Anda di halaman 1dari 13

B.

Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu Negara dan sebagai llmu Tentang

Kekuasan
- Konseo sosiologi politik sebagai ilmu negara
Konsep ini mempergunakan kata politik dalam konotasi yang biasa,
yaitu yang berhubungan dengan "negara". Kata negara di sini dimaksudkan
untuk mengartikan kategori khusus dari kelompokkelompok manusia atau
masyarakat. Pertama negara bangsa (nation state) dan kedua negara
pemerintah (government state). Negara bangsa menunjukkan masyarakat
nasional, yaitu komunitas yang muncul pada akhir zaman pertengahan dan kini
menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi. Negara
pemerintah menunjukkan pada penguasa dan pemimpin dari masyarakat
nasional ini.
Mendefinisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara berarti

menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada


hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dalam
pengertian ini berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi kota, sosiologi agama,
sosiologi etnik atau kelompok minoritas.

- Konsep sosiologi politik sebagai ilmu tentang kekuasaan


Konsep yang diuraikan di atas merupakan konsep tua dari sosiologi politik.
Konsep lain yang lebih modern menganggap bahwa dari sosiologi politik adalah
ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua,
masyarakat manusia bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsepsi
ini berasal dari Leon Duguits, ahli hukum Perancis, yang dinamakan
perbedaaan anatara yang memerintah (goverments) dan yang diperintah
(gouvemes) (Duverger, 1989: 19). Dia percaya bahwa dalam setiap kelompok
manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang sifatnya sementara
sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka yang diperintah,
mereka yang memberikan perintah dan mereka yang menaatinya, mereka yang
membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Pembedaan
ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada dalam setiap
masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
Pandangan ini menempatkan sosiologi politik di dalam klasifikasi yang

lain dari pengertian yang pertama, yaitu suatu yang didasarkan bukan pada
hakikat masyarakat yang dipelajari, tetapi pada jenis fenomena yang ada
dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, sosiologi politik dalam pengertian ini
berbeda tetapi sejajar dengan sosiologi ekonomi, sosiologi kesenian, sosiologi
agama dan lain sebagainya. Dari sudut pandang ini sosiologi politik diartikan
sebagai "ilmu tentang kekuasaan dalam masyarakat".
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kekuasaan dalam masyarakat
yang bagaimana yang menjadi cakupan sosiologi politik. Apa dalam setiap lapisan
masyarakat atau dalam lingkup masyarakat tertentu? Menjawab pertanyaan ini
Duverger memberikan dua penjelasan. Penjelasan pertama dilihat dari ukuran
dan kompleksitas kelompok-kelompok sosial dan kedua dilihat dari hakikat
ikatan-ikatan organ isatorisnya.
Menurut Duverger (1989) dilihat dari ukuran (size) dan kompleksitasnya
ada dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok elementer atau kelompok kecil
dan kelompok kompleks. Kekuasaan dalam kelompok yang lebih besar inilah yang
ada sangkut-pautnya dengan sosiologi politik, sedangkan pada kelompok-
kelompok yang kecil menjadi wilayah kajian psikologi sosial. Namun demikian,
pembedaan secara demikian dianggap kurang akurat. Karena teramat sulit
membedakan antara kelompok-kelompok elementer dan kelompok-kelompok
kompleks. Karena pada kelompok-kelompok elementer pun terdapat
kompleksitas tersendiri. Dalam kelompok sekecil apa pun menurut Duverger
menunjukkan adanya proses diferensiasi yang menghasilkan klik, koalisi-koalisi,
dan groups yang melibatkan peranan atau menggunakan kekuasaan.
Berdasarkan ukuran (size) ini, maka kajian sosiologi politik mencakup
"makropolitik" yang berada dalam komunitas-kominitas yang besar dan
"mikropolitik" yang berada pada kelompok-kelompok kecil.
Sementara itu dilihat dari ikatan-ikatan organisatorisnya, masyarakat

dapat dibedakan dalam masyarakat "swasta" dan masyarakat "universal".


Masyarakat swasta adalah "kelompok-kelompok dengan kepentingan- kepentingan
khusus dan rasa solidaritas terbatas yang masing-masing kelompok sesuai dengan
kategori tertentu dari aktivias manusia". Termasuk dalam kategori masyarakat
ini, misalnya serikat buruh, organisasi olahraga, organisasi kesenian, perusahaan
komersial, organisasi-organisasi profesi dan organisasi- organisasi sosial lainnya.
Masyarakat universal adalah masyarakat yang meliputi dan melebihi semua
masyarakat-masyarakat swasta ini. Masyarakat universal adalah "masyarakat yang
memiliki kategori umum tertentu, tidak hanya didasarkan pada kegiatan atau
aktivitas tertentu saja". Tetapi juga, rasa solidaritas lebih besar, lebih dalam,
lebih mesra daripada masyarakat- masyarakat swasta.
Bagi sebagian penulis, kekuasaan dalam masyarakat universal
merupakan objek analisa sosiologi politik bukan kekuasaan di dalam
masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di dalam
masyarakat swasta, otoritas atau kekuasaan dianggap hanya memiliki hakikat
teknis tidak mempersoalkan masalah ketergantungan individuindividu dalam
hubungan dengan yang lain suatu hal yang justru merupakan dasar dari
kekuasaan.
Secara sekilas pembedaan ini tampak sesuai dengan arti populer dari

"politik". Misalnya, jika kita membicarakan pemimpin-pemimpin politik dan


pemerintah berarti membicarakan otoritas dalam masyarakat universal.
Namun, jika dikaji secara mendalam perbedaan antara masyarakat universal dan
masyarakat swasta tidak bisa menjadi dasar bagi definisi sosiologi politik.
Pertama, pembedaan tersebut samarsamar sifatnya. Misalnya, apakah keluarga
merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta? Demikian juga
apakah masyarakat agama merupakan masyarakat universal atau masyarakat
swasta? Bagi kepala keluarga, keluarga dipandang sebagai masyarakat
universal. Begitu juga bagi pemimpin agama, masyarakat agama merupakan
masyarakat universal. Namun, bagi yang lain tentu belum tentu dipandang
demikian. Kedua, ada dua paham mengenai masyarakat universal. Paham
pertama, didefinisikan oleh perasaan memiliki (sense of belonging) rasa
kekariban (sense of fellowship) yang mempengaruhi totalitas kegiatan anusia.
Paham kedua adalah konsep lebih bersifat formal dan yuridis, yakni
menganggap masyarakat universal pada masa kini sebagai nation state (negara
bangsa). Sementara pada zaman lain, bisa kota, suku, dan lainnya. Jika paham
kedua yang dipakai, maka akibatnya akan terjebak pada teori yang
menyamakan sosiologi politik dengan negara.
Masyarakat mana yang menjadi kajian sosiologi politik? Apaka
h

masyarakat universal? Menurut Duverger, hal tersebut sulit diterima, jika


sosiologi politik didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam
masyarakat universal" tidak lebih baik daripada didefinisikan sebagai "ilmu
tentang kekuasaan di dalam negara". Karena seringkali kedua ungkapan
tersebut dianggap sinonim oleh yang mempergunakannya.
Agar dapat keluar dari kesulitan itu, Duverger menyarankan lebih baik

melihatnya dari segi "hubungan-hubungan otoritas" (authority relationship)


yang berjenis-jenis di dalam semua masyarakat baik itu kecil atau besar,
sederhana atau kompleks, swasta atau universal. Hubungan otoritas yang
dimaksudkan adalah setiap hubungan yang tidak sama di mana seseorang atau
beberapa individu menguasai yang lain dan mengarahkannya menurut
kehendaknya sendiri. Pada umumnya hubungan manusia memang demikian.
Dalam kenyataannya, sangat sedikit yang benar-benar egalitarian (sama
sederajat).
Persoalannya sekarang adalah hubungan otoritas yang bagaimana yang

melibatkan "kekuasaan" dalam arti yang tepat. Untuk menjelaskan masalah ini,
Duverger membedakan hubungan-hubungan yang bersifat luas yakni hubungan
yang bersifat "institusional" dan hubungan dalam arti sempit yang bersifat
"personal". Kekuasaan dari sudut pandang ini adalah terdiri atas seluruh
kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas yang berarti adanya
dominasi beberapa orang terhadap yang lainnya. la bukan hubungan-hubungan
yang sederhana yang tidak sama dan tidak memiliki sifat institusional dan tidak
berasal dari institusi.
Ada dua kriteria untuk membedakan institusi dengan hubungan yang

bersifat sempit. Pertama, yang bersifat fisikal dan kedua sikap kolektif dan
keyakinan. Secara fisikal hubungan yang bersifat sempit adalah hubungan
manusia yang tidak terikat kepada model-model yang sudah ada terdahulu,
iasanya berlangsung tidak permanen, sporadis, sekejap, dan tidak stabil.
Sedangkan, institusi adalah model hubungan yang berlaku sebagai pola hubungan
yang kongkrit, bersifat stabil, berlangsung lama dan kohesif. Model- model
institusional relatif sama dengan pengertian "struktur" dalam sosiologi modern.
Struktur adalah sistem hubungan-hubungan yang tidak akan terlepas dari
hubungan itu sendiri dan keasliannya ditentukan oleh hubungannya dengan model
struktural. Dalam arti ini, maka parlemen, menterimenteri kabinet, kepala-
kepala negara dan pemilihan umum adalah institusi.
Atas dasar keyakinan manusia kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan
oleh mereka yang menaatinya dan mereka yang menggunakannya. Bagi
mereka, hal tersebut bukan hanya fenomena fisik sebuah dominasi, melainkan
juga fenomena psikologis. Dalam hal ini, masalah "legitimasi" (keabsahan)
menjadi penting. Kekuasaan selalu dianggap sebagai sesuatu yang "legitimate"
(sah untuk diterima) sampai tingkat tertentu. Oleh karena kita menerima
kekuasaan tersebut, maka sangatiah wajar bila kita menaatinya. Kekuasaan
ditaati, karena kita pikir kita harus berbuat demikian, karena kita percaya bahwa
kekuasaan "sah" adanya untuk ditaati. Jadi, keabsahan ini yang membedakan
kekuasaan dari sekedar hubungan otoritas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik


adalah "ilmu tentang kekuasaan dalam setiap kelompok manusia atau
masyarakat". Secara lebih tegas, Duverger menganggap sosiologi politik sama
dengan ilmu politik hampir tidak ada bedanya. Hal ini didasarkan pemahaman
bahwa sosiologi sama dengan ilmu-ilmu sosial. Jika ilmu politik adalah salah satu
bidang dari ilmu-ilmu sosial, maka sosiologi politik dianggap seagai salah
satu cabang dari sosiologi. Oleh karena itu, menurut Duverger yang juga
mendapat pengakuan di Perancis, sosiologi politik sama dengan ilmu politik
yakni sama-sama mengkaji kekuasaan dalam masyarakat sebagai objek studi.
Pemikiran Duverger yang sangat sosiologis tersebut, tentu ditolak oleh
para ahli politik. Rush dan Althoff, misalnya keduanya tidak sependapat
dengan pemikiran bahwa sosiologi politik adalah cabang dari sosiologi dan
dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya mengakui bahwa ada studi-
studi politik yang dilakukan oleh para sosiolog, seperti Marx Webwer, Mosca,
dan Pareto dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Rush dan
Althoff, sosiologi politik merupakan bidang subjek yang mempelajari mata
rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan
struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku
politik. Menurutnya sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan
jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori
disebut hybrid inter- dicipliner.
Bila disimak lebih mendalam, maka posisi sosiologi politik sebagaimana
diungkapkan oleh Duverger di atas, tampaknya lebih tepat jika diterapkan
pada program sudi Ilmu Sosiologi. Sementara pemikiran Rush dan Althoff
sangat tepat diterapkan pada program studi ilmu politik. Untu kepentingan
pembelajaran pada program studi PPKn, maka pendapat Rush dan Althoff,
secara substantial tampaknya lebih cocok menjadi acuan mata kuliah ini.
Artinya, hakikat sosiologi politik dalam mata kuliah ini dipandang sebagai
"suatu kajian yang menyajikan konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep
ilmu politik serta mengkaji masalah-masalah politik yang ditinjau secara
sosiologis".

C. Skema Konseptual

Sosiologi politik didefinisikan sebagai subjek area (bidang subjek)


beberapa orang lain menamakan mata rantai antar politik dan masyarakat,
antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara
tingkah laku sosial dan tingkah laku politik dengan melihat sosiologi politik
merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan
ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybird inter-dicipliner.
Skema konsepsi tersebut dilandaskan pada empat konsep,
yaitu;

sosialisasi politik, partisipasi, penerimaan atau perekrutan politik


dan komunikasi politik. Semua konsep itu sifatnya interdependent,
bergantung satu
sama lain dan saling berpautan. Karenanya kita mendefinisikannya sebagai
berikut:
1. Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana seseorang individu bisa
mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi- persepsinya
mengenai politik serta reaksinya terhadap gejaiagejala politik. Sosialisasi politik
mencakup pemeriksaan mengenai lingkugan kultural, lingkungan politik dan
lingkungan sosial dari masyarakat individu yang bersangkutan. Juga mempelajari
sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu
merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial dengan
sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem
lainnya.
2. Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam-
macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktiviatas politik itu bisa
bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai dengan aktivitas jabatannya. Oleh
karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat- masyarakat
khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep- konsep mengenai
apa itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan
keterlibatan mereka yang terbatas.
3. Perekrutan politik adalah proses dengan mana individu-individu menjamin

atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Perekrutan ini


merupakan proses dua arah dan sifatnya bisa formal maupun tidak formal.
Merupakan proses dua arah karena individuindividunya mungkin mampu
mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati oleh orang lain dan
kemudian bida menjabat posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi politik ialah proses dimana informasi plitik yang relevan

diteruskan dari sauatu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan
diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Kejadian
tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula
pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-
kelompoknya pada semua tingkat masyarakat.
2.2.1 Asal Mula Perkembangan Sosiologi Politik
Teori-teori yang dicetuskan oleh pemikir-pemikir terkemuka berpengaruh besar terhadap
studi-studi politik. Maka tidak mengherankan muncul studi-studi yang dapat digolongkan
dalam bidang “sosiologi politik” asal mula sosiologi politik sebaga bidang suatu studi sulit
ditetapkan secara pasti. Namun hal ini bisa ditelusuri dari karya-karya sosiologi atau ilmuan
politik mengenai tema-tema sosiologi politik. Dua tokoh besar yang bisa dianggap sebagai
“bapak pendiri” sosiologi politik karena karyanya yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan sosiologi politik, baik dalam hal teori atau konsep dan metodologi ialah Karl
Marx dan Max Weber
Sumbangan Mark sangat bervariasi, yang digolongkan dalam tiga bidang, yaitu teori umum,
teori khusus, dan teori metodologi. Teori umum Mark berbicara tentang determinisme
ekonomi dan dialektika materialisme. Teori khusus berbicara tentang perjuangan kelas dan
alienasi. Sumbangan metodologisnya tampak dari upaya untuk mengembangkan sosialisme
ilmiah.
Sumbangan Weber
Menurut Weber, faktor-faktor non ekonomis, dan ide-ide merupakan faktor sosiologis yang
penting. Begitu juga status sosial dan posisi individual dalam struktur kekuasaan menentukan
strata masyarakat. Politik adalah sarana perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan
politik, atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara
negara-negara maupun diantara kelompok-kelompok di dalam suatu negara. Ada tipe
legitimasi yaitu tradisional, karisnatik, legal-rasional. Menurut Weber sosiologi harus bebas
nilai. Sumbangan metodelogis yang diterapkan nya pada sosiologi adalah pemahaman yang
disebut Verstehen.
2.3 Titik Pandang Sosiologi Politik
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan para pakar sosiologi politik, yang sulit disatukan.
Setidaknya ada dua pandangan tentang sosiologi politik yang cukup menonjol. Pandangan
yang satu melihat sosiologi politik sebagai studi tentang negara. Sedangkan pandangan yang
lain menjelaskan sosiologi politik sebagai studi tentang kekuasaan.

1. Sosiologi Politik sebagai studi tentang negara


Di sini kata “politik” dipakai dalam konotasinya yang biasa, yaitu yang berhubungan
dengan negara. Kata “negara “ mengacu pada kategori khusus dari kelompok-kelompok
manusia atau masyarakat. Terdapat dua arti negara yang patut diperhatikan. Pertama, negara
bangsa (nation-state), yang mengacu pada masyarakat nasional. Yang dimaksud adalah
komunitas yang muncul pada akhir abad pertengahan, yang dewasa ini kuat terorganisir
sekaligus paling utuh berintegrasi. Kedua, negara pemerintah (government-state), yang
mengacu pada penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional tersebut.

2. Sosiologi Politik sebagai studi tentang kekuasaan


Menurut pengertian yang lebih modern, sosiologi politik adalah ilmu tentang
kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, tidak
hanya di dalam masyarakat nasional. Konsep ini pada dasarnya, memfokuskan pada
perbedaaan antara pemerintah dan yang diperintah. Dalam setiap kelompok manusia, mulai
dari yang terkecil hingga yang terbesar, mulai dari yang rapuh hingga yang paling stabil
terdapat orang yang memerintah dan mereka yang mematuhinya, terdapat mereka yang
membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan yang bersangkutan.
Perbedaaan tersebut merupakan fenomena politik yang fundamental yang dijelaskan melalui
studi perbandingan pada setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.

Kedua konsep di atas tidak dengan sendirinya memperjel as pengertian sosiologi


politik. Terdapat dua tafsiran umum tentang politik. Di satu pihak, politik secara hakiki
dipandang sebagai pergolakan, pertempuran. Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok
dan individu yang berkuasa mempertahankan dominasi terhadap masyarakat dan
mengeksploitasinya. Sedangkan kelompok dan individu yag lain menentang dominasi dan
tidak eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk mempertahankan hak-hak
istimewa kelompok minoritas dari dominasi kelompok mayoritas.

Di lain pihak, politik dipandang sebagian suatu usaha untuk mengakkan ketertiban dan
keadilan. Disini kekuasaan dipakai untuk mewujudkan kemakmuran bersama dan melindungi
kepentingan umum dari tekanan kelompok-kelompok tertentu. Politik merupakan sarana
untuk mengintegrasikan setiap orang ke dalam komunitas dan menciptakan keadilan seperti
yang dicta-citakan oleh Aristoteles.

Di dalam kenyataan, apa yang disebut politik itu senantiasa ambivalen. Di satu sisi,
kekuasaaan dijadikan alat untuk mendominasi orang atau pihak lain. Di sisi yang lain,
kekuasaan dijadikan sarana untuk menjamin ketertiban sosial tertentu atau sebagai alat
pemersatu. Kedua paham ini merupakan dasar teoritis bagi pembicaraan tentang sosiologi
politik. Namun perlu dicatat, bahwa tidak ada suatu teori umum tentang sosiologi politik
yang dapat diterima oleh semua sarjana terkait. Oleh karena itu merumuskan teori umum
tentang sosiologi politik merupakan tantangan sekaligus peluang bagi sarjana sosiologi
politik kontemporer.
Titik pandang yang dimaksudkan di sini adalah sudut pandang atau pendekatan, metode yang
dipakai oleh para ahli sosiologi politik untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi
objek perhatian mereka. Umumnya para ahli sosiologi politik mempelajari masalah-masalah
seperti berikut :
1. Kondisi – kondisi apakah yang menimbulkan tertib politik atau kekacauan politik dalam
masyarakat?

2. Mengapa sistem-sistem politik tertentu dianggap sah atau tidak sah oleh warga negara?

3. Mengapa sistem-sistem politik tertentu stabil, sedangkan yang lainnya tidak ?

4. Mengapa ada pemerintahan yang demokratis, dan mengapa ada yang totaliter? Mengapa pula
ada pemerintahan yang merupakan kombinasi antara keduanya.

5. Faktor –faktor apakah yang menyebabkan variasi pada sistem kepartaian, taraf partisipasi
politik, dan angka rata-rata pemilihan suara?

Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, dipergunakan berbagai cara pendekatan


histeris, pendekatan komparatif, institusional, dan pendekatan histories, pendekatan
komparatif, instituusional, dan pendekatan behavioral. Melalui pendekatan histories kita
berusaha mencari karya para ahli sosiologi politik klasik untuk menemukan konsern-konsern
dan minat-minat tradisional dari sosiologi politik sebagai suatu dsiplin intelektual. Dengan
cara ini kita bisa menemukan bagaimana jawaban-jawaban mereka atas permasalahan-
permasalahan yang kita hadapi. Dengan kata lain, pendekatan ini memberikan suatu
perspektif yang diperlukan bagi studi-studi yang sama, baik dalam pengertian kontekstual
maupun temporal. (Maran, 2001)
Melalui pendekatan komparatif kita mempelajari gejala-gejala sosial politik dari suatu
masyarakat tertentu untuk menyoroti fenomena yang kita hadapi. Pendekatan semacam ini
dipergunakan antara lain oleh Ostogorski dan Michel dalam studi mereka tentang partai-
partai politik, dan diterapkan pada studi lingkungan oleh Almond dan kawan-kawan beserta
Lipset. (Rush dan Althoff, 2002)

Kedua pendekatan tersebut tidak dipersoalkan. Yang sering dipersoalkan adalah pendekatan
institusional. Pendekatan ini diangap tidak memadai dan realistis, sebab studi ini
mengabaikan realitas tingkah laku politik. Masalahnya ialah, bahwa pendekatan ini
mengkonsentrasikan diri pada faktor-faktor konstitusional dan legalistik. Dengan kata lain,
institusi-institusi sosial atau lembaga-lembaga sosial merupakan unit dasar analisis. Dengan
demikian orang memberikan tekanan yang berlebihan pada pandangan bahwa tingkah laku
politik itu selalu berlangsung dalam kerangka institusional. ( Alex Inkeles dalam Maran,
2001). Pakar sosiologi politik berusaha menyingkirkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat
pada pendekatan – pendekatan lainnya. Pendekatan behavioral menggunakan individu
sebagai dasar dari analisis. Di sini fakta dan nilai dipisahkan, dan orang membuat generalisasi
berdasarkan prinsip verifikasi.

Pendekatan ini dikritik berdasarkan dua alasan, pertama, para pengguna pendekatan ini
dianggap terlalu kaku dalam melakukan analisis politik dan sosial. Sikap kaku dipertahankan
demi standar-standar yang tinggi yang dipentingkan dalam pendekatan ini. Kedua,
pendekatan ini mengabaikan segi-segi yang merupakan kelebihan dari pendekatan-
pendekatan lain. Padahal tidak ada satu pendekatan yang paling baik sempurna.
Bagaimanapun setiap pendekatan adalah parsial. Karena itu berbagai pendekatan itu bisa
saling melengkapi. Dengan demikian dapat diperoleh suatu pengetahuan yang lebih utuh,
misalnya tentang suatu fenomena sosial politik.

Dalam bidang sosiologi politik terkenal teori sistem, yang beranggapan bahwa gejala sosial
merupakan bagian dari pola tingkah laku yang konsisten, internal, dan reguler, dapat dilihat
dan dibedakan. Inilah yang disebut sistem sosial yang terdiri dari subsistem-subsistem yang
paling saling bergantung, seperti halnya kaitan antara ekonomi dan politik. Salah satu tokoh
terkemuka dalam teori sistem adalah Talcott Parsons yang menulis buku The Social System
(1951). Parsons dan kawan-kawan, khususnya Marion Levy dan Robert K. Merton
mengembangkan pendekatan fungsional, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan
fungsionalisme-struktural. Menurut pandangan ini struktur-struktur sosial yang menentukan
peranan-peranan dengan pola-pola perilaku yang tetap, yang oleh masyarakat diharapkan dari
seorang dokter, politisi, petani, ibu rumah tangga, orang beragama, warga negara, dan
sebagainya.( Veeger, 1985).

Namun fungsionalisme struktural pun tidak luput dari kritik serta kecaman, karena dianggap
tidak mampu secara tepat memperhitungkan perubahan yang sistematik; dan secara idiologis
jadi bias, karena menjurus pada arah yang statis atau pada konservatisme. Alternatif bagi
fungsionalisme struktural ditawarkan oleh David Easton yang menulis buku The Political
System. A. Framework for Political Analistical and A Sistem Analysis of Political Life
(1965). Alternatif yang dimaksud berupa analisis input-output. Secara khusus Easton
memperhatikan masalah bagaimana caranya suatu sistem politik bisa bertahan hidup dan
faktor-faktor apakah yang menyebabkan perubahannya.
Metode yang sering diandalkan dalam studi sosiologi politik adalah metode kuantitatif.
Termasuk di sini penggunaan survei-survei statistik dan pengumpulan-pengumpulan data,
seperti yang digunakan pada studi-studi tentang ekologi politik. Para ahli sosiologi politik
berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan wawasan melalui survei-survei dan
wawancara intensif.

Penggunaan teori-teori dan model-model tentu saja sangat diperlukan untuk memperoleh
garis-garis pedoman bagi penelitian dan untuk menghasilkan penjelasan-penjelasan yang
memadai tentang gejala-gejala atau masalah – masalah yang sedang dipelajari. Di sini teori
dipakai sebagai suatu perlengkapan heuristik untuk mengorganisir segala sesuatu yang kita
ketahui, atau segala sesuatu yang kita duga kita ketahui, pada suatu waktu tertentu, kurang
lebih mengenai suatu pertanyaan atau isu yang diajukan secara eksplisit. (Veeger, 1985).
Dengan model tersebut maka dapat diketahui tentang konsepsi umum tentang alam, dunia
dimana seorang ilmuwan bekerja, suatu gambar mental tentang “bagaimana dunia itu
disatukan dan bagaimana dunia itu bekerja“. Di sini istilah model mengacu pada suatu
gambaran yang lebih umum tentang kerangka utama dari suatu fenomena utama, yang
mencakup ide-ide utama tentang hakikat dari unit-unit yang mencakup dan pola relasi-relasi.
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosiologi Politik
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan Sosiologi Politik antara lain :
1. Keluarga
Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi partisipasi Politik seorang anak, diantaranya karena :
a. Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak

b. Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) Politik orang tua

c. Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga

d. Tingkat minat orang tua terhadap Politik

e. Proses sosialisasi Politik keluarga

2. Agama dan Ekonomi


Selain keluarga faktor yang mempengaruhi perilaku Politik individu adalah agama
yang dianutnya. Dalam kenyataan pendidikan anak dalam keluarga antara lain mengajarkan
tentang otoritas, yaitu otoritas orang tua. Otoritas ini merupakan perpaduan antara otoritas
politik dan agama. Sementara organisasi keagamaan diluar rumah pada kenyataannya juga
mensosialisasikan ajaran yang mengandung pendidikan politik. Dengan demikian agama
yang memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran juga dapat mendorong individu untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik.

3. Stratifikasi serta Sistem Nilai dan Kepercayaan

Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perbedaan
keyakinan dan pola perilaku individu diberbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan
politik. Perbedaan kelas akan tercermin pada praktik sosialisasi, aktivitas budaya, dan
pengalaman sosialnya. Tingkat partisipasi individu dalan voting dilukiskan dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan, pendapatan, ras, jenis kelamin, situasi, dan status individu tersebut.

Dampak dari Sosiologi Politik

Sosiologi politik membawa dampak pada lahirnya dimensi-dimensi baru dalam konsep
pembangunan. Menurut Webster (1984), terdapat lima dimensi yang perlu untuk diungkap,
antara lain :
1. Posisi negara miskin dalam hubungan sosial dan ekonominya dengan negara-negara lain.

2. Ciri khas atau karakter dari suatu masyarakat yang mempengaruhi pembangunan.

3. Hubungan antara proses budaya dan ekonomi yang mempengaruhi pembangunan.

4. Aspek sejarah dalam proses pembangunan atau perubahan sosial yang terjadi.

5. Penerapan berbagai teori perubahan sosial yang mempengaruhi kebijakan pembangunan


nasional pada negara-negara berkembang.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 kesimpulan
Politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
berwujud proses pembuatan kekuasaan, khususnya Negara. Sedangkan, Sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari seluruh seluk beluk yang berhubungan dengan sosial. Banyak aspek yang
dipelajari dalam ilmu sosiologi dimana berkait dengan kehidupan sosial, hubungan antar
sesama, kekeluargaan, kasta, rumpun, bangsa, agama dan asosiasi kebudayaan, ekonomi dan
organisasi politik.
sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando di dalam
semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Pengertian tersebut
pada dasarnya membedakan antara pemerintah dengan yang diperintah.

3.2 Saran

Tidak ada yang sempurna di Dunia ini begitu pula makalah yang saya buat, saya
menyadari makalah ini masih mempunyai kekurangan dan demi penyempurnaan makalah
ini.maka Saya membutuhkan kritik dan saran yang bersifat positif/membangun dari pembaca.
dan semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca khususnya bagi saya selaku penyusun

B.

Perkembangan Sosiologi Politik


Perkembangan sosiologi politik dapat ditelusuri dari karya-karya pemikir ilmu-
ilmu sosial.
Karya sosiologi pertama dapat ditemui dalam buku Montesquie yang
pernyataannya bahwa, “Di
sini kita laporkan apa yang ada dan bukan apa yang seharusnya ada. Selanjutnya
sosiologi politik diungkapkan oleh beberapa pemikir lainnya seperti Rush dan
Rudolf, Karl Marx dengan masyarakat tanpa kelas yang dianggap menonjol
karena karyanya yang paling mendasar dalam sosiologi politik, Selanjutnya ada
pula seorang tokoh yang menonjol juga peranannya dalam sosiologi politik
yakni Max Weber karya yang paling terkenal adalah sistem kapitalis dan
individualis. Dan tokoh lainnya Walter Bagehot dan juga Gabriel Tarde, serta
tokoh penyumbang yang menyinggung partai politik yakni Ostrogorsi dan
Robert Michels. Dan Harold Laswell yang memusatkan kaitannya antara
kebudayaan dengan politik, serta hubungan ekonomi dengan sistem-sistem
politik.
C.

Pendekatan dan Peranan Sosiologi Politik


1.

Pendekatan dan Metode Pendekatan adalah orientasi khusus atau titik pandang
tertentu yang digunakan dalam studi-studi sosiologi politik. Berdasarkan
batasan-batasan ini Rush dan Althoff (2005), mengemukakan beberapa
pendekatan yang biasa digunakan dalam studi-studi sosiologi politik.
Pendekatan

Anda mungkin juga menyukai