Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Meskipun saat ini kasus tetanus jarang ditemukan di dunia barat, dengan jumlah
hanya 35 kasus pada tahun 2000 di Amerika Serikat, tetanus tetap merupakan permasalahan
yang sering ditemukan di negara berkembang, dimana 80% kasusnya terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Tetanus terjadi di seluruh dunia dan masih merupakan penyebab kematian
yang penting dengan perkiraan jumlah kematian 800.000–1.000.000 orang per tahunnya.
Pada negara berkembang sebagian besar kasus kematian karena tetanus terjadi pada neonatus,
dan tetanus pada neonatus adalah penyebab kematian kedua di seluruh dunia pada penyakit-
penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Diperkirakan kematian tetanus pada neonatus
sebesar 248.000 kematian per tahun. Tetanus secara geografis lazim terjadi pada daerah
pedesaan dengan kebersihan lingkungan dan fasilitas kesehatan yang buruk.
Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses program
imunisasi yang buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan
fasilitas intensive care unit (ICU), yang sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi
yang menderita tetanus yang berat. Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan
angka kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu, tetanus masih
merupakan masalah kesehatan. Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%.
Kematian utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut. Tetapi, dengan adanya
penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka
kematian telah menurun secara drastis.
Penyakit ini memberikan efek mematikan pada setiap usia dan rata-rata kasus
kematian sangat tinggi (10-80%) dengan perawatan intensif sangat diperlukan. Tidak ada
agen imunitas natural untuk proteksi tetanus, proteksi hanya diberikan oleh imunitas aktif
dengan toxoid containing vaccine, formalininactivated tetanus toxin atau pemberian anti
tetanus antibodi (tetanus spesifik immunoglobulin). Tetanus tidak ditularkan dari pasien ke
pasien. Infeksi terjadi bila spora Clostridium tetani masuk melalui luka akibat trauma,
pembedahan dan injeksi atau luka kronik pada kulit, atau lesi dan infeksi pada kulit. Hal ini
disebabkan oleh luka yang tidak mendapatkan perawatan medis.

1
Periode inkubasi dari tetanus antara 3 sampai 21 hari (rata-rata 7 hari). Periode inkubasi
terpendek (<7 hari). Keterlambatan penanganan di hubungkan dengan hasil yang fatal.
Karakteristik dari tetanus adalah muscle rigidity dan painful muscle spasms. Bentuk tetanus
secara umum, kekakuan dan nyeri pada saat membuka mulut (trismus atau “lock jaw”) dan atau
leher, bahu dan otot perut. Bagian awal dari penyakit ini berupa spasme yang dipicu oleh stimulus
sensoris seperti sentuhan, suara keras dan cahaya terang. Sebagai progres dari penyakit ini kejang
umum yang terjadi secara spontan (tetanospasms develop). Pada kasus tanpa tersedia ventilator,
kematian selalu di akibatkan oleh kegagalan repirasi. Autonomic dysfunction, termasuk hipertensi
dan takikardi.
Tetanus toxoid tersedia dalam vaksin antigen tunggal (TT), dan dapat dikombinasikan
dengan diptheria toxoid dan/atau vaksin pertusis (DT, Td, DTwP, DTaP or dTap). Dosis pada
pediatrik untuk vaksin diphtheri (D) dan pertusis (P) tidak direkomendasikan untuk digunakan
pada usia 7 tahun atau lebih, bagaimanapun DT dapat di berikan untuk semua usia bila Td tidak
tersedia. Tetanus dengan bradikardia dan hipotensi bisa menunjukkan tetanus yang berat dan
dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Langkah pertama dalam mendiagnosis pasien
tetanus adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis
merupakan hal yang utama dalam mendiagnosis pasien tetanus dengan menanyakan adanya
riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi, gejala-gejala klinis yang timbul dan
penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
- Nama : Tn RL
- Umur : 62 tahun
- Jenis Kelamin : Laki-laki
- Pekerjaan : PNS (Pensiun)
- Alamat : Latuhalat
- Agama : Kristen Protestan
- Status : Menikah
- Tanggal Masuk RS : 30/05/2019
2. Anamnesis
 Keluhan Utama: Kaku saat membuka mulut
 Anamnesis: Pasien rujukan dari dokter spesialis penyakit dalam dengan
diagnosis trismus (Tetanus?), hipertensi grade II, dan AF. Diminta konsul cito
dokter spesialis bedah atau neurologi, terapi yang sudah diberikan pada kertas
rujukan amlodipine 10 mg, bisoprolol 5 mg, valisanbe 2x2mg, cefixime
2x200mg dan levofloxacin 1x500mg. Pasien datang diantar keluarganya
dengan keluhan kaku saat membuka mulut sejak satu hari yang lalu. Keluhan
disertai dengan sulit menelan karena mulut sulit membuka dan sulit digerakan.
Pasien juga mengeluh leher tegang sejak dua hari yang lalu, disertai juga ada
batuk berlendir warna putih. Pasien menyangkal ada sesak, demam, tidak ada
mual atau muntah. Sebelumnya pasien mengaku, terdapat luka pada lutut kiri
akibat terjatuh dan tergores batu-batu yang ada di lokasi sekitar jatuh sejak 1
minggu yang lalu. Sudah diobati, tetapi perawatan luka lanjut tidak dilakukan.
Riwayat suntik ATS (-)/TETAGAM (-). Riwayat operasi sebelumnya (-).
 Riwayat penyakit dahulu :
 Hipertensi (+), DM (-)
 Terdapat luka lecet di lutut kiri akibat jatuh terkena batu ± 1 minggu
yang lalu.
 Riwayat penyakit keluarga : -

3
 Riwayat pengobatan : -
 Riwayat kebiasaan : -
3. Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4M6V5
 Gizi : Lebih
 Tanda Vital
 Tekanan Darah : 150/90 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 Respirasi : 28x/menit
 Suhu : 36,70C
 SpO2 : 98%
 Kepala : Normosefali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Rinorhea (-/-), Epistaksis (-/-)
 Telinga : Serumen (-/-), Sekret (-/-),Otorea (-/-) Battle sign (-/-)
 Mulut : Trismus 2cm
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), Opisthotonus (+)
 Thoraks
 Paru-paru
 Inspeksi : Dalam batas normal
 Palpasi : Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
 Jantung
 Inspeksi : Dalam batas normal
 Palpasi : Pulsasi iktus kordis pada ICS V midklavikula sinistra
 Perkusi : Pekak
 Auskultasi : Bunyi jantung murni reguler, murmur (-), gallop (-)

