Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumusan Masalah

Tujuan Penulisan
BAB II

ISI

Pengertian Komunikasi Antar Budaya

Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dahulu kita harus


mengetahui komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti
memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi,
apa penyebabnya dan lain sebagainya yang mempengaruhinya.

Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan


terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Setiap
orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan
ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk
mempersatukan manusia.

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,


merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap,
makna, dan yang lainnya yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke
generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Jadi, budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena budaya tidak
hanya menetukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang
menyandikan pesan. Seluruh pembendaharaan perilaku kita sangat bergantung
pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan
landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula
praktik-praktik komunikasi.

Teori Sikap
Dasar Sejarah Teori Sikap
Para peneliti komunikasi baru saja mulai menerapkan teori sikap untuk
mempelajari perilaku komunikasi (misalnya,Buzzanell,1994),teori ini merupakan
kerangka teoritis dengan sejarah yang panjang.Bahkan,walaupun disebutkan
bahwa teori ini merupakan hasil konseptualisasikan dari Nancy Hartsock,ia
hanyalah satu dari banyak peneliti yang telah memberikan kontribusi dalam
mengembangkan teori ini. Sejarah teori ini dimulai tahun 1807 ketika seorang
filsuf Jerman Georg Wilhem Friedrich Hegel yang membahas bagaimana
hubungan tuan-budak membentuk perbedaan sikap para partisipan dalam
hubungan tersebut. Hegel menulis bahwa walaupun para budak dan tuan hidup di
dalam masyarakat biasa,pengetahuan mereka mengenai masyarakat tersebut
sangat berbeda. Perbedaan ini berasal dari posisi mereka yang sangat berbeda di
dalam masyarakat. Hegel beragumen bahwa tidak aka nada visi tunggal berkaitan
dengan kehidupan sosial,tiap kelompok sosial memersepsikan pandangan parsial
mengenai masyarakat.Karl max juga mengklaim bahwa posisi dari seorang
pekerja (kelas vis-d-vis) membentuk akses pekerja tersebut terhadap pengetahuan.
Nancy Hartsock menggunakan ide Hegel dan teori Marxis untuk mulai
mengadaptasikan Tori Sikap untuk digunakan dalam mempelajari hubungan
antara wanita dan pria.Dari karyanya dengan ide-ide ini pada tahun 1983 Hartsock
menerbitkan “The Ferminist Standpoint Develoving the Ground for a Specifilly
Ferminist Historical Materialism.” Hartsock sangat tertarik dengan debat-debat
sehubungan dengan feminism dan Marxxisme yang terjadi pada tahun 1970-an
dan awal 1980-an yang berfokus pada ketiadaan isu-isu wanita di dalam teori
Marxis.Minat Hartsock adalah untuk “membuat wanita hadir” dalam teori Marx
dan dengan demikian menghasilkan teori Marxis feminis (Hartsock,1997).
Hartsock menerapkan konsep Hegel mengenai tuan dan budak dan pemikiran
Marx mengenai kelas dan kapitalisme pada isu-isu mengenai jenis
kelamin(kategori biologis laki-laki dan perempuan)dan gender (kategori perilaku
naskulinitas dan feminitas).ini merupakan bentuk adaptasi dari ST yang
umum,dan karenanya kebanyakan orang terkadang menyebut Teori Sikap sebagai
Teori Sikap Feminis (Feminist Standpoint Theory)sebagaimana disebut oleh
Nancy Hartsock pada tahun 1983.Banyak penulis melihat bahwa terdapat berbagai
macam feminisme yang berbeda (Cirksena&Cuklanz,1992). Kita harus mengakui
keberagaman ini tetapi melihat bahwa karakteristik penentu yang menyatukan
semua jenis feminisme adalah focus pada posisi sosial wanita dan keinginan untuk
mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender.
Teori Sikap menyatakan dan membentuk kritik terhadap teori mainstream dan
pendekatan terhadap penelitian lainnya.Teori sikap feminis berusaha untuk
menyatukan dua hal yang bersitegang pencarian akan pengetahuan yang lebih
baik dan komitmen pada ide bahwa pengetahuan selalu berkaitan dengan isu
kekuasaan dan politik.Prinsip dasar dari teori sikap feminis adalah bahwa
pengetahuan selalu bangkit dalam lokasi sosial dan distruktur oleh hubungan
kekuasaan. Teori sikap adalah hal yang secara umum dikonseptualisasikan ,teori
sikap dapat digunakan untuk menganalisis berbagai macam sikap seperti misalnya
sikap yang dibawa oleh Angela dan Latria kedalam percakapan
mereka,berdasarkan ras,kelas dan status sosial ekonomi.

Asumsi Teori Sikap


Teori sikap feminis berpijak pada empat asumsi yang menurut Janet Saltzman
Chaf (1997) memberikan karakter bagi teori feminis yaitu :

1. Jenis Kelamin atau gender merupakan focus utama teori ini


2. Hubungan jenis kelamin atau gender dipandang sebagai sesuatu yang
problematis,dan teori ini berusaha untuk memahami bagaimana jenis
kelamin atau gender berhubungan dengan ketidaksetaraan dan kontradiksi
3. Hubungan jenis kelamin atau gender dipandang sebagai sesuatu yang
dapat diubah
4. Teori feminis dapat digunakan untuk menantang status quo ketika status
quo ini merendahkan atau melecehkan wanita

Selain itu teori sikap sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Hartsock berjarak


pada lima asumsi khusus mengenai sifat kehidupan sosial:

 Kehidupan material (atau posisi kelas) menyusun dan membatasi


pemahaman akan hubungan sosial.
 Ketika kehidupan material distrukturkan dalam dua cara yang berlawanan
untuk dua kelompok yang berbeda,pemahaman yang satu akan menjadi
kebalikan dari yang satunya. Ketika terdapat kelompok dominan
kelompok bawahan,dan pemahaman dari kelompok yang dominan akan
bersifat parsial dan merugikan.
 Visi dari kelompok yang berkuasa menyusun hubungan material dimana
semua kelompok dipaksa berpatisipasi.
 Visi yang ada bagi kelompok yang bertindas merepresentasikan pergulatan
dan prestasi.
 Potensi pemahaman dari mereka yang tertindas (sikap) membuat dapat
dilihatnya ketidakmanusiawian dari hubungan yang ada diantara kelompok
dan menggerakan kita menuju dunia yang lebih baik dan lebih adil.

Asumsi-asumsi ini dibingkai di dalam perspektif Marxis yang telah


dimodifikasi yang didukung oleh Hartsock
Asumsi yang pertama mengemukakanpemikiran bahwa lokasi individu dalam
struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman meraka akan hubungan
sosial.contoh yang sederhana,pemahaman seorang yang kaya mengenai
kemiskinan amatlah terbatas.
Asumsi yang kedua Feminis teori sikap berasumsi bahwa semua sikap bersifat
parsial tetapi sikap dari kelompok yang berkuasa dapat merugikan mereka yang
berada didalam kelompok bawah.Poin ini menuntun pada asumsi yang ketiga
yang menyatakan bahwa kelompok yang berkuasa menyusun kehidupan
sedemikian sehingga untuk menyingkirkan beberapa pilihan dari kelompok
bawah.
Asumsi yang keempat menyatakan bahwa kelompok bawahan harus
berjuang bagi visi meraka mengenai kehidupan sosial.Hal ini menuntun pada
asumsi yang terakhir,yang menyatakan bahwa perjuangan ini menghasilkan visi
yang lebih jelas dan akurat bagi kelompok bawah dibandingkan dengan yang
dimiliki kelompok yang berkuasa.Asumsi-asumsi ini menuntun pada kesimpulan
bahwa walaupun semua sikap bersifat parsial,sikap dari kelompok yang tertindas
dibentuk melalui perhatian seksama kepada kelompok yang dominan.Hal ini
menuntun pada sikap yang lebih utuh dibandingkan dengan informasi yang
tersedia bagi mereka dari posisi meraka.
Asumsi-asumsi yang mendirikan pandangan Marxis Hartsock mengenai teori
sikap kebanyakan konsepsi dari ST juga membentuk epistemologi atau cara untuk
mengetahui dan ontology atau kepercayaan akan apa yang layak untuk
diketahui.Epistemologi dan ontologi sikap juga di dasarkan pada beberapa asumsi
berikut:

 Semua pengetahuan adalah produk dari kegiatan sosial ,dan karenanya


tidak ada pengetahuan yang dapat benar-benar objektif.
 Kondisi budaya yang “secara khusus melingkupi kehidupan wanita
menghasilkan pengalaman dan pemahaman yang secara rutin berbeda dari
yang dihasilkan oleh kondisi bingkai kehidupan pria. Pemahaman yang
berbeda ini sering kali menghasilkan pada komunikasi yang unik.
 Memahami fitur-fitur unik dari pengalaman wanita merupakan usaha yang
layak dilakukan.
 Kita hanya dapat mengetahui pengalaman wanita dengan memerhatikan
interpretasi wanita mengenai pengalaman ini.

Melalui asumsi-asumsi ini kita mendapatkan gambaran mengenai teori sikap


sebagai kerangka yang terus berevolusi memiliki dasar yang berada dalam
Marxisme,tetapi menolak beberapa pemikiran sentral dari perspektif tersebut
dalam mendukung suatu pendekatan feminis. Teori sikap berusaha untuk
memahami pengaruh yang ditimbulkan oleh lokasi tertentu terhadap pandangan
orang,terhadap pandangan dunia dan terhadap komunikasi mereka. Para peneliti
teori sikap berharap untuk memulai dengan mereka yang termaginalkan dan
berfokus pada cerita-cerita dan interpretasi mereka.
Konsep Penting Teori Sikap
Sikap
Konsep utama dari teori ini sikap (standpoint) adalah lokasi yang dimiliki
bersama oleh kelompok yang mengalami status sebagai orang luar ,di dalam
sebuah struktur sosial yang memberikan sejenis pemahaman bagi pengalaman
orang yang telah dijalani. Menurut perspektif Hartsock “Sikap bukan sekedar
posisi yang diminati(diinterpretasikan sebagai bias) tetapi diminati dalam artian
dilibatkan”. Seperti diminati oleh O’Brien Hallstein, dua konsep ini dapat
menimbulkan kebingungann,tetapi perbedaan yang mendasar. Perspektif dibentuk
dari pengalaman yang tertruktur dari tempat seseorang didalam hierarki sosial.
Perspektif mungkin akan menuju pada tercapainya suatu sikap tetapi hanya
melalui usaha. Sikap harus dicari secara aktif,hal ini tidak dimiliki oleh semua
orang oleh semua orang yang mengalami penindasan. Sikap dicapai melalui
pengalaman penindasan yang ditambahkan pada keterlibatan aktif,refleksi dan
kesadaran akan implikasi politik dari pengalaman ini. Selain itu,sikap merupakan
hal yang tidak bebas dalam konteks sosial dan politiknya. Seperti dikemukakan
oleh Sandra Harding (1991),”Sikap dimediasi secara sosial” karena sikap
didefinisikan oleh lokasi sosial tertentu,berdasarkan kepentingan sikap bersikap
parsial atau tidak lengkap. Sebuah jenis sikap khusus dideskripsikan oleh Patricia
Hill Collins (1986,1989,1991) ketika ia menggambarkan dirinya sebagai akademis
wanita Afro-Amerika,posisi sosial ini menempatkannya sebagai orang luar di
dalam (outsider within ) atau seseorang yang biasanya termaginalisasi tetapi telah
mendapatkannya tetapi telah mendapatkan akses masuk ke dalam.
Pengetahuan Tersituasi
Donna Haraway (1988) memberikan kontribusi istilah pengetahuan
tersituasi (situated knowledge) yang berarti bahwa pengetahuan setiap orang
didasarkan pada konteks dan keadaan. Konsep Haraway menyiratkan bahwa
pengetahuan bersifat ganda dan tersituasi di dalam pengalaman. Jadi, apa yang
dipelajari seseorang dari posisinya sebagai perawat orang tuanya yang sakit
berbeda dengan pengetahuan yang dikembangkan orang lain dari posisinya . Teori
sikap menunjukan kepada kita cara lain dalam memandang posisi,pengalaman dan
komunikasi yang relative dari berbagai kelompok sosial. Teori ini memiliki
kecondongan politis dan kritis yang jelas dan teori ini menunjukkan tempat
kekuasaan dalam kehidupan sosial. Teori ini telah menghasilkan banyak
kontroversi karena orang menemukan teori ini baik menyinggung atau sesuai
dengan pandangan mereka sendiri mengenai kehidupan sosial. ST bersifat
heuristic dan mengombinasikan teori ini untuk mendapat penjelasan yyang lebih
berguna bagi perilaku komunikasi manusia.
Kritik dan Penutup
Teori sikap atau teori sikap feminis,ketika direvaluasi dengan kriteria
tampaknya bersifat heuristik. Teori ini telah menghasilkan banyak sekali
penelitian,minat,kontroversi,tetapi beberapa itu yang diangkat oleh beberapa
ilmuwan perlu dibahas disini. Kita akan mempelajari dua area kritik yang
keduanya berfokus pada kriteria kegunaan: tuduhan bahwa Teori Sikap
bergantung pada esensialisme: merujuk pada praktik menggeneralisasikan semua
wanita (atau kelompok mana pun) seakan aktif mereka secara esensial sama dan
complain bahwa teori ini berfokus pada dualisme subjektivtas dan objektivitas.
Tiap dari kritik ini, jika benar akan menyebabkan ST kurang berguna bagi para
peneliti.
Teori Negosiasi Muka Berdasarkan Penelitian Stella Ting-Tomey

Teori ini merupakan teori yang multisisi, menggabungkan penelitian dari


komunikasi lintas budaya, konflik, kesantunan, dan “facework”. Teori Negosiasi
Muka memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya, karena Ting-Toomey
berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan,
Taiwan, Cina, dan Amerika Serikat. Teori Negosiasi Muka adalah satu dari sedikit
teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda
memiliki bermacam pemikiran mengenai “muka” orang lain. Pemikiran ini
menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara yang berbeda.

Tentang Muka

Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan


facework. Muka jelas merupakan fitur yang penting dalam kehidupan, sebuah
metafora bagi citra diri yang melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial (David
HO, 1976). Konsep muka telah ber-evolusi dalam hal interpretasi selama
bertahun-tahun. Konsep ini bermula dari bangsa Cina yang memiliki dua
konseptualisasi mengenai muka: identitas dan ego. Ting-Toomey dan koleganya
(Oetzel, Ting-Toomey, Yokochi, Masumoto, dan Takai, 2000) mengamati bahwa
muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan/atau memproyeksikan nilai lain
dalam situasi interpersonal. Orang tidak “melihat” muka orang lain, sebaliknya
muka merupakan metafora bagi batasan yang dimiliki orang dalam hubungan
dengan orang lain. Ting-Toomey (1988, 1991, 2004) memperluas pemikiran
Goffman dan berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang
diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah
hubungan. Ting-Toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam
dua cara yang utama: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka.
Kepedulian akan muka mungkin berkaitan baik dengan muka seseorang maupun
muka orang lian. Dengan kata lain, terdapat kepentingan diri sendiri dan
kepentingan orang lain. Sedangkan kebutuhan akan muka merujuk pada dikotomi
keterlibatan–otonomi.

Muka dan Teori Kesantunan

(Teori kesantunan Penolepe Brown dan Stephen Levinson, 1978)


menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan
persepsi ancaman muka. Para peneliti melihat lebih dari selusin budaya yang
berbeda di seluruh dunia dan menemukan bahwa terdapat dua kebutuhan
universal, yaitu kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka
positif adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting di
dalam hidup kita. Muka negatif merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi
dan tidak dikekang.

FaceWork

(Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung, 2005) mengemukakan bahwa


FaceWork adalah mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan
untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan
menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain.
Dengan kata lain Facework berkaitan dengan bagaimana orang membuat apa pun
yang mereka lakukan konsisten dengan muka mereka. Ting-Toomey menyamakan
Facework dengan “tarian komunikasi yang berjinjit” (Communication dance that
liptces) antara rasa hormat bagi muka diri sendiri dan muka orang lain. (Te-Stop
Lim dan John Bower, 1991) mengidentifikasi tiga jenis Facework, yaitu
kepekaan, solidaritas, dan pujian. Pertama, Facework kepekaan merujuk pada
batas di mana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan
kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana yang ia inginkan
sekaligus meminimalkan hal-hal yang akan membatasi kebebasan ini. Kedua,
Facework solidaritas, berhubungan dengan seseorang menerima orang lain
sebagai anggota dari kelompok (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di
antara dua orang yang sedang berbicara. Maksudnya, perbedaan diminimalkan
dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalaman yang
dimiliki bersama. Ketiga, Facework pujian, yang meminimalkan penjelekan dan
memaksimalkan pujian kepada orang lain. Facework pujian muncul ketika
seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif oran lain dan berfokus pada aspek
yang positif.

Asumsi Teori Negosiasi Muka

Beberapa dari Teori Negosiasi Muka mencakup komponen penting dari teori
ini, yaitu muka, konflik, dan budaya. Dengan demikian, Pokok-pokok berikut ini
menuntun pemikiran dari teori Ting-Toomey:

 Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu


menegosiasikan mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
 Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya.
 Tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan
(muka).
Identitas diri (Self-identitiy), William Cupach dan Sandra Metts (1994)
mengamati bahwa ketika orang bertemu, mereka mempresentasikan citra diri
mereka dalam sebuah interaksi. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia
inginkan agar identitas tersebut diterima orang lain. Sebagaimana budaya dan
etnis memengaruhi identitas diri, cara di mana individu memproyeksikan identitas
dirinya juga bervariasi dalam budaya yang berbeda. Delores Tanno dan Alberto
Gonzales (1998) menyatakan bahwa terdapat situasi identitas yang mereka
definisikan sebagai lokasi fisik, intelektual, sosial, dan politik. Identitas diri
dipengaruhi oleh waktu dan pengalaman, misalnya seorang politikus saat ia
memulai masa jabatannya. Ia kemungkinan akan merasa kewalahan dan frustasi
dengan jabatan dan tanggung jawab yang baru. Tetapi sejalan dengan waktu dan
pengalaman, rasa frustasi itu akan digantikan dengan rasa percaya diri dan
perspektif baru mengenai identitasnya sebagai wakil orang lain. Ting-Toomey
(1993) menyatakan bahwa rasa akan diri seseorang merupakan hal yang sadar
maupun tidak sadar. Maksudnya, dalam banyak budaya yang berbeda orang-orang
membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan
atau strategis. Ting-Toomey percaya bahwa bagaimana kita mempresepsikan rasa
akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain untuk mempresepsikan kita,
merupakan hal yang sangat penting dalam pengalaman komunikasi kita.
Konflik, Ting-Toomey (1994) konflik dapat merusak muka sosial seseorang
dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. Sebagaimana ia
nyatakan, konflik adalah “forum” bagi kehilangan muka dan penghinaan terhadap
muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi yang
tidak bersesuaian dalam bagaimana menyelesaikan konflik tersebut (seperti
menghina orang lain, memaksakan kehendak), konflik dapat memperparah situasi.
Ting-Toomey menyatakan bahwa cara manusia disosialisasikan kedalam budaya
mereka memengaruhi bagaimana mereka mengelola konflik. Maksudnya, dalam
beberapa budaya, seperti Amerika Serikat menganggap bahwa menunjukkan
perbedaan diantara dua orang sebagai hal yang penting. Sementara budaya lain
yakin bahwa konflik harus ditanganni secara diam-diam.
Asumsi ketiga dari Teori Negisiasi Muka berkaitan dengan dampak yang
dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Ting-Toomey (1988)
menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka (Face threatening acts-FTA)
mengancam baik muka positif maupun muka negatif. FTA dapat bersifat langsung
dan tidak langsung, dan terjadi ketika identitas yang diinginkan seseorang
ditantang (Tracy, 1990). FTA langsung, lebih mengancam muka orang lain,
sedangkan FTA tidak langsung, lebih sedikit mengancam. Ting-Toomey dan
Mark Cole (1990) mengamati bahwa dua tindakan menyusun proses ancaman
terhadap muka, yaitu penyelamatan muka, dan pemulihan muka.

Pertama Penyelamatan Muka ( Face-Saving) mencakup usaha-usaha untuk


mencegahperistiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra
seseorang. Penyelamatan muka sering kali untuk menghindarkan rasa malu.
Kedua Pemulihan Muka (Face restoration) terjadi setelah kehilangan muka. Ting-
Toomey dan Cole mengamati bahwa orang berusaha untuk memulihkan muka
dalam respon akan suatu peristiwa yang memalukan terjadi.

Budaya Individualistik dan Kolektivistik

Budaya menurut Ting-Toomey (1988) bukanlah variabel yang statis.


Budaya dapat diinterpretasikan melalui banyak dimensi. Dalam pemikiran ini ia
mempelajari budaya dan bagaimana budaya berhubungan dengan muka dan
konflik yang berasal dari pemikiran Harry Triandis (1972, 1988) dan Geert
Hofstede (1980, 2001). Budaya dapat diorganisasikan dalam dua kontinum, yaitu
individualisme dan kolektivisme. Budaya individualistis adalah budaya
“kemandirian” , dan budaya kolektivistik adalah budaya “saling ketergantungan”.
Ting-Toomey dan koleganya Ge Gao, Paula Trubisky, Shizhong Yang, Hak Soo
Kim, Sung ling lin dan Tsukasa Nishida (1991) mengklarifikasi bahwa
individualisme dan kolektivisme berlaku tidak hanya pada budaya nasional,
melainkan juga pada ko-budaya (budaya pendamping) dalam budaya nasional.
Maksudnya kelompok ras dan etnis yang berbeda dapat bervariasi dalam
individualisme dan kolektivisme mereka.

Individualisme dan Kolektivisme

Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan


identitas individual dibandingkan kebutuhan kelompok (Ting-Toomey, 1994).
Individualisme adalah identitas “aku” (aku mau, aku butuh, dan seterusnya).
Individualisme melibatkan motivasi diri, otonomi, dan pemikiran mandiri.
Indiviualisme menyiratkan komunikasi langsung dengan orang lain. Contoh
budaya individualistik, Australia, Inggris, Kanada, Belanda, Selandia Baru, Italia,
Belgia, Denmark, dan Amerika Serikat.

Kolektivisme, Ting-Toomey menyatakan bahwa kolektivisme adalah


penekanan pada tujuan kelompok dibandingkan dengan tujuan individu,
kewajiban kelompok dibandingkan hak individu, dan kebutuhan kelompok
dibandingkan dengan kebutuhan individu. Kolektivisme adalah identitas “kita”
(kita dapat melakukan ini, kita adalah tim, dan seterusnya). Orang-orang di dalam
budaya kolektivistik menganggap penting bekerja sama dan memandang diri
mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Beberapa di antara nilai
kolektivistik adalah menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang tua,
dan pemenuhan kebutuhan orang lain. Contoh budaya kolektivistik, Indonesia,
Kolombia, Venezuela, Panama, Meksiko, Ekuador, dan Guantemala.

Manajemen Muka dan Budaya

Ting-Toomey dan Chung (2005) berargumen bahwa anggota-anggota dari


budaya yang mengikuti nilai-nilai individualistik cenderung lebih berorientasi
pada muka diri, dan anggota yang mengikuti nilai yang berorientasi pada
kelompok cenderung lebih berorientasi pada muka orang lain atau muka bersama
dalam sebuah konflik. Dalam budaya individualistik, manajemen muka (face
manajemen) dilakukan secara terbuka yang melibatkan melindungi muka
seseorang, bahkan jika harus melakukan tawar menawar.

Budaya kolektivistik berkaitan dengan kemampuan adaptasi dari citra


presentasi diri (Ting-Toomey, 1999). Kemampuan beradaptasi, memungkinkan
munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain. Anggota dari
komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka dengan orang lain
ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu percakapan
membutuhkan keterlanjutan dari kedua komunikator.

Mengelola konflik melintasi Budaya


Dimensi budaya individualistik-kolektivistik memengaruhi pemilihan gaya
konflik. Gaya-gaya ini merujuk pada respon yang berpola, atau cara khas untuk
mengatasi konflik melintasi berbagai perjumpaan komunikasi (Ting-Toomey,
1991). Gaya-gaya ini seperti menghindar, menurut, berkompromi, mendominasi,
dan mengintegrasikan. Gaya menghindar (Avoiding-AV), orang akan berusaha
menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak
menyenangkan dengan orang lain. Gaya menurut (Obliging-OB) mencakup
akomodasi pasif yang berusaha memuaskan kebutuhan orang lain atau sepakat
dengan saran-saran dari orang lain. Gaya berkompromi (Compromising-CO),
individu-individu berusaha untuk menemukan jalan tengah untuk mengatasi jalan
buntu, dan menggunakan pendekatan “memberi-menerima” sehingga kompromi
dapat dicapai. Gaya mendominasi (Dominating-DO), mencakup perilaku-perilaku
yang menggunakan pengaruh, wewenang, atau keahlian untuk menyampaikan ide
atau untuk mengambil keputusan.Terakhir gaya mengintegrasikan (Integrating-
IN), digunakan untuk menemukan solusi masalah. Tidak seperti berkompromi,
integrasi membutuhkan perhatian yang tinggi untuk diri anda dan untuk orang
lain.

Ting-Toomey percaya bahwa keputusan untuk menggunakan satu atau


lebih dari gaya-gaya ini akan tergantung dari varibilitas budaya dari komunikator.
Manajemen konflik juga menganggap penting persoalan muka diri dan muka lain.
Ting-Toomey menyatakan bahwa terdapat beberapa hubungan antara gaya konflik
dan persoalan muka/kebutuhan akan muka. Pertama, gaya manajemen AV
maupun OB mencerminkan pendekatan pasif dalam menghadapi konflik. Gaya
CO menunjukkan kebutuhan muka bersama dengan menemukan jalan tengah dari
sebuah konflik. Terahkhir, gaya DO menunjukkan kebutuhan muka diri yang
tinggi serta kebutuhan akan kontrol terhadap konflik, konflik.

Kritik dan Penutup

Teori Negosiasi Muka berasumsi bahwa orang dari berbagai budaya memiliki
perhatian terhadap presentasi muka mereka. Teori ini merupakan teori yang
mencampurkan konflik ke dalam kerangkanya, dan menjelaskan mengapa anggota
dari dua budaya yang berbeda, misalnya mengelola konflik secara berbeda. Ting-
Toomey menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang berbeda terdapat di dalam
menghadapi konflik, dan episode-episode yang dipenuhi dengan konflik ini,
sebagai gantinya juga dipengaruhi oleh kepedulian akan muka dan kebutuhan
akan muka dari komunikasi.

Speech Codes Theory of Gerry Philipsen

Gerry Philipsen adalah pencetus Speech Codes Theory. Pada waktu di


Northwestern, Philipse membaca sebuah artikel dari University of Norwegia
antropologi dan ilmu bahasa dari Dell Hymes, bahwa “The Ethnography of
Speaking”. Hymes menyebut bahwa variasi dari praktek komunikasi mengelilingi
dunia. Philipsen dengan tegas memulai studinya di komunitas Chicago dimana ia
bekerja dan memberikan nama tersebut “Teamsterville”. Setelah tiga tahun,
Philipse berbicara kepada anak-anak di pojok jalan, wanita di depan serambi, laki-
laki di pojok bar, dan kepada semua orang di perkampungan dimana dia bekerja
bahwa dia bekerja untuk bisa menjelaskan kode-kode bicara pada penduduk di
Teamsterville. Dengan kode bicara, Philipsen menunjukan kepada sejarah yang
ditetapkan, konstruksi secara sosial sistem dari terminologi, makna, alasan, dan
aturan, menyinggung tingkah laku komunikasi. Philipsen menguraikan inti dari
teori kode

Philipsen mengatakan bahwa speech code merupakan elemen pembeda


antara satu budaya dengan budaya lain. Speech code mendasari sebuah komunitas
percakapan yang memiliki arti dalam bagaimana menjadi seseorang, bagaimana
bertindak atau berkomunikasi dalam kelompok sosial.

Asumsi dari teori ini tentang kemampuan orang asing dalam


menyesuaikan suasana melalui gaya bahasa ketika bersama atau di lingkungan
orang asing. Dengan kode bicara, Philipsen menunjukan kepada sejarah yang
ditetapkan, kontruksi secara sosial sistem dari terminologi, makna, alasan, dan
aturan, menyinggung tingkah laku komunikasi. Philipsen menguraikan inti dari
teori kode berbicara dengan mengemukakan enam proposisi yang dapat
menjelaskan teori ini yaitu:

The Distinctiveness of Speech Codes (Kekhasan dalam Kode Bicara)

Proposisi 1: dimanapun ada perbedaan budaya maka akan ditemukan


perbedaan kode bicara

Di setiap populasi manusia ada sebuah budaya, dan disitu terdapat speech
codes yang khas. Philipsen secara berangsur-angsur menemukan bahwa diskusi
tentang tempat terkait dengan persoalan apakah seseorang berasal dari lingkungan
sekitar. Perhatian ini tidak hany sekedar sebuah persoalan dari lokasi fisik.
Apakah benar atau tidak seseorang ternyata terbentuk dari yang ada di
sekelilingnya.

The Substance of Speech Codes

Proposisi: speech codes melibatkan perbedaan secara kultural psikologi,


sosiologi dan retorika

1. Psikologi
Menurut Philipsen, setiap kode berbicara “thematizes” merupakan
sifat dari individu dalam cara memberikan fakta-fakta. Kode
teamsterville menegaskan orang sebagai seikat dari peran sosial. Setiap
kode dari cara berkomunikasi secara khas adalah keaslian individu.
2. Sosiologi
Philipsen menulis bahwa sebuah kode berbicara meneyediakan sistem
dari jawaban tentang apa yang berhubungan diantara diri dan yang
lainnya dapat dengan jelas dicari, dan sumber simbolik dapat dengan
benar memperkerjakan dalam mencari hubungan itu. Pola individu
berbicara mencakup jawaban tentang hubungan antara diri sendiri dan
orang lain.
3. Retorika
Philipsen menggunakan istilah retorika dalam dua pengertian dalam
penemuan kebenaran dan daya tarik yang persuasif. Kedua konsep
datang secara bersamaan melalui Teamsterville muda dan laki-laki
dewasa berbicara tentang wanita.

The Interpretation of Speech Codes

Proposisi: makna bicara tergantung pada kode yang digunakan oleh


pembicara dan pendengar untuk membuat dan memahami komunikasi
mereka

Pembicaraan yang signifikan bergantung pada interpretasi komunikasi


mereka. Jika ingin mengerti arti penting dari latihan berbicara yang mencolok
dengan budaya, kita harus mendengar melalui orang bicara tentang itu dan orang
yang merespon juga.

The Site of Speech Codes

Proposisi: istilah, aturan dan kode dari speech codes tidak dapat dipisahkan
dijalin ke pembicaraan sendiri

Philipsen meyakinkan bahwa speech kode merupakan tampilan umum


sebagai seseorang yang berbicara, mereka membuka untuk penelitian oleh
siapapun yang cukup peduli untuk mengambil pandangan yang panjang.

Ritual komunikasi mengikuti tipe rangkaian:

1. Permulaan, suara dari teman dibutuhkan untuk bekerja melalui masalah


interpersonal
2. Pengakuan, mengesahkan kepercayaan orang penting di dalam persoalan
dengan ketersediaan untuk duduk dan bercerita
3. Perundingan, memperlihatkan diri teman, pendengar yang percaya dalam
sebuah empati dan tidak berpendapat, teman memperlihatkan uman balik
yang terbuka dan berubah
4. Penetapan, teman dan orang kepercayaan mencoba untuk memperkecil
perbedaan pandangan, dan mengulangi pengertian pertanyaan dan berjanji
satu sama lain

The Force of Speech Codes in Discussions

Proposisi: penggunaan kode ucapan adalah kondisi yang cukup untuk


memprediksi, menjelaskan, dan mengendalikan wacana tentang kejelasan,
kehati-hatian, dan moralitas perilaku komunikasi

Critism: Different Codes in Communication Theory

Teori ini menguraikan secara singkat dan jelas mengenai inti dari kode-
kode berbicara. Banyak ahli etnografi yang mengkritik teori dari Philipsen dalam
meneruskan teori antar budaya yang dicetuskannya. Philipsen dalam menguraikan
kode bicara Nacirema mengalami kegagalan. Philipsen gagal untuk membuka
kedok pola dan philipsen juga tidak angkat bicara dalam masyarakat
Teamsterville.

Penerapan

Teori ini cocok diterapkan dalam komunikasi interpersonal. Banyaknya


suku dan budaya di Indonesia menyebabkan kita kesulitan dalam berkomunikasi
dengan oranglain yang berbeda budaya dengan kita. Namun perbedaan tersebut
akan menjadi mudah apabila orang-orang mampu untuk mengaitkan dengan
kajian etnografi. Dalam berkomunikasi kita dapat menggunakan bahasa nasional
agar mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat umum, meskipun berbeda
budaya.

Contoh Kasus

Seorang anak sedang duduk di depan rumah, dan meilhat seorang Ibu yang
sudah tua berjalan di depan rumahnya. Anak itu mengatakan kepada Ibu itu
dengan nada yang keras dan menggunakan bahasa ngoko bahwa uang Ibu itu jatuh
di depan rumahnya. Ibu itu lalu mengambil uangnya dan mendekati anak tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih, Ibu itu menegur si anak bahwa jika berbicara
dengan orang yang lebih tua harus dengan nada yang sopan serta menggunakan
bahasa krama. Karena orang itu berbicara dengan orang yang belum ia kenal dan
umurnya lebih tua dari dirinya.
TEORI KOMUNIKASI

TEORI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Disusun guna memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi

Dosen Pembimbing: Said Ramadhan, S.Sos., M.Si.

OLEH:

Agi Maharani Nabilah 1706015167

Fattah Coyo Sumunar

Ella Nurhasanah

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2017

Anda mungkin juga menyukai