Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN KONSELING

Konseling adalah usaha untuk menimbulkan perubahan tingkah laku secara sukarela pada diri
klien (klien ingin mengubah tingkah lakunya dan meminta bantuan kepada konselor). Maksud
dan tujuan konseling adalah menyediakan kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya
perubahan secara sukarela (kondisi yang memberi hak individu untuk membuat perilaku, untuk
tidak tergantung pada pembimbing). Usaha-usaha untuk memudahkan terjadinya perubahan
tingkah laku dilakukan melalui wawancara (walaupun konseling selalu dilakukan dalam
wawancara, tetapi tidak semua wawancara dapat diartikan sebagai konseling). Mendengarkan
merupakan suatu hal yang berada dalam konseling tetapi tidak semua konseling adalah
mendengarkan. Konseling dilaksanakan dalam suasana hubungan pribadi antara konselor, dan
klien. Hasil pembicaraan itu bersifat rahasia. Lebih jauh Pietrofesa (Nurihsan, 2001 : 12)
menunjukkan sejumlah ciri-ciri konseling professional sebagai berikut.

1) Konseling merupakan suatu hubungan professional yang diadakan oleh seorang konselor yang
sudah dilatih untuk pekerjaannya itu.

2) Dalam hubungan yang bersifat professional itu, klien mempelajari keterampilan pengambilan
keputusan, pemecahan masalah, serta tingkah laku atau sikap-sikap baru.

3) Hubungan professional dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara klien dan konselor.


Berdasarkan definisi dan pengertian konseling yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat
dirumuskan dengan singkat bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan
dalam hubungan tatap muka antara seorang ahli (yaitu orang yang telah mengikuti pendidikan
atau pelatihan khusus dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan konseling-disebut
konselor) dan seorang individu yang sedang mengalami suatu permasalahan (disebut klien) yang
bermuara pada teratasinya masalah yang dialami oleh klien.

Tujuan Konseling Sejalan dengan perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling, maka
tujuan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke yang lebih
komprehensif. Tujuan konseling dapat terentang dari sekadar klien mengikuti kemauan-kemauan
konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran,
pengembangan pribadi, penyembuhan, dan penerimaan diri sendiri. (Thompson & Rudolf dalam
Priyatno & Amti, 1994 : 114) Moh. Surya (1988 : ) mengungkapkan bahwa tujuan dari konseling
adalah:

a) perubahan perilaku

Hampir semua pernyataan tentang konseling menyatakan bahwa tujuan konseling ialah
menghasilkan perubahan pada perilaku yang memungkinkan klien hidup lebih produktif.
Rogers (Shertzer & Stone, 1980) menunjukkan bahwa salah satu hasil konseling adalah
bahwa pengalaman-pengalaman tidak dirasa menakutkan, kecemasan berkurang, cita-
citanya nampak lebih harmonis dengan persepsi tentang dirinya dan nampak lebih
berhasil. Ia lebih dapat menyesuaikan diri dan realistik terhadap kehidupan.

b) kesehatan mental yang positif

Salah satu tujuan konseling adalah pemeliharaan dan pencapaian kesehatan mental yang
positif. Jika hal itu tercapai maka individu akan mencapai integrasi, penyesuaian, dan
identifikasi positif dengan yang lainnya. Ia belajar menerima tanggung jawab, berdiri
sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku. Thorne (Shertzer & Stone, 1980) mengatakan
bahwa tujuan utama konseling adalah menjaga kesehatan mental dengan mencegah atau
membawa ketidakmampuan menyesuaikan diri atau gangguan mental. Sedangkan
Patterson menyatakan bahwa karena tujuan konseling adalah pemeliharaan, pemulihan
kesehatan mental yang baik atau harga diri, maka situasi konseling haruslah ditandai
dengan tidak adanya ancaman.

