Anda di halaman 1dari 5

Viskositas (kekentalan) gelatin merupakan salah satu sifat fisik gelatin

yang cukup penting. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat


kekentalan gelatin sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu (Rusli,
2004). Menurut Setiawati (2009) viskositas berhubungan dengan berat molekul
(BM) rata-rata gelatin dan distribusi molekul. Bobot molekul gelatin berhubungan
langsung dengan panjang rantai asam amino. Semakin panjang rantai asam amino
maka nilai viskositas akan semakin tinggi.

Hidrolisis menggunakan asam asetat membuat rantai asam amino menjadi


terputus dan menjadi rantai yang lebih pendek. Nurilmala et al. (2006)
menyatakan bahwa hidrolisis lanjutan akan memutuskan rangkaian asam amino
yang berdampak pada rendahnya viskositas. Rantai asam amino yang lebih
pendek menyebabkan gaya yang diperlukan untuk menimbulkan gaya gesek antar
fluida menjadi lebih kecil, sehingga fluida lebih mudah mengalir.

Viskositas gelatin tulang ikan patin dan tenggiri yang direndam


menggunakan asam asetat 8%, 10%, dan 12% disajikan pada Tabel .

Konsentrasi Asam
8% 10% 12%
Asetat
Viskositas Gelatin
Tulang Ikan Patin 4,3 4,1 4,0
(dalam satuan cP)
Viskositas Gelatin
Tulang Ikan
6,2 4,1 3,5
Tenggiri (dalam
satuan cP)
Nilai viskositas yang diperoleh dari penelitian ini berkisar 3,5-6,2 cP nilai
viskositas yang dihasilkan dalam penelitian ini memenuhi standar yang ditetapkan
GMIA (2012) yaitu 1,5–7,5 cP. Viskositas yang diperoleh sesuai dengan teori
yaitu semakin besar konsentrasi asam yang digunakan maka nilai viskositasnya
akan semakin kecil karena berat molekul gelatin yang dihasilkan makin kecil
akibat proses hidrolisis lanjutan.

Uji viskositas menunjukkan bahwa gelatin memiliki sifat sebagai zat


pengental. Jika viskositas lebih tinggi dari standar maka menunjukkan bahwa
proses hidrolisis asam tidak berjalan dengan sempurna, karena rantai panjang
asam amino tidak terputus menjadi rantai-rantai yang lebih kecil.

Kadar lamak berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan selama


penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama diakibatkan oleh proses oksidasi
sehingga timbaul bau busuk dan rasa tengik, yang disebut proses ketengikan.
Gelatin yang bermutu tinggi diharapkan memiliki kandungan lemak yang rendah
bahkan diharapkan tidak mengandung lemak. Kadar lemak yang tidak melebihi
batas 5% merupakan salah satu persyaratan mutu penting gelatin. Rendahnya
kadar lemak ini memungkinkan tepung gelatin dapat disimpan dalam waktu relatif
lama tanpa menimbulkan bau dan rasa tengik (De Man, 1997). Hasil analisis uji
kadar lemak gelatin tulang ikan patin dan tulang ikan tenggiri disajikan pada
tabel.

Kandungan lemak akan lepas pada saat proses penambahan NaOH, hal ini
diakibatkan terjadinya reaksi saponifikasi sehingga asam lemak akan menjadi
gliserol dan sabun yang akan larut dengan air.
Viskositas gelatin tulang ikan patin dan tenggiri yang direndam
menggunakan asam asetat 8%, 10%, dan 12% disajikan pada Tabel

Konsentrasi Asam
8 10 12
Asetat (%)
Kadar Lemak
Gelatin Tulang 1,65 1,54 1,80
Ikan Tenggiri (%)
Kadar Gelatin
Tulang Ikan Patin 1,46 1,23 1,41
(%)

Hasil yang diperoleh menunjukkan tidak ada keterkaitan antara konsentrasi asam
yang digunakan dengan kadar lemak, hal ini dikarenakan proses penghilangan
lemak dipengaruhi oleh penambahan basa yang akan memicu terjadinya reaksi
saponifikasi. Kisaran hasil yang diperoleh cukup baik karena tidak melebihi 5%
yang merupakan batasan mutu kadar lemak gelatin (Pelu et al., 1998).
Spektrum FTIR gelatin sapi dan gelatin babi dianalisis agar dapat
membandingkannya dengan spektrum gelatin dari gummy vitamin C eksperimen
dan gummy vitamin C komersial. Spektrum FTIR gelatin sapi dan gelatin babi
dapat dilihat pada Gambar 1. Spektrum gelatin sapi dan gelatin babi memiliki pola
absorban yang mirip. Empat daerah spectrum yang dimiliki oleh gelatin sapi dan
babi adalah 3600-2900 cm-1 (Amida A), 1656-1644 cm-1(Amida I),1560-1335
cm-1 (Amida II) dan 1240-750 cm-1 (Amida III). Spektrum khas gelatin terdapat
pada puncak Amida I dan II dengan intensitas yang rendah serta puncak Amida III
yang hampir tidak ada. Puncak amida III yang rendah disebabkan hilangnya
bagian heliks ganda tiga pada saat denaturasi proses ekstraksi. Keempat puncak
tersebut diidentifikasi sama dengan yang dilaporkan oleh Hashim et al., 2010.
Adanya serapan yang lebar pada daerah 3600-2900 cm-1 menunjukkan adanya
ikatan N-H Streching pada ikatan hidrogen gugus amida. Serapan terpolarisasi
paralel dengan ikatan N-H dimana sejajar dengan α-helix dan yang tegak lurus
terhadap rantai polipeptida pada ikatan β-sheet. Adanya serapan pada bilangan
gelombang 1660- 1620 cm-1 menunjukkan ikatan karbonil C=O streching dengan
kontribusi ikatan NH dan C-N streching yang sering disebut sebagai daerah amida
I. Pada rentang frekuensi 1550-1520 cm-1 ada absorban yang menunjukkan gugus
Amida II dengan struktur α-heliks (1550-1540 cm-1) dan struktur β-sheet (1525-
1520 cm-1). Fibrasi Amida II disebabkan adanya deformasi dari ikatan N-H.
Sedangkan frekuensi pada 1500 – 1200 cm-1 mempresentasikan dari deformasi
CH2. Daerah ini mempunyai fibrasi yang terkait dengan adanya senyawa
makromolekul seperti asam lemak, protein, polisakarida dan turunan posfat
(Hasyim et al., 2010).

Anda mungkin juga menyukai