Anda di halaman 1dari 46

FORMULASI PENAMBAHAN TEPUNG IKAN TEMBANG

(SARDINELLA FIMBRIATA) DAN TAPIOKA PADA NASI SORGHUM


GALUR ZH-30 TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN
ORGANOLEPTIK RENGGINANG SORGUM

USULAN PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memenuhi tugas mata kuliah
Metode Penelitian Pangan Teknologi Pertanian pada Program Studi Teknologi
Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran

OLEH:
SAMPURNA BAKTI
240210160038

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

FORMULASI PENAMBAHAN TEPUNG IKAN


JUDUL : TEMBANG (SARDINELLA FIMBRIATA) DAN
TAPIOKA PADA NASI SORGHUM GALUR ZH-30
TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN
ORGANOLEPTIK RENGGINANG SORGUM

NAMA : SAMPURNA BAKTI

NPM : 240210160038

DEPARTEMEN : TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN

FAKULTAS : TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Menyetujui dan Mengesahkan,

Anggota Komisi Pembimbing Ketua Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Een Sukarminah, M.Si. Ir. Sumanti Debby Moody. M.Si.
NIP. 19550627 198403 2 002 NIP. 19580304 198403 2 001

Koordinator Program Studi Teknologi Pangan

Dr. Tita Rialita, S.Si., M.Si


NIP. 197109201998032002
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Usulan Penelitian yang berjudul

“Formulasi Penambahan Tepung Ikan Tembang (Sardinella Fimbriata)

Dan Tapioka Pada Nasi Sorghum Galur Zh-30 Terhadap Karakteristik Fisik,

Kimia, Dan Organoleptik Rengginang Sorgum” sebagai salah satu syarat untuk

memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Pangan di Program Studi

Teknologi Pangan, Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi

Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran.

Pada penyusunan skripsi, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih yang sangat tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Een Sukarminah, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

memberikan ilmu, arahan, serta bimbingan kepada penulis.

2. Sumanti Debby Moody, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan arahan, masukan, serta bimbingan kepada penulis.

3. Ketua Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri

Pertanian, Universitas Padjadjaran, atas izin yang telah diberikan.

4. Kepala Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri

Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah memberikan fasilitas dan sarana.

5. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang

telah memberikan fasilitas dan sarana.


6. Heni Radiani Arifin, S.T.P., M.Si., M.P. selaku dosen wali yang telah

memberikan arahan selama 6 semester.

7. Kedua orangtua papah dan mamah serta adik-adik atas dukungan, do’a,

semangat, dan finansial.

8. Sahabat-sahabat saya terutama Jefry, Hilma, Elvira, Syifa, Elsha, Sukma yang

selalu saling menyemangati.

9. Kakak Asuh Galih Dwi Hadiyan yang telah membimbing dan menyemangati

10. Teman satu penelitian Vika, Eris, Shilla, Syifa Salitsu, Syifa Hilmi yang

selalu memotivasi dan menyemangati.

11. Teman-teman mahasiswa Teknologi Pangan 2016 yang selalu memberikan

semangat kepada penulis serta kepada seluruh pihak yang telah membantu

kelancaran pembuatan skripsi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Atas semua perhatian dari segala pihak yang telah membantu penulis

dalam menyusun penelitian ini, Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk

kemajuan penulis dimasa yang akan datang. Semoga penelitian ini dapat

bermanfaat bagi pembaca sekalian khususnya dalam bidang teknologi pangan.

Jatinangor, April 2019

Penulis
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditas, yaitu

beras mengandung resiko bahwa kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional

akan rapuh (Husodo, 2002). Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki

beragam ekosistem, akan sangat cocok bila bahan pangan pokok penduduknya

beranekaragam, karena akan memudahkan penyediaan sesuai potensi daerah atau

spesifik lokasi. Dengan kata lain, masyarakat dapat tercukupi dengan apa yang

tumbuh dan tersedia di wilayahnya.

Untuk mencapai hal tersebut, perlu dukungan pengembangan budidaya

dan pengolahan komoditas spesifik lokasi. Kenyataannya saat ini, tumpuan

pangan kita hanya pada satu komoditas, yaitu beras. Sayangnya perhatian

terhadap pengembangan komoditas surnber karbohidrat non-beras rnasih sangat

kurang. Padahal, bahan pangan sumber karbohidrat lokal sebagai pendamping

beras sangat banyak ragamnya (Widowati, 2000; Widowati dan Damardjati, 2001).

Indonesia kaya akan ragam camilan tradisional. Salah satu camilan yang

popular saat ini adalah rengginang. Menuru Ana (2010) saat ini rengginang telah

menjelajahi wilayah perkotaan bahkan mancanegara sebagai oleh-oleh khas

Indonesia. Rengginang adalah kerupuk yang berbentuk bundar, tebal dan gurih

serta biasanya dijadikan sebagai camilan atau pendamping hidangan utama di

meja makan. Berbeda dengan jenis kerupuk lainnya, rengginang terbuat dari beras

ketan yang tidak dihancurkan sehingga setiap butiran beras ketan tampak di

kerupuk yang renyah ini.


Sorgum punya potensi besar untuk dikembangkan di indo karena adapasi

yang besar, toleran terhadap kekeringan, dan dapat tumbuh dengan baik di lahan

marginal.Kandungan pati dalam sorgum berkisar antara 60-75% dari jumlah

kernel sorgum. Pati sorgum umumnya berbentuk bulat polygonal dengan kisaran

ukuran diameter 2-30 µm. Pati tersusun oleh dua komponen molekul utama yaitu

amilosa dan amilopektin. Amilosa terdiri dari rantai linier unit glukosa yang

dihubungkan oleh ikatan glikosidik 1-4, dengan berat molekul sekitar 250.000

tergantung dari spesies tanaman ataupun tingkat ketuaan biji sorgum. Amilopektin

adalah polimer bercabang dengan ikatan glikosidik, mempunyai berat molekul

108 dan merupakan molekul terbesar yang ditemukan di alam dengan residu

glukosa 595.238 (Hoseney, 1986) .Mengingat belum merakyatnya sorghum di

Indonesia, maka sorghum harus dikenalkan kepada masyarakat dalam bentuk

pangan yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Penggunaan beras yang paling

populer di Indonesia adalah dimasak sebagai nasi. Mengingat hal tersebut maka

sorghum akan diolah menjadi nasi sorghum.

Rengginang terbuat dari bahan dasar beras sehingga merupakan produk

yang kaya akan karbohidrat. Nasi sorgum dapat dijadikan bahan baku utama

rengginang karena kandungan patinya yang tinggi. Dengan demikian dapa terjadi

diversifikasi produk rengginang terutama dari segi bahan baku, rasa dan aroma.

Jenis sorgum yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur ZH-30, yaitu jenis

white sorghum sehingga warna berasnya semakin memerah.

Dalam pembuatan rengginang dibutuhkan bahan pengisi berupa tepung

tapioka. Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dengan air dari umbi
singkong. Tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, dan

bahan pengikat dalam industri pangan (Astawan, 2009 : 243). Tepung tapioka

memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dari pada tepung maizena (54,1g),

tepung beras (-25% pati) dan tepung ketan (17-32% pati) (Ramona Jayana, dkk,

2011). Pati memegang peranan penting dalam menentukan tekstur makanan,

dimana campuran granula pati dan air bila dipanaskan akan membentuk gel. Pati

yang berubah menjadi gel bersifat Irreversible dimana molekul-molekul pati

saling melekat membentuk suatu gumpalan sehingga viskositasnya semakin

meningkat (Handershot, 1970 dalam dalam Lisa M. Maharaja 2008).

Salah satu cara melengkapi kekurangan gizi makanan dari serelia adalah

dengan memberikan protein yang bermutu tinggi (Buckle et al. 1987). Tepung

ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki kedudukan

penting sampai saat ini dimana masih sulit digantikan kedudukannya oleh bahan

baku lain apabila ditinjau dari kualitas maupun harganya.Tepung ikan adalah

produk yang diperoleh dari penggilingan ikan yang diperoleh dari suatu reduksi

bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen

protein ikan (Irianto dan Giyatmi 2002). Kandungan protein tepung ikan relatif

tinggi. Protein tersebut disusun oleh asam-asam amino esensial yang kompleks,

diantaranya asam amino lisin dan methionin. Disamping itu juga, mengandung

mineral kalsium dan phospor serta vitamin B kompleks, khususnya vitamin B12

(Arifudin 1993 dalam Purnamasari et al. 2006).

Salah satu contoh ikan non ekonomis yang dapat dimanfaatkan sebagai

sumber tepung ikan adalah ikan tembang. Ikan tembang berukuran kecil, bersisik
dan berduri banyak. Ikan tembang ditangkap oleh para nelayan dalam jumlah

besar. Ikan tembang sangat berlimpah di lautan, namun memiliki nilai ekonomis

yang rendah dikarenakan kurang diminati oleh masyarakat untuk dikonsumsi

secara langsung sehingga memerlukan proses lanjutan.

Pemanfaatan ikan tembang untuk pembuatan tepung ikan dikarenakan

pasokan ikan tembang mudah diperoleh tanpa dipengaruhi fluktuasi musim dan

harganyapun relatif murah sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tepung

ikan. Tepung ikan yang kita kenal saat ini adalah tepung ikan yang berasal dari

sisa-sisa pengolahan seperti kepala, jeroan, insang, sisik, sirip dan isi perut yang

digunakan untuk pembuatan pakan ikan, sedangkan tepung ikan yang digunakan

untuk pangan berasal dari daging dan tulang ikan. Pemanfaatan tepung ikan dalam

olahan produk pangan masih sangat sedikit, hal ini dikarenakan sebagian besar

pemanfaatan tepung ikan masih dalam bentuk pemberian pakan makanan ternak.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai penambahan tepung ikan dalam

pembuatan produk pangan, yaitu: rengginang. Protein tersebut dapat diperoleh

dari penambahan tepung ikan tembang sehingga rengginang dapat dijadikan

sebagai salah satu alternatif produk cemilan yang bergizi.

1.2 Identifikasi masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat diidentifikisasikan masalah sebagai

berikut :” berapakah konsentrasi penambahan tepung ikan tembang (sardinella

fimbriata) dan tapioca pada nasi sorgum galur ZH-30 agar menghasilkan

karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik rengginang sorgum yang paling baik

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan

tepung ikan tembang dan tapioka pada nasi sorgum galur ZH-30 karakteristik

fisik, kimia, dan organoleptik rengginang sorgum yang paling baik

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan formulasi pada nasi

sorgum galur ZH-30 untuk menghasilkan rengginang sorgum yang memiliki

karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik yang paling baik

1.4 Kegunaan hasil penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan diversifikasi produk

rengginang, menghasilkan rengginang tinggi protein dengan rasa yang disukai

dan meningkatkan pemanfaatan sorgum dan tepung ikan tembang


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rengginang

Rengginang adalah makanan jajanan yang telah lama dikenal di daerah

Jawa Barat. Biasanya rengginang dapat dijual secara umum dalam bentuk sudah

digoreng ataupun bentuk mentah. Bahan dasar yang biasa digunakan pada

pembuatan rengginang yaitu beras ketan yang ditambahkan dengan bumbu sesuai

selera, seperti: garam, MSG (Monosodium Glutamat), bawang putih dan terasi.

Kerupuk berbentuk bundar, tebal, dan gurih ini biasanya ditemui sebagai

camilan atau pendamping hidangan utama di meja makan. Berbeda dengan jenis

kerupuk lainnya, rengginang terbuat dari beras ketan yang tidak dilakukan proses

penggilingan bahan menjadi adonan halus sehingga setiap butiran beras ketan

tampak di kerupuk yang renyah ini. Bahan utama pembuatan rengginang adalah

beras ketan putih maupun hitam. Beras ketan yang sudah dimasak bersama bumbu,

kemudian dicetak dengan bentuk cakram pipih dan selanjutnya

dikeringkan dengan cara dijemur di panas matahari. Rengginang biasanya

dijual dalam bentuk kering ataupun yang sudah digoreng (Sari 2010). Pembuatan

rengginang dapat dibuat dari beras ketan atau beras biasa. Perbedaannya terdapat

pada tekstur yang dihasilkan. Rengginang yang terbuat dari beras ketan

menghasilkan tekstur yang lebih porus dan halus di mulut, sedangkan rengginang

yang terbuat dari beras biasa menghasilkan tekstur yang kurang porus dan agak

kasar di mulut (Hsieh dan Luh 1991). Karakteristik yang diperhatikan pada
rengginang yaitu tingkat volume pengembangan, kekerasan atau kerenyahan,

aroma dan rasa.

2.1.1 Formulasi Rengginang

Bahan baku rengginang adalah beras ketan. Penambahan bumbu dapat

dilakukan sesuai selera, namun pada umumnya bumbu yang digunakan adalah

garam, terasi dan bawang putih (Alim, 2004). Pada tabel 2 disajikan formulasi

rengginang tradisional

Tabel 2. Formulasi Rengginang Tradisional

Bahan jumlah

Beras Ketan (g) 100

Garam (g) 6

Terasi (g) 4

Bawang Putih (g) 27

(Sumber : Tarwiyah, 2001)

a) Beras ketan

Dalam pembuatan rengginang, beras ketan merupakan bahan utama yang

sebagian besar terdiri atas pati (Juliano, 1972 dikutip Garansari, 1999). Ketan

yang digunakan dapat beras ketan putih maupun yang hitam. Beras ketan apabila

dimasak menghasilkan nasi yang lengket dan kerapatan antara butir nasi yang

tinggi sehingga volume nasi sangar kecil (Tjiptadi dan Nasution, 1976 dikutip

Garansari, 1999(. Kelengketan nasi ketan dipengaruhi oleh kadar amilopektinnya


yang mencapai 99% (Taggart, 2004). Kandungan amilopektin inilah yang

menyebabkan beras ketan banyak digunakan sebagai bahan baku untuk

pembuatan snack karena amilopektin dapat mengembang dengan cepat saat

dipanaskan dengan menghasilkan prodk yang porus ( Owens, 2001)

b) Garam

Garam sering digunakan untuk memberikan cita-rasa pada snack karena

memperkuat cita-rasa dan memperhalus efek cita-rasa lain (Matz, 1993). Menurut

Jomduang dan Mohamed (1994) dikutip Taewee (2011), sebanyak 1% garam

dapat meningkatkan volume pengembangan produk snack. Penambahan garam

lebih dari 2,5% umumnya memberikan cita-rasa yang tidak dapat diterima

(Manley, 2000).

c) Terasi

Terasi adalah bumbu masak yang dibuat dari ikan atau udang yang

difermentasikan dengan cara penggaraman, berbentuk pasta dan berwarna coklat.

Pada beberapa jenis terasi ditambahkan pula pewarna sehingga berwarna

kemerahan. Terasi memilki aroma yang tajam, biasanya digunakan untuk

membuat sambal atau sebagai bumbu pada beberapa jenis makanan Indonesia

d) Bawang putih

Bawang putih umum ditambahkan sebagai bumbu dalam setiap masakan

di Indonesia, termasuk pada produk snack tradisional (Wahyono dan Marzuki,

1998). Rempah ini mengandung minyak atsiri sehingga memberikan aroma khas

pada produk makanan (Herudiyanto dan Indiarto, 2008)


2.1.2 Proses Pembuatan Rengginang

Menurut Tarwiyah (2001), tahap-tahap pembuatan rengginanag terdiri dari

pencucian dan perendaman beras ketan, pembuatan bumbu, pemberian bumbu dan

pengukusan, pencetakan, dan pengeringan. Selanjutnya apabila akan dikomsumsi

dilakukan penggorengan

Beras ketan dicuci terlebih dahulu hingga air bilasnya jernis. Setelah itu

direndam dalam air selama satu malam agar beras menjadi lunak. Setela itu beras

ditiriskan. Kemudian diaron lalu dikukus hingga matang. Selanjutnya dicetak

dengan ukuran diameter 5 cm-7 cm dan tebal 0,5 cm. Adonan rengginang yang

telah dicetak dijemur hingga kering, yaiu mudah dipatahkan. Rengginang yang

telah dicetak dijemur hingga kering, yaitu mudah dipatahkan. Rengginang kering

selanjutnya digoreng dalam minya panas pada suhu kurang lebih 170oC sampai

mengembang sempurna lalu ditiriskan (Tarwiyah, 2001).

2.2 Beras Sorgum

beras sorgum adalah biji sorgum yang seluruh atau sebagian kulit bijinya.

Dihilangkan dengan penyosohan abrasive ( Mudjisihono dan Suprapto, 1987).

Pada biji sorgum, penyosohan bertujuan untuk memisahkan pericarp dan testa dari

endosperma (Rooney dan Miller, 1982) sehingga diperoleh beras

sorgum.keberadaan pericarp dan testa mempengaruhi warna, rasa dan tekstur nasi

sorgum yang dihasilkan ( Yuliandi, 2009). Penampang melintang biji sorgum

disajikan pada gambar 1


Menurut Yuliandi (2009), penyosohan sangat berpengaruh terhadap warna

beras sorgum. Efisiensi penyoshohan (hulling efficiency) adalah ukuruan untuk

menyatakan presentase sisa bekatul yang terdapat pada beras, yang menjadi tolak

ukur untuk proses penyosohan, semakin lama waktu penyosohan semakin kecil

nilai efisiensi (FAO, 1994).

Jenis sorgum yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur ZH-30,

yang termasuk jenis white sorghum. Jenis sorgum ini berasal dari cina yang

kemudian diberi perlakuan radiasi oleh BATAN (Wulandari, 2011). White

sorghum adalah jenis sorgum yang memiliki kandungan tannin yang rendah dan

tidak memiliki testa berpigmen (U.S Grains Council, 2008). Menurut Pitakasari

(2011), kelebihan sorgum galur Zh-30 dibandingan dengan galur lainya adalah

masa tanamnya yang lebih pendek (95 hari) dan produksinya yang lebih tinggi,

yaitu 5 ton-6 ton per ha, sedangkan rata-rata hasl nasional adalah 1,43 ton per ha.

2.3 Nasi Sorgum

Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), di Indonesia beras sorgum

ditanak seperti umumnya beras dengan cara diliwet dalam panci, kastrol, atau

rice cooker dan dengan cara aron-kukus menggunakan perbandingan beras

sorgum dan air 1 : 1,5-4 (b/v). Pemasakan beras sorgum membutuhkan waktu

lebih lama dibandingkan pemasakan beras. Hal ini disebabkan oleh sisa-sisa kulit

biji (bekatul) pada beras sorgum akibat tidak tersosoh sempurna sehingga

menghambat absorpi air. Oleh karena itu, penyosohan yang baik dapat engurangi

waku pemasakan beras sorgum (Desikachar, 1974 dikutip Ali dan wills, 1980)
Pada nasi sorgum masih terdapat embryonic disc ( bagian dari lembaga)

yang tidak dapt dilumatkan saat penumbuhan sehingga produ yang dihasilkan

keras. Hal ini dapat diatasi dengan memisahkan embryonic disc dengan

penyaringan (Dwijayanti, 2009). Menurut Nisa (2011), penggunaaan Pressure

cooker pada pemasakan beras sorgum menghasilkan nasi sorgum yang seluruhnya

lunak dengan waktu yang lebih singkat. Pressure cooker mempercepat

pemasakan sampai tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan panci

biasa, sehingga lebih ekonomis karena menghemat pemakaian bahan bakar.

Waktu pemasakan yang singkat juga memperkcil jumlah air yang diperlukan serta

dapat mempertahankan kadungan vitamin dan mineral bahan makanan dengan

lebih baik

Menurut Haryadi (2006), karakteristik nasi dipengaruhi oleh efisiensi

penyosohan dan kadar amilosa. Efisiensi penyosohan berpengaruh terhadap

kecerah, warna, cita-rasa serta kepulenan nasi. Semakin rendah efisiensi

penyosohan semakin cerah beras yang dihasilkan (FAO, 1994). Beras yang

banyak mengandung bekatul menghasilkan nasi dengan cita-rasa kurang enak,

karena saat nasi dikunyah serat kasar tidak dapat menjadi lembut, sehingga

teksturnya berbeda dengan nasi yang hanya terdiri dari bagian endospresma saja.

Efisiensi penyosohan yang tinggi juga menurunkan tingkat kepulenan nasi karena

serat kasar yang menyelubingi butir nasi diduga menghalangi butir-butir nasi

tersebut saling melekat satu sama lain (Rarni, 1996 dikutip Utomo, 1990)

Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), Berdasarkan kadar amilosanya

sorgum dapat dibedaan atas jenis beras (non-waxy sorgum) dan jenis ketan (waxy
sorgum). Kadar ailosa sorgum jenis beras 20%-30% dan jenis ketan 1%-2%

(Deatherage, McMaster dan Riat, 1955 dikutip FAO, 1995). Kadar amilosa beras

berpengaruh terhadap karakteristik inderawi nasi. Eras berkadar amilosa tinggi

menghasilkan nasi yang pera dan agak keras, sebaliknya beras erkadar amilosa

rendah menghasilkan nasi yang pulen dan lunak. Molekul amilosa cenderung

membentuk struktur heliks yang dapat memerangkap molekul lain seperti asam

lemak dan monogliserida. Pembentukan kompleks tersebut mengurangi sifat

kelengketan dan meningkatkan kekerasan (Larsson, 1980 serta Maningat dan

Juliano, 1980 dikutip Haryadi, 2006)

2.4 Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)

Ikan tembang memiliki rangka yang terdiri dari tulang benar yang bertutup

insang. Kepala simetris dan badan tidak seperti ular. Tidak seluruh sisik

terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor tidak bercincin-cincin. Hidung tidak

memanjang ke depan dan tidak membentuk rostrum. Pipi atau kepala tidak

berkelopak keras dan tidak berduri (Saanin 1984). Klasifikasi ikan tembang

berdasarkan tingkat sistematiknya menurut Saanin (1984): Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Sub kelas :

Neopterygii Infrakelas : Teleostei Superordo : Clupeomorpha Ordo :

Clupeiformes Subordo : Clupeoidei Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae

Genus : Sardinella Spesies : Sardinella fimbriata Nama lokal : Tembang (Jakarta),

Mangida (Bali), Tembang lakara (Bugis), Sintring (Madura), Jurung (Pekanbaru)

dan Matasa (Seram) Morfologi ikan tembang (Sardinella fimbriata) dapat dilihat

pada Gambar dibawah ini.


Gambar 1 Ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber: Fishbase (2010)

Sirip punggung ikan tembang terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku-

buku dan berbelah. Sirip pada punggung bersisik, tidak bersungut dan tidak

berjari-jari keras. Tidak bersirip punggung tambahan yang seperti kulit, tidak

bercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang dan sirip dada senantiasa

sempurna. Perut sangat pipih dan bersisik tebal yang bersiku. Sirip perut jauh ke

belakang di muka sirip dubur, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain

tidak melekat, bentuk mulut terminal (posisi mulut terletak di bagian depan ujung

hidung), tajam serta bergerigi. Gigi lengkap pada langit-langit, sambungan tulang

rahang dan lidah (Saanin 1984). Ikan tembang memiliki bentuk badan yang

memanjang dan pipih. Lengkung kepala bagian atas sampai diatas mata agak

hampir lurus, dari setelah mata sampai awal dasar sirip punggung agak cembung.

Tinggi badan lebih besar daripada panjang kepala. Mata tertutup oleh kelopak

mata. Awal dasar sirip punggung sebelum pertengahan badan, dasar sirip

punggung sama panjang dengan dasar sirip anal. Kepala dan badan bagian atas

hijau kebiruan, sedangkan bagian bawah putih keperakan. Sirip-sirip berwarna

keputihan. Sirip punggung mempunyai 18 jari-jari lemah, sirip dada mempunyai

15 jari-jari lemah, sirip anal memiliki 18 jari-jari lemah dan sirip perut memiliki 8

jari-jari lemah. Ikan tembang dapat mencapai ukuran 17 cm (Peristiwady 2006).


2.4.1 Protein Ikan

Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena

selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat

untuk pengatur, pembangun, pertumbuhan dan pemeliharaan serta perbaikan

tubuh dan fungsi-fungsi tubuh. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh

enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk sel-sel dan

jaringan dalam tubuh. Selain itu, protein juga berperan dalam proses pertumbuhan,

pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan (Winarno

2008).

Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein sebesar 15-25%

dari berat total daging ikan. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino

yang merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino

dan satu atau lebih gugus karboksil. Asam amino penting yang harus ada dalam

konsumsi makanan sehari-hari dan tidak dapat disintesis oleh tubuh dikenal

dengan istilah asam amino esensial. Protein daging ikan mengandung asam amino

esensial, yaitu: valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin,

triptofan dan fenilalanin (Irianto dan Giyatmi 2002). Kebutuhan tubuh manusia

terhadap asam amino esensial dapat dipenuhi dari protein yang terkandung di

dalam makanan yang dimakan. Tanaman pangan sering kekurangan satu atau

lebih asam amino esensial sehingga perlu digabungkan dengan bahan protein

lainnya. Dengan demikian, bahan satu dan lainnya akan saling menutupi dan

melengkapi kekurangan dari satu protein dengan asam amino sejenis yang

berlebihan pada protein lain (Wirakusumah 2007). Mutu protein ditentukan oleh
jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein dengan nilai biologi

tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam

amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan dan

pemeliharaan. Beberapa jenis protein mengandung semua macam asam amino

esensial, namun masing-masing dalam jumlah terbatas, akan tetapi cukup untuk

perbaikan jaringan tubuh dan tidak cukup untuk pertumbuhan. Asam amino yang

terdapat dalam jumlah terbatas untuk pertumbuhan dinamakan asam amino

pembatas atau limiting amino acid. Lisin merupakan asam amino pembatas pada

beras (Almatsier 2006). Penambahan tepung ikan tembang yang kaya akan lisin

dapat saling mengisi untuk menghasilkan protein yang dibutuhkan tubuh untuk

pertumbuhan dan pemeliharaan.

Kebutuhan protein perorangan tergantung pada laju pertumbuhan dan berat

badan. Orang dewasa memerlukan sekitar 1 gram protein untuk setiap kilogram

berat badan. Selama periode pertumbuhan, protein diperlukan secara proporsional,

misalnya untuk anak-anak usia 5-6 tahun dibutuhkan sekitar 2 gram protein untuk

setiap kilogram berat badan. Kekurangan protein dapat menyebabkan penyakit

yang dikenal sebagai kwashiorkor dan marasmus. Penyakit ini disebabkan oleh

susunan makanan yang mengandung kandungan protein yang rendah. Selain itu,

kekurangan protein juga dapat menyebabkan anemia, karena protein penting

untuk pembentukan sel-sel butir darah merah (Gaman dan Sherrington 1992).

2.5 Tepung Ikan

Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perikanan yang diperoleh dari

suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar
terdiri dari komponen protein ikan. Tepung ikan mempunyai kandungan protein

yang tinggi dan merupakan salah satu zat gizi yang paling penting dibutuhkan

oleh tubuh manusia. Tepung ikan mempunyai nilai gizi sepuluh kali lebih besar

dibandingkan dengan tepung yang dibuat dari hewan darat (Kulikov 1971).

Dengan demikian, penggunaan tepung ikan pada produk berfungsi dalam

menyuplai protein (Irianto dan Giyatmi 2002). Berdasarkan bahan baku, tepung

ikan dapat digolongkan menjadi tepung ikan yang berwarna gelap yang biasanya

terbuat dari limbah pengolahan ikan dan tepung ikan berwarna putih kekuningan

yang biasanya terbuat dari rucah. Bahan mentah untuk produksi tepung ikan dapat

dibedakan atas tiga kategori utama, yaitu (Irianto dan Giyatmi 2002):

a) Ikan yang sengaja ditangkap untuk produksi tepung ikan dan sering

disebut sebagai ikan industri, contoh ikan teri di Peru, ikan teri dan pilchard di

Afrika Selatan, herring dan capelin di Norwegia dan Denmark.

b) Hasil tangkap samping dari kegiatan perikanan lain, contoh perikanan udang.

c) Limbah ikan dari kegiatan industri pengolahan, misalnya karkas dari

industri fillet serta kepala dan isi perut dari industri pengalengan.

Salah satu syarat pengolahan tepung ikan adalah tersedianya bahan mentah

yang berlebihan dan harganya murah, karena harga tepung ikan juga relatif murah

dipasaran (Moeljanto 1992). Jenis bahan mentah yang digunakan oleh pengolahan

atau pabrik tepung ikan di Indonesia adalah ikan utuh dan limbah dari pengolahan

lainnya. Biasanya ikan utuh yang diolah menjadi tepung ikan adalah ikan yang

bermutu rendah atau ikan yang tidak terserap oleh industri pengolahan yang lain

dan ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan (Irianto dan Giyatmi 2002).
Tinggi rendahnya kadar protein pada tepung ikan selain dipengaruhi oleh

cara pengolahan, juga dipengaruhi oleh bahan mentah yang digunakan. Bahan

mentah ikan yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan seharusnya bermutu

baik. Hanya dengan menggunakan ikan bermutu baik saja yang dapat menjamin

bahwa tepung ikan yang dihasilkan akan bermutu baik pula. Apabila ikan yang

digunakan sebagai bahan mentah dalam pengolahan tepung ikan bermutu tidak

baik, maka akan menghasilkan tepung ikan yang mutunya tidak sesuai yang

diharapkan, yaitu kadar protein rendah dan kadar lemak tinggi. Selain bahan

mentah yang digunakan mempunyai mutu yang baik, bahan mentah yang

digunakan juga sebaiknya dari ikan yang memiliki nilai ekonomis yang rendah

(Irianto dan Giyatmi 2002).

Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses

pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama

pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu pengolahan

sistem basah dan pengolahan sistem kering. Proses pengolahan sistem basah

digunakan terutama untuk produksi tepung ikan dengan bahan mentah ikan

berlemak tinggi (>5%), seperti: ikan lemuru. Metode ini telah diterapkan secara

luas dan yang paling umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Proses

pengolahan sistem basah, meliputi: pengukusan, pengepresan, pengeringan,

penggilingan hingga diperoleh tepung ikan kering. Proses pengolahan sistem

kering dipergunakan untuk bahan mentah ikan yang mengandung kadar lemak

rendah (<5%). Proses pengolahan sistem kering, meliputi: penggilingan kasar,

pengeringan, pengepresan dan penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).


Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan

kesegaran ikan dan teknik atau cara pengolahannya (Irianto dan Giyatmi 2002).

Mutu tepung ikan dapat dinilai secara fisik, kimia, mikrobiologi. Secara fisik,

kriteria yang dinilai adalah bentuk dan keseragaman ukuran partikel tepung.

Penilaian secara kimiawi dilakukan dengan mengukur kandungan protein, lemak,

air dan abu. Secara mikrobiologi, tepung ikan harus terbebas dari bakteri patogen

seperti Salmonella dan kapang. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai

sifat-sifat sebagai berikut: mempunyai butiran yang seragam, bebas dari sisa-sisa

tulang dan benda-benda asing lainnya (Moeljanto 1992). Badan Standarisasi

Nasional telah menetapkan persyaratan mutu tepung ikan melalui SNI 01-2715-

1996/Rev. 92 yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2. Mutu Tepung ikan


2.6 Tapioka

Menurut Sukarminah (1999), tapioca adalah pati hasil ekstraksi umbi

singkong atau ketela pohon (Manihot utilisima, Pohl.) yang telah mengalami

pencucian dan pengeringan. Dalam Industri makanan tapioca dimanfaatkan

sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat seperti dalam

pembuatan pudding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, dan

lain-lain (Radiyati,2000). Tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku dalam

berbagai jenis kerupuk, karena murah, mudah didaptkan dan mempunyai daya ikat

tinggi serta membentuk struktur yang kuat (Widowati, 1987).

Ditinjau dari segi komposisinya, tapioca kaya akan pati, tetapi memiliki

kandungan protein dan lemak yang sangat rendah. Kandungan pati dalam umbi

singkong 80%, dengan kandungan amilosa 18-25% dan amilopektin 75%-82%

(Mc Williams, 2008). Menurut Murphy (2000), granula pati singkong berbentuk

oval kerucut dengan bagian atas terpotong menyerupai Kattle drumb, dengan

ukuran 4 μm- 35 μm, suhu pembbentukan pasta 67,6oC ( Jane et al, 1999) dan

suhu gelatinisasi 52 oC, dibandingkan dengan jenis pati lain, tapioca memiliki

suhu gelatinisasi terendah (McWilliams, 2008). Menurut Aviara, Igbeka dan

Nwokocha (2000), tapioca memiliki kemampuan untuk memngikat air sebesar 73,

50%
III. KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pikir

Rengginang terbuat dari bahan dasar beras ketan. Beras ketan

menghasilkan nasi yang lengket atau sticky (smith, 2003). Menurut Lusas dan

Roonet (2001) kandungan amilosa beras ketan rendah, yaitu kurang dari 1% dan

kadar amilopektin yang tinggi 99%. Owen (2011) mengatakan kandungan

amilopektin akan menyebabkan rengginang dapat mengembang dengan cepat saat

dipanaskan dan menghasilkan produk yang porous.

Nasi sorgum dapat dijadikan bahan baku utama rengginang karena

kandungan patinya yang tinggi, Kandungan pati sekitar 56-73% yang terdiri dari

70-80% amilopektin diasumsikan sisanya amilosa (Deatherage,McMasters dan

Rist, 1955 dikutip FAO, 1995), sehingga perlu ditambahkan bahan pengisi yang

mempunyai kandungan amilopektin yang tinggi agar rengginang mudah dicetak

dan dapat mengembang dengan baik. Jenis bahan pengisi dapat ditentukan

berdasarkan karakteristik yang diinginkan

Menurut Tjahjadi (2011) umumnya bahan pengisi yang digunakan dalam

produk sorgum adalah pati, tepung terigu, protein, hidrokoloida, dan gula.

Tapioka merupakan pati yang diekstrak dengan air dari umbi singkong. Tapioka

banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pengikat

dalam industri pangan (Astawan, 2009 : 243). Tapioka memiliki kandungan pati

yang lebih tinggi dibandingkan maizena (54,1g), tepung beras (-25% pati) dan

tepung ketan (17-32% pati) (Ramona Jayana, dkk, 2011) dengan kandungan
amilopektin yang tinggi 83% (Tjahjadi, 2011), berwarna putih, tidak berasa,

murah, dan mudah didapat (Tjahjadi, 2011).

Menurut Senny (2012) penambahan berbagai macam konsentrasi

penambahan tapioca pada nasi sorgum galur Zh-30 maka semakin baik daya ikat

butir-butir nasi sorgum, semakin besar volume pengemabangan rengginang

sorgum goreng tetapi kerenyahan rengginang semakin berkurang rengginang

dengan penambahan tapioca 0,99%, menghasilkan rengginang sorgum yang

sangat renyah, rapuh, byaj terdapat lubang dan retakan, serta volume

pengembangan yang rendah (132,81%). Penambahan tapioca 2.91% akan

menghasilkan rengginang sorgum yang renyah, sedikit lubang dan retakan, serta

volume pengembangan yang baik (210,23%). Penambahan tapioca 4.76%

menghasilkan rengginang sorgum yang keras, sedikit lubang dan retakan, serta

volum pengembangan yang tinggi 4.76% (299,23%).

Kandungan terbesar dari rengginang adalah pati karena bahan utamanya

adalah sorgum yang banyak mengandung pati salah satu cara melengkapi

kekurangan gizi makanan dari serelia adalah dengan memberikan protein yang

bermutu tinggi (Buckle et al. 1987). Tepung ikan merupakan salah satu sumber

protein hewani yang memiliki kedudukan penting sampai saat ini dimana masih

sulit digantikan kedudukannya oleh bahan baku lain apabila ditinjau dari kualitas

maupun harganya.Tepung ikan adalah produk yang diperoleh dari penggilingan

ikan yang diperoleh dari suatu reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang

sebagian besar terdiri dari komponen protein ikan (Irianto dan Giyatmi 2002).
Kandungan protein tepung ikan relatif tinggi. Protein tersebut disusun oleh

asam-asam amino esensial yang kompleks, diantaranya asam amino lisin dan

methionin. Disamping itu juga, mengandung mineral kalsium dan phospor serta

vitamin B kompleks, khususnya vitamin B12 (Arifudin 1993 dalam Purnamasari

et al. 2006).

Menurut Nurhalifah 2017 dalam pembuatan Biskuit ikan tembang Tingkat

penerimaan terbaik terhadap warna, aroma, tekstur, rasa, over all dan uji hedonik

(tingkat kesukaan) yaitu dengan penambahan tepung ikan tembang sebesar 4%

dan 8%. Menurut Khalishi 2011 dalam pembuatan rengginang beras ketan

penambahan tepung ikan tembang pada konsentrasi 5% penerimaan terbaik

memiliki nilai rata-rata sensori terhadap parameter penampakan, warna, rasa,

aroma dan tekstur masing-masing

3.2 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikiran di atas, makan dapat disusun hipotesis

penambahan tepung tapioca pada konsentrasi tertentu akan menghasilkan tekstur

yang terbaik pada rengginang dan penambahan tepung ikan tembang pada

konsentrasi tertentu akan menaikan kadar protein rengginang


IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Percobaan

Percobaan akan dilakukan pada bulan Mei- Agustus 2019 dilakukan di

laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, laboratorium Kimia Pangan dan

Laboratorium Gizi dan Penilaian Indera Jurusan Teknologi Industri Pangan

Fakultas Teknologi Industri Pertanian serta Laboratorium Teknologi Pengolahan

Hasil Pertanian Fakultas Pertanya Universitas Padjadjaran.

4.2 Bahan dan Alat Percobaan

4.2.1 Bahan-bahan percobaan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah beras sorgum

Zh-30, Tapioka, Air mineral dalam kemasan, terasi udang tanpa pewarna, garam,

bawang putih dan minyak kelapa ikan tembang (Sardinella fimbriata), Bahan-

bahan yang digunakan untuk analisis adalah akuades, H2SO4, NaOH 40%,

H3BO3, K2SO4, HCl 0,1 N, metil biru, metil merah, pelarut heksana

4.2.2 Alat-alat percobaan

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah pressure

cooker,cabinet dryer, mesin penyosoh tipe abrasif Jurusan TMIP FTIP

Universitas Padjadjaran, kompor gas, gas LPG, neraca analitik, dandang, baskom,

lumping, alu, mangkuk, saringan, sendok, garpu, cetakan plastik berbentuk bulat

dengan ukuran diameter 5,5 cm dan tinggi 0,8 cm, Loyang alumunium, deep fat

fryer, kantung plastic poplipropilen (PP), sealer, kamera, gelas ukur.pisau, talenan,

stopwatch, termometer, autoklaf, pengepres, penggiling (grinder), oven, blender

dan saringan halus (nilon mesh). Alat yang digunakan pada pengujian kimia
produk antara lain label, timbangan digital, cawan porselin, oven, desikator,

neraca analitik, tanur pengabuan, pemanas Kjeldahl, labu Kjeldahl, kertas saring,

destruktor, erlenmeyer, alat ekstraksi soxhlet, tabung reaksi, labu lemak, cawan

petri, mortar, bulb, penjepit refluks, waring blender, pipet ukur, buret, gelas piala,

gelas ukur dan inkubator. Pengujian fisik produk dilakukan dengan menggunakan

alat rheoner, gelas ukur, manik-manik yang berbentuk bulat dengan diameter 2

mm, neraca analitik dan penggaris.

4.3 Metode Percobaan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental

menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial yang menggunakan

bantuan tools SPSS. Faktor pertama adalah konsentrasi penambahan tepung

tapioka (A) dengan 3 taraf yaitu A1 = 0.99%, A2 = 3% dan A3 = 4.76%. Faktor

kedua adalah konsentrasi penambahan tepung ikan tembang (B) dengan 3 taraf

yaitu yaitu B1 = 4% , B2 = 5% dan B3 = 8% . Kombinasi yang dilaksanakan ada 9,

setiap kombinasi diulang 3 kali, sehingga jumlah kombinasi 27 satuan percobaan

(Gasperz, 1995).

Tabel 1. Rancangan Acak Kelompok (RAK) Dengan Desain Faktorial 3 x 3


Konsentrasi Ulangan
Konsentrasi
Tepung Ikan
Tapioka I II III
Tembang
B1= 4% A1B1 A1B1 A1B1
A1 =0.99% B2=5% A1B2 A1B2 A1B2
B3=8% A1B3 A1B3 A1B3
B1= 4% A2B1 A2B1 A2B1
A2 =3% B2=5% A2B2 A2B2 A2B2
B3=8% A2B3 A2B3 A2B3
B1= 4% A3B1 A3B1 A3B1
A3 =4.76% B2=5% A3B3 A3B2 A3B2
B3=8% A3B3 A3B3 A3B3
Berdasarkan rancangan diatas dapat dibuat denah (layout) percobaan yang

dapat dilihat sebagai berikut :

Kelompok I
A2B1 A1B1 A3B2 A2B2 A1B2 A3B3 A1B3 A2B3 A3B2
Kelompok II
A1B1 A2B2 A3B3 A2B3 A1B3 A3B2 A3B1 A1B2 A2B1
Kelompok III
A3B3 A3B2 A2B2 A3B1 A1B1 A2B3 A2B1 A1B3 A1B2
Berdasarkan rancangan diatas maka dapat dibuat tabel sidik ragam untuk

mendapatkan kesimpulan mengenai pengaruh perlakuan sebagai berikut :

Tabel 2. Tabel Sidik Ragam


Derajat Jumlah Kuadrat
Sumber F Tabel
Bebas Kuadrat Tengah F Hitung
Variansi 5%
(DB) (JK) (KT)
JKK/(r –
Kelompok r–1 JKK - -
1)
Perlakuan ab – 1 JKP
Faktor A a–1 JK(A) KT(A) KT(A)/KTG 3,63
Faktor B b–1 JK(B) KT(B) KT(B)/KTG 3,63
Interaksi (a – 1)( b
JK(AxB) KT(AxB) KT(AxB)/KTG
AB – 1)
(r – 1)( ab
Galat JKG KTG
– 1)
Total rab – 1 JKT
(Sumber: Gaspersz, 1995).

Matriks rancangan dapat dilihat pada tabel model percobaan untuk

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Yijk = μ + Kk + Ai + Bj + (AB)ij + ɛij

Keterangan :

Yijk = Nilai respon pada pengamatan kelompok ke-k dari perlakuan suhu

perkecambahan ke-i dan waktu perkecambahan.

i = 1,2,3 (banyaknya variasi suhu perkecambahan)


j = 1,2,3 (banyaknya variasi waktu perkecambahan)

k = 1,2,3 (banyaknya ulangan)

μ = Nilai rata-rata perlakuan

Ai = Pengaruh perlakuan dari taraf ke-i faktor suhu perkecambahan (A)

Bj = Pengaruh perlakuan dari taraf ke-j faktor waktu perkecambahan (B)

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor suhu perkecambahan (A) dan

ke-j faktor waktu perkecambahan (B).

Kk = Pengaruh aditif dari kelompok ke-k

ɛij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi

perlakuan ij

Selanjutnya ditentukan daerah penolakan hipotesis, yaitu :

1. Jika Fhitung ≤ Ftabel pada taraf 5% maka tidak ada pengaruh antara rata-

rata dari setiap perlakuan, artinya perlakuan yang diberikan tidak

berpengaruh terhadap sifat fungsional tepung sorgum maka hipotesis

ditolak.

2. Jika Fhitung> Ftabel, pada taraf 5% maka adanya pengaruh antara rata-

rata dari setiap perlakuan, artinya perlakuan yang diberikan berpengaruh

terhadap sifat fungsional tepung sorgum yang dihasilkan, maka hipotesis

diterima dan selanjutnya dilakukan uji jarak berganda Duncan pada taraf

5%. Adapun tahap-tahap pengujiannya meliputi:

1. Mencari nilai Sx, dengan rumus:

KT Galat
S𝑥 = √ 𝑟

2. Mencari nilai LSR, dengan rumus:


LSR = Sx×SSR
3. Menyusun nilai rata-rata mulai dari nilai terkecil sampai nailai terbesar;

4. Menghitung nilai selisih rata-rata antarperlakuan yang telah disusun tersebut;

5. Menghitung hasil uji dengan membandingkan selisih rata-rata perlakuan

dengan nilai LSR. Jika nilai selisih rata-rata perlakuan lebih kecil atau sama

dengan nilai LSR maka hasil uji kedua perlakuan yang dibandingkan tersebut

ditandai dengan huruf yang sama, namun jika nilai selisih rata-rata perlakuan

lebih besar dari nilai LSR, maka hasil uji kedua perlakuan yang dibandingkan

tersebut ditandai dengan huruf yang berbeda. Jika selisih itu lebih besar atau

sama dengan LSR, maka berarti terjadi perbedaan

4.4 Pelaksanaan Percobaan

Percobaan akan dimulai dengan pembuatan tepung Ikan Tembang,

penanakan nasi sorgum, pembuatan bumbu, dan pembuatan rengginang.

4.4.1 Pembuatan Tepung Ikan Tembang (Sardinella Fimbriata)

Proses pembuatan rengginang diawali dengan pembuatan tepung ikan

tembang. Bahan baku yang digunakan untuk membuat tepung ikan adalah ikan

tembang. Ikan yang digunakan sebelumnya dicuci dan ditimbang untuk mengetahui

bobot awal ikan tersebut. Kemudian, ikan tembang utuh disiangi dengan membuang

bagian kepala, insang, sisik, sirip dan isi perut. Setelah itu, ikan yang telah disiangi

dicuci dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran dan darah yang masih menempel.

Selanjutnya dilunakkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 1 jam

sampai tulang dan duri yang melekat pada daging menjadi lunak, kemudian dipres

dengan pengepres selama 10-15 menit.


Pengepresan bertujuan untuk mengurangi jumlah air dan lemak yang

terkandung dalam daging ikan. Setelah dipres kemudian digiling dengan penggiling

(grinder). Kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven dengan lama

pengeringan kurang lebih 15 jam pada suhu sekitar 60oC sampai kadar air menjadi

rendah yaitu 6-10%. Setelah ikan dikeringkan, dilakukan penepungan. Daging ikan

yang sudah kering dihaluskan menggunakan blender, kemudian disaring

menggunakan ayakan ukuran 100 mesh sehingga didapatkan tepung ikan tembang

dengan butiran yang homogen dan halus (Amirullah 2008). Tepung ikan tembang

yang dihasilkan dilakukan pengujian terhadap kadar air, abu, protein dan lemak.

Diagram alir pembuatan tepung ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 2 Diagram

alir proses pembuatan tepung ikan tembang

(Sumber: Dullah et al. 1985)


4.4.2 Penanakan Nasi Sorgum

a) Penimbangan Beras sorgum dan Penakaran Air

Penimbangan 280 gram beras sorgum menggunakan neraca analitik dan

penanakan air untuk pemasakannya dengan gelas ukur

b) Pencucian Beras Sorgum

Pencucian beras sorgum dengan air bersih dilakukan sampai air cucian

tidak keruh

c) Penirisan Beras Sorgum

Penirisan beras sorgum dillakukan pada saringan sampai air tidak

menetes lagi
d) Penanakan Nasi Sorgum dalam pressure cooker

Penanakan dilakukan dengan api sedang sampai valve dari pressure

cooker terangkat (berdesis) lalu api dikecilkan, setelah 8 menit api

dimaikan dan ditunggu 3 menit lagi hingga valve turun kembali,

kemudian tutup pressure cooker dibuka dan nasi dikeluarkan

4.4.3 Pembuatan Bumbu

a) Penimbangan dan penakaran Bahan-bahan

Penimbangan garam, terasi dan bawang putih yang sudah dikupas

menggunakan neraca analitik untuk 1 ulangan. Air ditakar 2 x 50 ml

b) Penghalusan

Penghalusan bahan-bahan menggunakan cobek dan ulekan hingga

menjadi pasta

c) Pengadukan
Pasta bumbu ditambahkan air 50 ml lalu diaduk dan ditampung dalam

1 mangkuk. Sisaair ditambahkan lalu diaduk kembali hingga homogen.

Bumbu ditimbang 45,4 untuk setiap perlakuan

4.4.4 Pembuatan Rengginang Sorgum


a) Penimbangan Bahan-Bahan Sesuai Formulasi

Penimbangan tapioca menggunakan neraca analitik, sedangkan

penimbangan sorgum panas menggunakan neraca O-Hauss

b) Pencampuran Bahan

Nasi sorgum panas dicampurkan dengan tapioca dan bumbu sesuai

dengan formulasi hingga tercampur rata.

c) Pengukusan

Campuran nasi sorgum dikukus dalam dandang hingga tidak melekat

pada dandang selama kurang lebih 5 menit sehingga menjadi adonan

rengginang sorgum

d) Pencetakan Bentuk Bulat

Adonan rengginang sorgum ditimbang kurang lebih 35 gram kemudian

dicetak dengan menggunakan cetakan plastic berbentuk bulat.

e) Pengeringan dalam Cabinet dryer

Rengginang sorgum basah dikeringkan dalam cabinet dryer pada suhu

65oC hingga rengginang sorgum kering dan dapat dipatahkan (20 jam)

4.4.5 Penggorengan
a) Penyiapan Alat dan Bahan

Rengginang sorgum dijemur selama 2 jam. Minyak kelapa sebanyak

500 ml dituangkan ke dalam deep far fryer. Dan suhu diatur 190oC

b) Penggorengan Rengginang Sorgum

Rengginang sorgum yang sudah dijemur selanjutnya dimasukan ke

dalam minyak yang sudah mencapai suhu 190oC (lampu indikator

pemanasan padam). Penggorengan dilakukan dengan cara

menggerakan rengginang secara memutar hingga berhenti

mengembang dan berwarna kuning muda.

c) Penirisan Minyak
Penirisan rengginang dilakukan sampai minyak tidak menetes dan

permukaan rengginag tidak berminyak. Penirisan dilakukan dalam

kaleng tertutup selama 1 malam.

4.5 Kriteria Pengamatan

Teknik pengujian dilakukan secara subjektif dan objektif. Analisis secara

subjektif meliputi uji sensori (penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur) yang

diolah dengan metode Kruskal Wallis, apabila diperoleh hasil analisis ragam beda

nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison. Analisis objektif

meliputi uji fisik, kimia dan mikrobiologis. Analisis fisik yang dilakukan yaitu

kekerasan dan volume pengembangan. Analisis kimia yang dilakukan meliputi kadar

air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat yang dihitung

berdasarkan by difference,

4.5.1 Uji Organoleptik

Uji organoleptik yaitu uji pangan yang menggunakan indera manusia,

kadang disebut uji sensori indera. Uji organoleptik yang digunakan yaitu hedonic

test (uji hedonik). Uji hedonik merupakan metode uji yang digunakan untuk

mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar

penilaian. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji

organoleptik dengan skala hedonik yang meliputi: penampakan, warna, aroma,

rasa dan tekstur yang bertujuan untuk mengetahui respon dari panelis terhadap

produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat kesukaan. Sampel diujikan kepada 30

orang panelis (Soekarto 1985). Analisis dari hasil uji ini diolah dengan

menggunakan program SPSS 13.0. Lembar penilaian uji sensori dengan skala

hedonik dapat dilihat pada Tabel 4.


Skala Numerik Skala hedonik
9 Amat sangat suka
8 Sangat suka
7 Suka
6 Agak suka
5 Netral
4 Agak tidak suka
13 Tidak suka
2 Sangat tidak suka
1 Amat sangat tidak
suka
(sumber : Soekarto 1985)

4.5.2 Analisis Fisik

Parameter yang diukur pada analisis fisik meliputi: kekerasan dan volume

pengembangan.

a) Kekerasan (Faridah et al. 2008)

Kekerasan rengginang diukur dengan menggunakan tekstur analyzer

Analisis tekstur dapat dilakukan menggunakan alat. Salah satunya menggunakan Texture

Profile Analysis (TPA) adalah alat yang terkait dengan penilaian dari karakteristik

mekanis suatu materi. Alat ini diperlakukan untuk menentukan kekuatan materi dalam

bentuk kurva. Tekstur analizer digunakan untuk menentukan sifat fisik bahan yang

berhubungan dengan daya tahan atau kekuatan suatu bahan terhadap tekanan (Smewing,

1999).

Prinsip dari analisis tekstur adalah memberikan tekanan kepada sampel

dengan menggunakan probe dengan berbagai tipe. Terdapat dua metode dalam

mengukur tekstur dari suatu sampel, yaitu dengan mengukur besarnya gaya yang

diperlukan untuk menghasilkan deformasi secara konstan dan dengan mengukur

deformasi yang disebabkan oleh besar gaya yang konstan (Szczesniak dan Kleyn,

1963).
b) Volume Pengembangan (Zulviani 1992)

Volume pengembangan rengginang merupakan persentase dari

perbandingan antara selisih volume rengginang matang dikurangi dengan volume

rengginang mentah dibagi volume rengginang mentah. Pengukuran volume

rengginang dilakukan terhadap rengginang mentah dan rengginang goreng dengan

metode Muliawan (1991), yang dimodifikasi oleh Zulviani (1992). Alat-alat yang

digunakan dalam pengukuran volume pengembangan adalah manik-manik yang

berbentuk bulat dengan diameter 2 mm, gelas ukur dan neraca analitik.

Pengukuran volume pengembangan rengginang dilakukan pada rengginang

goreng dan rengginang mentah. Pengukuran volume pengembangan rengginang

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑉𝑏−𝑉𝑎
%volume pengembangan = x 100%
𝑉𝑎

Keterangan:

Va = Volume rengginang mentah

Vb = Volume rengginang matang setelah digoreng

4.5.3 Analisis Kimia

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk

mengetahui komposisi kimia suatu bahan. Analisis proksimat rengginang

menggunakan metode AOAC 2007. Analisis kadar air dilakukan dengan metode

oven, analisis kadar abu dilakukan dengan metode tanur, analisis kadar protein

dilakukan dengan metode Kjeldahl, analisis kadar lemak dilakukan dengan


metode ekstraksi soxhlet dan analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by

difference.

a) Analisis kadar air metode oven (AOAC 2007)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah cawan

porselen yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu

105-110oC selama 15 menit atau sampai berat konstan, kemudian cawan

diletakkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga didapatkan

berat yang konstan (A). Sampel sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan ke

dalam cawan yang sudah dikeringkan (B), kemudian dipanaskan ke dalam oven

pada suhu 105-110oC selama 3-4 jam. Setelah selesai, cawan tersebut didinginkan

dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali (C). Tahap

ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut:

𝐵−𝐶
Kadar Air = 𝐵−𝐴 x 100%

Keterangan:

A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel sebelum dikeringkan (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

b) Analisis kadar abu metode tanur (AOAC 2007)

Cawan yang akan digunakan dikeringkan di dalam oven terlebih dahulu

selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian didinginkan ke dalam desikator


selama 30 menit dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel

basah ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan ke dalam cawan yang sudah

dikeringkan, kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate

sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Dilanjutkan dengan pengaburan didalam

tanur dengan suhu 600oC sampai pengabuan sempurna (sesekali pintu tanur

dibuka sedikit agar oksigen masuk). Sampel yang sudah diabukan didinginkan ke

dalam desikator dan ditimbang. Tahap pembakaran dalam tanur diulangi hingga

didapatkan berat yang konstan. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

𝐶−𝐴
Kadar Abu = 𝐵−𝐴 x 100%

Keterangan:

A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel sebelum dikeringkan (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

c) Analisis kadar protein metode Kjeldahl (AOAC 2007)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Cara penentuan

meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap destruksi dilakukan untuk

mengubah protein dalam bahan menjadi garam amonium sulfat. Pada tahap

destilasi, garam ini direaksikan dengan basa dan amonia diuapkan untuk diserap
dalam larutan asam borat. Jumlah nitrogen yang terkandung dapat ditentukan

dengan tahap titrasi dengan HCl.

Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml,

kemudian ditambahkan 1,9 gr K2SO4, kjeltab 40 mg jenis HgO dan 2,5 ml

H2SO4 pekat. Sampel didihkan sampai cairan berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam);

didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5

sampai 6 kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan

dalam wadah yang terdapat dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam

di dalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak

20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi

larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol

dan metilen biru 0,2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang diletakkan

dibawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat

yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi

dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau

menjadi merah. Volume titran dibaca dan dicatat. Penetapan blanko dilakukan

dengan prosedur yang sama, akan tetapi sampel diganti dengan akuades. Hal yang

sama juga dilakukan terhadap blanko. Persentase kadar protein dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

𝑉 𝐻𝐶𝐿 𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝐿 𝑥 𝐵𝑀 𝑁 (14,007)𝑥 𝑓𝑝


Kadar Nitrogen = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑥 100%

% Kadar Protein = N x Faktor Konversi*


*) Faktor Konversi = 6.25

d) Analisis kadar lemak metode ekstraksi Soxhlet (AOAC 2007)

Sampel sebanyak 5 gram (W1) ditimbang dan dibungkus dengan kertas

saring serta dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke

dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan

dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor

tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Pelarut heksana dituangkan ke

dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan

dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam

labu lemak. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua

pelarut lemak menguap. Saat destilasi, pelarut akan tertampung di ruang

ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak.

Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan

ke dalam oven pada suhu 105oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan

ke dalam desikator selama 20-30 menit sampai beratnya konstan (W3). Persentase

kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑊3−𝑊2
% Kadar Lemak = x 100%
𝑊1

Keterangan:

W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

e) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2007)


Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil

pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar

protein sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal

ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Persentase

kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% Kadar Karbohidrat = 100%- (kadar air +kadar abu + kadar lemak + kadar
protein
DAFTAR PUSTAKA

W idowati, S. dan D.S. Damardjali. 200 1. Metrgguli

SL~I)I~~CL~II~I~LLIL~~O)L ~IL (III~ I/~II/~

' Rangka Ketahanan Pangan. Majalah PANGAN, BULOG Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai