Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh
dunia, dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbidilitas. WHO telah
mengidentifikasi penggunaan alkohol, tembakau, dan obat terlarang merupakan 20 faktor
risiko tertinggi penyakit (Raharjo dan Setyowati, 2011).
Data epidemiologi diperoleh dari berbagai penelitian epidemiologis yang dilakukan
Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan UI
(Puslitkes UI) pada tahun 2008 menunjukkan data estimasi 3,6 juta penduduk Indonesia
berusia 15-64 tahun (1,99% dari total penduduk Indonesia) menggunakan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ( NAPZA) secara teratur, di mana 31% dari
kelompok ini atau sekitar 900,000 orang mengalami ketergantungan heroin dan lebih dari
setengahnya adalah pengguna heroin suntik (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2010).
Sejak tahun 1999 penggunaan narkoba dengan jarum suntik telah menjadi pendorong
utama peningkatan kasus epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Infeksi HIV/AIDS menular
dari para pengguna narkoba suntik (penasun) kepada mitra mereka yang bukan merupakan
pengguna narkoba suntik (non penasun) (Wicaksana dkk, 2009).
Laporan WHO menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ke-4 di antara negara
yang paling cepat mengalami penembahan kasus infeksi HIV/AIDS. 2 Selama 6 tahun
terakhir laporan kasus infeksi HIV/AIDS didominasi oleh infeksi dari kalangan pengguna
narkoba suntik (penasun) (Depkes RI, 2008).
Faktor risiko penyebaran terbanyak yaitu melalui hubungan seksual lebih dari satu
pasangan (heteroseksual) dan faktor resiko kedua adalah penggunaan obat dengan
menggunakan suntikan yang dipakai secara bersama-sama atau dikenal dengan Injecting
Drug User (IDU’s). Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jateng (2008). Menurut Komisi
Penanggulangan AIDS (KPAD) Surakarta (2008), kasus AIDS dapat diklasifikasikan
berdasarkan cara penularannya melalui penasun 49,5%, heteroseksual 42%, dan
homoseksual 8,5%.
Penyebab penggunaan obat dengan menggunakan suntikan secara bergantian adalah
gangguan penggunaan NAPZA, sebagaimana yang diketahui bahwa penyalahgunaan
NAPZA dapat mengakibatkan ketagihan dan ketergantungan. Orang yang
menyalahgunakan NAPZA sering kali disebabkan karena yang bersangkutan mengalami
kecemasan dan atau depresi (Hawari, 2011).
Tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk
Komisi Penaggulangan AIDS Nasional (KPAN) untuk menjalankan program
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pemerintah melalui Depkes juga menetapkan
beberapa Rumah Sakit Rujukan dan beberapa lembaga sosial masyarakat untuk Pasien
HIV/AIDS di seluruh Indonesia yang telah dipersiapkan dengan sumber daya manusia
(SDM) dan fasilitas pendukung termasuk layanan konseling dan obat, hal tersebut
diupayakan dalam rangka dukungan pada penderita dan menurunkan angka penyebaran.
Di Indonesia program tersebut merupakan bagian dari upaya nasional untuk
pengendalian dan pencegahan infeksi HIV/AIDS, yang dikenal dalam strategi
pengurangan dampak buruk atau harm reduction (Depkes RI, 2007). Program Terapi
Rumatan Metadon adalah layanan rumatan atau pemeliharaan yang diberikan kepada
Penasun, berupa penyediaan dan pemberian Metadon (sebagai obat legal) yang dikonsumsi
secara oral (dengan diminum), sebagai pengganti Napza (obat ilegal) yang dikonsumsi
dengan cara menyuntik (Dinkes Jateng, 2009).
BAB I
PEMBAHASAN

A. Manajemen Kasus
1. Pengertian
Manajemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam pemberian pelayanan yang
ditujukan untuk menjamin agar klien yang mempunyai masalah ganda dan
kompleks dapat memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara tepat.
Kasus di sini adalah orang dengan penyakit HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA.

2. Tujuan Manajemen Kasus


Tujuan atau peranan manajemen kasus secara umum adalah untuk mengupayakan
agar pelayanan kepada individu dan keluarga tetap berlanjut melalui proses
menghubungkan klien kepada sumber pelayanan yang sesuai selain melakukan
koordinasi diantara pelayanan-pelayanan yang diberikan. Dalam kasus ini klien
diberikan pelayanan oleh lembaga yang menguasai yaitu BNN.
Peranan ini dimulai dari ;
a. mengidentifikasi pelayanan apa yang dibutuhkan oleh klien,
b. mencarikan jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi,
c. membela klien dengan menghubungkannya dengan pihak terkait,
d. memberikan pelayanan langsung sampai dengan memonitor ketercapaian
pelayanan.

