Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

CHOLELITHIASIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim

Oleh:
Ha Sakinah Se, S.Ked
04054821719029

Pembimbing:
dr. Ali Hanafiah, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD H.M. RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus


Cholelitiasis

Oleh:
Ha Sakinah Se, S.Ked
04054821719029

Laporan Kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara
Enim Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 22 Oktober 2018 – 31
Desember 2018

Muara Enim, Desember 2018

dr. Ali Hanafiah, Sp.B

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Cholelithiasis”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan
klinik di Departemen Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ali
Hanafiah, Sp.B, selaku dokter pembimbing laporan yang telah membantu dalam
penyelesaiannya.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
oleh karena itu, penulis mengharapkan bantuan dari dokter pembimbing dan rekan
mahasiswa untuk memberi saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga
telaah ilmiah ini membawa manfaat bagi kita semua.

Muara Enim, Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN....................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................9
2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier .............................................................9
2.2. Cholelithiasis .................................................................................................14
2.2.1. Definisi .................................................................................................14
2.2.2. Epidemiologi ........................................................................................14
2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko ...................................................................15
2.2.4. Klasifikasi dan Patogenesis ..................................................................16
2.2.5. Manifestasi Klinis dan Komplikasi ......................................................20
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................23
2.2.7. Tatalaksana ...........................................................................................26
2.2.8. Prognosis ..............................................................................................29

BAB IV ANALISIS KASUS ..............................................................................30


DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Cholelithiasis merupakan penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di


dalam kandung empedu. Sinonimnya adalah batu empedu, obstruksi bilier,
gallstones, biliary calculus.1 Batu empedu terbentuk dari hasil endapan dalam
larutan yang menjadi padat. Larutan organik utama pada empedu adalah bilirubin,
garam empedu, fosfolipid, dan kolesterol. Batu empedu diklasifikasikan
berdasarkan komponen penyusunnya yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu
pigmen dapat diklasifikasikan lagi menjadi batu pigmen hitam atau coklat. Di
negara Barat, kejadian batu empedu sekitar 80% merupakan batu kolesterol dan
sekitar 15-20% merupakan batu pigmen. Kedua tipe batu pigmen lebih umum
terjadi di Asia.2
Penyakit batu empedu adalah salah satu penyakit gastrointestinal yang
sering terjadi. Angka prevalensi kejadian batu empedu tinggi pada negara
industrial. Perempuan memiliki risiko lebih besar hingga 25% dibandingkan laki-
laki yang hanya 10-15%.3 Suatu studi ditemukan bahwa penderita batu empedu
sebagian besar (80,5%) berusia di atas 40 tahun, dengan usia rerata pasien
kolelitiasis adalah 45,6 tahun.4 Di negara berkembang, batu empedu merupakan
penyakit dengan keluhan di perut yang paling umum datang ke rumah sakit.
Sekitar 5,5 juta orang menderita batu empedu di United Kingdom, dan sekitar
50.000 operasi kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya.5
Banyak faktor yang memengaruhi kejadian batu empedu seperti usia, jenis
kelamin, dan latar belakang etnis. Terdapat juga faktor predisposisi pada beberapa
kondisi seperti obesitas, kehamilan, faktor makanan yang dikonsumsi, penyakit
Crohn, reseksi ileus terminal, bedah gaster, sferositosis herediter, penyakit sel
sabit, dan talasemia, yang semuanya berperan terhadap meningkatnya risiko
kejadian batu empedu. Perempuan 3 kali lebih berisiko mengalami batu empedu
dibandingkan dengan laki-laki.2
Penyakit batu empedu dapat terjadi simtomatik dan asimtomatik. Keluhan
klinis yang sering ditemukan adalah nyeri pada perut kanan atas, nyeri

1
epigastrium, demam, ikterus, mual, muntah. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
kolesistitis, koledokolitiasis dengan atau tanpa kolangitis, pancreatitis, fistula
kolesistokoledokus, fistula kolesistoduodenal atau kolesistoenterik, dan karsinoma
kandung empedu.2,4
Skrining dan diagnosis awal sangat diperlukan dalam penegakan diagnosis
penyakit batu empedu sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi lanjut.
Pasien batu empedu asimtomatik umumnya secara kebetulan terdiagnosis saat
dilakukan pemeriksaan ultrasonografi, CT scan, atau pada laparotomi. Sekitar 3%
individu penderita batu empedu asimtomatik akan menjadi simtomatik per tahun.
Karena beberapa pasien batu empedu dengan komplikasi tanpa gejala bilier
sebelumnya, kolesistektomi profilaksis pada penderita batu empedu asimtomatik
sangat jarang diindikasikan. Untuk pasien yang telah lama mengidap diabetes atau
populasi yang berisiko tinggi terjadinya kanker kandung empedu, kolesistektomi
profilaksis mungkin dapat dipertimbangkan.2
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada pasien-pasien berisiko tinggi
dinilai sangat membantu dalam penegakan diagnosis penyakit batu empedu. USG
adalah teknik pencitraan yang paling direkomendasikan untuk diagnosis dan
skirining awal pada pasien dengan nyeri perut kanan atas (nyeri bilier) karena
mudah, aman, dan cepat dilakukan, tidak terdapat pajanan radiasi, dengan
spesifitas dan sensitivitas hampir 95% terhadap penyakit batu empedu.4,6
Pengobatan kolelitiasis dan kolesistitis meliputi bedah (operasi)
dan non bedah. Operasi (bedah) pada kolelitiasis disebut kolesistektomi.
Pembedahan bisa dilakukan secara terbuka (kolistektomi terbuka) dan tertutup
(kolistektomi laparoskopik). Bedah terbuka adalah cara klasik untuk mengangkat
kandung empedu. Prosedur ini membutuhkan insisi perut. Kolesistektomi
laparoskopik adalah pengangkatan kandung empedu melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.1

2
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas
Nama : Tn. SJ
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 92 tahun
Agama : Islam
Status : Duda
Pendidikan : SMP
Alamat : Tanjung Enim
MRS : 4 Desember 2018
No MR : 109018

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis, 4 Desember 2018)


Keluhan Utama : Nyeri pada perut kanan atas
Riwayat Perjalanan Penyakit :
± 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh sering mengalami nyeri perut
kanan atas yang hilang timbul. Pasien mengira bahwa ia menderita sakit
mag, Pasien belum berobat.
± 1 bulan lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan atas, nyeri hilang
timbul. Nyeri dirasakan terutama setelah Pasien makan makanan yang
berlemak, mual (+), muntah (-), demam (-). Pasien kemudian datang berobat
ke Puskesmas dan mendapat obat untuk nyeri perutnya, Pasien lupa nama
obatnya. Keluhan bekurang.
± 1 minggu lalu keluhan nyeri pada perut kanan atas kembali
berulang, mual (+), demam (-), muntah (-), nafsu makan menurun. Pasien
datang berobat ke PTBA, dikatakan bahwa pasien kemungkinan menderita
Batu empedu dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan USG Abdomen
di RSUD Dr. H.M Rabain Muara Enim. Warna BAB dan BAK tidak
diperhatikan.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit dahulu disangkal

3
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat sakit yang sama disangkal
Riwayat Pengobatan : Pemberian obat nyeri perut

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 73 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 24 x/menit, reguler
Suhu : 36,7⁰C
BB : 72 kg
Status generalis:
Kepala : Normosefali, rambut putih, tidak mudah dicabut
Mata : Simetris kanan kiri, konjungtiva anemis (-/-), skleraikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), trakea ditengah
Telinga : Bentuk normal, simetris, liang lapang, serumen (-/-),
hiperemis (-/-)
Hidung : Septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung (-), sekret (-/-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, perdarahan (-)
Mulut : Mukosa bibir basah, sianosis (-), lidah kotor (-)
Thorax : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat
statis dan dinamis, tidak terdapat retraksi diafragma.
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru, dan terdapat peranjakan paru-hati
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, rhonki-/-, tidak terdapat wheezing
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra, batas
jantung kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra, batas
pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra,
proyeksi besar jantung normal.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat murmur dan
gallop.
Abdomen :
Inspeksi : Tampak simetris, datar, tidak terdapat kelainan kulit seperti\
sikatrik, dan tidak ada pelebaran pembuluh darah vena.

4
Palpasi : Lemas, Murphy sign (-), tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3”, Edema (-/-)
Kulit : Tidak ada kelainan kulit

2.4 Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 15/11/2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hb 12,1 gr/dL 14-18 gr/dL
Ht 37,1 % 36-48 %
Eritrosit 4,10 4,0-5,5 106/uL
Leukosit 5,11 5,0 -10,0 x 103/uL
Trombosit 341/µL 150-450 x 103/µL
MCV 90,5 fL 82-92
MCH 29,5 pq 27-31
MCHC 32,6 g/dL 32-36
LED 26 mm/jam <15
BSS 109 mg/dL 76-115
Ureum 29 mg/dL 10-50
Kreatinin 1,2 mg/dL 0,6-1,1
Bilirubin total 1,0 mg/dl 0,1-1,2
Bilirubin direct 0,4 mg/dl 0-0,25
Bilrubin indirect 0,6 mg/dl 0,8
Alkalin Phosphatase 231 U/L 42-128
Neutrofil 67,7 % 50-70 %
Limfosit 15,1% 20-40 %
Monosit 13,3 % 2-8 %
Eosinofil 3,7 % 1-3 %
Basofil 0,2 % 0-1 %
Bleeding Time 3 menit 1 – 7 menit
Clothing Time 7 menit 5-15 menit
Pemeriksaan USG Abdomen (12 November 2018)

5
Hasil : Gallbladder : Besar normal, dinding tidak menebal, tampak batu
berdiameter 0,6 cm
Kesan : Cholelithiasis

2.5 Diagnosis Banding


 Cholelithiasis
 Cholesistitis
 Hepatitis

2.6 Diagnosis Kerja


Cholelithiasis

2.7 Tatalaksana
 IVFD
 Analgesik
 Cek Darah rutin dan kimia darah
 USG Abdomen (hepatobilier)
 OK Elektif

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

2.9 Follow up
6 Desember 2018
S: nyeri di area bekas operasi (+)
O:

Status Generalikus

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Frekuensi Napas : 20 x/menit

Suhu : 36,8°C

6
Status Lokalis Regio Abdomen
- Inspeksi : tampak luka bekas operasi di abdomen tertutup
kassa, baik, darah (-), pus (-)
- Palpasi : nyeri tekan (+)
A: Cholelithiasis post Cholesistektomi H+1
P:
 IVFD Asering gtt XX/menit
 Inj. Cefoperazone 2x1 amp IV
 Inj. Dexketoprofen 3x1 amp IV
 Diet NB
7 Desember 2018
S: nyeri di area bekas operasi (+)
O:

Status Generalikus

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi : 78 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Frekuensi Napas : 20 x/menit

Suhu : 36,7°C
Status Lokalis Regio Abdomen
- Inspeksi : tampak luka bekas operasi di abdomen tertutup
kassa, baik, darah (-), pus (-)
- Palpasi : nyeri tekan (+)
A: Cholelithiasis post Cholesistektomi H+2
P:
 IVFD Asering gtt XX/menit
 Inj. Cefoperazone 2x1 amp IV
 Inj. Dexketoprofen 3x1 amp IV
 Diet NB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier


Sistem bilier terdiri dari kandung empedu dan saluran yang berasal dari
hepar dan vesica fellea. Fungsi primernya adalah sebagai organ yang
memproduksi, menyimpan empedu dan mengalirkan ke duodenum melalui
saluran-saluran empedu. Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan, dan
dipekatkan di dalam vesica biliaris, kemudian dikeluarkan ke duodenum. Ductus

7
biliaris hepatis terdiri atas ductus hepaticus dextra dan sinistra, ductus hepaticus
communis, ductus choledochus, vesica biliaris (kandung empedu), dan ductus
cysticus.7
Cabang-cabang interlobularis ductus choledochus terkecil terdapat di
dalam canalis hepatis. Cabang-cabang ini menerima canaliculi biliaris, cabang-
cabang ini saling berhubungan satu dengan yang lain dan secara bertahap
membentuk saluran yang lebih besar, sehingga akhirnya pada porta hepatis
membentuk ductus hepaticus dextra dan sinistra. Ductus hepaticus dextra
mengalirkan empedu dari lobus hepatis dextra dan ductus hepaticus sinistra
mengalirkan empedu dari lobus hepatis sinistra, lobus caudatus, dan lobus
quadratus.7

8
Gambar 1. Anatomi sistem bilier

Vesica Biliaris (Kandung Empedu)


Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir berukuran 7
sampai 10 cm panjangnya yang terletak pada permukaan bawah (facies visceralis)
hepar. Vesika biliaris mempunyai kemampuan menampung empedu sebanyak 30-
50 mL dan menyimpannya, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi
air. Ketika terjadi obstruksi, kandung empedu akan meregang hingga berkapasitas
300 mL. Untuk mempermudah deskripsinya, vesica biliaris dibagi menjadi
fundus, corpus, infundibulum, collum. Fundus vesica biliaris berbentuk bulat
dan biasanya menonjol di bawah margo inferior hepar, penonjolan ini merupakan
tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
cartilago costalis IX dextra, normalnya fundus memiliki panjang 1-2 cm. Fundus
memiliki otot polos sedangkan corpus lebih banyak mengandung jaringan elastik.
Corpus vesica biliaris terletak dan berhubungan dengan facies visceralis hepar
dan arahnya ke atas, belakang, dan kiri. Collum vesica biliaris melanjutkan diri
sebagai ductus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum minus dan bergabung
dengan sisi kanan ductus hepatikus communis untuk membentuk ductus
choledochus. Bagian cembung dari leher yang melebar membentuk

9
infundibulum atau yang dikenal dengan Hartmann’s pouch (kantong
hartmann)2,7
Peritoneum meliputi seluruh bagian fundus vesica biliaris dan
menghubungkan corpus dan collumvesica biliaris dengan facies visceralis hepar.7
Vesica biliaris diperdarahi oleh arteri cystica yang merupakan cabang dari
arteri hepatica dextra pada 95% individu dan terletak di Triangle Calot. Kemudian
darah dialirkan kembali melalui vena cystica langsung ke vena porta. Sejumlah
arteriae dan venae kecil juga berjalan di antara hepar dan vesica biliaris.7
Gambar 2. Triangle of Calot dibatasi oleh duktus sitikus, duktus
hepatikus komunis dan batas inferior hepar 7
Cairan limfe mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat collum vesica
biliaris. Dari sini, pembuluh limfe berjalan ke nodi hepatici dengan berjalan
sepanjang perjalanan arteri hepatica communis dan kemudian ke nodi coelici.7
Saraf simpatis dan parasimpatis membentuk plexus coeliacus. Vesica
biliaris berkontraksi sebagai respon terhadap hormon kolesistokinin yang
dihasilkan oleh tunica mucosa duodenum karena masuknya makanan berlemak
dari gaster.7
Vesica biliaris berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu. Vesica
biliaris mempunyai kemampuan untuk memekatkan empedu, dan untuk
membantu proses ini, mukosa vesica biliaris mempunyai lipatan-lipatan permanen
yang saling berhubungan sehingga permukaannya tampak seperti sarang tawon.
Pada permukaan mukosa terdapat banyak vili. Kandung empedu memiliki epitel
kolumnar yang mengandung kolesterol dan globulus lemak. 2,7
Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akibat kontraksi dan pengosongan
parsial vesica biliaris. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin dari tunica mucosa duodenum. Lalu hormon masuk ke dalam
darah dan menimbulkan kontraksi vesica biliaris. Pada saat yang bersamaan otot
polos yang terletak pada ujung distal ductus choledochus dan ampula relaksasi,
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum.
Garam-garam empedu di dalam cairan empedu penting untuk mengemulsikan
lemak di dalam usus serta membantu pencernaan dan absorbsi lemak.7
Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus dekstra dan sinistra keluar dari lobus hepatis dekstra dan
sinistra pada porta hepatis.7 Ductus hepaticus kiri lebih panjang dibandingkan

10
dengan ductus hepaticus kanan dan memiliki kecenderungan yang lebih baik
untuk dilatasi sebagai akibat dari obstruksi di distal. Dua ductus hepaticus kanan
dan kiri bergabung membentuk ductus hepaticus communis. Ductus hepaticus
communis memiliki panjang sekitar 1-4 cm dan berdiameter kurang lebih 4 mm.
Ductus ini berada di depan dari vena porta dan di sisi kanan dari arteri hepatica.
Ductus hepaticus communis akan bergabung dengan ductus cysticus membentuk
ductus biliaris communis (ductus choledochus).2
Ductus Choledochus
Ductus choledochus berukuran panjangnya sekitar 7-11 cm dan
berdiameter 5-10 mm. Pada bagian pertama perjalanannya duktus ini terletak di
pinggir kanan omentum minus, di depan foramen epiploicum. Disini duktus
choledochus terletak di depan pinggir kanan vena porta hepatis dan pada sisi
kanan arteri hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, duktus terletak di
belakang pars superior duodenum di sebelah kanan arteri gastroduodenalis. Pada
bagian ketiga perjalanannya, duktus terletak di dalam sulkus yang terdapat pada
facies posterior caput pankreatis. Ductus choledochus berjalan miring ke arah
bawah ke dinding duodenum dengan 1-2 cm sebelum membuka pada membrane
mukosa papilla (ampulla Vateri), sekitar 10 cm distal dari pilorus.
Spinchter Oddi merupakan lapisan tebal dari serabut otot polos sirkular,
mengelilingi ductus choledochus pada ampulla Vateri. Ampulla ini bermuara ke
dalam lumen duodenum melalu sebuah papilla kecil, yaitu papilla duodeni major.
Spinchter Oddi akan mengatur aliran empedu ke duodenum. Ductus biliaris
extrahepatik bermukosa kolumnar dengan beberapa kelenjar mucous di ductus
biliaris communis. Suplai darah ductus biliaris berasal dari arteri gastroduodenal
dan arteri hepatica kanan. Arteri ini beranastomosis bebas pada dinding ductus.
Serabut saraf dan ganglia akan semakin menebal di dekat spinchter Oddi, namun
suplai persarafan ductus choledochus dan spinchter Oddi sama dengan kandung
empedu.2,7

Ductus Cysticus
Ductus cysticus memiliki panjang yang bervariasi. Panjang ductus cysticus
sekitar 1,5 inci (3,8 cm) dan menghubungkan collum vesica billiaris dengan
ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledochus. Biasanya
ductus cysticus berbentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang

11
bervariasi pada pinggir kanan omentum minus. Tunika mukosa duktus sistikus
menonjol untuk membentuk plika spiralis yang melanjutkan diri dengan plica
yang sama pada kolum vesica biliaris. Plica ini umumnya dikenal sebagai
“valvula spiralis”. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan lumen
terbuka secara konstan. Dinding lumennya terdapat banyak lipatan mukosa yang
disebut sebagai katup spiral Heister. Namun katup spiral Heister ini tidak
memiliki fungsi sebagai katup, tetapi akan menghambat aliran keluar dari ductus
cysticus.2,7

Gambar 3. Anatomi Duktus Biliaris Penampang Posterior

2.2 Cholelithiasis
2.2.1 Definisi
Cholelithiasis merupakan penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan di dalam kandung empedu. Sinonimnya adalah batu empedu,
obstruksi bilier, gallstones, biliary calculus.1 Batu empedu terbentuk dari
hasil endapan dalam larutan yang menjadi padat.2
2.2.2 Epidemiologi
Penyakit batu empedu adalah salah satu penyakit gastrointestinal
yang sering terjadi. Angka prevalensi kejadian batu empedu tinggi pada
negara industrial. Perempuan memiliki risiko lebih besar hingga 25%
dibandingkan laki-laki yang hanya 10-15%.3 Suatu studi ditemukan

12
bahwa penderita batu empedu sebagian besar (80,5%) berusia di atas 40
tahun, dengan usia rerata pasien kolelitiasis adalah 45,6 tahun. 4 Di negara
berkembang, batu empedu merupakan penyakit dengan keluhan di perut
yang paling umum datang ke rumah sakit. Sekitar 5,5 juta orang menderita
batu empedu di United Kingdom, dan sekitar 50.000 operasi
kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya.5
Banyak faktor yang memengaruhi kejadian batu empedu seperti
usia, jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Terdapat juga faktor
predisposisi pada beberapa kondisi seperti obesitas, kehamilan, faktor
makanan yang dikonsumsi, penyakit Crohn, reseksi ileus terminal, bedah
gaster, sferositosis herediter, penyakit sel sabit, dan talasemia, yang
semuanya berperan terhadap meningkatnya risiko kejadian batu empedu.
Perempuan 3 kali lebih berisiko mengalami batu empedu dibandingkan
dengan laki-laki.2
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi dari cholelithiasis adalah multifaktorial, yakni banyak
faktor yang dapat berperan dan memengaruhi terjadinya pembentukan batu
di dalam kandung empedu. Faktor risiko yang berperan penting terhadap
terbentuknya batu empedu antara lain berupa etnis, genetik, usia tua, jenis
kelamin perempuan, diet, aktivitas fisik, dan obesitas.8 Terdapat juga
faktor predisposisi pada beberapa kondisi seperti obesitas, kehamilan,
faktor makanan yang dikonsumsi, penyakit Crohn, reseksi ileus terminal,
bedah gaster, sferositosis herediter, penyakit sel sabit, dan talasemia, yang
semuanya berperan terhadap meningkatnya risiko kejadian batu empedu.
Perempuan 3 kali lebih berisiko mengalami batu empedu dibandingkan
dengan laki-laki.2 Risiko untuk terkena cholelithiasis meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia >40 tahun lebih cenderung
untuk terkena cholelithiasis dibandingkan dengan usia yang lebih muda.4
Mekanisme yang mendasarinya adalah hormon sex perempuan (paritas,
penggunaan kontrasepsi oral, dan terapi menggunakan estrogen) yang
mengarah pada risiko terbentuknya batu kolesterol. Hormon sex
perempuan dapat memengaruhi sekresi empedu dan fungsi kandung
empedu. Estrogen meningkatkan sekresi kolesterol dan mengurangi

13
sekresi garam empedu, sementara progestin bekerja dengan cara
mengurangi sekresi garam empedu dan mencegah pengosongan kandung
empedu hingga stasis.

Geografik dan etnis memiliki peranan terhadap kejadian batu


empedu dan juga tipe batu yang terbentuk. Batu kolesterol umumnya
didominasi di daerah negara berkembang di Barat, batu pigmen coklat
umumnya di daerah Asia.8
Faktor genetik merupakan faktor kunci dalam pembentukan batu
empedu. Pada kenyataannya, pembentukan batu merupakan suatu interaksi
yang kompleks antara genetik dan faktor lingkungan. Terdapat beberapa
gen yang teridentifikasi sejauh ini antara lain: apolipoproteins E (APOE)
dan B (APOB), cholesterol ester transporting protein (CETP), cholesterol
7 α-hydroxylase, cholecystokinin receptor A (CCKAR), LDL receptor
(LDLR) dan CETP.8
2.2.4 Klasifikasi dan Patogenesis
Batu empedu dapat dibedakan berdasarkan komposisi kimianya. Secara
garis besar batu empedu diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu: batu kolesterol
(mengandung >50% kolesterol), batu campuran (mengandung 20-50% kolesterol),
dan batu pigmen (mengandung <20% kolesterol).3 Di negara Barat, kejadian batu
empedu sekitar 80% merupakan batu kolesterol dan sekitar 15-20% merupakan
batu pigmen. Kedua tipe batu pigmen lebih umum terjadi di Asia.2

a. Batu Kolesterol
Pembentukan batu empedu kolesterol telah dibagi menjadi tiga
tahap: (1) solubilisasi dan saturasi kolesterol, (2) nukleasi, dan (3)
pertumbuhan batu.3

14
Kolesterol hampir tidak larut dalam empedu dan karena itu
membutuhkan interaksi dengan molekul lain untuk dilarutkan. Selama
bertahun-tahun, dianggap bahwa kolesterol dipertahankan dalam larutan
hampir seluruhnya oleh pembentukan misel socalled, terdiri dari asam
empedu, fosfolipid, dan kolesterol. Asam empedu adalah senyawa
amphipathic, mengandung kedua kelompok hidrofilik dan hidrofobik.
Ketika konsentrasi asam empedu mencapai tingkat tertentu (disebut
tingkat kritis misel), molekul asam empedu individu beragregasi menjadi
kelompok-kelompok kecil dengan ujung kutubnya berorientasi keluar dan
bagian-bagian hidrofobik yang berorientasi ke bagian dalam gugus.
Fosfolipid memasuki agregat ini, yang menyebabkan pembengkakan misel
yang pada gilirannya memfasilitasi penggabungan kolesterol. Molekul
kolesterol pada akhirnya diangkut dalam matriks struktur ini. Konsentrasi
asam empedu dan fosfolipid relatif terhadap kolesterol telah dianggap
sebagai faktor penting dalam menentukan solubilisasi kolesterol, dan
hubungan antara ketiga zat ini umumnya telah digambarkan dalam bentuk
"segitiga kolesterol".3
Konsep campuran pembentukan misel dan perannya dalam
pembentukan batu empedu kolesterol baru-baru ini ditantang oleh
demonstrasi bahwa banyak dari kolesterol bilier ada dalam struktur yang
agak berbeda, disebut vesikula. Vesikula terdiri dari bilayers fosfolipid,
mirip dengan membran sel, dengan asam empedu diselingi10. Kolesterol
dilarutkan dalam bagian hidrofobik bilayer. Kepentingan relatif misel dan
vesikula dalam pembentukan batu kolesterol tetap menjadi subjek
penelitian intensif.3
Proses dimana kristal monohydrate kolesterol terbentuk dan
agregat disebut sebagai nukleasi. Pengamatan bahwa banyak individu
normal tanpa batu empedu mensekresi empedu kolesterol-jenuh
menunjukkan faktor-faktor selain sekresi hati dari empedu kolesterol-
jenuh penting untuk pembentukan batu empedu. Telah menunjukkan
bahwa nukleasi terjadi lebih cepat di kantung empedu empedu pasien
dengan batu empedu kolesterol daripada individu dengan empedu jenuh
tanpa batu. Temuan ini dimulai upaya untuk mengidentifikasi sifat

15
pronukleasi atau faktor antinukleasi. Glikoprotein yang labil panas telah
terjadi diidentifikasi pada pasien dengan batu empedu kolesterol dan telah
terbukti mengurangi waktu nukleasi secara signifikan. Meningkat sekresi
lendir kandung empedu juga telah dilaporkan menjadi faktor pronucleating
kuat. Sekresi mukosa dirangsang oleh prostaglandin. Aspirin, penghambat
prostaglandin sintesis, keduanya secara signifikan menghambat sekresi
lendir dan mengurangi kejadian kolesterol yang diinduksi secara
eksperimental batu empedu dalam model binatang. Temuan ini dihasilkan
antusiasme yang cukup besar karena tampaknya layak untuk itu mencegah
pembentukan batu empedu melalui penggunaan profilaktik inhibitor
prostaglandin. Namun, penelitian pada manusia belum menemukan efek
penggunaan aspirin pada pembentukan batu empedu dan konsep ini telah
ditinggalkan. Baru-baru ini, lipopolisakarida bakteri telah terbukti
menyebabkan hipersekresi musin yang menunjukkan bahwa bertentangan
dengan asumsi yang diterima umum, bakteri dapat berperan tidak hanya
dalam perkembangan batu-batu empedu pigmen tetapi juga dalam
pembentukan batu kolesterol.3
Singkatnya, meskipun saturasi kolesterol umumnya dilihat sebagai
prasyarat untuk pembentukan batu empedu kolesterol, dampak dari faktor
pronukleasi in vivo masih belum sepenuhnya dipahami. Upaya terus
dipahami peran supersaturasi kolesterol dan keseimbangan antara faktor
pronukleasi dan antinukleasi dalam pembentukan batu kolesterol.3
b. Batu Pigmen
Batu pigmen ditandai dengan kandungan kolesterol rendah dan
konsentrasi tinggi bilirubin, yang biasanya lebih dari 40%. Bilirubin
disekresikan oleh hati ke dalam empedu sebagian besar dalam bentuk
diglucuronide dengan hanya sejumlah kecil bentuk monoglucuronide dan
tak terkonjugasi. Sedangkan untuk kolesterol, garam empedu
memfasilitasi pelarutan monoglucuronide dan bentuk bilirubin yang tidak
terkonjugasi. Itu bentuk tak terkonjugasi adalah hidrofobik dan dapat
mengendap dari larutan seperti garam kalsium atau polimer bilirubin. Hal
ini diyakini bahwa batu pigmen terjadi ketika empedu jenuh dengan
bilirubin tak terkonjugasi. Batu pigmen berhubungan dengan beragam

16
kondisi klinis dan dapat dengan mudah dibagi menjadi “batu hitam” dan
“batu coklat.” 3
Batu pigmen hitam terjadi pada pasien dengan hemolisis kronis,
sirosis hati, atau gangguan fungsi ileum, seperti pada penyakit Crohn atau
reseksi ileum. Pada pasien dengan hemolisis, sekresi bilirubin ke dalam
empedu mungkin meningkat lebih dari 10 kali lipat, dengan pergeseran
dari putus bengkok ke monokonjugat. Bilirubin monoconjugates lebih
sensitif terhadap hidrolisis oleh beta-glucuronidase endogen, yang
menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang kemudian
diendapkan dengan kalsium. Pembentukan batu empedu pada pasien
dengan sirosis kurang dipahami, tetapi hemolisis ringan dan hiposekresi
garam empedu menyebabkan berkurangnya kelarutan bilirubin tak
terkonjugasi dapat memainkan peran. Pasien dengan penyakit Crohn dan
ileitis yang luas memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi melalui hati dan
konsentrasi bilirubin bilier yang lebih tinggi. Hasil dari percobaan pada
hewan menunjukkan bahwa ini mungkin disebabkan oleh malabsorpsi
garam empedu di ileum yang mengakibatkan tingginya jumlah garam
empedu intracolonic. Hal ini menyebabkan solubilisasi intracolonic
unconjugated bilirubin, yang kemudian bebas untuk diserap kembali,
diangkut kembali ke hati, dan diekskresikan ke dalam empedu, sehingga
mengarah ke peningkatan konsentrasi bilirubin bilier. 3

Gambar 4. Ilustrasi Batu kolesterol dan Batu Pigmen

Mirip dengan pembentukan batu kolesterol, berbagai faktor lain


dapat berkontribusi pada pembentukan batu pigmen, termasuk sekresi oleh
kantung empedu glikoprotein mukosa, stasis biliaris, konsentrasi kalsium
empedu, dan asam empedu; kontribusi pasti dari masing-masing faktor ini

17
masih harus dijelaskan. Peran infeksi bakteri dalam patogenesis batu
pigmen hitam telah lama dibahas; ada beberapa indikasi bahwa bakteri
mungkin memainkan peran, tetapi temuan telah meyakinkan sampai saat
ini. 3
Batu pigmen coklat dapat ditemukan di seluruh saluran empedu
intrahepatik dan / atau ekstrahepatik dan merupakan tipe khas dari batu
empedu yang berhubungan dengan infeksi bakteri dan stasis biliaris.
Enzim-enzim bakteri menghidrolisis lipid bilier, bilirubin terkonjugasi,
dan garam empedu. Asam empedu bebas yang dihasilkan, asam lemak
bebas, dan bilirubin tak terkonjugasi mengendap seperti itu atau
membentuk garam kalsium yang tidak larut. Glikoprotein dan puing
bakteri Mucin dapat berkontribusi pada pertumbuhan batu empedu.3
2.2.5 Manifestasi Klinis dan Komplikasi
Penyakit batu empedu dapat terjadi simtomatik dan asimtomatik.
Keluhan klinis yang sering ditemukan adalah nyeri pada perut kanan atas,
nyeri epigastrium, demam, ikterus, mual, muntah. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah kolesistitis, koledokolitiasis dengan atau tanpa kolangitis,
pancreatitis, fistula kolesistokoledokus, fistula kolesistoduodenal atau
kolesistoenterik, dan karsinoma kandung empedu.2,4
Kolik bilier atau kolesistitis kronis
Presentasi penyakit batu empedu yang paling umum adalah nyeri
bilier. Rasa sakit mulai tiba-tiba di epigastrium atau kuadran kanan atas
dan dapat menyebar ke belakang di daerah interscapular. Bertentangan
dengan namanya, rasa sakit sering tidak berfluktuasi tetapi berlangsung
dari 15 menit hingga 24 jam, mereda secara spontan atau dengan analgesik
opioid. Mual atau muntah sering menyertai rasa sakit, yang berasal dari
visceral dan terjadi sebagai akibat distensi kantong empedu karena
obstruksi atau ke bagian batu melalui duktus sistikus. Sebagian besar
episode dapat dikelola di rumah dengan analgesik dan antiemetik. Nyeri
berlanjut selama lebih dari 24 jam atau disertai demam menunjukkan
kolesistitis akut dan biasanya diperlukan masuk rumah sakit.
Ultrasonografi adalah investigasi definitif untuk batu empedu. Ini
memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas untuk batu lebih dari 4 mm.
Nyeri perut nonspesifik, kenyang dini, intoleransi lemak, mual, dan gejala

18
usus terjadi dengan frekuensi yang sebanding pada pasien dengan dan
tanpa batu empedu, dan gejala ini berespon buruk terhadap kolesistektomi
yang tidak sesuai. Dalam banyak gejala pasien ini adalah karena masalah
saluran cerna bagian atas atau sindrom iritasi usus.5
Kolesistitis akut
Ketika obstruksi duktus cystic menetap, respon inflamasi akut
dapat berkembang dengan leukositosis dan demam ringan. Iritasi
peritoneum parietal menyebabkan nyeri terlokalisir di kuadran kanan atas.
Serta batu empedu, ultrasonografi mungkin menunjukkan kandung
empedu yang lunak, berdinding tebal, edema kandung empedu dengan
jumlah abnormal cairan yang berdekatan. Aktivitas enzim hati sering
sedikit abnormal. 5
Manajemen awal adalah dengan obat antiinflamasi nonsteroid
(intramuskular atau per rectal) atau analgesik opioid. Meskipun kolesistitis
akut awalnya merupakan peradangan kimia, infeksi bakteri sekunder
umum terjadi, dan pasien harus diberi antibiotik spektrum luas parenteral
(seperti sefalosporin generasi kedua). 5
Kemajuan dipantau dengan resolusi takikardia, demam, dan nyeri
tekan. Idealnya kolesistektomi harus dilakukan selama penerimaan yang
sama seperti kolesistektomi yang tertunda memiliki tingkat kegagalan 15%
(empiema, gangren, atau perforasi) dan kekambuhan 15% dengan rasa
sakit lebih lanjut.5
Jaundice
Jandice atau penyakit kuning terjadi pada pasien dengan batu
empedu ketika batu bermigrasi dari kantung empedu ke saluran empedu
umum atau, lebih jarang, ketika fibrosis dan impaksi batu besar di kantong
Hartmann menekan duktus hepatika communis (sindrom Mirrizi). Tes
fungsi hati menunjukkan pola kolestatik (peningkatan konsentrasi bilirubin
terkonjugasi dan aktivitas alkalin fosfatase dengan aspartat normal atau
sedikit meningkat aktivitas transaminase) dan ultrasonografi menegaskan
dilatasi duktus biliaris communis (diameter >7 mm) biasanya tanpa
distensi kandung empedu.5
Kolangitis akut
Ketika duktus biliaris tersumbat terkontaminasi dengan bakteri,
biasanya dari duodenum, kolangitis dapat terjadi. Perawatan segera

19
diperlukan dengan antibiotik spektrum luas bersama dengan dekompresi
dini sistem empedu dengan endoskopi atau radiological stenting atau
drainase bedah jika pemasangan stent tidak tersedia. Keterlambatan dapat
menyebabkan septikemia atau berkembangnya abses hati terkait dengan
kematian yang tinggi.5
Pankreatitis akut
Pankreatitis akut berkembang pada 5% dari semua pasien dengan
batu empedu dan lebih sering terjadi pada pasien dengan banyak batu
kecil, duktus sistikus lebar, dan saluran umum antara saluran empedu dan
saluran pankreas. Batu-batu kecil yang melewati saluran empedu dan
melalui papila dapat secara sementara menghalangi saluran pankreas atau
memungkinkan refluks cairan duodenum atau empedu ke dalam saluran
pankreas yang menyebabkan pankreatitis akut. Pasien harus diberikan
cairan intravena dan analgesik dan dimonitor secara hati-hati untuk
memantau perkembangan kegagalan organ.5
Batu empedu ileus
Kolesistitis akut dapat menyebabkan kantung empedu untuk
melekat pada jejunum atau duodenum yang berdekatan. Peradangan
berikutnya dapat menghasilkan fistula antara struktur ini dan berlalunya
batu empedu ke usus. Batu-batu besar bisa menjadi dampak dan
menyebabkan obstruksi usus kecil. Radiografi abdomen menunjukkan
obstruksi usus kecil dan udara di pohon empedu. Perawatan adalah dengan
laparotomi dan “milking” batu yang menghalangi ke dalam usus besar atau
dengan enterotomi dan ekstraksi.5
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
hasil yang bermakna pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
kolesistitis, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi peradangan akut
dapat terjadi leukositosis, biasanya akan diikuti kenaikan ringan bilirubin
serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin kadar amylase
serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Pada

20
pasien dengan kolik biliar atau kronik kolesistitis, test darah biasanya
terlihat normal.2

b. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)


USG biasanya dilakukan sebagai pemeriksaan awal pada pasien
yang diduga terdapat gangguan pada system biliaris. Pada pemeriksaan ini
tidak invasif, tidak menyakitkan, tidak mengakibatkan radiasi pada pasien,
dan dapat dilakukan pada pasien yang sakit kritis. Organ yang berdekatan
langsung dapat diperiksa dalam waktu yang bersamaan. Namun pada
pasien dengan obesitas, ascites, dan pasien dengan distensi usus akan sulit
untuk dilakukan pemeriksaan. USG akan menunjukkan batu di kandung
empedu dengan sensitivitas dan spesifisitas >90 %. Terdapat batu dengan
bayangan akustik dan mencerminkan gelombang ultrasound kembali ke
transduser ultrasonik, karena batu memblokir bagian dari gelombang suara
ke daerah belakang dan menghasilkan bayangan akustik.2
Ultrasonografi juga mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk melihat batu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.2

Gambar 5. USG Kandung Empedu Normal


Terlihat kontur, besar dan batas yang normal, dinding tidak menebal. Terletak diantara
parenkimhati lobus kanan pada fossa vesika felea.

