Anda di halaman 1dari 9

Sebuah Ulasan tentang Manajemen TBI pada Dewasa

Abstrak

Traumatic brain injury (TBI) merupakan sumber morbiditas dan mortalitas signifikan
pada populasi dewasa. Manajemen TBI bergantung pada derajatnya. Kita harus tahu
bahwa hampir semua bentuk terapi untuk TBI ditujukan untuk meminimalisir injuri
sekunder, karena diasumsikan bahwa injuri primer bersifat ireversibel. Diskusi di sini
mewakili apa yang kita ketahui tentang manjameen TBI terkini, tapi
penatalaksanaannya tetap berkembang ketika ditemukan mekanisme injuri baru dan
yang kita kenal saat ini juga selalu diperbaiki. Staf yang terlibat diminta untuk selalu
mengikuti perbaruan literatur yang ada.

Pendahuluan

TBI merupakan sumber morbiditas dan mortalitas signifikan pada populasi


dewasa. Diperkirakan bahwa TBI diderita 2,5 juta orang dewasa setiap tahunnya.
Manajemen TBI telah menjadi subyek penelitian yang signifikan, yang makin besar
jumlahnya dengan ditemukannya ensefalopati traumatik kronis sebagai suatu entitas
yang banyak ditemukan pada atlet dan derajat di mana TBI menggolongkan battlefield
injury pada konflik seperti Operation Iraqi Freedom.

Pada umumnya, TBI bisa ringan hingga berat, dengan klasifikasi berikut (Tabel
1). Seringnya, klasifikasi TBI akan menunjukkan tingkat keparahan yang berbeda untuk
setiap metrik. Pada kasus ini, klasifikasi terberat akan diterima. Misalnya, pasien
dengan GCS 13 dengan penurunan kesadaran (LOC) 48 jam dengan amnesia paska
traumatik (PTA) 3 hari akan diklasifikasikan sebagai TBI “berat”.

Injuri yang diderita pada model TBI bisa dibagi menjadi injuri primer dan
sekunder. Injuri primer adalah apa yang dialami di waktu trauma. Ini meliputi injuri
langsung ke parenkim otak, seperti robekan dan ruptur akson. Umumnya, injuri primer
dianggap ireversibel, tapi bisa diminimalisir dengan langkah preventif, seperti
pemakaian helm.

Di sisi lain, injuri sekunder adalah apa yang dialami pada kaskade biokimia yang
berlangsung setelah terjadi TBI. Ini bisa mulai dari inflamasi lokal yang menyebabkan
kerusakan hingga iskemia global akibat peningkatan tekanan intrakranial (ICP).
Sebagian besar manajemen medis paska injuri dirancang untuk meminimalisir injuri
sekunder dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemulihan pasien dari injuri primer.

Manajemen gegar otak

Karakteristik klinis

Gegar otak ditandai oleh berikut:

Temuan atau riwayat disorientasi atau konfusi langsung setelah kejadian:

 Gangguan keseimbangan dalam 1 hari setelah injuri


 Waktu reaksi yang lebih lambat dalam 2 hari setelah injuri
 Gangguan verbal dan memori dalam 2 hari setelah injuri

Gegar otak umumnya dianggap ringan, tapi bisa bermasalah jika terjadi injuri berulang
atau jika injurinya ternyata lebih berat dari dugaan awal. Telah ada banyak pemeriksaan
yang dikembangkan untuk menentukan apakah gegar otak terjadi pada seseorang
dengan cidera kepala. Banyak dari pemeriksaan ini dirancang untuk dilakukan oleh
personel non-dokter selama kontes atletik, dan dalam kapasitas ini tidak dirancang
untuk “menyingkirkan” gegar otak atau menentukan kondisi untuk melanjutkan
permainan. Contoh dari asesmen ini meliputi SAC, PCSS dan GSC. SAC
dikembangkan untuk menilai pemain sepak bola di sisi lapangan, dan memiliki
sensitivitas 80-94% dan spesifisitas 76-91% untuk gegar otak yang didiagnosis oleh
klinis. PCSS dan GSC juga dirancang untuk digunakan oleh non dokter di sisi lapangan,
dan memiliki sensitivitas 64-89% dan spesifisitas 91-100%.
Pencitraan

Jika dicurigai ada cidera kepala, pencitraan sering dipakai. Biasanya CT adalah
pemeriksaan pilihan karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap darah. Namun, pada
TBI ringan, ada kasus dimana pencitraan tidak dibutuhkan. “Canadian CT Head Rule”
(Tabel 2) memberikan cara untuk menentukan butuh tidaknya dilakukan CT kepala
pada kasus TBI ringan. Jika ada tanda atua gejala apapun dari daftar tersebut, maka CT
kepala disarankan. Jika ditemukan perdarahan di CT, pencitraan berulang disarankan
biasanya dalam 6 jam dari scan awal atau sering terjadinya penurunan status mentalis
untuk menentukan perburukan lesi yang telah terjadi.

MRI juga sering digunakan untuk mengevaluasi TBI pada tahap lanjut, tapi
paling baik untuk mengevaluasi prognosis dan memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk
patogologi tipe perdarhaan mikro seperti diffuse axonal injury. Harus diingat bahwa
perbandingan langsung antara MR dan CT menunjukkan bahwa lebih banyak lesi yang
terdeteksi via MRI, tapi temuan yang ada tidak serta merta mengubah terapi atau bisa
menjelaskan defisit neurologis yang tak diketahui sebabnya. Pada kondisi akut, akibat
faktor seperti proses skrining, potensi adanya pemasangan implan, penundaan petugas
dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan scan, MRI cenderung kurang
disukai dibandingkan CT untuk pemeriksaan awal.

Manajemen

Manajemen TBI ringan pada kondisi akut melibatkan perawatan suportif.


Gejala-gejala seperti nyeri kepala dan mual bisa ditangani langsung dengan obat-obatan
yang sesuai. Beberapa gejala seperti pusing membutuhkan konsultasi rehabilitasi khusus
untuk memastikan mereka ditangani dengan tepat, khususnya jika gejala tersebut
durasinya memanjang.

Manajemen TBI sedang

Sayangnya, TBI sedang adalah bidang di mana ada pausitas bukti. Area ini
sering ditempelkan bersama dengan TBI ringan atau berat terkait intervensi dan
outcome karena heterogenitas populasi dan definisi dari “TBI sedang” itu sendiri dalam
literatur. Diperkirakan bahwa sekitar 20% (8-28%) pasien TBI bisa diklasifikasikan
sebagai “sedang”. Definisi yang disebutkan di atas, yang menyertakan GCS 9-12, LOC
hingga 24 jam dan PTA selama 1-7 hari adalah yang sering digunakan, meski beberapa
penulis menyertakan GCS 13 dalam definisi ini karena peningkatan prevalensi lesi
intrakranial pada CT.

Pada kasus ini, manajemen harus diarahkan sesuai pedoman yang tepat. Pada
kasus tanpa lesi massa, seperti kontusio, SDH atau EDH, perawat suportif disarankan
disertai pemeriksaan klinis berulang yang frekuen, sebaiknya oleh orang yang sama.
Penurunan status mentalis membutuhkan evaluasi berulang dengan pencitraan disertai
lab berulang untuk elektrolit dan kultur tergantung konteks.

Pada kasus hematoma, disarankan pencitraan berulang dalam interval waktu


yang tepat, biasanya 6 jam dari CT awal untuk memonitor ekspansi. Pencitraan
berulang disarankan jika pasien mengalami penurunan status neurologinya, bila di
tempat kami dimonitor tiap jam dengan GCS.

Profil koagulasi (hitung darah lengkap, PT/INR dan aPTT) direkomendasikan


saat datang. Faktor yang paling banyak dipelajari pada kasus ini adalah INR pada pasien
yang konsumsi antikoagulasi, dan telah terbukti bahwa koreksi cepat INR pasien hingga
1,3 atau kurang akan mengurangi pertumbuhan hematoma dan memperbaiki outcome.
Transfusi platelet direkomendaiskan untuk trombositopenia (<100.000) pada kasus
perdarahan intrakranial, tapi pemakaiannya untuk koreksi disfungsi platelet akibat agen
antiplatelet, seperti aspirin atau clopidogrel, masih dianggap belum jelas. Saat ini belum
ada metode yang diterima secara luas terkait reversal antikoagulan baru, seperti direct
thrombin inhibitor atau Factor Xa inhibitor; namun, agen reversal baru sudah mulai
muncul, seperti idarucizumab untuk reversal dabigatran atau andexanet alfa untuk
reversal agen anti-Factor Xa.

Perdarahan pada CT, khususnya SAH membutuhkan terapi obat antiapileptik


(AED) hingga 1 minggu, yang sering dipakai adalah levetiracetam atau fenitoin. Jika
orang dengan TBI mengalam ikejang, maka menambah waktu AED akan dibutuhkan.

Rekomendasi diatas mengenai manajemen TBI ringan juga bisa diterapkan


untuk TBI sedang, di mana terapi simtomatis direkomendasikan untuk gejala umum
paska TBI, termasuk nyeri kepala, mual dan pusing. Konsultasi dini ke psikiatri, terapi
fisik dan okupasi, dan patologi speech and language direkomendaiskan untuk asesmen
rencana rehabilitasi jangka panjang.

TBI berat

TBI berat telah banyak diteliti dan berfokus pada bantuan eksternal untuk
oksigenasi dan tekanan pefrusi serebral, baik melalui optimalisasi hemodinamik atau
mempertahankan (ICP) dalam batas normal. Rekomendasi diatas terkait TBI ringan dan
sedang juga bisa diterapkan.

Bantuan hemodinamik

Layaknya konteks medis lainnya, ABC harus diprioritaskan dari semua aspek
pasien lainnya. intubasi pasien dengan GCS <8 sering dilakukan untuk memastikan
jalan napas yang adekuat, ventilasi yang baik dan oksigenasi yang adekuat.
Menghindari hipotensi dan hipoksia sangat penting dalam hal ini. PaO2 >60 mmHg dan
tekanan darah sistolik (SBP) >90 mmHg adalah ambang batas yang harus dipertahankan
pada pasien TBI berat. Untuk memastikan parameter ini terpenuhi, pemeriksaan BGA
yang frekuen harus dilakukan dan Monitoring tekanan darah invasif melalui kateter
arteri harus dilakukan. Pasien harus dinilai akan adanya injuri lain yang bisa
mengganggu kemampuan untuk ventilasi secara efektif atau yang memungkinkan
terjadinya kehilangan darah signifikan seperti injuri di thoraks, abdominal, pelvis atau
ekstremitas. Pasien TBI berat yang hipotensi menandakan adanya injuri signifikan
lainnya dan sumber hilangnya darah signifikan ini harus diatasi. Pasien yang hipotensi
harus diresusitasi secara adekuat dengan cairan kristaloid dan transfusi darah.

Pada kasus pasien TBI berat tanpa kehilangan darah banyak atau telah
teresusitasi adekuat namun tidak bisa mempetahankan SBP >90 mmHg, maka harus
diperiksa kausa syok lainnya. seringnya, obat-obatan vasoaktif seperti norepinefrin,
fenilefrin atau dopamin bisa digunakan, dan akses sentral harus didapatkan untuk obat-
obatan ini.

Monitoring ICP
Monitoring ICP direkomendaiskan pada semua pasien TBI yang
pemeriksaannya tidak bisa diikuti secara klinis atau dengan GCS <8 dengan CT scan
kepala abnormal. alat yang paling banyak digunakan untuk memonitor ICP meliputi
EVD dan fiber optic intra-parenchymal probe. Kateter subdural dan Monitoring ICP
epidural kurang reliabel dan tidak ada metode non invasif untuk mengukur ICP yang
bisa diterima hingga kini. Drainase ventrikuler eksternal cenderung lebih disukai
sebagai cara untuk mengontrol ICP; namun, pemasangan akan berisiko menimbulkan
trauma otak lebih lanjut, perdarahan dan infeksi ketika dibandingkan dengan fiberoptic
pressure monitor. Drainase lumbal telah diusulkan sebagai alternatif EVD dan
menunjukkan efektivitas pada beberapa kasus.

ICP harus ditangani jika mendekatai atau melebihi 20 mmHg, karena hilangnya
auto-regulasi aliran darah serebral pada tekanan ini dan diikuti penurunan tekanan
perfusi serebral. Berbagai metode telah ditemukan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, beberapa dengan efek yang masih dipertanyakan terhadap outcome.

Hiperventilasi

Hiperventilasi sebagai cara untuk menurunkan ICP masih kontroversial,


khususnya karena peluang terjadi iskemia pada tingkat PaCO2 yang rendah akibat auto
regulasi serebral. Biasanya, dapat diterima bahwa hiperventilasi akan menurunkan ICP,
tapi risiko iskemia tidak bisa diterima pada PaCO2 <30 mmHg. Ini sering dianggap
sebagai langkah sementara saja.

Terapi hiperosmolar

Terapi hiperosmolar bergantung pada pemakaian sebuah agen untuk


menurunkan volume intraseluler dan menggesernya ke dalam kompartemen vaskuler.
Dua obat yang utamanya digunakan dalam situasi ini adalah: manitol dan salin
hipertonis. Manitol dikenal menggeser cairan secara efektif melewati sawar darah otak
begitu juga memperbaiki aliran darah serebral regional. Salin hiperosmolar memiliki
efek yang sama, tapi berhubungan dengan penurunan ICP yang lebih besar dan tahan
lama ketika diberikan dalam jumlah equismolar seperti manitol. Namun, harapan salin
hipertonis sebagai cairan resusitasi awal pada TBI berat telah sirna. Tidak ada uji klinis
yang menunjukkan perbaikan outcome dari salin hipertonis dibandingkan dengan
manitol. Ini direkomendasikan pada Brain Trauma Foundation Guidelines terkini
bahwa manitol digunakan untuk mengontrol ICP setelah monitoring dimulai, sementara
salin hipertonis tidak memiliki rekomendasi spesifik.

Sedasi

Pedoman terkini merekomendasikan sedasi dengan propofol untuk mengontrol


ICP seiring langkah lain ditempuh jika terapi hipertonis gagal mempertahankan ICP <20
mmHg; namun, tidak ada manfaat terkait morbiditas setelah 6 bulan atau mortalitas.
Sedatif lain juga digunakan, seperti dexmedetomidine; namun, manfaatnya masih belum
terbukti dan beberapa serial kasus telah menunjukkan efek yang buruk seperti hipotensi.

Barbiturat masih direkomendasikan; namun, sebagian bukti terkait barbiturat


didapatkan sebelum pemakaian luas terapi hiperosmolar dan sedatif lain untuk
mengontrol ICP. Ulasan pemakaian barbiturat terkini menunjukkan bahwa tidak ada
manfaat terhadap mortalitas dan hipotensi yang menyertai cenderung melampaui
manfaat dari manajemen ICP pada pasien yang mendapat barbiturat.

Blokade neuromuskuler

Neuromuscular blocking agents (NMBA) telah diteliti sebagai ajuvan lain untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Mereka terbukti menurunkan ICP selama tindakan
stimulasi, seperti endotracheal suctioning dan fisioterapi. Dalam hal ini, tampak ada
manfaat, tapi outcome keseluruhan dan kontrol ICP keseluruhan masih bermasalah.
Penelitian retrospektif yang meneliti outcome keseluruhan menunjukkan bahwa tidak
ada perbaikan. Pada beberapa kasus, dengan pemakaian NMBA depolarisasi, telah
muncul masalah dengan peningkatan waktu dengan ICP >20 mmHg ketika paralitik
digunakan sebagai tindakan rutin di ICU. Ini didukung oleh penelitian prospektif yang
menunjukkan suksinilkolin secara spesifik tampak menyebabkan peningkatan ICP.
Belum ada satu pun penelitian yang menunjukkan penurunan ICP dengan NMBA non-
depolarisasi, tapi ini berhubungan dengan penurunan MAP. Terakhir, terkait outcome
keseluruhan, tampak ada kenaikan tingkat komplikasi dengan pemakaian NMBA,
seperti peningkatan angka pneumonia yang bisa menjelaskan pausitas temuan.

Kraniotomi dan kraniektomi


Kraniotomi dan kraniektomi sering digunakan pada hematoma intrakranial
setelah trauma. Tabel 3 menjelaskan pedoman yang banyak dipakai terkait di titik mana
hematoma intrakranial membutuhkan operasi dekompresi. Namun harus dipahami
bahwa ini sekedar pedoman, dan bahwa pasien individu bisa membutuhkan operasi
untuk hematoma yang lebih kecil atau bisa jadi bukan kandidat operasi meski
memenuhi kriteria di bawah ini. Nyatanya, karena variabilitas presentasi pasien, tidak
mengejutkan bahwa ada variabilitas signifikan antara dokter ahli bedah saraf satu dan
lainnya terkait terapi.

Kraniektomi dekompresi, baik unilateral atau bilateral, untuk menangani ICP


refrakter secara medis tanpa lesi massa yang harus dievakuasi, masih menjadi
kontroversi. Ini makin mencolok setelah trial DECRA yang acak dan terkontrol
menunjukkan kontrol ICP lebih baik dan waktu inap ICU yang lebih pendak dengan
kraniektomi frontotemporoparietal bilateral, tapi hasil yang lebih jelek pada GOS, yang
diduga akibat kenaikan survival pasien vegetatif. RCT lain dengan kraniektomi
dekompresi pada pasien dengan pembengkakan difus unilateral tiba pada kesimpulan
yang berbeda, menunjukkan perbaikan outcome pada GOS tapi muncul banyak
komplikasi, seperti delayed intracranial hematoma, setengahnya membutuhkan
evakuasi operasi dan efusi subdural kontralateral. RCT terbesar hingga kini, trial
RESCUEicp, telah berlangsung dan selesai merekrut. Namun hasilnya masih dinanti.
Penelitian retrospektif yang lebih kecil atau penelitian non acak juga memiliki hasil
yang campur aduk.

Hipotermia

Hipotermia merupakan pendekatan umum untuk mengontrol tekanan


intrakranial ketika banyak metode lain mengalami kegagalan. Ini telah menjadi fokus
banyak penelitian sejak awal 1990, dengan hasil positif dari semua penelitian tapi hasil
equivokal dari penelitian yang lebih besar dan acak. 32-33 derajat dan 33,5-34,5 derajat
selsius adalah poin target umum untuk hipotermia dan pasien dipertahankan 24-48 jam
pada suhu target sebelum dihangatkan. Baru-baru ini, Eurotherm Trial menunjukkan
perburukan outcome pada GOS-E dan perburukan mortalitas, membutuhkan terminasi
dini karena makin membahayakan. Namun, harus dicatat bahwa penelitian ini sering
memiliki populasi heterogen dan seleksi pasien yang cermat memungkinkan hipotermia
digunakan secara bermanfaat sebagaimana ditunjukkan pada penelitian yang lebih kecil.

Steroid

Pemakaian steroid adalah patokan pada TBI selama 30 tahun. Ada temuan yang
menunjukkan adanya manfaat, tapi belum ada RCT besar hingga trial MRC CRASH.
Harapannya adalah bahwa akan ada manfaat terapi; namun, trial ini dihentikan lebih
awal oleh komite setelah dipastikan bahwa kelompok terapi mengalami perburukan
signifikan daripada kelompok kontrol (21% mortalitas vs 18% mortalitas). Hasil yang
mengejutkan pada RCT terbesar tentang obat ini berhasil langsung menyingkirkan
steroid dari patokan pengobatan TBI.

Simpulan

Manajemen TBI bergantung pada derajatnya. Harus diketahui bahwa semua


bentuk terapi untuk TBI bertujuan untuk meminimalisir injuri kedua, karena
diasumsikan bahwa saat ini injuri primer bersifat ireversibel. Diskusi di atas mewakili
apa yang kita ketahui terkait TBI, tapi hampir dipastikan akan ada banyak perubahan di
masa depan ketika mekanisme injuri baru telah ditemukan dan semua yang kita ketahui
sekarang juga sedang diperbaiki. Pembaca diminta untuk mengikuti update literatur
terus menerus.

Anda mungkin juga menyukai