Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

APPENDISITIS INFILTRATE

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Internsip

Oleh:
dr. Ha Sakinah Se

Pembimbing:
dr. Sucipto, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD PANTURA MA SENTOT PATROL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Appendisitis Infiltrate

Oleh :
dr. Ha Sakinah Se

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah RSUD Kayuagung Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode periode 26 November 2018 s.d 21
Desember2018.

Kayu Agung, Desember 2018

dr. Ayatullah, Sp.B

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Appendisitis Infiltrate”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Bedah RSUD Kayuagung.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ayatullah, Sp.B. selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan
kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter
muda dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan kasus
ini, semoga bermanfaat.

Kayu Agung, Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................................
BAB II. STATUS PASIEN..........................................................................................
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
BAB IV. ANALISIS KASUS ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis, yaitu


divertikulum pada caecum yang menyerupai cacing, panjangnya bervariasi dari 7
sampai 15 cm, dan berdiameter sekitar 1 cm dan merupakan penyebab nyeri
abdomen akut yang paling sering ditemukan. Apendisitis merupakan
kegawatdaruratan medik dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.1
Apendisitis dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga dalam
kehidupan. Insidens pada perempuan dan laki-laki umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun dimana insidens pada laki-laki lebih tinggi.1WHO (World
Health Organization) menyebutkan insidensi apendisitis di Asia dan Afrika pada
tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi. Tujuh persen
populasi di Amerika Serikat menderita apendisitis dengan insidensi 1,1 kasus tiap
1000 orang per tahun. Angka kejadian apendisitis akut mengalami kenaikan dari
7,62 menjadi 9,38 per 10.000 dari tahun 1993 sampai 2008. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis menempati urutan keempat penyakit
terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit
sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040.2
Kesulitan dalam mendiagnosis apendisitis masih merupakan masalah
dalam bidang bedah. Terdapat beberapa pasien yang menunjukan gejala dan tanda
apendisitis yang tidak khas, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam
diagnosis dan keterlambatan dalam hal penanganannya. Kedua hal tersebut dapat
meningkatkan terjadinya perforasi, morbiditas, dan negativeapendectomy. Angka
negative apendectomy di Amerika Serikat sebesar 15,3% pada apendisitis akut.3
Selain itu kompetensi dokter umum untuk kasus apendisitis adalah 3B
yaitu mampu mendiagnosis, serta tatalaksana awal kewadatdaruratan. Berdasarkan

1
hal tersebut, kemampuan dokter dalam menegakkan diagnosis apendisitis secara
klinis sangat diperlukan agar kasus appendisitis mendapat tatalaksana yang tepat
dan mengurangi terjadinya komplikasi.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. KMN
Usia : 31 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Indramayu
Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Petani
Nomor Rekam Medis : 194240

2.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada hari Selasa tanggal 14 Desember 2019
pukul 02.00 WIB.
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit
Kisaran 3 hari SMRS os mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri juga
dirasakan disekitar pusat. Demam ada, mual ada, muntah tidak ada. BAB
dan BAK tidak ada keluhan.
Kisaran 1 hari SMRS os mengatakan nyeri pada perut kanan bawah,
mual ada muntah tidak ada, os juga mengeluh belum BAB selama 1 hari.
BAK tidak ada keluhan, demam tidak ada. Os berobat ke RSUD Kayu
Agung.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat penyakit sebelumnya disangkal

3
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
 Tidak ada

Riwayat Pengobatan
 Tidak ada

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 22 x/menit
Suhu : 36,8°C
SpO2 : 99%

Keadaan Spesifik (Secondary Survey)


 Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris
Mata : Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya (+),
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-)
Telinga : Sekret (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

 Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi (-)

4
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Redup, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR: 84 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)

 Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di titik,
Mc. Burney, Rovsign (+), Psoas sign (+), blumberg (-),
nyeri lepas (-),teraba massa di RLQ, konsistensi kenyal,
permukaan rata, ukuran 2x2 cm, immobile.
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

 Genitalia dan lipat paha : Dalam batas normal


 Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-)

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
 Hb : 15,6 g/dL
 Ht : 50%
 Leukosit : 17.300/mm3
 Trombosit : 163.000/mm3
 Eritrosit : 5,3x106/mm3

5
 GDS : 106 mg/dL

2.5. DIAGNOSIS KERJA


Appendisitis infiltrate

2.6. TATALAKSANA
Non-farmakologis:
- Diet Bubur Biasa
- Bed rest
- Edukasi
 Memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakit
 Memberikan informasi kepada pasien mengenai komplikasi
 Memberikan informasi kepada pasien mengenai rencana terapi
Farmakologis:
- IVFD RL gtt xx/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
- Inj. Metronidazole 3x500 mg IV
- Inj. Paracetamol flash 3x500 mg IV prn

2.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ sempit berbentuk tabung yang mempunyai
otot dan mengandung banyak jaringan limfoid, panjangnya kira-kira 8-13cm
(kisaran3-5 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat
dibawah katup ileosekal. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearahujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi
penyebab rendahnya insidens apendisitis pada usia tersebut.2
Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis
eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak
terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneumyang
menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan
apendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis columnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam
(innercircular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan
caecum dan apendiks taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
apendiks. 5
Appendix terletak pada regio iliaca kanan. Dasar appendix terletak pada
1/3 atas garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dengan
umbilicus (titik McBurney) dan pangkal appendix vermiformis lebih ke dalam
dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis

7
miring antara spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik
McBurney).

Gambar 1. McBourney's Point.2

Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu


memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya.Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di
tepi lateral colon ascendens. Apendiks yang terletak di fossa iliaka kanan
memiliki ujung yang letaknya dapat bervariasi. Biasanya terletak retrocaecal atau
retrocolic (di belakang caecum atau kolon asendens bawah, anterior dari psoas
major), atau pelvis (apendiks terbentang di sepanjang tepi pelvis, dekat dengan
tuba fallopi kanan dan ovarium pada perempuan). Posisi lainnya termasuk
subcaecal, dan pre- atau post-ileal (anterior atau posterior dari ileum terminalis).6

8
Gambar 2Variasi posisi apendiks.1
Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan apendiks berasal
dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya pada thrombosis, apendiks akan mengalami gangrene.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirke sekum. Hambatan aliran
lendirdi muaraa pendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gutassociated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfedis ini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan diseluruh tubuh.

3.2 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
adalah proses keradangan pada apendiks. Periapendikular Infiltrat adalah proses
radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus – usus
dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass).

9
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat.7

3.3 Epidemiologi
Apendisitis berkembang pada 8,6% laki-laki dan 6,7% perempuan dengan
insidensi terjadi pada dekade kedua dan ketiga masa kehidupan. Insiden
apendisitis paling tinggi pada usia20-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak
usia kurang dari 2 tahun. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara
laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun
sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan
perempuan.1

3.4 Etiologi
3.4.1 Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta.
Fecalithmerupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada
anak denganAppendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebihjarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yangmengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkanoleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit sepertiEntamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.Appendicitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, sepertimeasles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan
keparahan proses inflamasi. Fecalithditemukan pada 40% kasus Appendicitis
acuta sederhana, sekitar 65% pada kasusAppendicitis gangrenosa tanpa perforasi,
dan 90% pada kasus Appendicitis acutagangrenosa dengan perforasi.1

10
Gambar 3 Apendicitis (dengan fecalith)

3.4.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix
normal. Sekitar60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan
bakteri jenis anaerob,dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi
Appendix yang normal. Didugalumen merupakan sumber organisme yang
menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan
tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normalColon memainkan
peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitisgangrenosa
dan Appendicitis perforata.1
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus
didapatkan lebihdari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang
mengalami perforasi. Floranormal pada Appendix sama dengan bakteri pada
Colon normal. Flora pada Appendix akantetap konstan seumur hidup kecuali
Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihatpada orang dewasa. Bakteri
yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta danAppendicitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagaivariasi
dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.1

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendisitis akut


Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

11
Eschericia coli Batang Gram (-)
Klebsiella sp. Pseudomonas aeruginosa
Streptococcus anginosus Coccus Gr (+)
Enteococcus sp. Streptococcus sp.
Bacteroides fragilis Batang Gram (-)
Fusobacterium sp. Bacteroides sp.
Clostridium sp. Batang Gram (-)
Peptostreptococcus sp. Coccus Gram (+)

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.4

3.5 Klasifikasi
3.5.1 Apendisitis Akut
a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis
dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat
serosa.4,8

