Anda di halaman 1dari 22

A.

Latar belakang
Sekian banyak dari pemikiran Muslim, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian
dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban
yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari pemikiran itu adalah tokoh yang
bernama Fazlur Rahman, Arkoun, al-Faruqi, Naquib al-Attas, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid. Pada
periode klasik peradaban islam sangat maju, dilihat dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, artitekstur yg ada pada
masa itu sangat maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita tentang ilmu pengetahuan, kebudayaan.Bisa di
katakan pada masa itu barat sangat tertinggal sekali dengan dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah
mulai bangkit sedangkan islam mulai terpuruk akibat dari serangan bangsa mongol. Ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan bahkan kehidupan di dunia islam bisa di bilang mati. Pada masa periode modern ini islam mulai
bangkit dari keterpurukan, mengejar ketertinggalan dari dunia barat.
Pada kesempatan kali ini akan dicoba menjabarkan tentang tokoh-tokoh di atas di mulai dari pemikiran-
pemikiran tentang islam,kalam kontemporernya dan pembaharuan.

B. Rumusan masalah
1. Bagaiman sejarah perkembangan Pembaharuan pemikiran konteporer di dunia Islam?
2. Siapa saja tokoh-tokoh Pembaharuan pemikiran konteporer di dunia Islam?
3. Apa saja pemikiran – pemikiran yang diciptaka oleh tokoh – tokoh tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Akar pemikiran islam kontemporer di dunia islam
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern
(abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan
metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Muhammad Arkoun, pemikir
muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis, pernah melontarkan sebuah pertanyaan yang menggugah para
intelektual Islam, “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” [1]
Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi
krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua
adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam
kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda.
Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi
keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang
konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun
Islam tersebut.
Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut
masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat
kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu,[2]untuk menggali
inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi,
rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko
adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. [3] Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd
dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-syârih al-
‘adham (komentator agung). Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah Timur
maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan
pencerahan pemikiran Islam. [4]
Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr. Athif Iraqi, Guru Besar Filsafat di Universitas Kairo
menyatakan bahwa setelah wafatnya Ibnu Rushd, maka berakhirlah masa filsafat Islam. Karena setelah itu
pemikiran-pemikiran filsafat tidak lagi lahir. [5] Maka dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan
menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan menentukan bagi tumbuh-kembangnya pemikiran
Islam kontemporer.
Selain Ibnu Rushd, intelektual muslim kontemporer tidak bisa melupakan ketenaran sosiolog muslim,
Ibnu Khaldun. Dr. Misbâh al-‘Amily, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah putra mahkota umat Islam yang
kecanggihan cakrawalanya menunjukkan bahwa pemikiran Islam lebih unggul dari pada pemikiran Yunani. [6]
Kendatipun pemikiran tersebut lebih mengedepankan fanatisme Arab/Islam, tapi kecemerlangan masa lalu
merupakan nuqthat al-inthilâq (titik tolak) pemikiran Islam kontemporer. Hassan Hanafi, penggagas “kiri Islam”,
sedang menapak tilas keberhasilan Ibnu Khaldun dengan menyoroti pasang-surut pemikiran Islam pasca Ibnu
Khaldûn sampai sekarang. Dengan demikian, filterisasi terhadap pemikiran Islam klasik merupakan salah satu
kecenderungan umum dalam panggung pemikiran Islam kontemporer, tak ubahnya reinkarnasi pemikiran.
Jadi dengan demikian, Islam kontemporer merupakan gerakan pemikiran Islam di kalangan intelektual Islam
dalam menafsirkan kembali pemikiran Islam klasik dengan situasi modern. Para tokohnya kebanyakan adalah para
intelektual Islam yang banyak belajar di lembaga-lembaga pendidikan Barat maupun Eropa. Inti pemikirannya
adalah mengembalikan kejayaan dan keunggulan pemikiran para intelektual Islam klasik pada abad modern,
sehingga melahirkan Islam modern. Alasannya, karena pemikiran Islam klasik sangat relevan dengan perkembangan
peradaban modern. Sehingga, jika peradaban Islam ingin berkembang dan maju di abad modern ini, maka pemikiran
Islam harus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zamannya.
B. Tokoh-tokoh pembaruan islam konteporer
1. Fazlur Rahman
Fazlur Rahman menduduki tempat tersendiri dalam pemikiran Islam kontemporer. 1a memperoleh
pendidikan tradisional yang sangat kuat dalam lingkungan keluarganya di Pakistan dan di berbagai universitas
di anak Benua India. Setelah itu, ia menguasai pendekatan-pendekatan ilmiah modem dalam universitas-
universitas di Barat. Pengetahuan ilmiahnya luar biasa dan keyakinannya “keras kepala". Di negerinya, ia
dikaitkan dengan sebuah usaha untuk modernisasi pendidikan agama, yang tidak berhasil. Kritiknya terhadap
pengetahuan tradisional sangatlah kuat dan mendasar. Rencananya untuk peninjauan kembali (atau
“pembaruan”) tentulah merupakan rencana yang paling sistematis dan paling sempurna.
Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 di Distrik Hazara, Pakistan dan meninggal pada 1988.
Ayahnya, mawlana Shihab al-Din, adalah seorang alim (teolog-yuris Muslim) yang mendapat pendidikan di
Deoband, India. Di bawah bimbingannya, Fazlur Rahman memperoleh pendidikan dalam disiplin tafsir, hadis,
fiqih, kalam, dan falsafah. Pernyataan-pemyataannya mengenai reformasi dan tulisan-tulisannya telah
menimbulkan reaksi keras dari pihak tradisional, yang mendorongnya untuk meninggalkan Pakistan pada 1968.
Kemudian ia menduduki jabatan profesor di Universitas Chicago, USA dan mengabdikan diri pada pendidikan
dan penelitian sampai akhir hayatnya.
Di antara karya-karyanya yang diterbitkan, dapat disebutkan:[7]
1. The Philosophy of Mulia Sadra SadrAI-Din al-Shirazi (Albany: State University of New York Press, 1975).
2. Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1979).
3. Major Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibljotheca Islamica,1980).
4. Muhammad: the EducatorofMankind(London: Muslim School Trust,1980).
5. Islam and Modernity: Transformation ofan Intellectual Tradition (Chi-cago: The University of Chicago Press,
1982).
6. Revival and the Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism(makalah-makalah yang dikumpulkan dan
diberi kata pengantar oleh Ebrahim Moosa) (Oxford: One World, 2000).
Fazlur Rahman adalah satu dari banyak pemikir Muslim kontemporer yang mengakui secara padu
pendekatan ilmiah modern dan mempertahankan iman secara intensif dan mendalam. Untuk dapat
menggabungkan dua sikap ini, ia mengajukan diri untuk membangun sebuah visi Islam yang murni, dengan
menggunakan pemahaman yang lebih baik terhadap pengalaman Nabi, kondisi-kondisi historis dan politik yang
di dalamnya pengalaman itu terjadi, dan transformasi-transformasi yang diusahakannya untuk tercipta dalam
masyarakat. Pengetahuan tentang momen-momen pertama Islam, dengan demikian, menurut Fazlur Rahman,
mempunyai peran besar. Sebenarnya, yang dimaksudkan adalah suatu jenis pengetahuan yang sangat khas, yang
berusaha untuk menghindari dua jalan ekstrem yang sama-sama merusak: jalan ekstrem menutup diri dalam
lingkaran ortodoksi tertutup, yang luput menanggap yang esensial, dan jalan berlindung di dalam objektivitas
ilmiah, sehingga menjadi tidak mampu mencapai yang esensial dari kebenaran-kebenaran adikodrati iman.[8]
Kritiknya selalu dilontarkan baik terhadap metodologi pemahaman agama atau terhadap konsep dan
kecenderungan keilmuwan Islam yang sudah berlaku selama ini. Fazlurrahman mengkritik gagasan yang
ditawarkan kelompok modernis yang dikatakannya sangat lemah karena tidak disertai dengan rumusan alternatif.
Kelompok modernis yang banyak melakukan adopsi gagasan Barat dengan perspektif Islam telah menghilangkan
orisinalitas Islam dan digantikan dengan Barat fazlurrahman dalam beberapa hal menggunakan metode kritik dan
dialektik untuk mengungkap wahyu al-Qur’an, sebagai berikut:[9]
a. Penafsiran Sistematik: Tafsir kontekstual

Penafsiran al-Quran merupakan realitas yang ikut memperkaya khasanah intelektual Islam, namun masih
banyak terdapat kecenderungan dikalangan mufasir untuk memahami al-Quran secara parsial. Akibatnya hasil
dari penafsiran tersebut tidak maksimal, tidak holistik dan jauh dari tujuan pewahyuan al-Qur’an, karena jiwa al-
Qur’an tidak bisa di tangkap. Padahal dalam ortodoksi Islam, al-Qur’an menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari proses alam, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Disamping itu, selama ini penafsiran al-Qur’an acapkali
menggunakan pendekatan filologi gramatikal (kebahasaan), sehingga produk tafsir sering terlepas dari konteks
kesejarahannya. Lebih parah lagi, banyak ditemukan adanya upaya pemaksaan pra konsepsi atau gagasan asing
dalam memahami al-Qur’an terutama dalam tafsir yang sifatnya teologis, sufistik dan filosofis.
Kenyataan inilah yang membuat Fazlurrahman merasa resah dan berpengaruh pada dirinya untuk
mengembangkan metode penafsiran baru yang dianggap tepat untuk memahami al-Qur’an. Model ini bisa
terhindar dari upaya pemaksaan gagasan asing atau pra konsepsi dan disebut dengan tafsirkontekstual. Tafsir
kontekstual itu sendiri merupakan sebuah tafsir yang dalam operasionalnya harus terlebih dahulu memahami
situasi kesejarahan atau konteks historitas baik sebelum atau pada saat pewahyuan untuk kemudian menarik ideal
moral wahyu tersebut serta memproyeksikannya dalam konteks social era kekinian.
Kontekas historisitas pada masa pewahyuan tersebut dalam pandangan Fazlurrahman bukan hanya
terbatas pada sebab turunnya ayat (asbab al- nuzul)saja, tapi juga meliputi situasi dan kondisi secara umum,
menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, tradisi, kepercayaan, kultur dan lainnya yang terjadi dikalangan
masyarakat Arab, dimana secara langsung atau tidak terkait dengan aktivitas perjuangan Nabi Muhammad.[10]
Tafsir kontekstual adalah penafsiran sistematis al-Qur’an yang mencoba menggali hukum syariat
Islam. Penafsiran ini merupakan proyeksi ide subjektif dalam al-Qur’an. Tafsir ini merupakan tafsir yang
menggunakan pemahaman sesuai modernitas dengan metodologi sistematik.Penafsiran sisitematik adalah : (1)
penafsiran yang mencoba memahami dalam sudut pandang historis, karena al-Qur’an disampaikan kepada Nabi
Muhammad secara kronologi . (2)
Penafsiran yang harus bisa membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan dimana ketetapan itu
mengabdi. (3) Sasaran al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan dengan tetap memberi perhatian pada
latarbelakang sosiologis (Nabi).
Sebagai misal Fazlurrahman pemahaman tentang warisan bagi pria dan wanita, dimana ketetapan al-
Qur’an secara legal adalah berbanding. Dalam penafsiran Rahman, ketetapan ini harus dipahami melalui struktur
sosial masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Karena masyarakat Arab lebih dikenal dengan
masyarakat patrialchat, maka al-Qur’an yang diturunkan disana akan berbunyi sesuai dengan yang ada
dalam ayatnya. Tapi ketika ayat tersebut ditafsirkan pada masyarakat yang meletakkan kedudukan pria dan
wanita sejajar, maka penafsiran ayat tersebut berubah dan bisa sama antara yang diterima pria dan wanita dalam
warisan.[11]
b. Kritik Terhadap Tradisi dan Keilmuwan Islam

Fazlurrahman yang dibentuk dalam suasana ketegangan antara kubu konservatif dengan kubu modernis,
memunculkan upaya mengkritisi tentang pandangan berupa gagasan murni dari alquran sebagai berikut :
1. Terhadap filsafat, Fazlurrahman mengkritiknya sebagai cara berfikir yang tidak relevan lagi bagi kehidupan
manusia. Hal ini terjadi karena filsafat hanya menjadikan metafisika sebagai objek kajiannya dan meninggalkan
kajian syariah. Filsafat selayaknya harus digunakan untuk mengkaji hukum syariatIslam karena akan membawa
manfaat yang besar bagi umat Islam dalam menghadapi kemodernan.

2. Terhadap syariatpun, Fazlurrahman mengkritiknya. Syariat yang saat ini dipakai sebagai landasan hukum Islam
telah beku dan tidak berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran dan perubahan masyarakat. Syariat yang
menjadikan al-Ghazali sebagai penjaga ortodoksinya penuh dengan kekolotan dankekonservatifannya . Syariat
seharusnya selalu dinamis berubah sesuai dengan modernitas yang saat ini merupakan keharusan sejarah.

3. Terhadap sufisme, Fazlurrahman juga mengkritiknya. Sufisme saat ini lebih menitik beratkan emosionai-ma’rifat
bersifat diatas ilmu (eksetorik). Ma’rifatpun telah diputus dari penalaran formulatif, instink dari pemikiran kaum
muslimin.Akibatnya menimbulkan sikap fatalis, tidak mau berijtihad dan beijihad, tidak dinamis dan akhirnya
terjadilah kemunduran. Sufisme haruslah menjadikan dimensi penalaran formulatif dan informatif sebagai
bagian yang integral dalam kehidupan sufi. Dimensi formulatif tersebut adalah dimensi baca sekaligus zikirdan
dimensi informatif adalah tadabbur dan tafsir. Dengan demikian sinergi antara aspek akal dan hati merupakan
suatu keharusan untuk mencapai kemajuan umat Islam.

4. Terkait dengan tradisi Islam, Fazlurrahman juga mengkritiknya, dimana hanya dipahami sebagai sesuatu yang
normatif absolut dan tidak berubah. Dalam pandangan Rahman, tradisi atau Sunnah terdiri dari dua bagian : (1)
konseptual, bersifat normatif universal, (2) literal, digunakan untuk memahami rasio logis. Tradisi bukan bersifat
statis tapi dinamis sesuai dengan ruh al-Qur’an dan Hadits. Islam harus mumi memancar dari al-Qur’an dan
Hadits dan bukan murni historis.

c. Pemikiran Politik

Pemikiran politik Fazlurrahman muncul untuk memberikan definisi negara Islam Pakistan yang saat itu
baru merdeka, ketika terjadi kontroversi antara kelompok tradisional fundamental istik dan kelompok modernis
sekuler.Dalam pandangan Rahman, negara harus bersifat demokratis dan tidak teo-demokrasi. Karena negara
Islam dibentuk dengan tujuan membangun masyarakatnya dalam berbagai dimensi, maka harus ada pemerintah
pusat yang kuat. Dengan demikian diperlukan seorang pemimpin yang kuat dan mampu sebagai kepala negara.
Dalam hal ini tentu dipilih oleh rakyat dan dia harus menjaga kepercayaan rakyat; dibentuk struktur
pemerin- tahan dan didukung oleh moralitas kepemimpinan. Kepala negara merupakan pusat kekuasaan
eksekutif, sipil dan militer serta keagamaan. Dalam keagamaan, ia tidak seperti Paus dalam Katolik, tapi fungsi
itu berada dalam masyarakat melalui perantara lembaga ijma’. Namun Rahman tidak setuju dengan model Barat
yang memisahkan antara urusan sekuler dan religius.
Mengenai kekuasaan legislatif, Fazlurrahman menyatakan itu bukan haknya kepala negara. Fazlurrahman
menyatakan bahwa Khulafa al-Rasiyidin ketika menghadapi masalah-masalah penting, ia senantiasa meminta
pertimbangan dari pemimpin masyarakat yang terpandang dan berpengaruh luas di bidang agama. Itulah
bentuk syura yang tepat bagi negara Pakistan. Kepala negara harus bertanggung jawab pada dewan syura sebagai
perwakilan rakyat.
Mekanisme pembuatan undang-undang, dalam pandangan Fazlurrahman, bahwa rakyat mempunyai hak
untuk membuatnya, karena persoalan legislatif adalah persoalan masyarakat, bukan persoalan ulama dan
dibebankan kepadanya. Dalam kenyataan sejarah yang membentuk hukum Islam itu bukanpenguasa bukan pula
ahli fiqh. Proses pembuatan hukum, prinsip ijtihad danijma’ menempati posisi penting sebagai pemberi
kepastian hukum sesuai dengan dinamika masyarakat. Ijtihad tidak terlalu ketat dan diperbolehkan bagi yang
mengenai Islam secara baik dan mampu berpikir. Ijma’ itu sendiri merupakan kesepakatan pendapat masyarakat,
dan dalam negara disalurkan lewat perwakilan di lembaga legislatif.[12]
d. Pemikiran Hukum

Pemikiran hukum ini dilatarbelakangi oleh kritik Fazlurrahman terhadap produk hukum syariat yang
ortodok konservatif dan tidak sesuai dengan dinamika perubahan. Kondisi ini terjadi karena terkait dngan
penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak memperhatikan makna legal dari nash al-Qur’an dan makna
masyarakat dimana al-Qur’an turun dalam kultur dan sosial masyarakat Arab. Upaya Fazlurrahman dalam
membenahi struktur hukum Islam adalah menciptakan kaidah-kaidah istimbath hukum Islam yang baru. Upaya
ini merupakan terobosan terkini semenjak kemerdekaan penciptaan kaidah untuk menghasilkan keputusan
hukum seperti yang terjadi pada masa klasik. Fazlurrahman berusaha meletakkan essensi moral al-Qur’an sebagai
essensi dari penetapan hukum atas suatu persoalan. Fazlurrahman tidak berhenti pada nashal-Qur’an apa adanya,
dimana biasanya turunnya suatu ayat disertai dengan sebab nuzulnya, tapi ia juga melihat aspek sosial dan
kultural masyarakat Arab dan juga menjangkau sosial dan kultur masa depan.[13]
Pemikiran penulis
Dalam Fazlurrahman , untuk membangun sebuah visi Islam yang murni, dengan menggunakan
pemahaman yang lebih baik terhadap pengalaman Nabi, kondisi-kondisi historis dan politik yang di dalamnya
pengalaman itu terjadi, dan transformasi-transformasi yang diusahakannya untuk tercipta dalam
masyarakat.Pengetahuan tentang momen-momen pertama Islam. Upaya Fazlurrahman dalam membenahi
struktur hukum Islam adalah menciptakan kaidah-kaidah istimbathhukum Islam yang baru. Upaya ini merupakan
terobosan terkini semenjak kemerdekaan penciptaan kaidah untuk menghasilkan keputusan hukum seperti yang
terjadi pada masa klasik.
2. Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun lahir di Taurort Mimoun, Rabilia, sebelah timur Aljir, pada 1 februari 1928.
Wilayah itulah yang menjadikannya menguasi tiga bahasa sejak kecil, yaitu bahasa Kalibia, Arab dan
Perancis, karena ketiganya merupakan bahasa yang dominarit dipakai sebagai bahasa komunikasi di
wilayah tersebut. Kabiiia adalah bahasa ibu penduduk suku Barber, Arab adalah bahasa yang dibawa
bangsa Arab dalam ekspansinya ke wilayah Afrika Utara pada abad ke satu Hijriyah, sedang bahasa
Perancis adalah bahasa yang dibawa penjajah Perancis ketika menguasai Aljazair (1830-1962). Tiga
bahasa tersebut sampai batas tertentu mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahasa
Kabiiia adalah bahasa kehidupan sbsial ekonomi, bahasa Arab adalah bahasa keagamaan, dan bahasa
Perancis adalah bahasa piemerintahan dan tradisi ilmiah Barat Ketiganya juga mewakili cara berfikir
dan pemahaman yang berbeda. Dalam situasi inilah, yang sangat berpengaruh pada diri Arkoun.
Pendidikan tingginya dimulai ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Aljir, mendalami
sastra dan bahasa Arab (1950-1954). Setelah lulus, ia mengajar bahasa dan satra Arab di sekolah
menengah pinggiran kota Aljazair sampai 1961. Kemudian berangkat untuk meneruskan studinya
ke Universitas Sarbone Paris. Di Paris inilah Arkoun mulai berminat mendalami pemikiran Islam dan
mulai menullis.Tulisannya kebanyakan berbahasa Perancis. Pemilihan bahasa Perancis ini disebabkan
karena ditemukan banyak masalah ketika mengungkap pemikiran Islam dalam bahasa Arab, apalagi
bahasa Kabiiia. Selain itu ia sudah terbiasa dengan bahasa Pe-rancis, karena sudah lama tinggal di
Perancis, apalagi bahasa Arab baru dipelajarinya sejak duduk di bangku sekolah menengahi di Aljazair.
Disinilah Arkoun menemukan kekurangan bahasa Arab dan bahasa Islam lainnya untuk menampung
kebutuhan ilmiah seperti . epitimologi kritik, kritik wacana atau sejarah, dekontruksi, karena belum
tersedia istilah yang memadai
Setelah menamatkan pendidikan tingkat saijana, Arkoun ditugaskan mengajar di perguruam
tersebut, sambil meneruskan jenjang studinya ke tingkat doktoral, sampai berhasil meraih dokktor
dengan mempertahankan disertasinya (1969). Setelah itu ia menjadi dosen tamu di beberapa beberapa
perguruan tinggi baik di Eropa maupun di Aljazair. Di sela-sela kegiatan mengajar, Arkoun banyak
menulis buku dalam bahasa Peraneis seperti Lectures d Coran, Pour rune Critique de laPaison
Islamique, Essais sur la pensce Islamique, Ouvertures sura l’Islam.
Karya, akademik Arkoun kebanyakan berkaitan degan tradisi pemikiran Barat maupun Islam
serta dampaknya terhadap pandangan Islam tentang dirinya sendiri. Dia sangat kritis terhadap Barat
atau Timur karena mempercayai superioritas akal, sebab kepercayaan tidak dapat dibuktikan dengan
akal. Dia mengkritik orang yang menggunakan Islam untuk kepentingan ideologi. Dia berusaha
mencari bentuk lainhubungan baru antara iman dan pikiran, subyek dan obyek, Islam, Kristen,
Yahudi, Syi’ah, Sunni, Timur, Barat, Utara dan Selatan. Ia juga mengkritik pemikiran Islam dan
orientalis yang tidak membawa umat Islam kepada posisi sesuai dengan kehendak Tuhan. Pemikiran
Arkoun berpusat pada dekontruksi baik atas pemikiran Islam maupun orientalis dan mencoba untuk
merumuskan kembali Islam yang aktual.[14]
Pemikiran Mohammed Arkoun
a. Kritik Terhadap Pemikiran Islam dan Orientalis
Dalam pandangan Arkoun, pemikiran Islam belum membuka diri pada kemoderenan pemikiran
dan oleh sebab itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer. Bahkan
dianggap naif karena mendekati agama atas dasar kepercayaaan langsung tanpa kritik.Padahal
tradisikeilmuan Islam hanyalah,
1. sebuah gagasan pikiran dari hasil akumulasi pengalaman sejarah manusia biasa yang terikat
oleh situasi, kondisi, ruang dan waktu dan dikembangkan sesuai dengan perjalanan pengalaman
manusia, dimana sejak awal mungkin sudah bergelimang dengan kealpaan dan kesalahan.
2. Pada sisi lain, pemikiran Islam tidak menyadari jarak antaramakna potensial terbuka yang ada dalam
wahyu dengan maknaaktualitasnya sesuai dengan pemahaman penceritaan danpenalaran dari
keilmuan Islam yang ada.
3. Pemikiran Islam juga tidak sadar akan berbagai faktor sosial, politik, budaya,
psikis yang mungkin mempengaruhi proses aktualisasi tersebut. Atau juga pemikiran Islam tidak
sadar bahwa ada upaya penyingkiran terhadap penafsiran dari pemahaman lain yang mungkin
berbeda dengan ketetapan penalaran yang mereka sepakati . Hal ini berakibat tidak ada upaya holistik
memahami wacana keislaman, karena masing-masing akan bersikap apologetik, berkembang polemik
dan bahkan menolak dengan sikap represif terhadap yang lain, yang pada akhirnya berujung pada
ketidakmampuan menjawab tantangan global yang dialami masyarakat. Pemikiran Islam juga tidak
lepas dari pengaruh asing seperti dalam teologi Islam klasik, yang sangat diwarnai oleh pola pemikiran
Yunani.
Sejarah pemikiran Islam kadang dan itu sering dipakai sebagai alat kekuasaan. Pemikiran
teologi Islam ortodoks misalnya selalu dimanfaatkan oleh para penguasa sejak abad kedua belas untuk
menjaga stabilitas negara. Pada pernyataan lain Arkoun juga menyatakan bahwa teologi klasik setelah
menyatu dengan kekuasaan digunakan sebagai alatnegara dengan dalih stabilitas politik. Akibatnya
terjadilah pembekuan al-Qur’an. Dalam sejarah, mazhab dan aliran selalu berdekatan dengan
kekuasaaan dan banyak dari mereka melakukan pemaksaan untuk melanggengkan pemikiran yang
sesuai dengan pandangannya. Proses pembekuan dalam penafsiran al-Qur’an dapat dilihat dari
tulisan-tulisan pemikir yang berhenti pada karya fiqh ata teologi, dan berhenti tidak membicarakan al-
Qur’an secara holistik dan terbatas hanya memakai makna secara tekstual. Karya teks klasik, inilah
yang talah menjadikan pemikiran mereka tidak bisa menjawab tantangan zaman.[15]
b. Pemikiran tentang al-Quran
Pemikiran Islam tentang al-Qur’an selama ini sebagai suatu yang tertutup. Dalam arti lain
bahwa semenjak diperkenalkan mushaf Usmani, - dimana seluruh al-Qur’an yang ditulis oleh para
sahabat kemudian berkembang atas kehendak dan kontrol resmi selama periode Umayyah dan awal
Abbasyiah, sebagai mushaf yang harus dijadikan pedoman dan tidak boleh ada mushaf lain yang ditulis
berbeda dengannya. Intervensi penguasa dengan melarang menambah, mengurangi, menghapus atau
menginterpretasikan dengan cara yang agak berbeda seperti yang telah diperkenalkan sebelumnya,
telah membuat kebekuan dalam penafsiran al-Qur’an.
Meletakkan al-Qur’an hanya terbatas pada mushhaf Usman, pada hakikatnya telah menjadikan
al-Qur’an sebagai wahyu mutlak Allah, yang tidak bisa dipahami seutuhnya. Padahal mushhaf Usmani
merupakan karya muslim, yang mungkin penuh keterbatasan memahami makna yang adadalam
proses pewahyuan al-Qur’an. Dengan demikian mushhafUsmani telah menjadi korpus resmi tertutup
dan bersifat mutlak.
Pewahyuan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yang terhimpun dalam mushaf Usmani saat ini
dibedakan oleh Arkoun menjadi empat tingkatan :
1. Kitab wahyu yang bersifat mutlak dan itu ada di Lauh al-Mahfudh.
2. Wahyu yang disampaikan kepada Nabi melalui perantara malaikat Jibril.
3. Korpus resmi tetutup, mushhaf Usmani tentang wahyu yang telah disampaikan Nabi kepada para
sahabat, dimana pada hakikatnya telah menimbulkan beberapa bacaan. Namun oleh Usman bacaan
yang tertulis dalam lembaran-lembaran itu disuruh membakarnya, sehingga mushhaf Usmani secara
resmi menjadi mushaf standart, yang dijadikan sebagai nash untuk penafsiran.
4. Kitab tafsir, hasil interpretasi para mufassir terhadap mushhaf Usmani.
Pemahaman al-Qur’an sebagai wahyu Allah harus didasari pada aspek bahwa: (1) al-Qur’an
adalah sejumlah pemahaman potensial yang mendorong pengembangan doktrin yang sama
beragamnya dengan keadaan sejarah kelahirannya. (2) Al-Qur’ana haraus mengacu pada
transendensi, di mana untuk sampai pada pemaknaan yang diaktualisasikan dalam doktrin teologi,
yuridis, filsafat, politis, etis dan lain sebagainya, al-Qur’an harus menjadi mitologi dan ideologi yang
kurang lebih dimasuki oleh makna transendensi. (3) Al-Qur’an
adalah teks terbuka. Tak satupun penafsiran menutupnya secara tetap dan ortodoks . (4) Teks al-
Qur’an secara yuridis tidak mungkin disempitkan menjadi ideologi.
Dengan demikian al-Qur’an sebagai wahyu ilahi dalam pandangan Arkoun merupakan amanat
yang kaya dan luas, sehingga dapat diberikan makna konkrit dalam berbagai kondisi yang berbeda
yang dilalui manusia. Apa yang sudah ditafsiri dan dipahami oleh kelompok dan diklaim bahwa apa
yang dipahaminya merupakan penafsiran yang benar dan sah, pada hakikatnya hasil pemahaman
tersebut mungkin bukan wahyu yang dimaksud Allah. Dengan demikian tidak ada klaimkebenaran
yang berlaku sepanjang masa, karena gagasan universal Islam tidak semuanya dapat ditampung oleh
bahasa Arab yang bersifat lokal kultural, yang terungkap melalui tradisi kenabian. Karena itu harus
ada upaya terus menerus untuk mengungkap fakta dan konsep al-Qur’an sepanjang sejarah manusia
sesuai dengan dinamika perubahan yang ada dalam maasyarakat. Penafsiran ulang sebagai dinamika
dan kreatifitas tersebut dibentuk pada waktu dan ruang yang jauh berbeda secara sosial dan kulturnya.
Penafsiran al-Qur’an, dalam pandangan Arkoun adalah aktifitas yang berusaha memahami dan
mengamalkan agama. Pemahaman dan pengamalan agama pada hakekatnya merupakan refleksi dan
penafsiran yang bersifat subyektif yang kemunculannya karena proses dialog dengan dunia
yang dihadapi saat itu, termasuk tradisi dan teks agama. Dengan demikian, ketika seseorang mufassir
mencoba untuk memahami sebuah teks, secara tidak langsung ia telah memproduksi ulang dan
menafasirkan teks sesuai dengan wawasan kemampuan dan kecenderungan yang subyektif sesuai
dengan potensinya. .Oleh karena itu sebuah teks yang sama ketika dibaca ulang, akan melahirkan
pemahaman baru. Kalau yang melakukan pemahaman tersebut banyak dengan perbedaan wawasan,
kemampuan dan kecenderungan, maka akan timbul penafsiran yang banyak dan kemungkinan terjadi
perbedaan. Maka tidak ada lagi klaim kebenaran, karena kebenaran yanghaq ada di Lauh al-Mahfudh.
Pemikiran Arkoun tersebut pada hakekatnya akan mengarahkan pandangan bahwa seluruh
penafsiran adalah relatif, tentu tidak shalih fi kulli zamanin wa makanin, dan kalau itu terjadi perlu
dilakukan dekontruksi hasil pemikiran masa lalu secara terus menerus. Harapan Arkoun
dalam dekontruksi penafsiran teks al-Qur’an ini adalah mendapatkan kesimpulan yang sebagiannya
bisa dianggap baku dan final.[16]
c. Konsep Dekontruksi dan Rekontruksi
Proyek besar Arkoun dalam pemikirannya adalah dekontruksi dan rekontruksi. Ide dekontruksi
diadopsi Arkoun dari pemikiran filsafat Barat postmoderisme, untuk memisahkan secara dikotomik
hubungan antara dimensi historisitas dan normativitas al-Qur’an, sesuai dengan waktu dan ruang. Ide
ini bertujuan untuk menghancurkan pemikiran keagamaan yang telah disakralkan oleh umat Islam.
Prioritas yang harusdibongkar adalah ortodoksi dibentuk secara historis dan berlapis serta
berlangsung lama karena ilmu keislaman merupakan rumusan lama yang tidak bisa luput
dari kepentingan dan intervensi ideologi mereka, meskipun dibungkus dengan ayat al-Qur’an atau
Hadits. Dan itu sahuntuk dikritisi supaya menghasilkan tradisi yang terbuka dan pluralis dan lepas
dari kepentingan. Ortodoksi berarti sistem kepercayaan dan representasi mitologi yang dengannya
suatu kelompok sosial memahami dan menghaasilkan sejarah sendiri, selanjutnya setiap kelompok
bersaing memperbesar pengaruh dan dominasinya. Dan inilah yang dikatakannya sebagai virus.
Tujuan Arkoun dalam hal ini adalah memadukan antara unsur yang paling mulia dalam
pemikiran Islam yaitu semangat keagamaan dan angan-angan sosial Islam, dengan pemikiran Barat
modem yakni rasionalitas dan sikap kritis. Dengan tujuan ini diharapkan dapat memahami agama
secara mendalam dan menghancurkan ketertutupan dan penyelewengan, dengan segala aspeknya dan
tidak mampu menjadi solusi masa depan.
Pemikiran ini muncul disebabkan masa lalu pemikiran Islam yang tidak steril karena pengaruh
subyektifitas dari segala arah dan tidak menghasilkan solusi masa depan. Dekontruksi yang dimaksud
Arkoun disini adalah bukan meruntuhkan kontruksi ajaran agama Islam yang sudah pokok dan
merupakan prinsip dasarnya, tetapi hanya terpusat pada kontruksi konsep epistimologi keilmuan yang
digunakan dalam penyusunan ilmu-ilmu agama. Sebagaimana diketahui penyusunan ilmu keislaman
terjadi pada masa klasik sampai pertengahan, masa yang tidak lepas dari berbagai pengaruh. Faktor-
faktor dan unsur-unsur historis yang biasanya ikut telibat dalam penyusunan ilmu diperlukan untuk
memetakann kembali bangun epistimoiogi ilmu agama seperti fiqh, kalam, tasawuf atau akhlak dan
lain sebagainya.
Dasar dari dekontruksi adalah kritik. Dalam hal ini adalah kritik nalar Islam atau mengkaji
ulang Islam. Dalam pandangan Arkoun, ada perbedaan antara akal dan akal Islam, akal adalah teks al-
Qur’an Tuhan yang absolut yang tidak mungkin bisa dipahami secara pasti oleh manusia, dan akal
Islam doktrin teks literal yang merupakan produk sejarah dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Yang pertamamerupakan normativitas dan yang kedua adalah historisitas. Kritik yang bisa diajukan
hanya pada historisitas karena merupakan produk historis. Kritik atas kesadaran Islam merupakan
upaya mengkaji ulang Islam dengan pendekatan Barat, karena mempunyai metode rasional kritik.
Dalam hal ini
Arkoun menggunakan berbagai metologi berbagai ilmu sesial sepeti sejarah, filsafat, politik, sosiologi,
psikologi mitologi, sematik dan linguistic dan juga menggunakan hermeunetik.
Landasan pemikiran Arkoun adalah memadukan unsur Islam yang kaya dengan spiritualitas
dan unsur Barat yang kaya dengan rasionalitas kritis. Maka untuk menemukan hasil yang sesuai
dengan kesadaran ilmiah mutakhir dan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim
konterporer, Arkoun menawarkan langkah praktisnya, yaitu: (1) diperlukan program riset al-Qur’an
secara bebas, obyektif, dan berdasarkan kebenaran. (2) Dibutuhkan membangun epistimoiogi Islam,
bukan klasik. (3) Diperlukan studi fenomenologi agama secara menyeluruh dengan metode kritis,
historis, komperatif,analisa linguistik dan lain-lain. (4) Memperhatikan budaya Islam dan budaya lain
di luar Islam.(5) Bersifat multidisipliner. (6) Terbuka dan pluralistik.[17]
Pemikiran penulis
Dalam Mohammed Arkoun, Dia sangat kritis terhadap Barat atau Timur karena
mempercayai superioritas akal, sebab kepercayaan tidak dapat dibuktikan dengan akal. Dia
mengkritik orang yang menggunakan Islam untuk kepentingan ideologi. Dia berusaha mencari bentuk
lainhubungan baru antara iman dan pikiran, subyek dan obyek, Islam, Kristen, Yahudi, Syi’ah, Sunni,
Timur, Barat, Utara dan Selatan. Ia juga mengkritik pemikiran Islam dan orientalis yang tidak
membawa umat Islam kepada posisi sesuai dengan kehendak Tuhan. Pemikiran Arkoun berpusat pada
dekontruksi baik atas pemikiran Islam maupun orientalis dan mencoba untuk merumuskan kembali
Islam yang aktual.
3. Ismail Raji al Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Semenjak kecil al-Faruqi sudah
belajar agama, kemudian masuk ke sekolah di College Des Fress Libanon, ketika berumur lima tahun.
Setelah tamat ia melanjutkan studinya di Universitas Amerika di Beirut hingga menyelesaikan sarjana
muda. Al-Faruqi kemudian masuk menjadi pegawai pemerintah Palestina yang berada dibawah
mandat Inggris, dan akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea sampai 1947.Ketika propinsi Jaffa
jatuh ke tangan Israel, ia pindah ke Amerika Serikat (1948).
Setelah kepindahan ke Amerika, ia beralih profesi sebagai seorang akademisi dan melanjutkan
studinya Indiana University pada bidang filsafat dengan meraih gelar MA, dan juga studi di universitas
di Harvard dengan gelar yang sama. Merasa tidak puas dengan belajar di Amerika, ia bearangkat
ke Mesir melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar selama empat tahun. Setelah menyelesaikan
kuliah di Kairo dia bersemangat menekuni pendidikan dan ikut berkiprah di Universitas Montreal
1959. Keterlibatannya di dunia penelitian mendorongnya untuk mengelilingi sejumlah negara Islam
yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1961, ia terlibat riset keislaman di Pakistan
untuk Journal Islamic Studies. Ia kembali lagi ke Amerika (1963) dan menjadi guru besar fakultas
agama di Universitas Chicago, kemudian pindah ke universitas New York dengan konsentrasi kajian
Islam dankemudian pindah ke Tample University Philadelphia sebagai dosen agama dan mendirikan
pusat kajian Islam. Selain sebagai pengajar, al-Faruqi dikenal sebagai perancang berdirinya The
American Islamic Chicago dan terlibat dalam merancang pendirian pusat studi IslamAssociation of
Muslim Social Scientiest (1972). Ia juga aktif di beberapa lembaga kajian Islam seperti The American
Academy of Religion seria sebagai editor di sejumlah jurnal keislaman. Sebagai seorang intelektual, ia
juga mendirikan pusat kajian International Institute of Islamic Thought (HIT) 1980. Ia
menulis banyak buku diantaranya Tauhid; It Implication Thought of Life, Isllamic and Culture, The
Cultural Atlas of Islam; Historical Atlas of Religion of The World, Christian Ethic; Trialogue ofFaith.
Al-Faruqi dikenal sebagai tokoh yang anti terhadap Israil, dalam hal ini zionisme, sehingga
sepanjang hidupnya ia selalu mengkritik kebijakan yang terkait dengan pendudukan Israel di tanah
Palestina. Kritik dan kecaman inilah yang menghantarkan al-Faruqi pada pembunuhannya yang
dilakukan oleh agen zionis beserta isterinya Louis Lamya al-Faruqi beserta keluarganya (1986).[18]
Pemikiran Ismail Raji al Faruqi
a. Pemikiran Tauhid : Dasar Peradaban Islam

Dalam pandangan al-Faruqi esensi peradaban Islam adalah ajaran Islam, dan esensi ajaran Islam adalah
tauhid. Tauhid adalah keyakinan bahwa Allah itu esa, pencipta yang mutlak, trasenden dan sebagai raja sekaligus
penguasa. Secara fungsional, tauhid dalam peradaban Islam merupakan unsure atau struktur yang memberikan
identitas peradaban. Ia mengintegrasikan keseluruhan unsur pokok suatau kesatuan yang padu peradaban. Tauhid
menyusun unsur-unsur pokok peradaban sehingga membangun suatu harmoni yang padu dan saling mendukung
antar unsur, dimana tanpa mengubah hakikat, tauhid dapat melakukan sendiri pengubahan terhadap semua unsur
pembentuk dan pemberi ciri khas baru bagi peradaban. Dalam hal lini berimplikasi dalam seluruh tatanan
kehidupan manusia, ekonomi, politik, sosial, etika, sejarah, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Tauhid sebagai pandangan dunia, menurut al-Faruqi meliputi prinsip-prinsip, (1) dualitas; bahwa realitas
meliputi dua kategori; Tuhan, sebagai pencipta dan bukan Tuhan, sebagai ciptaan. Realitas Tuhan adalah Allah
yang bersifat mutlak, kuasa, abadi dan transenden serta tidak ada yangmenyerupainya. Sedang realitas ciptaan
adalah tatanan ruang, waktu, pengalaman dan proses penciptaan, meliputi segenap ciptaan dunia benda, manusia,
tumbuhan, hewan, jih, malaikat dan dalam segala proses perkembangannya. Tuhan dan ciptaan sangat jelas dan
mutlak berbeda dilihat dari eksistensi dan peran secara ontologinya. (2) Ideasionalitas, sebagai bentuk
hubungan antara Tuhan dan ciptaan. Dalam diri manusia terdapat kemampuan berpikir seperti penalaran
imanensi, ingatan, pemahaman, intuisi dan pengamatan . Kemampuan ini merupakan potensi yang cukup untuk
memahami kehendak Tuhan baik melalui wahyunya atau ayat-ayat kauniyah. (3) Teleologi, sebagai hakikat
kosmos, yaitu bertujuan, terencana didasari pada maksud-maksud tertentu. Dunia diciptakan secara sempurna
berdasarkan ukuran yang tepat dan memenuhi fungsi universalitas, pasti dan teratur, dan bukan karya kebetulan
yang melahirkan chaos. Pola penciptaan berdasarkan hukum alam, tidak ada ciptaan yang eksis dan bertindak
diluar aturantersebut, kecuali manusia. Manusia secara fisik dan psikis tunduk kepada aturan tersebut, tapi dalam
aspek spiritualnya bisa tidak; tergantung pada subjek dan proses determinasi. Karena aktualisasi kehendak Ilahi
yang ada pada spiritual berbeda, dimana pemenuhan atas pemenuhan kebutuhan aktualisasinya bebas berkaitan
dengan moral. Selain itu manusia diberi kemampuan adaptasi, merubah diri sendiri, alam serta masyarakat
sehingga dapat mengaktualisasikan pola-polailahi.
Tauhid sebagai esensi peradaban, menurut al-Faruqi mempunyai dua dimensi, yaitu metodologis,
menentukan bentuk aplikasi dan implementasi prinsip dasar peradaba; dan dimensi kontekstual, menentukan
prinsip dasarnya. Dimensi metodologi meliputi prinsip unitas, peradaban terbentuk bila seluruh unsur peradaban
dapat disatukan dan diselaraskan rasionalisme, unsurpembentuk esensi peradaban Islam, terdiri dari tiga
hukum penolakan bahwa tidak semua ide sesuai dengan realitas, persoalan terakhir penolakan terhadap
kontradiksi antara nalar dengan wahyu dan keterbukaan toleransi, sikap menerima terhadap realitas yang ada,
karena sesuai dengan prinsip epistimologi dan etika. Prinsip ini merupakan pencegah terhadap konservatisme
yang mematikan dinamika dan kreatifitas umat, juga sebagai pengakuan bahwa Allah tidak akan meninggalkan
umatNya tanpa Rasul yang membawa pelajaran untuk pengabdian kepadaNya, juga menimbulkan rasa
kebersamaan, tetapi tetap mengakui adanya al-din al-hanif.
Dimensi kontekstual bahwa tauhid merupan prinsip yang mendasari esensi peradaban. Dalam hal ini
terdiri dari (1) tauhid sebagai prinsip metafisika, bahwa Allah adalah zat pertama dan terakhir, pencipta segala
peristiwa dan kejadian. Tiada ciptaan yang terjadi kecuali atas keikutsertaan Tuhan. Tidak ada sumber kekuatam
lain kecuali kekuatan Tuhan. (2) Tauhid sebagai prinsip etika, bahwa manusia sebagai ciptaaan terbaik Tuhan,
diciptakan untuk beribadah padanya, beramarma’ruf, malaksanakan fungsi kekhalifahan di bumi, dan
bertanggungjawab atas apa yang terjadi di alam. (3) Tauhid sebagai prinsip aksiologi, bahwa manusia yang diberi
kebebasan Allah mengelola bumi akan dinilai atas segala tindakan yang dilakukannya perbuatan baik akan
diganjar sedang perbuatan jelek akan dihukum. Seluruh tindakan manusia harus diarahkan pada moralitas sebagai
bentuk pengakuan dunia atas peradaban. (4) Tauhid sebagai prinsip dasar kemasyarakatan, bahwa pengakuan
tauhid akan berimplikasi timbulnya persaudaraan yang utuh, saling mencintai, saling nasehat menasehati berbuat
baik, adil, sabar dan berpegang teguh pada tali Allah. Tauhid'harus ada bersama umat, sebagai media informasi
etika, kekhalifahan dan pengakuan dunia. (5) Tauhid sebagai prinsip estetika, bahwa alam merupakan bentuk
seni Allah, alam tidak transenden seperti Allah, karena ciptaan, maka tidak dapat diserupakan dengan Allah atau
menjadi sesembahan.
Pemikiran al-Faruqi yang menjadikan dasar segala aktifitas umat Islam adalah tauhid, dengan implikasi
pemurnian terhadap konsep-konsep yang mencemarinya. Konsep seperti yang diungkap diatas memasukkan al-
Faruqi sebagai dalam kelompok salafi dan neo-fundamentalis, neo-revivalis. Ia berusaha menghidupkan kembali
kecenderungan berfikir salafi untuk membentengi diri umat Islam dari pernik-pernik peradaban dunia yang sudah
keluar dari prinsip tauhid, sebagai asas abadi bagi kehidupan manusia.[19]
b. Islamisasi Pengetahuan

Islamisasi pengetahuan yang dikembangkan oleh al-Faruqi, pertama kali digagas dalam seminar yang
diadakan di Islamabad tentang pendidikan muslim (1981). Dari hasil seminar itu, al-Faruqi menerbitkan
buku lslamuation ofKnowledge (1982). Memang ada kontroversi terkait siapa yang pertama kali mencetuskan
istilah islamisasi ilmu pengetahuan. Namun menurut data yang ada, ide itu pertama muncul dan digagas oleh
Syed Naquib al-Attas ketika berlangsung konferensi pendidikan Islam di Makkah (1977).
Dasar islamisasi pengetahuan menurut al-Faruqi adalah tauhid sebagai intisari dari seluruh peradaban.
Islamisasi pengetahuan dalam hal ini adalah bahwa semua ilmu pengetahuan haarus berdasar pada al-Qur’an dan
Sunnah.Sejarah keilmuan Islam masa lalu membuktikan hal ini, dimana tidak melepaskan diri dari Tuhan sebagai
kebenaran dan realitas tertinggi dan sumber dari segala ilmu. Hal ini berpengaruh pada peradaban yang muncul
setelahnya, yang sangat mensejahterakan secara material maupun spiritual. Keilmuan modern yang tidak
menjadikan dasar tauhid akan berimplikasi buruk bagi peradaban dan tatanan masyarakat dunia. Maka
diperlukan upaya untuk memajuakan keilmuan tersebut dalam bentuk islamisasi.
Islamisasi pengetahuan menganut prinsip-prinsip epistimologi dan aksiologi tauhid, yaitu pengakuan
bahwa segala ciptaan, kejadian, peristiwa termasuk ilmu pengetahuan merupakan sebuah upaya manusia dengan
daya kreatifitasnya yang tidak lepas dari keikutsertaan Allah, yang merupakan perwujudan dari kehendak Allah.
Maka konsekwensi terhadap keilmuan itu adalah adanya morallitas sebagai pengakuan bahwa manusia tidak bisa
berlaku semena-mena dan harus bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya.
Metodologi keilmuwan yang dibangun al-Faruqi tidak memakai metodologi tradisional, khususnya yang
dipengaruhi oleh tasawuf, yang memasukkan metodologi intuitif dan esotorik, serta tidak mengikuti urutan ilmu
yang logis yang biasa dipakai ilmuwan masa lalu seperti al-Ghazali meletakkan nakli di atas akal. al-Faruqi
menerima keabsahan sumber ilmu
seperti persepsi indra kabar terpercaya, akal dan intuisi, sedang dalam hal tasawuf, al-Faruqi menganggap bahwa
tasawuf telah menjadikan umat Islam mundur. Gerakan salafiyahlah yang mampu dan lebih sukses membangun
peradaban Islam.
Al-Faruqi mengkritik peradaban Barat yang tercabut dari transendensi Tuhan. Barat dengan segala aliran
pemikiran dan filsafatnya telah menciptakan kehampaan ilmu dari aspek spiritualitas. Sekulerisme adalah sebuah
bukti bahwa Barat telah membentuk watak manusia tidak mengenal Tuhan yang seharusnya selalu transenden.
Islamisasi pengetahuan adalah usaha untuk membebaskan ilmu dari pemahaman yang didasari atas ideologi
sekuler dan dari manusia sekuleristik. Ilmu seharusnya merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap diri
sebagai khalifah yang ikut bertanggung jawab terhadap alam lingkungannya, juga bertanggung jawab pada Allah
sebagai pencipta, pengatur dan pembinanya.[20]
c. Toleransi Agama

Al-Faruqi meskipun disebut sebagai seorang fundamentalis yang biasanya sangat eksklusif dan radikal,
namun ia mempunyai konsep toleransi yang elegan, dan dalam aplikasinya ia tunjukkan dengan membangun
hubungan yang harmonis antar berbagai agama, terutama Yahudi dan Kristen. Namun terhadap sikap yang
bermusuhan, ia sangat membenci, terutama terkait dengan sikap zionis terhadap rakyat Palestina. Tentang
toleransi, al-Faruqi mengatakan sebagai prinsip dasar manusia yang harus menerima karena realitasnya
mengharuskan sikap itu. Toleransi sesuai dengan prinsip epistimologi dan etika dimana harus menerima sesuai
dengan kondisi yang dike- hendaki atau tidak dikehendaki. Kondisi ysng dikehendaki disebut dengan sa 'ah, dan
yang tidak dikehendaki disebut yusr, dimana keduanya memberi perlindungan pada umat Islam dari ketertutupan
dan isolasi dari dunia luar, juga mengakui terhadap hadirnya fenomena baru dan mampu menyampaikan data
baru yang memperkaya pengalaman hidup guna masa depan peradaban manusia.
Toleransi merupakan pengakuan akan keragaman agama dan realitasnya tidak beretentangan dengan
sejarah peradaban manusia. Islam memandang perbedaan dan kera gaman agama sebagai suatu hakekat ontologis
dansunnatullah dan oleh karenanya genuine, yang tidak bisa dinafikan atau dinihilkan, termasuk klaim
kebenaran yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jatidiri dan identitas sebuah agama akan kabur atau
bahkan hilang sama sekali. Dengan demikian, Islam memperlakukan sebagaimana adanya danmembiarkan
mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Bahkan membiarkan argumentasi yang menjadi tolok ukur
kebenaran sebuah agama. Namun dibalik fakta kemajemukan tersebut terdapat agama yang lurus, Islam yang
memberi petunjuk kehidupan manusia.
Dalam perjumpaan antar agama, toleransi bisa berubah menjadi konfrontasi, konflik dan pengutukan
terhadap agama lain. Untuk itu harus diselesaikan lewat forum kajian ilmiah yang kooperatif. Dalam etika Islam,
konsep yusr dapat mempetebal keyakinan orang Islam untuk melawan berbagai kecenderungan frustatif yang
menolak kehidupan dan memberi optimisme baru bagi manusia untuk menjaga keseimbangan hidup. Karena
Tuhan menjamin ciptaannya dengan memberi kemudahan (yusr) dalam kesulitan dan juga diperintahkan untuk
selalu melakukan pertimbangn sebelum membuat keputusan.toleransi dengan demikian merupakan pengakuan
akan keragaman agama sesuai dengan sejarah dan menuntut umat Islam melakukan kajian terhadap sejarah
agama-agama di dunia agar dapat menentukan sumber asli anugerah ilahi.
Sikap toleransi sekaligus kritik dengan dasar tauhid inilah yang menjadikannya sebagai seorang neo-
fundamentalis, tetap menjaga prinsip-prinsip dasar keagamaan Islam, dan bila melihat sesuatu yang keluar dari
prinsip toleransi dan kecenderungan perilaku destruktif seperti yang telah dilakukanoleh orang Israel terhadap
Palestina, sikapnya jelas, sangat radikal dan Konfrontatif. Apalagi ia melihat prinsip-prinsip zionis yang sudah
bertentangan dengan syariat Yahudi sebagai dasar ajaran agamanya. Antara Yahudi dan zionisme pada dasarnya
berbeda. Dalam pandangan al-Faruqi, kezaliman danketidakadilan yang dilakukan zionisme meupakan akar
dari semua masalah. Ia begitu rumit, majemuk, krusial, praktis tidak bisa menghentikan kecuali dengan perang
yang disertai kekerasan. Negara zionis harus dihancurkan, Yahudi diberi hak bermukim dimana saja yang
dikehendaki sebagai warga negara yang bebas.
Sebagai seorang neo-fundamentalis, aI-Faruqi tidak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme,
yang membuat umat Islam terpecah-pecah. Ia menginginkan sistem, kekhalifahan sebagai bentuk negara Islam
yang paling sempurna, guna tegaknya paradigma Islam di muka bumi. Khalifah merupakan induk dari lembaga
masyarakat dimana tanpanya, Islam akan kehilangan dasar pijaknya. Kekhalifahan yang diinginkannya, tentu
tidak berarti melenyapkan keberagaman, tetapi mereka diberi hak hidup dan bahkan umat Islam, bertanggung
jawab melindungi keberagaman agama. Sistem kekhlifahan ini berbentuk federal, dimana masing-masing negara
secara otonom mengurusi sendiri kepentingan dalam negarinya dibawah kekuasaan seorang khalifah.[21]
Pemikiran Penulis
Dalam menurut al-Faruqi mempunyai dua dimensi, yaitu metodologis, menentukan bentuk aplikasi dan
implementasi prinsip dasar peradaba; dan dimensi kontekstual, menentukan prinsip dasarnya. Dimensi
metodologimeliputi prinsip unitas, peradaban terbentuk bila seluruh unsur peradaban dapat disatukan dan
diselaraskan rasionalisme, unsur pembentuk esensi peradaban Islam, terdiri dari tiga hukum penolakan bahwa
tidak semua ide sesuai dengan realitas, persoalan terakhir penolakan terhadap kontradiksi antara nalar dengan
wahyu dan keterbukaan toleransi, sikap menerima terhadap realitas yang ada, karena sesuai dengan
prinsip epistimologi dan etika. Prinsip ini merupakan pencegah terhadap konservatisme yang mematikan
dinamika dan kreatifitas umat, juga sebagai pengakuan bahwa Allah tidak akan meninggalkan umatNya tanpa
Rasul yang membawa pelajaran untuk pengabdian kepadaNya, juga menimbulkan rasa kebersamaan, tetapi tetap
mengakui adanya al-din al-hanif
4. Syed Muhammad al- Naquib al-Attas

Syed Muhammad al- Naquib al- Attas lahir pada tahun 1931, adalah seorang pemikir muslim
kontemporer. Sejak tahun 1970 an ia sudah melanglang dalam percaturan pemikiran Islam. Pendidikan tinggi
dimulai di Malaysia, kemudian dilanjutkan ke Universitas Mc Gill Kanada dan memperoleh gelar MA
Selanjutnya ia memperoleh gelar doktor dari School of Oriental and Afrika Studies di London. Al-Attas dikenal
padaawalnya sebagai seorang ahli bahasa, sastra dan sejarah Melayu, dimana semenjak tahun 1970 ia telah
menjadi guru besar sekaligus direktur pada Lembaga Bahasa dan Literature melayudi Universitas Malaysia Kuala
Lumpur, dan sebagai pendirinya. Al Attas diangkat menjadi dekan pada fakultas Seni universitas Malaysia (1970-
1973). Dia juga dikenal sebagai pendiri International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)
Kuala Lumpur sebagai pusat pemikiran neo-revivalisme yang mencoba bersikap kritis terhadap
penggunaan metodologi pemikiran Barat sebagai alat kajian keislaman oleh kelompok neo-modernis. Al-Attas
juga sangat aktif mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, juga pemikiran keislaman dantercatat menjadi anggota
lembaga-lembaga Islam dunia. Tahun 1960-1963, ia menjadi peserta Canada Council, memberikan kontribusinya
pada seminar filsafat (1975), mengikuti seminar pendidikan Islam di Makkah (1977) dan menggagas
tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Saat ini al-Attas menjadi pemegang pertama kursi kehormatan al-Ghazali
dalam pemikiran Islam.
Syed al-Attas juga di kenal sebagai pemikir Islam produktif yang menulis berbagai tulisan baik mengenai
keba- hasaan, sejarah ataupun pemikiran Islam. Diantara buku-buku pemikiran Islam adalah : Islam : The
Concept of Religion and The Foundction of Ethics and Morality, Islam and Sekularism, Prolegamena to the
Metaphysics of Islam, The Concept of Educational in Islam: A Frame work for and Islamic Philosophy of
Education, Islam and The Philosophy of Science.[22]
Pemikiran Syed Muhammad al- Naquib al-Attas
a. Islamisasi Ilmu pengetahuan

Al-Attas dapat dikatakan sebagai penggagas pertama konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, yang
dicetuskan pertama kali tahun 1970 an ,tepatnya pada konferensi dunia pendidikan Islam (1977) yang diadakan
di Makkah. Islamisasi ilmu pengetahuan yang dimaksud oleh al-Attas adalah pembebasan ilmu dan penafsiran
yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta umgkapan manusia sekuler. Dalam hal ini
islamisasi adalah dewestemisasi atau membuang unsur-unsur asing produk sekuler Barat dari semua cabang ilmu
tentu saja ilmu yang terpengaruh dan dibangun oleh sekulerisme dalam hal ini adalah ilmu modem dan
kontemporer. Ilmu-ilmu yang dibangun oleh umat Islam pada masa klasik yang berdasar al-Qur’an dan Sunnah
sebagai ilmu-ilmu tradisi tidak perlu diIslamkan, karena tidak pernah melepaskan diri dari Tuhan sebagai
kebenaran dan realitas tertinggi dan sumber segala ilmu. Islamisasi itu sendiri berarti penyerapan dengan unsur-
unsur dan konsep-konsep kunci Islam setelah unsur dan konsep asing dibersihkan. Ilmu-ilmu modem dan
kontemporer yang dibersihkan dari unsur sekulerisasi seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam dan terapan
khususnya yang berhubungan dengan fakta-fakta dan perumusan teori dan ilmu teknologi (ilmu-ilmu rasional,
intelektual dan filosofis).
Ilmu modern dan kontemporer yang merupakan produk peradaban sekuler secara tidak langsung telah
terkontaminasi dengan unsur dan konsep kunci yang berasal dari tradisi keagamaan dan intelekual Barat. Unsur-
unsur itu adalah : (1)dualisme yang mencakup cara pandang Barat tentang hakikat dan kebenaran; (2) dualisme
antara jiwa dan jasad, pemisahan intelek dari rasio, serta penekanan mereka atas validitas akal rasio. Perpecahan
metodologi karena rasionalisme dan empirisme; (3) doktrin humanisme dan ideologi sekuler; (4) konsep
tragedi, terutama dalam sastra. Dengan demikian kemampuan untuk mengislamkan konsep kunci dari semua
cabang ilmu rasio intelek dan filosofis akan mampu membebaskan manusia dari tradisi magis, mitos, animis,
paham kebangsaan dan kebudayaan pra Islam, juga dari kendali sekuler atas nalar dan bahasa Pondasi keilmuan
Islam adalah tauhid. Hal ini
disebabkan bahwa setiap peristiwa dan kejadian yang ada di alam semesta merupakan sesuatu yang timbul karena
ada keikutsertaan Tuhan didalamnya. Keilmuan modern yang tidak berdasar tauhid akan berakibat tidak baik
bagi kemanusiaan dan peradabannya. Dalam sejarah keilmuan Islam telah terbukti bahwa ilmu pengetahuan
mereka memberikan sumbangan besar bagi kehidupan kemanusiaan, namun saaat ini ilmu modem dan
kontemporer sudah melepaskan diri dari Tuhan, dan berakibat penghancuran terhadap peradaban manusia.
Keikutsertaan Tuhan akan membentuk moralitas kehidupan yang menuntun pada kehidupan yang
membahagiakan, karena manusia tidak akan berlaku semena-mena dan akan menimbulkan sikap bertanggung
jawab atas segala yang dilakukannya.
Prinsip-prinsip epistimologi dan aksiologi al-Attas berpijak pada metafisika yang mensintesakan ide-ide
dan teori-teori yang secara tradisi dijunjung oleh teolog muslim, filosof dan sufi berdasarkan al-Qur’an dan
Hadits. Kerangka kerja filosofisnya dibangun dengan memperhatikan aspek tasawuf dalam memformulasikan
konsep-konsep dasar pada semua cabang ilmu dan sebagai sumber yang sah adalah intuisi. Al-Attas menjadikan
indera, kabar terpercaya, akal sehat dan intuisi yang semuanya terangkum dalam kepercayaan orang Islam
sebagai akidah, merupakan sumber keilmuan Islam. Kedudukanilmu naqliyah menempati posisi tertinggi dalam
struktur keilmuan Islam diatas ilmu yang sifatnya aqliyah.
Gagasan sekularisasi, termasuk pada ilmu pengetahuan yang dikembangkan kelompok meo-modemisme,
tidak boleh diterapkan sebagai konsep untuk pengosongan nilai-nilai ruhani dan thabi’i karena konsep itu
bertentangan dengan konsep pandangan hidup Islam tentang alam. Al-Qur’an menyebut bahwa alam semesta
adalah ayat (kata, kalimat dan simbol) manifestasi lahir dan batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan
dan harus dihormati karena memiliki hubungan simbolik dengan Tuhan. Tapi tidak berarti menganggap
dirinya. sebagai patner bersama Tuhan dalam penciptaan. Hubungan dengan alam supaya dapat menghargai
hikmah yang terkandung dengan apa yang diberikan Tuhan tersebut Sekulari-sasi telah mengikis dan
menghilangkan simbol ini. Hasilnya, alam tidak dihormati lagi dan berdampak pada perusakan alam. Sekularisasi
telah menciptakan manusia menuhankandirinya sendiri, berlaku tidak adai terhadap alam.
Sekularisasi yang secara tidak langsung menjadi sekularisme, akan berubah bukan sekedar sebuah
ideologi tapi sebuah pandangan hidup. Islamisasi dalam hal ini merupakan usaha membangun pandangan hidup
terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta sesuai dengan Islam. Pandangan hidup tentang kebenaran dan
realitas ini bagi Islam bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di
alamnya secara historis, sosial, politik dan kultural, tapi mencakup dunia dan akhirat, dimana aspek
akhirat diletakkan sebagai aspek final. Elemen penting pandangan hidup Islam tersebut adalah, (1) berdasarkan
kajian metafisik terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak; (2) bercirikan metode berfikir tauhid (integral)
dan tidak dikotomis; (3) bersumbear pada wahyu yang diperkuat din (agama) dan disukung oleh prinsip akal dan
intuisi; (4) elemen tersebut terdiri dari konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi, manusia, ilmu, agama,
kebebasan, dan kebahagiaan dimana menjadi penentu bentuk perubahan, perkembangan dan
kemajuan Islam; (S) Tuhan Allah diyakini sebagai konsep mendasar dan menjadi pusat dari segala-galanya.[23]
b. Pemikiran Pendidikan Islam

Pemikiran pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas tidak tepat memakai istilah tarbiyah. Karena
pendidikan itu sendiri berarti suatu proses penanaman sesuatu kedalam diri manusia. Penanaman dalam hal ini
adalah proses sesuatu berarti kandungan dan diri manusia adalah penerima. Ketiga komponen ini merupakan
unsur yang ada dalam pendidikan. Tarbiyahmerupakan istilah yang relatif baru yang diadopsi
kelompok modernis dari istilah Barat “Education“, menghasilkan, mengembangkan dari keperiadaan yang
tersembunyi atau
potensial yang mengacu pada sesuatu yang bersifat fisik dan material, berkenaan dengan manusia sekuler,
masyarakat dan negara. Istilah tarbiyah mengacu pada makna mengasuh, menanggung, memberi makan,
mengembangkan, memelihara, membuat, menjadi bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi
hasil yang sudah matang dan menjinakkan, bukan terbatas pada manusia tapi juga pada spesies lain. Al-Attas
dalam soal pendidikan Islam lebih menggunakan istilah ta’dib, karena sudah mencakup
unsur pengetahuan (ilm), pengajaran (ta'lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Konsekuensi
pemaknaan ta’dibsebagai pendidikan akan membangun manusia yang beradab yang berkeadilan, yang pada
gilirannya menimbulkan sikap lurus dan benar dalam pengetahuan. Sebaliknya bila tidak menggunakan
konsep ta’dib sebagai pendidikan akan menghilangkan adab yang berarti hilangnya keadilan, yang pada
gilirannya akan menimbulkan kesalahan dan kebingungan dalam pengetahuan. Akibat dari kondisi ini bagi umat
Islam akan menciptakan pemimpin-pemimpin yang palsu dalam segala bidang kehidupan dan menimbulkan
kezaliman. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa dilema umat Islam saat ini adalah mereka dalam
kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan yang pada gilirannya menciptakan kondisi hilangnya adab dalam
umat. Dengan kondisi seperti ini maka akan mambangkitkan pemimpin yang tidak memenuhi kepemimpinan
yang absah dalam umat, tidak memiliki standar moralitas, intelektual dan spiritual yang dibutuhkan untuk
kepemimpinannya, dimana bisa menjamin pengendalian yang berkelanjutan atas urusan umat dan menguasai
seluruh bidang kehidupan.
Istilah ta'dib pada hakikatnya sudah pernah dipakai semenjak periode awal sejarah Islam, seperti disebut
dalam Hadits, “Allah menanamkan adabkedalam diriku (Nabi) dan dengan demikian menjadikan ta
’dibnya yang paling baik”. Dengan demikian istilah adab telah terlihat dalam sunnah Nabi yang secara
konseptual melebur bersama ilmu dan amal. Pemakaian istilah adab bahkan berkembang setelahnya pada masa
dinasti Umayyah, mencakup semua kesusasteraan dan kebudayaan orang Arab, begitu juga masa Abbasiyah,
adab dikembangkan sehingga mencakup ilmu dan disiplin kemanusiaan, masyarakat muslim lain, terutama
Persia. Juga memajukan kesusastraan, ilmu dan filsafat peradaban lain seperti India dan Yunani.
Konsep adab akhirnya berhenti danterbatas pada kesusastraan dan etiket professional dan sosial.
Sistem pendidikan menurut al-Attas berpusat pada manusia dengan perwujudan paling tinggi dan
sempurna ada pada universitas. Universitas yang merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan
sempurna ini harusmencerminkan keuniversalannya, maka ia harus mencerminkan manusia universal (al-insan
al-kamil). Dengan demikian sistem pendidikan Islam yang mengambil bentuk manusia, maka sebagai model
utama dan sempurna ada pada pribadi Nabi Muhammad. Universitas Barat tidak mencerminkan manusia tapi
negara sekuler, karena tidak pernah tercipta manusia sempurna. Dengan demikian universitas harus
mencerminkan Nabi dalam pengetahuan dan tindakan yang benar dengan fungsi menghasilkan manusia yang
bermutu sedekat mungkin menyerupai Nabi sesuai dengan kapasitas dan potensinya.
Karena manusia terdiri dari jiwa {roh, nafs, qalb, aki), jasad (fakultas jasmani dan indrawi), di mana
jiwanya mengatur jasadnya, maka ilmu harus terdiri dari dua yakni pemberian Allah dan hasil capaian dengan
usaha manusia. Yang pertama bersifat mutlak, penting bagi pembimbingan dan penyelamatanmanusia-ilmu
agama yang wajib (fardlu ain) untuk diraih semua muslim. Yang kedua ilmu rasional, intelektual dan
filosofis yang wajib bagi sebagian muslim(fardlu kifayah). Ilmu agama harus menjadikan Nabi Muhammmad
sebagai pusat pendidikan Islam, bukan dalam arti sesuai dengan pemahaman golongan,aliran dan mazhab yang
muncul setelah Nabi.[24]
c. Pemikiran Tentang Pluralisme Agama

Pemikiran al-Attas tentang wahyu sebagai sumber agama Islam, bukan dalam arti imajinasi sang penyair,
atau inspirasi apostolik penulis kitab suci seperti Bible, atau intuisi iluminatif seorang ilmuwan, tapi sebagai
firman Allah tentang diriNya, ciptaanNya, relasi antara keduanya dan jalan menujukeselamatan, yang
disampaikan kepada Nabi dan Rasul melalui
tanpa suara atau aksara, tapi melalui kalam yang disampaikan kepada umat dengan bahasa dan sifat baru, tanpa
campur tangan dengan subjektifitas dan imajinasi kognitif pribadi Nabi, yang bersifat final, membenarkan wahyu
sebelumnya dan mencakupnya, serta memisahkan antara kebenaran dan hasilbudaya serta produk etnis tertentu.
Sifat Tuhan tidak sama dengan apa yang dipahami doktrin dan tradisi agama lain, alam pikiran Yunani
dan Hellinistik, dan filsafat Barat serta Timur. Kalau memang ada kemiripan pemahaman tersebut bukan berarti
Tuhan yangdimaksud sama dan tentu tidak ada kesamaan agama. Ketidaksamaan agama berarti ketiadaan
kesamaan transendensi agama bila dikaitkan dengan keesaan dan kesamaannya. Kesatuan itu bila dipahami
dalam arti bukan keesaan dankesamaan berarti ada keragaman agama dan ketidaksamaan, dan tentu pula
pluralitas atau ketidaksmaan dalam saling keterikatan dan keterhubungan tidak dipakai sebagai persatuan dalam
arti saling keterkaitan dan hubungan doktrin agama yang memberikan pemahaman tidak ada agama yang
sempurna. Tuhan dalam pemahaman muslim adalah pengakuan bahwa ia adalah rabb sekaligusilah yang
mengandung makna tidak mensekutukannya dengan partner atau yang serupa dengan itu; dan berserah diri
kepadanya dengan cara dan keadaan yangdiridhainya sesuai yang digariskan Nabi. Dengan demikian secara
ontologis tidak ada kesatuan agama. Tetapi bila dipahami secara psikologis maka kesatuan itu bukan dalam arti
agama, tetapi hanya pengalaman dan kesadaran keagamaan. Hal fersebut hanya bisa dicapai oleh sedikit orang
karena tidak pernah ada yang mampu mencapai tingkat transendensi kesatuan agama. Sehingga pandangan
tentang pluralitas agama ditolak. Pluralitas agama yang digagas kelompok neo-modemis ini Mendasarkan
argumentasinya pada kebenaran yang berasal dari kesamaan validitas pluralitas dan keagamaan agama yang sama
dengan pandangan dan pemikiran filsafat dan sains modern, yang menyatakan bahwa ada pluralitas dan
diversitas hukum yang mengatur alam yang memiliki validitas yang sama
dengan kosmologinya.
Pemikiran neo-modernis yang menyatakan semua agama besar itu berdasarkan wahyu, didasarkan atas
asumsi bahwa universalitas dan esoterisme modem memberikan teori mereka setelah berkenalan dengan
metafisika Islam tentang kesatuan transendensi, eksistensi yang mengandung implikasi kesatuan transendensi
agama. Pernyataan itu sangat menyesatkan dan apalagi didukung oleh motif dengan agenda terselubung, dari
pada keyakinan mempercayai kebenaran. Klaim neo-modernisme tentang kesatuan agama hanya semata-
mata didasari imajinasi induktif dan bersumber pada spikulasi intelektual, bukan dari pengalaman konkrit. Kalau
mereka mengklaim bahwa pemikiran mereka hasil temuan pada orang yang mengalaminya, perasaan kesatuan
itu bukan agama tetapi merupakan derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu dan tidak bisa
digenerasikan sebagai kesatuan agama yang mengandung kebenaran validitas yang sama dengan agam wahyu.
Kalau yang mereka yakini dikatakan sebagai Tuhan yang sama, tapi Tuhan dalam hal ini hanya berarti rabb,
bukan ilah dalam agama wahyu. Dengan mengenalnya sebagai rabb belum bisa diartikan sebagai bentuk
kesamaan agama.
Al-Attas juga mengatakan hanya ada satu agama wahyu yang asli, disebut Islam, dimana manusia yang
mengikutinya akan dipuji Allah sebagai sebaik manusia. Hanya Islam yang mengakui keesaan Allah secara
absolut tanpa harus mencapai level transenden, tanpa mengacaukan pengakuan dan penegasandengan bentuk
kepercayaan dan praktek tradisional yang dianggap sebagai agama, tanpa membaurkan pengakuan
dan penegasan ini dengan kreasi budaya dan etnis sebagai imitasi agama wahyu. Islam bukan sebagai bentuk
tetapi esensi sebagai din. Islam juga mengenalkan pemisahan eksoterik dan esoterikdalam memahami kebenaran
agama. Tidak usah menutupi kebenaran agama Islam, tidak pula menutupi kesalahan agama-agama selain Islam.
Kata Islam dalam pandangan al-Attas mempunyai tiga aspek pemahaman, yaitu sebagai penyerahan diri,
sebagai definisi agama dan nama khusus sebuah agama. Kata din, berasal dari akar bahasa Arab yang secara
kebahasaan berarti berhutang, penyerahan diri, kekuatan hukum dan kecenderungan alamiah. Din sebagai
berhutang, dana, erat kaitannya denganperasaan hutang pada Tuhan karena telah diberi wujud dan
hidup. Din sebagai penyerahan diri, ada kaitannnya dengan berhutang, karena timbul perasaan bertanggung
jawab dan ketaatan pada Tuhan. Din sebagai kekuatan hukum antara yang menghutang dan pemberi hutang,
membutuhkan suatu perjanjian yang merupakan ketetapan hukum. Dan din sebagai kecondongan alamiah
merupakan proses yang berlaku dalam hubungan antara Tuhan dengan manusia. Dengan demikian keterkaitan
antara empat arti inilah yang melahirkan pengertian baru bahwa din akan membutuhkan sebuah peradaban dan
perbaikan, membudayakan dan memanusiakan seperti membentuk kota (Madinah).
Pengertian din sebagai hutang, penyerahan diri, ke- kuatan hukum, tendensi alamiah ini hanya dapat
dipraktekkan sebagai sebuah masyarakat yang tertata dan berperadaban. Ada hubungan yang signifikan antara
konsep din dan konsep kota Madinah yang berasal dari kata din, dan peranan orang yangberiman secara
perseorangan dengan konsep din, dan din secara
kolektif dengan konsep Madinah. Relevansi dengan penggantian Nabi atas Yatsrib dengan istilah Madinah jelas
sebagai bentuk dan era baru dalam sejarah umat Islam atas kota tersebut. Disana orang-orang beriman
mengabdikan diri pada kekuasaan dan hukum dari Nabi, sebagai dayyannyz. (penguasa), disana realitas
hubungan dengan Tuhan, mempunyai bentuk yang jelas dan cara serta metode pembayaran (hutang) yang
disetujui mulai dibuka. Kota Nabi menandakan dimana din yang sebenarnya diundangkan dibawah kekuasaan
dan hukumnya.Dan inilah yang disebut Islam sebagai konsep agama yang diridlai oleh Allah, dengan Madinah
sebagai contoh terbaik bagi kehidupan masyarakat manusia.[25]
Pemikiran penulis
Dalam, juga banyak mengritisi sektor pendidikan, pendidikan menurut al-Attas berpusat pada manusia
dengan perwujudan paling tinggi dan sempurna ada pada universitas. Universitas yang merupakan
sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna ini harus mencerminkan keuniversalannya, maka ia
harus mencerminkan manusia universal (al-insan al-kamil). Dengan demikian sistem pendidikan Islam yang
mengambil bentuk manusia, makasebagai model utama dan sempurna ada pada pribadi Nabi Muhammad.
Universitas Barat tidak mencerminkan manusia tapi negara sekuler, karena tidak pernah tercipta
manusia sempurna. Dengan demikian universitas harus mencerminkan Nabi dalam pengetahuan dan tindakan
yang benar dengan fungsi menghasilkan manusia yang bermutu sedekat mungkin menyerupai Nabi sesuai dengan
kapasitas dan potensinya.
5. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa
Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri
agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari.
Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia
memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan
Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah
bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid, ulama
tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.[26]
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil
jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak
meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama
tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa
kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra.
Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kenudian ia
dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.[27]
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui
paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik.[28] Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi
kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-
Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang
liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam
tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.[29]
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia
pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya
lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional
dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi.
Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan
semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis
dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.[30]
Gagasan Dan Pemikiran Gusdur

Gagasan dan pemikiran seorang tokoh biasanya terlihat pada sejumlah pidato dan karya tulisnya. Untuk
itu pada bagian ini akan dikemukakan sejumlah gagasan dan pemikiran Gusdur yang dapat dijumpai dalam
sejumlah karya tulisnya. Diantara karya tulisnya adalah sebagai berikut:[31]
Pertama, buku Bunga Rampai Pesantren. Di dalam buku ini terdapat 12 artikel yang secara umum
bertemakan tentang pesantren. Di dalam buku ini Gus Dur menunjukkan sikap optimismenya bahwa pesantren
dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama
pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil
peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan
politik dan ideologi Negara, sekalipun.
Selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa dalam melakukan modernisasi dan dinamisasi pesantren perlu
adanya langkah-langkah sebagai berikut. Pertama , perlu adanya perbaikan keadaan dipesantren yang didasarkan
pada proses regenerasi kepemimpinan yang sehat dan kuat. Kedua, perlu adanya persyaratan yang melandasi
terjadinya proses dinamisasi tersebut. Persyaratan yang dimaksud meliputi rekonstruksi bahan-bahan pelajaran
ilmu-ilmu agama dalam skala besar-besaran. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa kitab-kitab kuno dan
kitab-kitab pengajaran modern seperti yang dikarang Mahmud Yunusdan Hasbi Ash-Shiddiqi telah kehabisan
daya dorongnya untuk mengembangkan rasa kepemilikan terhadap ajaran agama.
Sejalan dengan perubahan visi, misi dan tujuan pendidikan pesantren sebagaiman tersebut di atas, Gus
Dur juga berbicara tentang kurikulum pendidikan pesantren. Menurutnya kurikulum yang berkembang di dunia
pesantren selama ini dapat diringkas menjadi tiga hal. Pertama, kurikulum yang bertujuan untuk mencetak para
ulama di kemudian hari. Kedua, struktur dasar kurikulumnya adalahpengajaran pengetahuan agama dalam
segenap tingkatan dan pemberian bimbingan kepada para santri secara pribadi yang dilakukan oleh guru atai
kiai. Ketiga,secara kesel;uruhan kurikulum yang ada di pesantren bersifat fleksibel, yaitu dalam setiap
kesempatan para santri memiliki kesempatan untuk menyusun kurikulumnya sendiri, baik secara seluruhnya
maupun sebagian saja.
Selanjutnya Gus Dur juga menginginkan agar kurikulum pesantren memiliki keterkaitan dengan
kebutuhan lapangan kerja, Untuk kalangan dunia kerja, baik dalam jasa maupun dalam bidang perdagangan dan
keahliannya, pesantren harus memberikan masukan bagi kalangan pendidikan, tentang keahlian apa yang yang
sesungguhnya dibutuhkan oleh lapangan kerja yang di era Globalisasi seperti sekarang ini demikian cepat dan
beragam.
Gagasan Gus Dur dalam bidang pendidikan Islam dapat dilihat pada karyangya yang berjudul Muslim
ditengah pengumulan, dalam buku yang menampung 17 artikel ini, Gus dur mencoba menjelaskan berbagai
masalahyang timbul dalam rangka merespon modernisasi sebagaimana tersebut di atas, Selanjutnya dalam buku
yang berjudul Kiai nyentrik membela pemerintah, Gusdur mengajak pembaca untuk memikirkan kembali
persoalan-persoalan kenegaraan, kebudayaan dan keislaman.
Selain itu, terdapat pula berbagai buku yang membahas tentang pemikiran dan gagasan Gus Dur,
yaitu:[32] buku yang berjudul Kiai menggugat, Gus Dur menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
transformasi; Tabayun Gus Dur Islam, Negara dan demokrasi: Himpunan perenungan percikan Gus Dur, Gus
Dur menjawab Tantangan Perubahan; Membangun Demokrasi serta melawan Lelucon.
Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui, bahwa selain sebagai tokoh
politik,negarawan,budayawan,kiai, Gus Dur juga sebagai seorang akademisi yang memberikan perhatian yang
cukup besar terhadap maju mundurnya pendidikan Islam, dengan titik tekan pada permasalahan pendidikan
pesantren, sebuah lembaga pendidikan tradisional, tempat pertama kali Gus Dur mengenal Islam.
Penerapan pemikiran Abdurrahman Wahid belum bisa dikatakan berhasil. Pemikirannya masih banyak
mengundang pertentanga, baik itu dalam masyarakat muslim sendiri, para tokoh politik dan cendikiawan muslim.
Namun yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah apakah semua orang dapat berlapang dada melihat apa
yang telah terjadi setelah ia menjadi orang nomor satu di Negara ini? Kenyataannya tidaklah demikian.
Pertentangan demi pertentangan, hujatan demi hujatan banyak sekali ditujukan kepadanya yang dating dari
berbagai kalangan politikus dan pemikir-pemikir intelektual Indonesia.[33]
Pemikiran penulis
Dalam K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur
membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. perubahan visi,
misi dan tujuan pendidikan pesantren sebagaiman tersebut di atas, Gus Dur juga berbicara tentang kurikulum
pendidikan pesantren. Menurutnya kurikulum yang berkembang di dunia pesantren selama ini dapat diringkas
menjadi tiga hal.Pertama, kurikulum yang bertujuan untuk mencetak para ulama di kemudian
hari. Kedua, struktur dasar kurikulumnya adalahpengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan
pemberian bimbingan kepada para santri secara pribadi yang dilakukan oleh guru atai kiai. Ketiga,secara
kesel;uruhan kurikulum yang ada di pesantren bersifat fleksibel,
6. Nurcholish Madjid

Nurcholis Madjid lahir di Mojo Anyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 17 maret 1939 (27
Muharram1358) dari kalangan keluarga santri. Nur Cholis memulai pendidikannya dengan belajar di Sekolah
Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah Pesantren Darul Ulum, kemudian melanjutkan ke KMII (Kuliyyatul Muallimin)
Pondok Modern Gontor. Setelah selesai sekolah di Gontor, kemudian melanjutkan kuliyah di IAIN Syarif
Hidayatullah Fakultas Adab. Setelah meraih gelar sarjana, kemudian melanjutkan studi ke Universitas Cicago
sampai meraih gelar Doctor kalam di bidang pemikiran islam, dengan disertasi Ibn Taimiyah On Kalam And
Falsafah Problem Of Reason And Revelation In Islam.

Nur Cholis Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, pada masa mudanya dipercaya menjadi ketua umum
organisasi mahasiswa sampai dua priode, yaitu ketua umum HMI tahun1966-1969 dan 1969-1972. Cak Nur juga
pernah menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan asisten sekretaris jendral Islamic
Federation Of Student Organization.

Nur Cholis dikenal sebagai salah satu pembaharu pemikiran islam di indonesia pada tahun 1970-an.
Bahkan beliaulah yang dinyatakan sebagai pencetus pembaharuan islam. Dikarenakan pidato Cak Nur pada
tanggal 2 januari 1970 dengan judul makalah “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi
Umat” dinyatakan sebagai momentum pembaruan pemikiran islam di Indonesia.

a. Karya-Karya Nurcholis Madjid

Beberapa karya Nurcholis Madjid yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran islam di Indonesia
yaitu, The Issue Of Modernization Among Muslims Indonesia, What Is Modern Indonesia 1974, Islam In
Indonesia Callanges Opportunities, Islam In The Contemporary World 1980, Khazanah Intelektual Islam 1984,
Isalam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Seri rang kuman pemikiran nurcholis fase pertama gagasan pembaruan
1987-1994, Islam Doktrin Dan Peradaban. Dan lain-lain.

b. Pemikiran Nur Cholis Majid

Nur Cholis merumuskan modernisasi sebagai rasionalitas hal ini berarti proses perombakan pola pikir
dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya untuk memperoleh efisiensi yang maksimal untul kebahagiaan umat
manusia.Pendekatan yang digunakan Nurkholis dalam memahami umat dan ajaran islam lebih bersifat cultural
normative sehingga ada kesan bahwa lebih mementingkan komunitas dan integralistik.
Nur Cholis Majid menekankan pentingnya diadakan pembaruan setelah melihat kondisi dan persoalan
yang dihadapi umat islam. Menurutnya pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan, yuang mana satu dan
lainnya sangat erat hubunganya. Yaitu:melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai baru yang
berorientasi kemasa depan. yang kemudian melahirkan ide sekulerisasi yang dianggap kotroversial oleh sebagian
orang.[34]

Sekularisasi disini tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekulerisme dan mengubah kaum muslimin
menjadi sekuleris, sekulerisasi yang dimaksudkan yaitu pembebasan dari kungkungan cultural yang
membelenggu manusia untuk berfikir kritis dalam memahami realitas. Sekularisasi disini digambarkan sebagai
jalan untuk mengembalikan ajaran islam kewilayah yang hakiki yakni menempatkan secara jelas mana wilayah
yang dipandang sakral dan mana wilayah yang dipandang temporal.[35]

Proses sekulerisasi disini tidak seperti sekulerisme yang didasarkan penolakan terhadap nilai agama
dalam masyarakat, tetapi sekulerisasi disini berkeinginan membedakan institusi-institusi yang dibangun
berdasarkan akal pikiran dan kepentingan pragmatis (ijtihad), dengan institusi yang dibangun berdasarkan
agama. Sehingga apabila agama tidak membangun institusi tersebut maka manusia secara bebas dapat membuat,
meminjam atau mengambil alih institusi yang dibangun secara sekuler ini.[36]

Jadi yang dimaksudkan dengan sekularisasi menurut nurcholis madjid disini yaitu pemisahan antara
urusan dunia dan akhirat. Ketika menyagkut urusan dunia manusia diberi kebebasan untuk bersikap kritis akan
realitas yang terjadi disekitarnya. Dengan kata lain manusia diberi kebebasan untuk mendayagunakan secara
maksimal akan potensi yang telah diberikan oleh tuhan untuk mengelola bumi atau semua urusan yang berkenaan
dengan keduniawian, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagi khalifah dimuka bumi. Jadi berkenaan dengan
urusan duniawi takdir manusia adalah kebabasan dan kemerdekaan untuk menentukan masibnya sendiri, disini
manusia tidak semata hanya mengantungkan dirinya kepada tuhan tetapi manusia menentukan nasibnya sendiri.

Sedang yang berkenaan dengan urusan akhirat atau keagamaan maka manusia tidak mempunyai
kebebasan untuk melaksanakan kegiatan peribadatan sesuai dengan yang dikehendaki tetapi telah ditentukan oleh
tuhan apa yang harus dikerjakan maka dalam urusan akhirat manusia tidak memiliki kebebasan untuk melakukan
sesuatu berdasarkan keinginannya.

Maka manusia harus memisahkan antara kebebasan dan ketentuan, ketika manusia diberi kebebasan dalan
urusannya maka ia tidak boleh menyatakan bahwa ini adalah ketentuan yang tidak dapat diubah lagi. Begitu pula
ketika manusia telah ditentukan apa yang harus dikerjakan maka ia tidak boleh mengubah ketentuan itu dengan
alasan kebebasan yang dimiliki. Maka perlulah kiranya untuk memisahkan antara kebebasan tentang urusan dunia
dan ketentuan dalam urusan akhirat, dengan kata lain ini adalah sekularisasi

Selain sekulerissai Nur Cholis Majid juga melontaran gagasan “Islam Yes Partai Islam No!” gagasan ini
berangkat dari kekecewaan antar partai-partai islam yang tidak berhasil membangun image positif bahkan yang
ada sebaliknya.

Dengan kata lain penolakan terhadap partai islam bukan pada islamnya tetapi penolakan atas
pemanfaatan islam oleh mereka yang terlibat dalam partai politik islam. Tingkah laku dan pemanfatan islam
yang seperti itu pada ggilirannya justru menjatuhkan nilai ajaran islam yang sebenarnya.

Disisilain gagasan islam yes partai islam no menunjukan bahwa Nur Cholis memandang umat islam tidak
patut mendirikan Negara islam dengan menjadikan politik islam sebagai kendaraan politiknya. Hal ini
dikarenakan bangsa Indonesia yang majemuk buakn hanya terdiri dari satu sukubangsa dan agama tapi
kemajemukan yang sangat komplek.

Dari segi sosial politik Nur Cholis berpendapat keharusan unutk menerapkan sistim Demokrasi terbuka.
Maksudnya yaitu dalam hal pemerintahan Nur Cholis berpendapat keharusan adanya partisipasi dari masyarakat
dalam hal menjalankan pemerintahan, caranya yaitu dengan memberikan kebebasan kepada masyarakan untuk
berkumpul berserikat dan menyampaikan pendapat.
Dengan kebebasan yang dimiliki oleh masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya maka pemerintah
mengetahui apa yang menjadi keinginan dan segala problematika dari masyarakat yang dipimpinnya atau dengan
kata lain pemerintah mengetahui aspirasi masyarakat yang dipimpinnya, sehingga dalam menjalan pemerintahan
akan tercapai hasil yang maksimal dalam rangka mensejahterkan masyarakat.

Dalam segi pemerintahan, Nur Cholis berpandangan bahwa sistim pemerintahan yang paling ideal yaitu
sistim prisidensial priodik, dimana seorang pemimmpin dipilih oleh masyarakat untuk menjalankan
pemerintahan dengan batasan waktu yang diberikan kepada seseorang yang menjalankan pemerintahan. Sistim
pemerintahan ini merupakan kelanjutan dari sistim Demokrasi dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Semua pemikiran modernissasi Nur Cholis titik tolaknya adalah konsep tauhid, pembebasan tidak lain
adalah pemurnian kepercayaan terhadap tuhan itu sendiri implikasi dari pembebasan tersebut seorang akan
menjadi manusia yang terbuka yang secara kriris selalu tanggap terhadap masalah-masalah kebenaran dan
kepalsuan yang ada dimasyarakat.

Hal-hal yang menyangkut akidah tidak mengalami suatu yang baru dan radikal hanya penafsiran yang
dianggap baru misalnya tentang persoalam duniawi cukup diurus oleh ilmu kemampuan akal rasional, agama
mementingkan komunikasi spiritual. Dalam mmemandang penangan bobot peradaban dan kemajuan umat islam,
lebih mengandalkan ilmu dari pada agama dan tuhan.

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui, bahwa selain sebagai tokoh


politik,negarawan,budayawan,kiai, Gus Dur juga sebagai seorang akademisi yang memberikan perhatian yang
cukup besar terhadap maju mundurnya pendidikan Islam, dengan titik tekan pada permasalahan pendidikan
pesantren, sebuah lembaga pendidikan tradisional, tempat pertama kali Gus Dur mengenal Islam.

Pemikiran penulis

Dalam Nur Cholis Majid menekankan pentingnya diadakan pembaruan setelah melihat kondisi dan
persoalan yang dihadapi umat islam. Menurutnya pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan, yuang mana
satu dan lainnya sangat erat hubunganya. Yaitu:melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai baru
yang berorientasi kemasa depan. yang kemudian melahirkan ide sekulerisasi yang dianggap kotroversial oleh
sebagian orang.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern
(abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan
metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.
Fazlur Rahman adalah satu dari banyak pemikir Muslim kontemporer yang mengakui secara padu
pendekatan ilmiah modern dan mempertahankan iman secara intensif dan mendalam. Untuk dapat
menggabungkan dua sikap ini, ia mengajukan diri untuk membangun sebuah visi Islam yang murni, dengan
menggunakan pemahaman yang lebih baik terhadap pengalaman Nabi, kondisi-kondisi historis dan politik yang
di dalamnya pengalaman itu terjadi, dan transformasi-transformasi yang diusahakannya untuk tercipta dalam
masyarakat.
Mohammed Arkoun, Dia mengkritik orang yang menggunakan Islam untuk kepentingan ideologi. Dia
berusaha mencari bentuk lain hubungan baru antara iman dan pikiran, subyek dan obyek, Islam, Kristen, Yahudi,
Syi’ah, Sunni, Timur, Barat, Utara dan Selatan. Ia juga mengkritik pemikiran Islam dan orientalis yang tidak
membawa umat Islam kepada posisi sesuai dengankehendak Tuhan. Pemikiran Arkoun berpusat pada
dekontruksi baik atas pemikiran Islam maupun orientalis dan mencoba untuk merumuskan kembali Islam yang
aktual.
Ismail Raji al Faruqi, al-Faruqi dikenal sebagai perancang berdirinya The American Islamic
Chicago dan terlibat dalam merancang pendirian pusat studi Islam Association of Muslim Social
Scientiest (1972). Ia juga aktif di beberapa lembaga kajian Islam seperti The American Academy of
Religion seria sebagai editor di sejumlah jurnal keislaman. Sebagai seorang intelektual, ia juga
mendirikan pusat kajianInternational Institute of Islamic Thought (HIT) 1980. Pemikiran al-Faruqi
yang menjadikan dasar segala aktifitas umat Islam adalah tauhid, dengan implikasi
pemurnian terhadap konsep-konsep yang mencemarinya. Konsep seperti yang diungkap diatas
memasukkan al-Faruqi sebagai dalam kelompok salafi dan neo-fundamentalis, neo-revivalis. Ia
berusaha menghidupkan kembali kecenderungan berfikirsalafi untuk membentengi diri umat Islam
dari pernik-pernik peradaban dunia yang sudah keluar dari prinsip tauhid, sebagai asas abadi bagi
kehidupan manusia.
Tauhid sebagai esensi peradaban, menurut al-Faruqi mempunyai dua dimensi, yaitu metodologis,
menentukan bentuk aplikasi dan implementasi prinsip dasar peradaba; dan dimensi kontekstual, menentukan
prinsip dasarnya. Dimensi metodologi meliputi prinsip unitas, peradaban terbentuk bila seluruh unsur peradaban
dapat disatukan dan diselaraskan rasionalisme, unsurpembentuk esensi peradaban Islam, terdiri dari tiga
hukum penolakan bahwa tidak semua ide sesuai dengan realitas, persoalan terakhir penolakan terhadap
kontradiksi antara nalar dengan wahyu dan keterbukaan toleransi, sikap menerima terhadap realitas yang ada,
karena sesuai dengan prinsip epistimologi dan etika.
Syed Muhammad al- Naquib al-Attas, Dia dikenal sebagai pendiriInternational Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur sebagai pusat pemikiran neo-revivalisme
yang mencoba bersikap kritis terhadap penggunaan metodologi pemikiran Barat sebagai alat kajian
keislaman oleh kelompok neo-modernis. Al-Attas juga sangat aktif mengikuti berbagai pertemuan
ilmiah, juga pemikiran keislaman dan tercatat menjadi anggota lembaga-lembaga Islam
dunia. Prinsip-prinsip epistimologi dan aksiologi al-Attas berpijak pada metafisika yang
mensintesakan ide-ide dan teori-teori yang secara tradisi dijunjung oleh teolog muslim, filosof dan sufi
berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan
budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan
apreciate dengan budaya lokal.Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya
barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus
Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus
Dur. Gagasan Gus Dur dalam bidang pendidikan Islam dapat dilihat pada karyangya yang berjudul Muslim
ditengah pengumulan, dalam buku yang menampung 17 artikel.
Nurcholish Madjid, Nur Cholis merumuskan modernisasi sebagai rasionalitas hal ini berarti proses
perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya untuk memperoleh efisiensi yang maksimal
untul kebahagiaan umat manusia. pemisahan antara urusan dunia dan akhirat. Ketika menyagkut urusan dunia
manusia diberi kebebasan untuk bersikap kritis akan realitas yang terjadi disekitarnya. Dengan kata lain manusia
diberi kebebasan untuk mendayagunakan secara maksimal akan potensi yang telah diberikan oleh tuhan untuk
mengelola bumi atau semua urusan yang berkenaan dengan keduniawian, dalam rangka menjalankan tugasnya
sebagi khalifah dimuka bumi. Jadi berkenaan dengan urusan duniawi takdir manusia adalah kebabasan dan
kemerdekaan untuk menentukan masibnya sendiri, disini manusia tidak semata hanya mengantungkan dirinya
kepada tuhan tetapi manusia menentukan nasibnya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai