Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

ABSES HEPAR

Oleh :
 Novita Saragih
 Tiur Sinta Marito Simamora
 Nur Hasrat Zalukhu
 Krismenda Maretha
 Boscco Frengky

Pembimbing : dr. Gopas Simanjuntak, Sp.PD


dr. Krismawarni Gultom

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSU HKBP BALIGE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati.1
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP).2 AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan
kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.3,4
Abses hati banyak ditemukan di negara berkembang, terutama yang
tinggal di daerah tropis dan subtropis.5 Angka mortalitas abses hati masih tinggi
yaitu berkisar antara 10-40%.6 Insiden abses hati jarang, berkisar antara 15-20
kasus per 100.000 populasi dan tiga per empat kasus abses hati di negara maju
adalah abses hepar piogenik, sedangkan di negara yang sedang berkembang lebih
banyak ditemukan abses hati amebik.3 Untuk menegakkan diagnosis abses hati ini
selain pemeriksaan fisik dan gejala klinik dibutuhkan pemeriksaan penunjang
berupa laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
Laporan kasus ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penegakkan diagnosis,
dan penatalaksanaan dari abses hati.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hati


Hepar merupakan organ intra abdomen terbesar. Organ ini dibungkus
oleh jaringan ikat, dan terletak pada kuadran kanan atas, yaitu di daerah
hipokondriaka kanan sampai epigastrium. Permukaan atas hepar yang
cembung melengkung pada permukaan bawah kubah diafragma. Permukaan
postero-inferior atau permukaan visera membentuk cetakan visera yang
berdekatan dan oleh karena itu bentuknya tidak teratur, permukaan ini
berhubungan dengan pars abdominalis esophagus, lambung, duodenum,
fleksura colli dekstra, ginjal kanan,kelenjar suprarenalis dan kandung
empedu.7,8,9,10

Gambar 1. Anatomi Hepar

Hepar terdiri dari tiga lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri dan lobus
kaudatus. Lobus kanan dengan kiri dipisahkan oleh vena hepatika media.
Lobus kanan terdiri dari segmen anterior dan posterior yang dipisahkan oleh
vena hepatika kanan. Lobus kiri terletak di epigastrium dan hipokondrium
kiri, dan terdiri dari segmen medial dan lateral yang dipisahkan oleh vena
hepatika kiri, ligamentum teres dan fusiform. Lobus kaudatus merupakan
lobus terkecil, terletak di permukaan posterosuperior dan lobus kanan,
dipisahkan dari lobus kiri oleh ligamentum venosum.9,10
Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua sistem anatomi
segmental yang diperkenalkan oleh Bismuth-Couinaud pada tahun 1954,7
yang membagi hepar menjadi 8 segmen, berdasarkan vena porta dan vena
hepatika. Tiga cabang utama dari vena hepatika membagi hepar secara
vertikal dan oblik serta garis yang melewati percabangan vena porta kanan
dan kiri membagi hepar secara transversal. Segmen 1, menunjukkan lobus
kaudatus, karena vaskularisasi segmen ini pada posisi yang unik dan
mendapatkan perdarahan dari cabang utama dari vena porta dan dari cabang
kanan dan kiri. Terlebih lagi, drainase pada segmen 1 tidak masuk ke dalam
vena hepatika melainkan ke vena kava inferior. Lobus kanan dan kiri
dipisahkan oleh vena hepatika media dan vesika felea. Segmen posterior
lobus kanan mendapat suplai darah dari cabang posterior vena porta kanan.
Segmen anterior mendapat suplai darah dari cabang anterior vena porta
kanan. Bidang transversal membagi heparpada tingkat bifurkasio vena porta
menjadi cabang kanan kiri.Lobus kiri terbentuk mulai segmen 2 sampai 4.
Vena hepatika terletak di antara segmen. Vena hepatika sinistra membagi
lobus kiri hepar menjadi segmen lateral dan medial. Vena hepatika dekstra
membagi lobus kanan hepar menjadi segmen anterior dan posterior.9,10

