Anda di halaman 1dari 30

5

2. Silalahi (2018) dalam skripsi Jurusan Teknik Pertambangan Universitas


Bangka Belitung yang berjudul Kajian Teknis Geometri Jalan Tambang
Front Penambangan 242 untuk Pencapaian Produktivitas Alat Angkut di PT
Semen Padang (Persero) Tbk. Produktivitas alat angkut pada area
penambangan 242 hanya mencapai 1208 ton/jam dan belum mencapai target
yaitu 1500 ton/jam. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi jalan
angkut berdasarkan standar AASHTO dan pengaruhnya terhadap
produktivitas alat angkut pada temporary road. Penelitian dilakukan dengan
pengambilan data geometri jalan sebanyak 11 segmen, data koordinat jalan
angkut menggunakan GPS Geodetik sebanyak 28 data dan diolah
menggunakan software surpac, serta data waktu tempuh alat angkut. Setelah
didapat geometri jalan tambang yang sesuai standar AASHTO maka dibuat
rancangan jalan angkut baru berdasarkan hasil evaluasi. Berdasarkan hasil
penelitian didapat waktu tempuh HD Komatsu 785-7 pada kondisi pada
mine road dengan kecepatan 15 km/jam adalah untuk tidak bermuatan 339,6
detik dan untuk bermuatan dengan kecepatan 15 km/jam adalah 408 detik
dan bila dibuat temporary road maka waktu tempuh untuk tidak bermuatan
dengan kecepatan 27 km/jam adalah 264,36 detik dan untuk yang bermuatan
dengan kecepatan 29 km/jam adalah 223.71 detik. Pada temporary road
produksi per jam yang didapat adalah 1518.688 ton/jam produksi tercapai
akibat dilakukan pembuatan temporary road yang sesuai dengan akidah
AASTHO dan juga dilakukan penambahan kecepatan guna mencapai
efesiensi kerja pengangkutan yang efektif.
3. Winarto (2009) dalam Skripsi Jurusan Teknik Pertambangan Institut
Teknologi Bandung yang berjudul Analisis Komsumsi Bahan Bakar HD
465 dan HD 785 di Pit Bukit Makmur pada lokasi kerja sebuku kalimantan
selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efisiensi penggunaan
bahan bakar dari 2 (dua) merk alat angkut yang berbeda. Penelitian ini
dilakukan dengan cara menganalisa penggunaan bahan bakar pada pada
jalan LP1-DP2 dengan jarak 1,8 km dan kemiringan maksimum 10% dan
LP2-DP2 dengan jarak 1,8 km dengan kemiringan maksimum 6% LP3-DP2
6

dengan jarak 1,4 km dengan kemiringan maksimum 5% dan LP4-DP3


dengan jarak 1,2 km dengan kemiringan maksimum 8%. Laju konsumsi
bahan bakar unit HD 465 dan HD 785 bertambah besar seiring bertambah
besarnya tahanan kemiringan pada HD 465 akan mengeluarkan bahan bakar
55 l/jam pada tahanan kemiringan 120 lbs/ton, 59 l/jam pada 160 lbs/ton, 62
l/jam pada 200 lbs/ton sedangkan pada HD 785 akan mengeluarkan 70 l/jam
pada 120 lbs/ton, 78 l/jam pada 160 lbs/ton, 82 l/jam pada 200 lbs/ton. HD
785 lebih efisien digunakan di jalan LP1-DP1 dan LP4-DP3 karena
memiliki nilai BSFC yang rendah dan Unit HD 465 efisein digunakan di
jalan LP2-DP2 dan LP3-DP2.
4. Zudiansyah (2015) dalam skripsi Jurusan Teknik Pertambangan Sekolah
Tinggi Teknologi Industri Padang. Penelitian yang berjudul Evaluasi
Kelayakan Jalan Tambang Kuari dari Front 1 ke Crusher 2 dan Moser 2
Bukit Karang Putih PT Semen Padang (Persero) Tbk. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengevaluasi geometri jalan tambang sesuai dengan
standar AASHTO. Penelitian ini menggunakan metode evaluasi yang
dikemukakan AASHTO Manual Rural Highway Design (1990) dengan
menggunakan 4 data primer yang terdiri dari lebar jalan angkut pada kondisi
jalur lurus, lebar tikungan jalan angkut, superelevasi, kemiringan jalan.
Proses pengambilan data menggunakan GPS Geodetik untuk mengambil
data koordinat yang terdapat elevasi lalu hasilnya akan di upload ke
software datamine, sedangkan untuk mengukur lebar digunakan alat ukur
meteran. Dalam penelitian ini lebar jalan yang disarankan untuk jalan lurus
adalah 23.3 m tetapi pada kondisi aktual terdapat 8 segmen yang harus
diperbaiki dengan lebar terendah pada segmen tersebut adalah 12.74 m,
sedangkan untuk lebar tikungan disarankan memiliki lebar 25.3 m dan
setiap segmen sudah sesuai dengan nilai tersebut. Untuk superelevasi tidak
dibutuhkan penambahan tinggi karena memiliki nilai -0.90 mm/m. Croslope
yang disarankan adalah 48 cm. Kemiringan jalan yang sesuai standar adalah
10% dan pada kondisi lapangan terdapat 2 segmen yang tidak sesuai dengan
nilai 12.96 % dan 15.19%.
7

2.1.2 Sejarah Perusahaan


PT Semen Padang merupakan pabrik semen tertua di Indonesia yang
didirikan pada tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische
Portland Cement (NV NIPCM). Alasan pendirian pabrik ini karena ditemukan
cadangan batugamping dan silika di Bukit Karang Putih dan Ngalau pada tahun
1906. Oleh seorang perwira Belanda berkebangsaan Jerman yang bernama Ir. Carl
Christoper Lau. Kedua jenis batu tersebut dibawa ke Belanda untuk diteliti
kemudian hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis bahan baku tersebut
dapat dijadikan bahan baku untuk membuat semen (PT Semen Padang, 2019).
Pabrik ini mulai memproduksi semen pada tahun 1913 dengan kapasitas
22.900 ton pertahun, dan angka produksi terbesar pernah mencapai 170.000 ton
pada tahun 1939. Ketika Jepang menguasai Indonesia tahun 1942-1945, pabrik
diambil alih dengan manajemen Asano Cement, Jepang. Kemudian pada tanggal
17 Agustus 1945, pabrik ini diambil alih oleh karyawan dan diserahkan kepada
pemerintah Republik Indonesia dengan nama Kilang Semen Indarung (PT Semen
Padang, 2019).
Pada Agresi Militer I tahun 1947, pabrik dikuasai kembali oleh Belanda dan
namanya diganti menjadi NV Padangs Portland Cement Maatschappij
(NVPPCM). Berdasarkan PP No.50 tanggal 5 Juli 1958, tentang penentuan
perusahaan perindustrian dan pertambangan milik Belanda dikenakan
nasionalisasi, maka NV Padangs Portland Cement Maatschappij (NVPPCM)
dinasionalisasikan dan selanjutnya ditangani oleh Badan Pengelola Perusahaan
Industri Tambang (BAPPIT) Pusat. Setelah tiga tahun dikelola BAPPIT Pusat,
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 135 tahun 1961 status perusahaan
diubah menjadi (Perusahaan Negara). Akhirnya pada tahun 1971 melalui
Peraturan Pemerintah No 7, menetapkan Semen Padang menjadi PT Semen
Padang dengan Akta Notaris 5 tanggal 4 Juli 1872. Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia No.5-326/MK.016/1995 (PT Semen
Padang, 2019).
Setelah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, pada tanggal 7 Januari
2013 ditetapkan sebagai hari lahir PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Perseroan
8

memiliki empat merk yang lekat di hati konsumen, yaitu Semen Gresik, Semen
Padang, Semen Tonasa dan Thang Long Cement. Perseroan menguasai pangsa
pasar domestik terbesar yang mencapai sekitar 44 %, menunjukkan keunggulan
reputasi yang mencerminkan kekuatan corporate dan brand image Perseroan. Saat
ini PT Semen Padang mempunyai lima pabrik produksi, yaitu pabrik produksi
Indarung I, II, III, IV, V, dan VI (PT Semen Padang, 2019).
2.1.3 Geologi Regional Daerah Penelitian
Batugamping tersusun oleh mineral kalsit (CaCO3), terjadi secara organik
rombakan dan kimia. Jenis organik rombakan berasal dari kumpulan endapan,
kerang atau siput, foraminifera, serta ganggang. Ada juga jenis yang lain, yaitu
terjadi dari pengendapan kalsium karbonat dalam kondisi iklim dan suasana
lingkungan tertentu, baik dalam air laut, tawar, ataupun endapan sinter kapur
(Kastowo, 1973). Peta Geologi Regional PT Semen Padang dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Peta Geologi Regional PT Semen Padang


Sumber: Departemen Tambang PT Semen Padang
Keterangan:
 Qal (Aluvium)
9

 Lanau, pasir, dan kerikil umumnya terdapat di dataran pantai.


 Qf (Kipas Aluvium)
 Kebayakan terdiri dari hasil rombakan andesit berasal dari gunung strato,
Qtau.
 Qtau (Aliran yang tak teruraikan)
 Lahar, konglomerat dan endapan aluvium yang lain.
 QTt (Tuf kristal yang telah mengeras)
 Terdapat di daerah selatan daerah yang dipetakan, pejal, & tersemen baik.
 Qtta (Andesit dan Tuf)
 Berselingan dan/atau andesit sebagai inklusi dalam tuf.
 Pl (Batugamping Jura)
 Batugamping, kompak putih sampai kelabu kebiruan, pejal dan berongga.
 Js (Batuan Sedimen Jura)
 Kuarsit, serpih, lanau, batusabak, dan lain-lain.
1. Stratigrafi

Gambar 2.2 Stratigrafi Daerah Bukit Karang Putih.


(Sumber: Departemen Tambang PT Semen Padang)
Berdasarkan hasil pemetaan geologi permukaan yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti terdahulu diketahui bahwa stratigrafi daerah Bukit Karang
Putih tersusun oleh litologi berurutan dari tua ke muda adalah batuan kersikan
anggota formasi kuantan dengan batugamping kristalin, berumur permokarbon.
10

Bukit Karang Putih berumur kala miosen tengah dan intrusi batuan beku. Di
sebelah selatan daerah Bukit Karang Putih berumur kala miosen akhir (Geologi
PT Semen Padang, 2018)
1. Struktur Geologi Bukit Karang Putih Bukit Karang Putih
Secara geografis terletak pada koordinat 100o24’31”BT-100o25’04” BT dan
00o57’47” LS-1o00’48” LS, dimana membujur dari arah utara ke selatan
dengan puncak tertinggi 554 m dan puncak terendah 400 m di atas permukaan
laut (Kastowo, 1973). Struktur geologi yang terdapat di area Bukit Karang
Putih PT Semen Padang berupa struktur patahan yang terdiri dari sesar naik
dan sesar geser. Sesar naik dengan arah umum barat laut-tenggara, sesar geser
berarah timur laut-barat daya dan hampir barat-timur atau hampir utara-selatan
dan kelurusan yang merupakan hasil pengaktifan kembali sesar – sesar yang
telah terbentuk sebelumnya sehingga terbentuk sesar-sesar dan kelurusan di
daerah ini menjadi sangat kompleks oleh tektonik yang aktif yang terjadi
berulang-ulang sampai saat ini (Kastowo, 1973).
Sesar Batang Idas, diantara sesar yang ada, sebelah timur Bukit Batu Putih,
memiliki bidang sesar yang arahnya N600E/710, netslip 600, N2080E dan rake
600. Sesar-sesar yang lain adalah:
1) Sesar Ngalau Baribuik berupa bidang sesar yang berarah N1720E/680,
net slip 680, N2180E, dan Rake 640. Sehingga disebut sebagai normal
fault.
2) Sesar Air Luhung
3) Sesar Batu Putih
4) Sesar Karang Putih
5) Sesar Lubuak Paraku
Struktur kekar yang berkembang meliputi gash fracture dan shear fracture
yang terdiri dari extension joint dan release joint. Kekar yang dijumpai pada
umumnya masih terbuka dan pada beberapa lokasi ada yang terisi oleh mineral
kalsit atau mineral ubahan lainnya.
11

2. Topografi dan Morfologi


Secara garis besar keadaan wilayah penambangan PT Semen Padang adalah
daerah perbukitan yang dilingkupi banyak pepohonan dan semak dimana
sebagian kecil digunakan masyarakat sebagai lahan pertanian dengan
ketinggian berkisar antara 225-720 meter diatas permukaan laut. Morfologi
Bukit Karang Putih terbagi dua unit morfologi, yaitu morfologi perbukitan
terjal dan morfologi lembah. Morfologi perbukitan terjal menempati bagian
utara tengah, timur dan selatan daerah penambangan. Mempunyai pegunungan
berarah barat-laut tenggara dan timur-barat. Mempunyai puncak yang landai ke
arah utara dan puncak yang terjal serta ber relief kasar ke arah selatan.
Morfologi ini berada pada ketinggian antara 262-525m di atas permukaan laut,
dan dibatasi oleh lereng yang terjal di bagian utara, barat, timur dan selatan
dengan sudut berkisar antara 45˚-75˚. Morfologi lembah terletak di bagian
barat dari penambangan, memanjang ke arah barat laut-tenggara, searah
dengan pegunungan perbukitan dan arah aliran sungai. Morfologi ini berada
pada ketinggian 250-400 mdpl (PT Semen Padang, 2018).
2.1.4 Iklim dan Curah Hujan
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (Anonim,
2018), pada umumnya Kota Padang beriklim tropis dengan suhu berkisar antara
23 °C–32 °C pada siang hari dan 22 °C–28 °C pada malam hari. Kelembaban
pada Kota Padang berkisar antara 78%–81%. Menurut data Bulan September
2016 petugas pemeriksaan curah hujan PT Semen Padang, curah hujan rata-rata
bulanan adalah 90 mm, rata-rata normal September (85%-115%) adalah 87-117
mm, dan curah hujan pada bulan tersebut adalah 456 mm (PT Semen Padang,
2018).
2.1.5 Sistem Penambangan
Kegiatan pada Departemen Pertambangan PT Semen Padang ialah
penambangan batugamping di Karang Putih dan penambangan batusilika untuk
memasok kebutuhan bahan produksi semen di PT Semen Padang. Metode
penambangan yang diterapkan adalah metode tambang terbuka quarry.
12

Adapun pekerjaan yang dilakukan di lapangan pada Departemen


Pertambangan PT Semen Padang adalah pemboran, peledakan, penambangan,
pengangkutan, pengolahan bahan tambang, pekerjaan pengiriman bahan tambang
ke pabrik dan reklamasi area bekas tambang (Departemen Tambang PT Semen
Padang, 2018).

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Jalan Tambang
Fungsi utama jalan angkut secara umum adalah untuk menunjang
kelancaran operasi penambangan terutama dalam kegiatan pengangkutan. Medan
berat yang mungkin terdapat di sepanjang rute jalan tambang harus diatasi dengan
mengubah rancangan jalan untuk meningkatkan aspek manfaat dan keselamatan
kerja. Geometri jalan angkut yang harus diperhatikan sama seperti jalan raya pada
umumnya, yaitu: lebar jalan angkut, jari-jari tikungan dan superelevasi,
kemiringan jalan, dan cross slope. Alat angkut atau truk-truk tambang umumnya
berdimensi lebih lebar, panjang dan lebih berat dibanding kendaraan angkut yang
bergerak di jalan raya. Oleh sebab itu, geometri jalan harus sesuai dengan dimensi
alat angkut yang digunakan agar alat angkut tersebut dapat bergerak leluasa pada
kecepatan normal dan aman (Waterman, 2010).
Menurut Sukirman (1999) fungsi utama jalan angkut tambang secara umum
adalah untuk menunjang kelancaran operasi penambangan terutama dalam
kegiatan pengangkutan. Jalan angkut tambang mempunyai karakteristik khusus
yang membedakan perlakuan terhadap penanganannya dari pada jalan transportasi
umum. Karakteristik tersebut yaitu:
a. Jalan tambang selalu dilewati oleh alat berat yang mempunyai crawler track
(roda rantai), sehingga tidak memungkinkan adanya pengaspalan.
b. Jalan tambang yang berada di area seam umumnya selalu mengalami
perubahan elevasi karena adanya aktivitas pengalian jejang.
c. Lebar jalan tambang harus diperhatikan sesuai dengan fungsi jalurnya,
khususnya untuk jalur ganda atau lebih. Hal ini agar tidak terjadinya gangguan
oleh karena sempitnya permukaan jalan.
13

Alat yang diperlukan untuk membuat jalan angkut tambang menurut


Sukirman (1999) diantaranya:
a. Bulldozer yang berfungsi antara lain untuk pembersihan lahan dan pembabatan,
perintisan badan jalan, potong-timbun, perataan dan lain sebagainya.
b. Alat garuk (roater atau ripper) untuk membantu pembabatan dan mengatasi
batuan yang agak keras.
c. Alat muat untuk memuat hasil galian tanah yang tidak baik diperlukan dan
membuangnya di lokasi penimbunan.
d. Motor grader untuk meratakan dan merawat jalan angkut.
e. Alat gilas (compactor) untuk memadatkan dan mempertinggi daya dukung
jalan.
2.2.1.1 Lebar Jalan Angkut
Menurut Suwandhi (2004) lebar jalan angkut pada tambang pada umumnya
dibuat untuk pemakaian jalur ganda dengan lalu lintas satu arah atau dua arah.
Dalam kenyataanya, semakin lebar jalan angkut maka akan semakin baik proses
pengangkutan dan lalu lintas pengangkutan akan semakin aman dan lancar. Akan
tetapi semakin lebar jalan angkut, biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan dan
perawatan juga akan semakin besar. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi agar
keduanya dapat berjalan optimal. Jalan angkut yang memiliki lebar yang sesuai
dengan lebar kendaraan diharapkan akan membuat lalu lintas pengangkutan lancar
dan aman. Namun, karena keterbatasan dan kesulitan yang muncul di lapangan,
maka lebar jalan minimum harus diperhitungan dengan cermat. Perhitungan lebar
jalan angkut yang lurus dan belok (tikungan) berbeda, karena pada posisi
membelok kendaraan akan membutuhkan ruang gerak yang lebih lebar (sudut
belok) akibat jejak ban depan dan belakang yang ditinggalkan di atas jalan
melebar. Disamping itu, perhitungan lebar jalan pun harus mempertimbangkan
jumlah lajur, yaitu lajur tunggal untuk jalan satu arah atau lajur ganda untuk jalan
dua arah maka penentuan lebar jalan tambang baik belok maupun lurus sangat
ditentukan oleh ukuran dari kendaraan yang melaluinya (Umar, 2008).
14

1) Lebar Jalan Angkut pada Kondisi Lurus.


Lebar jalan minimum pada jalan lurus dengan jalur ganda atau lebih menurut
AASHTO (American Association of State Highway and Transportation
Officials) manual rural highway design dinyatakan pada Persamaan 2.1
sebagai berikut.
Lmin  n.Wt + (n + 1) (0,5. Wt) .................................................................... (2.1)

Keterangan:
Lmin = lebar jalan angkut minimum (m)
N = jumlah jalur
Wt = lebar alat angkut (m)

Gambar 2.3 Lebar Jalan Angkut dalam Keadaan Lurus (Suwandhi, 2004).
2) Lebar Jalan Angkut pada Tikungan
Lebar jalan angkut pada tikungan selalu dibuat lebih besar dari pada jalan
lurus. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan lebar
alat angkut yang disebabkan oleh sudut yang dibentuk oleh roda depan
dengan badan truk saat melintasi tikungan (Suwandhi, 2004). Untuk jalur
ganda, lebar jalan minimum pada tikungan dihitung berdasarkan pada:
a) Lebar jejak roda
b) Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan
belakang pada saat membelok
c) Jarak antar alat angkut saat bersimpangan
d) Jarak jalan angkut terhadap tepi jalan
15

Perhitungan yang digunakan untuk menghitung lebar jalan angkut minimum


pada tikungan menurut standar AASHTO (1973) dapat dinyatakan dengan
Persamaan berikut ini :
W min  2 (U + Fa + Fb + Z) + Z ................................................................ (2.2)
C  Z  1/2(U + Fa + Fb) ............................................................................. (2.3)
Fa  Ad x sin α ......................................................................................... (2.4)
Fb  Ab x sin α ......................................................................................... (2.5)

Wb
R ......................................................................................... (2.6)
Sin 
Keterangan:
Wmin = lebar jalan pada belokan (m)
n = jumlah jalur
U = jejak antar roda (centre to centre tyre) (m)
Z = lebar bagian tepi jalan (m)
C = jarak antar kendaraan (m)
Ad = jarak as roda depan dengan bagian depan dump truck.(m)
Ab =ijarak as roda belakang dengan bagian belakang dump truck (m)
𝛼 = sudut penyimpangan (belok) roda depan (o)
R = jari-jari lintasan roda depan (m)
Wb = jarak antar poros roda depan dan belakang (m)

Gambar 2.4 Lebar Jalan Angkut pada Tikungan untuk 2 Jalur (Suwandhi, 2004).
16

Gambar 2.5 Sudut Penyimpangan Kendaraan (Suwandhi, 2004)


2.2.1.2 Jari-jari dan Superelevasi
Kemampuan alat angkut dump truck untuk melewati tikungan sangat
terbatas, maka dalam pembuatan tikungan harus memperhatikan besarnya jari-jari
tikungan jalan. Jenis dump truck masing-masing mempunyai jari-jari lintasan
jalan yang berbeda. Perbedaan ini dikarenakan sudut penyimpangan roda depan
pada setiap dump truck belum tentu sama. Semakin kecil sudut penyimpangan
roda depan maka jari-jari lintasan akan terbentuk semakin besar. Dengan semakin
besarnya jari-jari lintasan maka kemampuan truk untuk melintasi tikungan tajam
berkurang. Selain itu, jari-jari tikungan sangat tergantung dari kecepatan
kendaraan karena semakin tinggi kecepatan maka jari-jari tikungan yang dibuat
juga harus besar (Suwandhi, 2004). Untuk menentukan nilai Jari-jari tikungan
minimum, maka digunakan Persaman 2.7 sebagai berikut:
2 2
VR VR
R  Rmax 
127(e  f ) 127(emax  Fmax) ........................................................... (2.7)

Untuk V < 80 km/jam


f = -0,00065 x V + 0,192 .............................................................................(2.8)
Untuk V > 80 km/jam
f = -0,00125 x V + 0,24 ...............................................................................(2.9)
Keterangan:
R = Jari-jari tikungan (m)
VR = Kecepatan (km/jam)
e = Superelevasi
f = Gesekan roda (friction factor)
17

Hubungan jari-jari/lebar tikungan dengan kecepatan untuk e max = 10%


yang direncanakan dalam keadaan jalan datar terlihat pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Jari-jari Tikungan Minimum untuk Beberapa Kecepatan
Vr (km/jam) 120 100 90 80 60 50 40 30 20
R min (m) 600 370 280 210 113 77 48 27 13
( Sumber : Suwandhi, 2004)
Tabel 2.2 Angka Superelevasi yang Direkomendasikan
Jari-jari Kecepatan (mph)
tikungan (ft) 10 15 20 25 30 >35
50 0,04 0,04
100 0,04 0,04 0,04
150 0,04 0,04 0,04 0,05
Jari-jari Kecepatan (mph)
tikungan (ft) 10 15 20 25 30 >35
250 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05
300 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05 0,06
600 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05
1000 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04
(Sumber : Bina Marga, 1990)
Jari-jari tikungan jalan angkut juga harus memenuhi keselamatan kerja di
tambang atau memenuhi faktor keamanan yang dimaksud adalah jarak pandang
bagi pengemudi di tikungan, baik horizontal maupun vertikal terhadap kedudukan
suatu penghalang pada jalan tersebut yang diukur dari mata pengemudi. Hal lain
yang tidak bisa diabaikan dalam pembuatan tikungan adalah superelevasi (e),
yaitu kemiringan melintang jalan pada tikungan. Menurut Sukirman (1999:i74)
besarnya angka superelevasi dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.10
sebagai berikut:
V2
e f 
127 R ..................................................................................................(2.10)

Menurut Bina Marga (1990), nilai beda tinggi antara sisi dalam dan sisi luar
tikungan yang harus dibuat yaitu:
tg α = e ............................................................................................................(2.11)
18

a = W x Sin α ...................................................................................................(2.12)
Keterangan:
e = angka superelevasi
f = friction factor
V = kecepatan (km/jam)
R = jari-jari tikungan (m)
W = lebar jalan tikungan (m)
α = sudut antara sisi dalam dan luar tikungan (0)
a = beda tinggi sisi dalam dan luar tikungan (m)
Bina Marga (1990) menganjurkan superelevasi maksimum 10% untuk
kecepatan rencana >30 km/jam dan 8% untuk kecepatan rencana 30 km/jam,
sedangkan untuk jalan kota dapat dipergunakan superelevasi maksimum 6%.
Untuk mengatasi gaya sentrifugal yang bekerja pada alat angkut yang sedang
melewati tikungan jalan ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu pertama dengan
mengurangi kecepatan dan kedua adalah membuat kemiringan ke arah titik pusat
jari-jari tikungan, yaitu dengan membuat elevasi yang lebih rendah ke arah pusat
jari-jari tikungan dan membuat elevasi yang lebih tinggi ke arah terluar jari-jari
tikungan. Kemiringan ini berfungsi menjaga alat angkut tidak terguling saat
melewati tikungan dengan kecepatan tertentu.
Cara pertama sangat tidak efisien karena waktu hilang yang ditimbulkan
akan besar, oleh karena itu cara kedua dianggap lebih baik. Apabila suatu
kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap pada bidang datar atau miring dengan
lintasan berbentuk lengkung seperti lingkaran, maka pada kendaraan tersebut
bekerja gaya sentrifugal mendorong kendaraan secara radial keluar dari jalur
jalannya, berarah tegak lurus terhadap kecepatan. Dengan mempertimbangkan
kondisi seperti itu, maka perlu adanya gaya yang dapat mengimbangi gaya
tersebut sehingga terjadi suatu keseimbangan dengan mempertimbangkan sudut
maksimum (Sukirman, 1999). Sudut maksimum pada penyimpangan kendaraan
ditunjukkan pada Gambar 2.6 berikut:
19

Gambar 2.6 Sudut Maksimum Penyimpangan Kendaraan (Sukirman, 1999)


Keterangan:
β = sudut penimpangan roda (0)
W = jarak as roda belakang dan depan (m)
R = lebar tikungan (m)
2.2.1.3 Kemiringan Jalan Angkut
Kemiringan jalan angkut dapat berupa jalan menanjak ataupun jalan
menurun, yang disebabkan perbedaan ketinggian pada jalur jalan. Kemiringan
jalan dinyatakan dalam persen. Kemiringan 1% merupakan kemiringan
permukaan yang menanjak atau menurun secara vertikal dalam jarak horizontal
100 m (Peurifoy, 1956). Kemiringan jalan berhubungan langsung dengan
kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman pada jalan menurun maupun
dalam mengatasi tanjakan seperti pada Gambar 2.7 berikut :

B
ΔX
ΔH

A
C ΔH

Gambar 2.7 Perhitungan Kemiringan Jalan (Peurifoy, 1956).


Kemampuan dalam mengatasi tanjakan untuk setiap alat angkut tidak sama,
tergantung pada jenis alat angkut itu sendiri. Sudut kemiringan jalan biasanya
dinyatakan dalam persen, yaitu beda tinggi setiap seratus satuan panjang jarak
mendatar (Peurifoy, 1956). Kemiringan dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan 2.13 sebagai berikut:
20

h
Grade (%)  x 100 % ........................................................................... .(2.13)
x

Keterangan:
h : Beda tinggi antara dua titik segmen yang diukur (m)
x : Jarak datar antara dua titik segmen jalan diukur (m)
Menurut AASHTO (1973), kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui
dengan baik dan dikategorikan aman oleh alat angkut truck berkisar antara 8%-
10% yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.3 sebagai berikut :
Tabel 2.3 Hubungan Kecepatan dengan Kemiringan Maksimum
VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kemiringan max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
(Sumber : AASHTO,1973)
2.2.1.4 Cross Slope
Cross Slope adalah perbedaan ketinggian sisi jalan dengan bagian tengah
permukaan jalan. Pada umumnya jalan angkut mempunyai bentuk penampang
melintang cembung. Dibuat demikian dengan tujuan untuk memperlancar
penirisan. Apabila turun hujan atau sebab lain maka air yang ada di permukaan
jalan akan mengalir ke tepi jalan angkut, tidak berhenti atau mengumpul di
permukaan jalan. Hal ini penting karena air yang menggenang akan
membahayakan kendaraan yang lewat dan mempercepat kerusakan jalan
(Suwandhi, 2004).
Cross slope adalah sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan
terhadap bidang horizontal. Kemiringan melintang diperuntukkan terutama untuk
kebutuhan drainase jalan sehingga air yang jatuh di atas permukaan jalan cepat
dialirakan ke saluran-saluran pembuangan dengan cara membuat bagian tengah
jalan lebih tinggi daripada bagian tepi jalan. Dengan pembuatan cross slope ini,
maka pada saat terjadi hujan yang masuk ke badan jalan akan segera mengalir ke
tepi jalan angkut sehingga aliran air tidak terhenti dan berada terlalu lama di
badan jalan, karena selain mengakibatkan jalan angkut menjadi becek dan licin
akibat genangan air, juga membahayakan alat angkut yang melintas dan
21

mempercepat kerusakan pada jalan. Untuk jalan angkut yang baik memiliki cross
slope sebesar ¼ ipf – ½ ipf (Suwandhi, 2004).

Gambar 2.8 Penampang Melintang Cross Slope (Suwandhi, 2004).


Besarnya angka cross slope pada jalan angkut dinyatakan dalam
perbandingan jarak vertikal dan jarak horisontal. Jalan angkut yang baik menurut
Suwandhi (2004) memiliki cross slope 40 mm/m. Ini berarti setiap 1 meter jarak
mendatar terdapat beda tinggi sebesar 40 mm atau 4 cm. Pembuatan kemiringan
melintang (cross slope) ini berdasarkan lebar jalan pada kondisi lurus dan
dilakukan dengan cara membuat bagian tengah jalan lebih tinggi dari bagian tepi
jalan. Nilai beda tinggi cross slope dapat dihitung menggunakan persamaan 2.14
berikut:
Beda tinggi (cross slope) = ½ lebar jalan x 40 mm/m .....................................(2.14)
2.2.1.5 Kemampuan Alat Angkut Dalam Mengatasi Tanjakan
Menurut Prodjosumarto (1993), kemampuan suatu alat angkut dalam
mengatasi tanjakan sangat tergantung pada gaya tarik maksimum yang biasa
disediakan oleh mesin untuk menarik beban yang ada pada alat angkut tersebut.
Suatu gaya tarik maksimum yang biasa disediakan oleh mesin disebut dengan
rimpull. Rimpull merupakan suatu istilah yang hanya diterapkan pada peralatan
yang beroda ban (rubber tired equipment). Besar kecilnya rimpull tergantung
pada kecepatan atau gear yang di pakai. Untuk menghitung besarnya rimpull
dapat digunakan rumus di bawah ini :
22

375 ×𝐻𝑃 ×𝐸𝑀


RP =
𝑉 .........................................................................................(2.15)

Keterangan :
RP = Rimpul (kg atau lb)
HP = Daya mesin (kW)
V = Kecepatan truk (km/jam)
EM = Efesiensi Mesin (%)
Beberapa pengertian yang dapat menunjukkan keadaan alat-alat mekanis
dan efektifitas penggunaannya (Partanto, 1996:178) antara lain:
a. Availability Index (AI) atau Mechanical Availability (MA)
Availability Index adalah suatu cara untuk mengetahui kondisi mekanis yang
sesungguhnya dari alat yang sedang dipergunakan. Untuk menghitung MA
atau IA, menggunakan rumus :
𝑊
AI = 𝑊+𝑅 x 100% .........................................................................(2.16)

Dimana :
AI = Ketersedian alat (Availability Index)
W = Jumlah jam kerja alat (Working Hours)
R = Jumlah jam perbaikan (Repair Hours)
Working Hours adalah waktu yang dibebankan kepada seorang operator
suatu alat yang dalam kondisi tertentu dapat dioperasikan, tidak rusak.
Waktu ini meliputi pula tiap hambatan (delay time) yang ada, termasuk
dalam hambatan tersebut waktu pulang pergi ke lokasi kerja, pindah front
loading, pelumasan, pengisian bahan bakar, serta pengaruh keadaan cuaca,
karena keadaan cuaca sangat berpengaruh terhadap waktu yang digunakan.
Repair Hours adalah waktu untuk perbaikan dan waktu hilang saat
menunggu perbaikan termasuk juga waktu untuk penyediaan suku cadang
(spare part) serta waktu untuk perawatan (Partanto, 1996).
b. Physical Avaibility (PA)
Physical Avaibility (PA) merupakan catatan mengenai keadaan fisik alat
yang sedang dipergunakan. Dimana perhitungan menggunakan persamaan :
23

𝑊+𝑆
PA = 𝑊+𝑅+𝑆 x 100% ...........................................................................(2.17)

Dimana :
S = Standby hours atau jumlah jam suatu alat yang tidak
dapat dipergunakan, padahal alat tersebut tidak rusak
dan dalam keadaan beroperasi.
W + R + S = Schedule hours atau jumlah seluruh jam jalan dimana
alat dijadwalkan untuk beroperasi.
Harga PA pada umumnya selalu lebih besar daripada Availability Index (IA)
atau Mechanical Availability (MA). Tingkat efisien dari alat naik apabila
PA mendekati angka AI (Partanto, 1996).
c. Use of Availability (UA)
Use of Availability (UA) menunjukkan berapa persen waktu yang
diperlukan oleh suatu alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat
dipergunakan dan dimanfaatkan. Perhitungannya menggunakan persamaan :
W
UA = W+S x 100% ......................................................................(2.18)

Dimana :
UA = Jumlah jam kerja
W = Jumlah jam kerja (working hours)
S = Jumlah jam standby
Nilai angka use of availability biasanya dapat menunjukkan seberapa efektif
suatu alat yang tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini dapat menjadi ukuran
seberapa baik pengelolaan peralatan yang digunakan (Partanto, 1996).
d. Effective Utilization (EU)
Effective Utilization (EU) menunjukkan berapa persen dari seluruh waktu
kerja yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kerja produktif. Effective
Utilization sebenarnya sama dengan pengertian efisiensi kerja (Partanto,
1996). Perhitungan EU menggunakan persamaan:
W
EU = W+R+Sx 100% ...............................................................................(2.19)

Dimana :
W+R+S = Schedule Hours (jumlah jam kerja yang tersedia)
24

2.2.1.6 Daya Dukung Jalan Terhadap Beban


Daya dukung jalan adalah kemampuan jalan untuk menopang beban yang
ada di atasnya. Menentukan daya dukung tanah secara tepat hanya dapat
dilakukan oleh seorang ahli mekanika tanah yang berkualifikasi. Walaupun
demikian, informasi umum daya dukung tanah untuk berbagai jenis tanah telah
tersedia. Untuk keperluan pembuatan jalan angkut, daya dukung tanah harus
disesuaikan dengan jumlah beban yang didistribusikan melalui roda. Jika daya
dukung tanah dasar suatu jalan angkut lebih rendah dari jumlah beban yang
melintas di atasnya maka dapat dilakukan usaha-usaha antara lain pemadatan dan
penambahan lapisan di atas tanah dasar (Bina Marga, 1990).
Distribusi beban pada roda dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
jumlah ban, ukuran ban, tekanan dalam ban serta berat total kendaraan. Beban
pada roda untuk tiap kendaraan dapat diketahui berdasarkan spesifikasi dari
pabrik pembuatnya. Untuk roda ganda digunakan beban ekuivalen yang besarnya
20 % lebih tinggi dari beban roda tunggal (Bina Marga, 1990).
Dalam setiap perhitungan beban pada roda terbesar digunakan sebagai dasar
penentuan kesesuaian daya dukung tanah dengan beban yang melintas diatasnya.
0.9 ×𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑜𝑑𝑎 (𝑙𝑏)
Contact area (in2) = ........ .................(2.20)
𝑇𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛 (𝑝𝑠𝑖)

𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑟𝑜𝑑𝑎 (𝑙𝑏)


Beban yang diterima jalan = ............... ..................(2.21)
𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑐𝑡 𝑎𝑟𝑒𝑎 (𝑖𝑛2 )

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Bahan Bakar


Faktor yang mempengaruhi penggunaan bahan bakar dapat dibagi menjadi
dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: tipe dan
ukuran mesin, daya keluaran, jenis transmisi, rasio gigi (axle ratio), konstruksi
ban, berat kendaraan, dan bentuk aerodinamis kendaraan. Adapun faktor eksternal
meliputi: pengguna (operator) yang mempengaruhi penggunaan bahan bakar yaitu
pola mengemudi, panjang lintasan dan banyaknya waktu berhenti, teknik
mengemudi (akselerasi, kecepatan, perlambatan, dan jumlah ganti gigi),
perawatan mesin, penggunaan fitur aksesoris, muatan alat, kondisi jalan, dan
faktor cuaca (Wong, 2001).
25

Menurut Wong J. Y. dalam bukunya Theory of Ground Vehicle (2001), pada


kendaraan off road, konsumsi bahan bakar kendaraan tidak hanya bergantung
pada karakteristik mesin saja, tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik transmisi,
tahanan dalam (internal resistance) dari gigi yang beroperasi, drawbar pull
(rimpull), gaya-gaya penghambat eksternal, jarak angkut, dan kecepatan
pengoperasian.
2.2.2.1 Tahanan Kemiringan
Grade Resistance (GR) adalah besarnya gaya berat yang melawan atau
membantu gerak kendaraan karena kemiringan jalur jalan yang dilalui. Jika jalur
jalan itu naik disebut kemiringan positif, Tahanan Kemiringan atau Grade
Resistance (GR) akan melawan gerak kendaraan, tetapi sebaliknya, jika jalan itu
turun disebut kemiringan negatif, tahanan kemiringan akan membantu gerak
kendaraan, artinya mengurangi rimpull yang dibutuhkan (Wong, 2001). Tahanan
kemiringan itu tergantung dari dua faktor, yaitu:
1. Besarnya kemiringan yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kemiringan
1 % berarti jalur jalan itu naik atau turun 1 meter untuk tiap jarak 100 m
mendatar.
2. Berat Kendaraan itu sendiri dinyatakan dalam “gross” ton.
Biasanya tahanan kemiringan dihitung sebagai setiap kemiringan 1%
besarnya tahanan kemiringan rata-rata sama dengan 20 lbs dari besarnya kekuatan
tarik mesin yang digunakan untuk menggerakkan ban yang menyentuh permukaan
jalur jalan. Perlu diingat pula bahwa kemiringan negative itu selalu membantu
mengurangi rimpull kendaraan itu, maka dari itu sedapat mungkin harus
diusahakan pada saat alat itu mengangkut muatan jalur angkut dalam kondisi
menurun. Tetapi pada saat muatan kosong usahakan alat menggunakan jalur
mendaki (Wong, 2001).
Tabel 2.4 Grade Resistance
Kemiringan GR Kemiringan GR Kemiringan GR
(%) (lb/ton) (%) (lb/ton) (%) (lb/ton)
1 20 8 1592 15 296.6
2 40 9 179.2 20 392.3
3 60 10 199 25 485.2
4 80 11 218 30 574.7
26

5 100 12 238.4 35 660.6


6 119.8 13 257.8 40 742.8
7 139.8 14 277.4 45 820.8
(Sumber :Partanto Prodjosumarto, 1993)

Berdasarkan buku Peimndahan Tanah Mekanis yang ditulis oleh Partanto (1993),
tahanan kemiringan dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini :
GR = W x Sin α ...............................................................................................(2.22)
Keterangan:
GR = Tahanan Kemiringan (lb)
W = Berat (lb)
α = Kemiringan (0)
Koefisien Traksi (CT) adalah faktor yang menunjukkan berapa bagian dari
seluruh kendaraan itu pada ban atau truck yang dapat dipakai untuk menarik atau
mendorong. Jika terdapat geseran yang cukup antara permukaan roda dengan
permukaan jalan, maka tenaga mesin tersebut data dijadikan tenaga traksi yang
maksimal. Besarnya CT menurut Peurifoy (1956) tergantung pada:
1. Kondisi ban yang meliputi: macam dan bentuk kembangannya; untuk crawler
truck tergantung pada keadaan dan bentuk truknya.
2. Kondisi permukaan jalan (basah, kering, keras, lunak, rata,bergelombang, dan
sebagainya)
3. Berat kendaran yang diterima oleh roda.
Rimpull yang dibutuhkan dihitung berdasarkan jumlah rimpull yang
diperlukan untuk mengatasi tahanan guling dan tahanan kemiringan. Koefisien
traksi ban karet dan permukaan jalan akan berubah-ubah terhadap jenis telapak
ban dan terhadap permukaan jalan. Untuk roda rantai, ia akan berubah-ubah
terhadap desain gerigi dan permukaan jalan. Jadi koefisien traksi dapat
didefinisikan sebagai faktor yang harus dikalikan dengan muatan total pada ban
atau roda rantai pengerak menentukan gaya traksi maksimum yang mungkin
antara ban atau roda rantai dan permukaan jalan sebelum terjadi selip (Peurifoy,
1956).
27

Tabel 2.5 Macam-macam Koefisien Traksi Jalan Tambang


Macam Jalan Ban Karet Crawler
Jalan beton yang kasar
0.80 – 1.00 0.45
dan kering

Lempung kering 0.50 -0.70 0.90

Lempung basah 0.40 – 0.50 0.70

Pasir basah yang


0.30 – 0.40 0.35
bercampur kerikil

Pasir lepas dan kering 0.20 – 0.30 0.30


(Sumber :Nichois, 1976)
2.2.2.2 Tahanan Gulir
Kondisi dari jalan tambang berpengaruh terhadap penggunaan bahan bakar,
salah satu parameternya adalah tahanan gulir. Tahanan gulir (rolling resistance)
adalah seluruh gaya-gaya luar (external forces) yang berlawan dengan arah gerak
kendaraan yang berjalan di atas jalur jalan atau permukaan tanah. RR (rolling
resistance) tergantung pada kekerasan dan kemulusan permukaan jalan. Semakin
keras dan mulus permukaan jalan maka semakin kecil RR yang dihasilkan
(Nichois,1976).
Tabel 2.6 Angka Tahanan Gulir
RR (lb/ton)
No Kondisi jalan Tekanan Tekanan Rata-
ban tinggi ban rendah rata
1 Smooth concrate 35 45 40
2 Good aspalt 40 – 65 50 – 60 45 - 60
3 Hard earth, smooth, wellmantained 40 - 70 50 - 70 45 - 70
RR (lb/ton)
No Kondisi jalan Tekanan Tekanan Rata-
ban tinggi ban rendah rata
4 Dirt road, little mantained 90 - 100 80 - 100 85 - 100
5 Dirt, poorly mantained 100 - 140 70 - 100 85 -120
6 Earth, muddy, no mantained 180 - 220 150 - 220 165 -
210
7 Lose sand and gravel 260 - 290 220 - 260 240-275
(Sumber :Nichois,1976)
28

Tabel 2.7 Angka Tahanan Gulir dalam Persen


No Kondisi jalan RR (%)
1 Concrete, rough, dry 2
2 Compacted dirt and gravel, well maintened, litle tire 2
penetration
3 Dry dirt, fairly compacted, slight tire penetration 3
4 Firm, rutted dirt, tire penetration approximately 2" 5
5 Soft dirt fills, tire penetration approximately 4" 8
6 Loose sand and gravel 10
7 Deeply rutted dirt, spongly base, tire penetration 16
approximately 8"
( Sumber :Nichois,1976)
2.2.2.3 Tahanan Aerodinamis (Aerodinamic Resistance)
Tahanan aerodinamis pada suatu kendaraan disebabkan oleh dua hal yaitu,
pressure drag karena bentuk mobil dan gesekan pada permukaan mobil. Tahanan
aerodinamis, menurut Suganda (1971) dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:
Ra = ½ x Cd x ρυ x AF ................................................................................(2.23)
Keterangan:
Ra = Tahanan Aerodinamis (N)
Cd = Koefisien hambatan aerodinamis
Ρυ = Density udara (kg/m3)
AF = Luas bagian depan kendaraan (m2)
2.2.3 Klasifikasi Penggunaan Bahan Bakar Dump Truck
Alat angkut yang digunakan pada proses penambangan di PT Semen
Padang adalah dump truck. Dalam buku Komatsu Spesification and Aplication
Handbook (2016), untuk kategori pekerjaan yang dilakukan oleh alat angkut
menurut berdasarkan klasifikasi penggunaan bahan bakar dapat dibagi menjadi
tiga kelas, yaitu:
1. Rendah : rasio waktu muat dengan waktu daur tinggi, kondisi jalan
baik, dan efisiensi kerja dump truck rendah.
2. Menengah : rasio waktu muat dengan waktu daur sedang, kondisi &
kemiringan jalan normal, dan total resistance 2% - 10%.
29

3. Tinggi : rasio waktu perjalanan dengan waktu daur tinggi,


kemiringan tinggi & kondisi jalan normal, dan total
resistance lebih dari 10%.
Dalam Specification & Application Handbook KOBELCO edisi 27,
dijelaskan bahwa konsumsi bahan bakar (fuel consumption) adalah total
pemakaian bahan bakar untuk masing-masing alat muat dan alat angkut dalam
satu fleet yang ditunjukkan dalam volume (liter) per jam. Konsumsi bahan bakar
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐹𝐶
FC = 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐻𝑜𝑢𝑟𝑠 ................................................................................(2.24)

Keterangan:
FC = Fuel Consumption (liter/jam)
Total FC = Total konsumsi bahan bakar (liter)
Operating Hours = Jam kerja operasi (jam)
2.2.4 Konsumsi Bahan Bakar pada Mesin Kendaraan
Konsumsi bahan bakar merupakan fungsi dari tenaga (power) yang
dibutuhkan kendaraan untuk menggerakkan mesin. Hal tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: jarak angkut, kemiringan jalan, berat kendaraan,
kecepatan, tenaga yang dibutuhkan kendaraan untuk bergerak, percepatan
kendaraan, kualitas bahan bakar, tahanan gulir, tahanan aerodinamis, gesekan
antara ban dengan permukaan jalan, tekanan pemompaan ban, suhu dan cuaca,
cara mengemudi operator, dan perawatan kendaraan. Faktor berat dan kecepatan
kendaraan menjadi faktor penting yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar
karena menyebabkan timbulnya tahanan gulir dan tahanan aerodinamis. Untuk itu,
konsumsi bahan bakar menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan alat angkut
yang tepat karena pertimbangan ekonomi dan lingkungan (Banerjee, 2010).
Dalam industri pertambangan, alat angkut dipakai untuk mengangkut
material sepanjang puluhan sampai ratusan ribu kilometer setiap tahun sehingga
bahan bakar menjadi komponen utama yang berkontribusi besar pada biaya
operasi penambangan. Untuk memperkirakan besarnya konsumsi bahan bakar alat
angkut dapat menggunakan persamaan konsumsi bahan bakar (Banerjee, 2010)
dengan memasukkan nilai – nilai parameter yang diperoleh dari produsen
30

kendaraan (spesifikasi alat). Untuk menentukan besarnya konsumsi bahan bakar


(kg/jam), dapat dihitung dengan menggunakan turunan rumus fisika seperti yang
terdapat pada Persamaan 2.25.
m = ma + mk ................................................................................................(2.25)
Keterangan:
M = Massa konsumsi bahan bakar (kg/jam)
ma = Massa konsumsi bahan bakar dari loading point ke dumping point
mk = Massa konsumsi bahan bakar dari dumping point ke loading point
untuk memperoleh nilai ma dan mk dapat menggunakan persamaan berikut:
ma + mk = (Pa x BFa ) + (Pk x BFk) ...............................................................(2.26)
Pa = Va x (a x Va2) + (b x WI) ...........................................................(2.27)
Pk = Vk x (a x Vk2) + (c x We) ..........................................................(2.28)
Keterangan :
Pa = Tenaga yang dibutuhkan truk untuk mengangkut material dari loading
point ke dumping point (kW)
Pk = Tenaga yang dibutuhkan truk untuk mengangkut material dari dumping
point ke loading point (kW)
BFa = Brake Specific Fuel Consumption untuk loading point ke dumping
point (gram/kW.jam)
BFk = Brake Specific Fuel Consumption untuk dumping point ke loading point
(gram/kW.jam)
Va = Kecepatan angkut rata-rata dari loading point ke dumping point (m/s)
Vk = Kecepatan angkut rata-rata dari dumping point ke loading point (m/s)
a,b,c = Konstanta
Wa = Berat kendaraan bermuatan (kg)
Wk = Berat kendaraan kosong (kg)
untuk mencari nilai konstanta a,b,c dapat dilihat pada persamaan di bawah ini:
a = ½ x Cd x ρυ x AF .....................................................................................(2.29)
b = (g x Cos α x (f + Crr)) + (g x Sin α).........................................................(2.30)
c = (g x Cos α x (f + Crr)) - (g x Sin α)..........................................................(2.31)
31

Keterangan :
Cd = Koefisien hambatan aerodinamis
ρυ = Density udara (kg/m3)
AF = Luas bagian depan kendaraan (m2)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
α = Sudut kemiringan jalan (0)
f = Koefisien gesekan ban dengan permukaan jalan
Crr = Koefisien tahanan gulir
r
BFa = Pa .......................................................................................................(2.32)
a
r
BFk = Pk ......................................................................................................(2.33)
k

P = ...........................................................................................(2.34)

Keterangan :
r = Laju konsumsi bahan bakar (gram/jam)
P = Tenaga yang dihasilkan mesin (kW)
∑R = Tahanan total (kg)
Fd = Rimpul (kg)
V = Kecepatan (km/jam)
i = Tahanan internal
n = Konstanta (375)
Berdasarkan rumus yang terdapat pada persamaan 2.25 hingga 2.34, dapat
diketahui bahwa rumus tersebut digunakan untuk menghitung masa konsumsi
bahan bakar (gram/jam) untuk setiap ritase alat angkut. Untuk memperoleh
konsumsi bahan bakar per jam alat angkut dilakukan dengan menggunakan nilai
konsumsi bahan bakar per ritase terhadap jumlah ritase per jam alat angkut.
Hasilnya dibagi dengan densitas bahan bakar, sehingga diperoleh konsumsi bahan
bakar per jam. (Lihat Persamaan 2.35)
60
mx
Ca
FC = ....................................................................................................(2.35)
FD

Keterangan :
FC = Fuel Consumption (Liter/jam)
32

m = Masa konsumsi bahan bakar (kg/jam)


Ca = Cycle Time alat angkut (menit)
2.2.5 Spesifikasi Alat Angkut
Pada proses pengangkutan yang dilakukan di PT Semen Padang digunakan
alat angkut berupa dump truck. Adapun dump truck yang digunakan berupa
Komatsu HD785 dan Caterpillar 777D (PT Semen Padang, 2018).
1. Komatsu HD785

Gambar 2.9 Dumptruck Komatsu HD 785


(PT Semen Padang, 2018)

Gambar 2.10 Sketsa bagian-bagian dumptruck


(Komatsu Spesification and Aplication Handbook)
Dimensi :
- Panjang keseluruhan : 10,29 m
- Tinggi keseluruhan : 5,05 m
- Lebar keseluruhan : 5,48 m
33

Tabel 2.8 Spesifikasi Dumptruck Komatsu HD 785-7


No. Dumptruck Komatsu HD 785-7
1. Merk Komatsu
2. Type HD 785-7
3. Model Engine Komatsu-SAA12V140ZE-2
4. Standard Tire 27.00 R49
5. Fuel Tank 1308 ltr
7. Gross HorsePower 1200 hp
8. Type Transmission 7-speed, automatic powershift
9. Number of Gears 7
10. Max Speed 64.7 km/h
11. Empty Weight 70.490 kg
12. Loaded Weight 166.468 kg
13. Capacity 60 m3
14. Dimensions
- Overall Length 34.8 ft in 10616.2 mm
- Overal Width 18.6 ft in 5663 mm
- Overal Height 17.3 ft in 5257.8 mm
- Ground Clearance 2.6 ft in 780 mm
- Dump Height 33.4 ft in 10182 mm
- Dump Ground Clearance 2.5 ft in 776 mm
(Sumber: Komatsu Spesification and Aplication Handbook)
2. Caterpillar 777D

Gambar 2.11 Dumptruck Caterpillar 777D


(Caterpillar, 2019)
34

Gambar 2.12 Sketsa bagian-bagian dumptruck


(Caterpillar Spesification and Aplication Handbook)
Dimensi :
- Panjang keseluruhan : 9,78 m
- Tinggi keseluruhan : 5,10 m
- Lebar keseluruhan : 6,04 m
Tabel 2.9 Spesifikasi Dumptruck Caterpillar 777D
No. Dumptruck Caterpillar 777D
1. Merk Caterpillar
2. Type 777D
3. Model Engine Cat 3508B
4. Standard Tire 27.00-R49 (E4)
5. Fuel Tank 1137 ltr
7. Gross HorsePower 1000 hp
8. Type Transmission 7-speed, ECM Transmission
9. Number of Gears 7
10. Max Speed 63.7 km/h
11. Empty Weight 64.670 kg
12. Loaded Weight 163.360 kg
13. Capacity 60 m3
14. Dimensions
- Overall Length 32ft 1 in 9780 mm
- Overal Width 19 ft 10 in 6048 mm
- Overal Height 16 ft 10 in 5147 mm
- Ground Clearance 2 ft 4 in 700 mm
- Dump Height 33 ft in 10059 mm
- Dump Ground Clearance 3 ft 6 in 1062 mm
(Sumber : Caterpillar Spesification and Aplication Handbook)

Anda mungkin juga menyukai