Peraturan tertulis di inggris juga menentukan bahwa “the queen constitutes the
executive branch of government but cannot make law nor raise taxes except through an act
of parliament”. tetapi dalam praktik , hal tersebut berubah akibat adanya konvensi
sehingga menjadi beberapa norma, yaitu (a) the queen acts only on the advice of minister
;(b) the cabinet is collectively responsible to parliament for the conduct of the government
, (c) minister are individually responsible to parlement for the conduct of their department
; (d) legislation involving taxation and public expenditure can be introduce only by
minister; (e) executive powers are exercised through minister, who are collectively and
individually responsible to parlement.
Namun, setelah masa orde baru, pidato kenegaraan tersebut diubah menjadi pidato
kenegaraan didepan rapat paripurna DPR-RI, dan fungsinya dikaitkan dengan
penyampaian nota keuangan dalam rangka rancangan APBN oleh presiden kepada DPR-
RI,. Dengan demikian , fungsi pidato presiden berubah menjadi pidato yang bersifat lebih
teknis , dan bukan lagi sebagi pidato yang bersifat simbolik dan sekaligus kerakyatan
sehingga tepat disebut sebagai pidato kenegaraan yang diadakan khusus satu kali dalam
setiap tahun dalam rangka perayaan hari kemerdekaan.
“Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration
in the rules which regulate a government, whether they strictly legal or rules of custom
and convention”.
Banyak perubahan yang terjadi dalam rangka pelaksanaan undang-undang dasar tanpa
mengubah secara mutlak bunyi teks hukum ketentuan yang mengatur suatu pemerintahan,
melainkan terjadi begitu saja melalui kebiasaan dan konvensi (rules of custom and
convention). K.C. Wheare bahkan menguraikan lebih lanjut mengenai perubahan-
perubahan konstitusi yang dapat terjadi melalui: (i) perubahan hukum dalam arti strict,
yaitu perubahan melalui amandemen formal; (ii) perubahan melalui penafsiran yudisial
atas teks konstitusi, yaitu melalui proses peradilan tata negara (constitutional
adjudication); dan (iii) perubahan melalui kebiasaan dan konvensi. Artinya, konvensi juga
dapat dianggap sebagai salah satu metode perubahan konstitusi.
Secara umum, konvensi sering diartikan sebagai unwritten laws, tetapi kadang-kadang
dibedakan dan bahkan tidak dianggap sebagai hukum sama sekali. Di Inggris, unwritten
laws biasa diidentikkan dengan pengertian common law. Sering juga unwritten laws itu
sendiri diidentikkan pula dengan customs atau adat kebiasaan atau adat istiadat. Semua ini
berpotensi menimbulkan kebingungan atau customary laws yang tidak saja merupakan
hukum dalam pengertian mutlak (strict sense) tetapi juga memerlukan immemorial
antiquity untuk pemberlakuannya. Sementara itu, constitutional convention sama sekali
tidak membutuhkan immemorial antiquity semacam itu.
Perkataan convention sering digunakan oleh para ahli hukum tata negara atau
constitutional lawyers untuk menunjuk kepada pengertian rules of political practice atau
norma yang timbul dalam praktik politik yang juga dianggap berlaku mengikat oleh pihak-
pihak yang terkait dengannya, terutama oleh para penyelenggara negara. Namun, norma
praktik itu sendiri karena tidak didasarkan atas ketentuan yang bersifat tertulis, dianggap
tidak mengikat para hakim, jika kepada mereka diajukan perkara oleh pihak-pihak yang
berkepentingan yang menggugat atau melawan praktik-praktik politik yang tidak tertulis
itu. O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold berpendapat bahwa:
“The lack of judicial enforcement distinguishes conventions from laws in the strict
sense. This is an important formal distinction for the lawyer, though the politician may
not be so interested in the distinction”.
Untuk memahami lebih tepat mengenai konvensi itu, kita dapat pula
menghubungkannya dengan pengertian yang berlaku dalam sosiologi hukum dan
antropologi hukum. Dalam kaitannya dengan daya ikat norma, biasa dibedakan antara
pengertian: (i) cara (usages); (ii) kebiasaan (folkways); (iii) tata laku (mores); dan (iv) adat
istiadat (customs). Dalam konteks yang demikian, konvensi ketatanegaraan (the
conventions of the constitution) itu sendiri tidak lain adalah praktik-praktik ketatanegaraan
yang berisi salah satu dari keempat jenis norma, yaitu usages (cara), folkways (kebiasaan),
mores (pola kelakuan), atau customs (adat istiadat) tersebut, yang terangkum dalam istilah
constitutional usages, dan constitutional practices, serta constitutional customs atau
kebiasaan ketatanegaraan.
Di samping itu, menurut Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold, “It is also
useful to distinguish ‘conventions’ from such distinct, if allied concepts as ‘traditions’,
‘principles’ and ‘doctrines’”. Kegunaan konvensi dapat dilihat juga untuk memberikan
arti kepada tradisi, prinsip-prinsip, atau nilai-nilai. Misalnya, Sir John Donaldson
mengaitkan hubungan antara parlemen dan pengadilan dengan istilah konvensi, yaitu
dengan menyatakan:
“Although the United Kingdom has no written constitution, it is a constitutional
convention of the highest importance that the legislature and the judiciary are separate
and independent of one another, subject to certain ultimate rights of Parliament over
the judiciature”.
Independensi peradilan (the independence of the judiciary) dapat dipandang sebagai a
principle of the Constitution sejak 1668, yang tercermin dalam ketentuan undang-undang
(statutory provisions) yang berisi jaminan atas masa jabatan para hakim (judicial security
of tenure).
Konvensi itu sendiri, menurut Michael Allen dan Brian Thompson, dapat ditemukan
dalam semua undang-undang dasar yang dibentuk (established constitutions), termasuk
bahkan dalam konstitusi yang baru terbentuk sekalipun. Menurut kedua sarjana ini,
pentingnya konvensi itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak ada peraturan umum yang
bersifat self-applying, melainkan harus diterapkan menurut syarat-syarat aturan tambahan
tertentu (no general rules of law is self-applying, but must be applied according to the
terms of additional rules). Dikatakan lebih lanjut oleh Allen dan Thompson:
“These additional rules may be concerned with the interpretation of the general rule,
or with the exact circumstances in which it should apply, about wither of which
uncertainty may exist, and the greater the generality the greater will the uncertainty
tend to be. Many constitutions include a large number of additional legal rules to
clarify the meaning and application of their main provisions, but in a changing world
it is rarely possible to eradicate or prevent all doubts on these points by enactment or
even by adjudication. The result often is to leave a significant degree of discretion to
those exercising the rights or wielding the powers legally conferred, defined, or
permitted”.
Tidak ada peraturan, apalagi undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang
bersifat garis besar, yang secara mendetil menentukan cara norma-norma dasarnya
dilaksanakan dalam praktik. Selalu diperlukan peraturan pelaksanaan atau norma-norma
lain yang bersifat tidak tertulis yang memungkinkan peraturan yang bersangkutan
dijalankan sebaik-baiknya. Setiap tingkatan peraturan yang lebih rendah pada pokoknya
merupakan peraturan yang bersifat lebih rinci dalam rangka melaksanakan peraturan yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, pelaksanaan setiap peraturan umum, memerlukan penafsiran
yang mengelaborasikan atau merinci pengertian-pengertian normatifnya sehingga dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Proses penafsiran semacam itu dapat dilakukan, melalui pembentukan peraturan yang
lebih rendah, melalui proses peradilan yang akan menerapkan norma-norma hukum yang
bersifat umum itu dalam kasus-kasus perkara hukum yang konkret, ataupun melalui
konvensi ketatanegaraan tertentu. Hal yang terakhir ini sangat penting karena selain
melalui proses pembentukan peraturan yang lebih rendah dan mekanisme peradilan, dalam
praktik, selalu terdapat ruang yang sangat luas dan terbuka untuk munculnya significant
degree of discretion. Adanya ruang bagi discretionary power ini tentu saja di satu pihak
dapat dikatakan sangat berguna, tetapi di lain pihak dapat pula disalahgunakan oleh pihak
yang berkuasa, semata-mata untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri.