Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KUNJUNGAN

KE
MUSEUM SANGIRAN

Disusun Oleh :
Nama : Diva Mustika Devi
No. Absen : 7
Kelas : VII C

SMP NEGERI 3 SIDOHARJO


TAHUN AJARAN 2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya serta karunian-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis
yang berjudul “Laporan Out Door Class Season di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah” ini
dengan baik tanpa ada halangan.
Terselesaikannya laporan ini tentu tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena
itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan laporan ini.
Laporan ini disusun untuk melengkapi tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Selain itu, kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya dan menjadi referensi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, kami mengharap segala kritik dan saran yang membangun dan dapat
menjadikan laporan ini jauh lebih baik lagi. Kami mohon maaf setulus-tulusnya jika
terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam penyusunan laporan ini.

Sidoharjo, ___________________

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Museum Sangiran adalah museum arkeologi yang terletak di Kecamatan
Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Museum ini berdekatan
dengan area situs fosil purbakala Sangiran yang merupakan salah satu Situs Warisan
Dunia. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 56 km² meliputi tiga kecamatan di Sragen
(Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah
Kabupaten Karanganyar. Situs Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran yang
merupakan bagian dari depresi Solo, di kaki Gunung Lawu (17 km dari kota Solo).
Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang
menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan
terlengkap di Asia, bahkan dunia. Dalam museum ini dapat diperoleh informasi lengkap
tentang pola kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu
pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs
Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus
Erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor
Von Koenigswald.
Lebih menarik lagi, di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta
tahun hingga 200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini, sehingga para ahli dapat
merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara
berurutan. Koleksi yang tersimpan di museum ini mencapai 13.806 buah yang tersimpan
pada dua tempat yaitu 2.931 tersimpan di ruang pameran dan 10.875 di dalam ruang
penyimpanan.
Museum sangiran menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti
Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan dibahas tentang informasi tentang museum sangiran.

B. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1. Untuk mengetahui sejarah situs sangiran
2. Untuk mengetahui proses terbentuknya sangiran.
3. Untuk mengetahui formasi lapisan sangiran
4. Untuk mengetahui pengungkap situs sejarah sangiran.
5. Untuk mengetahui koleksi – koleksi museum sangiran
6. Untuk mengetahui pengertian fosil, manfaat dan syarat terbentuknya fosil.
7. Untuk mengetahui proses pembentukan fosil
8. Untuk mengetahui kehidupan di bumi pada masa PraAksara

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Penulis :
a. Bangga menjadi warga Negara Indonesia
b. Menambah wawasan dan pengetahuan sejarah mengenai peradaban manusia
purba di Indonesia
c. Mempelajari dan memahami cara penulisan karya tulis yang benar
2. Manfaat Bagi Peneliti/ Penulis Lain
a. Karya tulis ini dapat dijadikan bahan acuan/ referensi pada penelitian/ penulisan
selanjutnya
b. Menjadikan karya tulis ini sebagai isi tinjauan pustaka dari karya tulis peneliti/
penulis lain
c. Sebagai contoh karya tulis yang benar
3. Manfaat Bagi Pembaca
a. Bagai mengunjungi museum Sangiran secara nyata padahal hanya membaca
sebuah karya tulis
b. Menambah ilmu pengetahuan pembaca mengenai sejarah museum purba di
Indonesia
c. Menjadikan situs Sangiran menjadi salah satu target wisata bersama keluarga
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Museum Sangiran

Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia.


Tempat ini merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat
penting dalam sejarah perkembangan manusia dunia.
Area ini memiliki luas kurang lebih 48 km² dan sebagian besar berada dalam
wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17
kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solodan di kaki Gunung
Lawu. Ada sebagian yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan
Gondangrejo).
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budayadan ada tahun 1996 situs ini terdaftar
dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Di Museum Purbakala Sangiran, yang terletak di wilayah ini juga, dipaparkan
sejarah manusia purba sejak sekitar dua juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang
lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat
13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak
(hominid) yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat dipamerkan fosil berbagai hewan
bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut, serta alat-alat batu.
Kehadiran Sangiran merupakan contoh gambaran kehidupan manusia masa
lampau karena situs ini merupakan situs fosil manusia purba paling lengkap di Jawa.
Luasnya mencapai 56 km2 yang meliputi tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu
Kecamatan Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh, serta satu kecamatan di Kabupaten
Karanganyar, yaitu Kecamatan Gondangrejo.
Sangiran merupakan situs terpenting untuk perkembangan berbagai bidang ilmu
pengetahuan terutama untuk penelitian di bidang antropologi, arkeologi, biologi,
paleoantropologi, geologi, dan tentu saja untuk bidang kepariwisataan. Keberadaan Situs
Sangiran sangat bermanfaat untuk mempelajari kehidupan manusia prasejarah karena
situs ini dilengkapi dengan fosil manusia purba, hasil-hasil budaya manusia purba, fosil
flora dan fauna purba beserta gambaran stratigrafinya.
Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat indah, yaitu Kali Cemoro yang
bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan
tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan
tanah yang lain. Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak
ditemukan fosil-fosil manusia maupun binatang purba.
Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi, Bandung, dan
Laboratorium Paleoantropologi, Yogyakarta. Dilihat dari hasil temuannya, Situs Sangiran
merupakan situs prasejarah yang memiliki peran yang sangat penting dalam memahami
proses evolusi manusia dan merupakan situs purbakala yang paling lengkap di Asia
bahkan di dunia.
Berdasarkan hal tersebut, Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Dunia
Nomor 593 oleh Komite World Heritage pada saat peringatan ke-20 tahun di Merida,
Meksiko.

B. Sejarah Museum Sangiran


Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia.
Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa
krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen). Gapura Situs Sangiran berada di jalur jalan raya
Solo–Purwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten
Karanganyar). Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju Situs Sangiran, Desa
Krikilan. Jarak dari gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5 km.
Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59, 2 km² (SK Mendikbud 070/1997) secara
administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten Sragen
(Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten
Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto &
Simanjuntak, 1995). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke
20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996,
menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia “World Heritage List”
Nomor : 593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs
Warisan Dunia UNESCO.
Pada awalnya Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran.
Puncak kubah ini kemudian melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada
depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang
kehidupan di masa lampau. Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi
obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra
sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola
kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan
seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini
pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah
satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von
Koenigswald. Di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga
200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli
dapat merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran
secara berurutan.
Bentang lahan situs tersebut meliputi areal seluas ± 48 km2 yang berbentuk seolah
seperti kubah (dome), sehingga situs tersebut dinamakan dengan Sangiran Dome. Situs
Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang sangat berperan penting dalam
perkembangan penelitian di bidangpalaeoanthropology di Indonesia. Pada tahun 1934
penelitian yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald yang menemukan beberapa alat
sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut
Sangiran Dome.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang
tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan
permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun di
atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut
juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang
dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa
aktifitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi
periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah
(lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan
Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-lapisan tersebut
berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan
lapisan Ngandong.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur tempat
sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah katulistiwa, pada
jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia
purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran
pada kala pleistocen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada
masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat
sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala pleistocen.
Mereka membuat pangkalan (station) dalam aktifitas perburuan untuk m,endapatkan
sumber kebutuhan hidupnya. Pilihan situs Sangiran dome sebagai pangkalan aktifitas
perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di
lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang
subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang
ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di
kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian
puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi
deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal,
Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai
di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka
menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan
berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak
1995).
Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. Von
Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan
kalsedon di sekitar bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936). Temuan alat-
alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah ‘Sangiran Flakes-industry’ tersebut
diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah.
Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943;
Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang
tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan
primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada
tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo
erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya. Setelah masa pasca
Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan
paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara
lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang
sangat ‘spektakuler’ terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan
Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Perancis melalui ekskavasi besar-
besaran selama 5 tahap (tahun 1989 – 1993) di bukit Ngebung yang menghasilkan
sejumlah temuan secara ‘insitu’ dan pertanggalan absolut yang sangat menarik. Penelitian
Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini
setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program
penelitian secara intensif dan terpadu (Widianto 1997; Jatmiko 2001).

C. Koleksi-Koleksi Museum Sangiran


1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecantropus robustus ), Meganthropus
palaeojavanicus ,Pithecanthropus erectus, Homo soloensis , Homo
neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah),Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi),Rhinocerus
sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan
hiu, Hippopotamus sp (kuda
nil), Mollusca (kelas Pelecypoda danGastropoda ), Chelonia sp (kura-kura),
dan foraminifera .
4. Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis
5. Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-penetak
6. Koleksi lainnya :
a. Fosil kayu yang terdiri dari:
1) Fosil kayu
Temuan dari Dukuh Jambu, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo Kabupaten
Karanganyar. Ditemukan pada tahun 1995 pada lapisan tanah lempung warna
abu-abu ditemukan pada formasi pucangan
2) Fosil batang pohon
Temuan dari Desa krikilan , Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Fosil
ini ditemukan pada tahun 1977 pada lapisan tanah lempung Warna abu-abu
dari endapan ditemukan pada Formasi pucangan
b. Tulang hasta (Ulna) Stegodon Trigonocephalus
Ditemukan di kawasan cagar sangiran pada tanggal 23 november 1975 di tanah
lapisan lempung warna abu –abu Formasi kabuh bawah.
c. Tulang paha
Ditemukan dari Desa Ngebung, Kecamatan kalijambe, Kabupaten Sragen pada
tanggal 4 Februari 1989 pada lapisan tanah lempung warna abu – abu dari
endapan ditemukan pada formasi pucangan atas.
d. Tengkorak kerbau
Ditemukan oleh Tardi Pada tanggal 20 November 1992 di Dukuh Tanjung, Desa
Dayu Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar pada lapisan tanah
Warna coklat kekuning-kunginan yang bercampur pasir ditemukan formasi kabuh
berdasarkan penanggalan geologi berumur 700.000-500 tahun
e. Gigi Elephas Namadicus
Ditemukan di situs cagar budaya sangiran Pada tanggal 12 Desember 1975, Pada
lapisan tanah pasir bercampur kerikil berwarna cokelat ditemukan pada Formasi
kabuh
Fragmen gajah purba, Hidup di daerah cagar budaya sangiran. Jenisnya adalah:
a) Mastodon
b) Stegodon
c) Elephas
f. Tulang rusuk (Casta) Stegodon Trigonocephalus
Ditemukan oleh Supardi pada tanggal 3 Desember 1991 di Dukuh Bukuran, Desa
Bukuran Kecamatan kalijambe Kabupaten Sragen pada lapisan lempung warna
abu – abu dari endapan pucangan atas.
g. Ruas tulang belakang (Vertebrae)
Ditemukan di situs cagar budaya sangiran pada tanggal 15 Desember 1975 di
lapisan tanah pasir berwarna abu – abu pada formasi kabuh bawah.
h. Tulang jari (Phalanx)
Ditemukan di situs sangiran pada tanggal 28 oktober 1975 pada lapisan tanah
pasir kasar warna cokelat kekuning-kuningan pada formasi kabuh.
i. Rahang atas Elephas Namadicus
Rahang ini dilengkapi sebagian gading ditemukan oleh Atmo di Dukuh Ngrejo,
Desa Samomorubuh Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen pada tanggal 24 April
1980 pada lapisan Grenz bank antara formasi pucangan dan kabuh.
j. Tulang kaki depan bagian atas (Humerus)
Bagian fosil ditemukan oleh Warsito Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe,
Kabupaten Sragen pada tanggal 28 Desember 1998 pada lapisan tanah lempung
warna abu – abu dari formasi pucangan atas kala pleistosen bawah
k. Tulang kering
Ditemukan oleh Warsito di Dukuh Bubak Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe,
Kabupaten Sragen pada tanggal 4 januari 1993 lapisan tanah lempung warna abu
– abu dari formasi pucangan atas.
l. Fosil Molusca, Klas Pelecypoda dan Klas Gastropoda
m. Binatang air
1) Tengkorak buaya (Crocodilus Sp.) ditemukan pada tanggal 17 Desember 1994
oleh Sunardi di Dukuh Blimbing, Desa Ngebung, Kecamatan kalijambe
kabupaten Sragen pada formasi pucangan
2) Kura – kura (Chlonia Sp.) ditemukan pada tanggal 1 Februari 1990 oleh hari
Purnomo Dukuh Pablengan, Desa krikilan , Kecamatan Kalijambe, kabupaten
Sragen pada Formasi pucangan
3) Ruas tulang belakang ikan ditemukan pada tanggal 20 November 1975 oleh
Suwarno di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen pada
formasi pucangan
D. Peran Museum Sangiran Bagi Pengetahuan
Berdasarkan hasil rumusan Komisi Internasional untuk Pendidikan Abad ke-21
UNESCO, yang dikenal sebagai Empat Tiang Pendidikan Abad ke-21 (The Four Pillars
of Education in the 21st Century) menjadi inspirasi penataan Museum sebagai mitra
pendidik. Keempat pilar pendidikan itu adalah belajar untuk tahu (learn to know), belajar
untuk melakukan (learn to do), belajar untuk menjadi (learn to be), dan belajar untuk
hidup bersama (learn to live together).
1. Belajar Untuk Tahu
Dalam pembelajaran kognitif tujuan utama adalah belajar mendapatkan
pengetahuan (knowledge) sebaik-baiknya. Yang terpenting dalam proses ini adalah
alih pengetahuan sehingga orang yang sedang belajar dapat memperoleh pengetahuan
baru lebih banyak. Dalam proses pembelajaran yang kognitif diperlukan museum
yang imformatif. Museum yang imformatif adalah museum yang pameran atau
tampilan yang disajikan haruslah mengandung informasi yang memadai dan disajikan
dengan cara yang komunikatif sehingga pengunjung yang awam sekalipun akan
mudah memahami dan mencerna informasi pengetahuan yang disampaikan.
Kebanyakan museum di Indonesia lebih memamerkan benda-benda koleksinya
daripada informasi.
Padahal museum tidak lagi dilihat sebagai tempat perlindungan dan pelestarian
benda-benda, tetapi lebih dilihat dari fungsinya untuk melayani pengunjung yang
ingin mengetahui tentang benda-benda tersebut. Maka dari itu supaya pengunjung
dapat memperoleh pengetahuan atau informasi, museum dapat memamerkan benda-
benda koleksinya secara kontekstual. Benda yang dipamerkan ditampilkan dalam
konteks yang lebih luas dan tidak terbatas hanya pada informasi tentang benda itu
sendiri. Kecenderungan dalam tata pameran museum-museum di Indonesia adalah
penyajian informasi yang terkotak-kotak.
Dengan demikian, informasi seakan-akan terpilah-pilah sehingga membatasi
keluwesan menyampaikan informasi secara kontekstual, menyeluruh dan terpadu.
Selain itu, pada umumnya museum hanya terpaku unyuk menyajikan informasi yang
terbatas pada tema utama museum itu sendiri. Misalnya museum sejarah perjuangan
hanya menyajikan informasi mengenai peristiwa-peristiwa perjuangan.
Museum arkeologi hanya menampilkan benda-benda dan informasi arkeologi
saja. Meskipun setiap museum mempunyai tema tertentu yang menjadi cirinya, tetapi
tema itu tidak semestinya membatasi keragaman informasi pengetahuan yang dapat
disajikan. Tema museum menjadi arahan utama, sedangkan informasi lain sebagai
pendukung dan pelengkanp. Penyajian informasi yang lebih luas dapat menjadikan
museum sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia manusia dan
kebudayaannya serta Museum dapat menjadi sarana kegiatan belajar mengajar dalam
bidang sains.
Pengunjung museum biasanya tidak memiliki waktu yang panjang untuk
menikmati tampilan dalam museum. Karena itu, penyajian informasi yang ringkas dan
padat menjadi tuntutan dalam tata pameran museum. Penyajian informasi yang lebih
banyak visualisasinya akan lebih menarik dan berkesan daripada penjelasan dengan
tulisan-tulisan saja. Penyajian informasi secara visual biasanya dapat menyampaikan
pengatahuan lebih baik, lebih banyak, lebih komprehensif, dan mudah terekam dalam
benak manusia.
2. Belajar Untuk Melakukan
Museum akan menjadi tempat belajar melakukan sesuatu jika menyajikan
tampilan interaktif. Pengunjung tidak saja hanya dapat melihat, membaca atau pun
menikmati sajian, tatapi dapat ikut serta aktif mencari dan mendapatkan informasi.
Proses pembelajaran untuk tahu bagaimana harus berbuat akan semakin terbentuk,
apabila tempilan tentang mata uang kuno, dapat disajikan cetakan logam dan logam
yang dapat dipakai pengunjung untuk membuat sendiri tiruan mata uangnya.
Contoh lain, dalam penelitian arkeologis dapat disediakan fasilitas untuk
simulasi ekskavasi. Selain itu kecanggihan teknologi informasi dan komputer saat ini
dapat membantu tampilan interaktif. Dengan cara interaktif ini, pengunjung dapat
menikmati asyiknya ‘mencari’ informasi dan mendapatkan pengalaman langsung
untuk melakukan sesuatu, sehingga mereka tahu bagaimana harus berbuat.
3. Belajar Untuk Menjadi
Salah satu tujuan penting pendidikan adalah menjadikan orang sadar akan
dirinya sekaligus membantu seseorang untuk mewujudkan kehendaknya atau cita-
citanya untuk menjadi pribadi tertentu. Tujuan pendidikan ini lebih mengarah pada
pembentukan kepribadian. Sebagai mitra pendidik, museum harus mampu berperan
untuk membentuk kepribadian seseorang. Ada banyak potensi yang ada di museum
untuk melaksanakan tugas ini.
Misalnya, Museum Karmawibhangga di Borobudur, dirancang tidak hanya untuk
memamerkan benda-benda arkeologi yang berupa relief-relief namun juga menyajikan
makna yang berupa ajaran moral yang terkandung dalam relief Borobudur yang masih
tetap relevan di masa kini bagi semua pengunjung. Museum kereta api, tidak hanya
menyajikan perkembangan bentuk kereta api, tetapi juga menyampaikan dampak
bahan bakar yang digunakan terhadap manusia dan lingkungannya. Museum
dirgantara tidak hanya sekedar menampilkan berbagai jenis pesawat, tetapi juga
motivasi dan sejarah hubungan manusia dengan dirgantara untuk dapat menciptakan
berbagai jenis ‘mesin terbang’. Pesan seperti ini diharapkan akan mampu menggugah
kesadaran pengunjung bahwa hanya usaha keras dan panjang akan membawa
keberhasilan yang sebenarnya, bukannya dengan cara-cara jalan pintas. Aspek lain
dari dari ranah pendidikan kepribadian adalah pembentukan jati diri. Museum
seharusnya dapat menyajikan pesan-pesan begaimana masa lalu telah ikut menentukan
keadaan masa kini serta bagaimana lingkungan sosial kita menyebabkan setidaknya
tiga kesadaran jati diri, yaitu : tentang keadaan lingkungan alam Indonesia tempat kita
hidup, keadaan dan kemampuan bangsa yang menjadi bagian sosialnya,
menumbuhkan minat untuk mengembangkan potensi diri. Butir yang terakhir ini
merupakan bagian penting dalam proses belajar untuk menjadi apa (learn to be).
Artinya, melalui tampilan informasi di museum, pengunjung terinspirasi atau
mendapat gambaran cita-citanya untuk menjadi seseorang dengan jati diri tertentu.
Namun, kebanyakan museum di Indonesia jarang menyampaikan pesan-pesan
pelestarian. Padahal salah satu tugas museum adalah sebagai tempat untuk
melestarikan pesan-pesan pelestarian. Karena itulah, ketika pengunjung meninggalkan
museum seringkali mereka tidak mengalami perubahan sama sekali. Kenyataan ini
membuktikan bahwa museum tersebut tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagai
mitra pendidik untuk melakukan kegiatan membentuk kepribadian atau learn to be.
4. Belajar Untuk Hidup Bersama
Manusia tidak bisa hidup terlepas dari manusia yang lain, walaupun mereka
tidak pernah saling mengenal dan hidup pada ruang yang sangat berjauhan. Kesadaran
itulah yang menjiwai UNESCO untuk menetapkan salah satu pilar utama pendidikan
adalah ‘belajar untuk hidup bersama’ (learn to live together). Berbagai persoalan yang