c) pemecahan masalah

Pemecahan masalah Tujuan konseling kadang-kadang dianggap sebagai pemecahan


masalah yang dihadapkan dalam hubungan konseling. Krumboltz (Shertzer & Stone,
1980) menyatakan bahwa alasan utama eksistensi konseling didasarkan pada fakta bahwa
orang-orang mempunyai masalahmasalah yang tidak sanggup mereka pecahkan sendiri.
Mereka datang pada konselor karena telah percaya bahwa konselor akan dapat membantu
mereka untuk memecahkan masalahnya.karena itu tujuan utama konseling adalah
membantu setiap klien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

d) keefektivan personal

Erat hubungannya dengan pemeliharaan kesehatan mental yang baik dan perubahan
tingkah laku adalah tujuan meningkatkan keefektifan personal. Blocher (Shertzer &
Stone, 1980) memberikan batasan pribadi yang efektif sebagai berikut.Pribadi yang
efektif adalah yang sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya, dan bersedia
memikul resiko-resiko ekonomis, psikologis dan fisik. Ia nampak memiliki kompetensi
untuk mengenal, mendefinisikan dan memecahkan masalah-masalah. Ia nampak agak
konsisten terhadap dan dalam situasi perananannya yang khas. Ia nampak sanggup
berfikir secara berbeda dan orisinil, yaitu dengan cara-cara yang kreatif. Akhirnya ia
sanggup mengontrol dorongan-dorongan dan memberikan respons-respons yang layak
terhadap frustasi, permasalahan, dan ambiguitas.

e) pengambilan keputusan d. Keefektifan personal

Pengambilan keputusan Bukan tugas konselor untuk menentukan keputusan yang harus
diambil oleh klien atau memilihkan alternatif tindakan baginya. Justru konseling harus
memungkinkan individu mengambil keputusan-keputusan dalam hal-hal yang sangat
penting bagi dirinya dan ia harus tahu mengapa dan bagaimana cara ia melakukannya. Ia
belajar mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi. Ia juga belajar
memperhatikan nilai-nilai dan ikut mempertimbangkan nilai-nilai yang dianutnya secara
sadar dalam pengambilan keputusan. Adapun Myers (Priyatno & Anti, 1994 : 114)
mengemukakan bahwa pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada
individu merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling.

2.2. PENGERTIAN HIV / AIDS


HIV adalah singkatan dari “Human Immunodeficiency Virus”. Merupakan virus yang
menyebabkan penyakit AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut T-Limfosit
atau “Sel T-4” atau disebut juga “Sel CD-4” (Zein, 2006).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat,
bukan penyakit keturunan; Immuno berarti sistem kekebalan tubuh, Deficiency artinya
kekurangan; sedangkan Syndrome adalah kumpulan gejala.Orang yang terinfeksi HIV ataupun
orang yang sudah menderita AIDS disebut ODHA (orang dengan HIV/AIDS) (Djoerban, 2001).

HIV dapat menular melalui aktifitas seksual beresiko, diantaranya perilaku anal seks maupun
oral seks. Selain itu,transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersamaan, transmisi perinatal,
serta menyusui dapat menjadi sumber penularan (WHO, 2014).

2.3. CARA PENULARAN HIV/AIDS

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar bakteri dan tempat
masuknya bakteri (port ’d entree). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel
lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati
diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkannya
diantaranya semen (cairan sperma), cairan vagina atau serviks, dan darah penderita. Banyak cara
yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang
diketahui adalah melalui:

a. Transmisi seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan


penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan melalui hubungan seksual dapat
terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berati kontak seksual penetrasi vaginal, anal (anus/dubur), oral (mulut) antara dua individu.
Risiko tertinggi penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi
HIV. Kontak seksual langsung mulut ke penis (zakar) atau mulut ke vagina, merupakan risiko
rendah tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang keluar dan masuk ke
dalam tubuh seseorang melalui ”pintu masuknya”, seperti adanya luka kecil pada alat kelamin,
mulut, gusi, dan atau penyakit gigi dan mulut yang diderita.

b. Transmisi non seksual

Ada dua yaitu transmisi parental yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Dapat juga terjadi melalui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan. Sedangkan transmisi transplasental yaitu
penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan, dan sewaktu menyusui. Penularan melalui
Air Susu Ibu (ASI) termasuk penularan dengan risiko rendah. Selain itu juga penularan
HIV/AIDS dapat melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar (Zein, 2007).

2.4. ORANG YANG BERESIKO TERKENA HIV/AIDS

Populasi Kunci terdiri dari Pekerja seks, pengguna narkoba suntik, waria, lelaki seks dengan
lelaki dan transgender. Populasi beresiko terdiri warga binaan pemasyarakatan, ibu hamil, pasien
TB, kaum migran, pelanggan pekerja seks dan pasangan ODHA. Sedangkan, kelompok minor
adalah mereka yang belum dewasa, anak dan mereka yang masih terbatas kemampuan berpikir
dan menimbang (KEMENKES, 2014).

2.5. GEJALA DAN TANDA KLINIS PENDERITA HIV/AIDS

Global Programme on AIDSdari Badan Kesehatan Dunia (WHO)mengusulkan, “Pembagian


Tingkat Klinis Penyakit Infeksi HIV” sesudah mengadakan pertemuan di Geneva bulan Juni
1989 dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita
seropositif HIV dari 26 pusat perawatan yang berasal dari 5 benua. Pembagian tingkat klinis
infeksi HIV tersebut adalah sebagai berikut.

 Tingkat Klinis 1 (Asimptomatik/LGP):


1. Tanpa gejala sama sekali
2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar getah
bening di beberapa tempat yang menetap Pada tingkat ini pasien belum
mempunyai keluhan dan dapat melakukan aktivitasnya secara normal.
 Tingkat Klinis 2 (Dini):
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya Dermatitis sebroika, Prurigo,
infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang dan Cheilitis angularis
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis. Pada tingkat ini,
pasien sudah menunjukkan gejala tapi aktivitas tetap normal.
 Tingkat Klinis 3 (Menengah):
1. Penurunan berat badan >10% berat badan
2. Diare kronik >1 bulan, penyebab tidak diketahui
3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang-timbul
maupun terus-menerus
4. Kandidiasis mulut
5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)
6. Tuberkulosis paru setahun terakhir
7. Infeksi bakterial yang berat, misalnya Pneumonia.Pada tingkat klinis 3 ini,
penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari, selama
sebulan terakhir.
 Tingkat Klinis 4 (Lanjut):
1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu: berat badan turun lebih
dari 10% dan (a) diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1
bulan, atau (b) kelemahan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya, selama
lebih dari 1 bulan
2. Pneumoni Pneumosistis Karinii
3. Toksoplasmosis otak
4. Kripstosporidiosis dengan diare > 1 bulan
5. Kriptokokosis di luar paru
6. Penyakti virus Sitomegalopada organ tubuh, kecuali di limpa, hati dan kelenjar
getah bening
7. Infeksi virus Herpes simpleks di mukokutan lebih dari satu bulan, atau di alat
dalam (visceral) lamanya tidak dibatasi
8. Leukoensefalopati multifokal progresif
9. Mikosis (Infeksi jamur) apa saja (misalnya Histoplasmosis, Kokkidioidomikosis)
yang endemik, menyerang banyak organ tubuh (disseminata)
10. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru
11. Mikobakteriosis atipik (mirip bakteri tbc), disseminata,
12. Septikemia salmonella non tifoid
13. Tuberkulosis di luar paru
14. Limfoma,
15. Sarkoma kaposi
16. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu: gangguan kognitif atau disfungsi
motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresfif sesudah beberapa
minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV
(Djoerban, 2001).
2.6.GEJALA OPORTUNISTIK PENDERITA HIV/AIDS

