leg II (-) (-)
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)
10
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : (-)
Afasia sensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
Afasia nominal : (-)
Gangguan tingkah laku : (-)
Limfosit 4 % 20-40
Monosit 3 % 2-8
Faal hemostasis
PT+INR
Kontrol 15.4 Detik
Pasien 15.2 Detik
INR 1.14
APTT
11
Kontrol 31.4 Detik
Pasien 27.9 Detik
Fibrinogen
Kontrol 429 Mg/dl 200-400
Elektrolit
PEMERIKSAAN KHUSUS
12
CT Scan Kepala tanggal 5 Oktober 2019
Kesan:
Perdarahan subaraknoid frontoparietal bilateral
Perdarahan intraparenkim kecil lobus parietal kiri
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese nervus VII sinistra tipe sentral + Observasi
penurunan kesadaran + Observasi bangkitan umum tonik klonik
Diagnosis Topik: ruang subaraknoid
Diagnosis Etiologi: Perdarahan subaraknoid
Diagnosis tambahan: Hidrosefalus obstruktif + Epilepsi simptomatik + Hiperkloremia
13
VI. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet cair via NGT
R/ TCD untuk vasospasme
R/ EEG
R/ CTA/DSA
Konsul bedah
Konsul divisi neurovaskular
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Injeksi asam traneksamat 4x1 g IV
Mannitol bolus loading 250 cc IV, selanjutnya 4x125 mg
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg mulai hari ke-4
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
VIII. FOLLOW-UP
O:
Sens : E3M5V4
TD: 100/80
14
RR : 20x/ menit
HR: 112x/menit
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Obs penurunan
kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik
P:
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet cair via NGT
R/ TCD untuk vasospasme
R/ CTA/DSA
R/ EEG
Saran departemen bedah: konservatif
Konsul neurovaskuler
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Injeksi asam traneksamat 4x1 g IV
Mannitol 4x125 mg
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg mulai hari ini
15
Minggu, 6 Oktober 2019
S: kejang (-)
O:
Sens : E3M5V4
TD: 100/80
RR : 20x/ menit
HR: 112x/menit
Status neurologis:
Motorik:
GRM : (-), kaku kuduk (-), neck sign (-), cheek sign (-), Lassegue (-), Kernig (-)
16
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Obs penurunan
kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik + Afasia global
P:
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet cair via NGT
R/ TCD untuk vasospasme
R/ CTA/DSA
R/ EEG
Saran departemen bedah: konservatif
Konsul neurovaskuler
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Injeksi asam traneksamat 4x1 g IV
Mannitol 4x125 mg
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg mulai hari ini
S: lemah
O:
Sens : E4M6V5
17
TD: 130/100
RR : 20x/ menit
HR: 112x/menit
Status neurologis:
NIII/IV/VI: Kedudukan bola mata di tengah, pergerakan bola mata baik ke segala arah
Motorik:
GRM : (-), kaku kuduk (-), neck sign (-), cheek sign (-), Lassegue (-), Kernig (-)
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Obs penurunan
kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik + Afasia global
18
P:
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet cair via NGT
R/ TCD untuk vasospasme
R/ CTA/DSA
R/ EEG
Saran departemen bedah: konservatif
Konsul neurovaskuler
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Injeksi asam traneksamat 4x1 g IV
Mannitol 4x125 mg
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg mulai hari ini
O:
Sens : E4M6V5
TD: 130/100
RR : 20x/ menit
HR: 112x/menit
19
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Obs penurunan
kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik + Afasia global
P:
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet cair via NGT
R/ TCD untuk vasospasme
R/ CTA/DSA
R/ EEG
Saran departemen bedah: konservatif
Konsul neurovaskuler
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg mulai hari ini
Rabu, 9 Oktober
O:
Sens : E4M6V5
TD: 140/90
RR : 20x/ menit
20
HR: 112x/menit
Status neurologis:
NIII/IV/VI: Kedudukan bola mata di tengah, pergerakan bola mata baik ke segala arah
Motorik:
GRM : (-)
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Obs penurunan
kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik + Afasia global
P:
Non Farmakologis:
21
Head up 30°
Diet BB 1800 kkal
R/ DSA hari ini
R/ EEG
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg mulai hari ini
O:
Sens : E4M6V5
TD: 140/90
RR : 20x/ menit
HR: 88x/menit
22
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Parese N XII
sinistra tipe sentral + Post penurunan kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik
P:
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet BB 1800 kkal
R/ EEG
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Nimotop 4x60 mg stop
Warfarin 1x 2 mg PO
O:
Sens : E4M6V5
TD: 140/90
RR : 20x/ menit
HR: 88x/menit
23
A:
DK: Hemiparesis dextra tipe spastik + Parese N VII Sinistra tipe sentral + Parese N XII
sinistra tipe sentral + Post penurunan kesadaran + Obs bangkitan umum tonik klonik
P:
Non Farmakologis:
Head up 30°
Diet biasa
Follow up hasil EEG
Farmakologis:
IVFD RL gtt XX/menit
Injeksi omeprazole IV 1x40 mg
Neurodex 1x1 tab PO
Asetazolamid 3x500 mg PO
Paracetamol 3x1000 mg PO
Injeksi fenitoin 3x100 mg IV
Warfarin 1x 2 mg PO
24
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
25
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara
relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut
menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut
cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna
ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid
umum. Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di
seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus
callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan
bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk
pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari
ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.3
3.2 Definisi
3.3 Epidemiologi
Insidensi PSA pada sebuah studi berbasiskan populasi diketahui sebesar 9.1 kasus per
100.000 orang tiap tahunnya, dengan sejumlah variasi regional. Finalndia (19.7 kasus per
100.000 orang/ tahun) dan Jepang (22.7 kasus per 100.000/tahun) memiliki tingkat pelaporan
insidensi tertinggi. Insidensi PSA sendiri menurun sebesar 0.6% dari tahun 1955 hingga
tahun 2003. Sekitar 85% dari seluruh kejadian PSA spontan disebabkan oleh ruptur
aneurisma dan 10% di antaranya bersifat perimesencephalic non-aneurismal. Kejadian PSA
mencapai puncaknya di usia 50-60 tahun dengan kekerapan pada wanita 1.6 kali lebih seirng
dibandingkan pria. Estrogen dan progesterone dihipotesiskan mempunyai efek protektif
terhadap PSA, sehingga kejadian PSA pada wanita baru meningkat setelah mengalami
menopause.4,5
3.4 Etiologi
26
Perdarahan subaraknoid (PSA) secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya
aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan
kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar
kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma
perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma
tidak ditemukan secara umum. Sebanyak 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga
arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sumsum
tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor. PSA primer dapat muncul dari ruptur
tipe kesatuan patologis. Beberapa di antara ini adalah penyebab tersering perdarahan
subaraknoid primer; aneurisma sakular, malformasi arteriovenosa, aneurisma mikotik,
angioma, neoplasma, trombosis intrakortikal, dll. Sebanyak dua per tiga PSA primer dan non-
traumatik disebabkan oleh ruptur aneurisma sakular. Pada kelompok-kelompok usia muda,
peran suatu penyakit familial mungkin bertanggung jawab untuk kejadian perdarahan
subaraknoid, di mana diduga terdapat hubungan antara aneurisma dengan penyakit sistemik
tertentu termasuk sindroma Ehlers-Danlos, sindroma Marfan, coarctatio aorta, dan penyakit
ginjal polikistik.7,8
3.5 Patofisiologi
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak
dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang
27
relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan
disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan
kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan
kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung
jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah. Puncak
kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya 20% dari
aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor
predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-
hari, dan aktivitas berat. Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis
pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum
perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada
risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture dan
mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi
terkait perdarahan kedua hampir 70%.2,5
Kerusakan otak pada PSA dibagi menjadi 2 fase. Early brain injury terjadi akibat
iskemia global transien dan efek toksik dari darah subaraknoid. Kerusakan otak dini juga
disebabkan oleh adanya efek destruktif jaringan otak akibat perdarahan intraserebral. Delayed
phase brain injury terjadi pada fase kedua, yaitu 3-14 hari setelah perdarahan, dan
disebabkan oleh kejadian iskemia serebral. Peran jalur neuroinflamasi cukup besar pada
patofisiologi PSA. Studi terkini menunjukkan bukti-bukti bahwa respons inflamasi
berkontribusi terhadap kerusakan otak dini, vasospasme, dan perburukan neurologis pasca
perdarahan. Respons inflamasi dengan kadar sitokin yang meningkat terdeteksi pada pasien
dengan PSA. Selain respons peradangan, sesuatu yang unik untuk perdarahan subaraknoid
adalah komplikasinya yang berupa vasospasme serebri. Vasospasme serebri terjadi dalam 2
minggu pertama, biasanya dalam waktu 3-10 hari pasca perdarahan. Insidensi vasospasme
sangat berhubungan dengan jumlah darah yang ada di likuor serebrospinalis. Patogenesis
vasospasme tidak dimengerti secara sempurna, namun diduga spasme terjadi akibat pelepasan
zat-zat spasmogenik oleh sel darah merah yang lisis.1,2,10
Walaupun PSA identik dengan ruptur aneurisma arteri, terdapat varian PSA atipikal
yang disebabkan oleh ruptur vena. Adalah trombosis vena serebral (TVS) yang diketahui
memiliki hubungan dengan kejadian perdarahan subaraknoid. TVS sering bermanifestasi
28
sebagai sakit kepala akut yang terus bertambah dalam hal keparahan. Pasien dengan
trombosis vena serebri cenderung memiliki kadar homosistein yang di atas normal.
