PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin saat akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar
tiroid terletak pada bagian bawah leher yang terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh
ismus yang menutupi cincin trakea dua dan tiga. Kapsul Fibrosa menggantungkan kelenjar ini
pada fasia paratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan akan selalu diikuti oleh
terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas dari kelenjar tiroid. Sifat
inilah yang digunakan diklinik untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher
berhubungan dengan kelenjar tiroid. Berat tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan
yodium, beratnya berkisar 10-20 gram1.
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari A.Tiroidea Superior yang merupakan cabang
dari A.Karotis komunis atau A. Karotis eksterna.Setiap folikel pada thiroid diselubungi oleh
jala-jala kapiler dan limfatik, sedagkan venanya berasal dari pleksus perifolikular yang
menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah
diperkirakan sekitar 5 ml/gram kelenjar/menit. Dalam keadaan hipertiroid aliran ini akan
meningkat sehingga dengan menggunakan stetoskop terdengar bising aliran darah diujung
bawah kelenjar1.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus paralaring yang tepat berada diatas ismus
menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang menuju duktus
thorasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang
berasal dari kelenjar tiroid1.
2.2 Fisiologi
Tiroid terdiri atas folikel yang merupakan kumpulan dari sel kolumnar. Sel foliker
tersebut mensintesis tiroglobulin (Tg) yang akan disekresiken kedalam lumen folikel. Tg
merupakan glikoprotein. Protein lain yang dihasilkan adalah tiroperoksidase (TPO). TPO
maupun Tg bersifat antigenik, sehingga dapat digunakan sebagai tanda penyakit, misalnya
pada penyakit tiroid autoimun. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari tiroglobulin. Hormon ini dilepaskan jikan
tiroglobulin berikatan dengan enzim khusus1.
Hormon tiroid mengandung 59-65% yodium. Hormon T3 dan T4 berasal dari
yodinisasi residu tirosin yang ada di tiroglobulin. Proses biosintesis hormon tiroid terjadi
2
dalam beberapa tahap, yaitu tahap trapping, oksidasi, coupling, storage atau penyimpanan,
deiyodinasi, proteolisis dan pengeluaran hormon tiroid1.
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke dalam
sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida masuk ke dalam
sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian
membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya adalah
oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya terjadi iodinasi tirosin
menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian menjadi T 4 dan T3 yang diatur oleh
enzim iodinase. Kemudian, hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel
sel dalam jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid terbentuk di
dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh enzim protease.
Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel
tiroid. Keduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai afinitas
yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat
dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam
tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap
monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini
kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat hormon tiroid
tambahan2.
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master gland
mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi TSH oleh
3
hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari
hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini
mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih,
sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak
mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya 2.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah
besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein
struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah
peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan
aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria,
serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga
mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari
fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin
dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir 2.
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan
metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju
metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem
kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi
denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan
pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat
(SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar
endokrin lain2.
4
BAB III
TIROTOKSIKOSIS
3.1 Definisi
Tirotoksikosis adalah sindroma klinis hipermetabolisme yang terjadi akibat peningkatan
hormon tiroid: tiroksin bebas (T4), triiodotironin yang beredar berlebihan 1. Tirotoksikosis
merupakan suatu sindroma klinis yang terjadi akibat dari jaringan yang terpapar oleh kadar
hormon tiroid yang tinggi dalam sirkulasi. Sebagian besar tirotoksikosis disebabkan oleh
kelenjar tiroid yang hiperaktif atau hipertiroid., namun kadang-kadang tirotoksikosis dapat
disebabkan oleh karena penyebab lain seperti sekresi hormon tiroid yang berlebihan dari
tempat lain (ektopik) atau hormon tiroid yang berlebihan3.
3.2 Etiologi Tirotoksikosis
Penggolongan sebab tirotoksikosis dengan atau tanpa hipertiroid sangat penting,
disamping pembagian etiologi, primer ataupun sekunder. Kira-kira 70% tirotoksikosis
disebabkan oleh penyakit Graves, sisanya karena gondok multinodular toksik dan adenoma
toksik.
Tabel 1. Penyebab Tirotoksikosis1
Karsinoma tiroid
Struma ovarii
5
Mutasi TSH-r
Genitourinaria Oligomenorea,amenorea,libido
turun,infertil,ginekomastia
6
Darah dan limfatik Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang
skelet
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +3
6. Keringat Berlebihan +3
7
7. Gugup +2
1. Thyroid teraba +3 -3
2. Bising Thyroid +2 -2
3. Exopthalmus +2 -
5. Hiperkinetik +4 -2
6. Tremor Jari +1 -
7. Tangan Panas +2 -2
8. Tangan basah +1 -1
9. Fibrilasi Atrial +4 -
8
1. PTU (Propyl thiouracil), pada umumnya dosis awal adalah 100-150 mg setiap 6
jam, setelah 4-8 minggu dosis diturunkan menjadi 50-200 mg sekali atau dua kali
dalam sehari. Keuntungan PTU dibanding methimazole adalah bahwa PTU dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3 sehingga lebih efektif dalam menurunkan
hormon tiroid secara cepat.
2. Methimazole, mempunyai duration of action yang lebih panjang sehingga lebih
banyak digunakan sebagai single dose. Methimazole berada dalam folikel ±20 jam.
Dosis awal dimulai dengan 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan dan selanjutnya
dosis diturunkan menjadi 5-20 mg setiap pagi sebagai dosis rumatan.
Tabel 4.Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolaan Tirotoksikosis 1
Ada dua metode yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT ini. Pertana
berdasarkan titrasi: mulai dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/laboratoris dosis
diturunkan sampai mencapai dosis terendah dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid.
Kedua dengan blok-substitusi, dalam metode ini pasien diberi dosis besar terus menerus dan
apabila mencapai keadaan hipotiroid, maka ditambah hormon tiroksin hingga mencapai
eutiroid1.
9
Terapi diberikan sampai mengalami remisi spontan, pada sekitar 20-40%
mengalami perbaikan dalam 6 bulan-1.5 tahun. Observasi diperlukan dalam jangka panjang
oleh karena angka kekambuhan sangat tinggi yaitu sekitar 50-60% 4. Efek samping yang
sering rash, urtikaria, demam dan malaise, alergi, eksantem, nyeri otot dan atralgia yang
jarang keluhan gastrointestinal, perubahan rasa, dan yang paling ditakuti yaitu
agranulositosis. Untuk evaluasi gunakan gambaran klinis1.
3.3.2 Tiroidektomi
Pada penderita dengan kelenjar gondok yang besar atau dengan goiter nultinoduler
maka tiroidektomi subtotal merupakan pilihan. Operasi ini baru dilaksanakan jika pasien
dalam keadaan eutiroid, secara klinis ataupun biokimia. Dua minggu sebelum operasi
penderita diberikan solutio lugol dengan dosis lima tetes dua kali sehari. Pemberian solutio
lugol bertujuan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar, sehingga akan mempermudah
jalannya operasi1.
Pada sebagian penderita Grave’s disease membutuhkan suplemen hormon tiroid setelah
dilakukan tiroidektomi. Komplikasi pada pembedahan adalah hipoparatiroid dan terjadi
kerusakan pada nervus recurrent laryngeal. Hipoparatiroid bisa terjadi permanen atau
sepintas. Setiap pasien pasca operasi perlu dipantau apakah terjadi remisi, hipotiroidisme atau
residif. Operasi yang tidak direncanakan dengan baik membawa resiko terjadinya krisis tiroid
dengan mortalitas yang amat tinggi1.
10
Yodium radioaktif Relatif cepat Masih ada morbiditas
Jarang residif 40 % hipotiroid dalam 10
Sederhana tahun
Daya kerja obat lambat
50% hipotiroid pasca
radiasi
3.4 Komplikasi
3.4.1 Krisis Tiroid
Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang sangat membahayakan dan merupakan suatu
kondisi eksaserbasi akut dari tirotoksikosis. Hampir semua kasus disertai oleh faktor
pencetus. Hingga kini patogenesis krisis tiroid belum jelas : free-hormon meningkat, naiknya
free-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran.
Krisis tiroid ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan tidak ada kriteria laboratorium
yang spesifik untuk mendiagnosis krisis tiroid. Kriteria diagnostik untuk krisis tiroid dibuat
oleh Burch-Wartofsky untuk membedakan apakah tirotoksikosis, impending crisis tiroid atau
krisis tiroid3. Kecurigaan krisis tiroid apabila terdapat trias: menghebatnya tanda
tirotoksikosis, kesadaran menurun dan hipertermia1.
Tabel 7 Kriteria Diagnostik untuk Krisis Tiroid3,5
11
37,2-37,7oC 5 99-109 5
37,8-38,3oC 10 110-119 10
38,4-38,8oC 15 120-129 15
38,9-39,4oC 20 130-139 20
39,5-39,9oC 25 ≥140 25
≥ 40oC 30
b. Congestive Heart failure
Absent 0
Mild 5
( Pedal edema )
Moderate ( bibasiler rales ) 10
Severe ( pulmonary edema ) 15
c. Atrial Fibrilasi
AF present 10
Absent 0
Absent 0 Absent 0
Mild Moderate 10
Agitation 10 Diarrhea
Moderate Nausea/Vomiting
Delirium Abdominal pain
Psychosis 20 Severe 20
Extreme lethargy Unexplained Jaundice
0
Severe Negatif
10
Seizure Positif
Coma
30
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. PAPDI
2. Guyton Hall
3. Bursch HB, Wartofsky L.1993.Life-threatening thyrotoxicosis: Thyroid storm.
Endocrinol Metab Clin North Amer 22,63.
4. Tjokroprawiro, A.2002.Practical Guidlines with formula 41668 for the treatment of
thyroid crisis. Clinical Experiences:Morning report Dept.of Internal Medicine,
Airlangga University of Medicine, Surabaya.
13
5. Tjokroprawiro.2005.Thyrois Storm: A Life Threatening Thyrotoxicosis
(Theraupetic Guidelines with formula TS 41668 24-6).Presented at Workshop and
Hands on Experiences V Thyroid Surgery. School of Head and Neck Surgery for
general Surgeon. Surabaya 22-24 August.
6. Djokomoeljanto R. Pengelolaan Hipotiroidisme dan hipertiroidisme secara umum.
Naskah lengkap Endokrinologi Klinis IV.Eds Johan S.Masjhur dan Sri Hartini KS
Kariadi. Perkeni Bandung 2002 hlm RI.
7. Jameson L,Weetman A.Disorders of the Thyroid gland. In:Braunwald E, Fancy AS
Kasper DL,eds.Harrison’s Principles of internal medicine.15 th ed.New York: Mc
Graw hill; 2001.p.2060-84.
8. Debaveye Y, Ellger B,Berghe GVN. Acute endocrine disorder. In RK Albert etal
(eds) Clinical Critical Care medicine. Mosby Inc Philadelphia,PA. 2006.p.497-06.
14