muncul dewasa ini salah satunya adalah bagaimana menghindari bias yang berlebihan
antara berbagai pihak yang mempunyai sudut pandang yang berbeda.
Misalnya, peran museum dalam membangkitkan semangat nasionalisme yang
agak berlebihan di Negara yang baru merdeka dengan menjelek-jelekkan negara bekas
penjajahnya. Kecenderungan semacam ini hendaknya dapat diubah dengan mendorong
penyajian informasi yang lebih seimbang. Menurut David Pearce, Museum yang
umumnya menyajikan berbagai benda dari masa lampau dapat menjadi “jendela” ke
masa lampau atau ke negeri lain.
Melalui museum, orang dapat berinteraksi dengan budaya dan komunitas yang
dipresentasikan di dalam museum. Museum yang mendidik untuk belajar hidup
bersama harus berusaha merancang materi pamerannya agar peristiwa, budaya,
keadaan dan hasil pencapaian di masa lalu dapat menjadi pembelajaran bersama.
Pesan sentral dibanyak Museum sekarang adalah belajar dari masa lampau untuk
merajut hubungan yang lebih baik dimasa depan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Museum merupakan suatu tempat yang ideal sebagai wadah kegiatan pendidikan
sekaligus hiburan. Dengan demikian museum diharapkan mampu menyajikan
pengetahuan dan keterampilan dalam suasana yang menyenangkan. Peran museum
sebagai mitra pendidik dapat merujuk pada Empat Tiang Pendidikan Abad ke-21 yang
merupakan hasil rumusan Komisi Internasional untuk tahu (learn to know), belajar untuk
melakukan (learn to do), belajar untuk menjadi (learn to be) dan belajar untuk hidup
bersama (learn to live together).
Untuk menjadikan museum sebagai mitra pendidik dengan keempat pilar tersebut
memang bukan hal yang mudah. Namun, paling tidak museum-museum di Indonesia
hendaknya mulai sadar bahwa mereka mempunyai potensi yang cukup besar untuk
diarahkan menjadi wahana pembelajaran yang mendukung empat pilar pendidikan
tersebut. Dengan demikian, dunia permuseum di Indonesia akan mampu memberikan
sumbangan bagi pembangunan bangsa dan Negara di era global saat ini.
Sebagai lembaga pelestarian benda-benda budaya, koleksi museum dapat
dijadikan sebagai sumber pendidikan. Salah satunya adalah sumber pendidikan hubungan
antarbangsa khususnya kita dapat mengetahui hubungan antarbangsa pada masa lampau
melalui koleksi-koleksi museum. Koleksi museum dapat diketahui bagaimana hubungan
antarbangsa pada masa lampau berlangsung.
Bentuk hubungan antarbangsa pada masa lampau tersebut hendaknya bisa menjadi
inspirasi hubungan antarbangsa di masa sekarang ini untuk dapat menjalin hubungan
baik. Seperti pesan yang menyatakan bahwa “belajar dari masa lampau untuk merajut
hubungan yang lebih baik di masa depan”. Salah satu media pembelajarannya dapat
diperoleh dengan mengamati dan menelaah koleksi museum.

B. Pesan
Museum Sangiran merupakan salah satu museum purba kita miliki, maka
hendaknya kita menjaga. Zaman Praaksara tidak akan bisa diulang kembali, namun di
dalam Museum Sangiran terdapat bukti bukti Zaman Praaksara. Maka, kita sebagai
penerus bangsa harusnya menjaga dan mampu merawat peninggalan-peninggalan
tersebut.
C. Kesan
Mengetahui kebudayaan zaman dahulu yang sangat beragam dan menarik untuk
diketahui lebih dalam. Dan mengetahui proses terbentuknya bumi

D. Saran
1. Sebaiknya tempat-tempat wisata tersebut lebih dikembangkan sarana dan
prasarananya. Agar lebih menimbulkan daya tarik bagi para pengunjung.
2. Memperbanyak tempat-tempat wisata yang dapat dikunjungi.
3. Kunjungan ke tempat tempat bersejarah harus sering sering dilakukan, agar peserta
didik dapat memahami sejarah sejarah yang pernah terjadi dibumi ini.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai