Anda di halaman 1dari 31

Clinical Science Session

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Oleh :

Debby Amanda 1840312243


Gilang Muhammad Fauzan 1840312444
Oktafiani Tri Ananda 1840312253

Preseptor:

dr. Rohayat Bilmahdi, SpPD

ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2


BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2 Batasan Masalah ....................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 6
1.4 Metode Penulisan ..................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
2.1. Definisi ..................................................................................................... 7
2.2. Epidemiologi ............................................................................................ 7
2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi............................................................... 8
2.4. Patofisiologi.............................................................................................. 9
2.5. Klasifikasi ............................................................................................... 11
2.6. Manifestasi Klinis................................................................................... 12
2.7. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 12
2.8. Diagnosis Banding ................................................................................. 19
2.9. Manajemen dan Tata Laksana ................................................................ 20
2.10. Komplikasi .......................................................................................... 26
2.11. Prognosis ............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) yang umum dikenal dengan sakit gula merupakan

penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat secara

global. Diabetes melitus adalah penyakit metabolik kronik dengan karakteristik

hiperglikemia terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-

duanya.1 Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) didapatkan

tingkat prevalensi global penderita DM tahun 2013 sebanyak 382 kasus dan

diperkirakan mengalami peningkatan pada tahun 2035 sebesar 55% (592 kasus)

diantara usia penderita 40 – 59 tahun.2 Tingginya angka tersebut menjadikan

Indonesia peringkat keempat dengan jumlah penderita DM terbanyak di dunia

setelah Amerika Serikat, India, dan Cina.3 Prevalensi diabetes melitus di Indonesia

berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 10,9%.4

Komplikasi dapat terjadi pada penyakit diabetes melitus diantaranya

komplikasi akut, yaitu hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum, dan hiperosmolar

hiperglikemik state, serta komplikasi kronik yaitu makrovaskuler (penyakit arteri

koroner, penyakit serbrovaskuler, penyakit vaskuler perifer), mikrovaskuler

(retinopati diabetik, nefropati, dan neuropati).5 Ketoasidosis diabetik (KAD)

adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias

hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin

absolut atau relatif.3 KAD dan Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) adalah

3
dua komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan

mengancam nyawa. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus

(DM) tipe1 dan 2, meskipun KAD lebih sering dijumpai pada DM tipe1.6 KAD

mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe1 atau mungkin merupakan

akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi,

trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya.7

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa

insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur,

sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien

DM per tahun.3 Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000

pasien DM pertahun.8 KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari

100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data

komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak

sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe1 yang rendah. Laporan

insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama

pada pasien DM tipe 2.3

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5%,

beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%6, 2 – 10%8, atau 9 – 10%3, sedangkan

di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat

mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan

yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas,

pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, dan uremia. Kematian

pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat,

pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan

4
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih

sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.8

KAD umumnya ditandai dengan gejala hiperglikemia (poliuria, polidipsia,

polifagia), mual muntah, perubahan status mental, dehidrasi, pernafasan kusmaul,

dan sebagainya. Prinsip penatalaksanaan pada KAD dengan pemberian cairan

untuk rehidrasi, koreksi hiperglikemia dan ketidakseimbangan elektrolit, serta

mengatasi penyakit dasarnya.9

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat KAD adalah hipoglikemia,

asidosis persisten, hipokalemia, dan edema serebri. Komplikasi edema serebri

umumnya terjadi 4-12 jam setelah terapi dimulai, meski dapat pula terjadi

sebelum diberi terapi, atau timbul lebih lambat. Keluhan dan gejala edema serebri

bervariasi meliputi nyeri kepala, penurunan atau perburukan bertahap dari tingkat

kesadaran, perlambatan denyut nadi yang tidak sesuai, dan peningkatan tekanan

darah. Terapi edema serebri harus dimulai segera setelah dicurigai. Pemberian

cairan harus dikurangi. Manitol dilaporkan memiliki manfaat pada beberapa

laporan kasus, meskipun responsnya kurang efektif jika terlambat diberikan.

Manitol intravena diberikan dengan dosis 0,25-1 gram/kg selama 20 menit pada

pasien dengan gejala edema serebri sebelum ancaman gagal napas. Dapat diulang

setelah dua jam jika tidak ada respons awal. NaCl hipertonik (3%) 5-10 ml/kg

selama 30 menit dapat menjadi alternatif. Mungkin diperlukan intubasi dan

ventilasi. Prognosis KAD baik bila tidak ada komplikasi dan penanganan

dilakukan dengan cepat dan tepat.10

5
1.2 Batasan Masalah

Clinical science session ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis

dari ketoasidosis diabetikum.

1.3 Tujuan Penulisan

Clinical science session ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis

dari ketoasidosis diabetikum.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai pada penulisan Clinical science session ini berupa

hasil tinjauan kepustakaan yang mengacu pada berbagai literatur, termasuk buku

teks dan artikel ilmiah.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang

ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (>250 mg/dl),

disertai tanda dan gejala asidosis (pH darah < 7,3 dan bikarbonat darah < 15 mEq/

L) dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL)

dan terjadi peningkatan anion gap.1

2.2. Epidemiologi

Insiden KAD menurut data komunitas di Amerika Serikat sebesar 8/1000

pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok

umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.3 Sumber lain

menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM pertahun.8 KAD

dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per

tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada,

agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat

prevalensi DM tipe1 yang rendah.3

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada

banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%6, 2 – 10%8, atau 9 –

10%3, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka

kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada

7
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard

akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, dan

uremia.8

2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan oleh dihentikannya pemberian

insulin sehingga terjadi penurunan insulin efektif di sirkulasi, penyakit atau

keadaan yang meningkatkan metabolisme sehingga kebutuhan insulin meningkat

(infeksi, trauma), peningkatan hormon regulator kontra seperti glukagon,

katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan, serta pada pasien yang baru

menderita DM tipe 1 (sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita

DM untuk pertama kalinya). Hal ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa

oleh hati dan ginjal, serta gangguan penggunaan glukosa perifer dengan akibat

terjadi hiperglikemia dan hiperosmolalitas.10

Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat

dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor

pencetusnya. Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, diperkirakan

lebih dari 50% kasus KAD.8 Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol

dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.

Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis,

infark miokard, trauma, pheochromocytoma, obat yang mempengaruhi

metabolisme karbohidrat (kortikosteroid, tiazid, dan agen simpatomimetik seperti

dobutamin dan terbutalin), DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas

8
terapi insulin yang inadekuat. Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus

KAD adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis.8

2.4. Patofisiologi

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan

peningkatan konsentrasi keton dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat

dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan

peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan

growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan produksi dan

pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton.

Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal

(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada

jaringan perifer. Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat

non karbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal)

dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat

karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).

Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang

bertanggungjawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.11

Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi

menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan

penurunan glomerular filtration rate. Kombinasi defisiensi insulin dan

peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator menyebabkan aktivasi hormon

lipase yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah

9
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA).

Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada

hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan

sebagai prekursor utama dari ketoasid.11

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang

prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon

menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat

konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase,

enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A

menghambat camitine palmitoyl transferase I (CPT I), enzim untuk trans

esterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan

oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan

asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.

Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan

peningkatan ketogenesis.11

10
Gambar 2.1 Bagan Patofisiologi KAD12

2.5. Klasifikasi

Berat ringannya KAD dibagi berdasarkan tingkat asidosisnya, yaitu

ringan, sedang, dan berat.13

Tabel 2.1 Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association

KAD
Parameter
Ringan Sedang Berat
Gula darah (mg/dL) >250 >250 >250
pH arteri 7,25 – 7,30 7,00 – 7,24 <7,00
HCO3- (mEq/L) 15 - 18 10 - 15 <10
Keton urin + +
Keton serum + +
Osmolalitas serum
Variabel Variabel
efektif (mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12

11
Perubahan sensorial /
Sadar Sadar – somnolen Stupor / koma
Mental
2.6. Manifestasi Klinis

Perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam

jangka waktu pendek (< 24 jam). Gambaran klinis klasik termasuk riwayat

poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut,

dehidrasi, lemah, perubahan kesadaran, pernafasan kussmaul, dan turgor kulit

yang buruk.8

2.7. Pemeriksaan Penunjang

2.7.1. Prinsip Umum

KAD ditandai dengan hiperglikemia di atas 250 mg/dL, kadar bikarbonat

kurang dari 18 mEq/L, pH kurang dari 7,30, ketonemia, dan ketonuria.14

KAD ringan dapat dikategorikan dengan pH 7,25 - 7,3 dan kadar

bikarbonat serum antara 15 - 18 mEq/L; KAD sedang dengan pH antara 7,0 - 7,24

dan kadar bikarbonat serum 10 - 15 mEq/L; dan KAD berat dengan pH kurang

dari 7,0 dan bikarbonat kurang dari 10 mEq/L. Pada KAD ringan, anion gap lebih

besar dari 10 dan pada KAD sedang atau berat, anion gap lebih besar dari 12.

Angka-angka ini membedakan DKA dari Hyperosmolar Hyperglicemia State

(HHS) di mana glukosa darah lebih besar dari 600 mg/dL tetapi pH lebih besar

dari 7,3 dan bikarbonat serum lebih besar dari 15 mEq/L.15

Pemeriksaan laboratorium untuk KAD harus dilakukan sebagai berikut:15

 Pemeriksaan glukosa darah setiap 1 - 2 jam sampai pasien stabil,

kemudian setiap 4 - 6 jam

12
 Pemeriksaan elektrolit serum setiap 1 - 2 jam sampai pasien stabil,

kemudian setiap 4 - 6 jam

 Nitrogen urea darah (BUN) inisial

 Pemeriksaan gas darah arteri (ABG) inisial, diikuti dengan bikarbonat jika

perlu

Pemeriksaan laboratorium ulang sangat penting dilakukan, terutama

kalium, glukosa, elektrolit, dan, jika perlu, fosfor. Penting untuk memantau

kenaikan kadar glukosa serum yang dapat menyebabkan hiponatremia dilusional;

kenaikan kadar trigliserida yang dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa ;

dan kenaikan badan keton yang dapat menyebabkan peningkatan kadar

kreatinin.15

2.7.2. Glukosa Darah

Kadar glukosa darah pasien KAD biasanya melebihi 250 mg/dL. Dokter

dapat melakukan pemeriksaan glukosa darah kapiler sambil menunggu kadar

glukosa plasma.16

2.7.3. Urin

Pada pasien KAD, pemeriksaan urin sangat positif untuk glukosa dan

keton. Kadang, keton tidak terdeteksi pada urin karena sebagian besar

pemeriksaan laboratorium yang tersedia hanya dapat mendeteksi asetoasetat,

sedangkan keton dominan pada KAD berat tidak terkontrol adalah beta-

hidroksibutirat. Ketika kondisi klinis membaik dengan pengobatan, hasil

pemeriksaan keton urin kembali menjadi positif karena dominasi asetoasetat.16

13
2.7.4. Keton

Pada pasien KAD, dapat ditemukan keton serum. Kadar beta-

hidroksibutirat darah yang diukur dengan strip reagen dan kadar keton serum yang

dinilai dengan reaksi nitroprusid sama efektifnya dalam mendiagnosis KAD tanpa

komplikasi. Produk Acetest dan Ketostix mengukur aseton dan asam asetoasetat

darah dan urin, namun tidak mengukur beta-hidroksibutirat, sehingga pasien

mungkin tampak "memburuk" karena oksidasi asetoasetat di jaringan

ekstrahepatik seiring dengan perbaikan perfusi dan oksigenasi.16

Pemeriksaan khusus beta-hidroksibutirat dapat dilakukan di beberapa

laboratorium. Diagnosis ketonuria membutuhkan fungsi ginjal yang adekuat.

Ketonuria dapat bertahan lebih lama daripada asidosis jaringan. Satu penelitian

menunjukkan bahwa tes urin rutin untuk keton tidak lagi diperlukan untuk

mendiagnosis KAD. Pemeriksaan beta hidroksibutirat kapiler menghindari

pemeriksaan yang tidak diperlukan.16

Berdasarkan pedoman Joint British Diabetes Societies (JBDS) 2011 untuk

tata laksana asidosis diabetik, keton kapiler darah harus diukur untuk memantau

respon terhadap pengobatan DKA. Metode pilihannya adalah pengukuran keton

darah menggunakan ketonmeter. Jika tidak dapat dilakukan pengukuran keton

darah, pH vena dan bikarbonat harus diperiksa bersama dengan pemeriksaan

glukosa darah untuk mengevaluasi respon pengobatan.17,18

14
2.7.5. Beta-hidroksibutirat

Beta-hidroksibutirat serum atau kapiler dapat digunakan untuk menilai

respon pengobatan pasien KAD. Kadar yang lebih besar dari 0,5 mmol/L

dianggap abnormal, dan kadar 3 mmol/L merupakan indikasi rawat inap KAD.19

2.7.6. Gas Darah Arteri

Pada pasien KAD, gas darah arteri (ABG) sering menunjukkan manifestasi

khas berupa asidosis metabolik, bikarbonat rendah, dan pH rendah (kurang dari

7,3). Untuk memantau respon pegobatan, panduan JBDS 2011 merekomendasikan

darah vena daripada arteri untuk analisis gas darah, kecuali jika terdapat masalah

pernapasan. pH vena dapat digunakan berulang.20 Brandenburg dan Dire

menemukan bahwa pH gas darah vena pada pasien KAD 0,03 kali lebih rendah

daripada pH pada arteri.21 Karena perbedaan ini tidak signifikan secara klinis,

hampir tidak ada alasan untuk melakukan ABG yang lebih menyakitkan bagi

pasien. End tidal CO2 juga dilaporkan dapat menilai asidosis.21

2.7.7. Elektrolit Serum

Kadar kalium serum pada awalnya lebih tinggi atau dalam batas normal

pada pasien KAD. Hal ini disebabkan karena perpindahan kalium ke ekstraseluler

dalam pertukaran dengan hidrogen, yang terakumulasi dalam asidosis, terlepas

dari jumlah kalium tubuh yang habis menghilang. Kalium perlu sering diperiksa

karena kadarnya dapat turun sangat cepat dalam pengobatan. Elektrokardiografi

(EKG) dapat digunakan untuk menilai efek kalium terhadap jantung.16

15
Kadar natrium serum pada pasien KAD biasanya rendah. Efek osmotik

hiperglikemia dapat memindahkan cairan ekstravaskular ke intravaskular. Setiap

100 mg/dL glukosa lebih dari 100 mg/dL, kadar natrium berkurang sekitar 1,6

mEq/L. Ketika kadar glukosa berkurang, kadar natrium serum akan meningkat.

Selain itu, kadar klorida dan fosfor serum selalu rendah pada pasien KAD.16

2.7.8. Hitung Darah Komplit

Meski tidak terdapat infeksi, jumlah darah komplit menunjukkan

peningkatan jumlah leukosit pada pasien KAD. Jumlah leukosit yang tinggi (lebih

dari 15 X 109/L) atau pergeseran kiri dapat menunjukkan infeksi sebagai

penyebab KAD.16

2.7.9. Fungsi Ginjal

Nitrogen Urea Darah (BUN) sering meningkat pada pasien KAD.16

2.7.10. Osmolaritas

Osmolaritas plasma biasanya meningkat (lebih dari 290 mOsm/L) pada

pasien KAD. Jika osmolaritas plasma tidak dapat diukur secara langsung, maka

dapat menggunakan rumus berikut: osmolaritas plasma = 2(Na+K) + BUN/3 +

glukosa/18. Osmolaritas urin juga meningkat pada pasien KAD. Pasien KAD

dalam keadaan koma biasanya memiliki osmolalitas lebih besar dari 330

mOsm/kgH2O. Jika osmolalitas lebih rendah pada pasien yang koma, cari

penyebab lain.16

16
2.7.11. Foto Toraks

Foto toraks diperlukan untuk mengetahui infeksi paru seperti pneumonia.16

2.7.12. MRI

MRI berguna untuk medeteksi dini edema serebral. Dilakukan jika

terdapat penurunan kesadaran.22

2.7.13. CT Scan

CT scan kepala pada anak KAD dengan penurunan kesadaran harus

dilakukan karena dapat disebabkan oleh edema serebral. Banyak gambaran yang

dapat dilihat pada pencitraan kepala dan pemberian salin hipertonik atau manitol

pada kasus anak yang diduga edema serebral tidak boleh ditunda.22

2.7.14. Elektrokardiografi (EKG)

KAD dapat dipicu oleh penyakit jantung, sebaliknya gangguan fisiologis

KAD dapat menyebabkan komplikasi jantung. EKG harus dilakukan setiap 6 jam

selama hari pertama. EKG dapat menunjukkan tanda infark miokard akut yang

bisa tanpa rasa sakit pada pasien diabetes, terutama dengan neuropati otonom.16

EKG juga merupakan cara tercepat untuk menentukan hipo atau

hiperkalemia. EKG juga merupakan cara cepat untuk menilai hipokalemia atau

hiperkalemia yang signifikan. Perubahan gelombang T dapat memberikan tanda

17
peringatan pertama perubahan kadar kalium serum. Gelombang T rendah

dan gelombang U yang jelas selalu menandakan hipokalemia, sementara

gelombang T memuncak menandakan hiperkalemia.16

2.8. Diagnosis Banding

Dalam mempertimbangkan diagnosis KAD, hal berikut harus

diperhitungkan: uremia, koma hipoglikemia akut, dan trombosis vena karena

kateter, terutama kateter vena sentral femoralis pada anak.25

Diagnosis banding yang mungkin pada KAD adalah :25

 Pankreatitis akut

 Ketoasidosis alkohol

 Apendisitis

 Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan sistitis (infeksi vesika urinaria) pada

wanita

 Koma hiperosmolar

 Hipofosfatemia

 Hipotermia

 Asidosis laktat

 Asidosis metabolik

 Toksisitas salisilat

 Syok sepsis

18
2.9. Manajemen dan Tata Laksana

2.9.1. Prinsip Umum

Tata laksana Ketoasidosis Diabetikum (KAD) di Ruang Rawat Intensif

(ICU) selama 24 – 48 jam pertama harus dilakukan. Ketika menata laksana pasien

KAD, beberapa poin harus dilakukan dan dipantau dengan ketat: 17

 Koreksi kehilangan cairan dengan cairan intravena

 Koreksi hiperglikemia dengan insulin

 Koreksi gangguan elektrolit, terutama kehilangan kalium

 Koreksi keseimbangan asam-basa

 Tata laksana infeksi penyebab jika ada

Mencegah penyakit yang dapat memperberat KAD, seperti infeksi,

penyakit serebrovaskular, infark miokard, sepsis, atau trombosis vena dalam

merupakan hal yang penting. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan ketat koreksi

cairan dan kehilangan elektrolit selama satu jam pertama. Hal tersebut dilanjutkan

dengan koreski hiperglikemia dan asidosis bertahap. Koreksi kehilangan cairan

dapat membuat gejala klinis lebih jelas sehingga memperjelas kebutuhan koreksi

asidosis. Timbulnya gejala dehidrasi ringan menandakan sekurangnya telah terjadi

kehilangan 3 L cairan.17

Pasien baru dapat pulang setelah terapi insulin dapat dikembalikan ke

rejimen harian. Hal ini ditandai dengan pH di atas 7,3 dan bikarbonat lebih dari 18

mEq/L.17

Infus insulin dapat dihentikan 30 menit kemudian. Jika pasien masih mual

dan tidak bisa makan, infus dekstrosa harus dilanjutkan dan insulin kerja singkat

19
harus diberikan subkutan tiap 4 jam, sesuai dengan kadar glukosa darah, dengan

mempertahankan nilai glukosa darah pada 100 - 180 mg / dL.17

Pedoman JBDS 2011 merekomendasikan infus insulin berdasarkan berat

badan sampai ketosis teratasi. Jika glukosa darah di bawah 14 mmol/L (250

mg/dL), glukosa 10% harus diberikan dan infus insulin tetap dilanjutkan.17

Pada pasien diabetes, insulin kerja panjang subkutan (glargine, detemir)

harus dimulai pada dosis yang digunakan sebelum manifestasi KAD. Jika Insulin

Neutral Protamine Hagedorn (NPH) digunakan sebelumnya dan pasien dapat

makan dengan baik tanpa muntah, mulai kembali pada dosis biasa. Jika tidak,

dosis harus dikurangi untuk menghindari hipoglikemia saat periode

puncaknya.17,18

2.9.2. Koreksi Kehilangan Cairan

Resusitasi cairan merupakan bagian penting dalam mengobati pasien

KAD. Larutan intravena dapat menggantikan cairan ekstravaskuler, intravaskular,

dan kehilangan elektrolit. Larutan intravena juga dapat mengencerkan kadar

glukosa dan hormon kontraregulator yang bersirkulasi dalam darah. Insulin

digunakan untuk mengubah keadaan katabolik menjadi anabolik, dengan

mengambil glukosa dalam jaringan serta mengurangi glukoneogenesis, produksi

asam lemak bebas, dan keton.18

Koreksi inisial kehilangan cairan adalah dengan larutan salin isotonik atau

Ringer laktat. Rekomendasi pemeberian untuk memulihkan kehilangan cairan

adalah:18

20
 Berikan 1 - 3 L selama satu jam pertama;

 Berikan 1 L selama jam kedua;

 Berikan 1 L selama 2 jam berikutnya;

 Berikan 1 L setiap 4 jam, tergantung derajat dehidrasi dan tekanan vena

sentra.

Ketika pasien telah euvolemik, dokter dapat menurunkan kecepatan

pemberian larutan natrium klorida isotonik menjadi setengah, terutama jika terjadi

hipernatremia. Kecepatan salin isotonik harus tepat untuk mempertahankan

tekanan darah, denyut nadi, produksi urin, dan status mental yang adekuat. Jika

pasien mengalami dehidrasi berat dan diperlukan resusitasi cairan agresif,

pemberian cairan dapat diganti dengan larutan seimbang elektrolit (Normosol-R,

salin isotonik dengan klorida yang diganti dengan asetat) untuk menghindari

terjadinya asidosis hiperkloremik. Ketika gula darah menurun hingga kurang dari

180 mg/dL, larutan NaCL isotonik diganti dengan dekstrosa 5 - 10% dengan

setengah larutan NaCl isotonik.23

Insulin baru dapat diberikan sekitar satu jam setelah penggantian cairan IV

dimulai karena insulin mungkin lebih berbahaya dan kurang efektif sebelum

penggantian cairan diberikan. Tidak terdapat manfaat dalam memulai pemberian

insulin sebelum rehidrasi. Bolus insulin awal tidak mengubah tata laksana KAD.23

2.9.3. Terapi Insulin

Ketika pengobatan insulin dimulai pada pasien KAD, beberapa poin harus

diperhatikan. Rejimen insulin dosis rendah memiliki keuntungan tidak

21
menginduksi hipoglikemia berat atau hipokalemia yang dapat terjadi pada rejimen

insulin dosis tinggi.23

Hanya insulin kerja pendek yang digunakan untuk koreksi hiperglikemia.

Absorpsi insulin subkutan berkurang pada KAD karena dehidrasi. Oleh karena itu,

rute intravena lebih dianjurkan.23

Penggunaan analog insulin kerja cepat subkutan (lispro) telah dicoba pada

pasien KAD anak (0,15 U/kg tiap 2 jam). Hasilnya terbukti sebanding dengan

insulin intravena, tetapi membutuhkan waktu 6 jam lebih lama untuk mengatasi

ketosis. Metode tersebut mungkin lebih hemat biaya dan dapat menghindari

perawatan intensif pada pasien dengan kasus ringan. Penggunaan analog insulin

subkutan (aspart) juga terbukti efektif pada dewasa.23

Dosis insulin awal adalah insulin infus intravena menggunakan pompa

infus, jika tersedia, dengan kecepatan 0,1 U/kg/jam. Campuran 24 unit insulin

reguler dalam 60 mL larutan natrium klorida isotonik diinfuskan dengan

kecepatan 15 mL/jam (6 U/jam) sampai kadar glukosa darah turun menjadi

kurang dari 180 mg/dL; kecepatan infus kemudian diturunkan menjadi 5 - 7,5

mL/jam (2 - 3 U/jam) sampai keadaan ketoasidotik mereda.23

Campuran insulin dengan volume yang lebih besar dan larutan natrium

klorida isotonik dapat digunakan, dengan ketentuan bahwa dosis infus insulin

serupa dengan yang telah disebutkan. Volume campuran yang lebih besar

digunakan ketika tidak ada pompa infus IV (misalnya, 60 U insulin dalam 500 mL
23
larutan natrium klorida isotonik dengan laju 50 mL/jam).

22
Berdasarkan Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien DM, terapi

insulin pada KAD diberikan 2 jam setelah rehidrasi, sesuai panduan berikut:23

 Pemberian awal bolus intravena 10 UI atau 0,15 UI/kgBB.

 Infus insulin reguler (kerja pendek) 0,1 UI/kgBB/jam atau 5 UI/jam.

 Tingkatkan dosis insulin 1 UI setiap 1 – 2 jam bila penurunan glukosa

darah < 10% atau bila status asam basa tidak membaik.

 Kurangi dosis 1 – 2 UI/jam bila kadar glukosa < 250 mg/dL (0,05 – 0,1

UI/kgBB/jam) atau keadaan klinis membaik dengan cepat dan kadar

glukosa turun > 75 mg/dL/jam.

 Jangan menurunkan infus insulin < 1 UI/jam.

 Pertahankan kadar glukosa darah < 80 mg/dL, hentikan infus insulin

paling lama 1 jam, kemudian lanjutkan kembali.

 Bila kadar glukosa darah selalu < 100 mg/dL, ganti cairan infus dengan

dekstrosa 10% untuk mempertahankan kadar glukosa 140 – 180 mg/dL.

 Bila pasien sudah mendapatkan makanan, maka pertimbangkan pemberian

insulin subkutan.

 Insulin infus intravena jangan dulu dihentikan saat insulin subkutan mulai

diberikan. Lanjutkan insulin intravena selama 1 – 2 jam.

 Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat insulin dan glukosa

darahnya terkendali, kembalikan seperti dosis awal insulin.

 Pada pasien yang belum pernah mendapat terapi insulin, berikan insulin

subkutan dengan dosis 0,6 UI/kgBB/24 jam (50% insulin basal + 50%

insulin prandial).

23
Kecepatan penurunan glukosa yang optimal adalah 100 mg/dL/jam.

Jangan biarkan kadar glukosa darah turun di bawah 200 mg/dL selama 4 - 5 jam

pertama pengobatan. Hipoglikemia dapat berkembang cepat pada koreksi

ketoasidosis karena peningkatan sensitivitas insulin.23

Hipoglikemia adalah kesalahan yang umum terjadi dan dapat

menghasilkan ketosis kembali akibat kerja hormon kontraregulator. Ketosis yang

timbul kembali membutuhkan durasi perawatan yang lebih lama. Bahaya lainnya

adalah koreksi cepat hiperglikemia dan hiperosmolaritas dapat menarik cairan

dengan cepat ke ruang intraseluler hiperosmolar dan dapat menyebabkan edema

serebral.23

2.9.4. Koreksi Elektrolit

Jika kadar kalium lebih besar dari 6 mEq/L, jangan berikan suplemen

kalium. Jika kadar kalium 4,5 - 6 mEq/L, berikan 10 mEq/jam KCl. Jika kadar

kalium 3 - 4,5 mEq/L, berikan 20 mEq/jam KCl.23

Pantau kadar kalium serum tiap jam dan infus harus dihentikan jika kadar

kalium lebih dari 5 mEq/L. Pemantauan serum kalium harus berlanjut bahkan

setelah infus kalium dihentikan untuk menghindari kekambuhan hipokalemia.

Pada hipokalemia berat, terapi insulin diiringi dengan penggantian kalium untuk

mencegah disritmia jantung akibat hipokalemia.23

Penggantian kalium harus didahului dengan penggantian cairan.

Tambahkan 20 - 40 mEq/L KCL ke setiap liter cairan jika kadar kalium kurang
23
dari 5,5 mEq/L. Kalium dapat diberikan: 2/3 sebagai KCl, 1/3 sebagai KPO4.

24
2.9.5. Koreksi Keseimbangan Asam-Basa

Natrium bikarbonat hanya diberikan jika asidosis dekompensasi mulai

mengancam nyawa, terutama bila dikaitkan dengan sepsis atau asidosis laktat.

Jika diindikasikan pemberian natrium bikarbonat, berikan 100 - 150 mL dalam

konsentrasi 1,4%. Dosis dapat diulang setiap setengah jam jika perlu. Koreksi

cepat dan dini asidosis dengan natrium bikarbonat dapat memperparah

hipokalemia dan menyebabkan asidosis sel paradoksal.23

Bikarbonat biasanya tidak diganti karena asidosis akan membaik dengan

perawatan yang telah disebutkan di atas. Pemberian bikarbonat berisiko terjadinya

edema serebral pada anak. 23

2.9.6. Koreksi Infeksi Penyerta

Jika terjadi infeksi, berikan antibiotik yang tepat berdasarkan hasil kultur

dan sensitivitas. Mulai antibiotik empiris jika curiga infeksi sampai hasil kultur

tersedia.23

2.10. Komplikasi

Komplikasi KAD tersering adalah sepsis dan proses iskemik difus.

Komplikasi lainnya adalah: 25

 Trombosis vena sentral

 Infark miokard

 Trombosis vena dalam

 Dilatasi gastrik akut

25
 Gastritis erosif

 Hipoglikemia

 Gangguan pernapasan

 Infeksi (sering ISK)

 Hipofosfatemia

 Mukormikosis

 Gejala serebrovaskular

Sebuah penelitan prospektif oleh Jessup et al menunjukkan bahwa pasien

anak dengan diabetes tipe 1 berat onset baru tanpa komplikasi, menunjukkan

fungsi kognitif yang lebih rendah setelah koreksi KAD daripada pasien tanpa

KAD di usia yang sama. Para peneliti mencurigai bahwa KAD dan/atau tata

laksananya menghasilkan gangguan saraf yang mungkin dapat menyebabkan

defisit kognitif akut jangka panjang.25

2.11. Prognosis

Angka kematian KAD adalah 0,2 - 2%, dengan terbanyak berasal dari

negara berkembang. Insidens koma dalam, hipotermia, dan oliguria saat diagnosis

merupakan tanda prognosis buruk.25

Prognosis pasien KAD yang diobati dengan baik sangat baik, terutama

pada pasien usia muda tanpa infeksi penyerta. Prognosis terburuk biasanya

terdapat pada pasien usia tua dengan penyakit parah (infark miokard, sepsis, atau
25
pneumonia), terutama ketika pasien dirawat di luar unit perawatan intensif.

26
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lee et al melaporkan bahwa pada

pasien KAD dewasa, waktu resolusi yang lebih lama berkaitan dengan tingkat pH

yang lebih rendah dan konsentrasi kalium serum yang lebih tinggi saat masuk

rumah sakit (dengan kedua faktor menjadi prediktor independen).25 Hasil terbaik

didapatkan pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif selama 1 - 2 hari

pertama rawat inap, meskipun beberapa rumah sakit berhasil dalam mengobati

kasus KAD ringan di ruang gawat darurat (protokol Emergency Valuable

Apporach and Diabetes Education [EVADE]). Angka mortalitas yang tinggi pada

pasien yang tidak dirawat di rumah sakit menunjukkan perlunya diagnosis dini

dan implementasi program pencegahan yang efektif. 25

Edema serebral tetap menjadi penyebab mortalitas yang paling sering,

terutama pada anak dan remaja. Edema serebral sering terjadi akibat perpindahan

cairan intraseluler yang cepat. Penyebab mortalitas lainnya adalah hipokalemia

berat, sindrom gangguan pernapasan dewasa, dan keadaan komorbid (pneumonia,

infark miokard akut).22 Pemahaman yang baik tentang patofisiologi KAD bersama

dengan pemantauan yang tepat dan koreksi elektrolit telah menghasilkan

penurunan mortalitas yang signifikan secara keseluruhan dari kondisi yang

mengancam jiwa di sebagian negara maju.22

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus


pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. In
Jakarta: PERKENI; 2015.
2. International Diabetes Federation. Diabetes Atlas. 6th ed. IDF; 2013.
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.
1896–9.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI; 2018.

5. National Clinical Guidelines For Management of Diabetes Melitus. 1st ed.


2010.
6. VanZyl D. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SAFam Pr.
2014;(50):39–49.
7. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee S, Papadakis M, editors.
Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2015. p. 1111–5.

8. Gotera W, DewaGd A. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik. J Peny


Dalam. 2010;11(2):126–38.
9. Nyenwe, Kitbchi. Management of DKA and HHS. Metab Clin Exp. 2016;
10. Ketoasidosis Diabetik pada Anak dan Remaja. Surabaya: Universitas
Airlangga; 2017.

11. Umpierrez G, Murphy M, Kitabchi A. Diabetic ketoacidosis and


hyperglycemic hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectr. 2012;15(1):28–
35.
12. Wolfsdore J, Glaser N, Sperling M. Diabetic ketoacidosis in infants,
children, and adolescents. Diabetes Care. 2016;29(5):1150–6.
13. Kitabchi A, Umpierrez G, Miles J, et al. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar state. Diabet Care. 2009;(32):1335–43.
14. Hamdy O. Diabetic ketoacidosis [Internet]. 2018 [cited 2018 Sep 16].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/118361-overview
15. Kitabchi A, Umpierrez G, Murphy M, et al. Hyperglycemic crises in
diabetes. Diabetes Care. 2004;27(1):94–102.

28
16. Arora S, Henderson S, Long T, Menchine M. Diagnostic Accuracy of
Point-of-Care Testing for Diabetic Ketoacidosis at Emergency-Department
Triage: beta-Hydroxybutyrate versus the urine dipstick. Diabetes Care.
2011;34(4):852–4.
17. Savage M, Dhatariya K, Kilvert A, Rayman G, Rees J, Courtney C, et al.
Joint British Diabetes Societies guideline for the management of diabetic
ketoacidosis. Diabet Med. 2011;28(5):508–15.
18. Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. The Management of
Diabetic Ketoacidosis in Adults [Internet]. 2010 [cited 2018 Sep 16].
Available from: http://www.diabetes.nhs.uk/document.php?o=1336

19. Wallace T, Matthews D. Recent advances in the monitoring and


management of diabetic ketoacidosis. QJM. 2014;97(12):773–80.
20. Ma O, Rush M, Godfrey M, Gaddis G. Arterial blood gas results rarely
influence emergency physician management of patients with suspected
diabetic ketoacidosis. Acad Emerg Med. 2013;10(8):836–41.
21. Brandenburg M, Dire D. Comparison of arterial and venous blood gas
values in the initial emergency department evaluation of patients with
diabetic ketoacidosis. Ann Emerg Med. 2008;31(4):459–65.

22. Glaser N, Marcin J, Wootton-Gorges S, et al. Correlation of clinical and


biochemical findings with diabetic ketoacidosis-related cerebral edema in
children using magnetic resonance diffusion-weighted imaging. J Pediatr.
2008;
23. Goyal N, Miller J, Sankey S, Mossallam U. Utility of initial bolus insulin in
the treatment of diabetic ketoacidosis. J Emerg Med. 2010;38(4):422–7.
24. Jessup A, Grimley M, Meyer E, et al. Effects of Diabetic Ketoacidosis on
Visual and Verbal Neurocognitive Function in Young Patients Presenting
with New-Onset Type 1 Diabetes. J Clin Res Pediatr Endocrinol.
2015;7(3):203–10.
25. Lee M, Calder G, Santamaria J, Maclsaac R. Diabetic Ketoacidosis in
Adult Patients: An Audit of Factors Influencing Time to Normalisation of
Metabolic Parameters. Intern Med J. 201

29
30
31

Anda mungkin juga menyukai