Gambar 2. Lobus Hepar


Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua aliran darah, dimana 30
% nya disuplai oleh arteri hepatika dan 70 % dari vena porta. Arteri hepatika
membawa darah teroksigenasi ke hepar sedangkan vena porta membawa darah
venosa yang kaya akan hasil pencernaan yang telah diabsorbsi dari saluran cerna.
Arteri hepatika dan vena porta bercabang-cabang paralel satu sama lain. Darah
arteri dan vena vena masuk ke vena centralis dari setiap lobulus hepar melalui
sinusoid hepar. Vena centralis mengalirkan darah ke vena hepatika kanan kiri, dan
vena ini meninggalkan permukaan posterior hepar dan bermuara langsung ke
dalam vena cava inferior.11,12
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Fungsi utama hati
adalah pembentukkan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu
sebanyak 1 liter per hari ke dalam usus halus. Garam empedu, lesitin, dan
kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu, sisanya (10%)
adalah bilirubin, asam lemak dan garam empedu. Empedu yang dihasilkan ini
sangat berguna bagi percernaan terutama untuk menetralisir racun terutama obat-
obatan dan bahan bernitrogen seperti amonia. Bilirubin merupakan hasil akhir
metabolisme dan walaupun secara fisiologis tidak berperan aktif, tetapi penting
sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat
memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya.
Sirkulasi vena porta yang memberikan suplai darah 75% dari seluruh
asupan asinus memegang peranan penting dalam fisiologi hati, terutama dalam hal
metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Hasil metabolisme
monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati
(glikogenesis). Dari pasokan glikogen ini diubah menjadi glukosa secara spontan
ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa
dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah
menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau lemak (yang disimpan dalam
jaringan subkutan). Pada zona-zona hepatosit yang oksigenasinya lebih baik,
kemampuan glukoneogenesis dan sintesis glutation lebih baik dibandingkan zona
lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah mengasilkan protein
plasma berupa albumin, protrombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya.
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein dan
kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat.
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel kupffler yang
merupakan 15% massa hati dan 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan
sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar
tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.

2.2 Epidemiologi
Di negara-negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. Hampir 10% penduduk
dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10
yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di berbagai rumah sakit
di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.2,7
AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan
kondisi sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per
100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan dari
beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara
0,29-1,47% sedangkan prevalensi di rumah sakit antara 0,008-0,016%. AHP
lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia
berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.1

2.3 Etiologi
A. Abses Hati Amebik (AHA)
Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba hystolitica
yang tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis
mengeluarkan tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya
terjadi setelah meminum air atau memakan makanan yang terkontaminasi
kotoran yang mengandung tropozoit atau kista tersebut. Dinding kista akan
dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur. Tropozoit dewasa tinggal
di usus besar terutama sekum. Strain Entamoeba hystolitica tertentu dapat
menginvasi dinding kolon. Strain ini berbentuk tropozoit besar yang mana di
bawah mikroskop tampak menelan sel darah merah dan sel PMN. Pertahanan
tubuh penderita juga berperan dalam terjadinya amubiasis invasif.
B. Abses Hati Piogenik (AHP)
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium,
staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus,
actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi,
brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering
ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris,
Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob (contohnya
Streptococcus Milleri). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab
pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme
yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella,
Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi
sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta.
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik.
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi.
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan
dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau
pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6.
Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. 1,7,10,11

2.4 Patogenesis
A. Abses Hati Amebik (AHA)

Gambar 3. Patogenesis AHA

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik


melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung
pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah
penularan melalui seks oral ataupun anal. 11,12
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada
lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya
akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan
melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus.
Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine
protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar
keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang
masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah
melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik
yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses.
Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai
nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma
diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik.
Secara mikroskopik di bagian tengah didapatkan bahan nekrotik dan
fibrinous, sedangkan di perifer tampak bentuk ameboid dengan sitoplasma
bergranul serta inti kecil. Jaringan sekitarnya edematous dengan infiltrasi
limfosit dan proliferasi ringan sel kupffer dengan tidak ditemukan sel PMN.
Lesi amebiasis hati tidak disertai pembentukan jaringan parut karena tidak
terbentuknya jaringan fibrosis. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy
paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna. 2,8,12,13

B. Abses Hati Piogenik (AHP)


Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat
terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara
sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan
terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan
adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh
akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau
melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris
sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya
proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan
cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi
abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik.

Penetrasi akibat luka tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada


parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul
menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran
saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan
pus. Abses hati piogenik dilaporkan sebagai infeksi sekunder dari abses hati
amebic, hydatid cystic cavities, dan tumor hati. Selain itu dapat juga
disebabkan oleh proses transplantasi hati, embolisasi arteri hepatika pada
perawatan karsinoma hepatoseluler dan penghancuran benda asing dari dalam
tubuh. 1,10

2.5 Gambaran Klinis14,15


A. Abses Hati Amebik (AHA)
Anamnesis:
a. Demam.
b. Nyeri perut kanan atas, yang bertambah saat berubah posisi atau batuk.
Penderita lebih enak berbaring ke sebelah kiri. Kadang nyeri
epigastrium bila abses di lobus kiri dan dapat menjalar hingga bahu
kanan dan daerah skapula bila abses terletak dekat diafragma.
c. Anoreksia, nausea, vomitus.
d. Berat badan menurun.
e. Batuk.
f. Kadang terjadi cegukan (hiccup).

Pemeriksaan Fisik:
a. Ikterus.
b. Temperatur naik.
c. Malnutrisi.
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan.
e. Ludwig sign (+)
f. Fluktuasi

B. Abses Hati Piogenik (AHP)


Gambaran klinis AHP menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih
berat dari AHA. Dicuragai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis
klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam
tinggi merupakan keluhan paling utama. Apabila AHP letaknya dekat
digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada
bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis. Pasien mengeluh mual
dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang
unintentional, ikterus, BAB berwarna seperti kapur dan BAK berwarna gelap.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam tinggi, pada palpasi terdapat
hepatomegali serta perkusi terdapat nyer tekan hepar, yang diperberat dengan
adanya pergerakan abdomen, splenomegali didapatkan apabila AHP telah
menjadi kronik. Bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi
portal.

Tabel 1. Perbedaan Klinis Abses Hepar Piogenik dan Abses Hepar Amoebik
Abses hati piogenik Abses hati amoebik
Demografi Usia: 50-70 tahun Usia: 20-40 tahun
JK : laki-laki = perempuan JK: laki-laki>
perempuan (10:1)
Faktor risiko mayor Infeksi bakteri akut, Bepergian atau menetap di
khususnya daerah endemic ( pernah
intra abdominal Obstruksi bilier/manipulasi
Obstruksi bilier/manipulasi menetap)
Diabetes mellitus
Gejala Klinis Nyeri perut regio kuadran Akut: demam
kanan atas, demam, tinggi,menggigil,
menggigil, nyeri abdomen, sepsis
rigor, lemah, malaise, Sub akut: Penurunan berat
anoreksia, penurunan berat badan; demam dan nyeri
badan, diare, batuk, nyeri abdomen relatif jarang
dada pleuritik Khas:
Tak ada gejala kolonisasi
usus dan colitis
Tanda klinis Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut regio
tekan, massa abdomen, kanan atas bervariasi
ikterus
Laboratorium Lekositosis, anemia, Serologi amuba positif
peningkatan enzim-enzim (70%-95%)
hati (alkali fosfatase
melebihi aminotransferase),
peningkatan bilirubin,
hipoalbuminemia
Kultur darah positif (50%- Lekositosis bervariasi dan
60%) Anemia
Tidak ditemukan eosinofilia
Alkali fosfatase meningkat,
namun aminotransferase
biasanya normal
Cairan Aspirasi Purulen Konsistensi dan warna
Bervariasi
Tampak kuman pada Steril
pewarnaan gram
Kultur positif (80%) Tropozoit jarang ditemukan

2.6 Diagnosis
A. Abses Hati Amebik (AHA) 2,9
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis,
fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu
dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk
diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock
(1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid

B. Abses Hati Piogenik (AHP)


Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang
sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis
dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP,
demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif
menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini
menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. 1
2.7 Pemeriksaan Penunjang
A. Abses Hati Amebik (AHA)
Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan jumlah sel
polimorfonuklear sekitar 70-80%, peningkatan laju endah darah, anemia
ringan, peningkatan alkali fosfatase dan kadar bilirubin. Uji fungsi hati pada
umumnya normal. Feses dapat mengandung kista, pada disentri ditemukan
trofozoit hematofagus. Kista positif pada feses hanya ditemukan pada 10-40%
kasus.16
Foto dada menunjukkan hemidifragma kanan terangkat dengan
atelektasis atau pleural efusi. Pada pemeriksaan USG, biasanya dijumpai lesi
soliter,hipoekoik homogen dengan fine internal echo,bentuk bulat atau oval,
batas tegas, dengan lokasi lebih sering di perifer (subcapsuler).

A B
Gambar 4. (A)Tampak gambaran abses amoeba dengan internal echo disertai gambaran
hallo hipoekoik. (B) Tampak gambaran abses hepar amoeba dengan posterior acoustic
enhancement. (Diambil dari Ahuja.T.Anil.Piogenic Hepatic Abscess. Diagnostic Imaging
Ultrasound : 1.42-1.45).

Tak tampak adanya pembentukan gas. Kadang ditemukan adanya septa,


tetapi tak tampak adanya peningkatan vaskularisasi baik pada dinding
ataupun septa.Dapat pula ditemukan gambaran hallo yang hipoekoik maupun
posterior enhancement yang mild.19
Uji serologis dapat membantu menegakkan diagnosis abses hati
amoeba, antara lain IHA (indirect hemagglutination antibody), EIA (enzyme
immunoassay), IFA (indirect immunolfuoresent antibotic), LA (latex
agglutination), AGD (agar gel diffusion), dan CIE (counter
immunoelectrophoresis). Antibodi hemaglutinasi indirek terhadap Entamoeba
histolytica telah banyak digunakan dan meningkat pada 90% pasien.
Sensitivitas IHA pada keadaan akut 70-80%, sedangkan pada masa
konvalesen > 90%. Kekurangan IHA selain hasil tes diperoleh terlalu lama,
hasilnya juga tetap positif selama 20 tahun sehingga dapat memberi gambaran
penyakit infeksi sebelumnya dan bukan infeksi yang akut. Saat ini IHA telah
digantikan oleh EIA yang dapat mendeteksiantibodi E.histolytica baik IgG
maupun imunoglobulin total. Uji serologis ini relatif lebih sederhana, mudah
dilakukan, cepat, stabil dan murah harganya serta memiliki sensitivitas 99%
dan spesifisitas > 90%.16

B. Abses Hati Piogenik (AHP)


Pada pemeriksaan penunjang , leukositosis ditemukan pada 66% pasien,
sering disertai dengan anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju
endap darah. Kadar alkali fosfatase biasanya meningkat, hipoalbuminemia
dan kadar enzim transaminase yang sedikit meningkat.16,17
Foto polos dada dan abdomen memperlihatkan pembesaran hati,
kadangkala tampak air fluid level di dalam rongga abses dan diafragma kanan
biasanya terangkat. Hampir semua kasus abses hepar dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan. Kedua teknik pencitraan ini
dapat menentukan lokasi abses yang berukuran minimal 1 cm di parenkim
hepar. Ultrasonografi adalah metode pencitraan yang direkomendasikan
karena cepat, noninvasif, cost effective, dan dapat juga digunakan sebagai
pemandu aspirasi abses untuk diagnostik dan terapi. Ultrasonografi dan CT
scan juga dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi. Pemantauan
abses secara serial dengan ultrasonografi atau CT scan hanya dilakukan jika
pasien tidak memberi respons yang baik secara klinis.
Pada pemeriksaan USG tampak gambaran lesi dengan ukuran yang
bervariasi , dapat multiple maupun solitair. Biasanya bentuk bulat atau oval,
tepi regular kadang irregular, dinding tipis atau tebal. Ekogenesitas abses
piogenik dapat pula bervariasi , berupa lesi anekoik (50 %), hiperekoik
(25%), hipoekoik (25 %) , dapat dijumpai adanya fluid level atau debris,
internal septa dan posterior acoustic enhancement.18,19,20 Terbentuknya gas
pada lesi memberikan gambaran berupa lesi hiperekoik dengan posterior
artefak. Pada pemeriksaan color Doppler tampak peningkatan vaskuler
terutama pada dinding abses. Parenkim hepar yang berbatasan dengan abses,
dijumpai peningkatan vaskularisasi karena adanya proses inflamasi.19,20
Pemeriksaan biakan abses dapat menemukan bakteri patogen pada 86%
kasus, hasil biakan steril ditemukan pada 14% kasus. Bakteri aerob gram
negatif ditemukan tumbuh pada 70% kasus dan yang paling sering adalah
Escherichia coli. Pemeriksaan biakan darah memberikan hasil positif pada
57% kasus.21

2.8 Penatalaksanaan
A. Abses Hati Amebik (AHA) 2,12,14,17
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-
50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg
perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max.
99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya
lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya
tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-
anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan
dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak
ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis
yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel,
atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan
aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman
ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak
berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian
secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase
bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya
bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

B. Abses Hati Piogenik (AHP) 1,2,7,10


1. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan
endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
2. Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran
cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama
3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang
diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV.
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV.
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
3. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah
drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer.
4. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik,
aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-
abdomen yang memerlukan manajemen operasi.

2.9 Komplikasi
A. Abses Hati Amebik (AHA)
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim.
Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses
dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. 12,13,14
B. Abses Hati Piogenik (AHP)
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia,
empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau
retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi
rekurensi atau reaktifasi abses.1
2.10 Diagnosis Banding
1) Kista Hepar
Ditemukan pada hepar yang sehat dengan angka prevalensi sekitar 2-
7%. Sering ditemukan pada wanita kira – kira 40 % kasus dapat dijumpai
pada pasien dengan autosomal dominant polycysticdisease disertai multiple
kista hepar. Patognomonik pada kista hepar lesi yang terlokalisir atau
multipel kavitas disertai fluid level didalamnya dengan ukuran yang
bervariasi yang berbatas tegas dengan parenkim. Pada pemeriksaan USG
tampak gambaran anekoik, bentuk bulat yang ditandai dengan peningkatan
acoustic enhancement. 21,22

Gambar 5. Pada pemeriksaan USG tampak lesi anechoic , batas tegas, tepi regular dengan
posterior acoustic enhancement enhancemen. (Diambil dari Bates, Jane, Abdominal
Ultrasound, How,Why and When, 2 nd edition, Churchill.Livingstones 2004 : 80)
2) Metastasis Hepar
Kebanyakan tumor hepar berasal dari hematogen. Tumor
gastrointestinal bermetastasis ke hepar melalui vena porta dan tumor dari
tempat lain melalui arteri hepatika.Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan
lesi dengan berbagai tipe dapat berupa lesi dengan gambaran hiperekoik,
hipoechoik dan isoechoik Metastasis pada hepar cenderung solid, batas
tidak tegas.
A B
Gambar 6. (A). Tampak lesi anechoic, lobulated, batas tegas pada lobus kanan hepar yang
merupakan lesi sekunder karena penyebaran peritoneal karsinomaovarium.
(B) Tampak lesi anekoik, tepi irregular di daerah sekitar vena porta, pada penderita
dengan carcinoma colon. (Diambil dari Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why
and When, 2nd edition, Churchill Livingstones.2004: 84 )

Kadang dapat dijumpai lesi besar dengan nekrotik area didalamnya


disertai cairan. Dapat pula ditemukan adanya kalsifikasi didalamnya,
biasanya pada kasus- kasus metastasis setelah terapi kemoraterapi.23,24

3) Kista Echinococcus
Kista Echinococcus (Hydatid disease) disebabkan oleh parasit,
Echinococcus, yang sering ditemukan pada daerah endemik seperti Timur
Tengah. Cacing hidup di saluran cerna anjing yang terinfeksi yang
mengeluarkan telur cacing . Selain anjing, sapi atau domba dapat terinfeksi
oleh cacing ini, dan kemudian siklus ini sampai ke manusia. Parasit
menyebar melalui aliran darah menuju ke hepar yang menyebabkan reaksi
peradangan. Kista tumbuh biasanya sangat lambat dan asimptomatik .
Pada USG, kista ini biasanya memiliki dua lapisan dinding berupa
kapsul dengan dinding yang tebal, yang mungkin terpisah.22,23,24
Gambar 7. Pada pemeriksaan USG tampak multipel lesi anechoic, bersepta-septa yang
memberikan gambaran daughter cysts. (Diambil dari Bates, Jane, Abdominal Ultrasound,
How,Why and When, 2 nd edition, Churchill Livingstones.2004 : 82)
BAB III
CATATAN MEDIK PASIEN
No. Reg. RS : 25.95.01
Nama Lengkap : RMN
Tanggal Lahir : 17 Nov 1974 Umur : 43tahun Jenis Kelamin : Pria
Alamat : Balige No. Telp : 081361045583
Pekerjaan : Wiraswasta Status : Menikah
Pendidikan : Suku : Batak Agama : Kristen Protestan

Dokter Muda : Novita Saragih


Tiur Sinta Simamora
Krismenda Maretha
Nur Hasrat Zalukhu
Boscco Frengky
Dokter : dr. Yunita Tampubolon, Sp.PD
Tgl Masuk : 26 April 2017

ANAMNESIS
Autoanamnesis Heteroanamnesis
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama : Nyeri Perut Kanan Atas
Deskripsi :
Nyeri perut kanan atas dialami sudah 1 hari, nyeri
dirasakan memberat bila batuk dan bergerak, dirasakan
seperti tertusuk-tusuk. 2 hari sebelumnya pasien mengaku
mengalami demam yang tidak menentu.Pasien juga mengaku
mual muntah serta nafsu makan menurun. Mual muntah
dirasakan lebih dari 3x/hari. Sebelumnya pasien mengaku
mencret dengan BAB berlendir ( air > ampas ) kurang lebih
seminggu yang lalu dan berobat ke bidan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tempat Pengobatan dan
Tanggal Penyakit
Perawatan Operasi
- Hipertensi - Tidak Terkontrol
- - - -

RIWAYAT KELUARGA
Laki-laki Perempuan
X Meninggal (sebutkan sebab meninggal dan umur saat meninggal)

RIWAYAT PRIBADI
Riwayt Alergi Riwayat Imunisasi
Tahun Bahan/Obat Gejala Tahun Jenis Imunisasi
- - - - -

Hobi :-
Olah Raga : jarang berolahraga
Kebiasaan Makanan : OS sering membeli makanan dari luar dan sering
mengkonsumsi daging
Merokok : 2 bungkus/hari
Minum Alkohol : Os sering meminum tuak 2 gelas/hari
Hubungan Seks : tidak ditanyakan
ANAMNESIS UMUM (Review of System)
Berilah Tanda Bila Abnormal dan Berikan Deskripsi
Umum : Lemas Abdomen : nyeri tekan kanan atas
Kulit : tidak ada keluhan Ginekologi : tidak ada keluhan
Kepala dan Leher : tidak ada keluhan Alat Kelamin : tidak ada keluhan
Mata : ikterik Ginjal dan Saluran Kemih : tidak ada
keluhan
Telinga : tidak ada keluhan Hematologi : tidak ada keluhan
Hidung : tidak ada keluhan Endtokrin/Metabolik : tidak ada keluhan
Mulut dan Tenggorokkan : tidak ada Muskuloskeletal : tidak ada keluhan
keluhan
Pernafasan : tidak ada keluhan System Saraf : tidak ada keluhan
Payudara : tidak ada keluhan Emosi : tidak ada keluhan
Jantung : tidak ada keluhan Vaskuler : tidak ada keluhan

DESKRIPSI UMUM
Kesan Sakit : Ringan Sedang Berat
Gizi :
BB : 60 Kg Tinggi Badan : 160 cm IMT : 23 kg/m2 Kesan : normo weight
TANDA VITAL
Kesadaran Compos Mentis Deskripsi : sadar penuh
Nadi Frequensi..76 x/i Reguler t/v cukup
Tekanan Berbaring : Duduk :
Darah Lengan Kanan 120/80 mmHg Lengan Kiri 120/80 mmHg
Temperatur Aksila : 37 oC
Pernafasan Frequensi : 16 x/i Deskripsi : reguler

KULIT : Dalam batas normal


KEPALA DAN LEHER : Rambut dalam batas normal
TVJ R – 2 cmH2O Trakea medial Pembesaran KGB (-) Struma (-)
TELINGA : Meatus aurikula externus, tidak diperiksa
HIDUNG : dalam batas normal
RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN : dalam batas normal
MATA
Konjungtiva palp. inf. Pucat (-/-) Sclera ikterik (+)
RC +/+ Pupil isokor ki = ka, Ø 3 mm
TORAKS
Depan Belakang
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi SF : Kanan dan kiri sama kuat SF : Kanan dan kiri sama kuat
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi SP : Vesikuler SP : Vesikuler
ST : - ST : -

JANTUNG :
Batas Jantung Relatif : Atas : ICS 2 Linea Clavicula Sinistra
Kanan : ICS 4 Linea Parasternalis Dextra
Kiri : ICS 5 Linea Midclavicularis Sinistra 1cm Medial
Jantung : HR : 76 x/i reguler M1>M2, A2>A1, P2>P1, A2>P2, Desah (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, Nyeri Tekan (+) pada hipokondrium kanan atas
Perkusi : Timfani, pekak hati (+) pekak beralih (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal, double sound (-)

EXTREMITAS : dalam batas normal


Superior : Oedem -/-
Inferior : Oedem -/-
ALAT KELAMIN
Tidak diperiksa
REKTUM : Tidak diperiksa
NEUROLOGI : Kekuatan otot tangan dan kaki sama kuat
BICARA
Os sangat kooperatif
PEMERIKSAAN LAB
Darah Rutin : Hb: 12,8 g/dl; Leukosit : 17.900/mm; Ht : 38,4 %, Trombosit:
210.000 /mm
MCV : 93,9 fL; MCH : 31,3 fL; MCHC : 33,3 g/dl
KGD adrandom ......138 mg/dl
EKG

Diagnosa Banding :
1. Abses Hepar
2. Kolesititis Akut
USG
Diagnosa Sementara :
Abses Hepar

RESUME DATA DASAR


Nama Pasien : Ranto Marulac Napitupulu No. RM : 25.95.01

1. Keluhan Utama : Nyeri Perut Kanan Atas

2. Anamnesa :
Nyeri perut kanan atas dialami sudah 1 hari, nyeri dirasakan memberat bila batuk
dan bergerak, dirasakan seperti tertusuk-tusuk. 2 hari sebelumnya pasien mengaku
mengalami demam yang tidak menentu.Pasien juga mengaku mual muntah serta
nafsu makan menurun. Mual muntah dirasakan lebih dari 3x/hari. Sebelumnya
pasien mengaku mencret dengan BAB berlendir ( air > ampas ) kurang lebih
seminggu yang lalu dan berobat ke bidan.
Pemeriksaan Penunjang :
Darah Rutin : Hb: 12,8 g/dl; Leukosit : 17.900/mm; Ht : 38,4 %, Trombosit:
210.000 /mm
MCV : 93,9 fL; MCH : 31,3 fL; MCHC : 33,3 g/dl
KGD adrandom ......138 mg/dl

3. Diagnosa Banding :
 Abses Hepar
 Kolesititis Akut
RENCANA AWAL
Nama Penderita : Ranto Marulac Napitupulu No. RM : 25.95.01
No Masalah Rencana Recana Terapi Rencana Rencana Edukasi
Diagnosa Monitoring
1. Nyeti Abses  IVFD RL 20 gtt/I  Vital sign  Bed rest
Perut Hepar  IVFD Metronidazol 500  EKG  Kontrol tekanan
Kanan DD : mg/8 jam  USG darah
Atas Kolestitis  Inj. Cefotaxime 1 amp/12  Pemeriksaan  Pemberian terapi
jam (skintest) Darah Rutin melalui parenteral
 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam  Pemeriksaan maupun oral
 Inj.Ondansentron 1 amp/8 KGD
jam
 Inj.Ketrolac 1 amp/12 jam
 Sistenol 3x1

Tanggal S O A P
27/04/2017 Os mengeluhkan TD : 120/80 Abses Therapy Diagnostic
Nyeri Perut mmHg Hepar  IVFD RL 20 gtt/i Pemeriksaan Laboratorium :
Kanan SpO2 : 98%  Inj. Ranitidin 1 Darah rutin :
HR : 83 x/i amp/12jam Hb : 12,8 g/dl; Leukosit :
RR : 16 x/i  Inj. Ondasentron 1 17.900/mm; Ht : 38,48 %,
T : 37oC amp/12jam Trombosit : 210.000 /mm

 Inj. Cefotaxime 1 MCV : 93,9 fL; MCH :

gr/12 jam 31,3 fL; MCHC : 33,3 g/dl

 Inj.Ketrolac 1 KGD adrandom 138 mg/dl

amp/12 jam
 Sistenol 3x1
 IVFD
Metronidazol 500
mg/8 jam
28/04/2017 OS merasa nyeri TD :110/80 Abses  IVFD RL 20 gtt/I PAPS
perut kanan atas mmHg Hepar  Inj. Ranitidin 1
SpO2 : 93% amp/12jam
HR : 78x/i  Inj. Cefotaxime 1
RR : 17x/i gr/12 jam
o
T : 37 C  Inj.Ketrolac 1
amp/12 jam
 IVFD
Metronidazol 500
mg/8 jam
 Sucralfat syr 3x1
 Sistenol 1x1

DAFTAR MASALAH

Nama Penderita : Ranto Marulac Napitupulu No. RM : 25.95.01

No Tanggal Masalah
Masalah
. Ditemukan
Selesai/tanggal Terkontrol/tanggal Tetap

1 26 April 2017 Nyeri Perut 28 April 2017 1 Mei 2017

Kesimpulan dan Prognosis


Prognosis :
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad Functionam : dubia ad bonam
- Ad Sanactionam : dubia ad bonam

VERIFIKASI Dokter Ruangan Chief of Ward Sie Pendidikan


BAB IV
ANALISA MASALAH

No Temuan Teori
1. Nama : Tn. RMN Usia yang sering dikenai abses hepar
Usia : 43 tahun berkisar antara 20-50 tahun terutama

Pekerjaan : Wiraswasta dewasa muda dan lebih jarang pada


anak. Insiden abses hepar lebih tinggi
pada laki-laki daripada perempuan. 2,7
2. Gejala Klinis : Gejala yang paling sering
1. Nyeri perut kanan atas muncuL adalah

2. Nyeri bertambah berat saat a. Demam.

batuk atau bergerak b. Nyeri perut kanan atas,

3. Mual muntah yang bertambah saat

4. Demam berubah posisi atau batuk.

5. Ikterik c. Anoreksia, nausea,


vomitus.
d. Ikterik14,15

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah menunjukkan


 - Darah Rutin ( Hb, Trombosit, leukositosis, peningkatan laju
 Leukosit, Hematokrit, MCV, MCHC, endah darah, anemia ringan,
MCH ) peningkatan alkali fosfatase dan
 -USG kadar bilirubin.

 -KGD Uji fungsi hati pada umumnya

 -EKG normal. Foto dada menunjukkan


hemidifragma kanan terangkat
dengan atelektasis atau pleural
efusi.
Pada pemeriksaan USG, biasanya
dijumpai lesi soliter,hipoekoik
homogen dengan fine internal
echo,bentuk bulat atau oval, batas
tegas, dengan lokasi lebih sering di
perifer (subcapsuler). 2,7,12
3 Pengobatan : Pengobatan Umum pada abses
 IVFD RL 20 gtt/i hepar ialah obati sign and symptom
 IVFD Metronidazol 500 mg/8 jam serta berikan antibiotik. 2,14,
 Inj. Ranitidin 1 amp/12jam
 Inj. Ondasentron 1 amp/12jam
 Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam
 Inj.Ketrolac 1 amp/12 jam
 Sistenol 3x1
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada


pasien ini dapat disimpulkan pasien menderita penyakit abses hati. Abses hati adalah bentuk
infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis
steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi
atau sel darah didalam parenkim hati. Terdapat dua jenis abses hati berdasarkan jenis
penyebabnya, yaitu abses hati piogenik dan abses hati amoebik.
Abses hati piogenik pada umumnya disebabkan oleh bakteri aerob gram negatif dan
anaerob, yang tersering adalah bakteri yang berasal dari flora normal usus seperti Escherichia
coli, Klebsiella pneumonia,Bacteriodes, enterokokus, streptokokus anaerob, dan streptokokus
mikroaerofilik. Gambaran klasik abses hati piogenik adalah nyeri perut terutama kuadran
kanan atas, demam yang naik turun disertai menggigil, penurunan berat badan, muntah,
ikterus dan nyeri dada saat batuk. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis sering
disertai dengan anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah.
Abses hati amoebik disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Insiden abses hati
amoebik dipengaruhi oleh keadaan nutrisi, hygiene individu yang buruk, dan kepadatan
penduduk. Pasien dapat merasakan gejala sejak beberapa hari hingga beberapa minggu
sebelumnya. Nyeri perut kanan atas merupakan keluhan yang menonjol, pasien tampak sakit
berat, dan demam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dull JS, Topa L, Balgha V, Pap A. Non-surgical Treatment of Biliary Liver Abscesses
: Efficacy of Endoscopic Drainage and Local Antibiotic Lavage with Nasobiliary
Catheter. Gastrointest Endosc. 1999 ; 51:55-9.
2. Chu KM, Fan ST, Lai ECS, Lo CM, Wong J. Pyogenic Liver Abscess. Arch Surg.
1996; 131 : 148-52.
3. Ong E, Espat NJ, Helton WS. Hepatic Abscess. Curr Treatment Opt Infect Dis. 2003 ;
5:393-406.
4. Ahsan T, Jehngir MU, Mahmood T, Ahmed N, Saleem M, Shahid M. Amoebic
Versus Pyogenic Liver Abscess. JPMA. 2002; 52:497-501.
5. Mishra K, Basu S, Roychoudhury S, Kumar P. Liver Abscess in Children:an
Overview. World J Pediatr. 2010;6(3):210-6.
6. Stain SC, Yellin AE, Donovan AJ, Brien HW. Pyogenic Liver Abscess Modern
Treatment. Arch Surg. 1991;126:991-6.
7. Halvorsen RA, Foster WL, Wilkinson RH, Silverman PM, Thompson WM. Hepatic
Abcess : Sensitivity of Imaging Test and Clinical Findings. Gastrointest Radiol.
1988;13(2):135-41.
8. Wagener O.Whole Body Computed Tomography. 2 nd edition. Hamburg.
Germany.July 1992.244-75.
9. Grainger RG,Alison DJ, adam.A, Dixon AK..Diagnostic Radiology A Texbook of
Medical Imaging. 4 th edition. Churchill Livingstone .2003 :1237–72.
10. Sutton D.Texbook of Radiology and Imaging Vol.2.Churchill Livingstone. 2003 :
737-86.
11. Haaga JR,Lanzieri G, Gilkeson RC. CT and MRI of the Whole Body. Volume 2. 4 th

edition. Missouri Mosby, 2003:1318 – 37.


12. Knollmann F, Coakley FV.Multislice CT : Principles and rotocols.Saunders
Elsever.Philadelphia. 2006 : 123 – 47.
13. Sudoyo, Aru. W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
14. Brook I, Fraizer EH. Role of Anaerobic Bacteria Inliver Abscess in Children. Pediatr
Infect Dis J 1993;12:743-6.
15. Prianti Y, Bisanto J, Firman K. Abses Hati Pada Anak. Sari Pediatri, vol 7 No 1. Juni
2005 ; 50-6.
16. Kelly DA,. Diseases of The Liver and Biliary System in Children. London: Blackwell
Science, 1999 ; 65-76.
17. Perez JAP, Gonzalez JJ, Baldonedo RF, Sanz L, Carreiio G, Junco A, et al. Clinical
course, treatment, and multivariate analysis of risk factors for pyogenic liver abscess.
Am J Surg 2001;181:177-86.
18. Allan P, Baxter G, Weston M. Clinical Ultrasound. Third Edition. Churchill
Livingstone Elsevier. 2011; 120-66.
19. Walls P, Barnes P, Radin D R, Colleti P, Halls J. Sonographic Features of Amebic
and Pyogenic Liver Abcesses : A Blinded Comparison. AJR. 1987 ; 149 : 499-501.
20. Bugti Q, Baloch M, Wadood A, Mulghani A, Azem B, Ahmed J. Pyogenic Liver
Abscess : Demographic, Clinical, Radiological and BacteriologicalCharacteristics and
Management Strategies. Gomal Journal of Medical Sciences vol 3 no 1. 2005 ; 10-4.
21. Cosme A, Ojeda E, Zamarreno I, Bujanda L, Garmendia G, Benavente J, et al.
Pyogenic versus Amoebic liver abscesses. A comparative clinical study in a series of
58 patients. Rev Esp Enfem Dig vol 102. 2010 ; 90-9.
22. Mc Kaigney C. Hepatic Abscess : Case Report and Review. Western Journal of
Emergency Medicine. Volume XIV no 2. 2013 ; 154-7.
23. Gupta M, Kesarwala H, Gaur S. Amebic liver abscess in a child. Clin Pediatr 1996;
3:155-6.
24. Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why and When, 2 nd edition, Churchill
Livingstones. 2004.

Anda mungkin juga menyukai