Trombosis vena pada beberapa kasus dapat menyebabkan rupturnya vena dan menimbulkan
perdarahan subaraknoid. Pasien dengan TVS cenderung memiliki gangguan koagulasi berupa
trombofilia. PSA pada kasus trombosis vena serebral biasanya bersifat kortikal. Sebanyak 10
dari 233 pasien dengan trombosis vena serebral memiliki bukti kejadian perdarahan
subaraknoid kortikal. Identifikasi TVS sebagai penyebab PSA menjadi penting karena pada
TVS terapi anti-fibrinolitik seperti asam traneksamat tidak dapat digunakan. 11,12
3.6 Diagnosis
3.6.1 Anamnesis
PSA sangat terkenal dengan manifestasi klinis khasnya berupa “sakit kepala yang
paling hebat dirasakan seumur hidup” atau thunderclap headache. Sebelum pecah aneurysm
biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala sampai menekan saraf atau bocornya darah dalam
jumlah sedikit, biasanya sebelum pecahnya besar (yang menyebabkan sakit kepala).
Kemudian menghasilkan tanda bahaya, seperti sakit kepala yang sangat hebat, nyeri di daerah
wajah atau mata, berubahnya kemampuan pandangan. Tanda bahaya bisa terjadi hitungan
menit sampai mingguan sebelum pecah. Orang harus melaporkan segala sakit kepala yang
tidak biasa kepada dokter dengan segera. Pecahnya bisa terjadi karena hal yang tiba-tiba,
sakit kepala hebat yang memuncak dalam hitungan detik. Hal ini seringkali diikuti dengan
kehilangan kesadaran yang singkat. Hampir separuh orang yang terkena meninggal sebelum
sampai di rumah sakit. Beberapa orang tetap dalam koma atau tidak sadar. Yang lainnya
tersadar, merasa pusing dan mengantuk. Mereka bisa merasa gelisah. Dalam hitungan jam
atau bahkan menit, orang bisa kembali menjadi mengantuk dan bingung. Mereka bisa
menjadi tidak bereaksi dan sulit untuk bangun.2,4
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar,
atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan
dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-
aksial. Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA.
Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang
terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih
lama lagi. Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan cerebrospinal disekitar otak melukai lapisan
pada jaringan yang melindungi otak (meninges), menyebabkan leher kaku sama seperti sakit
29
kepala berkelanjutan, sering muntah, pusing, dan rasa sakit di punggung bawah. Frekuensi
naik turun pada detak jantung dan bernafas seringkali terjadi, kadangkala disertai kejang.
Sekitar 25% orang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada bagian
spesifik pada otak, seperti kelelahan atau lumpuh pada salah satu bagian tubuh (paling sering
terjadi) kehilangan perasa pada salah satu bagian tubuh, dan kesulitan memahami dan
menggunakan bahasa (afasia). Gangguan hebat bisa terjadi dan menjadi permanen dalam
hitungan menit atau jam. Demam adalah hal yang biasa selama 5 sampai 10 hari pertama. 2,4,7
Tanda vital adalah pemeriksaan yang tak dapat terlepaskan karena awal dari kelainan
fisik pada perdarahan subaraknoid dapat bermanifestasi sebagai kelainan tanda vital. Sekitar
setengah pasien memiliki peningkatan tekanan darah (TD) ringan sampai sedang. Tekanan
darah menjadi labil seiring meningkatnya tekanan intrakranial (Cushing reflex). Demam tidak
biasa pada awalnya namun umum setelah hari keempat dari gangguan darah didalam ruang
subarachnoid. Takikardi mungkin muncul selama beberapa hari setelah kejadian perdarahan.
Temuan pada pemeriksaan fisik bisa jadi normal, atau dokter mungkin menemukan beberapa
hal seperti kelainan neurologis global atau fokal pada lebih dari 25% pasien kasus, sindroma
kompresi nervus kranialis (sebagai contoh kelumpuhan nervus okulomotorius pada ruptur
aneurisma arteri komunis posterior dengan atau tanpa midriasis ipsilateral, kelumpuhan
nervus abdusens, atau hilangnya penglihatan monokuler pada kasus ruptur aneurisma arteri
oftalmika menekan nervus optikus ipsilateral) Defisit motorik dapat terjadi di kasus
aneurisma arteri serebral media pada 15% pasien. Tanda fokal seperti kejang dapat
ditemukan. Pada pemeriksaan fisik, ditemukannya gerak rangsang meningeal yang positif
menunjukkan kemungkinan ke arah perdarahan subaraknoid akibat terangsangnya meningen.
Kelainan oftalmologis mungkin ditemukan berupa edema papil, perdarahan retina subhyaloid
(perdarahan bulat kecil, mungkin terlihat miniskus, dekat dengan pangkal nervus optikus),
dan bentuk perdarahan retina lainnya.1,2
Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk dilakukan pada kasus perdarahan
subaraknoid adalah pemeriksaan pencitraan. Terdapat tiga teknik pencitraan, mulai yang
paling feasible untuk dilakukan seperti CT-scan, hingga pemeriksaan yang sangat spesifik
untuk mengetahui etiologi dan fokus aneurisma, yaitu angiografi pembuluh darah serebral.
Pilihan studi pencitraan awal adalah menggunakan CT-scan tanpa kontras. Sensitivitas
30
pemeriksaan CT akan menurun seiring dengan waktu onset dan dengan resolusi scanner yang
lebih tua. Pada satu studi yang dipublikasikan New England Journal of Medicine, CT scan
yang berkualitas baik mengungkapkan PSA pada 100% kasus dalam 12 jam onset dan 93%
dalam 24 jam onset. Studi tradisional lainnya melaporkan sensitivitas 90-95% dalam 24 jam
onset perdarahan, 80% dalam 3 hari, dan 50% dalam 1 minggu. CT scan juga dapat
mendeteksi perdarahan intraserebral, pengaruh massa, dan hidrosefalus. CT scan negatif
palsu dapat dihasilkan dari anemia berat atau PSA volume kecil. Distribusi PSA dapat
menyediakan informasi tentang lokasi aneurisma dan prognosis. 2,4
Jika tidak ditemukan lesi pada angiografi, maka selanjutnya dapat dilakukan
pemeriksaan pencitraan MRI. Sensitivitas MRI dalam mendeteksi darah dianggap sama atau
lebih rendah dibanding CT scan. MRI membutuhkan biaya lebih tinggi, availabilitas lebih
rendah, dan waktu studi yang lebih lama menjadikannya kurang optimal untuk mendeteksi
PSA. MRI seringnya digunakan untuk mendeteksi kemungkinan MAV yang tidak terlihat
pada angiografi. Kelemahan MRI adalah ketidakmampuannya untuk mendeteksi lesi
simtomatik kecil yang belum ruptur. Magnetic resonance angiography (MRA) kurang
sensitif dibandingkan angiografi dalam mendeteksi lesi vaskular; bagaimanapun banyak yang
percaya angiografi CT dan/atau MRA akan memainkan peranan yang lebih terpusat suatu
hari nanti. Multidetector computed tomography angiography (MD-CTA) pada pembuluh
darah intrakranial sekarang ini merupakan pemeriksaan rutin, digabungkan seutuhnya
kedalam algoritma pencitraan dan perawatan pada pasien dengan PSA akut di banyak pusat
studi di Inggris dan Eropa. *Pengurangan-digital angiografi serebral telah menjadi kriteria
standar untuk mendeteksi aneurisma serebral, namun angiografi CT lebih populer dan sering
digunakan berdasar pada sifat non-invasifnya dan; sensitifitas dan spesifitas dapat
dibandingkan dengan angiografi serebral. 1,2
31
Gambar 2 (A dan B) Hasil pencitraan CT-scan kepala non-kontras; menunjukkan gambaran klasik PSA
dengan ekstensi intraventrikular. Tampak gambaran seperti “bintang” berupa hiperdensitas yang disebabkan
oleh keberadaan darah di rongga subaraknoid2
Pemeriksaan lumbal pungsi masih menjadi alternatif untuk dilakukan pada kasus yang
dicurigai merupakan PSA namun dengan hasil CT-scan yang negatif. Melakukan CT scan
sebelum punksi lumbal untuk menyingkirkan efek massa intrakranial penting atau perdarahan
intrakranial yang nyata. Pungsi lumbal bisa jadi negatif jika dilakukan kurang dari 2 jam
setelah perdarahan; punksi lumbal paling sensitif pada 12 jam setelah onset gejala. Sel darah
merah pada cairan serebrospinal meningkat secara konsisten dalam 2 contoh tabung pada
PSA, dimana jumlah sel darah merah pada trauma punksi secara teknis menurun seiring
berjalannya waktu. Xanthochromia (supernatan cairan serebrospinal kuning-merah muda)
biasanya terlihat 12 jam setelah onset perdarahan; idealnya diukur secara spektrografis
walaupun banyak laboratorium bersandar pada inspeksi visual. Temuan punksi lumbal
disangka positif pada 5-15% dari seluruh gambaran PSA yang tidak jelas pada CT-scan.
Angka ini mungkin tidak lagi valid dengan kehadiran generasi baru CT scan. Tabel
retrospektif kecil akhir-akhir ini meninjau ulang tentang pasien pada bagian emergensi yang
mengalami generasi kelima CT-scan dan punksi lumbal; menunjukkan tidak ada pasien
dengan lumbal punksi positif dan CT scan negatif.1,4
32
Skala Hunt dan Hess adalah suatu alat bantu yang dapat membantu menentukan acuan
intervensi dan prognosis seorang pasien. Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa
digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah
di kepala pada pemeriksaan CT scan.2
3.6 Tatalaksana
33
dengan PSA grade I atau II, perawatan departemen emergensi dibatasi pada diagnosa dan
terapi suportif. Identifikasi awal nyeri kepala sentinel merupakan kunci untuk mengurangi
angka mortalitas dan morbiditas. Amankan akses intravena selama menetap di departemen
emergensi dan pantau status neurologis pasien. Pada pasien dengan PSA grade III, IV, atau V
(misal, pemeriksaan neurologis berubah), perawatan departemen emergensi lebih luas.
Apabila diperlukan tindakan intervensi jalan nafas tingkat lanjut (contoh, intubasi
endotrakea), gunakan rangkaian intubasi cepat jika memungkinkan. Pada prosesnya, untuk
mengurangi peningkatan TIK, idealnya gunakanlah sedasi, defasikulasi, blok neuromuskular
kerja-singkat, dan agen lain dengan kemampuan mengurangi-TIK (seperti lidokain
intravena). Hindari hiperventilasi berlebihan atau hiperventilasi yang tidak mencukupi.
Target pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk mengurangi peningkatan TIK. Hiperventilasi
berlebihan mungkin membahayakan daerah yang mengalami vasospasme.9,3
Pemantauan ketat pasien dengan perdarahan subaraknoid diarahkan ke variabel-
variabel pokok. Awasi aktivitas jantung, oksimetri, tekanan darah otomatis, dan CO2 tidal-
akhir, ketika diaplikasikan. Pengawasan CO2 tidal-akhir pada pasien yang diintubasi
memungkinkan klinisi menghindari hiperventilasi berlebihan atau tidak mencukupi. Target
pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk mengurangi peningkatan TIK. Pengawasan lini arteri
invasif perlu dilakukan ketika berurusan dengan tekanan darah yang labil (sering pada PSA
tingkat tinggi). Intervensi sesuai dengan data yang didapat, pastikan pasien tetap berada
dalam kondisi tanda-tanda vital yang stabil. Perawatan suportif pada kasus PSA disesuaikan
dengan kondisi pasien yang bersangkutan. Jaga tekanan darah sistolik dalam rentang 90-140
mmHg sebelum pengobatan aneurisma, kemudian biarkan hipertensi untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik < 200 mmHg Tekanan darah perlu untuk dijaga berada di rentang yang
normal untuk mencegah adanya rebleeding dari aneurisma. Agen anti hipertensi sebelumnya
telah dianjurkan untuk tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90
mmHg.Tinggikan kepala setinggi 30° untuk memudahkan drainase vena-vena
intrakranial.2,7,13
Kondisi status volume sangat menjadi perhatian pada PSA karena hubungannya
dengan vasospasme serebral. Untuk mencegah vasospasme serebral, pertahankan pasien
dalam kondisi euvolumia-hipervolemia (CVP 8-12 mmHg, atau PCWP 12-16 mmHg). Akan
tetapi, penelitian terbaru menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara status volume
hipervolume dan euvolumia terhadap kejadian vasospasme. Ditambah lagi, komplikasi
tambahan akibat overload volume sering terjadi akibat pemberian volume yang berlebihan.
Status elektrolit terutama natrium perlu dipantau karena pasien dengan PSA juga mengalami
34
hiponatremia dengan terbuangnya garam dari otak (cerebral salt wasting
syndrome).Pertahankan kadar glukosa pada level 80-120 mg/dL; gunakan bolus atau infus
insulin jika dibutuhkan. Jaga suhu tubuh pusat 37,2°C; berikan asetaminofen (325-650 mg
per oral setiap 4-6 jam) dan gunakan alat pendingin jika dibutuhkan. Obat-obatan antiemetik
dapat diberikan apabila diperlukan perbaikan simtomatik. Kontrol nyeri penting untuk
kualitas perawatan pasien. Analgetik memastikan kenyamanan pasien. Kebanyakan analgetik
memiliki kemampuan sedasi yang menguntungkan pasien yang didukung oleh trauma.13,15
Penggunaan medikasi pada PSA sangat bergantung pada kondisi klinis pasien. Bila
dicurigai terjadinya herniasi, maka pasien dapat diberikan agen osmotik, seperti mannitol,
yang mengurangi TIK sebesar 50% dalam 30 menit, puncaknya setelah 90 menit, dan
berakhir dalam 4 jam. Penggunaan obat-obatn lain seperti diuretik loop, furosemid, juga
mampu menurunkan TIK tanpa meningkatkan serum osmolalitas. Terapi steroid intravena
untuk mengontrol edema otak adalah kontroversial dan ditentang. Nimodipine (nimotop)
digunakan untuk memperbaiki cacat neurologis akibat spasme yang mengikuti PSA
disebabkan ruptur kongenital aneurisma intrakranial pada pasien dalam kondisi neurologis
yang baik. Ketika penelitian menunjukkan manfaatnya, tidak ada bukti yang
mengidentifkasikan obat untuk mencegah atau mengurangi spasme arteri serebral; karenanya
mekanisme aksi sesungguhnya tidak diketahui. Terapi dimulai setelah 96 jam pasca-awitan
PSA. Jika pasien tidak dapat menelan kapsul karena sedang dalam operasi atau dalam
keadaan tidak sadar, buatlah lubang pada kedua ujung kapsul dengan jarum 18-gauge dan
pindahkan isinya kedalam spuit, kosongkan isinya kedalam NGT pasien, dan bilas tabung
dengan saline isotonik 30 mL.2,4,13
Terdapat beberapa penelitian-penelitian baru tentang potensi penggunaan obat-obatan
tertentu pada PSA. Statin diketahui dapat memperbaiki reaktivitas vasomotor serebral melalui
mekanisme kolesterol-dependen dan kolesterol-independen. Penggunaannya masih
kontroversial, namun 2 studi kecil cukup menjanjikan. Pengobatan akut dengan statin
memperbaiki vasospasme serebral dan mengurangi vasospasme sehubungan dengan defisit
iskemik tertunda. Percobaan baru saat ini sedang mengevaluasi peran magnesium sulfat untuk
mencegah iskemik serebral tertunda. Magnesium adalah agen neuroprotektif yang bertindak
sebagai antagonis reseptor-NMDA dan penghambat kanal kalsium. Studi dua fase telah
menunjukkan efek yang bermanfaat, dan percobaan fase ketiga sedang berlangsung.
Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis tidak dengan segera mencegah kejang setelah
PSA, tapi gunakanlah anti konvulsan pada pasien yang memang kejang atau jika praktek
lokal menginginkan penggunaan rutin. Penggunaan anti fibrinolitik, seperti asam
35
aminokaproat epsilon, masih diperdebatkan. Anti-fibrinolitik bekerja secara kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen dan telah dilaporkan mengurangi insiden perdarahan
ulang. Laporan lainnya memperingatkan pengurangan efek vasospasme dan meningkatkan
kemunculan hidrosefalus. Diskusikan dengan ahli bedah saraf tentang penggunaannya.1,2
Terapi definitif pada PSA yang disebabkan oleh ruptur aneurisma adalah melakukan
repair aneurisma. Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk repair aneurisma,
yaitu dengan melakukan microvascular neurosurgical clipping atau endovascular coiling.
Kebanyakan ahli bedah memutuskan untuk memperbaiki aneurisma dalam waktu 72 jam
pasca-awitan. Endovascular coiling menunjukkan keluaran yang lebih baik dibandingkan
dengan clipping, walaupun tidak semua pasien dengan aneurisma dapat dilakukan coiling.
Pemilihan teknik ditentukan oleh anatomi aneurisma, pengalaman dokter, dan komorbiditas.
Sebuah meta-analisis yang mempelajari tentang kapan waktu ideal dilakukannya intervensi
aneurisma menunjukkan bahwa pembedahan dini memiliki keluaran yang superior
dibandingkan pembedahan lanjutan apabila dilakukan di saat pasien sedang dalam kondisi
yang baik.13,14
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan
subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis
fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,
yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas. Perdarahan ulang mempunyai mortalitas
70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma,
tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan
dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik
harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada
perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada
gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-220 mmHg.Selain
vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus,
hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi. Penurunan status neurologis secara tiba-tiba pada
pasien PSA dapat disebabkan oleh beberapa hal yang dibagi menjadi penyebab awal (dalam
24 jam pertama) dan penyebab lanjutan. Kausa dini perburukan pada PSA mencakup
rebleeding, hidrosefalus akut, dan kejang. Sedangkan kausa lanjutan (hari ke-3 hingga 10)
36
perburukan pada PSA mencakup vasospasme, infeksi, hipertensi intrakranial, delirium, DCI,
kejang, abnormalitas sodium, dan disfungsi hipofisis.1,4,7
Hidrosefalus adalah komplikasi yang sangat sering ditemukan pada PSA. Insidensi
hidrosefalus akut bervariasi dan banyak studi yang melaporkan tingkat kejadiannya berada
pada rentang 15-53%. Hidrosefalus pasca-PSA dapat berupa hidrosefalus komunikans
ataupun non-komunikans. Pada hidrosefalus non-komunikans/obstruktif, telah terjadi ekstensi
darah subaraknoid ke dalam rongga ventrikel atau terbentuknya hematoma intraparenkim.
Pada varian hidrosefalus komunikans sistem ventrikel tetap paten dan bebas dari darah,
namun granulasi araknoid dapat tersumbat oleh darah subaraknoid dan menghambat proses
penyerapan cairannya. Mengetahui penyebab hidrosefalus pada pasien PSA menjadi penting
karena akan mempengaruhi bagaimana sebuah hidrosefalus akan ditatalaksana (drainase
lumbal, external ventriculostomy drainage, shunt¸dll.) . 1,2
Pada PSA sering terjadi disregulasi natrium yang pada akhirnya menyebabkan kondisi
hiponatremia. Kondisi hiponatremia biasanya akan diikuti dengan hipernatremia lanjutan dan
kondisi gangguan elektrolit campuran. Hiponatremia pada PSA disebabkan oleh cerebral salt
wasting syndrome atau syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH). Walaupun
pembatasan cairan adalah tatalaksana klasik untuk kasus SIADH, hal ini tidak boleh
dilakukan pada SIADH yang dibarengi dengan SAH karena konidi hipovolemia akan dapat
memperburuk keluaran. DCI atau delayed cerebral ischemia didefinisikan sebagai
munculnya gangguan neurologis fokal atau penurunan skor GCS paling sedikit 2 poin yang
berlangsung lebih dari 1 jam dan tidak disebabkan oleh faktor-faktor penyebab lain. DCI
terjadi pada hingga 40% pasien yang mampu melewati fase perdarahan awal dan merupakan
penyebab utama mortalitas apabila terjadi infark. Walaupun vasospasme diketahui sebagai
salah satu penyebab DCI, proses patofisiologis lain juga dapat ditemukan. 1,2
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah
maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama,
dan 60% dalam 2 bulan pertama. Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat
pada tabel Sistem Ogilvy dan Carter berikut ini. .1,2
37
Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan hess >III
1 Skor skala Fisher >2
1 Ukuran aneurisma >10 mm
1 Usia pasien >50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥25 mm)
Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor 5
mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis lebih baik. Pendapat
lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien PSA tergantung lokasi dan jumlah
perdarahan serta ada tidaknya komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-
gejala yang berat memperburuk prognosis. Seseorang dapat sembuh sempurna setelah
pengobatan tapi beberapa orang juga meninggal walaupun sudah menjalani treatment.
Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien ditangani secara agresif
seperti resusitasi preoperative yang agresif, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan
tekanan intracranial dan vasospasme yang agresif serta perawatan intensif perioperative
dengan fasilitas dan tenaga medis yang mendukung. .1,2
Kejang adalah kejadian ikutan yang sering terjadi setelah PSA. Pada sebuah ulasan
retrospektif disebutkan prevalensi kejang sebesar 15.2% dari total subjek penelitian 547
orang. Epilepsi ditemukan pada sekitar 7% pasien PSA dalam kurun waktu satu tahun setelah
awitan. Panduan tatalaksana PSA yang dikeluarkan oleh AHA/ASA menyatakan bahwa
penggunaan agen antikonvulsan profilaksis dapat dipertimbangkan pada fase awal
perdarahan. Durasi penggunaan antikonvulsan profilaktik masih dalam perdebatan.
Pemberian fenitoin jangka pendek (3 hari) diketahui memiliki efektifitas yang sama dengan
pemberian fenitoin dalam durasi yang lebih panjang (7 hari), namun dengan efek samping
yang lebih sedikit. Pasien yang ditatalaksana dengan coiling aneurisma tidak diberikan
antikonvulsan profilaksis. Penggunaan fenitoin sebagai agen profilaksis kejang diketahui
berhubungan dengan keluaran di masa mendatang yang lebih buruk, sehingga penggunaan
agen lain seperti levetiracetam, lebih dianjurkan.1,2,4
38
BAB 4
ANALISIS KASUS
39
subarachnoid space, diagnosis etiologi perdarahan subaraknoid, dan diagnosis tambahan
hidrosefalus obstruktif + epilepsi simptomatik + hiperkloremia.
Pecahnya aneurisma atau terjadinya perdarahan arteri serebral sehingga menyebabkan
ekstravasasi darah dengan tekanan arteri yang tinggi ke dalam ruang subaraknoid,
yang dengan cepat menyebar melalui cairan serebrospinal ke otak dan medula spinalis.
Darah yang dikeluarkan dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan kerusakan jaringan lokal
serta peningkatan tekanan intrakranial (TIK), vasospasme, dan iritasi meningen. Perdarahan
pada ruang subaraknoid menyebabkan iritasi pada meningen dan struktur-struktur yang
melintas di ruang subaraknoid sehingga menimbulkan gejala nyeri kepala, kaku kuduk,
kemungkinan terjadi paresis saraf kranialis dan perubahan kesadaran. Selama belum terjadi
kerusakan integritas dari piamater akibat perdarahan maka tidak terjadi gejala neurologis
fokal. Pada kasus ini pasien datang dengan gejala fokal iritatif berupa kejang. Pasien juga
mengalami penurunan kesadaran. Defisit neurologis tampak dari adanya kelemahan sesisi
tubuh dan lesi pada nervus kranialis VII dan XII. Kelainan tambahan yang dapat dilihat
adalah adanya hidrosefalus obstruktif (akibat adanya perdarahan subaraknoid yang
mengalami ekstravasasi dan epilepsi simtomatik, yang didiagnosis dari kejang berulang yang
memiliki etiologi yang jelas.
Tatalaksana farmakologis yang diberikan yaitu IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit. Injeksi
Asam Traneksamat amp 4 x 1 gr iv sebagai terapi anti fibrinolitik untuk mencegah
pendarahan ulang. Asam traneksamat merupakan antifibrinolitik yang kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin. Asam traneksamat secara kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen (melalui mengikat domain kringle), sehingga mengurangi
konversi plasminogen menjadi plasmin (fibrinolisin), enzim yang mendegradasi pembekuan
fibrin, fibrinogen, dan protein plasma lainnya, termasuk faktor-faktor prokoagulan V dan
VIII. Asam traneksamat juga langsung menghambat aktivitas plasmin, tetapi dosis yang lebih
tinggi diperlukan daripada yang dibutuhkan untuk mengurangi pembentukan plasmin. Hal itu
semua berguna untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan ulang (rebleeding). Pemberian
Nimodipine tab 4 x 60 mg po bermanfaat sebagai vasodilator untuk mencegah vasospasme
serebral. Nimodipine merupakan golongan calcium channel blocker, yang mempunyai
potensi sebagai vasodilator serebral. Obat ini mempunyai sifat lebih larut dalam lemak,
sehingga mampu memberikan efek vasodilator pada pembuluh darah otak. Hal ini untuk
mencegah vasospasme serebral pada pendarahan subaraknoid. Pemberian neurodex 1 x 1
tablet adalah satu bentuk kimia dari vitamin B kompleks, yaitu vitamin larut air yang
40
memegang peranan penting dalam pembentukan darah serta menjaga fungsi sistem saraf dan
otak. Paracetamol tab 3 x 1 g po dapat diberikan sebagai analgesik terhadap nyeri kepala
yang dirasakan. Mannitol diberikan dengan alasan pada pasien ini diduga terdapat
peningkatan tekanan intrakranial. Hidrosefalus pasca-SAH ditatalaksana secara
medikamentosa, dengan pemberian asetazolamid, suatu jenis obat golongan carbonic
anhydrase inhibitor yang mampu bekerja lewat penghambatan produksi likuor
serebrospinalis.
Seiring dengan dilakukan follow-up pasien tampak membaik. Kejang menghilang dan
pasien kembali sadar penuh. Pemeriksaan penunjang dilakukan berupa EEG dan DSA. Pada
hasil pemeriksaan transfemoral cerebral angiography didapatkan hasil berupa trombosis
sinus sagitalis superior. Pada PSA biasanya hasil angiografi yang ditemukan adalah ruptur
dari aneurisma arteri intraserebral. Pada kasus yang lebih jarang, seperti pada kasus ini,
ruptur terjadi pada vena akibat trombosis vena serebral. Setelah didapatkan hasil DSA maka
diputuskan untuk pemberian terapi tambahan berupa antikoagulan, warfarin, dan pemberian
obat-obatan anti-fibrinolitik seperti asam traneksamat pun menjadi kontraindikasi.
41
DAFTAR PUSTAKA
42
15. Caplan JM, Colby GP, Coon AL, Huang J, Tamargo RJ. Managing Subarachnoid
Hemorrhage in the Neurocritical Care Unit. Neurosurgery Clinics of North America.
2013;24(3):321–37.
43