4
 Abdomen
 Inspeksi : Datar, tidak ada jaringan parut
 Palpasi : Distensi abdomen (+), opistotonus (+), nyeri tekan (-), asites (-),
hepatomegali (-), splenomegali (-), ballotemen (-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus normal (6x/menit)

 Alat Kelamin : Tidak dievaluasi


 Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-
 Kulit : Warna sawo matang, pertumbuhan rambut normal.
 Pemeriksaan Neuro-Psikiatri/ Fungsi Luhur (Tidak Dilakukan)
 Status Neurologis
 Kesadaran/GCS : E4M5V6
 Tanda-Tanda Rangsang Meningeal :
 Kaku kuduk : Positif
 Kernig sign : Tidak dilakukan
 Brudzinski I : Tidak dilakukan
 Brudzinski II : Tidak dilakukan
 Pemeriksaan saraf kranial : Tidak dilakukan
 Refleks Fisiologis : Tidak dilakukan
 Refleks Patologis : Tidak dilakukan
 Tes koordinasi dan keseimbangan : Tidak dilakukan

5
4. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)

Hari/Tanggal Jenis Pemeriksaan Hasil

Hemoglobin 16,5 g/dl


Hematologi Hematokrit 44,1% (37-43)
29/5/2019 (hasil lab dari tempat Leukosit 11.4x103 mm3
praktek dr SpPD) Trombosit 276.000

GDS : 91 mg/dl
Ureum : 54 mg/dl
Kreatinin : 1.0 mg/dl
30/5/2019 Kimia klinik
SGOT : 21 mg/dl
SGPT : 12 mg/dl

5. RESUME
 Diagnosis
 Diagnosis Klinis : Trismus e.c. Tetanus
 Topis : Neuromuscular junction
 Etiologi : C. Tetani
 Patologi : Infeksi
 Tambahan : Hipertensi
 Kesimpulan : Tetanus
 Diagnosis Banding : Meningitis bakterialis, Rabies
 Managemen
 IVFD RL 20 tmp
 Amlodipine 1x10 mg
 Bisoprolol 1x5 mg
 Levofloxacin 1x500mg
 Diazepam 1x5 mg
 Diazepam 5 ampul dalam D5% 8 tpm makro
 Inj Ceftriaxone 1x2 gr iv (st)
 Drip Metronidazol 3x500 mg iv
 Tetagram 3000 IU , 1500 Bokong kanan dan 1500 Bokong kiri

6
 Nicardipine via syringe pump 7cc/jam titrasi sampai dengan TD 140
sistolik
 Pasang NGT untuk makan
 Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad Malam
 Ad functionam : Dubia ad Malam

6. Follow Up

Hari/Tgl/Jam S O A P
Rabu Kaku saat GCS E4V5M6 TETANUS IVFD RL 20 tpm
30/5/2019 membuka mulut, TD: 150/90 Amlodipine 1x10 mg
16.10 leher tegang Nadi: 82x Bisoprolol 1x5 mg
RR: 22x Levofloxacin
Suhu: 36.5°C 1x500mg
Diazepam 5 ampul
dalam D5% 8 tpm
makro
Inj Ceftriaxone 1x2 gr
iv (ST)
Drip Metronidazol
3x500 mg iv
NGT belum terpasang
22.00 Pasien gelisah GCS E3V4M5
TD 200/120
Nadi: 80x/m
RR: 30x
Suhu: 36.5°C
NGT-
Urine 200 cc

Kamis GCS E3V4M5


31/5/2019 TD: 200/100
06.00 Nadi: 80x/m
RR: 20x/m
Suhu: 36.7°C

07.30 Penurunan GCS E1V1M1 O2 sungkup 10 lpm


Kesadaran TD: 200/100
Nadi: 187x/m
RR: 34x/m
Suhu: 37°C
Sp02 90%

7
07.40 Penurunan GCS E1V1M1 Cardiac arrest Instruksi Dokter Jaga:
kesadaran TD tidak terukur RJP 5 siklus
Nadi tidak Diazepam tunda
teraba KIE keluarga
RR: 0 Pasang OPA
Pupil bulat Suction
anisokor Inj Epinefrin
diameter ka Observasi Ketat
5mm/4mm
RC +/-

07.50 Lendir + GCS E1V1M1


TD: 220/100
RR: 18x/m
Nadi: 125x/m
SpO2: 98%
dengan O2 10-15
lpm NRM

10.30 GCS E1V1M1 Observasi tiap 30


TD: 220/90 menit
RR: 40x/m
Nadi 132x/m
SpO2 88%
dengan O2 10-15
lpm NRM

11.00 GCS E1V1M1 Drip Paracetamol 1gr


TD: 160/100
RR: 40x/m
Nadi: 44x/m
Suhu: 38.5
SpO2 85%
dengan O2 10-15
lpm NRM

11.30 GCS E1V1M1


TD: 170/70
RR: 40x/m
Nadi: 40x/m
Suhu: 38.3°C
SpO2 85%
dengan O2 10-15
lpm NRM

8
12.00 GCS E1V1M1
TD: 140/90
RR: 44x/m
Nadi: 146x/m
Suhu: 38.7°C
SpO2 89%
dengan O2 10-15
lpm NRM

12.30 GCS E1V1M1


TD: 140/90
RR: 44x/m
Nadi: 87x/m
Suhu: 38.9°C
SpO2 88%
dengan O2 10-15
lpm NRM

13.00 GCS E1V1M1


TD: 120/90
RR: 44x/m
Nadi: 52x/m
Suhu: 39.0°C
SpO2 86%
dengan O2 10-15
lpm NRM

13.30 GCS E1V1M1


TD: 80/60
RR: 44x/m
T 39.1
SP02 73 dgn O2
10-15 lpm NRM

14.00 GCS E1V1M1


TD : 60/40
Suhu : 39.2
TD : 50/30
Nadi : 69x
Respirasi : 40x
Sp02 : 69%
dengan O2 10-
15 ltpm

9
15.30 TD Tidak Dinyatakan
terukur Meninggal
Nadi tidak
teraba
RR: 0
Pupil midriasis
total RC -/-

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan berat. Tetanus
dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri
(biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta
terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.