3. Prinsip-prinsip manajemen kasus


a. Individualisasi pelayanan (Individualization of services)
b. Pelayanan yang komprehensif (comprehensiveness of services)
c. Pelayanan yang teratur (parsimonious services)
d. Kemandirian (fostering autonomy)
e. Keberlanjutan pelayanan (continuity of care)
B. Manajemen kasus pada klien dengan HIV/ AIDS
1. Pengertian
Manajemen kasus HIV/AIDS merupakan pelayanan yang berkesinambungan yang
melibatkan atau bekerjasama dengan sektor lain, diantaranya dokter, perawat,
psikolog, LSM, pejabat pemerintahan, keluarga dan masyarakat. Manajemen kasus
adalah jasa atau layanan yang mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan
badan penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi orang – orang yang
membutuhkan bantuan tersebut.
Manajemen kasus adalah salah satu metode pelayanan yang biasa dipergunakan
untuk membantu ODHA. Pelayanan manajemen kasus menggunakan pendekatan pada
individu secara holistik dan terpadu yang mengkoordinasikan sistem – sistem sumber
yang ada di lingkungannya (lembaga pemerintah atau non pemerintah, keluarga dan
sebagainya untuk memenuhi kebutuhan dan pemecahan masalahnya.
Pendekatan manajemen kasus mempunyai tiga sisi utama yaitu bio, psiko dan
sosial. Manajemen kasus ini berkonsentrasi pada upaya meningkatkan kondisi
kesehatan pasien berdasarkan intervensi perawat yang spesifik, dalam kegiatannya
manajemen kasus dilakukan oleh seorang manajer kasus

2. Tahapan Manajemen Kasus


Proses manajemen kasus HIV/AIDS dibagi dalam lima tahapan antara lain :
a. Intake/Penerimaan awal
Proses manajemen kasus HIV dimulai dengan wawancara awal dan dalam
banyak situasi dikombinasikan dengan penerimaan. Tujuan utama wawancara awal
adalah membangun hubungan yang menyenangkan yang memfasilitasi
pengembangan hubungan kerja kolaboratif dan membangun citra manajer kasus
sebagai penghubung. Informasi tentang cakupan pelayanan yang tersedia juga
dipadukan dalam wawancara awal.
Selama penerimaan itu, dilakukan penilaian awal kebutuhan klien dengan
tujuan menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pelayanan dan sumber daya
sistem. Dalam tahap ini dilakukan tinjauan hak – hak dan kewajiban klien serta
prosedur mengajukan keluhan bila terjadi pelayanan yang tidak sesuai dan
diperoleh persetujuan klien untuk mendaftarkannya dalam sistem penyediaan
pelayanan.
Informasi yang diperlukan untuk mendaftarkan klien mencakup konfirmasi
dan tanggal diagnosis pertama AIDS atau tes antibody pertama yang menunjukkan
positif terjangkit HIV, status asuransi kesehatan, tahap penyakit HIV, sumber
terkena HIV, CD4 count, status ketunawismaan, penggunaan aktif obat – obatan,
dan/atau penyakit psikiatrik, dan status TB.
b. Asesmen (Pengkajian)
Analisis kebutuhan dilakukan secara optimal sebagai upaya kolaboratif antara
manajer kasus dan klien untuk mengidentifikasi kebutuhan perawatan dan
pelayanan. Penilaian sangat penting untuk membuat profil dasar bagi rujukan
pelayanan awal, penyusunan rencana pelayanan, dan kriteria untuk mengevaluasi
hasil pelayanan.
Dalam mengumpulkan informasi digunakan instrument formal seperti data
dasar klien, informasi medis, situasi kehidupan, riwayat dan situasi pribadi,
hubungan dan dukungan sosial, pendidikan kesehatan, fungsi sosial dan status
mental, kebutuhan dan isu – isu layanan, serta isu hukum.
c. Perencanaan Pelayanan
Rencana pelayanan sangat penting dalam upaya manajemen kasus dan rencana
ini disusun berdasarkan informasi yang dihimpun dalam tahap penilaian. Manajer
kasus dan klien bekerja sama untuk menyusun daftar masalah dan isu serta untuk
merumuskan sasaran jangka panjang dan jangka pendek yang mendukung tujuan
menyeluruh pemeliharaan kesehatan dan kemandirian. Diperlukan perencanaan
spesifik, yang berpedoman pada sasaran realistis, untuk memprioritaskan kegiatan
dan mengidentifikasi cara perolehan, pemantauan, dan pengkoordinasian
pelayanan di kalangan lembaga penyedia pelayanan dan sistem perawatan
kesehatan.
Rencana pelayanan perlu didokumentasi dengan jelas dalam status klien
beserta salinan korespondensi tertulis dan formulir aplikasi program keberhakan,
prosedur obat – obatan, informasi tentang orang – orang atau lembaga yang dapat
dihubungi yang berguna bagi klien.
d. Pelayanan Pengkaitan dan Rujukan
Dalam tahap implementasi, perawat dan klien berupaya melaksanakan rencana
pelayanan. Jika persetujuan untuk merujuk telah diperoleh, manajer kasus dapat
memainkan beberapa peran untuk memfasilitasi klien menerima pelayanan,
termasuk sebagai perantara, pemantau, pendukung dan pembimbing. Sebagai
perantara, manajer kasus menghubungi penyedia layanan lainnya untuk
memudahkan sistem rujukan klien.
Rencana pelayanan biasanya dilaksanakan dengan mendokumentasikan
kemajuan klien secara seksama, termasuk tanggal rujukan, informasi tentang siapa
yang pertama kali dihubungi dan tindakan apapun yang dilakukan sebagai tindak
lanjut dari rujukan tersebut.
e. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan evaluasi dapat mencakup penilaian kepuasan klien terhadap pelayanan
yang disediakan serta penentuan apakah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)
mengetahui ketersediaan pelayanan, evaluasi terhadap proses manajemen kasus
yang di terima.

C. Manajemen kasus pada klien dengan Penyalahgunaan NAPZA


1. Manajemen Kasus
a. Mengakses lembaga yang dibutuhkan klien
Dalam kasus penyalah gunaan napza ini, lembaga yang di bisa membantu
adalah BNN. Yang melakukan tugas pemerintahan di bidang pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika , prekursor, dan
bahan adiktif lainnya kecuali baha adiktif untuk tembakau dan alkohol .
b. Tahap awal masuk (intake)
 Pada tahap ini, manajer kasus atau pekerja sosial perlu menggali atau
mengeksplorasi masalah dan kebutuhan klien serta membantu klien memenuhi
persyaratan (elijibilitas) untuk mendapatkan pelayanan.
 Selanjutnya, manajer kasus memberikan informasi tentang pelayanan yang
disediakan oleh organisasi atau lembaga pelayanan dan memberitahu tentang
bagaimana mengisi formulir-formulir yang diperlukan.
c. Assesment
Istilah Assessment atau penilaian sendiri sangat dekat dengan istilah evaluasi
yang merupakan metode untuk mengetahui hasil dari tindakan yang telah diberikan
oleh lembaga sosial (BNN). Jadi, proses assessment ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui sebaik respon atau hasil dari para penyalahguna napza.
d. Merumuskan tujuan pelayanan
Tujuan sering dirumuskan dalam bentuk tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang, misal; menyembuhkan gejala fisik dan mental ( bb menurun, mata
merah, bibir kehitam-hitaman, tangan bintik-bintik merah, sembelit dll. Dan untuk
gejala mental yaitu dapat juga berupa halusinasi yang bisa berakibat pada gangguan
jiwa berat atau skizofre ) membangun harga diri, dan lain- lain.
e. Merencanakan intervensi dan mengidentifikasi sumber
Langkah ini bersifat ganda sebab merencanakan intervensi (misalnya: melayani
konseling atau terapi dan perencanaan pelayanan lainnya) berhubungan dengan
mengkaitkan klien dengan sumber-sumber. Mengidentifikasi sumberdaya dapat
dilakukan melalui telpon atau kontak pribadi dengan lembaga-lembaga pelayanan
yang dituju.
f. Menghubungkan klien
Manajer kasus merancang bagaimana lembaga sosial (BNN) dapat
mengkaitkan klien dengan sumber pelayanan yang dibutuhkan. Yaitu menangani
klien sesuai dengan kebutuhan untuk menyembuhkan dari penggunaan napza
contonya dengan metode rehabilitasi.
g. Monitor dan reassement
 Tujuan tahap ini adalah untuk menentukan apakah rancangan yang telah
dilaksanakan dapat mengatasi masalah klien atau belum.
 Manajer kasus memonitor dan melakukan pengukuran terhadap
perkembangan klien
h. Evaluasi
Evaluasi hasil dilakukan dengan menentukan tingkat pencapaian tujuan (misal;
jaminan perawatan kesehatan, dapat mengendalikan untuk tidak menggunakan
napza secara secara mandiri)

2. Penanggulangan Masalah NAPZA


Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan
sampai pemulihan (rehabilitasi)
a. Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
- Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA. Bisa
dengan cara penyuluhan yang dilakukan oleh, guru, perawat maupun pihak
kepolisian.
- Deteksi dini perubahan perilaku. Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to
drugs”) atau “Katakan Tidak pada narkoba”
b. Pengobatan Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat,
dengan dua cara yaitu:
- Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus
zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti
sendiri. Metode ini berpusat pada diri klien sendiri untuk mengendalikan rasa
kecanduannya terhadap NAPZA.
- Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya
kodein, ufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan
alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi
adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama
sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang
menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa
mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus
zat tersebut. Metode ini bisa juga disebut dengan menghilangkan kecanduan
terhadap NAPZA dengan bertahap.
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional
seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik,
mental, sosial, dan spiritual.Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki
tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001). Sesudah klien
penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi)
dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan
dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).

Anda mungkin juga menyukai