Anda di halaman 1dari 17

Modul Muskuloskeletal

Sub Modul
Tatalaksana Kedokteran Fisik danRehabilitasi
pada
Myofascial Trigger Point Syndrome
(MTPS)

Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi Indonesia

0
Sub Modul
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) pada
Myofascial Trigger Point Syndrome (MTPS)

I. Waktu

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi tutorial dalam kelas 10 x 60 menit
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 6 x 2 x 60 menit
Sesi praktik 3 x 180 menit
Pre-test & Post-test 2 x 30 menit
Ujian ketrampilan 2 x 180 menit
Pencapaian kompetensi 2 minggu

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan umum

Agar peserta didik mampu memberikan tatalaksana KFR yang komprehensif pada
Myofascial Trigger Point Syndrome (MTPS).

B. Tujuan Khusus

Pada akhir pembelajaran modul peserta didik harus mampu melakukan


pemeriksaan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) pada kasus MTPS, untuk
mengenali gangguan fungsi, disabilitas dan limitasi partisipasi (impairment,
disability and handicap), menetapkan diagnosis dan prognosis fungsional,
menentukan tingkat kemandirian serta melakukan tatalaksana KFR secara optimal
pada MTPS.

III. Kompetensi

A. Kompetensi kognitif

1. Memahami pemeriksaan dasar KFR

1
2. Memahami definisi dan gejala MTPS Memahami patofisiologi penyebab MTPS
3. Memahami pemeriksaan awal dan pemeriksaan penunjang MTPS
4. Memahami dasar diagnosa MTPS
5. Memahami diagnosa banding MTPS
6. Memahami terapi komprehensif MTPS
7. Memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian tingkat
kemandirian dalam ADL pada penderita MTPS.
8. Memahami komplikasi yang dapat terjadi serta penatalaksaannya.

B. Kompetensi ketrampilan

1. Mampu melakukan pemeriksaan KFR pada MTPs :


a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik umum dan khusus
c.Pemeriksaan fungsi muskuloskeletal.
d. Analisis hasil pemeriksaan penunjang MTPs
2. Mampu menetapkan diagnosis dan diagnosis banding MTPs
3. Mampu menetapkan prognosis fungsional dan tujuan tatalaksana KFR.
4. Mampu memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai
penyakit, faktor resiko dan penyebabnya, intervensi KFR yang akan
dilakukan, hasil terapi yang diharapkan dan pencegahan selanjutnya
5. Mampu melakukan tatalaksana komprehensif MTPs:
a.Melakukan terapi modalitas fisik dan latihan
b. Melakukan terapi penjaruman ( dry needling ), Spray & Stretch, Ischemic
compression
c.Memilih alat bantu bila diperlukan.
d. Memberikan terapi medikamentosa
6. Mampu melakukan evaluasi dan tindak lanjut tatalaksana pada MTPs
7. Mampu mengenali masalah dan penyulit yang mungkin terjadi serta
melakukan tindakan pencegahan.
8. Mampu mengenali masalah dan penyulit yang ada serta melakukan rujukan
apabila diperlukan.

IV. Metoda dan Strategi Pembelajaran

A. Metoda:

1. Kuliah interaktif

2
2. Curah pendapat dan diskusi
3. Pendampingan (coaching)
4. Bed side teaching

B. Strategi :

Tujuan 1. Mampu melakukan pemeriksaan KFR pada MTPs


Wajib diketahui:
o Pemeriksaan dasar KFR (Metoda 1 s/d 4)
o Pemeriksaan khusus muskuloskeletal (metoda 1 s/d 4)
o Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang terkait untuk mengenali faktor
resiko lain atau adanya penyulit (metoda 1,2)

Tujuan 2. Mampu menetapkan diagnosis fungsional


Wajib diketahui:
o definisi dan tanda klinis MTPS (metoda 1,2)
o patofisiologi penyebab MTPS (metoda 1,2)
o hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang MTPS (metoda 1 s/d 4)
o kriteria diagnosis MTPS dan diagnosis banding MTPS (metoda 1.,2)

Tujuan 3. Mampu menetapkan prognosis fungsional dan tujuan tatalaksana KFR.


Wajib diketahui:
o Analisis kasus dan data yang diperlukan untuk menetapkan prognosis
fungsional (metoda 1 s/d 4)
o Luaran Fungsional (metoda 1,2)

Tujuan 4. Mampu memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai


penyakit, faktor resiko dan penyebabnya, intervensi KFR yang akan
dilakukan, hasil terapi yang diharapkan dan pencegahan
selanjutnya
Wajib diketahui:
o Ketrampilan komunikasi (metoda 1 s/d 4)
o patofisiologi penyebab MTPS (metoda 1,2)
o tatalaksana KFR sesuai kondisi MTPs (metoda 1,2)
o Hasil penatalaksanaaan yang diharapkan (metoda 1,2)
o Masalah atau penyulit yang menghambat (metoda 1,2)
o Luaran Fungsional (metoda 1,2)

3
Tujuan 5. Mampu melakukan tatalaksana KFR sesuai kondisi MTPS
Wajib diketahui:
o Proses perjalanan / tahapan MTPS (metoda 1,2)
o Tujuan tatalaksana KFR sesuai kondisi MTPS (metoda 1,2)
o Tatalaksana KFR komprehensif pada MTPS (metoda 1 s/d 4)

Tujuan 6. Mampu melakukan evaluasi dan tindak lanjut tatalaksana


Wajib diketahui:
o Hasil penatalaksanaaan yang diharapkan (metoda 1,2)
o Masalah atau penyulit yang menghambat (metoda 1,2)

Tujuan 7. Mampu mengenali dan antisipasi komplikasi yang mungkin terjadi dan
melakukan tindakan pencegahan.
Wajib diketahui:
o Komplikasi yang mungkin terjadi pada setiap tahapan rehabilitasi (metoda
1,2)
o Pencegahan komplikasi yang optimal (metoda 1 s/d 4)

Tujuan 8. Mampu mengenali komplikasi yang ada serta melakukan rujukan yang
diperlukan.
Wajib diketahui:
o Penanganan komplikasi secara optimal (metoda 1 s/d 4)
o Keterbatasan sumber daya (metoda 1,2)
o Komplikasi yang perlu segera dirujuk untuk mendapatkan penatalaksaan di
tempat dengan sumber daya yang lebih sesuai (metoda 1 s/d 4).

V. Persiapan Sesi

Bahan dan peralatan yang diperlukan:


o Materi modul tatalaksana KFR pada MTPs
o Materi presentasi: Power Point
o Model: Gambar / Alat peraga Otot, Fascia, Titik picu
o Contoh kasus
o Daftar tilik kompetensi
o Audiovisual

4
VI. Referensi Buku Wajib

1. Travell and Simons. Myofascial Trigger Points.


2. Bonica. Pain Management

VII. Gambaran Umum

Myofascial Trigger Point Syndrome (MTPS) adalah sindroma nyeri otot regional,
yang ditandai dengan adanya trigger point yang biasanya terletak di otot atau di
tendon otot yang spasme sehingga membentuk taut band. Jika trigger point
tersebut ditekan, akan menimbulkan nyeri sekitarnya serta nyeri rujukan (reffered
pain) yang spesifik untuk masing-masing trigger point dari myofascial tersebut.
Bersamaan dengan nyeri rujukan tersebut dapat pula ditemukan fenomena
rujukan otonom (autonomic phenomena).
Disamping itu dapat pula ditemukan local twitch response (LTR) dan jump sign
jika TrP tersebut ditekan atau ditusuk. Terjadi disfungsi otot yang terlibat.

VIII. Contoh kasus

Ny. A, umur 36 thn datang dengan keluhan nyeri kepala sebelah kiri, sekitar leher,
pundak sampai punggung bagian atas sejak 3 bulan.
Tidak didapatkan adanya riwayat trauma maupun sakit panas atau lainnya. Nyeri
kadang menjalar sampai ketelinga dan wajah. Bila nyeri timbul, gerakan sekitar
leher dan punggung atas terasa kaku. Nyeri dirasakan hilang-timbul, dapat reda
setelah minum obat, akan tetapi selalu timbul kembali. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan spasme sekitar trapezius atas, bila ditekan teraba taut band dengan
trigger point (titik picu) aktif menjalar ke daerah temporalis. Saat nyeri aktifitas
Ny. A sebagai guru SD sangat terganggu.

IX. Rangkuman Kasus

A. Diskusi :

o Apa dasar diagnosa pada penderita?


o Adakah gangguan fungsional yang dialami penderita?

5
o Apa dampak sosial pada penderita?
o Apa yang seharusnya dilakukan terhadap penderita?

B. Penuntun Diskusi Kasus:

o Adanya nyeri trigger point, taut band atau nodul MTPS, dan refferred pain.
o Keterbatasan gerak dan nyeri daerah leher dan bahu, disertai sakit kepala,
sehingga tidak dapat melakukan aktifitas sehari-harinya serta melaksanakan
perannya sebagai guru SD dan sebagai ibu rumah tangga dengan baik.
o Sering ijin sakit dengan kemungkinan mengganggu pendapatan keluarga.
o Tatalaksana KFR yang terstruktur dan komprehensif
 Mengurangi nyeri dan spasme otot:dry needling dan atau spray &
stretch, modalitas panas, elektroterapi, laser, masase, latihan
peregangan
 Mengembalikan kekuatan dan kebugaran otot terutama otot-otot
paraservikal, trapesius, sternocleidomastoideus, dan gelang bahu.
 Pencegahan selanjutnya: edukasi proper body mechanism, home
exercise (penguatan dan peregangan)

X. Evaluasi

Kognitif
 Pre-test dan Post-test dalam bentuk lisan, essay dan atau MCQ
 Self Assessment dan Peer Assisted Evaluation
 Curah pendapat dan diskusi

Contoh Soal

Ny. R datang dengan keluhan kaku dan nyeri di pundak kiri, sehingga tidak bisa
menengok ke kanan. Gejala klinis spesifik apa yang menunjang adanya MTPs?
A. Spasme disertai spastisitas pada otot
B. Spasme otot disertai tanda inflamasi
C. Adanya nyeri trigger point, taut band atau nodul MTPs, dan refferred pain.
D. Keterbatasan lingkup gerak sendi.

Jawaban: C

6
Psikomotor
 Self Assessment dan Peer Assisted Learning
 Peer Assisted Evaluation (berbasis nilai 1,2 dan 3)
 Penilaian Kompetensi (berbasis nilai memuaskan, perlu perbaikan dan tidak
memuaskan)
 Kesempatan untuk Perbaikan (Task-based Medical Education)

Kognitif dan Psikomotor


 OSCE

XI. Instrumen Penilaian

Instrumen pengukuran kompetensi kognitif & psikomotor

1. Observasi selama proses pembelajaran


2. Log book
3. Hasil penilaian peragaan ketrampilan
4. Pre-test modul
5. Post-test modul
6. Penilaian Kinerja Pengetahuan dan Ketrampilan (ujian akhir semester)
7. Ujian Akhir Profesi

XII. Penuntun Belajar

Skor
No. Penuntun Belajar 0 1 2 3
1. Melakukan penyapaan kepada pasien
2. Melakukan anamnesis mengenai:
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat nyeri
c. Riwayat penyakit dahulu
d. Riwayat pekerjaan
e. Riwayat kegiatan / olahraga
f. Kemampuan fungsional sebelum sakit
g. Riwayat psikososioekonomi
h. Harapan pasien

7
3. Melakukan pemeriksaan umum:
a. Tanda vital
b. Pemeriksaan sistem kardiorespirasi
c. Pemeriksaan sistem neuromuskuloskeletal
4. Melakukan pemeriksaan dasar KFR:
a. Lingkup gerak sendi
b. Tonus dan reflex
c. Ketahanan dan kekuatan otot
e. Status psikologis
5. Melakukan pemeriksaan khusus:
a. Trigger Point,
b. Taut band dan atau nodul MTPS
c. Referred pain
d. VAS untuk nyeri
6. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan
penunjang untuk mengenali faktor resiko lain
atau adanya penyulit
7. Melakukan pemeriksaan fungsional menggunakan
Barthel Index
8. Menetapkan diagnosis fungsional dan beratnya
kondisi MTPS
9. Menetapkan prognosis fungsional (WHO
Performance Scale) dan tujuan tatalaksana KFR
10. Menetapkan jenis intervensi KFR sesuai kondisi
MTPS
a. Dry needling
b. Spray & stretch
c. Ischemic compression
d. Modalitas panas/elektroterapi/laser
e. Massage & Manipulation
f. Terapi Latihan peregangan dan relaksasi
11. Melakukan informasi dan edukasi kepada pasien
a. Mengenai penyakit
b. Faktor resiko dan penyebabnya
c. Intervensi KFR yang akan dilakukan
d. Hasil terapi yang diharapkan
e. Pencegahan selanjutnya
12. Melakukan intervensi terapi KFR untuk MTPs:
a. Dry needling

8
b. Spray & stretch
c. Ischemic compression
d. Modalitas panas/elektroterapi/laser
e. Massage & Manipulation
f. Terapi Latihan peregangan dan relaksasi
13. Melakukan evaluasi hasil terapi KFR terhadap:
a. Intensitas nyeri (VAS)
b. Penjalaran nyeri
c. Taut band atau nodul MTPS
d. Lingkup gerak sendi yang terkait
e. Kemampuan beraktivitas (Barthel Index)
14. Melakukan tindak lanjut terapi sesuai dengan
hasil evaluasi:
a. Pengulangan terapi
b. Terapi latihan peregangan dan relaksasi
c. Terapi latihan penguatan otot terkait
d. Terapi latihan kebugaran lokal dan
menyeluruh.
15. Memberikan program rumah:
a. Latihan peregangan dan relaksasi
b. Latihan penguatan
c. Latihan kebugaran lokal dan menyeluruh
16. Mengenali masalah dan penyulit yang ada
dan melakukan penanganan sesuai dengan
kemampuan serta fasilitas yang tersedia, dan atau
melakukan rujukan apabila diperlukan.

Keterangan :
0: Tidak diamati (TD)
1 : Dikerjakan semua tapi tidak benar,atau tidak berurutan,atau tidak dikerjakan
2 : Dikerjakan,dengan bantuan
3 : dikerjakan semua dengan lengkap dan benar.

Maksimal skor : 48
Skor akhir : jumlah skor.

9
Lampiran:
1. VAS untuk nyeri
2. Format Barthel Index
3. ECOG/WHO Performance Scale

XII. Daftar tilik

No. Daftar Tilik Kompetensi


Ya tidak
1. Melakukan penyapaan kepada pasien TD
2. Melakukan anamnesis yang mengarah kepada
MTPS
3. Melakukan pemeriksaan fisik umum TD
4. Melakukan pemeriksaan dasar KFR TD
5. Melakukan pemeriksaan khusus MTPS
6. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan
penunjang
7. Melakukan pemeriksaan fungsional
8. Menetapkan diagnosis fungsional dan beratnya
penyakit.
9. Menetapkan prognosis fungsional dan tujuan
tatalaksana KFR
10. Menetapkan jenis intervensi KFR sesuai kondisi
MTPS
11. Melakukan informasi dan edukasi kepada pasien
12. Melakukan intervensi terapi KFR untuk MTPS
13. Melakukan evaluasi hasil terapi KFR
14. Melakukan lanjutan terapi sesuai dengan hasil
evaluasi
15. Memberikan program untuk di rumah
16. Mengenali masalah dan penyulit yang ada serta
menetapkan tindak lanjut
Total Skor

Keterangan:

10
TD = tidak Diamati
Centang pada kolom yang relevan.
Hasil : Semua kolom harus tercentang kompeten,bila tidak peserta didik harus
mengulang.

XIII. Materi baku

Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) pada


Myofascial Trigger Point Syndrome (MTPs)

Batasan
Myofascial Trigger Point Syndrome terdiri dari kelompok kelainan otot dengan
ciri adanya titik yang hipersensitif yang disebut trigger point, pada satu atau lebih
otot dengan nyeri, spasme, kekakuan, gerakan terbatas dan kelemahan.
Gejala biasanya timbul pada area yang jauh dari trigger point, meskipun nyeri
lokal masih ada. Sindroma ini sebelumnya disebut juga myalgia, miositis, fibrositis,
myofascitis, fibromyositis, muscular rheumatism, muscular starins atau titik picu
nyeri.

Myofascial Trigger Point Syndrome (=MTPs) adalah sindroma nyeri otot regional,
yang ditandai dengan adanya trigger point yang biasanya terletak di otot atau di
tendon otot yang spasme sehingga membentuk taut band, jika trigger point
tersebut ditekan, akan menimbulkan nyeri sekitarnya serta nyeri rujukan (reffered
pain) yang spesifik untuk masing-masing trigger point dari myofascial tersebut.
Selain nyeri rujukan tersebut dapat pula ditemukan fenomena rujukan otonom
(autonomic phenomena). Disamping itu dapat pula ditemukan local twitch
response (LTR) dan jump sign jika TrP tersebut ditekan atau ditusuk. Terjadi
gangguan pada fungsi otot yang terlibat.

Patofisiologi

Pada individu, terutama yang menyangkut stress emosional dan aktifitas fisik
sehari-hari, merespon pertahanan mekanisme yang meliputi berbagai macam
perubahan fisiologis, misalnya splinting dan bracing dari suatu otot, perubahan

11
vasomotor, peningkatan aktifitas simpatis, maupun perubahan humoral dan
hormonal dalam plasma dan cairan ekstraselular. Hal terpenting dalam suatu otot
dan fascia yang mengalami stress yang biasanya lebih sensitive daripada jaringan
sekitarnya (biasanya disebabkan oleh jejas sebelumnya atau bahkan genetik)
adalah melelahkan dan mulai mengirimkan tanda stress kepada system saraf
utama.
Sejumlah respons mungkin tampak dan hal ini yang paling bisa dipahami saat ini
menyangkut refleks motoris. Berbagai macam otot yang berhubungan dengan
trigger point menjadi lebih menegang dan lelah. Respon simpatis menyebabkan
perubahan vasomotor pada dan sekitar trigger point. Iskemia lokal akibat
vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas vaskuler akibat vasodilatasi dapat
menyebabkan perubahan pada lingkungan ekstraseluler dari sel yang terkena,
pelepasan algesic agents ( bradikinin, prostaglandin), perubahan osmotik,
perubahan pH, dimana semua itu dapat meningkatkan sensitifitas dan nosiseptor
di area itu. Aktifitas simpatis juga bisa menyebabkan otot halus berkontraksi
disekitar nosiseptor, sehingga meningkatkan nosiseptornya.
Peningkatan input nosiseptor berperan dalam siklus, dengan cara meningkatkan
aktifitas motorik dan simpatis dimana mereka akan meningkatkan nyeri. Nyeri
yang ditimbulkan disamarkan oleh rasa lelah yang mulai muncul menambah
perasaan stres pada kondisi pasien. Dan ini menimbulkan suatu siklus feedback.
Saat otot yang tegang pada area yang terpengaruh mulai menjadi lelah pada
lingkungan dengan stimulasi atau rangsangan simpatis dan perubahan biokimia
lokal, trigger point yang latent / tidak aktif dalam otot tersebut mulai menjadi aktif
sehingga mereka turut menyebabkan positive feedback cycle dan menyebarkan
nyeri ke kelompok otot di dekatnya. Akhirnya stres karena nyeri dan lelah,
ditambah dengan peningkatan tension otot dan peningkatan simpatis diseluruh
tubuh menyebabkan timbulnya trigger point pada otot-otot yang jauh dari area
asal.

Sign and symptom:

- Myofascial trigger points adalah timbulnya titik picu nyeri, dimana pada
penekanan mengenai fascia disekitarnya dan berhubungan dengan jaringan otot.
- Tender point adalah menyebabkan nyeri setempat tetapi tanpa referred pain
- Taut bands adalah kelompok serabut otot yang tegang, nyeri dan berkonsistensi
keras saat palpasi.
- Spasme otot adalah nyeri dan tegang dan konsistensi lebih keras dibanding
seluruh otot, tidak terbatas hanya pada beberapa serabut dan bersifat involunter.

12
Diagnosis :

Diagnosis myofasial syndrome membutuhkan riwayat detail dari nyeri, data diri
dan riwayat keluarga, pemeriksaanan phisik ( termasuk evaluasi neurology dan
ortopedik) serta penelusuran pada trigger point.
Riwayat dari nyeri harus dicari, riwayat tentang penyebab dan karakteristik nyeri
pada saat onset sesudahnya dan saat interview. Sebagaimana disebut sebelumnya
myofascial syndrome karena trauma lebih gampang diingat sehingga pasien bisa
menggambarkan aktivitas apa yang berhubungan dengan onset nyeri. Bila saat itu
tidak ditemukan trauma tetapi nyeri timbul, dokter harus menanyakan aktivitas
harian yang mungkin melibatkan gerakan berulang dari kelompok otot yang bisa
menyebabkan kerja otot yang berlebihan.
Pemeriksaan fisik harus mencakup observasi luas gerak sendi dan kekuatan otot.
Luas gerak sendi yang normal tidak menunjukkan adanya trigger point, teteapi
trigger point dapat muncul bila luas gerak sendi terbatas. Otot yang terkait dengan
restriksi gerakan saat ditemukan, biasanya tidak menunjukkan sensori defisit.
Area nyeri yang dilaporkan pasien dapat membantu untuk memastikan pola nyeri
dan mengidentifikasi trigger point. Pemeriksa lalu mempalpasi otot yang dicurigai
untuk mencari trigger point dan taut band.
Saat palpasi harus sistematik, dan pasien diinstruksikan untuk menunjukkan
dimana titik nyeri, tidak hanya menimbulkan nyeri lokal tetapi juga nyeri pada
referred zone.
Pasien harus diamati saat palpsi karena tekanan pada trigger point biasanya
menyebabkan pasien terkejut dan meringis.

Faktor pencetus:

- Stres mekanik meliputi area otot yang asimetri dan disproposi, otot yang overuse.
- Nutrisi yang kurang baik (kekurangan vit B1, B6, B12, as folat, kalsium, kalium ,
dan hemoglobin).
- Gangguan metobolik dan endokrin, berupa hipometabolisme, karena gangguann
tiroid, hiperuricemia, dan hipoglisemia.
- Faktor psikologis, berupa depresi, kecemasan , stres pasca trauma.
- Infeksi kronis, alergi, gangguan tidur.

Diagnosa banding Myofascial Pain Syndome Fibromyalgia syndrome


Nyeri Asimetri, tidak ada pola Simetri

13
Gender Laki = perempuan Perempuan lebih banyak
Distribusi nyeri Satu regio, tapi bisa Menyebar , simetri
Mode of onset banyak Tidak diketahui
Respon treatment Muscle strain, overuse Anatesi lokal tidak
Hilang dengan needling, mengurangi keluhan
anestesi lokal, tehnik
manual

Penatalaksanaan :

1. Atasi trigger point.


a. Massage (deep friction) pada trigger point, dilanjutkan dengan
peregangan otot.
b. USD, TENS pada trigger point, dilanjutkan dengan peregangan otot atau
latihan kontraksi isometrik-relaksasi-peregangan.
c. Stretch dan sprays, dengan memperhatikan efek samping.
d. Trigger point injection dengan dry needling, anestesi lokal.
e. Terapi laser.
2. Medikamentosa : analgesik, NSAID, muscle relaxant, antihistamin / alergi.
3. Edukasi : eliminasi faktor pencetus.

XIV. Kepustakaan

1. Bonica J, Myofascial Pain Syndrome. In : TheManagement of Pain. Vol 1, 2 nd


ed. Lea & Febiger. Philadelphia, 1990: 352-367.
2. Travell & Simons. In : Myofascial Pain and Dysfunction. Williams & Wilkins,
Baltimore, 1992.

XV. Presentasi: Powerpoint

1. Tatalaksana KFR tentang MTPS

XVI. Model:
Menjelaskan dengan gambar / alat peraga otot & fascia, kelengkapan terapi
MTPS.

Lampiran 1

14
Visual Analog Scale (VAS)

0 ______________________________ 10
0 Tidak ada nyeri
10 Nyeri hebat yang tidak tertahankan

Lampiran 2

15
WHO Performance Scale

1 asimptomatik (aktifitas normal, mampu melakukan semua aktifitas tanpa


hambatan seperti sebelum sakit)
2 simptomatik tapi dapat ambulasi normal (terbatas dalam aktifitas fisik berat
tetapi mampu ambulasi dan melaksanakan kerja ringan, seperti kegiatan
rumah tangga dan kantor)
3 simptomatik, kurang dari 50% waktu terjaga berada di tempat tidur (dapat
ambulasi dan mampu melakukan perawatan diri tapi tidak mampu
melakukan kegiatan rumah tangga atau kantor). Berada di luar tempat tidur
lebih dari 50% waktu terjaga yang wajar.
4 Simptomatik lebih dari 50% tirah baring tapi tidak terikat di tempat tidur
( mampu melakukan aktifitas perawatan diri dengan keterbatasan, tirah
baring atau duduk di kursi lebih dari 50% dari waktu terjaga yang wajar)
5 Terikat di tempat tidur (sepenuhnya dibantu. Tidak dapat melaksanakan
perawatan diri sama sekali. Sepanjang hari berada di tempat tidur atau kursi)
6 Meninggal

16

Anda mungkin juga menyukai