2.2. Etiologi Tetanus


Clostridium tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran
binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik
seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa
tahun. Clostridium tetani merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut
antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora
yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun
agen kimia. Spora Clostridium tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit
(meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh
penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

Gambar 2.1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada bagian bakteri yang berbentuk bulat
tersebut spora dari Clostridium tetani dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x).

11
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati tempat
yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus. Dengan
konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum
adalah 2,5 ng/kg).

2.3. Epidemiologi tetanus

Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik yang
sangat besar.21 Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian
18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000-500.000 per tahun.2 Mortalitas dari
penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan penyebab kematian terbanyak
karena mengalami kegagalan pernapasan akut.4 Angka mortalitas menurun karena perbaikan
sarana intensif (ICU dan ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh ahli sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.4, 5, 9
Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case Fatality Rate
(CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53%.5 Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak
adalah masalah semakin buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus (40%), pneumonia (15%),
dan kegagalan pernapasan akut (45%).20 Health Care Associated Pneumonia (HCAP) dalam
beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi, penelitian terbaru oleh
Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang tidak memberi perbedaan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus.22 Angka mortalitas penyakit tetanus di negara
maju cukup tinggi bagi kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kematian akibat
penyakit ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan berperan besar
terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.4, 20

2.4. Patogenesis

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi,
ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.6 Bila
keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai
terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda-benda asing maka spora berubah menjadi

12
vegetatif yang kemudian berkembang.2 Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan
pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah
neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat suasana
anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu
setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara retrograde menuju
saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja. Toksin tersebut akan menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi
khususnya toksin tersebut menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang
spesifik menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi
dari sistem saraf motorik.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga
terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan
meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi
oleh antitoksin tetanus.

2.5. Gambaran Klinis Tetanus


Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat atau dapat lebih
lama. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya. Terdapat hubungan antara jarak
tempat invasi C. tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan
penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang. Secara klinis tetanus
ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local, cephalic tetanus, dan tetanus neonatal

2.5.1. Tetanus Umum


Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya
bentuk ini berhubungan dengan jalan masuk kuman. Biasanya dimulai dengan trismus dan
risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan opistotonus. Dalam 24 – 48 jam dari
kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama
masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw.
Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka

13
menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan
otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh
sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang
luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan
rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi).20 Kejang menyebabkan lengan fleksi dan
adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.4
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot
laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan
sianosis.25Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung kemih.4 Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga
harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa
takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.2

2.5.2. Tetanus Lokal


Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran
klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang-
kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.6

2.5.3. Cephalic Tetanus


Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai
daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilektomi.
Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain N. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa
gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan
berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek.2, 6

14
2.5.4. Tetanus Neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak yang
memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama
kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta
menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang
tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan
kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.2

2.6. Diagnosis Tetanus


Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat dan temuan saat
pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh
dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif
jika terjadi kontraksi rahang involunter (mengigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji
spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94%
pasien terinfeksi menunjukan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya
normal. Kultur Clostridium tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif
mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan cermat adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial, athralgia
temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia,
histeris, ensefalitis terapi phenotiazine, serum sickness, encepalitis, dan rabies.

2.7. Komplikasi Tetanus


Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas sehingga pada
tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78% kematian
tetanus disebabkan karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat
mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering
diikuti oleh gagal ginjal akut. Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di rumah
sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia
lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada
50% -70% dari kasus diotopsi.

15
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena pelepasan
katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang
kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi. Walaupun demikian, pemberian magnesium
sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala
spasme otot dan disfungsi otonom.

2.8. Scoring System untuk Mengetahui Probabilitas Kematian pada Pasien Tetanus
Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, perhatian terhadap penyakit
tropis dan infeksi semakin besar. Penyakit tetanus merupakan penyakit yang telah banyak diteliti
oleh para ahli di dunia dan memunculkan hasil-hasil penelitian yang penting dalam membantu
manajemen klinis. Salah satunya adalah scoring system yang digunakan untuk memprediksi
kematian pada penderita tetanus. Scoring system yang sudah mendunia dan sering digunakan oleh
klinisi dalam penanganan tetanus adalah Phillips score (1967), Ablett classification (1967), Dakar
score (1975).15-17 Tentunya masing-masing scoring system mempunyai variabel-variabel yang
berbeda dalam penentuan outcome klinis. Variabel inilah yang dapat menjadi faktor-faktor risiko
yang dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus.
Phillips score menggunakan variabel masa inkubasi, lokasi infeksi, riwayat proteksi, dan
complicating factors menurut ASA 1963 sebagai faktor-faktor risiko yang dapat berpengaruh pada
kematian penderita tetanus. Phillips score menghasilkan akumulasi nilai yang nantinya dapat
diprediksi kematian pada penderita tetanus. Jika akumulasi nilai ≥14, maka penderita tetanus
mengarah ke severe tetanus. Jika sudah didapatkan fakta severe tetanus, maka semakin besar
probabilitas kematiannya karena menggambarkan prognosis penyakit yang memburuk.
Maksud dari riwayat proteksi adalah status imunisasi penderita. Jika belum terproteksi,
peluang terjadi kematian pada penderita tetanus semakin besar. Complicating factors menurut
ASA 1963 mengindikasikan kejadian pasien sebelum terkena penyakit tetanus. Penilaiannya dapat
berupa baik-baik saja, sudah ada penyakit ringan sebelumnya, sudah ada penyakit sistemik, dan
sudah ada penyakit yang mengancam sebelumnya. Penilaian lengkapnya bisa dilihat di tabel 1.

16
Tabel 1. Phillips Score

Faktor Skor
Masa Inkubasi
• <48 jam 5
• 2-5 hari 4
• 5-10 hari 3
• 10-14 hari 2
• >14 hari 1
Lokasi infeksi
• Organ dalam dan umbilikus 5
• Kepala, leher, dan badan 4
• Perifer proksimal 3
• Perifer distal 2
• Tidak diketahui 1
Status proteksi
• Tidak ada 10
• Mungkin ada atau imunisasi
pada ibu bagi pasien-pasien
neonatus 8
• Terlindungi >10 tahun 4
• Terlindungi <10 tahun 2
• Proteksi lengkap 0
Faktor-faktor komplikasi
• Cedera atau penyakit yang 10
mengancam nyawa
• Cedera berat atau penyakit
yang tidak segera mengancam
nyawa 8
• Cedera atau penyakit yang
tidak mengancam nyawa
• Cedera atau penyakit minor
• ASA grade I 0

Dakar score menggunakan variabel masa inkubasi, periode onset, jalan masuk kuman,
adanya spasme, suhu badan, dan takikardia sebagai faktor-faktor risiko yang dapat berpengaruh
pada kematian penderita tetanus. Dakar score menghasilkan akumulasi nilai yang nantinya dapat
diprediksi kematian pada penderita tetanus. Jika akumulasi nilai ≥3, maka penderita tetanus
mengarah ke severe tetanus. Jika sudah didapatkan fakta severe tetanus, maka semakin besar
probabilitas kematiannya karena menggambarkan prognosis penyakit yang memburuk. Maksud
dari masa inkubasi adalah waktu saat terjadi infeksi sampai terjadi gejala awal (trismus). Tentunya
17
semakin pendek masa inkubasinya, semakin buruk prognosisnya.

Periode onset adalah waktu saat gejala awal (trismus) sampai terjadinya kejang umum.
Spasme artinya kejang, dapat berupa kejang umum maupun khusus. Jalan masuk kuman meliputi
lokasi yang dinilai dapat menjadi tempat masuk kuman dapat berupa melewati suntikan atau
injeksi dan lokasi lainnya. Tentunya interpretasi keparahan akan berbeda jika lokasi jalan
kumannya berbeda. Penilaian lebih lengkapnya dapat dilihat di tabel 2.

Tabel 2. Dakar Score


Faktor Dakar score
prognosis Score 1 Score 0
Periode <7 hari ≥7 hari atau tidak
inkubasi diketahui
Periode onset <2 hari ≥2 hari
Tempat masuk Umbilikus, luka bakar, uterus, Selain dari yang telah
fraktur terbuka, luka operasi, disebut, atau tidak
injeksi intramuskular diketahui
Spasme Ada Tidak ada
Demam >38,4˚C <38,4˚C
Takikardi Dewasa >120 kali/menit Dewasa <120 kali/menit
Neonatus >150 kali/menit Neonatus <150 kali/menit

Kriteria Ablett membagi tetanus menurut derajat keparahannya sehingga dapat


diklasifikasikan menjadi 4, yaitu ringan (derajat 1), sedang (derajat 2), berat (derajat 3), dan sangat
berat (derajat 4).16 Variabel yang digunakan merupakan gejala dan tanda klinis yang dialami
pasien. Semakin berat trismusnya, semakin jelek prognosisnya. Kekakuan disertai spasme yang
berlangsung terus menerus dan disfagia yang berat mengindikasikan tetanus berat. Selain itu,
frekuensi napas >40 kali/menit dan frekuensi nadi > 120 kali/menit juga mengindikasikan ke arah
tetanus yang berat. Semua gejala tetanus derajat 3 disertai gangguan otonom mengindikasikan
tetanus sangat berat Penilaian lengkap kriteria Ablett bisa dilihat di tabel 3.

18
Tabel 3. Kriteria Ablett

Grade 1 (ringan)
Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang
membahayakan respirasi, tidak ada spasme, tidak ada
disfagia
Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan,
keterlibatan respirasi sedang, frekuensi pernapasan >30
Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme
memanjang, disfagia berat, serangan apneu, denyut nadi
>120, frekuensi pernapasan >40
Grade 4 (sangat berat)
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat

Kriteria Ablett menunjukan kriteria kualitatif tanpa menggunakan akumulasi nilai yang
bersifat kuantitatif. Kriteria ablett banyak dipakai oleh klinisi yang ingin menilai prognosis
penyakit dari pasiennya karena variabel yang digunakan adalah gejala dan tanda klinis tanpa data
demografik, seperti trismus, frekuensi napas, dll. Anggapan peneliti di penelitian ini, scoring
system ini tidak cocok dijadikan dasar dalam penelitian prognosis kematian karena tidak
menyertakan akumulasi nilai sebagai hasil dari penilaian. Di samping itu, scoring system lain
sudah menyertakan akumulasi nilai dari masing-masing variabel disertai interpretasinya dan hal
itu sangat memudahkan peneliti. Dakar score dan Phillips score lebih banyak digunakan untuk
penelitian tentang tetanus.5
Namun, Phillips score dan Dakar score memiliki kekurangan yang cukup masif. Keduanya
mempunyai perbedaan yang mencolok dalam hal spesifisitas dan sensitivitas. Tentunya setiap
metode mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Phillips score mempunyai
kelebihan dalam memprediksi kematian penderita tetanus dengan tingginya sensitivitas scoring
system tersebut, tetapi lemah dalam memprediksi survivors atau orang yang selamat dari penyakit
tetanus. Sedangkan Dakar score mempunyai kelebihan dalam memprediksi survivors dengan
tingginya spesifisitas scoring system tersebut, tetapi lemah dalam memprediksi kematian penderita
tetanus. Penelitian yang dilakukan oleh Thwaites tahun 2006 di Vietnam mengemukakan hal
tersebut. Phillips score mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas hanya 20%, sedangkan Dakar
score mempunyai sensitivitas hanya 13 % dan spesifisitas mencapai 98%.5

19
Pada penelitian studi prospektif yang dilakukan Thwaites tahun 2006, beliau menemukan
scoring system baru yang mengevaluasi kedua scoring system tersebut. Hasilnya adalah penemuan
scoring system yang dinamakan Tetanus Severity Score (TSS). Variabel yang ada di TSS terlihat
menggabungkan variabel yang sudah tertera di Dakar score dan Phillips score, dan menambah
beberapa variabel berdasarkan penelitian yang dilakukan timnya. Faktanya kedua scoring system
tersebut telah digunakan oleh para ahli di dunia tanpa validasi data selama lebih dari 40 tahun. 5
Akhirnya di tahun 2006, Thwaites dan timnya berhasil mengevaluasi scoring system tersebut lewat
penelitian yang dilakukan oleh timnya bersama beberapa peneliti setempat di Vietnam.
Hasil analisis multivariat Tetanus Severity Score, didapatkan beberapa variabel yang
menentukan probabilitas kematian pada penderita tetanus. Terdapat 9 variabel yang akan diuji
berdasarkan studi yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Variabel tersebut adalah usia,
waktu dari gejala awal sampai masuk RS, kesulitan bernapas saat masuk RS, co-existing medical
conditions (berdasarkan kriteria ASA 1963)33, jalan masuk kuman, tekanan darah sistolik tertinggi
saat hari pertama di Rumah Sakit heartrate tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit, heart rate
terendah saat hari pertama di Rumah Sakit, dan suhu tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit.
Penilaian scoring system tersebut dapat dilihat di tabel 5 5
Hal yang menarik di TSS ini adalah penilaian tekanan darah sistolik yang tidak dinilai di
Dakar score maupun Phillips score. Penilaian variabel ini begitu penting, mengingat pada tetanus
yang sangat berat terjadi ketidakstabilan otonom dan ditandai dengan tekanan darah yang tinggi di
waktu tertentu. Apabila tidak ditangani di Rumah Sakit berpotensi besar ke arah kematian
penderita tetanus. Selain itu penilaian takikardia bisa dilihat di variabel heart rate tertinggi saat
hari pertama di Rumah Sakit dan heart rate terendah saat hari pertama di Rumah Sakit. Hal itu
menunjukan bahwa manajemen takikardia harus diperhatikan.

Sebagaimana Phillips score, TSS menyertakan derajat keparahan penyakit menurut ASA
1963.5 Selain itu suhu dan jalan masuk kuman juga masuk ke variabel scoring system tersebut.
Adanya riwayat sesak napas saat masuk RS mungkin sangat berpengaruh karena rata-rata
penderita tetanus yang meninggal karena komplikasi sistem pernapasan.
Hal yang patut dipertimbangkan untuk menggunakan scoring system ini adalah penilaian
dari masing-masing kriteria dapat ditentukan pada hari pertama masuk RS.5Artinya, scoring
system ini sangat berguna dalam membantu manajemen klinis. Harapannya klinisi dengan
memahami scoring system ini, dapat waspada dan cepat tanggap dengan tanda dan gejala klinis

20
serta data demografi yang berpengaruh sehingga jumlah kematian penderita tetanus dapat
diminimalisir dengan manajemen klinis yang tepat. Interpretasi dari scoring system tersebut adalah
jika ≥8 maka prognosis mortalitas dapat diprediksi, demikian pula dengan sebaliknya.
Alasan peneliti memilih TSS disamping Dakar score dan Phillips score adalah spesifisitas
dan sensitivitasnya. TSS memiliki sensitivitas 77%, spesifisitas 82%. Hal ini sangat penting
mengingat TSS mampu memprediksi jumlah kematian penderita tetanus maupun pasien yang
mampu hidup setelah terinfeksi tetanus sama baiknya dan tidak ada perbedaan yang mencolok
antara spesifisitas dan sensitivitasnya. Indikasi ini yang dipilih oleh peneliti untuk meminimalisasi
hasil yang bias terhadap hasil sebenarnya.

Tetanus Severity Score


Skor
Usia (tahun)
• <70tahun 0
• 71-80 5
• >80 10
Waktu dari gejala awal hingga masuk RS (hari)
• <2 0
• 3-5 -5
• >5 -6
Kesulitan napas saat masuk RS
• Tidak 0
• Ya 4
Penyakit yang mendasari
• Sehat 0
• Penyakit minor 3
• Penyakit sedang 5
• Penyakit berat namun tidak mengancam nyawa 5
• Penyakit yang segera mengancam nyawa 9
Lokasi masuk
• Internal (pascaoperasi/ pascamelahirkan, luka
7
terbuka) atau injeksi (IM, SK, IV)
• Lain (termasuk tidak diketahui) 0
Tekanan darah sistolik tertinggi saat hari pertama di RS
(mmHg)
• <130 0
• 131-140 2
• >140 4
Denyut jantung tertinggi saat hari pertama di RS (kali/
menit)
• <100 0
• 101-110 1
• 111-120 2
• >120 4
Denyut jantung terendah saat hari pertama di RS
(kali/menit)
• <110 0

21
2.7. Faktor – Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kematian Pasien Tetanus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Blegur et al (2012) pada kurun waktu Januari
2007 sampai April 2012 di RSUP Dr. Kariadi Semarang, ada korelasi signifikan antara sepsis,
komplikasi pernapasan & kardiovaskuler dengan angka mortalitas. Kejadian kematian penderita
tetanus pada waktu tersebut di RSUP dr. Kariadi Semarang adalah 38,1% dengan komplikasi
sistem pernapasan dan kardiovaskuler sebagai faktor utama.12 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Thwaites et al (2006) di Vietnam, didapatkan faktor-faktor prognosis yang dijadikan
variabel dalam memprediksi kematian pada penderita tetanus. Variabel tersebut adalah usia, jalan
masuk kuman, kesulitan bernapas, waktu saat gejala awal sampai masuk RS, co-existing medical
conditions ASA 1963, tekanan darah sistolik, heart rate, dan suhu badan.5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Phillips pada tahun 1967, didapatkan faktor-faktor
prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian pada penderita tetanus. Variabel
tersebut adalah masa inkubasi, lokasi infeksi, riwayat proteksi (imunisasi), dan complicating
factors ASA 1963. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vakil et al (1975) didapatkan faktor-
faktor prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian pada penderita tetanus.
Variabel tersebut adalah masa inkubasi, periode onset, jalan masuk kuman, spasme, adanya
demam, dan takikardia. Berdasarkan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas
meliputi : Usia lebih dari 70 tahun; periode inkubasi <7 hari; waktu saat gejala awal muncul sampai
penanganan di Rumah Sakit; adanya luka bakar, luka bekas operasi yang kotor; periode onset <
48 jam; frekuensi jantung > 140x/menit; tekanan darah sistolik > 140 mmHg; spasme yang berat;
temperatur badan >38,50 C.2
Pada penelitian studi retrospektif oleh Greco et al (2003), hasil analisis multivariat
menunjukan faktor-faktor risiko kematian penderita tetanus adalah usia > 51 tahun, time of illness
< 48 jam, masa inkubasi < 168 jam, rigiditas leher, spasme, opistotonus, suhu badan > 37,7 C,
denyut nadi >111 bpm, hiperaktivitas simpatis, dan pneumonia.19 Pada penelitian studi case series
oleh Gibson et al (2009) menunjukan kematian pasien tetanus disebabkan gagal napas,
Cardiovascular collapse, dan ketidakstabilan otonom.
Pada penelitian studi retrospektif oleh Onwuchekwa et al (2009), hasil analisis multivariat
menunjukan faktor-faktor risiko kematian penderita tetanus adalah usia lebih dari 40 tahun, masa
inkubasi < 7 hari, masa hospitalisasi yang singkat, dan dosis diazepam di atas rata-rata.9 Pada

22
penelitian studi retrospektif oleh Patel et al (1999), hasil analisis multivariat menunjukkan faktor-
faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah trismus, spasme, masa
inkubasi <7 hari, interval antara trismus dan spasme <48 jam, suhu rektal > 38 C selama hari
pertama di rumah sakit.34
Pada penelitian studi retrospektif oleh Andrade et al (1979), hasil analisis multivariat
menunjukan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah
hipertonia umum.35 Pada penelitian studi retrospektif oleh Miranda-Filho et al (2000), hasil
analisis multivariat menunjukan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita
tetanus adalah rigiditas leher.19
Pada penelitian studi retrospektif oleh Hamarstrom et al (1998) di Swedia, hasil analisis
multivariat menunjukan salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus
adalah keberadaan penyakit hematologi. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan yang signifikan
pada tingkat seronegatif terhadap toksin tetanus pada pasien penyakit hematologi maligna.
Hasilnya 36 % pasien Acute Myelogenous Leukemia (AML), 56% pasien Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL), 54% pasien limfoma, 31% pasien myeloma, 18% pasien Chronic Myelogenous
Leukemia (CML) tidak terimun dengan baik terhadap kuman penyebab tetanus. 36
Pada penelitian case report oleh Kasher et al (2007), menunjukan salah satu faktor risiko
yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah riwayat operasi gastrointestinal, salah
satunya adalah tindakan haemorrhoid banding.37 Praktisi kesehatan harus sadar manifestasi klinik
dari penyakit ini. Pada penelitian studi retrospektif oleh Parviz et al (1998), menunjukan bahwa
salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah usia yang
semakin tua. Usia tua memperbesar kemungkinan terkena severe tetanus dan komplikasi tersering
penyebab kematian adalah gagal napas akut. Selain itu, penyakit ini lebih sering mengenai kaum
pria di segala umur, dengan hubungan umur dan jenis kelamin tidak mempunyai efek yang jelas
terhadap kematian akibat tetanus.38
Pada penelitian studi retrospektif oleh Bankole et al (2012), menunjukan bahwa kejadian
tetanus meningkat tiga kali lipat pada kaum pria dibanding kaum wanita. Periode masa inkubasi
11,4 ± 4,8 hari, dan durasi onset adalah 72 ± 45,6 jam. Case Fatality Rate adalah 16,3%. Sebesar
12% dari CFR tersebut meninggal dengan jangka waktu onset yang panjang, sedangkan sebesar
43% meninggal dengan jangka waktu onset yang singkat (P = 0,002). Pasien dengan komplikasi
(78%) meninggal sementara hanya 8% dari mereka yang tidak komplikasi (P <0,0001).26

23
Pada penelitian studi retrospektif dan prospektif oleh Siddartha et al (2004) di India, hasil
analisis multivariat menunjukan bahwa terdapat korelasi linear antara masa inkubasi, kekakuan
umum, tanda disfungsi otonom, keperluan trakeostomi, keperluan ventilasi mekanis, keperluan
pemberian diazepam (batas normal 1500 mg per 24 jam, diatas pemakaian 4000-5000 mg per 24
jam semakin buruk prognosisnya), dan durasi tinggal di Intensive Care Unit (ICU) dengan
kematian penderita tetanus. Hasil analisis regresi logistik multivariat menunjukkan pasien di atas
usia 50 tahun (P = 0,003) dan keperluan ventilasi mekanik (P = 0,009) secara bermakna dikaitkan
dengan kematian yang tinggi.39 Pada penelitian studi retrospektif oleh Talan et al (2004) di
Amerika Serikat, hasil analisis multivariat menunjukan bahwa kelompok orang yang berusia diatas
70 tahun, manusia yang berpendidikan rendah, dan imigran dari luar Amerika Utara & Eropa Barat
dan manusia dengan riwayat imunisasi tidak memadai mempunyai kadar seroprotection terhadap
tetanus lebih rendah.40 Fakta tersebut dapat menjawab pertanyaan mengapa orang dengan faktor
risiko tertentu dapat menjadi perhatian khusus bagi insidensi penyakit tetanus.
Pada penelitian studi retrospektif yang dilakukan Moura-Filho et al (2008), hasil analisis
multivariat menunjukan bahwa terdapat peluang untuk mengalami komplikasi Acute Renal Failure
(ARF) akibat tetanus. Walaupun demikian, hanya 11,8% pasien tetanus yang ditemukan ARF.
Sekitar 8%-nya mengalami kematian (P>0,5). Oleh karena itu, ARF tidak berhubungan dengan
kematian pada pasien tetanus. Selain itu, peneliti tersebut menemukan fakta bahwa hiperglikemia,
hiperkalemia, dan trombositopenia terlihat dapat menambah angka kematian dari tetanus.Pada
penelitian studi prospektif yang dilakukan oleh Korber et al (2008) terhadap 100 pasien tetanus
dengan riwayat ulserasi kaki (luka kronis). Hasilnya penderita tetanus yang berusia ≥70 tahun
dengan riwayat ulserasi kaki hampir pasti menderita tetanus. Banyak hal yang terpengaruh,
terutama status imun penderita terhadap toksin tetanus. Oleh karena itu, status imun pasien tersebut
terhadap tetanus harus diperbaiki dengan vaksinasi kembali.42 Pada penelitian studi retrospektif
yang dilakukan oleh Weng et al (2010) di Taiwan menunjukan bahwa Umur ≥65 tahun secara
bermakna dikaitkan dengan trismus, disfagia, disarthria, dan pneumonia. Generalized tetanus dan
pneumonia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk kegagalan pernafasan.

24
2.8. Penatalaksanaan Tetanus
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) memberikan perawatan penunjang (suportif)
sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme. Khususnya di
ruang ICU, penatalaksanaan tetanus yang bisa diberikan berupa terapi suportif. Sebagain besar
kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan suportif. Keberhasilan dalam memberikan terapi
suportif kepada pasien-pasien tetanus akan menentukan outcome penyakit ini, disamping
ditentukan pula oleh severitas penyakit.
2.8.1. Penanganan Tetanus

1. Umum

 Jika memungkinkan, tempatkan pasien di ruangan/lokasi yang khusus untuk


pasien tetanus. Untuk meminimalkan risiko spasme paroxysmal yang
dipresipitasi oleh stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang
gelap dan tenang. Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati untuk
mencegah pneumonia aspirasi.
 Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
ditangani di ICU, dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara
kontinu.
 Luka, harus dibersih dan atas indikasi.
 Meminimalisir efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan
memberikan terapi suportif. Khususnya di ruang terapi intensif,
penatalaksanaan tetanus berupa terapi suportif, dengan menitikberatkan pada
sistem respirasi, instabilitas otonom, dan spasme otot.
2. Immunotherapy
Tindakan awalnya adalah memberikan imunisasi pasif. Jika memungkinkan,
diberikan TIG 500 unit intramuscular atau intravena, segera mungkin. Vaksin TT
menggandung 0.5 cc, di injeksikan secara im. Penyakit tetanus tidak di pengaruhi
oleh imunitas, pasien dengan riwayat menerima primer vaksin TT, harus menerima
vaksin kembali 1-2 bulan kemudian setelah pemberian pertama dan 6-12 bulan
kemudian untuk dosis yang ke tiga.
25
3. Antibiotik
Metronidazole 500 mg setiap 6 jam secara iv atau p.o ; Penicillin G (100,000-
200,000 IU/kg/hari iv, dibagi dalam 2-4 dosis). Tetracyclines, macrolides,
clindamycin, cephalosporins and chloramphenicol dapat juga diberikan.
4. Muscle spasms control
Golongan benzodiazepine dapat diberikan. Untuk dewasa, dapat di berikan
diazepam iv hingga 5 mg, atau lorazepam 2 mg, tirtasi sampai control spasme tanpa
sedasi yang berlebihan dan hypoventilasi (Untuk anak-anak, dimulai dengan dosis
0.1-0.2 mg/kg setiap 2–6 jam, dititrasi sesuai kebutuhan). Dosis yang besar dapat
dibutuhkan hingga 600 mg/hari).
5. Preparat Oral dapat digunakan, akan tetapi harus hati-hati dengan monitoring untuk
menghindari depresi nafas dan henti nafas.
6. Magnesium sulphate
Dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan benzodiazepine untuk control
spasme dan autonomic dysfunction, dengan dosis 5 gr (atau 75mg/kg) intravenous
diberikan secara loading dose, lalu 2–3 grams per jam, hingga mencapai spasms
control. Untuk menghindari overdosis, monitoring reflek patella seperti areflexia
(tidak adanya refleks patela) dapat terjadi pada range dosis terapi 4mmol/L. Jika
areflexia terjadi, dosis harus di turunkan.
7. Agen lain yang digunakan untuk spasms control termasuk baclofen, dantrolene (1-
2 mg/kg intravenous atau p.o setiap 4 jam), barbiturat short-acting lebih baik (100-
150 mg setiap 1-4 jam untuk dewasa ; 6-10 mg/kg untuk anak-anak; dengan segala),
dan chlorpromazine (50-150 mg im, setiap 4-8 jams pada dewasa; 4-12 mg im setiap
4-8 jam untuk anak).
8. Autonomic dysfunction control seperti magnesium sulphate (seperti di atas) atau
morphine. Catatan: Beta Blocker: Propranolol dapat digunakan secara cepat, tetapi
dapat menyebabkan hipotensi dan sudden death; hanya esmalol yang
direkomendasikan saat ini.
9. Airway / respiratory control
Obat yang digunakan untuk kontrol spasme dan sedasi dapat menghasilkan depresi

26
nafas. Jika mechanical ventilation tersedia, ini sangat mengurangi masalah. Jika
tidak, pasien harus di monitoring secara ketat dan dosis obat-obatan untuk kontrol
maksimal spasme dan autonomic dysfunction control untuk mencegah gagal nafas.
Jika spasme, meliputi laryngeal spasm, terapi ventilasi yang adekuat, mechanical
ventilation di rekomendasikan jika memungkinkan. Tracheostomy awal sangat
dianjurkan untuk mengatasi spasme seperti endotracheal tubes, yang dapat
menyebabkan provokespasm dan membahayakan exacerbate airway.
10. Cairan adekuat dan nutrisi harus di berikan, karena tetanus spasms menghasilkan
kebutuhan metabolik yang tinggi dan katabolic state. Nutritional support dapat
mempertinggi angka kelangsungan hidup.
11. Elektrolit serta analisa gas darah sangatlah penting sebagai penuntun terapi.

2.9. Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk
pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis tetanus toksoid yang
tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Tetanus toksoid
tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai
DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi
toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12Lf dapat diberikan pada anak yang
memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan
umur dan jenis kelamin.
Tetanus toksoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun
dan jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi lebih dari 10 tahun yang
lalu, maka HYIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT
(tetanus toxoid) pada usia ≥7 tahun adalah 0,5ml IM. Untuk usia <7 tahun, gunakan DPT
atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan
dosis 0,5ml IM.10 Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali

27
hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri dari tiga
dosis:
 Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jangka waktu 4-8 minggu
 Dosis ketiga diberikan 6-12 setelah dosis pertama
 Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade
pertengahan (35, 45) dan seterusnya
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari
imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting untuk diperhatikan hal-hal berikut;
Jangan membungkus tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali
pusat, mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompres
karena menyebabkan tali pusat lembab.

28
BAB IV
DISKUSI

Pada pasien ini didapatkan gambaran neurologis risus sardonikus, trismus, spasme otot leher,
disfagia, dan rigiditas otot perut yang merupakan ciri khas klinis tetanus. Anamnesis riwayat luka di
lutut kiri 1 minggu terakhir dan riwayat imunisasi TT yang tidak jelas makin mengarahkan ke penyakit
tetanus. Menurut WHO mendiagnosis tetanus jika ditemukan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus
sardonikus atau kontraksi otot yang nyeri.
Spasme muncul secara spontan, namun juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme laring dapat terjadi segera yang mengakibatkan obstruksi saluran
nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernafasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada. Selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan
apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot
adalah penyebab kematian yang paling sering. Hipoksia biasa terjadi pada tetanus akibat dari
spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Tetanus yang
berat berkaitan dengan hiperkinetik sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak terkontrol dengan
baik. Tanda-tanda overaktivitas simpatis biasanya dominan berupa periode takikardi dan
hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Hal ini silih
berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan
otonom lainnya meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis
lambung dan ileus.

Pada Pasien ini tidak mendapatkan kontrol saluran napas ventilasi mekanik baik dengan
trakeostomi maupun intubasi endotrakea. Pada penelitian studi case series oleh Gibson et al (2009)
menunjukan kematian pasien tetanus disebabkan gagal napas, Cardiovascular collapse, dan
ketidakstabilan otonom. Didukung oleh pada penelitian studi retrospektif dan prospektif oleh
Siddartha et al (2004) di India, hasil analisis multivariat menunjukan bahwa terdapat korelasi
linear antara masa inkubasi, kekakuan umum, tanda disfungsi otonom, keperluan trakeostomi,
keperluan ventilasi mekanis, keperluan pemberian diazepam (batas normal 1500 mg per 24 jam,
diatas pemakaian 4000-5000 mg per 24 jam semakin buruk prognosisnya), dan durasi tinggal di
Intensive Care Unit (ICU) dengan kematian penderita tetanus. Hasil analisis regresi logistik
multivariat menunjukkan pasien di atas usia 50 tahun (P = 0,003) dan keperluan ventilasi mekanik

29
(P = 0,009) secara bermakna dikaitkan dengan kematian yang tinggi. Dari berbagai penelitian lain
yang telah dijelaskan pada bab 3 yang sesuai dengan Pasien terdapat korelasi usia , masa inkubasi
Tekanan darah sistolik tinggi dengan Kematian pada Tetanus.

Namun tatalaksana umum lain sudah sesuai rekomendasi WHO. Pasien dirawat di ruang
perawatan khusus terpisah dari pasien lain. Total pemberian antitoksin tetanus menggunakan human TIG
3.000 unit IM di empat lokasi berbeda walau pada pasien di dua lokasi berbeda, Pemilihan antibiotik
metronidazole dan ceftriaxone telah sesuai rekomendasi, diharapkan dapat membunuh bakteri anaerob.
Untuk mengontrol spasme otot, pasien mendapatkan drip diazepam 40 mg dalam NaCl 0,9% dengan
kecepatan 8 tpm – setara dengan dosis 60 mg/hari. Dosis rekomendasi diazepam 0,1-0,3 mg/
kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis dengan dosis maksimal 40 mg/ kgBB/hari.
Pada pasien ini Drip diazepam dalam infus D5% untuk menunjang pemeliharaan nutrisi dan
mencegah katabolisme protein yang dapat memperburuk prognosis.
Penilaian prognosis merupakan salah satu komponen terpenting untuk melihat risiko mortalitas.
Phillips score dan Dakar score telah diakui >40 tahun untuk menilai prognosis pasien tetanus.
Dilakukan perbandingan skoring prognosis yang dikembangkan berdasarkan penelitian di Ho Chi
Minh City, yaitu Tetanus Severity Score (TTS). Pada Pasien ini didapatkan Phillip Score Masa
inkubasi1 minggu skor 4, Lokasi infeksi di perifer proximal skor 3, status ptoteksi tidak ada skor
10, faktor komplikasi skor 8 jadi total philip score 25, dapat dikatakan jika akumulasi nilai philip
score ≥14, maka penderita tetanus mengarah ke severe tetanus. Jika sudah didapatkan fakta severe
tetanus, maka semakin besar probabilitas kematiannya karena menggambarkan prognosis penyakit
yang memburuk.

30
BAB V

KESIMPULAN

Tetanus dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan


menemukan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot yang
nyeri; tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pengenalan gejala sedini mungkin diperlukan
untuk menekan risiko mortalitas. Pemberian antitoksin tetanus, antibiotik, kontrol spasme otot,
kontrol saluran napas, dan pemberian cairan serta nutrisi yang adekuat menjadi pilar bagi
keberhasilan penatalaksanaan tetanus.

Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan pada
negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses program imunisasi yang buruk,
ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU), yang sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita tetanus yang
berat. Sehingga diperkirakan tetanus akan terus berlanjut menginfeksi populasi yang sedang
berkembang pada masa-masa mendatang. Penatalaksanaan tetanus yang berhasil memerlukan
seluruh fasilitas intensive care unit modern. Pendekatan multidisipliner adalah sangat penting.

Skoring prognosis TSS tidak berbeda dengan hasil dua skoring yang telah ada. Dengan
demikian, skoring ini dapat diaplikasikan pada pusat layanan kesehatan dengan fasilitas terbatas.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM, editors.

Textbook of critical care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1401-1404.

2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, editors. Oh’s intensive care manual. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009. p. 593-597.
3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6 No. 3.
2006. Available at: http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.
Accessed May 20, 2013.
4. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. 2005. Available at:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wp- content/tetanus-a-review.pdf. Accessed May
20, 2013.
5. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. British Journal of
Anesthesia. Vol 87 No. 3. 2001. Available at:
http://www.bja.oxfordjournals.org/content/87/3/477.full.pdf. Accessed May 20, 2013.
6. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al. Management and
prevention of tetanus. Journal of Long-Term Effect of Medical Implant. Vol. 13 No. 3. 2003.
Available at: http://www.dl.begellhouse.com/journals/JLT1303-139-154(184).pdf. Accessed
May 20, 2013.
7. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. Less common causes of quadriparesis and respiratory

failure. In: Suarez JI, editor. Critical care neurology and neurosurgery. 1st ed. New Jersey:
Humana Press; 2004. p. 493-495.
8. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and Rippe’s intensive

care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams & Wilkins. 2008. p. 1140-1141.
9. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies.
WHO Technical Note. January 2010. Available at:
http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf. Accessed
May 20, 2013.

32
10. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol 87 No. 3.
2001. Available at: http://www.aagbi. org/sites/default/files/17-management-of-tetanus.pdf.
Accessed May 20, 2013.

11. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY, editors. Current

critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California: McGraw-Hill; 2003. p. 432-434.

12. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & physiology in anesthetic practice: benzodiazepine.

4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p. 140-154.

33

Anda mungkin juga menyukai