Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki oleh setiap siswa
karena kemampuan pemecahan masalah berguna bagi siswa. Dimana
kemampuan pemecahan masalah berguna untuk memperoleh suatu
pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimilikinya
dan dapat menghubungkan semua pengetahuan metamatika yang
dimilikinya seperti konsep, penalaran, menggunakan berbagai strategi dalam
menyelesaikan masalah matematis yang tidak biasa. Berdasarkan pendapat
Hartono (2014:) yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting, karena
dalam proses pembelajaran matematika siswa dapat memperoleh suatu
pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah
diperolehnya untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah matematis
yang tidak rutin. Selain Hartono, Wulandari juga mengungkapkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah berguna bagi siswa. Menurut Wulandari
(2017:77) kemampuan pemecahan masalah matematis perlu dimiliki oleh
siswa untuk dapat menghubungkan semua pengetahuan matematika yang
dimilikinya yaitu konsep, penalaran, menggunaan berbagai strategi,
melakukan pemodelan yang relevan, dan melakukan konklusi dari solusi-
solusi yang telah ditemukan untuk dapat digunakan dalam memecahkan
masalah di kehidupan sehari-hari.
Selain berguna bagi siswa, kemampuan pemecahan masalah juga
berguna bagi pembelajaran matematika di sekolah. Pemecahan masalah
merupakan kemampuan yang sangat penting dalam pembelajaran
matematika karena dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk
memonitor dan mengevaluasi pemikirannya sendiri dan hasil pekerjaannya
selama menyelesaikan masalah (Harahap dan Surya, 2017: 44). Sedangkan
menurut Ruseffendi (2006: 341) kemampuan pemecahan masalah amatlah
penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang dikemudian hari
1
akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka
yang akan menerapkannya, baik dalam bidang studi lain maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pendapat diatas, dalam pembelajaran
matematika kemampuan pemecahan masalah juga diperlukan. Kemampuan
pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika berguna untuk
memonitor dan mengevaluasi pemikirannya sendiri dan hasil pekerjaannya
selama menyelesaikan masalah yang nantinya akan dapat diterapkan dalam
pembelajaran matemtika maupun dunia nyata. Sehingga kemampuan
pemecahan masalah ini sangat penting dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan pemecahan masalah terdapat dalam tujuan pembelajaran
yang ditetapkan oleh NCTM (2000:7) yang berbunyi “The next Five
Standards addres the processes of problem solving, reasoning adn proof,
connections, communication, and representation”. Selain terdapat dalam
NCTM, tujuan pembelajaran juga terdapat pada Permendikbud No. 21 tahun
2016 tentang standar isi pendidikan dasar dan menengah, salah satu
kompetensi yang akan diraih pada proses belajar matematika adalah
kemampuan pemecahan masalah. Selain terdapat dalam tujuan
pembelajaran, pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga
diungkapkan oleh Branca dalam Sutarto dan Radiyatul (2014:55)
menyatakan kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum
pengajaran matematika, mengandung pengertian bahwa matematika dapat
membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran lain maupun
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah itu sangat penting dalam
pembelajaran matematika dan kemampuan pemecahan masalah merupakan
salah satu standar kemampuan matematis yang harus dimiliki siswa. Karena
kemampuan pemecahan masalah dapat membantu dalam memecahkan
persoalan baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pemaparan di atas, kemampuan pemecahan masalah
harus dimiliki oleh setiap siswa, karena kemampuan pemecahan masalah
memberikan banyak manfaat bagi siswa maupun pembelajarn matematika.
2
dimana kemampuan pemecahan masalah berguna bagi siswa
untukmemperoleh suatu pengalaman menggunakan pengetahuan serta
keterampilan yang dimilikinya dan dapat menghubungkan semua
pengetahuan metamatika yang dimilikinya seperti konsep, penalaran,
menggunakan berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah matematis
yang tidak biasa. Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika berguna untuk memonitor dan mengevaluasi pemikirannya
sendiri dan hasil pekerjaannya selama menyelesaikan masalah. Sehingga
dengan memiliki kemampuan pemecahan masalah dapat meningkatkan
peringkat pembelajaran matematika ditingkat nasional maupun
internasional.
Namun kenyataan yang terjadi saat ini kemampuan pemecahan
masalah siswa masih rendah dan menjadi beban siswa dalam belajar
matematika. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari
(2015) diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa kelas XI
Akuntansi SMK Muhammadiyah I Patuk pada materi peluang termasuk
dalam kategori rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang
memiliki kemampuan pemecahan masalah dalam kategori rendah lebih dari
50%. Siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah pada kategori yang
tingi hanya 11,77%, siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang
sedang sebesar 35,29% dan 59,24% siswa memiliki kemampuan pemecahan
masalah yang rendah dan sangat rendah. Selain Purnamasari, Akbar, dkk
juga mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah masih
tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian (Akbar, dkk, 2018: 144)
diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa kelas XI SMA
Putra Juang pada materi peluang masih tergolong rendah. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya siswa pada pencapaian setiap indikator dari
kemampuan pemecahan masalah belum tercapai sepenuhnya sehingga
kemampuan pemecahan masalah masih tergolong rendah dan sangat rendah.
Pada indikator memahami masalah hanya 48,75% siswa yang mampu
memahami masalah, pada indikator merencanakan penyelesaian hanya 40%
3
siswa yang dapat merencanakan penyelesaian, pada indikator
menyelesaikan masalah hanya 7,5% siswa yang dapat menyelesaikan
masalah dengan benar, dan pada indikator melakukan pengecekan sebesar
0% siswa yang melakukan pengecekan.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa juga
dialami oleh siswa SMA Negeri 1 Singkawang yang masih belum bisa
memecahkan persoalan matematika sesuai dengan prosedur dalam bentuk
soal penerapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran
matematika di kelas XI SMA Negeri 1 Singkawang pada tanggal 29 Maret
2019, menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran dikelas guru sudah
menggunakan beberpa metode sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam pengajaran pada
materi program linear. Guru sudah menggunakan beberapa metode,
diantaranya metode ceramah dan penugasan yang berisikan soal-soal yang
berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Namun, hal tersebut kurang memberi efek yang baik terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa dengan rata-rata 60% yang nilainya
belum mencapai KKM yaitu 70.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah juga diperkuat dengan
hasil prariset yang dilakukan oleh penulis di SMA Negeri 1 Singkawang
dengan memberikan soal yang memuat indikator kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada materi pertidaksamaan linear dua variabel di
kelas X. Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah dalam prariset
yaitu 1) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan dan
dikecukupan unsur yang diperlukan, 2) merumuskan masalah matematis
atau meyusun model matematis, 3) menerapkan strategi untuk
menyelesaikan masalah, 4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil
penyelesaian masalah tersebut. Hasil prariset dapat dilihat dari hasil
pekerjaan siswa pada Gambar 1.1

4
Gambar 1.1 Cuplikan jawaban siswa pada prariset.
Dari Gambar 1.1 dapat diketahui bahwa pada soal no 1 butir a siswa
diharapkan dapat menuliskan mengidentifikasi apa yang diketahui dan
ditanyakan dari permasalahan, namun sebagian besar siswa belum bisa
menuliskan apa saja yang diketahui dari permasalahan karena dari 29 siswa
sebanyak 25 siswa yang masih belum bisa memahami permasalahan dengan
baik atau sebesar (86,21%) yang belum bisa memahami permasalahan
dengan baik. Pada soal nomor 1 butir b siswa diharapkan dapat merumuskan
masalah matematis atau meyusun model matematis dari yang sudah
diketahui diatas untuk mempermudah dalam menyelesaikan suatu masalah,
namun kebanyakan siswa tidak dapat menyusun ke dalam bentuk model
matematis karena dari 29 siswa sebanyak 19 siswa yang belum bisa
menyusun model matematis dengan benar atau sebesar (65,52%) yang
belum bisa menyusun model matematisnya. Pada soal nomor 1 butir c siswa
diharapkan dapat menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah, namun
kenyataannya masih banyak siswa yang belum dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut dengan benar karena dari 29 siswa sebanyak 26 siswa
yang belum bisa menyelesaikan permasalahan tersebut dengan benar atau
sebesar (89,66%) yang belum bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pada soal nomor 1 butir d siswa diharapkan dapat menjelaskan atau

5
menginterpretasikan hasil penyelesaian masalah tersebut atau
menyimpulkan dari hasil penyelesaian, namun kenyataannya masih banyak
siswa yang tidak bisa menyimpulkan dari hasil penyelesaian tersebut karena
dari 29 siswa sebanyak 27 siswa yang tidak dapat menyimpulkan dari hasil
penyelesaian atau sebesar (93,10%) yang tidak dapat menyimpulkan dari
hasil penyelesaian tersebut. Dari hasil prariset tersebut dapat disimpulkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis masih tergolong rendah.
Rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, disebabkan
kurangnya pemahaman siswa dalam mengidentifikasi apa yang diketahui
dan ditanyakan, menyusun model matematis, menerapkan strategi untuk
menyelesaikan masalah dan menjelaskan atau menginterpretasikan hasil
penyelesaian masalah tersebut atau menyimpulkan dari hasil penyelesaian.
Selain melakukan prariset, peneliti juga melakukan observasi di
dalam kelas untuk melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran
matematika. Hasil observasi yang diperoleh peneliti di SMA Negeri 1
Singkawang aktivitas belajar siswa masih tergolong rendah. Rendahnya
aktivitas siswa tersebut terlihat dari kurangnya pertanyaan siswa terhadap
materi yang dianggap belum paham dan tanggapan siswa apabila diberikan
pertanyaan yang terkait dengan materi pelajaran cenderung pasif, selain itu
dalam mengerjakan latihan soal siswa cenderung mengikuti langkah-
langkah yang digunakan oleh guru, siswa juga tidak bersemangat dalam
pembelajaran dan cepat bosan dalam belajar matematika. Padahal aktivitas
merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran matematika, agar
siswa dapat memahami matematika dengan cara berinteraksi dengan teman
maupun guru. Menurut Muhammad (dalam Riski, dkk: 2017) bahwa proses
pembelajaran matematika bukan hanya sekedar transfer ilmu dari guru
kepada siswa, melainkan suatu proses yang dikondisikan atau diupayakan
oleh guru sehingga siswa aktif dengan berbagai cara untuk mengkonstruksi
atau membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini mengindikasi bahwa
kurangnya peran aktif siswa pada saat mengikuti proses pembelajaran yang
sedang berlangsung dan berdampak dengan tidak pahamnya siswa pada
6
materi yang menyebabkan nilai siswa juga ikut rendah dan tidak memenuhi
kriteria ketuntasan minimum yaitu 70 nilai yang didapat tidak sesuai yang di
harapkan
Pada tahun ajaran sebelumnya, materi program linear diajarkan
dengan pembelajaran konvensional yaitu metode ceramah. Kegiatan siswa
hanya memperhatikan guru, tidak terlalu mendengarkan penjelasan guru,
dan melakukan kegiatan pembelajaran hanya berdasarkan perintah guru
saja. Hanya beberapa siswa yang bertanya atau menanggapi pertanyaan atau
pernyataan guru. Dari kondisi di atas, diperlukan suatu model pembelajaran
yang dapat memberikan penyelesaian terhadap masalah tersebut. Dengan
model pembelajaran ini di harapkan dapat membantu siswa untuk
memahami langkah-langkah dalam pemecahan masalah secara utuh dan
benar. Oleh karna itu, peneliti ingin menerapkan model pembelajaran
problem based learning dan problem posing sebagai alternatif pembelajaran
yang dapat memacu aktifitas siswa serta dapat mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Pembelajaran menggunakan model pembelajaran problem based
learning dan problem posing diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
emecahan matematis siswa, karna siswa akan mampu memecahkan masalah
matematika dan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Menurut Amir (dalam Isrok’atun dan Rosmala 2018: 49) model
pembelajaran problem based learning memiliki beberapa kelebihan dalam
proses pembelajaran yaitu sebagai berikut (1) fokus kebermaknaan, hal ini
berarti bahwa siswa secara mandiri membangun pengetahuan atau materi
yang akan dipelajari. Dalam pembelajaran matematika, siswa membangun
sendiri konsep matematika dengan terlibat langsung dalam kegiatan
pemecahan masalah. Masalah matematika yang dihadapi siswa merupakan
suatu masalah yang nyata di dalam kehidupan. Dengan demikian kegiatan
pembelajaran secara langsung dilakukan oleh siswa sendiri, dan adanya
permasalahan matematika yang dihadapi dapat memberikan tantangan
belajar. Hal ini dapat menumbuhkan kebermaknaan dalam belajar, (2)
7
meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif, kegiatan pembelajaran
menggunakan model problem based learning dapat melatih siswa untuk
memberikan pendapat atau ide dalam pemecahan masalah dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengeksplor kemampuannya sehingga
menemukan ide untuk pemecahan masalah, (3) mengembangkan
keterampilan dan pengtahuan, pembelajaran menggunakan model problem
based learning memiliki sintak kegiatan pembelajaran yang bertahap dan
sistematis. Setiap sintak pembelajaran dapat dikembangkan menjadi
kegiatan pembelajaran yang mengarah pada suatu tujuan pembelajaran.
Kegiatan belajar yang disusun dengan bertahap dapat mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan. Salah satu contoh keterampilan yang dapat
berkembang yaitu keterampilan dalam mengukur, sedangkan dalam
pengetahuan atau aspek kognitif yaitu siswa dapat berkembang dalam
memecahkan suatu masalah, serta dapat memahami dengan baik konsep
matematika dari permasalahan tersebut. Adapun manfaat model
pembelajaran problem based learning bagi siswa adalah siswa dapat secara
mandiri membangun pengetahuan atau membangun suatu konsep
matematika dari materi yang akan dipelajarinya, siswa dapat memberikan
pendapat atau ide dalam memecahkan suatu permasalahan, siswa dapat
mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya pada saat belajar
dengan menggunakan model pembelajaran problem based learning.
Berdasarkan hasil penelitian Handayani (2017: 76) menyatakan bahwa
selisih hasil pre-test dan post-test kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang di ajar dengan model pembelajaran Problem Based
Learning lebih tinggi dari selisih hasil pre-test dan post-test kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang di ajar dengan pembelajaran
Ekspositori. Selisih hasil pre-test dan post-test kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa yang di ajar dengan model pembelajaran Problem
Based Learning yaitu 51,86 sedangkan selisih hasil pre-test dan post-test
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang di ajar dengan
pembelajaran Ekspositori yaitu 45,19.
8
Selain itu menurut Kelen (2016: 58) kelebihan dari model
pembelajaran Problem Posing adalah 1) kegiatan pembelajaran tidak
berpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa, 2) minat siswa dalam
pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih mudah memahami
soal karena dibuat sendiri, 3) semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif
dalam membuat soal, 4) dengan membuat soal dapat menimbulkan damak
terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah, 5) dapat
membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam
dan lebih baik. Adapun Manfaat model pembelajaran Problem Posing bagi
siswa adalah merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kretif dari
yang diperolehnya dan memperluas bahasan/pengetahuan, siswa dapat
memahami soal sebagai latihan untuk mengajukan masalah, dan dapat
membantu siswa untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
pada suatu materi dan lebih baik dari sebelumnya. Berdasarkan hasil
penelitian Saputra dan Suryanti (2014;8) menyatkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika yang dicapai dengan menggunakan metode
pembelajaran Problem Posing lebih tinggi dibanding dengan siswa yang
menggunakan metode pembelajaran konvensional. Rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan menggunakan
metode pembelajaran Problem Posing berada pada kategori baik.
Sedangkan Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
yang dibelajarkan menggunakan metode pembelajaran konvensional berada
pada kategori sedang. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang dibelajarkan menggunakan metode pembelajaran
Problem Posing yaitu 73,76 sedangkan rata-rata kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang dibelajarkan menggunakan metode
pembelajaran konvensional yaitu 62,05.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning Dan
Problem Posing Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
9
Siswa Pada Materi Program Linear Di SMA Negeri 1 Singkawang”. Dengan
penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan
pemecahan masalah dan meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam
pembelajaran matematika.
B. Masalah Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut.
a. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih tergolong
rendah, hal ini ditunjukkan berdasarkan fakta-fakta yang telah
ditemukan.
b. Masih rendahnya aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran
matematika di kelas.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
yang menjadi rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana pengaruh model pembelajaran problem based
learning dan problem posing terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada materi program linear di SMA?”.
Adapun sub-sub rumusan masalah dalam penelitian ini adalah.
a. Seberapa besar pengaruh model pembelajaran problem based
learning terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
pada materi program linear di SMA?
b. Seberapa besar pengaruh model pembelajaran problem posing
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
materi program linear di SMA?
c. Apakah pengaruh model pembelajaran problem based learning lebih
besar dari pengaruh model pembelajaran problem posing terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi
program linear di SMA?

10
d. Apakah terdapat perbedaan aktivitas siswa dengan menggunakan
model pembelajaran problem based learning dan problem posing ?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pengaruh model pembelajaran problem based learning dan problem posing
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi
program linear di SMA.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah.
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh model pembelajaran problem
based learning terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa pada materi program linear di SMA.
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh model pembelajaran problem
posing terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
materi program linear di SMA.
3. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem based
learning lebih besar dari pengaruh problem posing terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa pada materi program linear di
SMA.
4. Untuk mengetahui perbedaan aktivitas siswa dengan menggunakan
model pembelajaran problem based learning dan problem posing.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini baik yang
bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis yaitu.
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan suatu ide terhadap pembelajaran
matematika untuk mengetahui pengaruh kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada materi program linear di SMA melalui model
pembelajaran problem based learning dan problem posing.
b. Manfaat Praktis
Dilihat dari segi praktis penelitian ini memberikan manfaat antara lain.

11
1. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan memberikan
gambaran dalam proses matematika, sehingga mampu memberikan
solusi dalam proses pembelajaran selanjutnya dengan cara
menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
2. Bagi Peserta Didik
Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis
yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan meningkatkan
aktifitas siswa dalam pembelajaran matematika.
3. Bagi Sekolah
Dapat menjadi referensi yang berguna dan pedoman di masa
yang akan datang dalam meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa melalui model pembelajaran problem
based learning dan problem posing secara keseluruhan.
4. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam
penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dan
Problem Posing. Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan, latihan
dan pengembangan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Selain
itu sebagai wahana uji kemampuan terhadap bekal teori yang
diterima di bangku kuliah serta bekal bagi masa depan sebagai
seorang calon pendidik (guru).
E. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek,atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2015:61). Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut.

12
1. Variabel Bebas
Sugiyono (2015:61) mengartikan variable bebas (Variable
Independen) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variable dependen (terikat).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
problem based learning dan model pembelajaran problem posing pada
materi program linear.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variable bebas (Sugiyono,2015:61).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dan aktivitas belajar siswa pada materi
program linear kelas XI SMA Negeri 1 Singkawang Tahun Pelajaran
2019/2020.

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Kemampuan Pemecahan Masalah
a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Hartono (2014:) menyatakan bahwa kemampuan
pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika
yang sangat penting, karena dalam proses pembelajaran matematika
siswa dapat memperoleh suatu pengalaman menggunakan pengetahuan
serta keterampilan yang sudah diperolehnya untuk diterapkan dalam
menyelesaikan masalah matematis yang tidak rutin. Selain itu menurut
Harahap dan Surya (2017:44) pemecahan masalah matematis
merupakan suatu aktivitas kognitif yang kompleks, sebagai proses
untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui dan untuk
menyelesaikannya diperlukan sejumlah strategi. Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah adalah suatu aktivitas siswa dalam menyelesaikan masalah
matematis yang tidak rutin dan untuk menyelesaikannya dierlukan
sejumlah strategi. selain itu dengan pemecahan masalah siswa dapat
memperoleh suatu pengalaman menggunakan pengetahuan serta
keterampilan yang sudah diperolehnya untuk mengatasi suatu masalah
yang ditemui.
b. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah
Adapun indikator pemecahan masalah menurut Polya (Soemarmo
dan Hendriana, 2014:23) adalah sebagai berikut:
a. Memahami masalah. Pada langkah pertama ini, siswa harus dapat
menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Untuk
mempermudah siswa memahami masalah dan memperoleh
gambaran umum penyelesaiannya daat dibuat catatan-catatan
penting dimana catatan-catatan tersebut dapat berupa gambar,
diagram, tabel, grafik atau yang lainnya. Dengan mengetahui apa
14
yang diketahui dan ditanyakan maka proses pemecahan masalah
akan mempunyai arah yang jelas. Contoh dalam pembelajaran guru
memberikan suatu masalah dan menanyakan ke siswa apa saja
yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari masalah tersebut.
b. Merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah. Untuk
dapat menyelesaikan masalah, siswa harus dapat menemukan
hubungan data dengan yang ditanyakan. Pemilihan teorema-
teorema atau konsep-konsep yang telah dipelajari, dikombinasikan
sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi itu. Jadi diperlukan aturan-aturan agar selama proses
pemecahan masalah berlangsung, dapat dipastikan tidak akan ada
satupun alternatif yang terabaikan.
c. Melaksanakan rencana. Berdasarkan rencana, penyelesaian-
penyelesaian masalah yang sudah direncanakan itu dilaksanakan.
Didalam menyelesaikan masalah, setiap langkah dicek, apakah
langkah tersebut sudah benar atau belum. Hasil yang diperoleh
harus diuji apakah hasil tersebut benar-benar hasil yang dicari.
d. Memeriksa kembali. Tanpa melihat kembali hasil pemecahan
masalah yang diperoleh mungkin merupakan bagian terpenting dari
proses pemecahan masalah. Setelah hasil penyelesaian diperoleh,
perlu dilihat dan dicek kembali untuk memastikan semua alternatif
tidak diabaikan misalnya dengan cara melihat kembali hasil,
melihat kembali alasan-alasan yang digunakan, menemukan hasil
lain dan lain sebagainya.
Adapun indikator pemecahan masalah matematis menurut (Lestari
dan Yudhanegara, 2015:)adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan yang ditanyakan.
Pada indikator ini guru meminta siswa untuk menentukan atau
menetapkan unsur-unsur apa saja yang diketahui dan yang
ditanyakan dari suatu permasalahan. Contohnya pada saat proses
pembelajaran guru memberikan suatu masalah dan guru meminta
15
siswa untuk menentukan apa saja yang diketahui dan ditanya dari
masalah tersebut.
b. Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik.
Pada indikator ini siswa menyatakan suatu masalah matematika
dengan rumus atau menyusun model matematika dari suatu
masalahan. Contohnya setelah guru meminta siswa menentukan
apa yang diketahui dan ditanya dari suatu masalah maka
selanjutnya adalah guru meminta siswa untuk menyusun ke dalam
benuk model matematika.
c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
(sejenis masalah baru) dalam atau diluar matematika. Pada
indikator ini siswa menggunakan rencana yang tepat untuk
menyelesaikan berbagai masalah baik dalam pembelajaran
matematika maupun diluar matematika. Contohnya siswa
menggunakan suatu cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan
yang telah diberikan oleh guru.
d. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan
awal. Pada indikator ini siswa menyimpulkan hasil penyelesaian
yang sudah didapat. Contohnya setelah menyelesaikan suatu
masalah maka siswa menyimpulkan hasil dari penyelesaian
tersebut.
Dari beberapa indikator diatas peneliti mengambil indikator
menurut Lestari dan Yudhanegara untuk diteliti, pada indikator pertama
yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan dan
dikecukupan unsur yang diperlukan. Pada indikator kedua yaitu
merumuskan masalah matematis atau meyusun model matematis. Pada
indikator ketiga yaitu menerapkan strategi untuk menyelesaikan
masalah. Dan pada indikator keempat yaitu menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil penyelesaian masalah tersebut.

16
c. Manfaat Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Hartono (2014:) kemampuan pemecahan masalah berguna
bagi siswa yaitu untuk memperoleh suatu pengalaman menggunakan
pengetahuan serta keterampilan yang sudah diperolehnya untuk
diterapkan dalam menyelesaikan masalah matematis yang tidak rutin.
Selain Hartono, Wulandari juga mengungkapkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah berguna bagi siswa. Menurut Wulandari (2017:77)
kemampuan pemecahan masalah matematis perlu dimiliki oleh siswa
untuk dapat menghubungkan semua pengetahuan matematika yang
dimilikinya yaitu konsep, penalaran, menggunaan berbagai strategi,
melakukan pemodelan yang relevan, dan melakukan konklusi dari
solusi-solusi yang telah ditemukan untuk dapat digunakan dalam
memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari.
Selain berguna bagi siswa, kemampuan pemecahan masalah juga
berguna bagi pembelajaran matematika di sekolah. Pemecahan masalah
merupakan kemampuan yang sangat penting dalam pembelajaran
matematika karena dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk
memonitor dan mengevaluasi pemikirannya sendiri dan hasil
pekerjaannya selama menyelesaikan masalah (Harahap dan Surya, 2017:
44). Selain Harahap dan Surya, Ruseffendi juga mengungkapkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah berguna pembelajaran matematika di
sekolah. Menurut Ruseffendi (2006: 341) kemampuan pemecahan
masalah amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka
yang dikemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika,
melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya, baik dalam
bidang studi lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
pendapat diatas, dalam pembelajaran matematika kemampuan
pemecahan masalah juga diperlukan. Kemampuan pemecahan masalah
dalam pembelajaran matematika berguna untuk memonitor dan
mengevaluasi pemikirannya sendiri dan hasil pekerjaannya selama
menyelesaikan masalah yang nantinya akan dapat diterapkan dalam
17
pembelajaran matemtika maupun dunia nyata. Sehingga kemampuan
pemecahan masalah ini sangat penting dalam pembelajaran matematika.
Berdasarkan pemaparan di atas, kemampuan pemecahan masalah
harus dimiliki oleh setiap siswa, karena kemampuan pemecahan masalah
memberikan banyak manfaat bagi siswa maupun pembelajaran
matematika. dimana kemampuan pemecahan masalah berguna bagi
siswa untuk memperoleh suatu pengalaman menggunakan pengetahuan
serta keterampilan yang dimilikinya dan dapat menghubungkan semua
pengetahuan metamatika yang dimilikinya seperti konsep, penalaran,
menggunakan berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah
matematis yang tidak biasa. Kemampuan pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika berguna untuk memonitor dan mengevaluasi
pemikirannya sendiri dan hasil pekerjaannya selama menyelesaikan
masalah. Sehingga dengan memiliki kemampuan pemecahan masalah
dapat meningkatkan peringkat pembelajaran matematika ditingkat
nasional maupun internasional.
Berdasarkan pemaparan diatas, kemampuan pemecahan masalah
adalah suatu aktivitas siswa dalam menyelesaikan masalah matematis
yang tidak rutin dan untuk menyelesaikannya dierlukan sejumlah
strategi. selain itu dengan pemecahan masalah siswa dapat memperoleh
suatu pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang
sudah diperolehnya untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui.
Adapun indikator dari kemampuan pemecahan masalah adalah indikator
pertama yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan
dan dikecukupan unsur yang diperlukan. Pada indikator kedua yaitu
merumuskan masalah matematis atau meyusun model matematis. Pada
indikator ketiga yaitu menerapkan strategi untuk menyelesaikan
masalah. Dan pada indikator keempat yaitu menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil penyelesaian masalah tersebut. Selain itu,
manfaat kemampuan pemecahan masalah berguna bagi siswa untuk
memperoleh suatu pengalaman menggunakan pengetahuan serta
18
keterampilan yang dimilikinya dan dapat menghubungkan semua
pengetahuan metamatika yang dimilikinya seperti konsep, penalaran,
menggunakan berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah
matematis yang tidak biasa. Kemampuan pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika berguna untuk memonitor dan mengevaluasi
pemikirannya sendiri dan hasil pekerjaannya selama menyelesaikan
masalah. Sehingga dengan memiliki kemampuan pemecahan masalah
dapat meningkatkan peringkat pembelajaran matematika ditingkat
nasional maupun internasional.
2. Aktivitas Siswa
a. Pengertian Aktivitas Siswa
Menurut Apriliawati (2011:34) aktivitas belajar adalah kegiatan
yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran, aktivitas siswa
selama pembelajaran mencerminkan adanya motivasi ataupun keinginan
siswa untuk belajar. Selain menurut Apriliawati, Kasmadi juga
mengungkapkan pengertian aktivitas belajar. Menurut Kasmadi
(2013:42) aktivitas belajar adalah kegiatan yang dilakukan secara
individu, memiliki perencanaan belajar, strategi, media, tahapan dan
tujuan tertentu, berhubungan dengan waktu dan tempat serta aturan yang
disepakati. Sudirman (2004:96) juga menyatakan bahwa aktivitas belajar
adalah kegiatan-kegiatan siswa yang menunjang keberhasilan belajar.
Berdasarkan pemaparan diatas daat disimpulkan bahwa, aktivitas belajar
siswa adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa secara individu selama
proses pembelajaran untuk memperoleh ilmu melalui pengalaman
sehingga terjadi perubahan tingkah laku positif pada diri siswa tersebut.
b. Indikator Aktivitas Siswa
Ada beberapa indikator dalam aktivitas belajar. Menurut Hamzah
dan Nurdin (2011:252) indikator aktivitas belajar siswa yaitu pertama
mengajukan pertanyaan, mengajukan pertanyaan adalah kegiatan yang
dilakukan siswa untuk mengemukakan suatu pertanyaan kepada guru,
contohnya dalam pembelajaran siswa dapat bertanya kepada guru
19
mengenai materi yang belum dimengerti. Kedua memberikan gagasan
dan usulan, memberikan gagasan dan ulasan adalah memberikan suatu
ide atau pendapat dan memberikan komentar atau tanggapan pada saat
pembelajaran berlangsung, contohnya adalah siswa menyampaikan
pendapatnya pada saat berdiskusi di kelas atau memberikan tanggapan
pada kelompok lain yang mempresentasikan hasil diskusinya. Ketiga
mengemukakan pendapat sendiri, mengemukakan pendapat sendiri
adalah mengeluarkan pikiran mengenai sesuatu, contohnya pada saat
diskusi di dalam kelas siswa dituntut untuk mengemukakan atau
mengeluarkan pikiran mereka mengenai apa yang akan dibahas pada
diskusi tersebut. Selain menurut Hamzah dan Nurdin, Hamalik juga
mengungkapkan indikator aktivitas belajar. Menurut Hamalik
(2001:158) indikator aktivitas belajar siswa yaitu pertama mengajukan
pertanyaan, mengajukan pertanyaan adalah kegiatan yang dilakukan
siswa untuk mengemukakan suatu pertanyaan kepada guru, contohnya
dalam pembelajaran siswa dapat bertanya kepada guru mengenai materi
yang belum dimengerti. Kedua menjawab pertanyaan, menjawab
pertanyaan adalah suatu kegitan dalam pembelajaran yang wajib
dilakukan oleh siswa jika guru memberikan pertanyaan, contohnya pada
saat belajar guru memberikan suatu pertanyaan kepada siswa dan siswa
tersebut harus menjawab pertanyaan itu. Ketiga mengemukakan
pendapat, mengemukakan pendapat adalah memberikan suatu ide atau
pendapat pada saat pembelajaran berlangsung, contohnya adalah siswa
menyampaikan pendapatnya pada saat berdiskusi di kelas. Keempat
menyelesaikan tugas kelompok dan mempresentasikan hasil kerja
kelompok.
Berdasarkan pendapat diatas, indikator aktivitas belajar yaitu
meliputi mengajukan pertanyaan, memberikan gagasan dan usulan,
mengemukakan pendapat sendiri, menjawab pertanyaan siswa lain
maupun guru, turut serta dalam melaksanakan tugas belajar dan terlibat
dalam pemecahan masalah.
20
c. Jenis-Jenis aktivitas belajar
Menurut Hamalik (2010:90-91) jenis-jenis aktivitas belajar
dikelompokkan kedalam beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut
1. Aktivitas visual/fisik meliputi membaca, melihat gamba-gambar,
mengamati eksperimen, demosntrasi, pameran, mengamati orang
bekerja atau bermain
2. Aktivitas lisan mengemukakan suatu fakta atau prinsip,
menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan,
memberi saran, mengemukakan pendapat, berwaancara serta
diskusi
3. Aktivitas menulis meliputi menulis rangkuman, membuat sketsa,
mengerjakan tes, dan mengisi angket
4. Aktivitas fisik mental berkaitan dengan mengingat, mengamati,
memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan
hubungan-hubungan
5. Aktivitas menggambar meliputi kegiatan menggambar, membuat
grafik, diagram, peta dan pola
6. Aktivitas emosional seperti minat, membedakan, berani,
semangat, tenang dan sebagainya.
d. Manfaat Aktivitas Siswa
Menurut Hamalik (2010: 91) menyatakan manfaat aktivitas dalam
pembelajaran adalah peserta didik mencari pengalaman sendiri dan
langsung mengalami sendiri, berbuat sendiri akan mengembangkan
seluruh aspek pribadi, memupuk kerja sama yang harmonis dikalangan
para peserta didik yang pada gilirannya dapat memperlancar kerja
kelompok, peserta didik belajar dan bekerja berdasarkan minat dan
kemampuan sendiri sehingga sangat bermanfaat dalam pendidikan
peserta didik, memupuk disiplin belajar dan suasana yang demokratis
dan kekluargaan, mengembangkan pemahaman berpikir kritis serta
menghindari terjadinya verbalisme.
21
3. Model Pembelajaran Problem Based Learning
a. Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning
Menurut Isro’atun dan Rosmala (2018:43) model pembelajaran
problem based learning adalah suatu pembelajaran yang dimulai dengan
menghadapkan siswa kepada suatu permasalahan yang terdapat dalam
dunia nyata dan menuntutnya untuk dapat menyelesaikan atau
memecahkan masalah tersebut melalui kegiatan atau pengalaman belajar
yang dilakukan selama proses pembelajaran. Selain menurut Isro’atun
dan Rosmala, Lestari dan Yudhanegara juga mengungkapkan pengertian
model pembelajaran problem based learning. Menurut Lestari dan
Yudhanegara (2015:43) Model pembelajaran problem based learning
adalah model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu
masalah sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan keterampilan penyelesaian masalah serta memperoleh
pengetahuan baru terkait dengan permasalahan tersebut. Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
problem based learning adalah suatu model pembelajaran yang
menghadapkan siswa pada suatu masalah yang terdapat pada dunia
nyata atau kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat mengembangkan
kemampuan berpikir untuk menyelesaikan atau memecahkan suatu
masalah melalui kegiatan atau pengalaman belajar yang dilakukan
selama proses pembelajaran.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning
Adapun langkah-langkah model pembelajaran problem based
learning menurut Huda (2014:272-273) yaitu sebagai berikut:
1. pertama menyajikan suatu masalah, tahap awal pembelajaran guru
menyajikan suatu masalah untuk diselesaikan oleh siswa. Masalah
yang disajikan kepada siswa merupakan masalah yang konkret atau
masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat mengenali masalah tersebut.

22
2. Kedua mendiskusikan masalah, pada tahap ini siswa melakukan
diskusi dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan masalah,
meliputi penggalian fakta-fakta yang terdapat dalam masalah serta
menyadari adanya masalah yang harus diselesaikan. Setelah itu
siswa mengidentifikasi kebutuhan untuk proses pemecahan masalah
sehingga dapat dirancang suatu tindakan pemecahan masalah.
3. Ketiga menyelesaikan masalah di luar bimbingan guru, pada tahap
ini siswa diberikan kebebasan untuk menyelesaikan masalah dari
berbagai sumber. Siswa dapat mencari informasi dalam
menyelesaikan masalah dari perpustakaan, internet, observasi
lapangan dan lain-lain.
4. Keempat berbagi informasi, setelah mencari berbagai sumber
informasi dalam proses pemecahan masalah siswa melakukan
kegiatan berbagi informasi melalui kegiatan diskusi kelompok.
Siswa mengemukakan ide dalam proses pemecahan masalah. Proses
pemecahan masalah yang telah diperoleh siswa, didiskusikan dengan
teman sekelompok agar dapat dipahami dengan baik dan
menerapkannya dalam proses pemecahan masalah yang sedang
dihadapi.
5. Kelima menyajikan solusi, tahap menyajikan solusi yakni tahap
dimana siswa menulsikan proses pemecahan masalah hasil dari
diskusi kelompok dengan pertimbangan dari berbagai mascam
sumber yang ditemukan, setelah itu siswa mempresentasikan hasil
tersebut kepada keompok lain.
6. Keenam merefleksi, tahap merefleksi merupakan tahap me-review
seluruh proses pembelajaran yang telah dilakukan dalam rangka
menyelesaikan masalah, siswa mengemukakan kembali materi
pembelajaran dan merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan.
Selain menurut Huda, Trianto juga mengungkapkan langkah-
langkah model pembelajaran problem based learning. Menurut Trianto
23
(2007:71) langkah-langkah pembelajaran Problem Based Learning
yaitu sebagai berikut:
1. Orientasi siswa pada masalah, tahap orientasi adalah tahap
pengenalan, pada langkah yang pertama ini guru melakukan
pengenalan kepada siswa mengenai masalah apa yang akan
dipecahkan oleh siswa pada kegiatan pembelajaran. Guru juga
melakukan atau memberikan motivasi kepada siswa untuk
mengungkapkan dan memahami masalah.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar, pada tahap ini guru
mengorganisasikan siswa dalam tugas belajar, sesuai dengan
masalah yang akan dipecahkan oleh siswa. Siswa dikelompokkan
dan diberi tugas belajar untuk menyelesaikan pemaslahan bersama.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, guru
membimbing ketika siswa melakukan penyelidikan terkait masalah
yang akan dipecahkan, baik secara individu maupun berkelompok.
Siswa banyak melakukan aktivitas selama proses pembelajaran yaitu
mengungkapkan ide, melakukan curah pendapat dan semua ide
pemecahan masalah yang diutarakan siswa dapat didiskusikan secara
bersama baik dengan kelompok maupun dengan guru.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, hasil karya disini
adalah hasil pemikiran siswa yaitu pemecahan masalah yang baru
saja dilakukan oleh siswa. Dalam penyajian hasil karya ini, dapat
berupa laporan tertulis, laporan lisan, maupun model. Pada tahap ini,
siswa diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan hasil
pemikirannya atau hasil diskusinya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, pada
tahap ini guru memiliki peranan yang penting. Guru bertugas untuk
menganalisis dan mengevaluasi apakah pemecahan masalah yang
dilakukan oleh siswa sudah benar atau belum. Guru juga melakukan
klarifikasi jika terdapat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
siswa.
24
Dari beberapa langkah-langkah model pembelajaran Problem
Based Learning diatas peneliti mengambil indikator menurut Trianto
untuk diteliti. Indikator pertama yaitu orientasi siswa pada masalah, tahap
orientasi adalah tahap pengenalan, pada langkah yang pertama ini guru
melakukan pengenalan kepada siswa mengenai masalah apa yang akan
dipecahkan oleh siswa pada kegiatan pembelajaran. Indikator kedua yaitu
mengorganisasi siswa untuk belajar, pada tahap ini guru
mengorganisasikan siswa dalam tugas belajar, sesuai dengan masalah
yang akan dipecahkan oleh siswa. Siswa dikelompokkan dan diberi tugas
belajar untuk menyelesaikan pemaslahan bersama. Indikator ketiga yaitu
membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, guru
membimbing ketika siswa melakukan penyelidikan terkait masalah yang
akan dipecahkan, baik secara individu maupun berkelompok. Indikator
keempat yaitu mengembangkan dan menyajikan hasil karya, pada tahap
ini siswa diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan hasil
pemikirannya atau hasil diskusinya. Indikator kelima yaitu Menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, pada tahap ini guru
bertugas untuk menganalisis dan mengevaluasi apakah pemecahan
masalah yang dilakukan oleh siswa sudah benar atau belum.
c. Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran Problem Based
Learning
Model pembelajaran problem based learning memiliki kelebihan
dan kekurangan. Menurut Gunantara (2014:5) model pembelajaran
Problem Based Learning memiliki beberapa kelebihan dalam proses
pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. fokus kebermaknaan, hal ini berarti bahwa siswa secara mandiri
membangun pengetahuan atau materi yang akan dipelajari. Dalam
pembelajaran matematika, siswa membangun sendiri konsep
matematika dengan terlibat langsung dalam kegiatan pemecahan
masalah. Masalah matematika yang dihadapi siswa merupakan suatu
masalah yang nyata di dalam kehidupan. Dengan demikian kegiatan
25
pembelajaran secara langsung dilakukan oleh siswa sendiri, dan
adanya permasalahan matematika yang dihadapi dapat memberikan
tantangan belajar. Hal ini dapat menumbuhkan kebermaknaan dalam
belajar.
2. meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif, kegiatan
pembelajaran menggunakan model problem based learning dapat
melatih siswa untuk memberikan pendapat atau ide dalam
pemecahan masalah dan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengeksplor kemampuannya sehingga menemukan ide untuk
pemecahan masalah.
3. mengembangkan keterampilan dan pengtahuan, pembelajaran
menggunakan model problem based learning memiliki sintak
kegiatan pembelajaran yang bertahap dan sistematis. Setiap sintak
pembelajaran dapat dikembangkan menjadi kegiatan pembelajaran
yang mengarah pada suatu tujuan pembelajaran. Kegiatan belajar
yang disusun dengan bertahap dapat mengembangkan keterampilan
dan pengetahuan. Salah satu contoh keterampilan yang dapat
berkembang yaitu keterampilan dalam mengukur, sedangkan dalam
pengetahuan atau aspek kognitif yaitu siswa dapat berkembang
dalam memecahkan suatu masalah, serta dapat memahami dengan
baik konsep matematika dari permasalahan tersebut.
Selain memilki kelebihan model pembelajaran problem based
learning juga memilki kekurangan. Menurut Gunantara (2014:5) model
pembelajaran Problem Based Learning memiliki beberapa kekurangan
dalam proses pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Pencapaian akademik dari individu siswa, pencapaian akademik
dalam diri siswa akan berbeda-beda. Hal ini terlihat dari bagaimana
siswa memahami setiap tahap proses pemecahan masalah ataukah
hanya menghafal konsep materi saja. Siswa yang memahami dengan
baik setiap proses pemecahan masalah, ia akan menuliskan secara
detail proses tersebut sampai akhir. Akan tetapi, jika siswa hanya
26
menghafal konsep materi saja maka ia tidak mampu menjelaskan
jalan proses pemecahan masalah.
2. Waktu yang diperlukan untuk implementasi, model pembelajaran
problem based learning merupakan salah satu model pembelajaran
kontstruktivistik. Oleh sebab itu, kegiatan siswa dalam membangun
sendiri konsep materi membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Guru perlu merencanakan secara matang kegiatan pembelajaran
dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan sehingga dapat
mengimplementasikan sesuai dengan alokasi waktu yang telah
ditentukan.
3. Perubahan peran siswa dalam proses belajar, peran siswa dalam
model problem based learning yakni sebagai subjek belajar artinya
siswa aktif dalam melakukan kegiatan belajar. Hal ini merupakan
suatu perubahan yang tidak mudah dilakukan. Pada pembelajaran
matematika, biasanya siswa hanya menerima konsep dari guru. Akan
tetapi, kini siswa harus melakukan berbagai kegiatan belajar. Hal ini
berkaibat pada munculnya kebingungan siswa saat mengikuti
langkah-langkah pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan suatu
pembiasaan belajar secara mandiri.
4. Perubahan peran guru dalam kegiatan mengajar, dalam pembelajaran
Problem Based Learning guru berperan sebagai fasilisator. Guru
menyiapkan segala fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa dalam
melakukan kegiatan belajar. Perubahan peran guru dapat dilihat saat
proses pembelajaran. Guru yang awalnya menggunakan ceramah
atau menjelaskan konsep kepada siswa, berubah peran menjadi
penyedia fasilitas belajar dan membimbing belajar siswa. Perubahan
peran ini tidaklah mudah dilakukan oleh guru, dikarenakan harus
mempunyai kemampuan dalam merancang dan berkreasi
menggunakan sarana dan prasarana belajar untuk membuat siswa
melakukan kegiatan belajar.

27
5. Perumusan masalah yang baik, model Problem Based Learning
menitikberatkan pada masalah sebagai fokus dalam pembelajaran.
Dengan demikian, diperlukan kemampuan guru dalam merumuskan
masalah dengan baik. Masalah tersebut harus mampu
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Akan tetapi,
permasalahan umumnya guru masih kebingungan dalam
merumuskan masalah untuk melatih berpikir tingkat tinggi.
d. Teori yang Melandasi Model Pembelajaran Problem Based
Learning
Ada beberapa teori belajar yang melandasi model pembelajaran
problem based learning, yakni sebagai berikut:
1. Teori Belajar Bermakna Dari David Ausubel
Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki
seseorang yang sedang belajar (Rusman, 2011: 244). Kaitannya
dengan model problem based learning dalam hal mengaitkan
informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh
siswa.
2. Teori Belajar Vigotsky
Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan
dengan pengalaman baru, menantang dan ketika berusaha untuk
memecahkan masalah yang dimunculkan. Vigotsky menekankan
pentingnya aspek sosial belajar, meyakini bahwa interaksi sosial
dengan orang lain memacu pengonstruksian ide-ide baru dan
meningkatkan perkembangan intelektual belajar (Arends, 2008: 47).
Kaitannya dengan model problem based learning adalah mengaitkan
informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh
siswa melalui kegiatan belajar saat berinteraksi sosial dengan teman
lain.

28
3. Teori Belajar Jerome S. Bruner
Model problem based learning menyandarkan diri pada konsep yan
berasal dari Bruner, yakni idenya tentang scaffolding (Arends, 2008:
48). Bruner mendeskripsikan scaffolding sebagai sebuah proses
untuk membantu siswa mengatasi masalah tertentu yang berada di
luar kapasitas perkembangannya dengan bantuan guru, teman atau
orang yang lebih mampu.
4. Model Pembelajaran Problem Posing
a. Pengertian Model Pembelajaran Problem Posing
Menurut Lestari dan Yudhanegara (2015:66) model pembelajaran
problem posing adalah suatu pembelajaran dimana siswa diminta untuk
mengajukan masalah berdasarkan situasi tertentu. Selain menurut
Lestari dan Yudhanegara, Novia juga mengungkapkan pengertian
model pembelajaran problem posing. Menurut Novia (2017:8) model
pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang
meminta siswa untuk mengajukan soal atau masalah dan pertanyaan
sendiri. Pengajuan soal tersebut berkaitan terhadap situasi atau tugas
yang diberikan oleh guru yang mengacu pada penyelesaian masalah
baik sebelum, ketika atau setelah penyelesaian masalah. Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
problem posing adalah suatu model pembelajaran dimana siswa diminta
untuk mengajukan masalah dari tugas yang telah diberikan oleh guru
pada saat proses pembelajaran berlangsung.
b. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Problem Posing
Adapun langkah-langkah model pembelajaran problem posing
menurut Lestari dan Yudhanegara (2015:66) langkah-langkah
pembelajaran Problem Posing yaitu sebagai berikut:
1. Siswa dikelompokkan 5 atau 6 orang secara heterogen.
2. Siswa dihadapkan pada situasi masalah.
3. Berdasarkan kesepakatan siswa menyusun pertanyaan atau
merumuskan masalah yang ada.
29
4. Berdasarkan kesepahaman, siswa menyelesaikan masalah.
5. Siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah.
Selain Lestari dan Yudhanegara, Susanti juga mengungkapkan
langkah-langkah model pembelajaran problem posing. Menurut Susanti
(2102:14) langkah-langkah model pembelajaran Problem Posing
sebagai berikut.
1. Guru menjelaskan materi kepada peserta didik
2. Guru memberikan latihan soal secukupnya
3. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 soal yang menantang dan siswa
yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya.
4. Secara acak guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya
di depan kelas
5. Guru memberikan evaluasi
6. Guru memberikan tugas rumah
Dari beberapa langkah-langkah model pembelajaran problem
posing diatas peneliti mengambil indikator menurut Susanti untuk
diteliti. Langkah pertama yaitu guru menjelaskan materi kepada peserta
didik, kedua guru memberikan latihan soal secukupnya, ketiga siswa
diminta mengajukan 1 atau 2 soal yang menantang dan siswa yang
bersangkutan harus mampu menyelesaikannya, keempat secara acak
guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas,
kelima guru memberikan evaluasi, dan terakhir guru memberikan tugas
rumah.
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pemelajaran Problem Posing
Model pembelajaran problem posing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Menurut Thobroni dan Mustofa (2012: 349) model
pembelajaran problem posing memiliki beberapa kelebihan dalam
proses pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Mendidik murid berpikir kritis
2. Siswa aktif dalam pembelajaran
3. Belajar menganalisis masalah
30
4. Mendidik anak percaya pada diri sendiri
Selain memilki kelebihan model pembelajaran problem posing juga
memilki kekurangan. Menurut Thobroni dan Mustofa (2012: 349)
model pembelajaran problem posing memiliki beberapa kekurangan
dalam proses pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Memerlukan banyak waktu yang cukup banyak
2. Tidak bisa digunakan di kelas rendah
3. Tidak semua murid terampil bertanya
d. Teori yang Melandasi Model Pembelajaran Problem Posing
Ada beberapa teori belajar yang melandasi model pembelajaran
problem posing, yakni sebagai berikut:
1. Teori Belajar Piaget
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata
(Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema yang dibangun
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Akomodasi adalah
menyusun kembali struktur pikiran anak. Kedua proses tersebut
merupakan ciri-ciri perkembangan intelektual dalam
mengkonstruksi pengetahuan.
Teori Jean Piaget menjadi rekomendasi pentingnya relevansi model
pembelajaran problem posing yang memiliki karakteristik elaborasi
dengan pembelajaran matematika terutama untuk menyesuaikan
“keabstrakan” bahan matematika dengan kemampuan berpikir anak
dalam memperoleh pengetahuan yang baru. Asimilasi terjadi saat
guru memberikan suatu pernyataan yang kemudian melangkah
pada tahap kedua kegiatan akomodasi yaitu peserta didik diminta
menyusun kembali struktur dari pernyataan itu melalui pengajuan
soal yang lebih simpel agar mudah dipahami. Disinilah
perkembangan kognitif peserta didik aktif dalam memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungan.
2. Teori Belajar Ausubel
31
Teori makna (meaning theory) dari Ausubel mengemukakan
pentingnya pembelajaran bermakna dalammengajar matematika.
Kebermaknaan pembelajaran akanmembuat kegiatan belajar lebih
menarik, lebih bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga konsep
dan prosedur matematika akan lebih mudah dipahami dan lebih
tahan lama diingat oleh peserta didik. Salah satu wujud
kebermaknaan yang dikaitkan model problem posingdengan
pembelajaran matematika, peserta didik diberikan kesempatan
sebanyak-banyaknya mengajukan soal dari pernyataan terkait
dengan materi dipelajari. Untuk menstimulan pernyataan bisa
berupa pernyataan matematis maupun non matematis. Sehingga
kebermaknaan pembelajaran lebih tercapai.
3. Goerge Polya
George Polya (dalam posamentier) menyebutkan teknik Heuristic
(bantuan untuk menemukan), meliputi (a) understand the problem,
(b) devise a plan, (c) carry out the plan, dan (d) look back. Dengan
melatih kompetensi pemecahan masalah melatih pikiran melalui
kegiatan inkuiri, diskusi dan penalaran. Teori polya menjadi
pendukung relevansi ciri elaborasi dari problem posing (pengajuan
soal atau pembuatan soal) sebagai model pembelajaran matematika
dimana peserta didik sering kesulitan memahami ruang lingkup
pemahaman materi. Melalui memahami masalah, merencanakan
penyelesaian kemudian menyelesaiakannya dan langkah yang
terakhir memeriksa kembali hasil yang diperoleh merupakan sintak
yang cocok untuk menangani masalah peserta didik dalam
mempelajari matematika.
5. Program Linear
a. Pengertian Program Linear
Program linear adalah suatu metode yang digunakan untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan optimasi linear (nilai
maksimum dan nilai minimum). Program linear tidak lepas dengan
32
sistem pertidaksamaan linear. Khususnya pada tingkat sekolah
menengah, sistem pertidaksamaan linear yang dimaksud adalah
sistem pertidaksamaan linear dua variabel.
b. Konsep – Konsep Program Linear
Namun sebagai dasar untuk mempelajari Program Linear ini kita
harus mempelajari dasar-dasarnya sebagai berikut:
1. Grafik Himpunan Penyelesaian Pertidaksamaan Linear dua
Variabel. Persamaan Linear dua variabel adalah persamaan yang
memiliki dua variabel misal x dan y. Bentuk persamaan linear
dua variabel : ax + by < c, ax + by < c, ax + by > c, dan ax +
by >c.
Dalam menentukan grafik himpunan penyelesaian
pertidaksamaan linear dua variabel, ada beberapa langkah yang
harus kita lakukan yaitu sebagai berikut :
a. Gambar garis ax + by = c pada bidang cartesius dengan mencari
titik-titik potong grafik dengan sumbu x(y = 0) dan sumbu y(x =
0).
b. Ambil sembarang titik P(x1, y1) yang bukan terletak pada garis
tersebut. kemudian dihitung nilai dari ax1+ by1. Nilai ax1+
by1 dibandingkan dengan nilai c.
c. Daerah penyelesaian untuk pertidaksamaan ax + by < c,
ditentukan sebagai berikut:
– jika daerah ax1+ by1 < c. Maka daerah yang memuat P adalah
daerah himpunan penyelesaian
– jika daerah ax1+ by1 > c. Maka daerah yang memuat P adalah
bukan daerah humpunan penyelesaian.
d. Daerah penyelesaian untuk pertidaksamaan ax + by > c,
ditentukan sebagai berikut:
– jika daerah ax1+ by1 > c. Maka daerah yang memuat P adalah
daerah himpunan penyelesaian

33
– jika daerah ax1+ by1 < c. Maka daerah yang memuat P adalah
bukan daerah humpunan penyelesaian.
e. Daerah yang bukan merupakan penyelesaian diberikan arsiran,
Sehingga daerah penyelesaian ialah daerah tanpa arsiran. Hal ini
yang akan mempermudah kita untuk mengenal mana daerah
yang merupakan Hp.
f. Daerah penyelesaian untuk pertidaksamaan yang memuat tanda
sama dengan digambarkan dengan garis penuh, sedangkan darah
penyelesaian pertidaksamaan yang tidak memuat tanda samaa
dengan digambar dengan garis putu-putus.
2. Model Matematika Dari Soal Cerita ( Kalimat Verbal). Model
matematika adalah suatu bentuk kalimat matematika yang
palingsederhana dari sebuah soal cerita atau biasanya disebut
kalimat verbal matematika. Mengubah kalimat verbal menjadi
model matematika dalam bentuk sistem pertidak samaan kita
gunakan tebel berikut:

Variabel Variabel 1 (x) Variabel 2 (y) Persediaan

Variabel 1

Variabel 2

Variabel 3

3. Nilai Optimum dari Sistem Persamaan Linear,


hal terpenting dalalm masalah program linear adalah mengubah
persoalan verbal ke dalam bentuk model matematika yang
merupakan dari penyajian dari bahasa sehari-hari ke dalam
bahasa matematika yang lebih sederhana dan mudah dimengerti.
Langkah-langkah mencari nilai optimum :
a. Ubah lah persoalan verbal kedalam model matematika (dalam
bentuk sistem pertidaksamaan linear)
34
b. Tentukan himpunan penyelesaian (daerah penyelesaian)
c. Tentukan titik pojok pada daerah penyelesaian
d. Hitung nilai bentuk objektif untuk setiap titik pojok dalam
daerah penyelesaian
e. Daerah hasil pada langkah ke-4 nilai maksimum atau
minimumnya dapat ditetapkan.
c. Contoh Soal Materi Program Linear
1. Tentukan daerah himpunan penyelesaian dari 2x + y < 4 !
Jawab :
2x + y < 4
Untuk mencari titik potong sumbu x dan sumbu y maka kita
gunakan tabel berikut :
x y

x 2 0

y 0 4

Dengan demikian titik potong dengan sumbu x dan y adalah


(2,0) dan (0,4). Kemudian ambil smebarang titik P(0,0) sebagai
titik uji pada 2x + y < 4 dan di peroleh 2(0) + 0 < 4. Maka
Hpnya adalah :

2. Untuk membuat roti A 200 gram tepung dan 25 gram mentega,


Sedangkan untuk roti B di perlukan 100 gram tepung dan 50
gram mentega. Tepung yang tersedia hanya 4 kg dan mentega

35
hanya 1,2 kg. Jika harga roti A Rp 400,00 dan roti B Rp.
500,00. Buatlah model mateatikanya!
Jawab :
Misalkan banyak roti A = x dan roti B = y, berarti variabel yang
lain adalah tepung dan mentega. Sehingga tabelnya adalah :
Variabel Roti A (x) Roti B (y) Persediaan

Tepung 200 gram 100 gram 4000 gram

Mentega 25 gram 50 gram 1200 gram

Tepung dan mentega paling banyak tersedia masing-masing 4


kg = 4000 gram, 1,2 kg = 1200 gram, jadi tanda
pertidaksamaan adalah <, Maka dari tabel di atas dapat kita
buat bentuk pertidaksamaan menjadi :
200x + 100y < 4000, di sederhanakan menjadi 2x + y < 40 (1)
25x+ 50y < 1200, di sederhanakan menjadi x + 2y < 48 (2)
Karena x dan y adalah bilangan bulat bukan negatif maka :
x > 0 (3)
y > 0 (4)
keempat persamaan di atas merupakan merupakan persyaratan
yang harus di penuhi disebut Fungsi Kendala. Harga roti A Rp.
500,00 dan roti B Rp.400,00, maka hasil penjualan dapat
dirumuskan dengan Z = 400x + 500y
Z disebut fungsi objektif atau fungsi sasaran yang dapat
dimaksimumkan atau diminimumkan.
3. Tentukan nilai maksimum dan minimum dari Z = 5x + 3y,
dengan syarat :
x + 2y < 8, x + y < 6, x > 0, dan y > 0.
Jawab :

36
dikaeranakan soal sudah merupakan kalimat matematika maka
kita langsung mencari daerah himpunan penyelesaiannya pada
digram cartesius.
Untuk mencari titik potong pertidaksamaan x + 2y < 8 dengan
sumbu x dan subu y maka kita ubah pertidaksamaan ke dalam
persamaan menjadi x + 2y = 8, maka titiknya :
x y

x 8 0

y 0 4

(8,0) dan (0,4)


Kemudian Untuk mencari titik potong pertidaksamaan x +
y < 6 dengan sumbu x dan subu y maka kita ubah
pertidaksamaan ke dalam persamaan menjadi x + y = 6, maka
titiknya
x y

x 6 0

y 0 6

(6,0) dan (0,6)


lalu gambar daerah penyelesaian dari x + 2y < 8, x + y < 6,
x > 0, dan y > 0 adalah :

37
cara mencari titik potongnya yaitu dengan cara meng eleminasi
dan mensubstitusi persamaan x + 2y = 8 dan x + y = 6,
perhatikan :
x + 2y = 8
x + y = 6-

y=2
kita ambil persamaan x + 2y = 8 untuk mensubstitusi.
x + 2y = 8
x + 2(2) = 8
x + 4 = 8, untuk menyederhanakan kita kurangi kedua ruas
dengan 4
x+4–4=8–4
x=4
Maka kita peroleh titik potongnya yaitu (4,2)
lalu kita uji tiap titik pojok untuk mencari nilai maksimumnya,
lihat tabel di bawah ini :
Titik x Y 5x + 3y

0 (0,0) 0 0 0

A(6,0) 6 0 30

B(4,2) 4 2 26

C(0,4) 0 4 12

Jadi nilai maksimumnya adalah 30 terjadi untuk x = 6 dan y = 0


B. Kajian Penelitian yang Relevan
Kajian penelitian yang relevan merupakan hasil penelitian orang lain
terdahulu yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam melakukan penelitian
baru. Penelitian yang relevan dengan penulis diantaranya adalah sebagai
berikut.
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2015)
diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa kelas XI
38
Akuntansi SMK Muhammadiyah I Patuk pada materi peluang termasuk
dalam kategori rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang
memiliki kemampuan pemecahan masalah dalam kategori rendah lebih
dari 50%. Siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah pada
kategori yang tingi hanya 11,77%, siswa memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang sedang sebesar 35,29% dan 59,24% siswa
memiliki kemampuan pemecahan masalah yang rendah.
2. Berdasarkan hasil penelitian Handayani (2017: 76) menyatakan bahwa
selisih hasil pre-test dan post-test kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang di ajar dengan model pembelajaran problem
based learning lebih tinggi dari selisih hasil pre-test dan post-test
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang di ajar dengan
pembelajaran Ekspositori. Selisih hasil pre-test dan post-test
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang di ajar dengan
model pembelajaran problem based learning yaitu 51,86 sedangkan
selisih hasil pre-test dan post-test kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang di ajar dengan pembelajaran Ekspositori yaitu
45,19.
3. Berdasarkan hasil penelitian Saputra dan Suryanti (2014;8) menyatkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika yang dicapai
dengan menggunakan metode pembelajaran problem posing lebih tinggi
dibanding dengan siswa yang menggunakan metode pembelajaran
konvensional. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang dibelajarkan menggunakan metode pembelajaran problem
posing berada pada kategori baik. Sedangkan Rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan menggunakan
metode pembelajaran konvensional berada pada kategori sedang. Rata-
rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
dibelajarkan menggunakan metode pembelajaran problem posing yaitu
73,76 sedangkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika

39
siswa yang dibelajarkan menggunakan metode pembelajaran
konvensional yaitu 62,05.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi ditemukan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA Negeri 1 Singkawang
pada materi program linear termasuk dalam kategori kurang. Hal ini menjadi
indikator perlunya upaya untuk membantu siswa agar kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada materi program linear dapat lebih baik sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ingin di capai. Adapun indikator kemampuan
pemecahan masalah yaitu 1) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui,
ditanyakan dan dikecukupan unsur yang diperlukan, 2) merumuskan masalah
matematis atau menyusun model matematis, 3) menerapkan strategi untuk
menyelesaikan masalah, 4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil
penyelesaian masalah tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dapat di
gunakan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu guru dapat menggunakan model
pembelajaran problem based learning dan problem posing. Dalam pembelajaran
ini siswa lebih banyak berperan aktif dibandingkan dengan guru. Pada penelitian
ini diharapkan pendekatan scientific dapat berpengaruh terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri 1 Singkawang tahun
ajaran 2019/2020 pada materi program linear. Berdasarkan paparan tersebut maka
skema kerangka berpikir dalam penelitian ini disajikan pada gambar 2.1 sebagai
berikut.
Kerangka Pikir

KONDISI AWAL
1. Pembelajaran matematika masih terpusat pada
guru
2. Siswa kurang aktif dalam pembelajaran
3. Kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa masih tergolong rendah

Model pembelajaran Model pembelajaran


problem based learning problem posing
40
KONDISI AKHIR
1. Terdapat pengaruh setelah diterapkan model
pembelajaran problem based learning dan
problem posing terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa
Gambarpemecahan
2. Kemampuan 2.1 Kerangka Berpikir
masalah matematis
siswa tinggi
D. Hipotesis Penelitian
3. Aktivitas siswa tinggi.
Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka hipotesis yang
diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
Ho = Model pembelajaran problem based learning dan problem posing
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMA Negeri 1 Singkawang
tahun ajaran 2019/2020 pada materi program linear.
Ha = Model pembelajaran problem based learning dan problem posing
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa SMA Negeri 1 Singkawang tahun ajaran
2019/2020 pada materi program linear.

41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen dengan pendekatan
kuantitatif karena data yang diperoleh berhubungan dengan angka-angka yang
dapat dihitung secara matematis dan sistematis. Jenis penelitian eksperimen
adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan
tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono,
2015:107). Metode kuantitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada
filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,
pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan
(Sugiyono, 2015:14).
Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Bentuk desain dalam penelitian ini adalah Quasi Experimental. Hal ini
dikarenakan tidak memungkinkan pemilihan sampel secara acak karena telah
terbentuknya satu kelompok utuh seperti kelompok siswa dalam satu kelas,
sehingga jika dilakukan lagi pengelompokan secara acak maka akan menyebabkan
kekacauan jadwal pelajaran. Rancangan penelitian yang digunakan berbentuk The
Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group Design. Dikatakan Quasi
Experimental (Sugiyono, 2015:114) “karena dalam desain ini, peneliti tidak dapat
mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya pelaksanaan
eksperimen”. Tahap pertama dilakukan pengukuran (pretest), kemudian tahap
kedua diterapkannya model Problem Based Learning dan Problem Posing dalam
pembelajaran dan tahap ketiga diakhiri dengan pengukuran kembali (posttest).
Adapun rancangan penelitian, ditampilkan pada tabel 3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelas Pre-test Perlakuan Post-test
Eksperimen A O1 X1 O2
Eksperimen B O3 X2 O4

42
Kontrol O5 X3 O6
Keterangan :
O1 = pre-test kelas ekperimen A
O2 = post-test kelas eksperimen A
O3 = pre-test kelas ekperimen B
O4 = post-test kelas eksperimen B
X1 = perlakuan pada kelas eksperimen A yaitu pembelajaran menggunakan model
Problem Based Learning
X2= perlakuan pada kelas eksperimen B yaitu pembelajaran menggunakan
Problem Posing
X3= perlakuan pada kelas kontrol yaitu pembelajaran menggunakan model
pembelajaran langsung
O5 = pre-test kelas kontrol
O6= post-test kelas kontrol
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Berdasarkan observasi lingkungan dan pertimbangan maka
penelitian ini akan melaksanakan di SMA Negeri 1 Singkawang Jl.
Pahlawan Gg. Tama, Roban, Singkawang Tengah, Kota Singkawang,
Kalimantan Barat. Penulis memilih sekolah SMA Negeri 1 Singkawang
karena sekolah tersebut belum ada yang melakukan penelitian dengan
menggunakan model Problem Based Learning dan Problem Posing
serta berdasarkan hasil prariset kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa masih rendah.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada semester
ganjil tahun 2019/2020.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Menurut Sugiyono (2015:117) menyatakan bahwa populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
43
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan
hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1
Singkawang.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2015:118). Sedangkan teknik yang
digunakan pada penelitian ini adalah teknik simple random sampling.
Menurut Sugiyono (2015:120) simple random sampling adalah teknik
pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Adapun sampel pada
penelitian ini adalah siswa kelas XI A sebagai kelas eksperimen A,
siswa kelas XI B sebagai kelas eksperimen B dan siswa kelas XI C
sebagai kelas kontrol.
D. Definisi Operasional
Adapun definisi dan batasan istilah yang berkaitan dengan judul dalam
penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan Pemecahan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu aktivitas siswa dalam
menyelesaikan masalah matematis yang tidak rutin dan untuk
menyelesaikannya dierlukan sejumlah strategi. selain itu dengan pemecahan
masalah siswa dapat memperoleh suatu pengalaman menggunakan
pengetahuan serta keterampilan yang sudah diperolehnya untuk mengatasi
suatu masalah yang ditemui. Adapun indikator dari kemampuan pemecahan
masalah adalah 1) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan
dan dikecukupan unsur yang diperlukan, 2) merumuskan masalah matematis
atau meyusun model matematis, 3) menerapkan strategi untuk
menyelesaikan masalah, 4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil
penyelesaian masalah tersebut.

44
2. Model Pembelajaran Problem Based Learning
Model pembelajaran problem based learning adalah suatu model
pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu masalah yang
terdapat pada dunia nyata atau kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat mengembangkan kemampuan berpikir untuk menyelesaikan atau
memecahkan suatu masalah melalui kegiatan atau pengalaman belajar
yang dilakukan selama proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah
pembelajaran Problem Based Learning yaitu sebagai berikut:
a. Orientasi siswa pada masalah, tahap orientasi adalah tahap
pengenalan, pada langkah yang pertama ini guru melakukan
pengenalan kepada siswa mengenai masalah apa yang akan
dipecahkan oleh siswa pada kegiatan pembelajaran. Guru juga
melakukan atau memberikan motivasi kepada siswa untuk
mengungkapkan dan memahami masalah.
b. Mengorganisasi siswa untuk belajar, pada tahap ini guru
mengorganisasikan siswa dalam tugas belajar, sesuai dengan
masalah yang akan dipecahkan oleh siswa. Siswa dikelompokkan
dan diberi tugas belajar untuk menyelesaikan pemaslahan bersama.
c. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, guru
membimbing ketika siswa melakukan penyelidikan terkait masalah
yang akan dipecahkan, baik secara individu maupun berkelompok.
Siswa banyak melakukan aktivitas selama proses pembelajaran yaitu
mengungkapkan ide, melakukan curah pendapat dan semua ide
pemecahan masalah yang diutarakan siswa dapat didiskusikan secara
bersama baik dengan kelompok maupun dengan guru.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, hasil karya disini
adalah hasil pemikiran siswa yaitu pemecahan masalah yang baru
saja dilakukan oleh siswa. Dalam penyajian hasil karya ini, dapat
berupa laporan tertulis, laporan lisan, maupun model. Pada tahap ini,
siswa diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan hasil
pemikirannya atau hasil diskusinya.
45
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, pada
tahap ini guru memiliki peranan yang penting. Guru bertugas untuk
menganalisis dan mengevaluasi apakah pemecahan masalah yang
dilakukan oleh siswa sudah benar atau belum. Guru juga melakukan
klarifikasi jika terdapat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
siswa.
3. Model Pembelajaran Problem Posing
Model pembelajaran problem posing adalah suatu model
pembelajaran dimana siswa diminta untuk mengajukan masalah dari tugas
yang telah diberikan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Adapun langkah-langkah model pembelajaran Problem Posing sebagai
berikut.
a. Guru menjelaskan materi kepada peserta didik
b. Guru memberikan latihan soal secukupnya
c. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 soal yang menantang dan siswa
yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya.
d. Secara acak guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya
di depan kelas
e. Guru memberikan evaluasi
f. Guru memberikan tugas rumah
4. Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas belajar siswa adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa
secara individu selama proses pembelajaran untuk memperoleh ilmu melalui
pengalaman sehingga terjadi perubahan tingkah laku positif pada diri siswa
tersebut. Adapun indikator aktivitas belajar yaitu meliputi mengajukan
pertanyaan, memberikan gagasan dan usulan, mengemukakan pendapat
sendiri, menjawab pertanyaan siswa lain maupun guru, turut serta dalam
melaksanakan tugas belajar dan terlibat dalam pemecahan masalah.

46
5. Materi Program Linear
Pada materi ini terdapat permasalahan-permasalahan yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Adapun sub pokok bahasan
yang digunakan adalah
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Siregar (2014:17) pengumpulan data adalah suatu proses
pengumpulan data primer dan sekunder, dalam suatu penelitian
pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting, karena data yang
dikumpulkan akan digunakan untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa
teknik, yaitu sebagai berikut:
a. Teknik Pengukuran
Menurut Nawawi (2012:101) menjelaskan teknik pengukuran adalah
bagaimana cara mengumpulkan data yang bersifat kuanlitatif untuk
mengetahui tingkat atau derajat aspek tertentu dibandingkan dengan norma
tertentu pula sebagai satuan ukur yang relevan. Teknik pengukuran yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan memberikan tes, yaitu tes awal
(pretest) dan tes akhir (posttest) kepada siswa mengenai program linear, tes
yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk uraian (essay).
b. Teknik kuesioner (Angket)
Angket adalah seperangkat pertanyaan yang disusun secara logis,
sistematis, dan objektif untuk menerangkan variabel yang diteliti (Sugiyono,
2015:199). Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
aktivitas belajar siswa pada materi program linear dengan menggunakan
model pembelajaran Problem Based Learning dan Problem Posing. Angket
aktivitas belajar siswa terdiri dari 10 pertanyaan berbentuk pilihan dengan
tanda 𝑐ℎ𝑒𝑐𝑘 𝑙𝑖𝑠𝑡(√).
2. Instrumen Pengumpulan Data
Menurut Siregar (2014:46) instrumen penelitian adalah suatu alat yang
dapat digunakan untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasikan
47
informasi yang diperoleh dari para responden yang dilakukan dengan
menggunakan pola ukur yang sama. Sedangkan menurut Sugiyono
(2014:102) instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Adapun instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes berupa soal pretest dan
posttest dan lembar angket aktivitas belajar siswa yang akan dibahas sebagai
berikut:
a. Tes kemampuan pemecahan masalah
Dalam penelitian ini instrumen tes yang digunakan adalah lembar tes
dengan bentuk soal eassy, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
pemecahan masalah siswa pada materi program linear. Jumlah soal yang
akan diberikan sebanyak 4 (empat) soal. Tes berbentuk eassy dalam
penelitian ini adalah tes yang dibuat sendiri oleh peneliti sehingga dapat
dipergunakan sebagai alat pengukuran.
Adapun langkah-langkah penyusunan tes kemampuan pemecahan
masalah matematis adalah: Membuat kisi-kisi soal yang meliputi dasar
dalam pembuatan soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa; Menyusun soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa; Menilai kesesuaian antara materi, indikator, dan soal tes; Melakukan
uji coba soal untuk memperoleh data hasil tes uji coba; Menghitung
validitas tiap butir soal, reliabilitas soal, daya pembeda, dan indeks
kesukaran tiap butir soal menggunakan data hasil uji coba.
Menurut Suherman (2003:78) Tipe tes uraian memiliki beberapa
keunggulan diantaranya adalah dapat menimbulkan kreativitas dan aktivitas
yang positif bagi siswa, karena dengan soal bentuk uraian siswa dituntut
untuk dapat berpikir secara sistematis, menyampaikan pendapat dan
argumentasi, mengaitkan fakta-fakta yang relevan, serta dapat
mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya. Oleh karena itu, soal
bentuk uraian seperti ini cocok digunakan untuk melihat atau mengukur
sejauh mana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Sebelum
tes uraian digunakan dalam penelitian ini maka akan dilakukan pengujian
48
kelayakan instrumen dengan uji validitas, uji realibitas, uji daya pembeda,
dan uji indeks kesukaran.
1. Validitas
Menurut Sugiyono (2015:175) menyatakan bahwa valid berarti
instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang harus diukur.
Adapun validitas yang akan dilakukan peneliti yaitu validitas isi dan
validitas konstruk.
a. Validitas Isi
Validitas isi suatu instrumen adalah ketepatan instrumen tersebut ditinjau
dari segi materi yang akan diteliti (Lestari dan Yudhanegara, 2015:190). Tes
dalam penelitian ini, peneliti mengasumsikan bahwa tes dikatakan valid
secara isi jika paling sedikit dua validator menyatakan valid. Perhitungan
validitas isi dapat dilihat di (lampiran C6). Adapun kriteria validitas isi
dilihat pada tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel 3.2 Kriteria validitas isi
Nilai interval Kriteria
1,0   1,8 Sangat kurang valid
1,8   2,6 Kurang valid

2,6   3,4 Cukup valid

3,4   4,2 Valid


Sangat valid
4,2   5,0
(Sukasno, 2006:49)

b. Validitas konstruk
Validitas konstruk mengandung arti bahwa suatu alat dikatakan valid
apabila cocok telah cocok dengan konstruk teoritik dimana tes itu dibuat
(Sumarna 2004:53). Untuk menentukan validitas konstruk maka soal akan
diuji coba kesekolah dan kemudian akan dihitung dengan menggunakan
rumus korelasi product moment.
𝑛(𝑥𝑦) − (𝑥)(𝑦)
𝑟𝑥𝑦
√{𝑛(𝑥 2 ) − (𝑥)2 }{𝑛(𝑦 2 ) − (𝑦)2 }

49
Keterangan:
rxy : koefisien korelasi
n : jumlah skor butir soal
x : jumlah skor total tiap siswa uji coba
y : jumlah siswa uji coba

Setelah dihasilkan nilai rxy selanjutnya dibandingkan dengan hasil r pada


tabel product moment dengan taraf signifikan 5%. Butir soal dikatakan
valid jika r hitung > r tabel dalam arti telah memiliki validitas yang
meyakinkan. Berikut ini adalah kriteria koefisien validitas yang ditunjukkan
pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Kriteria Koefisien Korelasi Validitas Instrumen
Koefisien Korelasi Korelasi Interprestasi Validitas
0,90  rxy  1,00 Sangat Tinggi Sangat Baik
0,70  rxy  0,90 Tinggi Baik

0,40  rxy 0,70 Sedang Cukup Baik

0,20  rxy  0,40 Rendah Buruk


Sangat Rendah Sangat Buruk
rxy  0,20

(Lestari dan Yudhanegara, 2015:193).


Soal yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah soal yang
validitasnya memenuhi interprestasi cukup baik, baik, sangat baik.
2. Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliabel yang artinya dapat dipercaya
(Arikunto, 2013:221). Artinya kapanpun alat ukur tersebut dapat digunakan
akan memberikan hasil ukur yang sama. Reliabel disini menunjukkan data
tingkat keterangan dalam suatu instrument dalam mengumpulkan data.
Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui reliabelitas suatu tes
adalah rumus Kuder Richadson yaitu:
𝑛 𝜎𝑡 2
r = [𝑛−1] [1 − 2 ]
𝜎 𝑡

50
keterangan:
r : Reliabilitas Instrumen
n : Banyaknya Butir Soal
𝜎𝑡 2 : Jumlah Varian Butir Soal
𝜎2𝑡 : Varian Total
Rumus Varian untuk menghitung reliabilitas:

(𝑥)2
𝑥 2
𝜎2 = 𝑁
𝑁

Keterangan :
𝜎 2 ∶ varians skor total

𝑥 2 ∶ jumlah kuadrat skor yang diperoleh siswa

(𝑥)2 ∶ Kuadrat Jumlah Skor yang diperoleh Siswa

N : Jumlah siswa

Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas

Nilai Kriteria
1,0  r  1,8 Sangat Tinggi
Tinggi
1,8  r  2,6
Sedang
2,6  r  3,4
Rendah
3,4  r  4,2 Sangat Rendah
r  5,0
(Sukasno, 2006:79)
Soal yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah soal yang
reliabilitasnya memenuhi interprestasi sedang, tinggi dan sangat tinggi.
3. Uji Daya Pembeda
Daya pembeda adalah kemampuan soal untuk membedakan antara
peserta tes yang pandai atau prestasi tinggi dengan peserta tes yang kurang
pandai atau prestasi rendah (Rasyid dan Mansur 2008:245). Sedangkan
menurut Arifin (2016:32) menyatakan bahwa daya pembeda adalah
kemampuan suatu butir soal dapat membedakan siswa yang telah menguasai

51
materi yang ditanyakan dan siswa yang tidak/kurang/belum menguasai
materi yang disampaikan.
Cara menentukan daya pembeda butir soal ditentukan dengan rumus :
𝐵𝑎 𝐵𝑏
𝐷𝑃 = −
𝐽𝑎 𝐽𝑏

Keterangan:

DP : Daya Pembeda

Ba : Jumlah skor atas pada butir soal

Bb : Jumlah skor bawah pada butir soal

Ja : Banyak peserta tes kelompok atas

Jb : Banyak peserta tes kelompok bawah

Klasifikasi intrepetasi untuk daya pembeda yang banyak digunakan


adalah seperti pada tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 3.5 Kriteria daya pembeda
Nilai Kriteria
DP  0,00 Sangat jelek
0,00  DP  0,20 Jelek
0,20  DP  o,40 Cukup
0,40  DP  0,70 Baik
0,70  DP  1,00 Sangat baik
(Sukasno, 2006 : 77)

4. Uji Indeks Kesukaran


Indeks kesukaran adalah suatu bilangan yang menyatakan derajat
kesukaran suatu butir soal (Lestari dan Yudhanegara, 2015:223). Sedangkan
menurut Arifin (2017:31) menyatakan tingkat kesukaran adalah presentase
atau proporsi dari peserta tes untuk menjawab benar suatu butir soal.
Untuk menghitung tingkat kesukaran soal dapat menggunakan rumus
sebagai berikut:
∑𝑥
P=
𝑆𝑚 𝑁

52
Keterangan :
P : Proporsi menjawab benar atau tingkat kesukaran
∑ 𝑥 : Banyaknya peserta tes yang menjawab benar
𝑆𝑚 : Skor maksimum
N : Jumlah peserta tes
Dan kriteria tingkat kesukaran yang digunakan disajikan pada tabel 3.6
berikut ini:
Tabel 3.6 Kriteria Tingkat Kesukaran

Koefesien Kriteria
𝒑 < 0,3 Sukar
0,3 ≤ 𝒑 ≤ 𝟎, 𝟕 Sedang
𝒑 > 𝟎, 𝟕 Mudah
Surapranata (Arifin, 2016:35)
b. Lembar Angket Aktivitas Belajar Siswa pada Model Pembelajaran
Problem Based Learning dan Problem Posing
Angket adalah alat untuk mengumpulkan data yang berupa pertanyaan
atau pernyataan, disampaikan kepada responden untuk dijawab secara
tertulis (Hamzah, 2006:48). Angket dalam penelitian ini digunakan untuk
mendapatkan data tentang aktivitas belajar siswa terhadap materi persamaan
linier satu variabel dengan menggunakan model pembelajaran Problem
Based Learning dan Problem Posing. Pada lembar ini akan menggunakan
skala likert. Menurut sukasno (2006:110) bahwa dalam skala likert,
responden diminta untuk membaca dengan seksama setiap pertanyaan atau
pernyataan yang disajikan, kemudian diminta untuk menilai pernyataan atau
pertanyaan tersebut. Skala likert ditampikan pada tabel 3.7.
Table 3.7 Skala Likert Angket
Kategori Jawaban Skor Kriteria
Positif Negatif
Sangat Setuju 4 1
Setuju 3 2
Tidak Setuju 2 3
Sangat Tidak Setuju 1 4
(Hamzah,2006:179)

53
F. Teknik Analisis Data
Setelah data penelitian terkumpul dari hasil pengumpulan data melalui tes,
lembar observasi, lembar angket minat kemudian diolah sesuai langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Untuk menjawab submasalah yang kedua yaitu, seberapa besar pengaruh
model pembelajaran problem based learning terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada materi program linier menggunakan rumus
sebagai berikut:
𝑋𝑒 −𝑋𝑘
𝐸𝑆 =
𝑆𝑐

Keterangan:
ES = Effect size
Xe = Rata-rata kelas eksperimen
Xk = Rata-rata kelas control
Sc = Standar deviasi kelas control
Kriteria besarnya effect size diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 3.8 Klasifikasi Interpretasi Effect Size
Nilai Kriteria
ES < 0,2 Rendah
0,2 < ES < 0,8 Sedang
ES > 0,8 Tinggi
(Sutrisno, 2006)
2. Untuk menjawab submasalah yang kedua yaitu, seberapa besar pengaruh
model pembelajaran problem posing terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada materi program linier menggunakan rumus sebagai
berikut:
𝑋𝑒 −𝑋𝑘
𝐸𝑆 =
𝑆𝑐

Keterangan:
ES = Effect size
Xe = Rata-rata kelas eksperimen
Xk = Rata-rata kelas control
Sc = Standar deviasi kelas control

54
Kriteria besarnya effect size diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 3.8 Klasifikasi Interpretasi Effect Size
Nilai Kriteria
ES< 0,2 Rendah
0,2 < ES < 0,8 Sedang
ES > 0,8 Tinggi
(Sutrisno, 2006)
3. Untuk menjawab submasalah yang ketiga yaitu, apakah pengaruh model
pembelajaran problem based learning lebih besar dari pengaruh model
pembelajaran problem posing terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada materi program linear menggunakan langkah-langkah
seperti berikut:
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan skor alternatif jawaban dan
pedoman penskoran yang digunakan.
b. Uji prasyarat analisis data dengan menggunakan uji normalitas.
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data tes kelas
eksperimen dan kelas kontrol setelah diterapkan perlakuan berdistribusi
normal atau tidak. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Kuadrat, dengan
hipotesis
𝐻0 = data berdistribusi normal
𝐻𝑎 = data tidak berdistribusi normal
Penguji hipotesis:
𝑂𝑖 −𝐸𝑖 2
𝑋 2 = ∑𝑘𝑖=1 ( )
𝐸𝑖

Keterangan:
𝑋 2 = Chi Kuadrat
𝑂𝑖 = Frekuensi hasil pengamatan
𝐸𝑖 = Frekuensi yang diharapkan
Kriteria yang digunakan adalah 𝐻0 diterima jika 𝑋 2 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑋 2 𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
c. Jika data berdistribusi normal dilanjutkan dengan uji homogenitas.
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kelas kontrol dan
kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan mempunyai varian yang sama

55
(homogen) atau tidak. Statistik yang digunakan untuk uji homogenitas
sampel adalah dengan uji F, dengan rumus:
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹= 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

Hipotesis yang digunakan:


𝐻0 = 𝜎1 ≠ 𝜎2
𝐻𝑎 = 𝜎1 = 𝜎2

Keterangan:
𝜎1 ≠ 𝜎2 = Varians tidak homogen
𝜎1 = 𝜎2 = Varians homogen
Kriteria yang digunakan adalah 𝐻0 diterima jika𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan
menggunakan 𝛼 = 5%. 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 diperoleh dengan dk pembilang N1 – 1 dan dk
penyebut N2 – 1.
d. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya
melakukan perhitungan dengan uji one way anova, dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Membuat hipotesis kalimat
Ho = tidak ada perbedaan nilai rata-rata antara sampel A dan sampel
B serta sampel C.
Ha = ada perbedaan nilai rata-rata antara sampel A dan sampel B
serta sampel C.
2. Membuat hipotesis statistik
Ho = ̅̅̅
X1 = ̅̅̅
X2 = ̅̅̅
X3
Ha ≠ ̅̅̅̅
X1 ≠ ̅̅̅
X2 ≠ ̅̅̅
X3
3. Menentukan kaidah pengujian
Jika : Fhitung ≤ Ftabel maka Ho diterima
Jika : Fhitung > Ftabel maka Ho diolak
4. Menghitung Fhitung dan Ftabel
𝑆 2
Fhitung = 𝑆1 2
2

56
e. Jika data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan pengujian non-
parametrik dengan menggunakan rumus Mann-Whitney U-Test
(Sugiyono, 2012:61)
 Mencari nilai U1
𝑛1 (𝑛1 +1)
𝑈1 = 𝑛1 𝑛2 + − 𝑅1
2

 Mencari nilai U2
𝑛2 (𝑛2 +1)
𝑈2 = 𝑛1 𝑛2 + − 𝑅2
2

Keterangan:
𝑛1 = Jumlah sampel 1
𝑛2 = Jumlah sampel 2
𝑈1 = Jumlah peringkat 1
𝑈2 = Jumlah peringkat 2
𝑅1 = Jumlah rangking pada sampel 𝑛1
𝑅2 = Jumlah rangking pada sampel 𝑛2
 Menghitung rata skor untuk Post-Test menggunakan rumus:
∑𝑥
𝑥̅ = 𝑛

Keterangan:
𝑥̅ = Nilai rata-rata skor hasil tes siswa
∑𝑥 = Jumlah skor siswa
𝑛 = Jumlah siswa
4. Untuk menjawab submasalah yang ketiga yaitu, apakah terdapat perbedaan
aktivitas siswa dengan menggunakan model pembelajaran problem based
learning dan problem posing dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menghitung persentase setiap indikator aktivitas pembelajaran yang
dilakukan dengan rumus:
𝑛
𝑇𝑖 = 𝑁x 100%

Keterangan:
Ti = Presentase siswa yang mengikuti setiap indikator pembelajaran

57
n = Banyaknya siswa yang mengikuti setiap indikator pembelajaran
N = Jumlah seluruh siswa yang mengikuti pembelajaran
b. Menghitung persentase total setiap tahap dari indikator-indikator yang
ada, dengan rumus:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ% 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑙𝑎𝑗𝑎𝑟𝑎𝑛
𝑇𝑖 = 𝑥 100%
𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
c. Menghitung rata-rata persentase dari tiga pengamat, dengan rumus:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ% 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡
𝑇𝑛 = 𝑥 100%
𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡

Selanjutnya menyesuaikan hasil persentase dengan kriteria aktivitas


belajar siswa. Adapun persentase aktivitas siswa ditampilkan pada tabel 3.9.
Tabel 3.9 Persentase Aktivitas Belajar Siswa
Jumlah presentase Kriteria
0% ≤ Ti ≤ 20% Sangat Rendah
21% ≤ Ti ≤ 40% Rendah
41% ≤ Ti ≤ 60% Cukup
61% ≤ Ti ≤ 80% Tinggi
81% ≤ 𝑇𝑖 ≤ 100% Sangat Tinggi
(Hamzah, 2006:243)
Aktivitas belajar siswa dikatakan aktif apabila persentase rata-rata
perilaku siswa aktif lebih besar dari persentase rata-rata perilaku siswa pasif.
Dan persentase aktivitas siswa berada pada kriteria baik dan sangat baik.

58
59

Anda mungkin juga menyukai