memiliki empat merk yang lekat di hati konsumen, yaitu Semen Gresik, Semen
Padang, Semen Tonasa dan Thang Long Cement. Perseroan menguasai pangsa
pasar domestik terbesar yang mencapai sekitar 44 %, menunjukkan keunggulan
reputasi yang mencerminkan kekuatan corporate dan brand image Perseroan. Saat
ini PT Semen Padang mempunyai lima pabrik produksi, yaitu pabrik produksi
Indarung I, II, III, IV, V, dan VI (PT Semen Padang, 2019).
2.1.3 Geologi Regional Daerah Penelitian
Batugamping tersusun oleh mineral kalsit (CaCO3), terjadi secara organik
rombakan dan kimia. Jenis organik rombakan berasal dari kumpulan endapan,
kerang atau siput, foraminifera, serta ganggang. Ada juga jenis yang lain, yaitu
terjadi dari pengendapan kalsium karbonat dalam kondisi iklim dan suasana
lingkungan tertentu, baik dalam air laut, tawar, ataupun endapan sinter kapur
(Kastowo, 1973). Peta Geologi Regional PT Semen Padang dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dibawah ini.
Bukit Karang Putih berumur kala miosen tengah dan intrusi batuan beku. Di
sebelah selatan daerah Bukit Karang Putih berumur kala miosen akhir (Geologi
PT Semen Padang, 2018)
1. Struktur Geologi Bukit Karang Putih Bukit Karang Putih
Secara geografis terletak pada koordinat 100o24’31”BT-100o25’04” BT dan
00o57’47” LS-1o00’48” LS, dimana membujur dari arah utara ke selatan
dengan puncak tertinggi 554 m dan puncak terendah 400 m di atas permukaan
laut (Kastowo, 1973). Struktur geologi yang terdapat di area Bukit Karang
Putih PT Semen Padang berupa struktur patahan yang terdiri dari sesar naik
dan sesar geser. Sesar naik dengan arah umum barat laut-tenggara, sesar geser
berarah timur laut-barat daya dan hampir barat-timur atau hampir utara-selatan
dan kelurusan yang merupakan hasil pengaktifan kembali sesar – sesar yang
telah terbentuk sebelumnya sehingga terbentuk sesar-sesar dan kelurusan di
daerah ini menjadi sangat kompleks oleh tektonik yang aktif yang terjadi
berulang-ulang sampai saat ini (Kastowo, 1973).
Sesar Batang Idas, diantara sesar yang ada, sebelah timur Bukit Batu Putih,
memiliki bidang sesar yang arahnya N600E/710, netslip 600, N2080E dan rake
600. Sesar-sesar yang lain adalah:
1) Sesar Ngalau Baribuik berupa bidang sesar yang berarah N1720E/680,
net slip 680, N2180E, dan Rake 640. Sehingga disebut sebagai normal
fault.
2) Sesar Air Luhung
3) Sesar Batu Putih
4) Sesar Karang Putih
5) Sesar Lubuak Paraku
Struktur kekar yang berkembang meliputi gash fracture dan shear fracture
yang terdiri dari extension joint dan release joint. Kekar yang dijumpai pada
umumnya masih terbuka dan pada beberapa lokasi ada yang terisi oleh mineral
kalsit atau mineral ubahan lainnya.
11
Keterangan:
Lmin = lebar jalan angkut minimum (m)
N = jumlah jalur
Wt = lebar alat angkut (m)
Gambar 2.3 Lebar Jalan Angkut dalam Keadaan Lurus (Suwandhi, 2004).
2) Lebar Jalan Angkut pada Tikungan
Lebar jalan angkut pada tikungan selalu dibuat lebih besar dari pada jalan
lurus. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan lebar
alat angkut yang disebabkan oleh sudut yang dibentuk oleh roda depan
dengan badan truk saat melintasi tikungan (Suwandhi, 2004). Untuk jalur
ganda, lebar jalan minimum pada tikungan dihitung berdasarkan pada:
a) Lebar jejak roda
b) Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan
belakang pada saat membelok
c) Jarak antar alat angkut saat bersimpangan
d) Jarak jalan angkut terhadap tepi jalan
15
Wb
R ......................................................................................... (2.6)
Sin
Keterangan:
Wmin = lebar jalan pada belokan (m)
n = jumlah jalur
U = jejak antar roda (centre to centre tyre) (m)
Z = lebar bagian tepi jalan (m)
C = jarak antar kendaraan (m)
Ad = jarak as roda depan dengan bagian depan dump truck.(m)
Ab =ijarak as roda belakang dengan bagian belakang dump truck (m)
𝛼 = sudut penyimpangan (belok) roda depan (o)
R = jari-jari lintasan roda depan (m)
Wb = jarak antar poros roda depan dan belakang (m)
Gambar 2.4 Lebar Jalan Angkut pada Tikungan untuk 2 Jalur (Suwandhi, 2004).
16
Menurut Bina Marga (1990), nilai beda tinggi antara sisi dalam dan sisi luar
tikungan yang harus dibuat yaitu:
tg α = e ............................................................................................................(2.11)
18
a = W x Sin α ...................................................................................................(2.12)
Keterangan:
e = angka superelevasi
f = friction factor
V = kecepatan (km/jam)
R = jari-jari tikungan (m)
W = lebar jalan tikungan (m)
α = sudut antara sisi dalam dan luar tikungan (0)
a = beda tinggi sisi dalam dan luar tikungan (m)
Bina Marga (1990) menganjurkan superelevasi maksimum 10% untuk
kecepatan rencana >30 km/jam dan 8% untuk kecepatan rencana 30 km/jam,
sedangkan untuk jalan kota dapat dipergunakan superelevasi maksimum 6%.
Untuk mengatasi gaya sentrifugal yang bekerja pada alat angkut yang sedang
melewati tikungan jalan ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu pertama dengan
mengurangi kecepatan dan kedua adalah membuat kemiringan ke arah titik pusat
jari-jari tikungan, yaitu dengan membuat elevasi yang lebih rendah ke arah pusat
jari-jari tikungan dan membuat elevasi yang lebih tinggi ke arah terluar jari-jari
tikungan. Kemiringan ini berfungsi menjaga alat angkut tidak terguling saat
melewati tikungan dengan kecepatan tertentu.
Cara pertama sangat tidak efisien karena waktu hilang yang ditimbulkan
akan besar, oleh karena itu cara kedua dianggap lebih baik. Apabila suatu
kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap pada bidang datar atau miring dengan
lintasan berbentuk lengkung seperti lingkaran, maka pada kendaraan tersebut
bekerja gaya sentrifugal mendorong kendaraan secara radial keluar dari jalur
jalannya, berarah tegak lurus terhadap kecepatan. Dengan mempertimbangkan
kondisi seperti itu, maka perlu adanya gaya yang dapat mengimbangi gaya
tersebut sehingga terjadi suatu keseimbangan dengan mempertimbangkan sudut
maksimum (Sukirman, 1999). Sudut maksimum pada penyimpangan kendaraan
ditunjukkan pada Gambar 2.6 berikut:
19
B
ΔX
ΔH
A
C ΔH
h
Grade (%) x 100 % ........................................................................... .(2.13)
x
Keterangan:
h : Beda tinggi antara dua titik segmen yang diukur (m)
x : Jarak datar antara dua titik segmen jalan diukur (m)
Menurut AASHTO (1973), kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui
dengan baik dan dikategorikan aman oleh alat angkut truck berkisar antara 8%-
10% yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.3 sebagai berikut :
Tabel 2.3 Hubungan Kecepatan dengan Kemiringan Maksimum
VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kemiringan max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
(Sumber : AASHTO,1973)
2.2.1.4 Cross Slope
Cross Slope adalah perbedaan ketinggian sisi jalan dengan bagian tengah
permukaan jalan. Pada umumnya jalan angkut mempunyai bentuk penampang
melintang cembung. Dibuat demikian dengan tujuan untuk memperlancar
penirisan. Apabila turun hujan atau sebab lain maka air yang ada di permukaan
jalan akan mengalir ke tepi jalan angkut, tidak berhenti atau mengumpul di
permukaan jalan. Hal ini penting karena air yang menggenang akan
membahayakan kendaraan yang lewat dan mempercepat kerusakan jalan
(Suwandhi, 2004).
Cross slope adalah sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan
terhadap bidang horizontal. Kemiringan melintang diperuntukkan terutama untuk
kebutuhan drainase jalan sehingga air yang jatuh di atas permukaan jalan cepat
dialirakan ke saluran-saluran pembuangan dengan cara membuat bagian tengah
jalan lebih tinggi daripada bagian tepi jalan. Dengan pembuatan cross slope ini,
maka pada saat terjadi hujan yang masuk ke badan jalan akan segera mengalir ke
tepi jalan angkut sehingga aliran air tidak terhenti dan berada terlalu lama di
badan jalan, karena selain mengakibatkan jalan angkut menjadi becek dan licin
akibat genangan air, juga membahayakan alat angkut yang melintas dan
21
mempercepat kerusakan pada jalan. Untuk jalan angkut yang baik memiliki cross
slope sebesar ¼ ipf – ½ ipf (Suwandhi, 2004).
Keterangan :
RP = Rimpul (kg atau lb)
HP = Daya mesin (kW)
V = Kecepatan truk (km/jam)
EM = Efesiensi Mesin (%)
Beberapa pengertian yang dapat menunjukkan keadaan alat-alat mekanis
dan efektifitas penggunaannya (Partanto, 1996:178) antara lain:
a. Availability Index (AI) atau Mechanical Availability (MA)
Availability Index adalah suatu cara untuk mengetahui kondisi mekanis yang
sesungguhnya dari alat yang sedang dipergunakan. Untuk menghitung MA
atau IA, menggunakan rumus :
𝑊
AI = 𝑊+𝑅 x 100% .........................................................................(2.16)
Dimana :
AI = Ketersedian alat (Availability Index)
W = Jumlah jam kerja alat (Working Hours)
R = Jumlah jam perbaikan (Repair Hours)
Working Hours adalah waktu yang dibebankan kepada seorang operator
suatu alat yang dalam kondisi tertentu dapat dioperasikan, tidak rusak.
Waktu ini meliputi pula tiap hambatan (delay time) yang ada, termasuk
dalam hambatan tersebut waktu pulang pergi ke lokasi kerja, pindah front
loading, pelumasan, pengisian bahan bakar, serta pengaruh keadaan cuaca,
karena keadaan cuaca sangat berpengaruh terhadap waktu yang digunakan.
Repair Hours adalah waktu untuk perbaikan dan waktu hilang saat
menunggu perbaikan termasuk juga waktu untuk penyediaan suku cadang
(spare part) serta waktu untuk perawatan (Partanto, 1996).
b. Physical Avaibility (PA)
Physical Avaibility (PA) merupakan catatan mengenai keadaan fisik alat
yang sedang dipergunakan. Dimana perhitungan menggunakan persamaan :
23
𝑊+𝑆
PA = 𝑊+𝑅+𝑆 x 100% ...........................................................................(2.17)
Dimana :
S = Standby hours atau jumlah jam suatu alat yang tidak
dapat dipergunakan, padahal alat tersebut tidak rusak
dan dalam keadaan beroperasi.
W + R + S = Schedule hours atau jumlah seluruh jam jalan dimana
alat dijadwalkan untuk beroperasi.
Harga PA pada umumnya selalu lebih besar daripada Availability Index (IA)
atau Mechanical Availability (MA). Tingkat efisien dari alat naik apabila
PA mendekati angka AI (Partanto, 1996).
c. Use of Availability (UA)
Use of Availability (UA) menunjukkan berapa persen waktu yang
diperlukan oleh suatu alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat
dipergunakan dan dimanfaatkan. Perhitungannya menggunakan persamaan :
W
UA = W+S x 100% ......................................................................(2.18)
Dimana :
UA = Jumlah jam kerja
W = Jumlah jam kerja (working hours)
S = Jumlah jam standby
Nilai angka use of availability biasanya dapat menunjukkan seberapa efektif
suatu alat yang tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini dapat menjadi ukuran
seberapa baik pengelolaan peralatan yang digunakan (Partanto, 1996).
d. Effective Utilization (EU)
Effective Utilization (EU) menunjukkan berapa persen dari seluruh waktu
kerja yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kerja produktif. Effective
Utilization sebenarnya sama dengan pengertian efisiensi kerja (Partanto,
1996). Perhitungan EU menggunakan persamaan:
W
EU = W+R+Sx 100% ...............................................................................(2.19)
Dimana :
W+R+S = Schedule Hours (jumlah jam kerja yang tersedia)
24
Berdasarkan buku Peimndahan Tanah Mekanis yang ditulis oleh Partanto (1993),
tahanan kemiringan dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini :
GR = W x Sin α ...............................................................................................(2.22)
Keterangan:
GR = Tahanan Kemiringan (lb)
W = Berat (lb)
α = Kemiringan (0)
Koefisien Traksi (CT) adalah faktor yang menunjukkan berapa bagian dari
seluruh kendaraan itu pada ban atau truck yang dapat dipakai untuk menarik atau
mendorong. Jika terdapat geseran yang cukup antara permukaan roda dengan
permukaan jalan, maka tenaga mesin tersebut data dijadikan tenaga traksi yang
maksimal. Besarnya CT menurut Peurifoy (1956) tergantung pada:
1. Kondisi ban yang meliputi: macam dan bentuk kembangannya; untuk crawler
truck tergantung pada keadaan dan bentuk truknya.
2. Kondisi permukaan jalan (basah, kering, keras, lunak, rata,bergelombang, dan
sebagainya)
3. Berat kendaran yang diterima oleh roda.
Rimpull yang dibutuhkan dihitung berdasarkan jumlah rimpull yang
diperlukan untuk mengatasi tahanan guling dan tahanan kemiringan. Koefisien
traksi ban karet dan permukaan jalan akan berubah-ubah terhadap jenis telapak
ban dan terhadap permukaan jalan. Untuk roda rantai, ia akan berubah-ubah
terhadap desain gerigi dan permukaan jalan. Jadi koefisien traksi dapat
didefinisikan sebagai faktor yang harus dikalikan dengan muatan total pada ban
atau roda rantai pengerak menentukan gaya traksi maksimum yang mungkin
antara ban atau roda rantai dan permukaan jalan sebelum terjadi selip (Peurifoy,
1956).
27
Keterangan:
FC = Fuel Consumption (liter/jam)
Total FC = Total konsumsi bahan bakar (liter)
Operating Hours = Jam kerja operasi (jam)
2.2.4 Konsumsi Bahan Bakar pada Mesin Kendaraan
Konsumsi bahan bakar merupakan fungsi dari tenaga (power) yang
dibutuhkan kendaraan untuk menggerakkan mesin. Hal tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: jarak angkut, kemiringan jalan, berat kendaraan,
kecepatan, tenaga yang dibutuhkan kendaraan untuk bergerak, percepatan
kendaraan, kualitas bahan bakar, tahanan gulir, tahanan aerodinamis, gesekan
antara ban dengan permukaan jalan, tekanan pemompaan ban, suhu dan cuaca,
cara mengemudi operator, dan perawatan kendaraan. Faktor berat dan kecepatan
kendaraan menjadi faktor penting yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar
karena menyebabkan timbulnya tahanan gulir dan tahanan aerodinamis. Untuk itu,
konsumsi bahan bakar menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan alat angkut
yang tepat karena pertimbangan ekonomi dan lingkungan (Banerjee, 2010).
Dalam industri pertambangan, alat angkut dipakai untuk mengangkut
material sepanjang puluhan sampai ratusan ribu kilometer setiap tahun sehingga
bahan bakar menjadi komponen utama yang berkontribusi besar pada biaya
operasi penambangan. Untuk memperkirakan besarnya konsumsi bahan bakar alat
angkut dapat menggunakan persamaan konsumsi bahan bakar (Banerjee, 2010)
dengan memasukkan nilai – nilai parameter yang diperoleh dari produsen
30
Keterangan :
Cd = Koefisien hambatan aerodinamis
ρυ = Density udara (kg/m3)
AF = Luas bagian depan kendaraan (m2)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
α = Sudut kemiringan jalan (0)
f = Koefisien gesekan ban dengan permukaan jalan
Crr = Koefisien tahanan gulir
r
BFa = Pa .......................................................................................................(2.32)
a
r
BFk = Pk ......................................................................................................(2.33)
k
P = ...........................................................................................(2.34)
Keterangan :
r = Laju konsumsi bahan bakar (gram/jam)
P = Tenaga yang dihasilkan mesin (kW)
∑R = Tahanan total (kg)
Fd = Rimpul (kg)
V = Kecepatan (km/jam)
i = Tahanan internal
n = Konstanta (375)
Berdasarkan rumus yang terdapat pada persamaan 2.25 hingga 2.34, dapat
diketahui bahwa rumus tersebut digunakan untuk menghitung masa konsumsi
bahan bakar (gram/jam) untuk setiap ritase alat angkut. Untuk memperoleh
konsumsi bahan bakar per jam alat angkut dilakukan dengan menggunakan nilai
konsumsi bahan bakar per ritase terhadap jumlah ritase per jam alat angkut.
Hasilnya dibagi dengan densitas bahan bakar, sehingga diperoleh konsumsi bahan
bakar per jam. (Lihat Persamaan 2.35)
60
mx
Ca
FC = ....................................................................................................(2.35)
FD
Keterangan :
FC = Fuel Consumption (Liter/jam)
32