Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Lanjut Usia

1. Pengertian Lanjut Usia atau Lansia

Lansia adalah individu yang berusia 60 tahun yang pada umumnya memiliki

tanda-tanda penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis dan ekonomi (Wahyudi,

1998). Menjadi tua adalah suatu proses yang tidak dapat dihindari oleh kita semua,

namun tidak ada pengaruh antara penilaian ciri menjadi tua itu dengan kesehatan.

Penuaan merupakan proses normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang

dapat di ramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia pada tahap

perkembangan kronologis tertentu. (Mickey & Patricia, 1999, Hal 4)

Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan

masa hidup manusia yang terakhir. Pada masa ini, seseorang mengalami kemunduran

fisik, mental dan social sedikit demi sedikit sampai tidak dapat melakukan tugasnya

sehari-hari.

Proses menua adalah proses proses fisiologis yang dialami oleh semua

manusia seiring dengan bertambahnya usia. Meskipun proses ini berusaha dihindari,

tetapi tetap harus dijalani.

Menua (aging) adalah proses menghilangnya secara perlahan- lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita

(Constantinides, 1994).
Menua bulakanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses berkurangnya daya

tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan baik dari dalam maupun luar tubuh. Tidak

ada batasan yang tegas pada usia barapa penampilan seseorang mulai menurun dan

pada setiap orang fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda baik dalam hal

pencapaian puncak maupun saat menurunnya ( Nugroho,W,2000).

Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus

menerus dan berkesinambungan yang tentu akan menyebabkan perubahan anatomis,

fisiologis dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan

kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, R. Siti dkk, 2008).

2. Teori- Teori Proses Menua :

Beberapa teori-teori proses menua menurut Stanly dan Barre (2007)

a. Teori Biologis, yang terdiri dari :

1) Teori Genetika : Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama

dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada

pembentikan kode genetic.

2) Teori Wear And Tear : Dipakai dan rusak, mengusulkan bahwa akumulasi

sampah metabolik atau zat nitrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga

mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh,

pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan

berdasarkan suatu jadwal.

3) Riwayat Lingkungan : Faktor- faktor di dalam lingkungan seperti karsinogen

dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat membawa perubahan

dalam proses penuaan tetapi bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.
4) Teori Imunitas : Menggambarkan suatu kemunduran dalam sistim imun yang

berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan

mereka terhadap organism asing mengalami penurunan, sehingga mereka

lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi.

5) Teori Neuroendokrin : Penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan

dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi

yang diatur oleh sistem syaraf. Salah satu area neurologi yang mengalami

gangguan secara universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang

diperlukan untuk menerima, memproses, dan beraksi terhadap perintah.

b. Teori Psikososial, yang terdiri dari :

1) Teori Kepribadian : Menyebutkan aspek- aspek pertumbuhan psikologis tanpa

menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.

2) Teori Tugas Pekembangan : Tugas perkembangan adalah aktivitas dan

tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap- tahap spesifik

dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses.

3) Teori Disengagement : Teori pemutusan hubungan, menggambarkan proses

penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya.

4) Teori Aktivitas : Jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap

aktif, pentingnya aktifitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk

mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kenidupan

manusia.

5) Teori Kontinuitas : Dikenal dengan teori perkembangan yang merupakan

suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk

menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau

memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di


usia tua. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya

dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan

dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat menua.

3. Batasan Lanjut Usia

a. Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) meliputi :

1) Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun

2) Lanjut usia (elderly) : antara 60-74 tahun

3) Lanjut usi tua (old) : antara 75-90 tahun

4) Usia sangat tua (Very old) : diatas 90 tahun

b. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikolog UI) mengatakan lanjut usia

merupakan kelanjutan dari usia dewasa, maka kedewasaan dapat dibagi

menjadi empat bagian :

1) Fase iuventus, antara 25-40 tahun

2) Fase vertilitas, antara 40-50 tahun

3) Fase prasenium, antara 55-64 tahun

4) Fasre senium, 65 tahun hingga tutup usia

c. Menurut Prof.Dr. Koesoemato Setynegoro pengelompokan lanjut usia sebagai

berikut:

1) Usia dewasa muda (ederly adulhood): 18 atau 20-25 tahun

2) Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas: 25-60 atau 60 tahun

3) Lanjut usia (geriatri age) lebih dari 65 atau 70 tahun

4) Terbagi untuk umur 70-75 tahun (young old)

5) 75-80 tahun (old)

6) Lebih dari 80 tahun (very old)


4. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Kemunduran fungsi merupakan salah atu akibat proses menua tersebut

(Jubhari,2008). Proses ini menyebabkan perubahan- perubahan pada lansia

diantaranya adalah :

a. Perubahan sistem Kulit

Perubahan pada kulit lansia dalam pembentukan sistem tubuh individu

mengakibatkan kulit menjadi lebih mudah rusak,kulit mengerut atau keriput

akibat kehilangan jaringan lemak. Permukaan kulit kasar dan bersisik karena

kehilangan proses kreatinisasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel- sel

epidermis. Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam

hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya

cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku menjadi lambat adanya kuku jari

yang keras dan rapuh, pudar tampak kurang bercahaya, begitupun dengan

kelenjar keringat yang berkurang baik jumlah dan fungsinya.

b. Perubahan Sistem Muskuluskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga

menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari- jari terbatas, begitupun

dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon mengerut dan

mengalami sklerosis,juga adanya atrofi serabut otot sehingga menyebabkan

seseorang bergerak menjadi lambat, otot-otot dapat mudah menjadi kram dan

tremor, tetapi pada otot polos tidak begitu terpengaruh.

c. Perubahan Sistem Kardiopulmonal

Sistem kardiovaskuler mengalami perbahan seperti arteri yang

kehilangan elastisitasnya, begitupun dinding aorta nya yang juga elastisitasnya


menurun, tetapi pada katup jantung justru menebal dan menjadi kaku. Hal ini

dapat menyebabkan kemampuan jantung memompa darah menurun sehingga

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, peningkatan nadi dan

tekanan sistolik darah. Tekanan darah meninggi biasanya akibat meningkatnya

resistensi pembuluh darah periper tetapi perubahan tekanan darah yang

fisiologis mungkin benar- benar tanda penuaan yang normal.

d. Perubahan Sistem Pencernaan dan Metabolisme

Kehilangan gigi penyabab utama adanya periodontal disease,penyebab

lain meliputi Kesehatan gigi yang buruk (karies gigi) dan gizi yang buruk,

serta berkuangnya kekuatan otot rahang sehingga sering kali menyebabkan

lansia kelelahan pada saat mengunyah makanan. Indra pengecap menurun,

adanya iritasi yang kronis dari selaput lender, atropi indra pengecap (± 80 %),

hilangnya sensifitas dari syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis, asin,

asam dan pahit, sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan yang dapat

mengakibatkan kondisi difisiensi nutrisi pada lansia.

Esofagus mengalami kemunduran dalam melakukan gerakan

peristaltic, sehinngga dapat menyebabkan lansia merasa disfagia, nyeri

dada,muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitifitas rasa lapar

menurun dan waktu mengosongkan lambung menurun. Perubahan pada usus

halus termasuk atropi dari permukaan mukosa, menipisnya lapisan villi, dan

berkurangnya jumlah dari polikel limfatik. Pada pakreas terjadinya penurunan

jumlah sekresi pankreatik yang biasanya terjadi setelah usia 40 tahun, serta

pengeluaran enzim yang bekurang dengan bertambahnya usia. Penurunan

aktifitas enzim berhubungan dengan pencernaan lemak. Kemampuan


peristaktik usus melemah sehingga biasanya timbul konstipasi pada lansia

(Leucknotte, 1996).

e. Perubahan Sistem Perkemihan

Terjadi perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan. Banyak

yang mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, ekskresi dan reabsorsi

oleh ginjal, hilangnya protein terus menerus dari ginjal, penurunan kapasitas

kandung kemih, nokturia, peningkatan inkontinensia urgensi dan stress pada

wanita terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi

retensi urin dan sering berkemih akibat pembesaran prostat (Potter & Perry,

2005). Terjadi juga penurunan efisiensi mekanisme homeostasis, menurunnya

kontrakdiksi kandung kemih saat ingin berkemih, penyempitan saluran

perkemihan, peningkatan sklerosis glomerulus kurang dari 5 % pada usia 40 th

sampai 35 % pada usia 80 th. Permulaan usia 40 tahun aliran darah ginjal

berangsur- angsur menurun, teutama bagian korteks sekitar 10 % per 10 tahun

(Potter & Perry, 2005).

f. Perubahan Sistem Endokrin

Produksi semua hormon menurun begitu pula menurunnya aktivitas

tyroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate) juga menurunnya

pertukaran zat dan produksi aldosteron serta menurunnya sekresi hormon

kelamin misalnya progesteron, estrogen dan testosteron. Kematian sel

merupakan hal yang mendominasi pada perubahan sitem endokrin secara

fisiologis, karena kematian sel inilah perubahan sistem endokrin pada lansia

ditemukan bahwa hampir semua produksi hormon berkurang.

g. Perubahan Sistem Neurologis


Gangguan neurologis pada lansia disebabkan karena perubahan struktur

dan fungsi syaraf. Perubahan ini tergantung banyak faktor, termasuk genetik yang

dimiliki seseorang serta area otak yang terkena kerusakan. Anatomi struktur

syaraf berubah tidak mudah diketahui karena merupakan interaksi pengalaman

dan lingkungan serta dipengaruhi pengalaman hidup yang berbeda (Leucknotte,

1996).

Berat otak menurun 10-20 % (setiap orang berkurang sel syaraf

otaknya dalam setiap hari nya), adanya lambat dalam respon dan waktu untuk

bereaksi, khususnya dengan stress. Mengecilnya saraf panca indra, ada

berkurangnya penglihatan, mengecilnya saraf penciuman dan perasa adanya

sensitif terhadap perubahan suhu karena rendahnya ketahanan terhadap dingin.

Prosentase perubahan yang terbesar terjadi pada lansia meliputi

melemahnya ingatan, menurunnys proses kognitif, perubahan pola tidur,

penglihatan, pendengaran, kemampuan berjalan dan postur. Sedangkan

perubahan anatomi seperti hilangnya sinaps dan komposisi otak dan sel saraf.

Perubahan tersebut bisa dikarenakan penyakit dan lingkungan yang merugikan

sehingga mempercepat perubahan metabolism dan kebutuhan oksigen

(Leucknotte, 1996).

h. Perubahan Sistem Reproduksi

Perubahan pada system ini pada lansia berkaitan dengan system

endokrin, terutama pada produksi hormon seks. Penurunan produksi hormon

estrogen menyebabkan selaput lendir vagina menurun. Payudara pada lansia

wanita mengecil disebabkan karena penurunan massa, tonus dan elastisitas

otot menurun, atropi jaringan glandularis disertai banyak deposit lemak (Potter

& Perry, 2005 ). Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa
meskipun adanya penurunan secara berangsur- angsur. Penurunan produksi

testosteron menyebabkan penurunan produksi sperma. Akibat terjadi

perubahan pada system reproduksi lansia adalah terjadinya disfungsi seksual.

i. Perubahan Sistem Sensori

Sentuhan merupakan informasi taktil dari tekanan, getaran dan suhu.

Ketiganya mempunyai sensasi yang terpisah, tetapi terditeksi dengan reseptor

yang sama. Untuk mengetahui penurunan sensifitas taktil sangat sulit, karena

bisa terjadi dari proses penuaan atau karena penyakit yang diderita sendiri oleh

lansia.

Umumnya gangguan informasi taktil disebabkan kecelakaan pembuluh

darah otak, penyakit saraf tepi dan neuropati pada penderita DM. Kondisi

tersebut merubah system pembuluh darah dan berakibat menurunnya aliran

darah ke seluruh tempat di tubuh. Sehingga dimanifestasikan dengan

menurunnya sensasi, khususnya pada area ekstremitas bawah. (Leucknotte,

1996).

j. Perubahan Sistem Pendengaran

Perubahan pada organ dengar yang berhubungan dengan penambahan

usia dapat terlihat dari daun telinga yang nampak lebih besar dikarenakan

formasi tulang rawan yang berlanjut dan penurunan elastisitas kukit. Pada

lansia lobule daun telinga memanjang dan terlihat kerutan.Pinggiran daun

telinga tertutupi dengan rambut- rambut kasar. Pada laki- laki tragus yang

melintang di eksternal kanan lebih besar. Seiring pertambahan usia tragus ini

semakin membesar dan menjadi lebih kasar. Pada lansia saluran telinga

menyempit dan rambut yang melapisi saluran telinga lebih kasar dan kaku.

Ditambah lagi kelenjar serumen mengalami atropi menyebabkan serumen


semakin mengering. Pada telinga tengah, usia menyebabkan membran

tympani menghasilkan suara yang tumpul, tertarik kembali dan nampak abu-

abu. Persambungan tulang- tulang telinga juga mengalami degenerasi.

Perubahan pada telinga dalam menghasilkan sensitifitas vestibular yang

berkurang. Hilangnya pendengaran bukanlah hal yang normal dari penuaan

dan harus dievaluasi lebih lanjut (Leucknotte, 1996).

k. Perubahan Sistem penglihatan

Beberapa perubahan pada system penglihatan antara lain kedudukan

bola mata terlindungi oleh jaringan lemak, tetapi karena penuaan jaringan

lemaknya menjadi berkurang dan menyebabkan penglihatan kabur. Alis mata

menjadi abu- abu dan lebih kasar pada laki- laki, dengan alis di bagian pelipis

semakin menipis pada laki- laki dan perempuan. Konjungtiva menjadi tipis

dan menjadi berwarna kekuningan. Membran mukosa konjungtiva menjadi

kering karena berkurangnya kualitas dan kuantitas air mata,sclera menjadi

kecoklatan, ukuran pupil menjadi lebih kecil dan mengalami penurunan

kemampuan untuk kontriksi, sehingga membatasi sejumlah cahaya yang

masuk ke mata, hal ini juga terjadi pada iris. Timbul sklerosis an hilangnya

respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola). Kekeruhan pada lensa

menyebabkan katarak. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adapsi

terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.

Hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang dan berkurangnya

luas pandangannya. Menurunnya daya membedakan warna biru dan hijau

(Ismayadi, 2004).

B. Fisiologis Tidur

1. Tidur
Tidur terjadi secara alami untuk kebutuhan fisiologis dan psikologis tubuh

sehingga tubuh dapat berfikir dengan baik. Secara fisiologi, jika seseorang tidak

mendapatkan tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dapat terjadi

efek-efek seperti pelupa, konfusi dan disorientasi terutama jika deviasi tidur terjadi

pada waktu yang lama. Secara psikologis tidur memungkinkan seseorang mengalami

perasaan sejahtera secara energi, psikis dan kewaspadaan untuk menyelesaikan tugas-

tugasnya. (Mickey &Patricia, 1999)

Tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus secara bergantian dengan periode

lebih lama dari kertejagaan. (Potter & Ferry, 1997, hal 1471). Tidur adalah suatu

proses aktif yang kompleks, mengikuti suatu pola atau yang lebih dikenal sebagai

suatu siklus. (Shirley, 1999). Tidur adalah keadaan perilaku ritmik dan siklik yang

terjadi dalam lima tahap (empat non rapid eye movement (NREM) dan satu rapid eye

movement (REM), seperti yang diindikasikan dengan pemeriksaan

elektroensefalogram (EEG), gerakan mata dan gerakan otot (Mickey & Patricia, 2007,

hal 449).

2. Teori Dasar Tidur

Dasar penyebab tidur adalah proses penghambatan aktif. Dalam teori menyatakan

bahwa area eksitatori pada batang otak bagian atas yang disebut “sistem aktivasi

retikular”, mengalami kelelahan setelah seharian terjaga dan karena itu menjadi

inaktif. Keaadan ini disebut teori pasif dari tidur

Perangsangan pada daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan tidur

dengan sifat-sifat yang mendekati tidur alami. Daerah-daerah tersebut adalah:

a. Nuklei rafe, yang terletak diseparuh bagian bawah pons dan medula.

b. Nukleus traktus solitarius, yang merupakan regio sensorik medula dan pons yang

dilewati oleh signal sensorik viseral yang memasuki otak melalui syaraf-syaraf

vagus dan glosofaringeus, juga menimbulkan keadaan tidur.


c. Beberapa regio diensefalon, yaitu bagian rostral hipotalamus, terutama area

suprakiasma dan adakalanya suatu suatu area di nuklei difus pada talamus

3. Stadium Tidur Normal Orang Dewasa

a. Stadium 0 adalah periode keadaan masih terbangun tetapi mata tertutup.

b. Stadium 1 disebut onset tidur, tidur dimulai dengan stadium NREM.

Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur, ia menduduki sekitar 5%

dari total waktu tidur, pada fase ini terjadi proses penurunan aktivitas gelombang alfa,

aktifitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3,5 menit, pada

stadium ini seseorang mudah dibangunkan, bila dibangunkan merasa seperti setengah

tidur.

c. Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yang didominasi oleh

aktifitas teta, voltase rendah. Sedangkan kumparan tidur dan kompleks kegiatan

tonus otot rendah, nadi cenderung menurun, stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur

dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.

d. Stadium 3 ditandai dengan 20-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik

amplitude tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak

ada gerakan bola mata.

e. Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan.

Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta stadium ini

menghabiskan sekitar10-20% waktu tidur total. Proses tidur ini terjadi antara sepertiga

awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang

mengalami deprivasi tidur.

f. Tidur REM di tandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur

stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodic gerakan bola mata cepat,

reflex tendon melemah atau hilang, Tekanan Darah meningkat , pada pria terjadi
ereksi penis dan terdapat mimpi-mimpi fase ini menggunakan sekitar 20-25%

waktu tidur.

Sebagian tidur delta (NREM) terjadi pada separuh awal malam dan tidur REM

pada separuh malam menjelang pagi. Tidur REM dan NREM berbeda dalam hal

dimensi psikologis dan fisiologik. Tidur REM dikaitkan dengan mimipi-mimpi

sedangkan tidur NREM dengan pikiran abstrak faktor onotom bervariasi pada tidur

NREM 1 biasanya berlangsung 70-90 menit. Pergantian siklus dari NREM ke siklus

REM biasanya berlangsung 90 menit. Durasi periode REM menigkat menjelang pagi.

Siklus Tidur

Non REM Non REM Non REM Non REM


Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4

Tidur REM

Non REM Non REM


Stadium 2 Stadium 3

Gambar 2.1
Siklus Tidur

Dari gambar diatas maka penjelasannya adalah setelah pergi tidur, seseorang

terlebih dahulu melewati tahap terjaga rileks yang dicirikan dengan gelombang alfa.

Orang tersebut kemudian melewati tahap – tahap tidur dengan urutan : 1, 2, 3, 4, 3, 2,

REM. Kemudian, tahap 2 dimulai kembali kecuali jika orang tersebut terbangun dan

kembali tidur. Yang paling sering terjadi pada lansia yaitu tahap 1 yang akan dimulai

kembali.

4. Tahapan Tidur

Tahapan tidur pada manusia :


a. Tahap I :

1) Seseorang baru saja terlena

2) Seluruh otot menjadi lemah

3) Kedua mata bolak- balik kedua samping

4) Frekwensi nadi dan pernafasan menurun

5) Pada EEG adanya penurunan voltase gelombang alpha.

b. Tahap II :

1) Kedua mata berhenti bergerak

2) Suhu tubuh menurun

3) Terdapat gelombang tidur

4) Berlangsung 10- 15 menit

c. Tahap III :

1) Keadaan fisik lemah lunglai

2) Sesekali timbul sleep spindles

3) Pada EEG muncul gelombang Betha

4) Sulit untuk dibangunkan

d. Tahap IV :

1) Keadaan fisik lemah lunglai

2) Dapat terjadi mimpi

3) Denyut nadi dan pernafasan menurun 20- 30 %

4) Otot relax

5) Sangat susah untuk dibangunkan

6) Tahap ini memulihkan keadaan.

e. Tahap V :

1) Kedua mata bergerak kembali dengan kecepatan lebih tinggi


2) Dapat terjadi mimpi

3) Prodoksal sleep.

Berikut ini adalah gambar tahapan- tahapan tidur manusia :

Gambar 2.2. Tahapan Tidur Manusia


Gambar 2.3 Perkembangan tidur dari waktu ke waktu
menurut Mickey & Patricia tahun 2007

5. Tidur Pada Lansia

Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertumbuhan usia, akan tetapi, kualitas

tidur kelihatan berubah pada kebanyakan lansia. (Perri & Potter, 1997). Episode tidur

REM cenderung memendek dimana terdapat progesif pada tahap tidur NERM 3 dan

4, beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap tidur 4, atau tidur yang dalam.

Seorang lansia sering terbangun dimalam hari dan membutuhkan banyak waktu untuk

jatuh tertidur. Akan tetapi, pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan

fiiologis dan psikologis dalam proses penuaan lebih mudah memelihara tidur REM
dan berlangsung dalam siklus tidur mirip dengan dewasa muda (Perri & Potter,2005,

Hal 1479).

Selama penuaan, pola tidur mengalami perubahan yang khas, yang

membedakan dari orang-orang muda perubahan-perubahan itu mencakup kelatenan

tidur, terganggu pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang serta jumlah waktu

yang dihabiskan untuk tidur lebih dalam menurun (Mickey & Patricia, 2006, Hal :

450).

6. Insomnia pada lansia

Tiga keluhan atau gangguan utama dalam memulai dan mempertahankan tidur

pada lansia menurut Mickey dan Patricia tahun 2006 Hal 451 adalah :

a. Insomnia

Insomnia adalah ketidak mampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk

melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena adanya perubahan pola

tidur, biasanya menyerang pada tahap 4 (tidur dalam) keluhan insomnia mencakup

ketidak mampuan untuk tertidur, sering terbangun pada dini hari. Insomnia terdiri

dari tiga jenis:

1) Jangka Pendek : Biasanya tidak lebih dari sepekan atau bisa berakhir beberapa

minggu yang muncul akibat pengalaman stress yang bersifat sementara seperti

kehilangan orang yang dicintai, tekanan dari tempat kerja, atau takut

kehilangan pekerjaan. Biasanya kondisi ini dapat hilang tanpa intervensi

setelah orang tersebut beradaptasi terhadap stress.

2) Sementara : Episode malam gelisah yang tidak sering terjadi yang disebabkan

oleh perubahan lingkungan seperti jet lag, konstruksi bangunan yang bising,

atau pengalaman yang menimbulkan ansietas dan biasanya berlangsung 1

sampai 4 minggu.
3) Kronis : Biasanya berlangsung selama 4 minggu atau lebih dari satu bulan dan

bisa juga terjadi seumur hidup. Kondisi dapat disebabkan oleh kebiasaan

terhadap yang buruk, masalah psikologis penggunaan obat tidur berlebihan,

penggunaan alcohol yang berlebihan, gangguan jadwal tidur- bangun dan

masalah kesehatan lainnya.

b. Hipersomnia

Hipersomnia adalah Kelebihan tidur dimana terjadi kekacauan pada siklus

bangun-tidur. Hipersomnia dapat diuraikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam per

periode 24 jam. Penyebab hipersomnia masih bersifat spekulasi tetapi dapat

berhubungan dengan ketidak efektifan gaya hidup yang membosankan atau depresi.

Orang tersebut dapat menunjukkan mengantuk pada siang hari yang persisitan,

malam “serangan tidur” tampak mabuk atau kematose, atau malam mengantuk pasca

ensafalitik, keluhan keletihan, kelemahan, dan kesulitan meningkat atau belajar

merupakan hal yang sering terjadi.

c. Apneu Tidur

Apneu tidur adalah berhentinya pernafasan dalam tidur selama tidur.

Pernafasan dapat berhenti paling banyak 300 x, dalam episode apneu dapat

berakhir 10 sampai 90 detik.

Gejala Apneu tidur antara lain ;

1) Dengkuran yang keras dan periodik

2) Aktifitas malam hari yang tidak biasa, seperti duduk tegak, berjalan dalam

tidur, terjatuh dari tempat tidur.

3) Insomnia dengan seringnya terganggu di malam hari.

Terdapat dua tipe apneu tidur yang paling banyak yaitu central dan

obstruktif. Apneu tidur central ( central sleep anea) melibatkan sifat-sifat pada
pengendalian pusat pernapasan di otak. Implus untuk bernafas sementara berhenti

dan aliran udara pada hidung dan gerakan dinding dada juga berhenti saturasi

oksigen dalam darah menurun. Apnea tidur yang paling banyak terjadi adalah apnea

obstruktif (obstruktif sleep apnea, OSA) terjadi pada saat otot atau struktur rongga

mulut atau tenggorokan refleksi saat tidur jalan nafas menjadi tersumbat sebagian atau

seluruhnya, dan aliran udara pada hidung mulai berkurang (hipopnea) atau berhenti

(apnea) selama 30 detik (Potter & Ferry, 1997) .

7. Faktor yang mempengaruhi tidur pada lansia

Tidur pada lansia berfokus pada kualitas dan kuantitas terhadap lansia yang

dipengaruhi Faktor dari individu dan lingkungan. Ketidak puasan dalam tidur

disebabkan interaksi antara karakteristik individu seperti kecemasan dan emosional

dengan karakteristik sosial cultural lingkungan. Faktor -faktor yang mempengaruhi

antara lain :

a. Faktor Internal

1) Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan identitas responden yang dapat digunakan

untuk membedakan pasien laki- laki atau perempuan. (Utama 2003).

2) Usia Responden

Lansia adalah individu yang berusia 60 tahun yuang pada umumnya

memiliki tanda-tanda penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis dan ekonomi

(Wahyudi, 1998).

3) Pendidikan Responden

Dalam pengertian sederhana dan umum makana pendidikan sebagai

usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi- potensi


pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai- nilai yang ada

dalam masyarakat dan kebudayaan.

4) Pekerjaan Responden

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas yang dilakukan manusia dan

dalam arti sempit pekerjaan adalah suatu tugas yang dapat menghasilkan uang bagi

seseorang.

(http://i.d.wikipepia.org/wiki/pekerjaan).

b. Faktor Eksternal

1) Nyeri

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi

tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan

sangat individual. Stimulus nyeri dapat berupa fisik maupun mental.

Sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan atau pada faktor ego

individu. Nyeri bukan bagian dari proses penuaan yang tidak dapat dihindari.

Individu yang berusia lebih lanjut memiliki resiko lebih tinggi mengalami

situasi yang membuat mereka merasakan nyeri ( Potter & Perry, 1997).

Nyeri pada tubuh yang bersifat akut maupun kronik dapat memberi

pengaruh buruk pada kondisi untuk dapat tertidur dan mempertahankan tidur.

Efek nyeri terhadap kehidupan lansia mempengaruhi kualitas tidur dan juga

kemampuan penilaian mereka (Sue, 2006).

a) Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

b) Deskripsi Nyeri

Intensitas nyeri, Individu diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada

skala verbal, contohnya tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat atau sangat

hebat, atau bias juga dengan 0 sampai 10 dimana 0 = tidak nyeri, 10 =

nyeri sangat hebat.

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut:

Skala intensitas nyeri


deskritif

Skala identitas nyeri numerik

Skala analog visual

Skala nyeri menurut bourbanis


Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan

baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

c) Karakteristik nyeri, yang termasuk letak nyeri, durasi nyeri dalam hitungan

waktu, kualitas nyeri misalnya seperti ditusuk, seperti terbakar, seperti

digencet.

d) Faktor- faktor yang meredakan nyeri misalnya dengan obat- obatan atau

istirahat.

e) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari- hari, misalnya tidur

terganggu, nafsu makan menurun, keterbatasan aktifitas.

f) Nyeri pada lansia


Terdapat beberapa alasan mengapa nyeri dan kurangnya

penanganan nyeri dapat menjadi masalah bagi lansia. Nyeri yang biasa

terjadi pada lansia yaitu nyeri arthritis yang terjadi pada lebih dari

setengah dari seluruh lansia dengan osteoartritis yang menyebabkan lebih

banyak nyeri kronis daripada kondisi lain, jenis nyeri lain yang sering

terjadi pada lansia adalah, sakit kepala, sakit punggung bawah dan nyeri

tajam serta terbakar. (Stanley&Beare, 2007).

2) Kebisingan

Lingkungan yang bising menjadi penyebab insomnia disemua tempat

perawatan lansia. Sumber kebisingan didapat dari karyawan, teman sekamar,

tamu, dan aktivitas rutin di ruang perawatan seperti pembicaraan dan

panggilan diluar kamar, suara televisi, intercom, bel, alaram, peralatan kereta

linen, peralatan cleaning service (suci, 2002). Tingkat suara yang diperlukan

untuk membagunkan orang tergantung pada tahap tidur (Poter dan Perry,

1997). Suara yang rendah lebih sering membangunkan seseorang dari tidur

tahap I, sementara suara yang keras membangungkan orang tidur pada tahap 3

atau 4. Beberapa orang membutuhkan ketenangan untuk tidur, sementara yang

lain lebih menyukai suara sebagai latar belakang sebelum tertidur seperti

musik lembut atau Televisi. Suara di Rumah Sakit biasanya baru atau asing,

sehingga klien menjadi mudah terbangun. Masalah ini adalah yang terbesar

pada malam pertama hospitalisasi, karena klien sering mengalami peningkatan

bangun,penurunan tidur REM, dan total waktu tidur jadi terganggu. (Potter

dan Perry 1997). Kebisingan yang sering terjadi di Rumah Sakit paling banyak

disebabkan oleh suara yang disebabkan aktivitas keperawatan, suara dari klien
yang sakit, deringan sistem alarm atau telpon ruangan perawatan dan

gangguan kegawatdaruratan. ( Potter & Perry, 2006).

Percakapan normal menurut Hilton (1987) adalah sekitar 50 desibel

dan menemukan bahwa alarm pengontrol mencapai suara 44 sampai 80

desibel, pembilasan toilet 44–76 desibel dan penyobekan tisu 41- 81 desibel.

3) Temperature Ruangan

Tertidur dan dapat mempertahankan tidur sulit didapatkan ketika

seseorang merasa kedinginan. Lansia sering terbangun pada malam hari,

karena pada waktu malam hari terjadi penurunan inti termperatur tubuh yang

disebabkan oleh berkurangnya laju kecepatan metabolisme tubuh dan aktifitas

otot. Terlalu panas juga akan mengakibatkan insomnia, tetapi beberapa lansia

mendapatkan tidur yang lebih baik jika kondisi ruangan dalam keadaan

hangat.

Temperature yang baik untuk ruangan adalah di bawah 650f (Workfolk, 1997

dikutip dari Sue 2006). Beberapa selimut hangat dan sprai flannel dapat

membantu tempat tidur menjadi hangat. Piyama flannel untuk baju tidur, kaos

kaki dapat dipergunakan untuk menghangatkan tubuh saat tidur.

4) Perubahan Situasi

Kehilangan pasangan lebih sering terjadi pada populasi lansia

perempuan dari pada lansia laki-laki. Kehilangan teman tidur merupakan

faktor penyebab psikologis dari ketidak nyamanan saat tidur. Janda atau Duda

menceritakan keanehan ketika harus tidur sendiri setelah sekian tahun

menikah. Perubahan rutinitas mempengaruhi tidur mereka. Kesepian yang

disebabkan oleh perubahan jadwal aktifitas pun bias menyebabkan insomnia

karena pada waktu sebelumnya lansia mendapatakan tidur yang baik pada
malam hari setelah bekerja seharian dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan

besok.

Perpindahan lokasi sering dialami oleh lansia seperti pindah dari rumah

ke panti werda atau ruang perawatan. Tidur menjadi berlawanan terhadap

perasaan peralihan dari sumber yang tidak dapat dikenali. Lingkungan yang

tidak biasa atau berada di tempat yang baru bagi lansia dapat menyebabkan

insomnia, selama di ruang perawatan lansia mempunyai teman tidur lain

dalam ruangan yang berbeda kebiasaan dengan mereka sebagai contoh seorang

lansia dapat tidur dengan mendengan televisi sedangkan lansia lain dapat

teganggu tidur karena suara televisi tersebut. (Potter & Perry, 2007).

5) Pencahayaan

Cahaya adalah Suatu sumber memancarkan energi, sebagian dari

energi ini diubah menjadi cahaya tampak. Perambatan cahaya di ruang bebas

dilakukan oleh gelombang-gelombang elektro magnetik. http://www.psppk-

depkes.org.

Pedoman pencahayaan di Rumah Sakit, sudah lama diharapkan, karena

pencahayaan merupakan salah satu parameter kesehatan lingkungan dirumah

sakit yang harus memenuhi persyaratan dan nilai tertentu. Pencahayaan yang

kurang cukup dapat mengganggu pelayanan kesehatan dirumah sakit dan lebih

jauh dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Pencahayaan sebagai

salah satu faktor hospital enginering merupakan parameter yang sangat

penting dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pelayanan dirumah

sakit.

Banyak lansia yang hanya dapat tidur di ruangan yang gelap,

pencahayaan dalam lorong Rumah Sakit dan Nurse Station dapat mengganggu
tidur penghuni ruang perawatan. Pencahayaan remang-remang pada malam

hari ditempat perawatan dapat meningkatkan tidur yang lebih baik karena

lansia lebih senang tidur diruangan dengan cahaya remang-remang.

Pencahayaan dalam ruangan kamar mandi dan lorong yang menyebabkan

terganggunya tidur lansia. Keadaan ini dapat dikurangi dengan mengurangi

cahaya yang menyilaukan dengan memberikan cahaya yang cukup untuk

pandangan saja. (Sue, 2006).

Tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur,

beberapa lansia menyukai ruangan gelap, sementara lansia lain ada juga yang

menyukai cahaya remang- remang atau mungkin cahaya yang tetap menyala

selama tidur. (Potter & Perry, 2006) .

6) Diet

Tidur dipengaruhi apa yang kita makan dan minum, kandungan caffeine

yang terdapat pada minuman (kopi, teh, minuman soda) membuat lansia sulit

untuk tidur. Efek dari caffeine meliputi keresahan, gelisah, insomnia, tremor,

meningkatkan detak jantung dan mengurangi relaksasi otot halus bronkus.

Minuman yang mengandung alcohol dapat mempengaruhi tidur. Alkohol dapat

mengurangi fase REM dan tidur dalam. Jumlah minum pada siang hari dan

sebelum tidur akan mempengaruhi untuk terjadinya nokhuria. Snack yang hangat

sebelum tidur lebih baik daripada snack dingin. ( Potter & Perry,2006, Hal 1491).

7) Pengobatan

Lansia sering kali menggunakan variasi obat untuk mengontrol atau

mengatasi penyakit kronisnya, dan efek kombinasi dari beberapa obat dapat

menggangu tidur secara serius.


8. Peran Perawat untuk mengatasi masalah tidur pada lansia menurut Mickey

Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2007 adalah :

a. Pertahankan kondisi yang kondusif untuk tidur, yang mencakup perhatian faktor-

faktor lingkungan dan kegiatan-kegiatan ritual menjelang tidur.

b. Bantu orang tersebut untuk rileks pada saat menjelang tidur dengan memberikan

usapan punggung, masase kaki, atau kudapan tidur bila diinginkan. Latihan pasif

dan gerakan mengusap memberikan efek yang menidurkan.

c. Memberikan posisi yang tepat, menghilangkan nyeri, dan memberikan kehangatan

dengan selimut-selimut konvensional atau selimut listrik juga dapat membantu.

d. Jangan membiarkan pasien meminum kafein (kopi, teh, cokelat) di sore hari dan

malam hari.

e. Lakukan tindakan-tindakan yang masuk akal seperti memutar musik lembut di

radio dan menawarkan susu hangat dan minuman hangat lainnya atau kudapan

untuk meningkatkan tidur pada lansia tanpa menggunakan hipnotik. Pada waktu

malam, secangkir anggur, sherry, brandy atau bir memberikan kehangatan internal

dan relaksasi pada lansia yang perlu tidur. Namun, efek dari satu minuman hanya

berlangsung selama dua pertiga siklus tidur.

f. Tidur siang merupakan hal yang tepat, namun jumlah tidur siang tidak boleh lebih

dari 2 jam.

g. Latihan tiap hari juga harus dianjurkan. Hal ini merupakan cara yang terbaik

untuk meningkatkan tidur. Latihan harus dilakukan pagi hari daripada menjelang

tidur karena pada jam-jam tersebut latihan hanya akan menimbulkan efek

menyegarkan daripada menidurkan.


h. Mandi air hangat terkadang dapat merilekskan lansia tetapi beberapa diantaranya

tidak menyukai intervensi ini, mengeluh pusing pada saat mereka bangun dari

tidur.

C. Penelitian Terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Munardi (2002) dengan judul “Faktor

yang Mempengaruhi Kebutuhan Tidur Pada Pasien dengan Perubahan Fungsi Pernafasan

di Badan Pelayanan Kesehatan RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Jumlah responden

39 orang. Kesimpulannya terdapat hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang

mempengaruhi tidur dengan gangguan kebutuhan tidur pada pasien dengan perubahan

fungsi pernafasan.

Penelitian yang dilakukan oleh Markumah Andriyani (2008) dengan judul

Hubungan Antara Tingkat Depresi Dengan Kejadian Insomnia Pada Lansia Di Panti

Wredha Budhi Dharma Yogyakarta 2008. Jumlah sampel 35 Orang. Penelitian ini

dilakukan di Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Dari 35 responden yang

diobservasi diperoleh data sebagian besar responden sejumlah 25 Orang lansia (83,3%)

depresi kategori sedang- berat, kategori Depresi Ringan 5 Lansia (16,7%).Depresi ringan

dengan kejadian Insomnia 1 lansia. Sedangkan depresi ringan tidak ada insomnia 4

Lansia. Dengan kategori Tidak ada gejala depresi 5 Lansia (14,3%). Dan kesimpulannya

ada hubungan antara tingkat depresi dengan kejadian Insomnia pada lansia.

Penelitian yang dilakukan oleh Dedy Wibowo Andrean (2009) dengan judul

Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Insomnia Pada Lansia Di Desa Tambak Merang

Girimarto Wonogiri. Semakin tinggi tingkat stres yang dialami oleh lansia maka dapat

mempengaruhi kebutuhan waktu untuk tidur. Insomnia merupakan insomnia yang paling

sering ditemukan. Kejadiannya makin meningkat seiring bertambahnya usia. Jumlah


sampel penelitian sebanyak 84 responden lanjut usia. Kesimpulan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan insomnia pada lansia.

D. Kerangka Teori

INPUT PROSES OUTPUT

Faktor Internal
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Status Pernikahan
4. Tingkat Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Nyeri

Siklus Tidur
Faktor Eksternal Tahap-tahap tidur
1. Lingkungan kamar dengan urutan : 1, 2,
perawatan
a. Pencahayaan 3, 4, 3, 2, REM.
b. Kebisingan Kemudian, tahap 2
c. Suhu ruangan
2. Perubahan Situasi dimulai kembali
Tidak ada gangguan
tidur

Terjadi gangguan tidur


Insomnia

1) Sikap dan perilaku


1. Hipersomnia
2) Penggunaan Obat Tidur 2. Apnea tidur
perawat
3) Dukungan keluarga
4) Dukungan lingkungan

Diteliti

Tidak diteliti

Gambar 2.4
Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai