Anda di halaman 1dari 21

LABORATORIUM FARMAKALOGI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ARTIKEL HASIL PRAKTIKUM

SISTEM SARAF OTONOM

Disusun oleh :

Nama : Sitti Hajar

NIM : 15020150042

Asisten : Andri

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2016
ARTIKEL HASIL PRAKTIKUM

SISTEM SARAF OTONOM

Dipersiapkan dan disusun oleh

Hilda Nur Pratiwi

15020150097

telah dipertahankan di asisten pendamping

pada tanggal November 2016

Telah disetujui oleh :

Asisten pendamping,

Zulfa Kadir, S. Farm Tanggal, November 2016


( Nama Asisten)
SISTEM SARAF OTONOM

1Hilda Nur Pratiwi, Zulfa Kadir, S.Farm2

1
Mahasiswa Fakultas Farmasi, UMI.
2
Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI.

Email : hildanurpratiwi97@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang :Sistem saraf motorik terbagi atas sistem otonom dan somatik.
Sistem saraf otonom (SSO) sesuai dengan namanya bersifat otonom (independen)
dimana aktifitas tidak dibawah kontrol kesadaran secara langsung. Aktifasi SSO
secara prinsip terjadi di pusat di hypothalamus, batang otak dan spinalis. Impuls
akan diteruskan melalui sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis
dan parasimpatis biasanya bekerja secara antagonis. Pemahaman tentang tentang
anatomi dan fisiologi dari SSO sangat berguna untuk memperkirakan efek
farmakologi obat yang bekerja pada sistem saraf otonom tersebut. Dengan
menggunakan obat-obat yang mirip atau menghambat kerja neurotransmitter, kita
dapat memilih dan mempengaruhi fungsi otonom.
Tujuan Praktikum :Untuk mengetahui efek farmakodinamika dari perlakuan
obat-obat yang diberikan pada mencit (Mus muscullus).
Metode :Praktikum ini menggunakan 10 ekor mencit (Mus Muscullus) yang
dibagi dalam 5 kelompok. Kelompok I diberikan perlakuan obat cendotropin (i.p)
yang termasuk golongan parasimpatis yang bersifat antagonis kolinergik yang
bekerja sebagai obat antimuskarinik. Kelompok II diberikan perlakuan obat
cendocarpin (i.p) yang termasuk golongan parasimpatis yang bersifat agonis
kolinergik yang bekerja secara langsung. Kelompok III diberikan perlakuan obat
epinefrin (i.p) yang termasuk golongan obat simpatis yang bersifat agonis
adrenergik yang bekerja secara langsung. Kelompok IV diberikan perlakuan obat
epinefrin (i.p) dan NaCMC (oral) yang. Kelompok V diberikan perlakuan obat
propanolol (oral). Masing-masing kelompong mengamati hewan cobanya setelah
pemberian perlakuan obat pada menit ke 15, 30, 60 dan 90.
Hasil : Dari praktikum menunjukkan bahwa dari setiap perlakuan obat yang
diberikan memberikan efek yang berbeda-beda tergantung golongan obat tersebut.
Pada perlakuan obat endocarpin (i.p) simpatis yang bersifat agnonis adrenergik
yang bekerja secara langsung (neutransmiternya yaitu asetilkolin langsung
berikatan dengan reseptornya) sehingga memberikan efek farmakodinamika
seperti midriasis (pelebaran Pupil Mata), vasokontriksi (penyempitan pembuluh
darah), takikardia ( peningkata kontraksi jantung )
Kesimpulan : epinefrin merupakan obat yang yang termasuk golongan obat
simpatis yang bersifat agnonis adrenergik yang bekerja secara langsung
memberikan efek farmakodinamika
Kata Kunci : Sistem otonom, somatik, fungsi, simpatis, parasimpatis,
neurotransmitter
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang
mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan
berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol
tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal,
pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa
fungsi lain.
Sistem saraf otonom dibedakan menjadi dua sistem saraf parasimpatik
dan simpatik. Sistem saraf simpatik mekanisme kejanya menggunakan suatu
zat kimia adrenalin sehingga disebut saraf adrenergik. Senyawa yang dapat
memacu disebut senyawa parasimpatomimetik atau kolinergik sedangkan
Senyawa yang menehambat disebut senyawa parasimpatolitik atau
antikolinergik sedangkan yang dapat memacu saraf adrenergik disebut
senyawa simpatomimetik.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis).
Dua perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer
adalah neuron aferen atau sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron
aferen mengirimkan impuls ke sistem saraf pusat, dimana impuls itu
diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan
meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur
eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada
organ-organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar
tercapainya homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang
atau menekan.
Sebagai seorang farmasi percobaan ini sangatlah penting dilakukan
dilakukan agar kita dapat mengetahui efek-efek farmakodinamik yang
diberikan untuk setiap perlakuan obat yang diberikan berdasarkan
penggolongan obat tersebut, serta mengetahui cara-cara pemberian obat agar
tidak terjadi keslahan dalam pemberian obat dan tidak terjadi penyalahgunaan
obat serta kita dapat mengetahui mekanisme dari masing-msing obat tersebut.
1.2 Maksud Praktikum
Maksud dari praktikum ini adalah Untuk mengetahui efek
farmakodinamika dari perlakuan obat-obat yang diberikan pada mencit (Mus
muscullus).
1.3 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efek
farmakodinamik dari obat pada hewan mencit (Mus muscullus) dengan
parameter pengamatan berupa grooming, salvias, vasokontriksi, takikardia,
bradikardia, straub, piloereksi, diare.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Umum


Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yakni Susunan Saraf Pusat
(SSP) yang meliputi otak dan sumsum tulang belakang, dan Sistem Saraf Perifer
dengan saraf-saraf yang secara langsung atau tak langsung ada hubungannya
dengan SSP. Saraf perifer ini terbagi lagi kedalam dua bagian, yaitu Susunan
Saraf Motoris yang bekerja sekehendak kita, misalnya otot-otot lurik (kaki,
tangan, dan sebagainya) serta Susunan Saraf Otonom (SSO) yang bekerja menurut
aturannya sendiri (Tjay dan Rahardja, 2002).
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur
fungsi visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan
aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan
pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis
dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Susunan Saraf Otonom (SSO), juga disebut susunan saraf vegetatif,
meliputi antara lain saraf-saraf dan ganglia (majemuk dari ganglion yang artinya
simpul saraf) yang merupakan persarafan ke otot polos dari berbagai organ
(bronchia, lambung, usus, pembuluh darah, dan lain-lain). Termasuk kelompok ini
pula adalah otot jantung (lurik) serta beberapa kelenjar (ludah, keringat, dan
pencernaan). Dengan demikin, sistem saraf otonom tersebar luas di seluruh tubuh
dan fungsinya adalah mengatur secara otonom keadaan fisiologi yang konstan,
seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah serta pernafasan (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah
obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel
saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom,
tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis
kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan
saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau
penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce,
2002).
Sistem saraf sangat berperan dalam iritabilitas tubuh. Iritabilitas adalah
kemampuan menaggapi rangsangan. Untuk menanggapi rangsangan, ada tiga
komponen yang harus dimiliki oleh sistem saraf, yaitu (Giri wiarto; 2014):
a. Reseptor, adalah alat penerima rangsangan atau impuls. Pada tubuh kita yang
bertindak sebagai reseptor adalah organ indra.
b. Konduktor (penghantar impuls), dilakukan oleh sitem saraf itu sendiri. Sistem
saraf terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron.
c. Efektor, dalah bagian tubuh yang menanggapi rangsangan. Efektor yang
paling penting pada manusia adalah otot dan kelenjar (hormon). Otot
menanggapi rangsangan yang berupa gerakan tubuh, sedangkan hormon
menanggapi rangsang dengan meningkatkan / menurunkan aktivitas organ
tubuh tertentu. Misalnya mempercepat / memperlambat denyut jantung,
melebarkan atau menyempitkan pembuluh darah dan lain sebagainya.
Susunan Saraf Otonom (SSO) dapat dipecah lagi dalam dua cabang yaitu
Susunan (Ortho) Simpatik (SO) dan Susunan Parasimpatik (SP). Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa kedua susunan ini bekerja antagonis: bila suatu sistem
merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya justru menstimulasinya. Tetapi, dalam
beberapa hal, khasiatnya berlainan sama sekali bahkan bersifat sinergis (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat
pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut
: ·
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik ( oleh noradrenalin ). Contohnya, efedrin, isoprenalin,
dan lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai
berikut
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan
phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (Pearce, 2002).
Pada susunan saraf otonom, impuls disalurkan ke organ tujuan (efektor,
organ ujung) secara tak langsung. Saraf otonom di beberapa tempat terkumpul di
sel-sel ganglion, dimana terdapat sinaps, yaitu sela di antara dua neuron (sel
saraf). Saraf yang meneruskan impuls dari SSP ke ganglia dinamakan neuron
preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia dan organ ujung disebut neuron
post-ganglioner. Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada
yang lain secara kimiawi dengan jalan neurotransmitter (juga disebut
neurohormon). Bila dalam suatu neuron impuls tiba di sinaps, maka pada saat itu
juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon di ujungnya, yang
melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Pada sinaps yang berikut
dibebaskan pula neurohormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Saraf kolinergik. Semua neuron preganglioner, baik dari SO maupun dari
SP, menghasilkan neurohormon asetilkolin, begitu pula neuron post-ganglioner
dari SP. Saraf-saraf ini disebut saraf kolihnergik. Asetilkolin (ACh) merupakan
transmitter pula untuk saraf motoris pada penerusan impuls keotot-otot lurik (Tjay
dan Rahardja, 2002).
Kolenergika atau parasimpatomimetik aadalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama den gan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP),
karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya.
Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi.Bila neuron SPdirangsang,
timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur.
Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga
sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan,
antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar,
kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekananintraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain (Tjay dan Rahardja, 2002).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan
Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap
perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:
1. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun
tertentu.Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin.Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu,
maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2,
M3, M4, M5.Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan
organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin.
Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam
neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan
reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam
kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka
dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar
tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Guyton, 2006).
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin,
tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu
reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis,
ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja
nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi.
Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat
pada sambungan neuromuskulular.Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara
selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan
neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (Mycek, 2001).
Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang
terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan
untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang
dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun
bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di
sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat
cairan humor keluar dengan lancar.Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari
dan dapat diulang kembali.Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan
ekotiofat, bekerja lebih lama lagi.Disamping kemampuannya dalam
mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping.Dimana
pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini
merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).
Saraf adrenergik. Sebaliknya, neuron post-ganglioner dari SO meneruskan
impuls dari SSP dengan melepaskan neurohormon adrealin da atau non-adrenalin
(NA) pada ujungnya. Neuron ini dinamakan saraf adrenergik. Adrenalin juga
dihasilkan oleh bagian dalam (medulla) dari anak ginjal (Tjay dan Rahardja,
2002).
Guna menghindari kumulasi neurohormon dan terangsangnya saraf secara
kontinu, maka terdapat suatu mekanisme inaktivasi. Setelah meneruskan implus,
transmitter diuraikan oleh enzim yang terdapat dalam darah dan jaringan.
Asetilkolin diuraikan oleh sepasang enzim koinesterase. Non-adrenalin dalam
darah mengalami metilasi oleh metiltransferase (COMT) dan deaminasi oleh
monoamin-oksidase (MAO) dalam hati serta di jung neuron (setelah diresorpsi
kembali). Enzim MAO ini juga bertanggung jawab atas penguraian neurohormon
lain dari kelompok kimiawi catecholamin yang aktif dalam SSP, misalnya
serotonin dan dopamin (Tjay dan Rahardja, 2002).
Penggolongan obat SSO dapat juga sebagai berikut:
1. Agonis kolinergik
Agonis kolinergik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Asetilkolin,
betanekol, karbakol, dan pilokarpin.
b. Bekerja tak langsung (reversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: edrofonium,
neostigmin, fisostigmin, dan piridostigmin.
c. Bekerja tak langsung (ireversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: ekotiofat dan
isoflurofat.
2. Antagonis kolinergik
Antagonis kolinergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Obat antimuskarinik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atropin, ipratropium,
dan skopolamin.
b. Penyekat ganglionik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: mekamilamin,
nikotin, dan trimetafan.
c. Penyekat neuromuskular
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atrakurium,
doksakurium, metokurin, mivakurium, pankuronium, piperkuronium,
rokuronium, suksinilkolin, tubokurarin, dan vekuronium.
3. Agonis adrenergik
Agonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: albuterol, klonidin,
dobutamin, dopami, epinefrin, isopreterenol, metapreterenol, metoksamin,
norepinefrin, fenilefrin, ritodrin, dan terbutalin.
b. Bekerja tak langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: amfetamin dan tiramin.
c. Bekarja ganda
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: efedrin dan
metaraminol.
4. Antagonis adrenergik
Antagonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Penyekat-α
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: doxazosin,
fenoksinbenzamin, fentolamin, prazosin, dan terazosin.
b. Penyekat-β
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: asebutolol, atenolol,
labetalol, metoprolol, nadolol, pindolol, propranolol, dan timolol (Mycek,
Mary.J, dkk. 2001).
BAB 3
METODE KERJA

2.1 Alat dan Bahan yang digunakan


Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu Kanula, labu takar,
spoit ( 1 ml, 3 ml dan 5 ml ), kain halus dan kain kasar.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu Cendrotropin,
cendocarpin, epinefrin, Na-CMC dan propanolol.
2.2 Hewan Coba
Adapun hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus muscullus).
2.3 Prosedur Kerja
1. Pemberian Cendrotropin ( i.p )
Untuk kelompok 1, disiapkan hewan coba2 ekor mencit (Mus
muscullus), ditimbang berat masing-masing mencit tersebut dan diberi
tanda yang berbeda-beda untuk masing-masing mencit agar dapat
dibedakan dan dihitung volume pemberiannya (Vp) dengan cara
membagikan berat dari mencit yang telah ditimbang dibagi dengan berat
maksimal dari mencit dikalikan volume pemberian maksimal mencit.
Kemudian, diamati hewan coba tersebut sebelum diberi perlakuan. Lalu
setelah diamati dan dicatat, diberikan perlakuan dengan
menyuntikkanCendrotopin (i.p) sesuai dengan Vp masing-masing mencit
dengan cara menyuntik di bagian bawah perutnya. Setelah itu, diamati
hewan coba tersebut dan dicatat hasil pengamatannya pada tabel
pengamatan.
2. Pemberian Cendocarpin ( i.p )
Untuk kelompok 2, disiapkan hewan coba 2 ekor mencit (Mus
muscullus), ditimbang berat masing-masing mencit tersebut, pada mencit
pertama (M1) berat 24 gram dan mencit kedua (M2) 21 gram dan diberi
tanda yang berbeda-beda untuk masing-masing mencit agar dapat
dibedakan dan dihitung volume pemberiannya (Vp) dengan cara
membagikan berat dari mencit yang telah ditimbang dibagi dengan berat
maksimal dari mencit dikalikan volume pemberian maksimal mencit,
sehingga diperoleh untuk M1 Vpnya yaitu 0,8 ml dan M2 Vpnya yaitu 0,7
ml. Kemudian, diamati hewan coba tersebut sebelum diberi perlakuan.
Lalu setelah diamati dan dicatat, diberikan perlakuan dengan
menyuntikkan Cendocarpin (i.p) sesuai dengan Vp masing-masing mencit
dengan cara menyuntik di bagian bawah perutnya. Setelah itu, diamati
hewan coba tersebut dan dicatat hasil pengamatannya pada tabel
pengamatan.
3. Pemberian Epinefrin ( i.p )
Untuk kelompok 3, disiapkan hewan coba 2 ekor mencit (Mus
muscullus), ditimbang berat masing-masing mencit tersebut dan diberi
tanda yang berbeda-beda untuk masing-masing mencit agar dapat
dibedakan dan dihitung volume pemberiannya (Vp) dengan cara
membagikan berat dari mencit yang telah ditimbang dibagi dengan berat
maksimal dari mencit dikalikan volume pemberian maksimal mencit.
Kemudian, diamati hewan coba tersebut sebelum diberi perlakuan. Lalu
setelah diamati dan dicatat, diberikan perlakuan dengan menyuntikkan
Epinefrin (i.p) sesuai dengan Vp masing-masing mencit dengan cara
menyuntik di bagian bawah perutnya. Setelah itu, diamati hewan coba
tersebut dan dicatat hasil pengamatannya pada tabel pengamatan.
4. Pemberian Epinefrin ( i.p ) + NaCMC (Oral)
Untuk kelompok 4, disiapkan hewan coba 2 ekor mencit (Mus
muscullus), ditimbang berat masing-masing mencit tersebut dan diberi
tanda yang berbeda-beda untuk masing-masing mencit agar dapat
dibedakan dan dihitung volume pemberiannya (Vp) dengan cara
membagikan berat dari mencit yang telah ditimbang dibagi dengan berat
maksimal dari mencit dikalikan volume pemberian maksimal mencit.
Kemudian, diamati hewan coba tersebut sebelum diberi perlakuan. Lalu
setelah diamati dan dicatat, diberikan perlakuan dengan menyuntikkan
Epinefrin ( i.p ) dan NaCMC secara oral sesuai dengan Vp masing-
masing mencit. Setelah itu, diamati hewan coba tersebut dan dicatat hasil
pengamatannya pada tabel pengamatan.
5. Pemberian Propanolol (oral)
Untuk kelompok 4, disiapkan hewan coba 2 ekor mencit (Mus
muscullus), ditimbang berat masing-masing mencit tersebut dan diberi
tanda yang berbeda-beda untuk masing-masing mencit agar dapat
dibedakan dan dihitung volume pemberiannya (Vp) dengan cara
membagikan berat dari mencit yang telah ditimbang dibagi dengan berat
maksimal dari mencit dikalikan volume pemberian maksimal mencit.
Kemudian, diamati hewan coba tersebut sebelum diberi perlakuan. Lalu
setelah diamati dan dicatat, diberikan perlakuan dengan
menyuntikkanPropanolol (oral)sesuai dengan Vp masing-masing mencit
dengan cara menyuntik di bagian bawah perutnya. Setelah itu, diamati
hewan coba tersebut dan dicatat hasil pengamatannya pada tabel
pengamatan.
BAB 3
DATA PENGAMATAN

HASIL PENELITIAN

Perlakuan BB Pengamatan Pada Menit


Obat : Epinefrin (i.p) M 15" 30" 60" 90"
Miosis - - -
Midriasis - + +
Diare - - -
Tremor - - -
Vasodilatasi - - -
Vasokontriksi - + +
Grooming - - -
Piloereksi - - +
Takikardia - + +
Bardikardia - - -
Saliva - - -

Sistem saraf tak sadar atau saraf otonom merupakan bagian dari susunan
saraf tepi yang bekerjanya tidak dapat disadari dan bekerja secara otomatis.
Sistem saraf otonom mengendalikan kegiatan organ-organ dalam seperti otot
perut, pembuluh darah, jantung dan alat-alat reproduksi. Menurut fungsinya
sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu saraf simpatik dan parasimpatik.
Kedua sistem ini bekerja secara berlawanan dalam mengendalikan kinerja suatu
organ tubuh. Berikut akan diberikan perbedaan antara saraf simpatik dan
parasimpatik.Saraf simpatik ciri-cirinya melebarkan pupil mata, menghambat
sekresi keenjar ludah, mempercepat denyut jantung, merelaksasi bronki paru-paru,
menghambat aktivitas lambung dan usus, menghambat aktivitas pankreas,
merangsang pelepasan glukosa dan menghambat kantung empedu, menghambat
pengosongan kantung kemih, meningkatkan ejakulasi dan kontraksi vagina. Saraf
parasimpatik yaitu, penyempitkan pupil mata, merangsang kelenjar ludah,
memperlambat denyut jantung, menyempitkan bronki paru-paru, merangsang
aktifitas lambung dan usus, merangsang aktifitas pankreas, merangsang kantung
empedu, meningkatkan pengosongan kantung kemih, meningkatkan ereksi
genitalia.
Pada percobaan ini, langkah awal yang dilakukan yaitu dengan
menyiapkan segala keperluan alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian
menghitung volume pemberian dari mencit dengan membagi berat mencit yaitu
20 gram dengan berat maksimal mencit yaitu 30 gram dan dikalikan Vp maksimal
mencit yaitu 1 ml dan didapatkan volume pemberiannya yaitu 0,6 ml
Diberikan Epinefrin (i.p) cara menyuntikkan di bagian bawah perut hewan
coba yaitu 1 ekor mencit (Mus muscullus) dan diamati pada menit ke 15, 30, 60
dan 90 memberikan efek farmakodinamika pada hewan coba tersebut. Pada
mencit pertama (M1) yang mempunyai berat badan 20 gram dengan Vp 0.9 ml
sebelum diberikan perlakuan mengalami diare. Setelah diberikan perlakuan
dengan pemberian epinefrin (i.p) dengan volume pemberian yaitu 0.6 ml pada
menit ke 15, 30, 60 dan 90 mengalami midriasis, vasokontriksi dan takikardia.
BAB 4
PEMBAHASAN

Sistem saraf tak sadar atau saraf otonom merupakan bagian dari susunan
saraf tepi yang bekerjanya tidak dapat disadari dan bekerja secara otomatis.
Sistem saraf otonom mengendalikan kegiatan organ-organ dalam seperti otot
perut, pembuluh darah, jantung dan alat-alat reproduksi. Menurut fungsinya
sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu saraf simpatik dan parasimpatik.
Kedua sistem ini bekerja secara berlawanan dalam mengendalikan kinerja suatu
organ tubuh. Berikut akan diberikan perbedaan antara saraf simpatik dan
parasimpatik.Saraf simpatik ciri-cirinya melebarkan pupil mata, menghambat
sekresi keenjar ludah, mempercepat denyut jantung, merelaksasi bronki paru-paru,
menghambat aktivitas lambung dan usus, menghambat aktivitas pankreas,
merangsang pelepasan glukosa dan menghambat kantung empedu, menghambat
pengosongan kantung kemih, meningkatkan ejakulasi dan kontraksi vagina. Saraf
parasimpatik yaitu, penyempitkan pupil mata, merangsang kelenjar ludah,
memperlambat denyut jantung, menyempitkan bronki paru-paru, merangsang
aktifitas lambung dan usus, merangsang aktifitas pankreas, merangsang kantung
empedu, meningkatkan pengosongan kantung kemih, meningkatkan ereksi
genitalia.
Pemberian obat epinefrin (i:p) dengan cara menyuntikkan di bawah perut
hewan coba yaitu 2 ekor mencit (Mus muscullus) dan diamati pada menit ke 15,
30, 60 dan 90 memberikan efek farmakodinamika pada hewan coba tersebut. Pada
mencit yang mempunyai berat badan 20 gram dengan Vp 0,6 ml sebelum
diberikan perlakuan sudah mengalami vasokontriksi yang ditandai dengan warna
telinga yang pucat, mata midriasis, piloereksi dan takikardia.
Pada percobaan ini menggunakan obat epinerfin, dimana obat ini termasuk
dalam golongan obat simpatis yang bekerja sebagai agonis adrenergik.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari praktikum diatas dengan pemberian obat epinefrin (i.p) yang
bekerja secara agonis adrenergik dari hasil pengamatan efek
farmakodinamikanya sesuai dengan literatur yang ada dari gejala-gejala yang
diberikan mencit (Mus muscullus) tersebut.
5.1 Saran
Dalam melakukan praktikum ini agar lebih teliti dalam mengamati
efek-efek farmakodinamika pada hewan coba tersebut agar tidak terjadi
kesalahan pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology11th edition. Elsevier Inc.


Philadelphia.
Mycek, Mary. J. dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta:
Widya medika.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai