Anda di halaman 1dari 66

Manajemen Laboratorium

PENENTUAN JASA PELAYANAN LABORATORIUM


DALAM PERSIAPAN PEMBERLAKUAN BPJS KESEHATAN
DI TAHUN 2014

Penyusun :
dr. Louisa M.
22180112320013

Pembimbing :
dr. Andreas Agung W., SpPK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


PROGRAM STUDI PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2013
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang................................................................................................... 1

I.2. Tujuan................................................................................................................. 6

I.3. Manfaat............................................................................................................... 6

BAB II SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL DAN BADAN


PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

II.1. Definisi............................................................................................................... 7

II.2. Regulasi.............................................................................................................. 9

II.3. Implementasi SJSN............................................................................................ 12

II.4. Cakupan Umum SJSN sebagai Target BPJS...................................................... 16

II.5. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial................................................................ 19

II.6. Perjalanan Program Jaminan Kesehatan............................................................ 24

BAB III JASA PELAYANAN BERDASARKAN CLINICAL PATHWAY

III.1. Clinical Pathway.............................................................................................. 26

III.1.1. Sistem Pembiayaan dan Pembayaran Pelayanan Kesehatan.................... 27

III.1.2. Pengertian Casemix INA-CBG’s.............................................................. 29

III.1.3. Penerapan Clinical Pathway..................................................................... 31

iii
III.2. Jasa Pelayanan / Cost Dasar Parameter Laboratorium

III.2.1. Tarif Pelayanan......................................................................................... 37

III.2.2. Konsep Biaya............................................................................................ 39

III.2.3. Analisa Biaya............................................................................................ 45

III.2.4. Penghitungan Unit Cost............................................................................ 50

III.2.5. Jasa Pelayanan.......................................................................................... 53

BAB IV STUDI KASUS

IV.1. Pemeriksaan Laboratorium untuk Demam Berdarah Dengue Menurut Teori.. 55

IV.2. Pemeriksaan Laboratorium dalam Clinical Pathway......................................... 56

BAB V PENUTUP

V.1. Kesimpulan ........................................................................................................ 59

V.2. Usulan................................................................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 61

iv
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Mewujudkan kesejahteraan (rakyat), adalah cita-cita setiap manusia,


bangsa, dan negara. Pendiri Negara ini pun menyuratkan cita-cita tersebut
dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945), yang berbunyi: “Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.” Namun, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, setiap manusia,
bangsa, dan negara menempuh jalan yang berbeda, sesuai dengan tujuan dan
filosofi yang mendasari pendirian negara tersebut. Berbagai aspek yang perlu
diperhatikan demi menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat, yang
salah satunya adalah kesehatan.1

Kesehatan adalah salah satu hak mendasar bagi masyarakat. Hak ini
menjadi salah satu kewajiban Pemerintah kepada warganya terutama bagi
masyarakat miskin. Thabrany (2005) menjelaskan bahwa pada tahun 2000 dan
2002, untuk pertama kalinya kata-kata “kesehatan” masuk ke dalam UUD
1945 yang diamandemen seperti yang tercantum pada pasal 28H UUD 1945
Amandemen tahun 2000 “...setiap penduduk berhak atas pelayanan
kesehatan”. Selain itu, pasal 28 H tersebut semakin diperkuat dengan
amandemen UUD 1945 tanggal 11 Agustus 2002 dimana MPR
mengamanatkan agar “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh
rakyat” seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Dalam pasal (3)
ayat tersebut, MPR juga menggariskan bahwa “Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan...”. 2,3
1
Amandemen 3 pasal dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa tujuan
Negara sudah semakin jelas, yaitu secara eksplisit menempatkan kesehatan
sebagai bagian dari kesejahteraan rakyat yang harus tersedia merata. Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Pada pasal tersebut juga
termasuk hak warga miskin memperoleh kesehatan. Karena itu setiap individu,
keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap
kesehatannya, dan Negara bertanggungjawab untuk menjamin hak hidup sehat
bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.2

Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan,


sejak tahun 1998 Pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan
kesehatan penduduk miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahun yang sama
telah menjadikan kesehatan sebagai suatu komoditas yang dirasa mahal bagi
masyarakat. Hal ini semakin memperburuk kesadaran akan kesehatan
masyarakat, terutama mereka yang tergolong tidak mampu. Program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) menjadi sebuah program
terobosan dari Pemerintah untuk menolong rakyat miskin dalam bidang
kesehatan.2

Pada tahun 2005, pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin


diselenggarakan dalam bentuk mekanisme asuransi kesehatan yang dikenal
dengan Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin). Atas
pertimbangan pengendalian biaya kesehatan, peningkatan mutu, transparansi,
dan akuntabilitas; dilakukan sebuah perubahan mekanisme pada tahun 2008
yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada awal
tahun 2010, tercetuslah sebuah pandangan dari Menteri Kesehatan di masa itu;
bahwa program Jamkesmas sepatutnya diubah menjadi Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dikarenakan program-program sebelumnya dianggap masih
belum mampu mencakup seluruh rakyat Indonesia seperti yang telah dicita-
citakan. Diharapkan dengan sistem yang baru ini, keterbatasan khususnya
akses dan kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga status
kesehatan akan meningkat.2,4,5
2
Adanya ketidakadilan sosial, termasuk dalam bidang kesehatan,
kemudian mendorong Pemerintah untuk memperbarui perundangan yang
kemudian memperoleh persetujuan DPR yang melahirkan UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (untuk selanjutnya akan
disingkat UU SJSN), sebagai bentuk perlindungan sosial yang menjamin setiap
peserta dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal yang layak menuju
terwujudnya kesejahteraan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Sistem
ini diharapkan dapat mengatasi masalah mendasar masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, kecelakaan, pensiun, hari tua, dan
santunan kematian.1

Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan


menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional
untuk dapat memenuhi prinsip protabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa
dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu prinsip dari jaminan
kesehatan dalam SJSN ini adalah adanya jaminan akan pelayanan yang bersifat
komprehensif; meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif; yang di dalamnya mencakup berbagai pelayanan termasuk
pelayanan laboratorium.1,2

Bagaimana mengimplementasikan UU SJSN adalah sebuah topik yang


hingga saat ini masih menjadi suatu polemik bagi berbagai kalangan. Sebab,
UU ini mengamanatkan masa transisi sampai tahun 2009. Masa transisi ini
sendiri telah terlewati tanpa adanya perwujudan nyata dari implementasi UU
ini. Selain itu, masih banyak persiapan harus dipikirkan untuk meningkatkan
jumlah peserta dan manfaat jaminan sosial. Sementara itu, terkait dengan
penyelenggara program jaminan sosial sudah tentu harus merupakan sebuah
lembaga yang kredibel, dibentuk berdasarkan perundangan negara. Untuk itu
dibentuklah badan penyelenggara yang disebut Badan Penyelenggara Sistem
Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disingkat BPJS) demi menjamin
keberlangsungan program, pemberian manfaat, prinsip penyelenggaraan
jaminan sosial (salah satunya not for profit), serta pertanggungjawaban
pemerintah terhadap pemenuhan kesejahteraan rakyatnya.1
3
Dengan berbagai ketentuan dalam UU SJSN, pelaksanaan program
jaminan kesehatan memerlukan persiapan yang matang agar kelangsungan
program jaminan kesehatan dapat terjamin, misalnya sebagai berikut:1
1. Ketentuan mengenai besaran iuran harus ditetapkan secara cermat.
2. Penerimaan/pelaksanaan managed healthcare concept dan prospective
payment system bagi kalangan yang terkait, misalnya kalangan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan (healthcare providers) dan juga
BPJS.
3. Pentahapan cakupan kepesertaan, skenario makro atau the road map
sehingga mencapai cakupan seluruh penduduk (universal coverage).
4. Sinkronisasi sistem dan penyelenggaraan program jaminan kesehatan
antara berbagai BPJS, khususnya antara program Jamsostek dan Askes,
baik dari aspek iuran maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
5. Capacity building BPJS, antara lain meliputi sumber daya manusia,
kemampuan manajemen, dan teknologi informasi.
6. Membangun jaringan pelayanan kesehatan yang mampu memenuhi
ketentuan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, untuk melayani peserta
program jaminan kesehatan.

Persiapan ini meliputi seluruh aspek pelayanan medis dari program


pelayanan kesehatan yang di dalamnya mencakup pelayanan laboratorium
klinik. Penentuan iuran yang cermat dan tepat dari laboratorium diperlukan
mengingat BPJS I di Bidang Kesehatan direncanakan akan mulai berlaku
terhitung 1 Januari 2014. Dalam penentuannya, diperlukan perhitungan yang
mencakup biaya dasar dari sebuah pemeriksaan serta biaya operasional lainnya
termasuk jasa medik. Jasa medik dari para tenaga ahli di laboratorium klinik
diperlukan mengingat sumber daya manusia merupakan salah satu faktor
utama dalam menjamin kualitas pelayanan. Terjaminnya kualitas pelayanan
sendiri diharapkan mampu membawa keberhasilan sebuah laboratorium klinik
dalam memenuhi kriteria akreditasi.6

4
Atas dasar pemikiran inilah, penulis mencoba melemparkan sebuah
wacana mengenai penentuan jasa pelayanan laboratorium dalam persiapan
pemberlakuan BPJS I di bidang kesehatan di tahun 2014 mendatang. Adapun
pembahasan dalam makalah ini akan menitikberatkan penentuan jasa
pelayanan laboratorium terutama yang bernaung di bawah Instansi Pemerintah
mengingat pemberlakuan SJSN dan kerjasama yang akan dibentuk oleh BPJS I
di Bidang Kesehatan akan dimulai dari Instansi Pemerintah (seperti Puskesmas
dan RS Pemerintah).

Adapun penulisan makalah ini akan tersusun atas :

 Bab I : Pendahuluan
Bab Pendahuluan memuat penjelasan akan latar belakang, tujuan, dan
manfaat dari penulisan makalah ini.

 BAB II : Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial Nasional
Bab kedua ini akan mengulas mengenai definisi dari SJSN dan BPJS,
dasar hukum yang melandasi keduanya, implementasi dari SJSN,
cakupan umum SJSN sebagai target BPJS, pembentukan BPJS, serta
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang didalamnya akan dibahas
mengenai transformasi, fungsi dan kewenangan serta peran dari BPJS.

 BAB III : Jasa Pelayanan Berdasarkan Clinical Pathway


Bab ini akan menggambarkan Clinical Pathway serta perhitungan cost
dasar parameter laboratorium.

 BAB IV : Studi Kasus


Dalam bab keempat ini, akan dimasukkan sebuah contoh kasus untuk
melakukan perhitungan biaya dengan berdasarkan Clinical Pathway
yang mencakup usulan besarnya jasa pelayanan laboratorium.

 BAB V : Penutup
Bab terakhir akan mengulas kesimpulan serta saran sebagai penutup
dari makalah.

5
I.2. Tujuan

Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan


gambaran mengenai penentuan jasa pelayanan laboratorium dalam persiapan
pemberlakuan BPJS I di bidang kesehatan di tahun 2014 mendatang,
khususnya pada laboratorium klinik yang bernaung di bawah Instansi
Pemerintah.

I.3. Manfaat

Diharapkan makalah ini dapat memberikan masukan akan penentuan jasa


pelayanan laboratorium dalam persiapan pemberlakuan BPJS I di bidang
kesehatan di tahun 2014 mendatang, khususnya pada laboratorium klinik yang
bernaung di bawah Instansi Pemerintah.

6
BAB II

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL


DAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

II.1. Definisi

Pengertian jaminan sosial mencakup aspek hukum, aspek politik, dan


aspek ekonomi. Melalui aspek hukum, jaminan sosial berkaitan dengan
tanggung jawab negara untuk melaksanakan Amanat Pasal 5 ayat (2), Pasal 20,
Pasal 28H ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 34 ayat (1), (2) UUD 1945; yaitu
sistem perlindungan dasar bagi masyarakat terhadap resiko-resiko sosial
ekonomi. Menurut aspek politik, jaminan sosial adalah upaya pembentukan
negara kesejahteraan yang merupakan keinginan politik dari pemerintah.
Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, jaminan sosial terkait dengan
redistribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib dan
implementasi uji kebutuhan untuk keadilan. Sistem jaminan sosial diperlukan
untuk ketahanan negara dan sekaligus peningkatan daya beli masyarakat agar
terwujud keamanan ekonomi dalam jangka panjang.7

International Labour Organization (ILO) memberikan definisi sistem


jaminan sosial sebagai berikut (ILO Convention 102):8

“Social security is the protection which society provides for its members
through a series of public measure :
1. To offset the absence or substantial reduction of income from work
resulting from various contigencies (notable sickness, maternity,
employment injury, unemployment, invalidity, old age and death of
breadwinner).
2. To provide people with healthcare.
3. To provide benefit for families with children.”

7
Guy Standing menyatakan “Social security is a system for providing
income security to deal with the contigency risk of life, sickness and maternity,
employment injury, unemployment, invalidity, old age and death, the provision
of medical care and the provision subsidies for family with children.”9

Di dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional


Pasal 1 tercantum:10

(1) Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.
(2) Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan
sosial.

Sulastomo menyatakan bahwa “Sistem jaminan sosial nasional adalah


upaya mewujudkan kesejahteraan, memberikan rasa aman sepanjang hidup
manusia, melalui pendekatan sistem.”1

Sedangkan menurut Purwoko, pengertian jaminan sosial sangat beragam.


Diliat dari pendekatan asuransi sosial, maka berarti jaminan sosial sebagai
teknik atau metoda penanganan risiko hubungan industrial yang berbasis pada
hukum bilangan besar (law of large numbers). Dari sisi bantuan sosial, maka
jaminan sosial berarti sebagai dukungan pendapatan bagi komunitas kurang
beruntung untuk keperluan konsumsi.11

Dapat disimpulkan bahwa sistem jaminan sosial nasional (national social


security system) adalah sistem penyelenggaraan program negara dan
pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial, agar setiap penduduk dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya
kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia.2

Menurut UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial (untuk selanjutnya disingkat UU BPJS) Pasal 1 ayat (1), disebutkan
bahwa:12

8
“Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial.”

II.2. Regulasi

Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia dibentuk dengan dasar


hukum :

a. Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya tahun 2002 :13


1. Pasal 5 mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi :
“ (1) Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.”

2. Pasal 20 mengenai Dewan Perwakilan Rakyat yang berbunyi :


“ (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang.
“ (2) Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
“ (3) Jika Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
“ (4) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang.
“ (5) Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, Rancangan
Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.

9
3. Pasal 28A mengenai Hak Asasi Manusia yang berbunyi :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.”

4. Pasal 20 mengenai Dewan Perwakilan Rakyat ayat (1), (2), dan (3)
yang berbunyi :
“ (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
“ (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
“ (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.”

5. Pasal 34 mengenai Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial


yang berbunyi :
“ (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
“ (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
“ (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
“ (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
Undang-Undang.”

b. Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB atau Universal Declaration of


Human Rights tahun 1948. Adapun beberapa Pasal yang berhubungan
dengan sistem jaminan sosial dalam Deklarasi HAM PBB itu adalah :14

10
1. Pasal 3 yang berbunyi :
“ Everyone has the right to life, liberty and security of person.” (Setiap
orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu).

2. Pasal 22 yang berbunyi :


“ Everyone, as a member of society, has the right to social security and is
entitled to realization, through national effort and international co-
operation and in accordance with the organization and resources of each
State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his
dignity and the free development of his personality.” (Setiap orang, sebagai
anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan
terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan
untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha
nasional maupun kerjasama internasional dan sesuai dengan pengaturan
serta sumber daya setiap negara).

3. Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi :


“ Everyone has the right to a standart of living adequate for the health and
well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing
and medical care and necessary social services, and the right to security in
the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or
other lack of livelihood in circumstances beyond his control.” (Setiap
orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang
diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita
sakit, cacat, menjadi janda / duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya).

c. Konvensi ILO No. 102 tahun 1952.

11
d. Ketetapan MPR dalam TAP MPR RI No. X/MPR/2001 yang
menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk
Sistem Jaminan Sosial Nasional.

e. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial


Nasional (untuk selanjutnya disingkat UU SJSN).

II.3. Implementasi SJSN

Sesuai amanat Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945, maka Sistem
Jaminan Sosial Nasional dibentuk sebagai sebuah program Negara untuk
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Sistem jaminan sosial nasional dibuat sesuai dengan “Paradigma Tiga


Pilar” yang direkomendasikan oleh ILO. Pilar-pilar itu adalah :15

1. Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak


mempunyai sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat
memenuhi kebutuhan pokok mereka. Bantuan ini diberikan kepada
anggota masyarakat yang terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, pada
saat terjadi bencana alam, konflik sosial, menderita penyakit, atau
kehilangan pekerjaan. Dana bantuan ini diambil dari APBN dan dari dana
masyarakat setempat.
2. Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang
ditarik dari perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta
ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan/gaji, dan berdasarkan suatu
standar hidup minimum yang berlaku di masyarakat.
3. Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat
dibeli oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial
lebih tinggi daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran
program asuransi sosial wajib. Iuran untuk program asuransi swasta ini
berbeda menurut analisis resiko dari setiap peserta.
12
Menurut Pasal 2 UU SJSN, sistem jaminan sosial diselenggarakan
berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan
terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat
operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas
keadilan merupakan asas yang bersifaat idiil. Ketiga asas tersebut dimaksudkan
untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.

Adapun prinsip dasar pelaksanaan SJSN yang tercantum dalam UU SJSN


Pasal 4 dan Penjelasan, yaitu :10

a. Kegotongroyongan.
Merupakan prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban
biaya jaminan sosial. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong
royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu
dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat dengan membayar
iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya. Mekanisme
ini secara tidak langsung menciptakan keadaan dimana peserta yang
beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi; dan peserta yang sehat
membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini, jaminan
sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Nirlaba.
Prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil
pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
seluruh peserta.

c. Keterbukaan.
Prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas
bagi setiap peserta.

d. Kehati-hatian.
Prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.

13
e. Akuntabilitas.
Prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan.

f. Portabilitas.
Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

g. Kepesertaan bersifat wajib.


Prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan
sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.

h. Dana amanat.
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-
badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

i. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk


pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk
kepentingan peserta jaminan sosial.

Dalam Pasal 18 UU SJSN, dinyatakan bahwa sistem jaminan sosial yang


hendak diselenggarakan meliputi :10
a. Jaminan Kesehatan;
b. Jaminan Kecelakaan kerja;
c. Jaminan Hari Tua;
d. Jaminan Pensiun;
e. Jaminan Kematian.

Program jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional,


berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Tujuannya adalah memberikan
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
14
Prinsip asuransi sosial meliputi kepesertaan yang bersifat wajib dan
nondiskriminatif, bagi kelompok formal, iuran berdasar presentase pendapatan
yang menjadi beban bersama antara pemberi dan penerima kerja, sampai batas
tertentu, sesuai dengan prinsip kegotong-royongan. Sehingga antara yang kaya-
miskin, resiko sakit tinggi-rendah, tua-muda; akan mendapat manfaat
pelayanan medis yang sama dan bersifat komprehensif.

Kekhususan program jaminan kesehatan dalam SJSN adalah badan


penyelenggara harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem
kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan efisiensi jaminan kesehatan. Dapat dikatakan bahwa
penyelenggaraan jaminan kesehatan akan menerapkan prinsip-prinsip managed
healthcare concept, misalnya penerapan konsep dokter keluarga, rujukan,
wilayah serta pembayaran pradana (prospective payment system) dalam bentuk
kapitasi, tarif paket, dan DRG’s (Diagnostic Related Groups, berdasarkan
kelompok diagnosis yang ditetapkan).1

Penyelenggaraan program jaminan kesehatan, dalam jangka panjang,


akan berdampak pada pemerataan pelayanan kesehatan, peluang/kesempatan
kerja tenaga medis dan paramedis, peningkatan keahlian, dan teknologi
kedokteran serta terbentuknya standar dan mutu pelayanan kesehatan.1

Perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN ini


kemudian diserahkan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional yang bertugas
untuk melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan
jaminan sosial, mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial nasional,
dan mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan
tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah. Dewan Jaminan Sosial
Nasional ini terbentuk dari unsur Pemerintah, Pekerja, Pemberi Kerja, dan
Tokoh/Pakar yang memahami bidang jaminan sosial.1

15
II.4. Cakupan Umum SJSN sebagai Target BPJS

Peserta program jaminan sosial di Indonesia dibandingkan dengan negara


lainnya, masih terlalu sedikit. Malaysia yang memiliki lembaga jaminan sosial
bernama Employee Provident Fund (EPF) telah menanggung sebanyak 12,5
juta pekerja. Singapura dengan institusi Central Provident Fund (CPF) terdiri
dari 116.000 pengusaha dan 1,8 juta pekerja. Thailand dengan lembaga
jaminan Social Security Office menampung 391.869 pengusaha dengan 9,45
juta pekerja. Bahkan Filipina dengan program Social Security Scheme (SSS)
telah menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja. Sementara Indonesia
hingga tahun 2011, hanya menjamin keanggotaan sektor formal sebanyak 8,5
juta buruh peserta aktif dibandingkan dengan jumlah pekerja 29 juta. Berarti
hanya 30 persen yang hanya terjangkau oleh jaminan asuransi sosial.16

Manfaat yang diperoleh perserta juga masih sangat terbatas. Dapat


dikatakan, belum dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
Penyelenggaraan program jaminan sosial bagi berbagai kelompok masyarakat
dan jenis programnya, ternyata menerapkan prinsip yang berbeda dan
menimbulkan adanya ketidak-adilan sosial. Misalnya, beban penyelenggaraan
program jaminan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi beban
PNS (penerima kerja), sementara bagi tenaga kerja swasta, seluruhnya menjadi
beban pemberi kerja. Sedangkan kelompok non-formal hingga kini masih
belum memiliki program jaminan sosial. Hal inilah yang mendorong
pembentukan Undang-Undang yang diharapkan mampu mensinkronisasikan
penyelenggaraan jaminan sosial oleh beberapa penyelenggara agar dapat
menjangkau kepesertaan yang lebih luas, serta memberikan manfaat yang lebih
besar bagi setiap peserta.16,17

Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib menjadi salah satu wacana


menarik dalam rangka perwujudan universal coverage ini. Prinsip kepesertaan
bersifat wajib ini merupakan salah satu unsur yang membedakan SJSN dengan
sistem jaminan atau asuransi komersial. Dalam prinsip ini, seseorang tidak
bebas untuk menentukan apakah ia akan menjadi peserta atau tidak dari

16
program jaminan sosial yang ditentukan oleh Undang-Undang. Demikian pula
BPJS tidak dapat memilih siapa yang diterima atau tidak diterima menjadi
peserta yang akan ditanggungnya. Hal ini bertentangan dengan sistem asuransi
komersial dimana prinsip kepesertaan bersifat sukarela, berdasarkan
kesepakatan antara tertanggung dan penanggung. Seseorang bebas menentukan
pilihannya untuk menjadi peserta asuransi komersial. Demikian pula
penanggung bebas menentukan apakah ia akan menanggung seseorang yang
ingin menjadi peserta program asuransi yang ditawarkan. Dalam sistem
jaminan sosial yang diselenggarakan ini, perikatan antara tertanggung (peserta)
dengan penanggung (BPJS) timbul karena Undang-Undang.17

Peserta jaminan sosial menurut UU SJSN adalah setiap orang termasuk


orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran. Setiap orang yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam
UU SJSN secara imperatif wajib menjadi peserta. Manfaat jaminan kesehatan
diberikan kepada peserta dengan jumlah keluarga lima orang, suami/istri
dengan jumlah anak sampai tiga orang. Apabila memiliki keluarga lebih dari
lima orang, dapat mengikutsertakannya dengan membayar iuran tambahan,
yang besarannya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Bagi kelompok
tenaga kerja/formal yang mengalami pemutusan hubungan kerja,
kepesertaannya masih berlaku sampai enam bulan setelah pemutusan hubungan
kerja. Apabila setelah enam bulan belum memperoleh pekerjaan, iurannya
dibayar oleh Pemerintah. Sementara itu, bagi kelompok “nonformal” dan
“penerima bantuan iuran”, iuran ditetapkan berdasarkan nilai nominal. Bagi
“penerima bantuan iuran”, iuran dibayarkan oleh Pemerintah.1,17

Meskipun UU SJSN menentukan kepesertaan yang bersifat wajib bagi


seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rakyat dan Pemerintah, serta kelayakan penyelenggaraan program. Diperlukan
beberapa tahap dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial ini. Sebagai contoh,
dapat dikemukakan perkembangan jaminan kesehatan di Korea, yang dimulai
tahun 1976 melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional Dekrit Presiden, dimulai
dengan kelompok kerja dengan 400 tenaga kerja, yang kemudian terus
17
menurun menjadi 300 tenaga kerja, 200 peserta, 100 peserta, 10 peserta,
hingga akhirnya mencapai kelompok non-formal (perorangan) yang menjadi
bukti keberhasilan sistem jaminan sosial Korea dalam memenuhi universal
coverage mereka. Proses ini memakan waktu dua belas tahun. Lain halnya
dengan Filipina, ketika Fidel Ramos mendirikan Philippine Health
Corporation pada tahun 1995 dengan target pencapaian universal coverage
untuk jaminan kesehatan selama 15 tahun. Hingga tahun 2011, program
tersebut baru mencapai sekitar 70% penduduk. Sedangkan Cina berhasil
mencapai universal coverage dalam waktu singkat dengan jalan mendirikan
lembaga jaminan kesehatan di tingkat provinsi. Amerika Serikat sendiri masih
menyisakan lebih dari 30 juta penduduknya yang masih belum tercakup dalam
program pelayanan kesehatan yang diselenggarakan secara liberal. Sedangkan
di India, untuk menjangkau ratusan juta penduduk miskin, pemerintah
mendirikan RSBY, suatu program kesehatan bagi masyarakat miskin (sudah
mencapai 300 juta penduduk). RSBY ini merupakan sebuah program yang
hampir sama seperti Jamkesmas di Indonesia.1,17,18

Di Indonesia, pentahapan pelaksanaan program jaminan sosial nasional


ini dimulai dari pekerja di sektor formal yang kemudian akan dikembangkan
mencakup sektor informal. Perluasan hingga sektor informal ini diharapkan
dapat menampung mereka yang bekerja sebagai wiraswasta seperti petani,
nelayan, ataupun profesi mandiri lainnya. UU SJSN memungkinkan
pentahapan pelaksanaan kepesertaan, untuk seluruh program jaminan sosial
yang diatur dalam UU SJSN, termasuk program jaminan kesehatan. Dengan
kata lain, pentahapan dalam hal ini bukanlah berkenaan dengan jenis program,
melainkan segmen kepesertaan.16,17

Pemerintah Indonesia sendiri mencanangkan universal coverage untuk


program jaminan kesehatan akan tercapai pada tahun 2014. Sedangkan untuk
program lainnya belum ditentukan. Pentahapan ini akan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden yang hingga saat ini belum terbentuk dan
menyebabkan kesulitan dalam pembentukan road map untuk mencapai hal
tersebut.16
18
II.5. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Perintah transformasi kelembagaan BPJS diatur dalam UU SJSN.


Penjelasan Umum alinea kesepuluh UU SJSN menjelaskan bahwa ”Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk oleh UU SJSN adalah
transformasi dari badan penyelenggara jaminan sosial yang tengah berjalan
dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru”. Transformasi
badan penyelenggara diatur lebih rinci dalam UU BPJS yang merupakan
pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 007/PUU-
III/2005.19

Pembentukan BPJS ini bukanlah suatu hal yang mudah, dimana


berdasarkan ketentuan dalam UU SJSN Pasal 52 ayat (2), batas waktu paling
lambat untuk penyesuaian semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS
dengan UU SJSN adalah tanggal 19 Oktober 2009, yaitu 5 tahun sejak UU
SJSN diundangkan. Batas waktu penetapan UU tentang BPJS yang ditentukan
tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai
dirumuskan. Akhirnya DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini
melalui Program Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang
BPJS. DPR telah menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Pemerintah pada
8 Oktober 2010 untuk dibahas bersama Pemerintah. DPR RI dan pemerintah
mengakhiri pembahasan RUU tentang BPJS pada Sidang Paripurna DPR RI
pada tanggal 28 Oktober 2011. RUU tentang BPJS disetujui untuk disahkan
menjadi Undang-Undang. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada
Presiden pada tanggal 7 November 2011. Pemerintah kemudian
mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada tanggal 25
November 2011.20

Konsep awal dari badan penyelenggara ini memuat peranannya untuk


menerima titipan dana dari peserta yang berarti menerima amanah dari peserta
untuk mengelola dana atau aset milik peserta untuk keperluan di masa datang.
Berarti badan penyelenggara jaminan sosial sebagai badan hukum yang khusus
menangani harta orang banyak atau mengelola aset / dana titipan peserta itu

19
tidak lazim untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil
pengembangan dana kecuali menerima fee tertentu sesuai persetujuan pemilik
dana. Dapat disimpulkan bahwa peranan BPJS lebih ke arah administrasi
karena fungsi utamanya menangani administrasi kepesertaan, melakukan
penindakan hukum, pengembangan program dan pengolahan data untuk
kepentingan peserta sebagai pemangku kepentingan yang terbesar. BPJS sesuai
dengan fungsi utama dan tugas rutin menyerupai instansi pajak, yang antara
lain melakukan pemotongan upah pekerja dan pendapatan pengusaha untuk
iuran jaminan sosial. Karena itu, BPJS dibentuk berdasarkan Undang-Undang.7

Dana yang terkumpul adalah berasal dari iuran yang dipotong dari upah
dan gaji para pekerja dan setelah terhimpun menjadi dana milik bersama
peserta. Pemilik dana tersebut kemudian menitipkannya kepada BPJS untuk
dikelola secara optimal. Atas penitipan dana tersebut, maka BPJS hanya
mendapat fee tertentu sebagai imbalan balas jasa sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Karena itu, semua hasil pengembangan atas dana tersebut setelah
dikurangi biaya operasional oleh BPJS harus dikembalikan kepada peserta.
BPJS harus transparan dalam penyampaian informasi kepada peserta sebagai
pemangku kepentingan yang terbesar.7

UU BPJS yang terdiri dari 16 bab dan 71 pasal ini dan sudah tercatat
dalam Lembaran Negara merupakan lanskap kelembagaan dan pedoman tata
kelola (governance) penyelenggaraan jaminan sosial yang memberi amanat
pembentukan 2 BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas mengenai BPJS Kesehatan
yang merupakan transformasi dari PT Askes (Persero) dan akan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk
(universal coverage) terhitung sejak 1 Januari 2014.18

Transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan yang menjangkau


seluruh warga negara hanya dalam waktu 2 tahun ke depan merupakan
tantangan besar bagi Pemerintah, mengingat pengalaman dari negara-negara
lain yang membutuhkan periode waktu cukup panjang dalam mencapai target

20
universal coverage bahkan ada beberapa negara yang hingga saat ini masih
belum berhasil mencapainya. Tercapainya universal coverage untuk jaminan
kesehatan yang akan diselenggarakan BPJS Kesehatan, tidak hanya
menyangkut tersedianya kerangka legal, coordination of benefit, kapasitas
kelembagaan, tetapi juga menyangkut pembiayaan dari APBN karena masih
besarnya jumlah penduduk miskin dan tidak mampu, yang nanti akan
dirumuskan dalam bentuk PBI (Penerima Bantuan Iuran). Migrasi program
JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan juga akan menjadi tantangan tersediri,
karena selama ini program JPK Jamsostek sifatnya “gratis” kepada pekerja
karena iuran-nya ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, sedangkan dalam
BPJS Kesehatan, pekerja akan dibebani iuran untuk jaminan kesehatan.
Jamkesda di berbagai daerah yang keberadaanna dipayungi oleh Keputusan
MK tahun 2005, membutuhkan proses integrasi yang tidak mudah ke dalam
BPJS Kesehatan karena akan bersinggungan dengan kewenangan dalam
kerangka otonomi daerah. 18

Selain pembentukan 2 BPJS, hal penting yang tertuang dalam UU BPJS


adalah status hukum badan penyelenggara jaminan sosial. Keempat BUMN
Persero penyelenggara jaminan sosial - PT Askes, PT Asabri, PT Jamsostek,
PT Taspen - adalah empat badan privat yang terdiri dari persekutuan modal
dan bertanggung jawab kepada pemegang saham. Keempatnya bertindak
sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh dan sesuai dengan keputusan
pemilik saham yang tergabung dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Sebagai badan hukum privat, BUMN Persero tidak didirikan oleh penguasa
Negara dengan UU, melainkan didirikan oleh perseorangan selayaknya
perusahaan umum lainnya, didaftarkan pada notaris dan diberi keabsahan oleh
Kementerian Hukum dan HAM. Menteri mendirikan persero setelah
berkonsultasi dengan Presiden dan setelah dikaji oleh Menteri Teknis dan
Menteri Keuangan. Sebaliknya, pendirian BPJS oleh penguasa Negara
dilaksanakan menurut UU, yaitu UU SJSN dan UU BPJS. Pendirian BPJS
tidak didaftarkan pada notaris dan tidak perlu pengabsahan dari lembaga
pemerintah.19

21
Selanjutnya, perubahan berlanjut pada organisasi badan penyelenggara.
Didasari pada kondisi bahwa kekayaan Negara dan saham tidak dikenal dalam
SJSN, maka RUPS tidak dikenal dalam organ BPJS. Organ BPJS terdiri dari
Dewan Pengawas dan Direksi. Dewan Pengawas berfungsi melakukan
pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS, sedangkan Direksi berfungsi
melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS. Anggota Direksi
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Berbeda dengan Dewan Pengawas
BUMN Persero, Dewan Pengawas BPJS (selanjutnya disingkat DJSN)
ditetapkan oleh Presiden. Pemilihan Dewan Pengawas BPJS dilakukan oleh
Presiden dan DPR. Presiden memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur
Pemerintah, sedangkan DPR memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur
Pekerja, unsur Pemberi Kerja dan unsur Tokoh Masyarakat. 19

BPJS selaku badan hukum publik memiliki kekuasaan dan kewenangan


untuk mengatur publik melalui kewenangan membuat peraturan-peraturan
yang mengikat publik. BPJS juga wajib menyampaikan pertanggungjawaban
atas pelaksanaan tugasnya kepada pejabat publik yang diwakili oleh Presiden.
Kinerja akan dilaporkan dalam bentuk laporan pengelolaan program dan
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada
Presiden, dengan tembusan kepada DJSN, paling lambat 30 Juni tahun
berikutnya.19

Dalam UU BPJS, dinyatakan mulai 1 Januari 2014, PT Askes (Persero)


berubah menjadi BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UU SJSN.
Sebenarnya, masa persiapan transformasi ini terhitung dua tahun sejak 25
November 2011 hingga 31 Desember 2013. Dalam masa persiapan, Dewan
Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) ditugasi untuk menyiapkan
operasional BPJS Kesehatan, serta menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas,
pegawai serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan.19

22
Adapun persiapan operasional BPJS Kesehatan mencakup:19
1. Penyusunan sistem dan prosedur operasional BPJS Kesehatan.
2. Sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan.
3. Penentuan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan UU SJSN.
4. Koordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkan
penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
5. Koordinasi dengan KemHan, TNI dan POLRI untuk mengalihkan
penyelenggaraan program pelayanan kesehatan bagi anggota TNI/POLRI
dan PNS di lingkungan KemHan TNI/POLRI.
6. Koordinasi dengan PT Jamsostek (Persero) untuk mengalihkan
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek.

Pelayanan kesehatan disediakan oleh fasilitas kesehatan Pemerintah atau


swasta yang dikontrak dengan harga yang disepakati. UU SJSN mengatur
bahwa besarnya kesepakatan antara BPJS dengan asosiasi fasilitas kesehatan di
wilayah. Hal ini berbeda dengan sistem Askes bagi PNS sekarang yang
umumnya menjamin pelayanan kesehatan perorangan pada fasilitas kesehatan
pemerintah dengan tarif yang ditetapkan bersama oleh Menteri Kesehatan dan
Menteri Dalam Negeri (sebagai wakil Pemda yang memiliki fasilitas kesehatan
publik, milik Pemda) secara nasional. Fasilitas kesehatan swasta akan ikut
melayani peserta SJSN dengan tarif pelayanan yang disepakati bersama yang
sama besar dan cara pembayarannya di suatu daerah. Dengan demikian, akan
terjadi persaingan kualitas antara fasilitas kesehatan di suatu daerah, yang
dibayar sama untuk suatu prosedur medis yang sama. Tidak seperti sekarang
dimana masing-masing fasilitas kesehatan menetapkan tarif berbeda kepada
pasien, kualitas pelayanan maupun biaya pelayanan yang tidak berbeda.
Dengan mekanisme penyelenggaran ini, kualitas pelayanan akan meningkat
dan keamanan serta keselamatan pasien akan terjaga. BPJS akan memeriksa
setiap tagihan biaya pelayanan. Jika terbukti suatu pelayanan kurang bermutu
atau sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh pasien peserta SJSN, maka
pelayanan yang ditagih tersebut tidak dibayar.7

23
II.6. Perjalanan Program Jaminan Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di bidang Kesehatan akan


beroperasi terhitung tanggal 1 Januari 2014. Beberapa perubahan dari
pelaksanaan BPJS Kesehatan ini adalah:21
1. Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program
Jamkesmas.
2. Kementerian Pertahanan, TNI dan POLRI tidak lagi menyelenggarakan
program pelayanan kesehatan kecuali untuk pelayanan kesehatan
tertentu yang berkaitan dengan kegiatan operasionalnya.
3. PT Jamsostek tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
pemeliharaan kesehatan.
4. PT Askes dinyatakan bubar tanpa likuidasi.

Adapun peran dan fungsi dari Kementerian Kesehatan akan beralih


dalam lingkup mekanisme kontrol dan pemantauan dari kualitas pelayanan
kesehatan yang mencakup regulasi sistem pelayanan kesehatan (rujukan),
regulasi dan standarisasi kualitas pelayanan kesehatan, obat dan alat kesehatan,
regulasi tarif pelayanan kesehatan dan co-sharing, serta penanganan program
kesehatan kemasyarakatan.21

Terbitnya UU BPJS dianggap sebagai suatu kelanjutan dari UU SJSN


yang terasa sangat penting untuk membuka peluang kelanjutan pelaksanaan
sistem jaminan sosial nasional. Sayangnya, pelaksanaan program SJSN ini
terasa sangat lambat; seperti proses pembentukan peraturan perundangan dan
regulasi penunjangnya, seperti Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan Presiden
(Perpres), maupun Keputusan Presiden (Keppres). Peraturan pelaksanaan UU
SJSN membutuhkan 11 PP dan 10 Perpres, sedangkan untuk pelaksanaan UU
BPJS membutuhkan 8 PP, 7 Perpres, dan 1 Keppres. Hingga saat ini, regulasi
penunjang UU BPJS yang sudah terbentuk barulah PP No. 101 tahun 2012
tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) dan Perpres No.
12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.18

24
Substansi dari Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2012 tentang
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan adalah:22
1. Penetapan kriteria dan pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu.
2. Penetapan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.
3. Pendaftaran penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.
4. Perubahan data penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.
5. Peran serta masyarakat.

Sedangkan substansi dari Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang


Jaminan Kesehatan adalah:23
a. Peserta dan kepesertaan.
b. Pendaftaran peserta dan perubahan data kepesertaan.
c. Iuran.
d. Manfaat jaminan kesehatan.
e. Koordinasi manfaat.
f. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
g. Kendali mutu dan biaya penyelenggaraan jaminan kesehatan.
h. Penanganan keluhan.
i. Penyelesaian sengketa.

Mengingat singkatnya waktu yang tersisa hingga pemberlakuan program


jaminan kesehatan melalui BPJS kesehatan, regulasi program dan kelembagaan
jaminan kesehatan harus segera diselesaikan. Ketersediaan dan kesiapan
fasilitas kesehatan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional. Pengawasan dan pengendalian
perlu dilakukan pada tataran kebijakan dan teknis operasional.21

25
BAB III

JASA PELAYANAN BERDASARKAN CLINICAL PATHWAY

III.1. Clinical Pathway

Demi tercapainya cita-cita awal dari pembentukan SJSN dan BPJS ini,
diperlukan sebuah sistem penentuan tarif yang tepat untuk menjamin tidak ada
satu pun pihak yang dirugikan, baik pasien (peserta SJSN), Rumah Sakit atau
Instansi Kesehatan lain yang ditunjuk (penyedia layanan), maupun BPJS.
Untuk itu, sistem dan prosedur pelayanan yang tepat perlu direncanakan
dengan cermat. Meski belum ada penentuan tarif yang jelas, namun wacana
terbaru menyiratkan sebuah sistem yang mengacu pada INA-CBG’s.

INA-CBG’s sendiri merupakan sistem pembayaran kepada Pemberi


Pelayanan Kesehatan yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis yang sama
dan pemakaian sumber daya (biaya perawatan yang sama). Berbeda dengan
sistem pembayaran berdasarkan jumlah layanan (free for service) atau sistem
pembayaran paket yang dikelompokkan berdasarkan layanan sejenis. Pola
pembayaran dengan sistem ini adalah prospective payment dimana biaya sudah
ditentukan sebelum layanan diberikan. Berbeda dengan pola pembayaran PT
Askes (Persero) saat ini, yang pembayarannya dilakukan berdasarkan jenis
pelayanan atau paket pelayanannya. Pada pola INA-CBG’s, dikenal tarif per-
episode kasus yang ditentukan oleh kode INA-CBG’s. Pembayaran per-kode
INA-CBG’s meliputi biaya dari mulai pasien masuk Rumah Sakit sampai
pasien pulang atau sembuh sesuai dengan clinical pathway yang telah
ditentukan. Satu tarif dibayarkan sekaligus untuk seluruh komponen pelayanan
yang meliputi pemeriksaan dokter, penunjang diagnostik (laboratorium,
radiodiagnostik, elektromedik), obat-obatan, serta akomodasi kelas rawat untuk
pasien rawat inap.24
26
III.1.1. Sistem Pembiayaan dan Pembayaran Pelayanan Kesehatan

Terdapat dua sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang dianut di


Indonesia, yaitu:25
a. Sistem Pembayaran Retrospektif
Sesuai namanya dalam pembiayaan kesehatan berarti bahwa besaran
biaya dan jumlah biaya yang harus dibayar oleh pasien atau pihak
pembayar (misalnya perusahaan majikan pasien), ditetapkan setelah
pelayanan diberikan.

b. Sistem Pembayaran Prospektif


Pembayaran prospektif secara umum adalah pembayaran pelayanan
kesehatan yang harus dibayar dimana besaran biayanya sudah
ditetapkan sejak awal sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Berikut
adalah macam-macam jenis pembayaran pelayanan kesehatan dengan
sistem prospektif:
1. Diagnostic Related Group (DRG)
Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara pembayaran
dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per
pelayanan medis maupun non medis yang diberikan kepada
seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Dalam
pembayaran DRG, Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak
lagi merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada
seorang pasien. Rumah Sakit hanya menyampaikan diagnosis
pasien waktu pulang dan memasukkan kode DRG untuk diagnosis
tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut telah
disepakati oleh seluruh Rumah Sakit di suatu wilayah dan pihak
pembayar, misalnya badan asuransi / jaminan sosial atau tarif
DRG tersebut telah ditetapkan oleh Pemerintah sebelum tagihan
Rumah Sakit dikeluarkan.

27
2. Pembayaran Kapitasi
Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya
dengan menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung
resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima
pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung.

3. Pembayaran Per Kasus


Sistem pembayaran per kasus (case rates) banyak digunakan
untuk membayar Rumah Sakit dalam kasus-kasus tertentu.
Pembayaran per kasus ini mirip dengan DRG, yaitu dengan
mengelompokkan berbagai jenis pelayanan menjadi satu kesatuan.
Pengelompokkan ini harus ditetapkan dulu di muka dan disetujui
kedua belah pihak, yaitu pihak Rumah Sakit dan pihak pembayar.

4. Pembayaran Per Diem


Pembayaran per diem merupakan pembayaran yang dinegosiasi
dan disepakati di muka yang didasari pada pembayaran per hari
perawatan, tanpa mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh
Rumah Sakit. Satuan biaya per hari sudah mencakup kasus apapun
dan biaya keseluruhan (biaya ruangan, jasa konsultasi / visite
dokter, obat-obatan, tindakan medis dan pemeriksaan penunjang
lainnya).

5. Pembayaran Global Budget


Merupakan cara pendanaan Rumah Sakit oleh Pemerintah atau
suatu badan asuransi kesehatan nasional dimana Rumah Sakit
mendapat dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa
satu tahun. Alokasi dana diperhitungkan dengan menimbang
jumlah pelayanan tahun sebelumnya, kegiatan lain yang
diperkirakan akan dilaksanakan dan kinerja Rumah Sakit tersebut.
Manajemen Rumah Sakit memiliki keleluasaan mengatur dana
anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional,
pemeliharaan Rumah Sakit dan lainnya.

28
III.1.2. Pengertian Casemix INA-CBG’s

Sistem casemix INA-CBG’s adalah suatu pengklasifikasian dari


episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas
yang relatif homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan
berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik yang sejenis. Case
Base Groups (CBG’s) adalah cara pembayaran perawatan pasien
berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama.
Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya
yang dihabiskan oleh suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap
tahapan pelayanan kesehatan sejenis ke dalam kelompok yang mempunyai
arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah Rumah Sakit
diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dalam gejala klinis yang
sama serta biaya perawatan yang relatif sama.25

Dalam pembayaran menggunakan CBG’s, baik Rumah Sakit


maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian
pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan
diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Secara ringkasnya, sistem casemix
terdiri dari 3 komponen utama; yaitu kodefikasi diagnosis (ICD-10) dan
prosedur tindakan (ICD-9-CM), pembiayaan (casting) yang dapat berupa
top-down approach, activity based costing dan atau kombinasi keduanya,
serta clinical pathways. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis
tersebut telah disepakati bersama antara provider / asuransi atau ditetapkan
oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of
stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya
disesuaikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.22,26

Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan 5asien di


sarana pelayanan kesehatan adalah dengan fee-for-services atau sistem
pembayaran retrospektif. Dengan sistem ini, kemungkinan moral hazard
oleh pihak Rumah Sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal
antar pihak Rumah Sakit dengan pasien mengenai standar biaya.25

29
INA-CBG’s merupakan kelanjutan dari aplikasi INA-DRG yang
lisensinya berakhir pada tanggal 30 September 2010. Perlu diketahui,
Pemerintah harus membayar lisensi sebesar 4 miliar untuk INA-DRG,
sedangkan INA-CBG’s merupakan aplikasi ciptaan anak bangsa dengan
tetap mengadopsi sistem DRG. INA-DRG adalah versi Departemen
Kesehatan RI untuk sistem pembiayaan berdasarkan pendekatan sistem
casemix. Aplikasi INA-CBG’s, lebih nyata dibandingkan dengan INA-
DRG karena pendekatan yang digunakan pada INA-CBG’s lebih
menekankan diagnosa dibandingkan prosedur. Tarif sistem INA-CBG’s
diharapkan akan lebih efisien.26,27

Dalam pelaksanaan casemix INA-CBG’s, peran koding sangat


menentukan, dimana logic software yang digunakan untuk menentukan
tarif adalah dengan pedoman ICD-10 untuk menentukan diagnosis dan
ICD-9-CM untuk tindakan atau prosedur. Besar kecilnya tarif yang
muncul dalam software INA-CBG’s ditentukan oleh Diagnosis dan
Prosedur. Kesalahan penulisan diagnosis akan mempengaruhi tarif. Tarif
bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Diagnosis dalam kaidah CBG’s,
harus ditentukan diagnosa utama dan diagnosis penyerta. Diagnosa
penyerta terdiri dari Komplikasi dan Komorbiditas. Diagnosis penyerta
juga dapat mempengaruhi besar kecilnya tarif, karena akan mempengaruhi
tingkat keparahan yang diderita oleh pasien. Logikanya, pasien yang
dirawat terjadi komplikasi, maka akan mempengaruhi lama perawatan di
Rumah Sakit. Jika lama perawatan bertambah lama dibanding tidak terjadi
komplikasi, maka akan menambah jumlah pembiayaan dalam perawatan.
Jika terdapat lebih dari satu diagnosis maka dipilih satu diagnosis yang
paling banyak menggunakan sumber daya (Sumber Daya Manusia, bahan
habis pakai, peralatan medik, tes pemeriksaan, dan lainnya). 26,27

30
III.1.3. Penerapan Clinical Pathway

Prinsip pelaksanaan casemix adalah untuk efisiensi pembiayaan


pelayanan kepada pasien, untuk dapat mencapai itu perlu ada standarisasi
pelayanan terhadap pasien sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk itu
untuk mengurangi biaya pelayanan, Rumah Sakit berusaha mencari
strategi yang terbaik untuk menghemat utilisasi namun memperbaiki
kualitas pelayanan (quality of care). Clinical Pathway merupakan salah
satu komponen analisa biaya yang tidak digunakan untuk memperkirakan
tarif melainkan untuk mengatur beban biaya (berkaitan langsung dengan
standarisasi Length of Stay).25

Terdapat beberapa definisi clinical pathway, yaitu:25,26,28


a. Menurut European Pathways Association (EPA) I pada Kongres di
Slovenia, Desember 2005; Clinical Pathways adalah metodologi
dalam cara mekanisme pengambilan keputusan terhadap layanan
pasien berdasarkan pengelompokan dan dalam periode waktu
tertentu.
b. Menurut Firmanda; Clinical Pathway merupakan perencanaan
pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan
kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan
keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan
dalam jangka waktu tertentu selama di Rumah Sakit.
c. Menurut Dr. Denise Kitchiner (konsultan kardiologi dari Royal
Liverpool Childrens NHS Trust); Clinical Pathways adalah
pelayanan medis yang berpihak pada pasien dan yang
menguntungkan bagi pasien, keluarga bahkan kepada team work,
memberi peluang untuk melaksanakan evaluasi serta proses
perbaikan pelayanan medis yang terus menerus.
d. Menurut Rahma; clinical pathway adalah alur yang menunjukkan
secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk
hasil yang diharapkan.

31
Dapat disimpulkan bahwa clinical pathway adalah suatu konsep
perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang
diberikan kepada pasien mulai masuk sampai keluar Rumah Sakit
berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan
standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya, yang berbasis bukti dengan
hasil yang dapat diukur dan dalam jangka tertentu selama di Rumah Sakit.
Beberapa istilah lain dari clinical pathway adalah critical care pathway,
integrated care pathway, coordinated care pathway, Caremaps®, atau
anticipated recovery pathway 25,28

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS (konsultan dari PMPK FK UM),


terdapat sekitar tujuh tujuan utama implementasi clinical pathway yaitu:28
1. Memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek.
2. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan
penggunaan prosedur klinik yang seharusnya.
3. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda
dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar
dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang
lebih sedikit.
4. Memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai
tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran
mereka dalam proses tersebut.
5. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa
data proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui
seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan standar.
6. Mengurangi beban dokumentasi klinik.

7. Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada


pasien (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat
tentang rencana pelayanan).

32
Adapun keuntungan dari clinical pathway adalah:25
1. Mendukung pengenalan evidence-based medicine dan penggunaan
pedoman klinis.
2. Meningkatkan komunikasi antar disiplin, kerjasama tim dan
perencanaan perawatan.
3. Menyediakan standar yang jelas dan baik untuk pelayanan.
4. Membantu mengurangi variasi dalam perawatan pasien (melalui
standar).
5. Meningkatkan proses manajemen sumber daya.
6. Menyokong proses quality improvement secara berkelanjutan.
7. Membantu dalam proses audit klinis.
8. Meningkatkan kolaborasi antar dokter dan perawat.
9. Meningkatkan peran dokter dalam perawatan.

Secara konvensional, clinical pathway ditulis dalam bentuk formulir


matrix dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu pelayanan di sisi
yang lain (Gambar 1).

Gambar 1. Formulir Clinical Pathway.28

33
Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi
klinik harian, namun hal ini dapat berbeda tergantung dari perjalanan dan
perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical
pathway untuk penyakit kronis mungkin memiliki interval waktu minggu
atau bulanan). Umumnya clinical pathway dikembangkan untuk diagnosa
atau tindakan yang sifatnya “high-volume”, “high-risk” dan “high-cost”.28

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, berbagai proses dapat dilakukan


untuk menyusun clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa
tahap sebagai berikut:28
1. Pembentukan tim penyusun clinical pathway.
Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisiplin dari semua
tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari
dukungan dari konsultan atau institusi di luar Rumah Sakit seperti
organisasi profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk menentukan
dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical pathway.

2. Identifikasi key players.


Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang
terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah
ditetapkan dan untuk merencanakan focus group dengan key players
bersama dengan pelanggan internal dan eksternal.

3. Pelaksanaan site visit di Rumah Sakit.


Pelaksanaan site visit di Rumah Sakit bertujuan untuk mengenal praktik
yang sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan
memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu disusun. Jika
diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit
eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner
benchmarking.

34
4. Studi literatur.
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu
dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat
dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya menghasilkan laporan
dan rekomendasi tertulis.

5. Diskusi kelompok terarah.


Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD)
dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan
eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan Rumah Sakit dalam
memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk mengenal kesenjangan antara
harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut, diskusi
kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam
pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan
pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.

6. Penyusunan pedoman klinik.


Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan
hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil
diskusi kelompok terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam
bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.

7. Analisis bauran kasus.


Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting
baik pada saat sebelum dan setelah penerapan clinical pathway.
Meliputi length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan,
tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis
yang terlibat dan komplikasi.

8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.


Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan
mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan
skala kesehatan pasien (wellness indicator).

35
9. Mendisain dokumentasi clinical pathway.
Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format
clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk pengisian.
Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu
mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi Rekam Medik untuk melihat
kesesuaian dengan dokumentasi lain.

Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum


akhirnya diimplementasikan di Rumah Sakit. Saat uji coba, dilakukan
penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan
pelatihan kepada para staf untuk menggunakan clinical pathway tersebut.
Lebih lanjut, perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran
mengapa praktek di lapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam
clinical pathway. Hasil analisis digunakan untuk mengidentifikasi variasi
umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien
yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki
clinical pathway dengan menyetujui perubahan dan mengidentifikasi
aspek-aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat
menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah
untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi yang dapat dicegah
(variasi yang tidak dapat dicegah berasal dari penyakit penyerta yang
menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).28

Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien benar-


benar mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga
biaya yang dikeluarkan pun dapat sesuai denga perawatan yang diterima
dan hasil yang diharapkan. Adanya clinical pathway juga dapat membantu
dokter saat melakukan perawatan. Rincian tahapan-tahapan perawatan
pasien yang tertera dalam clinical pathway dapat menjadi panduan dokter,
termasuk dalam menentukan pemeriksaan laboratorium yang
dibutuhkan.28

36
III.2. Jasa Pelayanan / Cost Dasar Parameter Laboratorium

III.2.1. Tarif Pelayanan

Pengertian tarif tidaklah sama dengan harga. Sekalipun keduanya


menunjuk pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh
barang. Sekalipun perbedaan antara tarif dan harga cukup jelas, namun
bagi kebanyakan anggota masyarakat masih sulit mengerti. Terlepas dari
adanya perbedaan pengertian tersebut, peranan tarif dalam pelayanan
kesehatan memang amat penting. Untuk dapat menjamin kesinambungan
pelayanan, setiap sarana kesehatan harus dapat menetapkan besarnya tarif
yang dapat menjamin total pendapatan yang lebih besar daripada total
pengeluaran.29

Penyelenggaraan upaya kesehatan termasuk pembiayaan menjadi


tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Menurut Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, adanya tarif biaya pelayanan
dibenarkan, asalkan setiap institusi pelayanan kesehatan tetap menjalankan
fungsi sosial bagi masyarakat yang tidak mampu. Di Indonesia, untuk
meningkatkan kesehatan rakyatnya yang sebagian besar tidak mampu,
Pemerintah menenentukan tarif yang rendah dan bahkan gratis untuk
beberapa pelayanan kesehatan. Rumah Sakit sebagai salah satu lembaga
pelayanan kesehatan agar tetap eksis dalam memberikan pelayanan baik
bagi golongan yang mampu dan kurang mampu, agar dapat mengambil
langkah yang bijak seperti dengan adanya subsidi silang dari satu
pelayanan kesehatan ke pelayanan yang lain sehingga misi sosial Rumah
Sakit dapat tetap berjalan.29

Dalam keanekaragaman pemilihan institusi pelayanan kesehatan


yang ada di negara berkembang termasuk Indonesia, tarif yang ada
seringkali besarnya jauh di bawah unit cost yang sesungguhnya atau tidak
sesuai dengan kemampuan membayar masyarakat sehingga di satu sisi
masyarakat tidak mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan.29
37
Untuk dapat menetapkan tarif pelayanan yang dapat menjamin total
pendapatan yang lebih rendah dari total pengeluaran, banyak faktor yang
perlu diperhitungkan, secara umum dapat dibedakan atas 4 (empat)
macam, yaitu :29

1. Biaya investasi (investment cost)


Biaya investasi yang terpenting adalah biaya pembangunan gedung,
pembelian peralatan medis dan non medis, serta biaya pendidikan dan
pelatihan tenaga pelaksana. Tergantung dari besarnya biaya investasi,
break even point, jangka waktu pengembalian modal (return of
investment) serta perhitungan masa kadaluarsa (depreciation period)
maka tarif pelayanan masing-masing sarana kesehatan dapat berbeda.

2. Biaya kegiatan rutin (operational cost)


Untuk sebuah laboratorium, biaya kegiatan rutin yang dimaksud
mencakup semua biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan
berbagai kegiatan. Jika ditinjau dari kepentingan pemakai jasa
pelayanan, maka biaya kegiatan rutin ini dapat dibedakan atas dua,
yaitu:
a. Biaya untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan (direct cost). Mencakup tindakan
yang dilakukan dan peralatan yang digunakan. Semakin sulit
tindakan dan semakin canggih peralatan, maka tarif pelayanan
kesehatan tersebut umumnya lebih tinggi.
b. Biaya untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan (indirect cost). Ke dalam biaya
ini termasuk gaji karyawan, pemeliharaan bangunan dan
peralatan, pemasangan rekening listrik, air dan sebagainya.

3. Biaya rencana pengembangan


Biaya ini mencakup rencana perluasan bangunan, penambahan
peralatan, penambahan jumlah dan peningkatan pengetahuan serta
keterampilan atau rencana penambahan jenis pelayanan.

38
4. Besarnya target keuntungan
Hal ini tergantung dari filosofi yang dianut pemilik laboratorium,
besarnya target keuntungan yang diharapkan tersebut sangat
bervariasi.

III.2.2. Konsep Biaya

Menurut Mulyadi dan Supriyono, biaya dalam arti luas adalah


pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang
terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu berupa
objek biaya (segala sesuatu yang menjadi tujuan pembebanan biaya,
misalnya berbagai jenis produk atau jasa dan konsumen). Sedangkan
menurut Gani dkk, biaya adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan
untuk memproduksi atau memperoleh suatu komoditi. Sedangkan menurut
Nadjib, biaya adalah nilai dari jumlah input (faktor produksi) yang dipakai
untuk menghasilkan suatu produk (output). Maka dapat disimpulkan
bahwa biaya adalah nilai dari sejumlah faktor produksi (input) yang
dipakai untuk menghasilkan sebuah produk (output). Input bisa diartikan
berupa uang, barang, tenaga, waktu maupun kesempatan. Output dapat
berupa barang atau jasa pelayanan. Dalam bidang kesehatan, produk yang
dihasilkan adalah jasa pelayanan kesehatan.29,30

Untuk keperluan analisis biaya, biaya dikelompokkan menjadi: 29,30

1. Berdasarkan pengaruh pada perubahan skala produksi :


a. Biaya tetap atau fixed cost (FC)
Merupakan biaya yang secara relatif tidak dipengaruhi oleh
besarnya jumlah produksi (output). Biaya ini harus tetap
dikeluarkan terlepas dari persoalan apakah pelayanan diberikan
atau tidak. Contohnya adalah biaya gedung yang besarnya tidak
akan berubah berapapun jumlah pasien yang dilayaninya.

39
Gambar 2. Biaya Tetap.31

Biaya ini dapat dipecah lagi menjadi :


- Commited Fixed Cost.
Merupakan biaya yang tetap dikeluarkan, yang tidak dapat
dikurangi guna mempertahankan kemampuan perusahaan di
dalam memenuhi tujuan-tujuan jangka panjangnya, misalnya
biaya depresiasi, pajak bumi dan bangunan, sewa asuransi.

- Discretionary Fixed Cost.


Sering juga disebut dengan istilah managed atau kegiatan.
Misalnya biaya riset dan pengembangan, biaya program
latihan karyawan, biaya konsultan, biaya promosi. Biaya ini
dapat dihentikan sama sekali pengeluarannya atas kebijakan
manajemen. Biaya ini tidak dapat dihubungkan dengan
keluarannya karena tidak ada hubungan antara masukan
dengan keluaran, atau adanya perbedaan waktu keluaran
yang diperoleh dengan biaya yang dikorbankan untuk
memperoleh keluaran. Misalnya biaya pelatihan karyawan
sulit diukur keluarannya secara kuantitatif, sehingga sulit
untuk menentukan jumlah yang optimum untuk biaya
pelatihan karyawan.

40
b. Biaya tidak tetap atau variabel cost (VC)
Merupakan biaya yang dipengaruhi oleh banyaknya output.
Disebut juga biaya rutin, karena besarnya volume produksi
direncanakan secara rutin.

Gambar 3. Biaya Tidak Tetap.31

Biaya ini dapat dipecah lagi menjadi :


- Engineered Variabel Cost
Merupakan biaya yang antara masukan dan keluarannya
mempunyai hubungan erat dan nyata. Jika masukan (biaya)
berubah maka keluaran akan berubah sebanding dengan
perubahan masukan tersebut, dan demikian pula sebaliknya.
Contohnya adalah biaya bahan baku.

41
- Discretionary Variabel Cost
Merupakan biaya yang masukan dan keluarannya memiliki
hubungan erat namun tidak nyata (bersifat artifisial). Jika
keluaran berubah maka masukan akan berubah sebanding
dengan perubahan keluaran tersebut. Namun jika masukan
berubah, keluaran belum tentu berubah sesuai dengan
perubahan masukan tersebut. Misal, biaya promosi yang
ditetapkan oleh manajemen puncak sebesar 2% dari hasil
penjualan akan berubah sebanding dengan perubahan volume
penjualan. Oleh karena biaya ini berperilaku variabel atas
kebijakan manajemen (tidak berperilaku variabel secara
nyata) maka jika biaya promosi dinaikkan belum tentu akan
mengakibatkan kenaikan volume penjualan.

c. Biaya total atau total cost (TC)


Biaya total merupakan jumlah dari biaya tetap dan variabel.