Seseorang dengan HIV dikatakan memiliki AIDS, apabila di dalam tubuhnya telah berkembang
infeksi oportunistik tertentu atau tumor. Infeksi oportunistik yang ditetapkan sebagai akibat dari
AIDS, secara khusus terdaftar di dalam pengertian resmi dari AIDS menurut The Center for
Disease Control (CDC) di Amerika. Mereka menggolongkan sebagai berikut:

1. Infeksi protozoa, seperti Toxoplasma gondii, Cryptosporidium danIsospora belli


2. Infeksi bakteri, seperti Mycobacterium tuberculosis(TB) dan Mycobacterium avium
intracellulare (MAI)
3. Infeksi jamur, seperti Pneumocytis carinii (PCP, dulunya dianggap protozoa), Candida
albicans dan Cryptococcus neoformans
4. Infeksi viral, seperti Cytomegalovirus (CMV), Herpes simpleks (HSV), dan Zoster (HZV
atau VZV) dan Human papilloma virus (HPV).Dalam kasus HIV, IO adalah infeksi yang
disebabkan oleh organisme yang biasanya tetap terkendali karena kerja dari sistem kekebalan
tubuh seluler (bagian dari sistem kekebalan tubuh yang paling dirusak oleh virus HIV)
(CDC,1992).

2.7.EPIDEMIOLOGI PENDERITA HIV/AIDS


Distribusi dan Frekuensia
 Umur dan Jenis Kelamin Jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS di Indonesia sejak
tahun 1987-2014 berdasarkan kelompok umur yakni <1-29 tahun sebanyak 185.644
penderita dan >30 tahun sebanyak 24.186 penderita. Untuk jumlah kumulatif
penderita HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987-2014 berdasarkan jenis kelamin
yakni, Laki-laki sebanyak 29.882 dan Perempuan sebanyak 16.092 penderita
(KEMENKES RI, 2014).
 Menurut Tempat Pada tahun 2014, terdapat 5 juta(4.5 juta-5.6 juta)orang hidup
dengan HIV/AIDS di kawasan Asia dan Pasifik, serta Sebanyak 240.000 (140.000-
570.000)orang meninggal akibat AIDS. Selain itu, terdapat penambahan 340.000
(240.000–480.000) infeksi baru, dimana 78% diantaranya terdapat di Cina, Indonesia
dan India. Serta Terdapat 21.000 (16.000-27.000)infeksi terbaru pada anak-anak di
Asia dan Pasifik (UNAIDS, 2015). Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia yang
dilaporkan menurut provinsi sejak tahun 1987-2014 menurut Ditjen PP & PL
Kemenkes RI paling banyak terdapat di Provinsi Papua, dengan penderita AIDS
sebanyak 10.184 penderita. Peringkat kedua ditempati Provinsi Jawa Timur dengan
penderita AIDS sebanyak 8.976 penderita. Sedangkan, Provinsi Sumatera Utara
berada di peringkat 10 dengan penderita AIDS sebanyak 1,573 penderita. Dimana,
jumlah kumulatif berdasarkan jenis kelamin yakni, Laki-laki sebanyak 29.882 dan
Perempuan sebanyak 16.092 penderita. Untuk jumlah kumulatif kasus AIDS menurut
faktor risiko terbanyak berdasarkan perilaku Heteroseksual yakni 34, 187 penderita
(KEMENKES RI, 2014).
 Menurut Waktu Pada tahun 2014, jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia yang telah
dilaporkan sejak 1 Januari s.d. 30 Juni 2014, yakni HIV sebanyak 15.534 dan AIDS
sebanyak 1.700 penderita. Sedangkan, pada triwulan April s.d. Juni 2014, dilaporkan
tambahan HIV sebanyak 6.626 dan AIDS sebanyak 308 penderita (KEMENKES RI,
2014).

Anda mungkin juga menyukai