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendiks dan mesoapendiks

12
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada
gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.4,8

c. Apendisitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.4,8

3.5.2 Apendisitis Infiltrat


Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.4,8

3.5.3 Apendisitis Abses


Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal,
dan pelvic.4,8

3.5.4 Apendisitis Perforasi


Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.4,8

3.5.5 Apendisitis Kronik

13
Apendisitis kronik merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi
rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronik
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Secara histologis, dinding apendiks menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.4,8
3.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Fekalit ditemukan sebagai penyebab
paling sering dari obstruksi apendiks dengan frekuensi sebesar 40% pada
apendisitis akut sederhana tanpa komplikasi, 65% pada apendisitis gangrenosa,
dan hampir 90% pada apendisitis perforasi.4,9
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen, dimana kapasitas lumen apendiks normal adalah
hanya ± 0,1 ml. Tekanan yang meningkat sedikit saja akan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding.4
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa.4

14
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks
lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.3,4

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,


tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya

15
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat
kembalimenimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini
dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.4,8
Apendisitiskemungkinan dimulaioleh obstruksi darilumenyang
disebabkanoleh fesesyang terlibat atau fekalit. Penjelasan inisesuaidengan
pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat
dalam makanan yang rendah.7
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut kesubmukosa dan melibatkan lapisan
muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrino purulenta terbentuk
pada permukaan serosa dan berlanjut kebeberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis
lokal.7
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas kedalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar kerongga
peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan
terjadi.7

3.7 Manifestasi Klinis


Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala appendisitis akut
umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang didahului
anoreksia. Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah
umbilikus atau periumbilikus. Nyeri menetap, kadang disertai kram yang hilang-
timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada
keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen
kanan bawah akan semakin progresif. (5)

16
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Suhu
tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan perforasi suhu tubuh
meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada
awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air
besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. (9,10,11)
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau
dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya urutan
munculnya gejala appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah.
Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnsis appendisitis diragukan.
Muntah yang timbul sebelum nyeri perut mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
(9,10) 

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk. (1)
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri
timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari
dorsal.(1)
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

17
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih,dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. (1)
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak
tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak
sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan
timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargi. Karena gejala
yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-
90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. (1)
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak
jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi. (1)
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perludiperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah.Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhantidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (1)

3.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.10
3.8.1 Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien
dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan manifestasi klinis diatas yakni
mual muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut kuadran kanan
bawah yang makin progresif.10

3.8.2 Pemeriksaan Fisik


Temuan fisik ditentukan terutama oleh posisi anatomis apendiks
vermiformis yang mengalami inflamasi, serta organ yang telah mengalami ruptur
ketika pasien pertama kali diperiksa. Tanda vital seperti peningkatan suhu jarang

18
o o
>1 C (1.8 F) dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi
perubahan yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau

perforasi telah terjadi atau diagnosis lain harus dipertimbangkan.8


Pasien dengan apendisitis biasanya berbaring dengan terlentang, karena
gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk
menggerakkan paha terutama paha kanan pasien akan melakukan dengan

perlahan-lahan dan hati-hati.11

Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan bising usus normal tetapi


dapat juga menurun/menghilang akibat adanya ileus paralitik yang disebabkan
oleh apendisitis perforata, nyeri tekan dan nyeri lepas (tanda Blumberg) fokal
pada daerah apendiks yang disebut titik McBurney (sepertiga distal garis antara
umbilicus dan spina iliaka anterior superior (SIAS).8,10

Gambar 4Titik McBurney

Tanda khas yang dapat ditemukan pada apendisitis akut adalah :


 Tanda Rovsing dan Tanda Blumberg
Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa
appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign).

19
Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri
pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).11

 Tanda Psoas
Tanda psoas merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks vermiformis. Cara melakukan uji psoas
yaitu dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Tindakan ini akan menimbulkan nyeri bila apendiks
vermiformis yang meradang menempel di otot psoas mayor.

Gambar 5. Pemeriksaan Psoas sign

 Tanda obturator
Pada pemeriksaan uji obturator untuk melihat bilamana apendiks
vermiformis yang meradang bersentuhan dengan otot obturator
internus.

20
Gambar 6. Pemeriksaan Obturator sign

Ketika peradangan apendiks vermiformis telah mencapai panggul, nyeri


perut kemungkinan tidak ditemukan sama sekali, yaitu misalnya pada apendisitis
pelvika.Sehingga dibutuhkan pemeriksaancolok dubur. Dengan melakukan
pemeriksaan colok dubur nyeri akan dirasakan pada daerah lokal suprapubik dan
1,8
rektum. Tanda-tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat dirasakan penderita.

3.8.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis

apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan


laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive proteipemerin
(CRP). Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung
jumlah leukosit darah merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan
memiliki standar pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat
leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Tetapi,
penyakit inflamasi pelvik terutama pada wanita akan memberikan gambaran

laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut.1,11

Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks

vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah


leukosit darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit

21
berhubungan dengan peradangan dari apendiks vermiformis, yang merupakan

tanda khas pada apendisitis secara dini.1


Leukositosis ringan (10.000 – 20.000/uL) dengan peningkatan jumlah

neutrofil. Leukositosis tinggi (>20.000/uL) didapatkan apabila sudah terjadi

perforasi dan gangren.10

CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

b. Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan
penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi
apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteri uria sebanyak
40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel perlapangan
pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel perlapangan pandang

menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.1,4

c. Radiografi konvensional
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari
pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam
mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut,sering terdapat
gambaran gas usus abnormal yang nonspesifik. Pemeriksaan tambahan radiografi
lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan leukosit berlabel radioaktif.
Jika barium enema mengisi pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis
7
ditiadakan.

22
d. Ultrasonografi
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri

abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.


Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi
dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan(1) adanya perbedaan
densitas pada lapisan apendiks vermiformis/ hilangnya lapisan normal (target
sign); (2) penebalan dinding apendiks vermiformis ;(3) hilangnya kompresibilitas
dari apendiks vermiformis; (4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar(5) adanya
penimbunan cairan. Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan(1)
tebal dinding apendiks vermiformis yang asimetris;(2) cairan bebas
1
intraperitonial, dan(3) abses tunggal atau multipel.

Gambar 2.7 USG pada Apendisitis


Dalam mendignosis suatu apendisitis juga dapat dilakukan dengan
menggunakan skor alvarado.

Tabel2.Skor Alvarado untuk mendiagnosis apendisitis


Manifestations Value
Symptoms Migrationofpain 1
Anorexia 1
Nauseaand/orvomiting 1

Signs Right lower quadrant 2


tenderness
Rebound 1

Elevatedtemperature 1

Laboratory Leukocytosis 2
Values

23
Left shift in leukocyt 1
Count

Total Points 10

Interpretasi Alvarado score:


- Skor total 1-4: unlikely to have apendisitis pasien dipulangkan
dengan diberi obat simptomatik dan disarankan untuk kembali apabila
gejala bertambah berat atau tidak berkurang.
- Skor total 5-6: compatible with, but not diagnostic of
apendisitispasien diberi obat simptomatik dan antibiotik serta
dilakukan observasi selama 24 jam dengan memperhatikan penilaian
skor ulang. Dapat dilakukan CT-scan pada pasien dengan skor 5-6.
- Skor total 7-8: have a high likelihood of apendisitispasien
dipersiapkan untuk dilakukan apendiktomi cito

3.9 Diagnosis Banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya:1,4
1. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering
ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis
akut,KET, ruptur kista korpus luteum. Pada pasien dengan salpingitis,

24
biasanya mengeluh nyeri bilateral pada abdomen bawah dan ditemukan
vaginal discharge serta infeksi urin. USG membantu memvisualisasikan
salpingitis dan KET. Suhu pada salpingitis biasanya lebih tinggi daripada
apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
6. Meckel’s diverticulitis, sering tumpang tindih dengan appendisitis, namun
pada saat eksplorasi appendiks dalam batas normal
7. Acute Crohn’s ileitis, biasanya diderita oleh pasien dewasa muda yang
memiliki riwayat nyeri yang sering kambuh
8. Ileus obstruktif, nyeri kolik dan muntah, peningkatan bising usus dan
ususnya distensi pada X-ray
9. Perforasi peptic ulcer, onsetnya tiba-tiba
10. Acute cholecystitis
11. Pankreatitis
12. Traktur urogenital: ureteric colic and acute pyelonephritis, urin dan darah
harus dicek dan Testicular torsion
13. Pada Dada: basal pneumonia dapat menyebabkan nyeri abdomen, yang
sangat susah dibedakan, terutama pada anak kecil. Auskultasi dan
pemeriksaan X-ray menunjukkan adanya pneumonia.
14. Sistem nervus sentralis: nyeri yang disebabkan karena herpes zoster pada
segmen ke 11 dan 12, iritasi pada posterior nerve roots pada pasien
dengan spinal disease (tumor invasif atau tuberkulosis) biasanya
memiliki gejala yang mirip dengan appendicitis.

3.10 Tatalaksana
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa
yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini

25
dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika
peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga
penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadimenjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.(14)
  Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan tindakan
operasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa
perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa
ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya
maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase. (14)
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit. (1)
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi
absesapendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan
sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan
pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. (15)

26
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih
bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan
atau pun tanpa peritonitis umum. (15)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (1)
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi
abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang
atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah. (1,3)
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa
hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa
mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase. (3)
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana
nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik
ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks
dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur daninfeksi dapat

27
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila
pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain dapat diputar dan ditarik sedikit demi
sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal
5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT. (3)
 
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa Periapendikular infiltrat. Dianggap tenang apabila:
1. Anamesis : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur rectal danaksiler)
b. Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
 Bila LED telah menurun kurang dari 40
 Tidak didapatkan leukositosis
 Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi
Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa :
 Apakah penderita sudah bed rest total
 Pemberian makanan penderita
 Pemakaian antibiotik penderita
 Kemungkinan adanya sebab lain

28
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini
berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase. (3)
 
2.11 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan

suhu3 7,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik,dan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu.4

2.12 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2–
0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada
anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun
angka ini meningkat diatas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan
terapi.11

BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. KMN, 31 tahun, datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak kisaran 3
hari SMRS, nyeri juga dirasakan disekitar pusat. Demam ada, mual ada, muntah
tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.Kisaran 1 hari SMRS os mengatakan
nyeri pada perut kanan bawah, mual ada muntah tidak ada, os juga mengeluh

29
belum BAB selama 1 hari. BAK tidak ada keluhan, demam tidak ada. Os berobat
ke RSUD Pantura MA Sentot Patrol.
Dari hasil anamnesis menunjukkan keluhan awal merupakan gejala dari
apendisitis akut. Obstruksi appendiks pada bagian proksimal lumen menyebabkan
terjadinya closed-loop obstruction, ditambah dengan sekresi normal appendiks
terus berlanjut dan adanya multiplikasi dari bakteri sehingga menyebabkan
distensi dari appendiks. Distensi ini menstimulasi ujung saraf aferen pada
peritoneum visceral yang menimbulkan adanya nyeri yang tumpul di bagian ulu
hati dan terangsangnya refleks mual dan muntah. Distensi appendiks
menyebabkan tekanan vena appendiks terlampaui, sehingga menyebabkan edema.
Edema dapat menyebabkan epitel dari mukosa appendiks meregang sehingga
terjadilah translokasi kuman. Translokasi kuman ini menyebabkan terjadi distensi
lebih lanjut dan menyebabkan oklusi dari arteri appendiks. Proses inflamasi yang
berlanjut akan melibatkan serosa dari appendiks sehingga mengiritasi dari
peritoneum parietal menyebabkan adanya perpindahan nyeri ke perut kanan
bawah. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga melokalisasi daerah
infalmasi yaitu dengan mengelompok dan memebentuk suatu infiltrate apendiks
dan disebut proses walling off. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. 
Dari pemeriksaan fisik didapatkan NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mc
Burney (+), Blumberg sign (+), psoas sign (+) dan teraba masa pada Titik Mc
Burney.
Dari laboratorium didapatkan peningkatan leukosit. Dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat curiga appendicitis infiltrat,
maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan pada penderita ini pasien di bedrest total untuk
merelaksasikan otot abdomen dan mengurangi tekanan intra-abdomen. Antibiotik
diberikan spectrum luas dan dapat melawan bakteri anaerob. Pasien diperbolehkan
pulang apabila gejala klinis membaik dan hitung jenis telah normal.

30
31
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaffe, B.M., Berger, D.H. The appendix. In Brunicardi, F.C., Andersen, D.K.,
Biiliar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Pollock, R.E, editors. Schwartz’s
principles of surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2015.
2. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendiks. Available from:
http://www.bedahugm.net/tag/appendix (diakses pada tanggal 21 November
2016)
3. Smal, V. 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. 2nd edition. London: Elsevier.
4. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
5. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.
Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-647.
6. Agur, Anne dan Keith L.M. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.
7. Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, and Management. 4th edition. London:
Elsevier, 389-398.
8. Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th Edition. Edward Arnold Publisher. London. 2008.
9. Craig, S. 2011. Appendicitis Treatment & Management.
10. Tanto C, Liwang F, Hanifati S. 2014. Apendisitis. Dalam: Buku Kapita
Selekta. Edisi Ke-4. Jakarta : Media Aesculapius. Hal. 213 – 214.
11. Guyton AC, Hall JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC,Jakarta, 2007.

25

Anda mungkin juga menyukai