Rumus : TC = FC + VC

2. Berdasarkan lama penggunaan :

a. Biaya investasi (investment cost)


Adalah biaya yang kegunaannya dapat berlangsung dalam waktu
yang relatif lama (lebih dari satu tahun). Nilai barang investasi
dalam analisis biaya harus memperhitungkan jumlah dan harga
satuan masing-masing jenis barang investasi serta umur ekonomi
barang tersebut. Biaya investasi biasanya berhubungan dengan
pembangunan atau pengembangan infra struktur fisik dan
kapasitas produksi. Contohnya pembangunan gedung, kendaraan,
alat medis/non medis, pendidikan staf dan lain-lain.

42
b. Biaya operasional (operational cost)
Merupakan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
dalam suatu proses produksi dan memiliki sifat habis pakai dalam
kurun waktu kurang dari satu tahun dan dikeluarkan secara
berulang-ulang. Contoh: biaya air, listrik, telepon, gaji pegawai.

c. Biaya pemeliharaan (maintenance cost)


Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan nilai
suatu barang investasi agar terus berfungsi. Konsep yang sering
digunakan bersamaan dengan biaya operasional. Contohnya
adalah biaya pemeliharaan gedung dan pemeliharaan kendaraan.

3. Biaya langsung dan tak langsung :


a. Biaya langsung (direct cost)
Merupakan biaya yang dikeluarkan oleh unit yang langsung
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau biaya yang
dikeluarkan pada unit produksi, seperti laboratorium. Yang
termasuk dalam biaya langsung adalah :
 Biaya bahan reagen, bahan penunjang.
 Biaya sarana investasi, listrik, air, dan lainnya.
 Biaya pemeliharaan gedung, alat, dan fasilitas lain.
 Biaya jasa pelayanan.
 Biaya gaji pegawai laboratorium.
 Biaya makan pegawai laboratorium.
 Biaya pengembangan sumber daya manusia laboratorium.
 Biaya operasional lain di laboratorium.

b. Biaya tak langsung (indirect cost)


Biaya yang dikeluarkan pada unit yang tidak langsung
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau biaya yang
dikeluarkan pada unit penunjang (contoh: kantor direksi, bagian
administrasi, bagian keuangan, bagian rumah tangga).

43
Yang termasuk dalam tidak langsung adalah :
 Biaya gaji bagian direktorat
 Biaya makan direksi
 Biaya pengembangan sumber daya manusia direksi
 Biaya air, listrik, telepon yang bukan di laboratorium
 Biaya operasional lain yang bukan di laboratorium.

4. Biaya satuan (unit cost)


Yaitu biaya yang dihitung untuk satu satuan produk (pelayanan).
Untuk menghitung biaya satuan ini perlu dilihat apakah pusat biaya
produksi tersebut menghasilkan output yang homogen atau
heterogen. Laboratorium merupakan salah satu pusat biaya produksi
yang produknya heterogen (lebih dari satu jenis). Dimana biaya
satuan diperoleh setelah didapat biaya total (total cost) dan
kemudian dibagi dengan Relative Value Unit (RVU), dimana RVU
merupakan hasil perkalian antara harga reagen (reagent cost) dan
jumlah pemeriksaan (output).

5. Biaya kesempatan (opportunity cost)


Yaitu biaya yang terjadi dari satu kesempatan yang hilang akibat
melakukan suatu pilihan kegiatan.

6. Biaya penyusutan (depreciation cost)


Yaitu biaya yang timbul akibat terjadinya pengurangan nilai barang
investasi (asset) sebagai akibat penggunaannya dalam proses
produksi, seperti karena kerusakan fisik atau karena makin usang.
Dalam hubungannya dengan biaya penyusutan, perhitungan biaya
investasi biasanya dilakukan untuk kurun waktu satu tahun /
disetahunkan (Annualized Investment Cost atau Annualiazed Fixed
Cost) dengan memasukkan nilai inflasi, masa pakai barang dan umur
pakai barang (umur ekonomis).

IIC ( I + i )t
Rumus perhitungan: AIC =
L
44
Keterangan:
AIC = Annualized Investment Cost
IIC = Innitialized Investment Cost (Harga Beli)
I = laju inflasi
t = masa pakai
L = Life Time (perkiraan masa pakai)

III.2.3. Analisa Biaya

Perhitungan biaya satuan (unit cost) adalah salah satu tujuan akhir
dari analisis biaya. Dalam akuntansi, khususnya dalam bidang analisis
biaya ada berbagai metode yang saat ini berkembang; seperti metode satu
langkah, dua langkah, metode Reciprocal, metode Double Distribution,
metode Activity Based Costing, dan metode Real Cost. Perbedaan metode
analisis biaya tersebut pada intinya bertujuan pada bagaimana cara
menentukan alokasi terhadap biaya yang terjadi. Berikut adalah penjabaran
dari masing-masing metode analisa biaya:30

1. Metode Satu Langkah, Dua Langkah, dan Metode Reciprocal

Aplikasi dari ketiga metode ini tidak didasari pada ide untuk
membangun sistem akuntansi biaya tetapi hanya bertujuan untuk
menghasilkan informasi biaya. Karena itu hasil analisisnya akan bias
dan tidak ada usaha untuk mengembangkan sistem akuntansi biaya
di masa datang.

Metode satu langkah adalah setiap biaya pusat pelayanan


pendukung dialokasikan pada beberapa pusat layanan utama yang
menggunakan pelayanannya, tetapi tidak untuk pusat pelayanan
yang lain. Misal, di sebuah Rumah Sakit housekeeping akan
dialokasikan untuk Dokter Anak, Dokter Bedah, dan lain-lain atas
dasar ruangan. Tetapi metode ini gagal untuk mengenali bahwa
beberapa pusat layanan menyediakan layanan untuk pusat layanan
lain; misalnya housekeeping membersihkan instalasi rekam medis.

45
Metode dua langkah memperbaiki kekurangan metode satu
langkah yaitu biaya pusat layanan dialirkan ke pusat layanan
pendukung lain dan ke pusat layanan utama yang menggunakan
basis pengalokasian tertentu. Biasanya tahap ini dimulai dengan
pusat pelayanan pendukung yang melayani beberapa pusat
pelayanan lain di dalam organisasi dan membagikan biaya ke pusat-
pusat biaya sisanya. Kemudian diteruskan dengan pusat-pusat
layanan lain dengan menggunakan model seperti metode satu
langkah.

Metode reciprocal adalah metode yang menggunakan


persamaan simultan untuk menghitung dan mengalokasikan setiap
biaya pusat layanan pendukung atas dasar penggunaan layanan
tersebut oleh semua pusat layanan lainnya, tidak hanya oleh pusat
layanan yang ada di bawahnya. Dalam metode ini akuntan
melakukan 3 aktivitas yang berbeda dalam usaha akuntansi biaya.
Pertama, mendefinisikan pusat biaya. Kedua, memasukkan setiap
biaya ke dalam pusat biaya pusat layanan utama dan pusat layanan
pendukung. Hal ini mudah dilakukan terhadap biaya langsung,
namun lebih rumit bila dilakukan dengan biaya tidak langsung.
Aktivitas terakhir adalah mengalokasikan biaya pusat layanan
pendukung ke pusat layanan utama.

2. Metode Double Distribution

Metode ini pada dasarnya hampir sama dengan metode dua


langkah. Pada metode ini analisis diawali dengan membagi unit-unit
di Rumah Sakit ke dalam unit pendukung dan unit utama. Alokasi
biaya dimulai dengan membagi biaya-biaya di unit pendukung ke
unit pendukung lainnya, dan pada akhirnya ke unit utama. Alokasi
dilakukan hingga semua biaya di unit pendukung habis. Cara analisis
metode ini memperlihatkan banyak keterbatan yang dapat
mengakibatkan hasil analisis akan bias.

46
3. Metode Activity-Based Costing (Analisis Berdasarkan Aktivitas/ABC)

Metode ini sebenarnya merupakan metode terbaik dari berbagai


metode analisis biaya yang ada. Metode ini memiliki prasyarat yang
mengharuskan sistem yang sangat baik dan terkomputerisasi,
sehingga metode ini sulit dilakukan di Rumah Sakit di Indonesia.
Ada dua anggapan penting yang mendasari sistem ABC, yaitu
aktivitas menyebabkan timbulnya biaya dan produk (pelanggan)
menyebabkan timbulnya permintaan atas aktivitas.

Sistem ABC berawal dari anggapan bahwa sumber daya


pembantu atau sumber daya tidak langsung menyediakan
kemampuan untuk melaksanakan aktivitas, bukan sekedar
menyebabkan timbulnya biaya yang harus dialokasikan. Untuk
membuat produk, diperlukan berbagai aktivitas, dan setiap aktivitas
memerlukan sumber daya untuk pelaksanaan. Biaya berdasar
aktivitas membebankan biaya ke produk dan jasa berdasar sumber
daya yang dikonsumsi. Sistem ini mengidentifikasi biaya aktivitas
dan melacak aktivitas-aktivitas ke produk atau jasa tertentu yang
memotivasi terjadinya aktivitas, misalnya penggunaan obat-obatan
dan lain-lain.

4. Metode Real Cost

Secara umum, hasil analisis metode real cost adalah penentuan


harga pokok produk atau jasa, pengendalian biaya (berhubungan
dengan anggaran), pengambilan keputusan khusus, dan
pengidentifikasian sistem akuntansi biaya. Dalam analisis biaya
berdasarkan metode real cost dengan menggunakan konsep biaya
langsung dan biaya tidak langsung.

47
Analisis biaya berguna untuk:29
- Mengetahui struktur biaya menurut jenis dan lokasi biaya itu
ditempatkan. Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan
mengendalikan biaya yang dikeluarkan.
- Analisis biaya juga berguna untuk mengetahui biaya satuan. Hal ini
sangat berguna dalam memutuskan besarnya tarif pelayanan yang
diberikan sehingga dapat diperkirakan pada tarif berapa suatu
pelayanan memperoleh keuntungan, merugi atau impas (break even
point).
- Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun anggaran.

Dalam analisa biaya, terdapat 4 (empat) langkah dasar yang harus


ditempuh, yaitu:29

1. Identifikasi biaya.
Umumnya pusat biaya itu dapat dikelompokkan menjadi pusat
biaya produksi dan pusat biaya penunjang (bagian administrasi,
dapur, cuci, laundry).

2. Pengumpulan data biaya.


Data biaya dikumpulkan dari semua sumber yang ada, baik dari
laporan keuangan maupun perincian biaya di setiap pusat biaya.
Data biaya diuraikan dalam komponen-komponen biaya. Misalnya
biaya personil, pemeliharaan, investasi. Keberhasilan pengumpulan
data sangat tergantung pada sistem perencanaan dilaksanakan di
Laboratorium tersebut.

3. Perhitungan biaya asli.


Perhitungan besarnya biaya asli diperoleh dari setiap unit
penunjang dan unit produksi yang diuraikan menurut jenis biaya
(investasi dan operasional) dan komponen-komponennya.
Komponen biaya investasi di antaranya biaya untuk gedung, alat
medis, kendaraan. Komponen biaya operasional antara lain biaya

48
untuk gaji/honor, obat, bahan habis pakai/non obat. Biaya asli setiap
unit dihitung untuk semua biaya yang telah digunakan waktu tertentu
biasanya selama satu tahun.

4. Pendistribusian biaya.
Biaya asli setiap unit penunjang dipindahkan ke setiap unit
produksi yang terkait. Pada dasarnya setiap unit penunjang akan
memindahkan biaya aslinya secara berbeda jumlahnya di unit
produksi terkait. Apabila seluruh biaya asli unit penunjang telah
dipindah ke unit produksi terakit maka tidak ada lagi biaya tersisa di
suatu unit penunjang pun. Dengan demikian, biaya akhir yang ada di
setiap akhir unit produksi adalah merupakan biaya asli unit produksi
itu sendiri ditambah dengan biaya pindahan dari unit penunjang.
Untuk mendapatkan biaya satuan pelayanan, maka biaya akhir / total
di suatu unit pelayanan tersebut akan dibagi dengan jumlah
pelayanan yang diberikan selama satu tahun yang sama.

Dua langkah penting dalam melakukan pendistribusian biaya,


yaitu:29

1. Melakukan identifikasi hubungan / kaitan antar unit penunjang


dan antara penunjang dengan unit produksi.

2. Menentukan ukuran dasar alokasi yang akan digunakan, artinya


kalau ingin mengalokasikan biaya dari bagian administrasi ke
unit lainnya, maka tentukan dahulu ukuran dasar yang akan
dipakai, dalam hal ini bisa jumlah pegawai. Dengan demikian
setiap alokasi biaya (investasi dan operasional) dari bagian
administrasi akan dibagikan/dialokasikan dengan menggunakan
jumlah seluruh pegawai sebagai penyebut dan jumlah pegawai
di unit yang bersangkutan sebagai pembilang.

49
III.2.4. Penghitungan Unit Cost

Penghitungan unit cost merupakan salah satu dari prinsip analisis


biaya yang dilakukan untuk melihat apakah perhitungan sudah sesuai
dengan misi lembaga tersebut (profit atau sosial). Dengan menghitung
biaya satuan (unit cost) diharapkan dapat menetapkan suatu tarif
laboratorium yang sesuai. Biaya satuan (unit cost) adalah biaya yang
dihitung untuk satu satuan produk pelayanan yang merupakan hasil
pembagian antara biaya total (total cost) dan besarnya RVU (Relative
Value Cost).29,32

Rumus unit cost adalah :33

Harga Satuan (Unit Cost) = biaya bahan + jasa pelayanan + biaya sarana

Yang termasuk dalam biaya bahan adalah:33


- Reagen
- Bahan kontrol (serum kontrol, lisat, strain kuman, bahan baku
standar
- Bahan kalibrasi
- Bahan habis pakai (kapas, alkohol, plester, spuit/vacutainer,
xylol, dan lainnya).

Dalam menentukan jasa pelayanan perlu diperhitungkan tingkat


kesulitan, waktu, resiko, dan profesionalitas.

Yang termasuk dalam biaya sarana adalah:33


- Biaya pegawai laboratorium (gaji, makan, insentif, lainnya)
- Biaya perawatan umum
- Peralatan laboratorium (investasi, pemeliharaan, kalibrasi)
- Listrik, air, telepon, dan lainnya

50
Tarif merupakan harga satuan yang ditambahkan dengan jasa lain.
Jasa lain yang dimaksud adalah biaya operasional yang belum tertampung
dalam harga satuan yang dihitung maksimal 10% dari harga satuan.

Untuk mempermudah langkah-langkah perhitungan unit cost,


digunakan beberapa formulir dalam menghitung biaya bahan, yaitu:33

a. Formulir untuk menghitung biaya bahan habis pakai di ruang


pengambilan spesimen selama 1 tahun

Jenis Bahan Jumlah Bahan


No Biaya
yang Diperlukan yang Diperlukan
1 Kapas
2 Spuit
Rp

Biaya bahan habis pakai tiap jenis pemeriksaan dapat dihitung


dengan total biaya dibagi jumlah seluruh pemeriksaan dalam 1
tahun.

b. Perhitungan biaya bahan di ruang pemeriksaan. Perhitungan ini


mencakup beberapa parameter berupa jenis pemeriksaan, metode,
reagen yang dipakai, volume, harga reagen per tetes, bahan habis
pakai di ruang periksa, bahan kontrol kalibrasi, bahan habis pakai
di ruang spesimen. Seluruh biaya ini akan ditotal.

Berikut adalah contoh perhitungan dari pemeriksaan darah rutin, tanpa


memasukkan biaya jasa pelayanan. Perlu diingat bahwa contoh ini
tidak selalu persis sama di setiap laboratorium, salah satunya karena
harga peralatan bergantung dari jumlah parameter. Semakin banyak
jumlah parameternya, semakin mahal harga sebuah alat. Keadaan
inflasi di suatu negara juga mempengaruhi biaya investasi. Selain itu,
jumlah pemeriksaan di suatu laboratorium dalam satu tahun juga tidak
mungkin sama. Keseluruhan ini akan mempengaruhi harga satuan
(unit cost) dan tarif.

51
Jumlah Pemeriksaan 1 tahun
1 Jumlah seluruh pemeriksaan 1 tahun 174.669
2 Jumlah pemeriksaan darah rutin dalam 1 tahun 31.422
Biaya Bahan
1 Harga reagen untuk 100 Rp 604.800,-
pemeriksaan kolesterol
Biaya reagen pemeriksaan Rp 604.800,-
Rp 7.560,-
(efisiensi 80%) 80
2 Biaya bahan habis pakai di ruang pemeriksaan Rp 106,-
3 Biaya bahan kontrol untuk 1 pemeriksaan Rp 600,-
4 Biaya bahan habis pakai di Rp 59.768.750,-
ruang sampling
Biaya bahan habis pakai di Rp 340,-
Rp 59.768.750,-
ruang sampling untuk setiap
174.669
pemeriksaan
7.560 + 106 + 600
Total Biaya Bahan Rp 8.606,-
+ 340
Biaya Sarana
1 Biaya pemakaian sarana Rp 66.075.000,-
2 Biaya pemeliharaan sarana Rp 58.345.000,-
3 Biaya diklat, honor, insentif Rp 90.396.000,-
4 Biaya investasi peralatan Rp 83.500.000,-
umum
Total biaya investasi di luar Rp 298.316.000,-
investasi peralatan laboratorium
Total Biaya Investasi di luar
Rp 298.316.000,- Rp 1.707,89
investasi peralatan lab untuk
174.669 ~ Rp 1.708,-
setiap pemeriksaan
5 Harga beli peralatan lab Rp 750.000.000,-
Masa pakai 1 tahun
Umur barang 10 tahun
750.000.000 (1+0,1)1
Biaya investasi peralatan Rp 82.500.000,-
10
Biaya tiap pemeriksaan Rp 82.500.000,- Rp 2.625,55
dengan alat pemeriksaan 31.422 ~ Rp 2.626,-
Harga satuan
8.606 + 1.708 + 2.626 Rp 12.940,-
pemeriksaan darah rutin
Jasa lain 10% x Rp 12.940,- Rp 1.294,-
Harga tarif pemeriksaan darah rutin
Rp 14.250,-
(pembulatan)

52
III.2.5. Jasa Pelayanan

Jasa pelayanan merupakan salah satu komponen dalam penentuan


tarif. Dalam penentuan besarnya jasa pelayanan, perlu dipertimbangkan
beberapa faktor yaitu tingkat kesulitan dari sebuah tindakan, waktu yang
diperlukan untuk melakukan tindakan, besarnya resiko dalam pengerjaan,
serta tingkat profesionalisme yang dibutuhkan.

Dalam menentukan tingkat kesulitan dari jasa pelayanan


laboratorium, perlu diperhatikan hal berikut:

1. Keterampilan (skill)  mikroskopis (hitung jenis, morfologi darah


tepi, sedimen urin), Hb elektroforesis, tes
agregasi trombosit, analisa gas darah, dan
lainnya.
2. Tes diagnosis  marker tumor hepar, pembacaan BMP, PCR, CD4.
3. Interpretasi spesifik  tes agregasi trombosit, Hb elektroforesis
4. Sertifikasi khusus  membaca BMP, tindakan BMP

Terdapat beberapa metode penentuan jasa pelayanan yang


diterapkan di Indonesia, yaitu :

1. Jasa pelayanan terhadap semua jenis pemeriksaan yang dihitung


berdasar pembobotan dengan memperhitungkan seluruh faktor yang
tercakup di dalamnya dengan pembuatan tabel:

Bidang Bobot Bobot Bobot Bobot Total


No Metode
Pemeriksaan Kesulitan Waktu Resiko Profesionalisme 4x5x6x7
1 2 3 4 5 6 7 8

53
Salah satu contoh penggunaan sistem ini adalah dengan
mengelompokkan hasil pembobotan jasa pelayanan (berkisar dari
rentang nilai 1-91) dalam 4 kelompok yaitu:
- Kelompok I : 1 - 25  jasa pelayanan Rp 500,-
- Kelompok II : 26 - 50  jasa pelayanan Rp 750,-
- Kelompok III : 51 - 75  jasa pelayanan Rp 1.000,-
- Kelompok IV : > 75  jasa pelayanan Rp 1.250,-

2. Pengelompokkan setiap jenis pemeriksaan dengan parameter jumlah


pemeriksaan dalam setahun dan tingkat kesulitan. Pengelompokkan
ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kebijakan di masing-masing
instalasi. Pengelompokkan yang paling sederhana adalah :
- Sederhana : mudah dikerjakan, jumlah pemeriksaan sangat
banyak.
- Sedang : tingkat pengerjaan sedang, jumlah pemeriksaan
cukup.
- Rumit : sulit dikerjakan (membutuhkan teknik tertentu),
jumlah pemeriksaan sedikit.

3. Penetapan besarnya persentasi jasa pelayanan terhadap jasa sarana


secara bulat. Salah satu sumber menyatakan jasa pelayanan dihitung
40% dari jasa sarana.

Pemilihan metode penentuan jasa pelayanan merupakan wewenang


dari masing-masing instalasi tergantung pada kondisi dan situasi yang
mereka hadapi. Setiap pemilihan metode penentuan dapat dimodifikasi
lebih lanjut.

Seperti telah disebutkan di atas, penentuan jasa pelayanan ini


merupakan salah satu upaya dalam menentukan tarif. Untuk Rumah Sakit
Pemerintah, besarnya rancangan tarif ini kemudian akan diajukan ke
Pemerintah Daerah setempat untuk diperundangkan secara baku dalam
bentuk Peraturan Daerah. Tarif ini yang kemudian akan menjadi dasar
pengklaiman terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berlaku.
54
BAB IV

STUDI KASUS

Dalam Bab ini akan diajukan satu contoh kasus yaitu kasus Demam Berdarah
Dengue pada anak dari sebuah Rumah Sakit tipe B di Jakarta. Pembahasan akan
menitikberatkan dalam pemeriksaan laboratorium dari kasus Demam Berdarah
Dengue pada anak dalam prinsip penyusunan Clinical Pathway sebagai dasar
penanganan dari kasus.

IV.1. Pemeriksaan Laboratorium untuk Demam Berdarah Dengue Menurut


Teori35

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, hemostasis


dan imunoserologi. Pemeriksaan hematologi yang penting adalah hitung
trombosit, hematokrit, dan hitung leukosit. Pada sediaan darah tepi sering
dapat dijumpai peningkatan limfosit plasma biru, yang walaupun tidak spesifik
untuk virus Dengue tetapi bila jumlahnya meningkat dapat mendukung
diagnosis.

Uji yang diperlukan untuk memastikan diagnosis etiologi infeksi virus


dengue meliputi pemeriksaan isolasi virus Dengue dan uji serologi untuk
mencari adanya kenaikan titer serum antibodi Dengue spesifik atau adanya
antigen virus spesifik atau RNA dalam jaringan atau serum.

Isolasi virus Dengue dari spesimen klinis dapat diperoleh dari sebagian
besar kasus. Spesimen harus diambil sebelum 4 hari setelah timbul gejala dan
diproses secepat mungkin. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus
meliputi serum fase akut, plasma atau lapisan leukosit setelah pemusingan

55
tabung darah (buffycoat) pasien yang telah dicuci (washed buffy coat), jaringan
otopsi yang diambil dari pasien yang meninggal, terutama hati dan limpa,
kelenjar getah bening, kelenjar timus dan nyamuk yang dikumpulkan di alam.

Terdapat lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk


mendiagnosis infeksi Dengue secara rutin, yaitu:
1. Uji hambatan hemaglutinasi (hemaglutinasi inhibition)
2. Uji fiksasi komplemen (complement fixation)
3. Uji netralisasi (neutralization test)
4. IgM Capture Enzymelinked Immunosorbent Assay (MAC ELISA)
5. Indirect IgG ELISA

Teknologi baru yang ada untuk melakukan uji laboratorium terhadap


infeksi Dengue meliputi imunohistokimia pada jaringan otopsi dan Polymerase
Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi RNA virus dalam jaringan atau
serum.

IV.2. Pemeriksaan Laboratorium dalam Clinical Pathway

Adapun pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam Clinical


Pathway ini adalah :36
- Hari Rawat 1 : pemeriksaan Hb, Ht, hitung trombosit, hitung leukosit,
urine/feces rutin.
- Hari Rawat 2 : pemeriksaan Hb, Ht, hitung trombosit, hitung leukosit.
- Hari Rawat 3 : pemeriksaan Hb, Ht, hitung trombosit, hitung leukosit.
- Hari Rawat 4 : pemeriksaan Hb, Ht, hitung trombosit, hitung leukosit,
IgG/IgM.
- Hari Rawat 5 : pemeriksaan Hb, Ht, hitung trombosit, hitung leukosit.

56
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
SMF KESEHATAN ANAK
DEMAM BERDARAH DENGUE
2006
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
.................................... ................... ...................kg ....................cm
Kode ICD
Rencana rawat : 5 hari
Diagnosis Awal:.................................. 10:..............................
R. Rawat Tgl/Jam Masuk Tgl/Jam Keluar Lama Rwt Kelas Tarif/hr(Rp) Biaya (Rp)
Aktivitas ........... ....................... ......................... ...........hari ......... ................... ...................
Pelayanan Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5
Hari Sakit.... Hari Sakit...... Hari Sakit...... Hari Sakit...... Hari Sakit.......
Diagnosis :
Penyakit
Utama .................. .................. ..................... ..................... ....................
Penyakit
Penyerta .................. .................. ..................... ..................... ....................
Komplikasi .................. .................. ..................... ..................... ....................
Assessmen Klinis:
Pemeriksaan
Dokter .................. .................. ..................... ..................... .................... ..................
Konsultasi .................. .................. ..................... ..................... .................... ..................
Darah Rutin,
Pemeriksaan Urine / Feces, Darah Rutin,
Darah Rutin Darah Rutin Darah Rutin
Penunjang NS1*, tes IgG/IgM
koagulasi* ..................
*) Usulan penulis

Pada ilustrasi kasus di atas, pemeriksaan yang sebenarnya dimasukkan ke


dalam clinical pathway hanyalah darah rutin dan urine/feces rutin untuk
hari pertama.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat


(Jamkesmas) tahun 2008, tarif pemeriksaan laboratorium paket pasien
Rawat Inap bagi Rumah Sakit tipe B sebesar Rp 28.000,- yang termasuk
pemeriksaan darah, urine dan feces. Jenis pemeriksaan darah meliputi
pemeriksaan Hb, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,
trombosit, LED, retikulosit, VER/HER/KHER, eosinofil, masa
pembekuan, masa perdarahan, percobaan pembendungan, retraksi bekuan,
malaria, golongan darah, dan trombosit. Sedangkan untuk pemeriksaan
yang tidak tercakup dalam paket tersebut, maka akan dikenakan tarif
tambahan. Pemeriksaan serologi Dengue Blot IgG dan IgM adalah sebesar
Rp 45.000,- untuk masing-masing pemeriksaan, tarif untuk pemeriksaan
APTT adalah Rp 20.000,-; pemeriksaan D-dimer sebesar Rp 25.000,-;
pemeriksaan PT sebesar Rp 30.000,-.37

57
Dengan pemeriksaan sesuai dengan Clinical Pathway di atas, dapat
dihitung biaya jasa pelayanan laboratorium sebesar :
- Rawat Hari I
Klaim = Rp 28.000,-
Unit Cost Darah Rutin = Rp 14.000,-
Unit Cost Urin Rutin = Rp 5.000,-
Unit Cost Faeces Rutin = Rp 3.000,-
Jasa Pelayanan Laboratorium = Rp 6.000,-

- Rawat Hari II
Klaim = Rp 28.000,-
Unit Cost Darah Rutin = Rp 14.000,-
Jasa Pelayanan Laboratorium = Rp 14.000,-

- Rawat Hari III


Klaim = Rp 28.000,-
Unit Cost Darah Rutin = Rp 14.000,-
Jasa Pelayanan Laboratorium = Rp 14.000,-

- Rawat Hari IV
Klaim = Rp 118.000,-
Unit Cost Darah Rutin = Rp 14.000,-
Unit Cost Dengue Blot = Rp 60.000,-
Jasa Pelayanan Laboratorium = Rp 44.000,-

- Rawat Hari V
Klaim = Rp 28.000,-
Unit Cost Darah Rutin = Rp 14.000,-
Jasa Pelayanan Laboratorium = Rp 14.000,-

Total Jasa Pelayanan Laboratorium = Rp 92.000,-

Sebagai perbandingan, jasa konsultasi per visit dokter klinisi di


bangsal berkisar Rp 20.000,- hingga Rp 35.000,-. Dengan 5 hari
rawat, maka klinisi sudah mendapatkan jasa antara Rp 100.000,-
hingga Rp 165.000,-.
58
BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, suatu Negara


perlu melakukan beberapa usaha perlindungan yang dapat memberikan rasa
aman bagi warganya. Pemerintah negara Indonesia menyadari betul pentingnya
jaminan kesehatan bagi rakyatnya dikarenakan kesehatan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia. Untuk itulah Pemerintah membentuk sistem jaminan
sosial di bidang kesehatan. Sistem jaminan kesehatan yang saat ini berlaku
ternyata belum mampu merangkul seluruh rakyat. Atas dasar inilah,
Pemerintah mengadakan pembaharuan dengan membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuan dari pembentukan sistem ini
adalah untuk memperbaiki sistem yang telah berjalan selama ini dan
memperluas jumlah penduduk yang tercakup di dalamnya.

Untuk menjamin penyelenggaraan yang lebih baik, telah ditetapkan


pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial melalui Undang-Undang No.
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dalam UU ini,
telah ditentukan pembentukan 2 BPJS yang bergerak di bidang kesehatan dan
ketenagakerjaan. BPJS di bidang kesehatan akan dipegang oleh PT Askes
(Persero) yang akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan akan
mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2014. Perubahan nyata dari pergeseran
sistem jaminan kesehatan ini termasuk di dalamnya sistem kepesertaan wajib
yang memungkinkan sistem jaminan kesehatan ini merangkul seluruh warga
negara Indonesia.

59
Hingga saat ini, peraturan perundangan yang menunjang UU BPJS ini
masih belum selesai dibahas. Sehingga belum ada kejelasan mengenai alur
pembayaran dari peserta jaminan kesehatan maupun sistem pembayaran
kepada pihak penyelenggara jaminan kesehatan (Rumah Sakit dan pusat
pelayanan kesehatan lainnya). Wacana terbaru yang beredar di kalangan tenaga
medis adalah pemberlakuan sistem INA-CBG’s yang saat ini diterapkan untuk
program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dengan landasan Clinical
Pathway. Diperlukan tim multidisiplin yang terdiri dari klinisi yang umumnya
bertindak sebagai Dokter Penanggung Jawab Pasien dan spesialis di bidang
pemeriksaan penunjang. Kesepakatan untuk setiap penyakit dari tim inilah
yang kemudian akan dituangkan dalam bentuk Clinical Pathway.

Pelayanan laboratorium merupakan salah satu jenis layanan yang tidak


mungkin dihilangkan dalam Clinical Pathway, dikarenakan fungsi pelayanan
laboratorium yang mencakup skrining, penentuan diagnosis, serta evaluasi
terapi. Untuk itu, perlu ditentukan jasa pelayanan laboratorium yang sesuai
dalam persiapan pemberlakuan BPJS I di bidang kesehatan, untuk menjamin
laboratorium tidak mengalami kerugian dan untuk itu proses pelayanan akan
terjamin kesinambungannya.

V.2. Usulan

1. Pemerintah perlu segera membentuk dan mensosialisasikan peraturan


perundangan yang menunjang pelaksanaan SJSN dan BPJS mengingat
singkatnya sisa waktu untuk pelaksanaan BPJS I di bidang kesehatan.

2. Rumah Sakit perlu segera membentuk tim multidisiplin untuk membahas


Clinical Pathway yang akan diajukan sebagai dasar penentuan tindakan
medis dan penentuan jasa pelayanan yang termasuk di dalamnya
pelayanan laboratorium.

3. Perlu disepakati besarnya jasa pelayanan di kalangan spesialis Patologi


Klinik berdasarkan clinical pathway.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulastomo. Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kompas. 2011

2. Triwibowo, Cecep. Analisis Perubahan Jaminan Kesehatan Masyarakat


(Jamkesmas) Menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). 2010. Diakses
dari: http://wibowomedia.blogspot.com/2010/03/analisis-perubahan-jaminan-
kesehatan.html pada tanggal 4 April 2013.

3. Thabrany, H. Sakit, Pemiskinan, dan MDGs. Jakarta: PT. Kompas. 2009.

4. Mukti, A.G. SJSN, Program Idealis Miskin Operasional. Jakarta: Suara


Pembaruan. 2009.

5. Mukti, A.G. Pengembangan Jaminan Pembiayaan Kesehatan Dalam Konteks


Kesejahteraan Minimum: Studi Kasus Di Indonesia. Dipaparkan dalam
Seminar Nasional “Kesejahteraan Sosial Minimum” Dalam Rangka Dies
Natalies Ke 60 UGM. 2009.

6. Tantanate, Chaicharoen, Navapun Charuruks. Cost Analysis in Clinical


Laboratory in Thailand. Dalam: Siriraj Med Journal, Vol. 59. Bangkok. 2007.

7. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.


Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia (Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi RI). Jakarta. 2006.

8. International Labor Organization. Social Security and Coverage for All:


Restructuring the Social SecurityScheme in Indonesia – Issues and Options,
Jakarta. 2009.

9. Standing D. Unemployment and Income Security, ILO, Geneva, June 2000.

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional.

11. Purwoko, Bambang. Jaminan Sosial dan Sistem Penyelenggaraannya:


Pandangan & Gagasan. Jakarta: Meganet Dutatama. 1999.

12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial.

13. Undang-Undang Dasar 1945.

14. Deklarasi HAM PBB, 10 Desember 1948.

61
15. Sistem Jaminan Sosial Nasional. 2011. Diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_Jaminan_Sosial_Nasional pada tanggal 4
April 2013.

16. Rifky, Anindika. BPJS-SJSN (dari tim adhoc BPJS ISMKMI). 2011. Diakses
dari http://rifkyanindika-fkm10.web.unair.ac.id/artikel_detail-35251-
ISMKMI-
BPJS%20%20SJSN%20%28dari%20tim%20adhoc%20BPJS%20ISMKMI%
29.html pada tanggal 4 April 2013.

17. Martabat. Memaknai Secara Benar Prinsip Kepesertaan Program Jaminan


Sosial Bersifat Wajib. 2011. Diakses dari
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/197 pada tanggal 4 April
2013.

18. Martabat. Agenda Paska UU BPJS. 2011. Diakses dari


http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/259 pada tanggal 4 April
2013.

19. Martabat. Transformasi BPJS. 2012. Diakses dari


http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387 pada tanggal 4 April
2013.

20. Martabat. SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) > BPJS. 2012. Diakses
dari http://www.jamsosindonesia.com/sjsn/bpjs pada tanggal 4 April 2013.

21. Dewan Jaminan Sosial Nasional. Program Jaminan Kesehatan: Pengawasan


dan Pengendalian. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Rumah Sakit
Daerah di Jakarta tanggal 6 Februari 2013.

22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

23. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang


Jaminan Kesehatan.

24. Simanjuntak, Johnson. KJS Percontohan Pembayarn INA CBG’s Nasional.


Dari: Warta Kota. 2013. Diakses dari
http://www.tribunnews.com/2013/03/28/kjs-percontohan-pembayaran-ina-
cbgs-nasional pada tanggal 4 Mei 2013.

25. Basirun. Sistem Pembiayaan dan Pembayaran Pelayanan Kesehatan. Malang:


RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat. 2011. Diakses dari
basirun.hostzi.com/ina_cbgs.html pada tanggal 4 Mei 2013.

26. Firmanda, Dody. Kunci Sukses dan Kendala Pengembangan Penerapan


Clinical Pathways di Rumah Sakit. Jakarta: RSUP Fatmawati. 2009.

62
27. Anonim. Sistem INA-CBG’s. Diakses dari
http://www.klikharry.com/2012/11/21/sistem-ina-cbgs/ pada tanggal 4 Mei
2013.

28. Rahma, Puti Aulia. Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu dan
Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan. Dalam: Majalah Dental & Dental.
Yogyakarta. 2013.

29. Sihombing, Mastiur. Analisis Unit Cost Pemeriksaan Laboratorium Klinik


RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai Tahun 2003. Medan: Universitas Sumatera
Utara. 2004.

30. Syahriani. Analisis Biaya Pemeriksaan Kimia Klinik Balai Laboratorium


Kesehatan Semarang Tahun 2003. Semarang: Universitas Diponegoro. 2004.

31. Gondodiputro, Sharon. Penghitungan Unit Cost di Pelayanan Kesehatan


Primer. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2007.

32. W., Herniah Asti. Penentuan Tarif Pemeriksaan Laboratorium di Rumah


Sakit (Presentasi). 2007.

33. Puspito, Lukitaning. Penentuan Unit Cost pada Parameter Kimia Klinik.
Semarang. 2011.

34. Anonim. Metode Penetapan Tarif & Aplikasinya (Presentasi). 2011.

35. ABC Lab. Demam Berdarah Dengue. Jakarta. 2010. Diakses dari
http://www.abclab.co.id/?p=89 pada tanggal 12 Mei 2013.

36. Firmanda, Dody. Clinical Pathways Kesehatan Anak. Diambil dari: Sari
Pediatri, Vol. 8, No. 3. Jakarta. 2006.

37. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan


Masyarakat (JAMKESMAS). Jakarta. 2008.

63

Anda mungkin juga menyukai