21
Gambar 6. Cholelithiasis terlihat hiperekoik dengan bayangan akuistik di bawahnya

c. Oral Kolesistografi
Setelah mempertimbangkan prosedur diagnostik pilihan untuk batu
empedu, oral kolesistografi sebagian besar telah diganti dengan USG.
Pada pemeriksaan ini melibatkan pemberian senyawa radiopak secara oral
yang diserap, diekskresi oleh hati, dan masuk ke kantong empedu. Batu
pada kandung empedu terlihat sebagai filling defect pada kantong empedu
yang opasitas. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan malabsorpsi
intestinal, muntah, ikterik okstruksi, hepatic failure.2
d. ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
ERCP yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus
koledukus, prosedur ini membutuhkan sedasi intravena untuk pasien. 2
ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan
sensitifitas 90%, spesifitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi prosedur ini
invasive dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis
yang terjadi pada kurang lebih 5% pasien.10 Fungsi ERCP ini memudahkan
visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus
koledukus bagian distal, serta memungkinkan untuk intervensi terapi.
Setalah endoskopi kolangiogram dapat memperlihatkan adanya batu pada
bagian distal, maka dapat dilakukan sphingterotomi dan ekstraksi batu,
sehingga biasanya batu dapat dibebaskan dari duktus bagian distal.2
e. Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)
Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP
adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat

22
kontras, instrument, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan
terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal
yang tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas
sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi,
sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu.10
Studi terkini menunjukkan nilai sensitivitas antara 91% sampai
dengan 100%, nilai spesifisitas antara 92% sampai dengan 100%, dan nilai
prediktif positif antara 93% sampai 100% pada keadaan dengan dugaan
batu saluran empedu. Nilai diagnostic MRCP yang tinggi membuat teknik
ini makin sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran
empedu khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung
batu.10
Adapun kelebihan MRCP dibandingkan dengan ERCP yaitu
pencitraan saluran empedu tanpa risiko yang berhubungan dengan
intrumentasi, zat kontras, dan radiasi. Namun sebaliknya, kelebihan ERCP
dibandingkan dengan MRCP yaitu dapat berfungsi sebagai sarana
diagnostic dan terapi pada saat yang sama. Pada MRCP bukan merupakan
modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada operator.10
2.2.7 Tatalaksana
Kolesistektomi adalah prosedur yang paling umum dilakukan di negara-
negara Barat. Carl Langenbuch pertama kali sukses melakukan kolesistektomi
pada tahun 1882, dan berlangsung selama >100 tahun, prosedur tersebut adalah
pengobatan standar untuk batu kandung empedu yang simtomatik. Kolesistektomi
terbuka adalah pengobatan yang aman dan afektif untuk kolesistitis akut dan
kronis. pada tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan oleh Philippe
Mouret di Perancis dan dengan cepat merevolusi pengobatan batu empedu.
Kolesistektomi laparoskopi secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah insisi lebih sedikit, rasa sakit dan luka bekas operasi
yang minimal, dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan dapat dengan
cepat kembali beraktivitas. Saat ini, laparoskopi merupakan pilihan pengobatan
untuk batu empedu simtomatik.2
Sebelum melakukan tindakan kolesistektomi perlu diketahui secara pasti
kondisi pasien terlebih dahulu. Hal tersebut merujuk pada pemilihan terapi yang

23
akan dilakukan karena harus diperhatikan indikasi serta kontraindikasi yang
terdapat pada prosedur kolesistektomi laparoskopi maupun kolesistektomi
terbuka.9
Indikasi Kolesistektomi
Tabel. Indikasi Kolesistektomi Laparoskopi
Kolelitiasis simtomatik
Kolik biliar
Akut kolesistitis
Koledokoliatiasis
Gallstone pankreatitis
Kolangitis atau ikterik obstruksi
Asimtomatik kolelitiasis
Sickle cell disease
Total parenteral nutrition
Immunosupressan kronik
Tidak ada akses langsung ke fasilitas kesehatan (misal: personil militer)
Kolesistektomi insidental pada pasien yang menjalani prosedur operasi untuk
indikasi lain
Acalculus kolesistitis
Diskenia kandung empedu
Polip kandung empedu dengan diameter >10 cm
Percelain kandung empedu

Kontraindikasi Kolesistektomi Laparoskopi


Tabel. Kontraindikasi Kolesistektomi Laparoskopi
Absolut
Tidak dapat mentoleransi general anestesi
Refractory coagulophaty
Suspek karsinoma kandung empedu
Relatif
Riwayat operasi abdomen bagian atas
Kolangitis
Peritonitis difus

24
Sirosis dan/tanpa hipertensi porta
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Kolesistoenterik fistula
Obesitas morbid
Kehamilan

Komplikasi yang terkait dengan pengangkatan kantong empedu secara


laparoskopik serupa dengan komplikasi yang terjadi selama kolesistektomi
terbuka. Komplikasi yang dapat ditimbulkan terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel. Komplikasi Kolesistektomi Laparoskopi


Perdarahan
Cedera kandung empedu
Kebocoran kandung empedu
Pankreatitis
Infeksi
Hernia insisional
Pneumoperitonium
CO2 embolisme
Vaso-vagal reflex
Kardiak aritmia
Asidosis hiperkarbik
Trocar
Perdarahan dinding abdomen, hematom
Trauma visceral
Trauma vaskuler

Pada kolesistektomi terbuka para ahli bedah melakukan kolesistektomi


terbuka dengan beberapa indikasi. Sebelum dilakukannya kolesistektomi telah
dilakukan penilaian secara klinis. Oleh karenanya tidak ragu untuk mengubah
kolesistektomi terbuka jika didapatkan anatomi yang tidak jelas, jika timbul
komplikasi, atau ada kegagalan untuk membuat perbaikan yang wajar secara tepat
waktu. Beberapa komplikasi yang membutuhkan laparotomi sangat jelas, seperti

25
perdarahan masif atau cedera mayor pada saluran empedu. Laparotomi
memungkinkan dan harus dilakukan ketika anatomi tidak dapat digambarkan
karena inflamasi, adhesi, atau anomali. Fistula antara sistem empedu dan usus
jarang terjadi, tetapi mungkin memerlukan laparotomi untuk penatalaksanaan
yang optimal. Karsinoma kandung empedu juga berpotensi dilakukan eksplorasi
terbuka. Batu pada duktus koledokus (koledokolitiasis) yang tidak dapat diatasi
secara laparoskopi dan tidak mungkin diekstraksi dengan endoscopi tetapi harus
dikonversi ke operasi terbuka.9
2.2.8 Prognosis
Komplikasi serius dan kematian yang berhubungan dengan operasi jarang
terjadi. Angka operatif dengan kematian sekitar 0,1% pada pasien berusia di
bawah 50 tahun dan sekitar 0,5% pada pasien berusia di atas 50 tahun.
Kebanyakan kematian terjadi pada pasien-pasien yang diketahui memiliki
8
peningkatan risiko. Operasi menghilangkan gejala pada 95% kasus.

26
BAB III
ANALISIS KASUS

Tn. SJ, seorang laki-laki usia 92 tahun datang dengan keluhan utama nyeri
pada perut kanan atas yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengira
bahwa ia menderita sakit mag, Pasien belum. Pada 1 bulan lalu, nyeri perut kanan
atas semakin sering. Nyeri dirasakan terutama setelah Pasien makan makanan
yang berlemak, mual (+), muntah (-), demam (-). Pasien kemudian datang berobat
ke Puskesmas dan mendapat obat untuk nyeri perutnya, Pasien lupa nama
obatnya. Keluhan bekurang.
Pada anamnesis yang diperoleh dari pasien seperti gejala nyeri perut kanan
atas, mual dan penurunan nafsu makan merupakan gejala khas yang terjadi pada
penderita batu kandung empedu. Nyeri yang dirasakan terutama setelah makan
makanan berlemak terjadi karna saat makan, Tunica mucosa duodenum akan
merangsang terbentuknya hormon kolesistokinin (CCK). Hormon akan masuk
kedalam darah dan menimbulkan kontraksi kantung empedu disaat bersamaan
bagian distal ductus choledocus dan ampula relaksasi untuk empedu masuk ke
dalam duodenum, kontraksi pada kantong empedu ini yang menimbulkan nyeri
pada pasien. Demam yang tidak terjadi pada pasien menandakan bahwa belum
terjadi komplikasi seperti kolesistitis pada pasien.
Tn. SJ memiliki faktor risiko untuk terjadinya cholelitiasis, usia yang lebih
dari 40 tahun dan suka makan makanan berlemak dapat meningkatkan risiko
cholelithiasis.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum dan keadaan spesifik dalam batas
normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan cholelithiasis
adalah pemeriksaan palpasi apakah terdapat nyeri tekan didaerah anatomi
kandung empedu dan pemeriksaan Murphy Sign. Pemeriksaan Murphy sign positif
bila nyeri bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karna kandung
empedu yang meradang tesentuh ujung jari pemeriksa. Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya nyeri tekan dan murphy sign berarti menunjukkan tidak terjadi
kolesistitis.

27
Pada pemeriksaan Laboratorium tidak ditemukan adanya leukositosis.
Leukositosis terjadi apabila adanya peradangan akut. Birubin direct dalam kasus
ini didapatkan sedikit meningkat, jika ditemukan adanya kenaikan bilirubin serum
ringan, ikterus pada pasien dan edem pada kantong hartmann ini merupakan tanda
terjadi Sindrom mirizzi. Sindrom mirizzi ini merupakan komplikasi yang jarang
ditemukan pada Cholelithiasis, sindrom ini terjadi jika batu yang terbentuk besar
sehingga dapat menyumbat duktus choledocus (CBD) dan menimbulkan kenaikan
bilirubin.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada pasien-pasien terutama yang
simtomatik dinilai sangat membantu dalam penegakan diagnosis penyakit
cholelithiasis. Pada pemeriksaan USG Abdomen pada kasus ini didapatkan kesan
Cholelitiasis. Skrining dan diagnosis awal sangat diperlukan dalam penegakan
diagnosis penyakit batu empedu sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi
lanjut.
Tatalaksana pada kasus Cholelithiasis simptomatik adalah Kolesistektomi
yaitu dengan mengangkat kantung empedu. Kolesistektomi dapat dilakukan secara
terbuka maupun secara laparoskopi. Pada kasus ini dilakukan secara terbuka
dimana kantong empedu diambil keseluruhan untuk mencegah terbentuknya batu
empedu berulang. Pada pasien dengan cholelithiasis yang asimptomatik memiliki
indikasi kolesistektomi jika batu berukuran lebih dari 2 cm, terjadi kalsifikasi
pada kantung empedu, kantung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi
oral, atau juga kolelithiasis asimptomatik pada penderita diabetes melitus.
Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam, dengan adanya tindakan operatif gejala
pada pasien dapat berkurang 95%.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Girsang JH. Karakteristik Penderita Kolelitiasis yang Dirawat Inap di RS


Santa Elisabeth, Medan pada tahun 2010-2011. Jurnal Universitas Sumatera
Utara 2013;1(1):11-9.
2. Brucinardi,F Charles et al. Schwartz’s Principles Surgery. 10 th ed. New
York: Mc Graw Hill. 2015: 1309-1340
3. Clavien P A & Baillie J (Ed). Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts
Diagnosis and Treatment. 2nd ed. Blackwell Publishing. 2006: 219-225
4. Ndraha, Suzanna, Fabiani H, Tannady Tan H, dan Tendean M. Profil
Kolelitiasis pada Hasil Ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Jakarta: Jurnal Kedokteran Meditek. 2014;53(20)
5. Beckingham I J (Ed). ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder. BMJ
Books. 2001: 5-8
6. Bortoff, Gregory A et al. Gallbladder Stones: Imaging and Intervention.
RadioGraphics RSNA. 2000. 20(3): 751-765
7. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Buku Kedokteran EGC. 2006: 244-247
8. Stinton, Laura M & Shaffer, Eldon A. Epidemiology of Gallbladder Disease:
Cholelithiasis and Cancer. Gut and Liver. 2012; 6(2): 172-187
9. Zinner, Michael J & Ashley, Stanley W. Maingot’s Abdominal Operation.
12th ed. New York: Mc Graw Hill. 2013: 995-1007
10. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta: Interna Publishing: 2014: 2022-27.

Lampiran 1.

29
Gambar 1. Intra Operatif Kolesistektomi

Gambar 2. Post Operasi Kolesistektomi

30

Anda mungkin juga menyukai