Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kulit merupakan salah satu penyakit terbanyak dalam masyarakat.
Penyakit kulit dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, mulai dari kelainan
genetik, imunitas tubuh, iklim, dan pekerjaan. Penyakit kulit dapat tersebar di
semua bagian kulit tubuh dengan beragam bentuk kelainan.
Penyakit kulit terdapat pada hampir 900 juta orang diseluruh dunia pada waktu
tertentu. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT penyakit kulit
termasuk dalam 10 besar penyakit terbanyak. Pada tahun 2015, penyakit kulit
menempati urutan ke-8 dan ke-9 dengan diagnosis Penyakit Kulit Alergik dan
Penyakit Kulit Infektif dengan jumlah 58.497 kasus atau 7,24% dari total penyakit
dan angka tersebut meningkat menjadi 88.727 kasus atau 8,71% dari total penyakit
pada tahun 2017 dengan Penyakit Kulit Alergik menempati posisi ke-5 dan
Penyakit Kulit Infektif menempati posisi ke-9. Penyakit kulit termasuk dalam 15
penyakit terbesar di Puskesmas Delha dengan 3.404 kasus atau 11,52% pada tahun
2016 dan 4192 kasus atau 13,54% pada tahun 2017.
Terdapat faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menyebabkan penyakit kulit.
Faktor intrinsik seperti genetik, ras, usia, jenis kelamin, integritas lapisan epidermis
dan faktor ekstrinsik seperti pekerjaan, lingkungan geografis, dan budaya. Faktor
pekerjaan menyumbang penyakit kulit terbanyak. Berdasarkan penelitian Cashman
MW dkk (2012), Penyakit kulit akibat kerja terbanyak adalah dermatitis kontak
dengan 90 – 95% kasus, lalu 5 -10% terdiri dari tumor kulit, infeksi kulit, dan
trauma kulit. Dermatitis kontak terdiri dari dermatitis kontak iritan dengan 80%
kasus dan dermatitis kontak alergik dengan 20% kasus. Dermatitis kontak adalah
reaksi inflamasi bersifat akut atau kronik yang disebabkan oleh substansi tertentu
yang kontak dengan kulit. Gambaran akut dapat berupa pruritus, eritema dan
vesikel sedangkan bentuk kronik berupa pruritus, xerosis, likenifikasi,
hyperkeratosis, dan fissure.
Pekerjaan yang sering terpapar air secara terus-menerus dapat menyebabkan
iritasi kulit. Faktor seperti osmolaritas, pH, konsentrasi mineral (hardness),
temperatur menyebabkan hidrasi stratum korneum yang dapat memfasilitasi
penetrasi substansi polar dan non-polar melalui jaringan lacunar. Berdasarkan data
yang penulis peroleh, di Puskesmas Delha belum terdapat laporan yang
menggambarkan jumlah kasus dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut di
kecamatan Rote Barat, dengan mempertimbangkan faktor risiko bahwa petani
rumput laut sering terpajan air yang dapat memicu penyakit dermatitis kontak iritan,
menjadi alasan penulis mengambil penelitian

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Pernyataan Masalah
Bagaimana insiden dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut di Kecamatan
Rote Barat?
1.2.2 Pertanyaan Masalah
Apa saja faktor risiko terjadinya dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut di
Kecamatan Rote Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya insiden dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut di Kecamatan
Rote Barat
1.3.2 Tujuan Khusus
Diketahui faktor risiko terjadinya dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut
di Kecamatan Rote Barat
1.4 Manfaat Penelitian

 Bagi Puskesmas Delha, diketahuinya insiden dermatitis kontak iritan pada


petani rumput lau dan faktor-faktor yang mempengaruhi nya sehingga dapat
membentuk program khusus dalam mengurangi kasus tersebut
 Bagi Dokter Internship, sebagai syarat menyelesaikan program internship
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit
2.1.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan, kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas
ukurannya yaitu 15% dari berat tubuh manusia, rata rata tebal kulit 1-2 mm, kulit
terbagi atas 3 lapisan pokok yaitu, epidermis, dermis dan subkutan atau subkutis.
Tikus putih (Rattus novergicus) memiliki struktur kulit dan homeostatis yang
serupa dengan manusia (Wibisono, 2008).

Gambar 3. Anatomi kulit (Dikutip dari:


surabayaplasticsurgery, 2008)

1) Epidermis

Terbagi atas beberapa lapisan yaitu :

a. Stratum basal
Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-
selnya terletak dibagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel di
atasnya dan merupakan sel-sel induk.

b. Stratum spinosum

Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2
mm terdiri dari 5-8 lapisan.

c. Stratum granulosum

Stratum ini terdiri dari sel–sel pipih seperti kumparan. Sel–sel tersebut
hanya terdapat 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit.

d. Stratum lusidum

Langsung dibawah lapisan korneum, terdapat sel-sel gepeng tanpa inti


dengan protoplasma.

e. Stratum korneum

Stratum korneum memiliki sel yang sudah mati, tidak mempunyai inti
sel dan mengandung zat keratin.

2) Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis


dilapisi oleh membran basalis dan disebelah bawah berbatasan dengan subkutis
tetapi batas ini tidak jelas hanya yang bisa dilihat sebagai tanda yaitu mulai
terdapat sel lemak pada bagian tersebut. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu
bagian atas, pars papilaris (stratum papilar) dan bagian bawah pars retikularis
(stratum retikularis).

3) Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulan sel lemak dan di antara gerombolan ini
berjalan serabut jaringan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan
inti yang terdesak kepinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak
disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada setiap tempat.
Fungsi penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau pegas bila
terdapat tekanan trauma mekanis pada kulit, isolator panas atau untuk
mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan
tubuh. Dibawah subkutis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.
Vaskularisasi kulit diatur oleh dua pleksus, yaitu pleksus yang terletak dibagian
atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus
profunda). Pleksus yang terdapat pada dermis bagian atas mengadakan
anastomosis di papil dermis, sedangkan pleksus yang di subkutis dan di pars
retikular juga mengadakan anastomosis, dibagian ini pembuluh darah berukuran
lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah
bening (Djuanda, 2003).

4) Adneksa Kulit

Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan


kuku.Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan
kelenjar palit.Terdapat 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang
berukuran kecil, terletak dangkal pada bagian dermis dengan sekret yang encer,
dan kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih
kental (Djuanda, 2003).

2.1.2 Histologi Kulit


Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas
yang memisahkan dermis dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya
jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora et al., 2009).
Histologis pada bagian epidermis dimulai dari stratum korneum, stratum
korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan
sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah
menjadi keratin (zat tanduk).
Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di
telapak tangan dan kaki (Djuanda, 2003). Stratum granulosum merupakan 2 atau
3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di
antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Pada bagian selanjutnya
adalah stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Diantara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel
yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin dan diantara sel-sel
spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel ini makin dekat kepermukaan
makin gepeng bentuknya dengan inti terletak ditengah-tengah. Protoplasma sel
berwarna jenrih pada stratum spinosum karena mengandung banyak glikogen
(Djuanda, 2003).
Stratum germinativum atau basal terdiri atas sel-sel berbentuk kubus
yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar
(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel
basal ini mengalami mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas
dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma
basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatan
antar sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel
berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung
butir pigmen (Djuanda, 2003).
Pada bagian dermis, baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri
dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut-serabut yaitu serabut
kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus. Serabut elastin biasanya
bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis
(Djuanda, 2003).
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel ini membentuk kelompok yang
dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel
lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan dan
dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan kelenjar getah
bening.
Pada bagian adneksa terdapat banyak kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan
kuku. Pada bagian kelenjar kulit terbagi lagi seperti kelenjar keringat contohnya
yang memiliki kelenjar enkrin, saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan
bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat diseluruh permukaan kulit dan
terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi bergantung pada
beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas, dan
emosional (Djuanda, 2003). Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik,
terdapat di aksila, areola mamae, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar.
Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada waktu lahir berukuran kecil,
tetapi pada pubertas mulai besar dan mengeluarkan sekret, seperti keringat
mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa, biasanya pH sekitar 4-6,8
(Djuanda, 2003).

2.2 Dermatitis Kontak Iritan


2.2.1. Definisi

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung


dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak
spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada
dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety
Executive, 2004).

2.2.2. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang


dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita
DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan
pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat
sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita
dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh (Djuanda, 2003).
Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan
kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air,
bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi
meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak,
dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan
ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja
yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi
mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian
menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian
memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan
(odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).
Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja,
dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per
10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan,
2009).

Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak


pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan
pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik
(Hogan, 2009).

2.2.3. Etiologi

Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan,


misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk
kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik
berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang
muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu
sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001;
Djuanda, 2003).
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada
setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada
waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing
individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan,
tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap
mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis. Fungsi
pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari
stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering
dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah). Efek
dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya
mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000).
Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap
bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi
selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi,
vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor
lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-
menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih
permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan
kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998).
Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak
iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat
menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8
tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit
putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada
wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang
rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik
(Beltrani et al., 2006).
Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis
ini. Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang
diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-
obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami
dermatitis kontak (Hogan, 2009).

2.2.4. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan


oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak
lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk
dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin)
merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus
membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti
(Streit, 2001).
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan
asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet,
dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan
leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah
transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai
kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel
mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga
memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003).
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte
macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan
sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit
juga mengakibatkan molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel
(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan
TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan
klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan
iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah.
Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada
hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema,
panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang
paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan
desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah
kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya
kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada
terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003).

2.2.5. Gejala Klinis

Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak


iritan akut dan dermatitis iritan kronik.

2.2.6. Dermatitis kontak iritan akut

Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga


keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan
kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya
dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan
lamanya serta frekuensi kontak (Fregret, 1998).
Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi
kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan
ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh
detergen. Uap dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada
wajah. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan
dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang
terutama terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan
dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Fregret, 1998).
Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari
akan menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa
kekeringan dan kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa
hari setelah pengobatan dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula
menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih sering dikeluhkan pasien adalah
rasa nyeri pada bagian yang mengalami fissura. Meskipun efek
kumulatif diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan, namun
hilnganya dapat terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Fregret,
1998).
2.2.7. Dermatitis kontak iritan kronis

DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang


berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama
berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup
kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor
lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-
minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga
waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda,
2003).
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun
kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak
terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut
fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa
eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2003).

2.2.8. Histopatologis

Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik.


Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi
dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian
atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan
akhirnya menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan
epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau
bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI kronis dijumpai
hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan perpanjangan
rete ridges (Hogan, 2009).

2.2.9. Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan


pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena
munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat
apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat
serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang
sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan
bahan yang dicurigai (Djuanda, 2003).

2.2.10. Pengobatan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari


pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi
serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan
dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan
topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang
kering (Djuanda, 2003).

Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan


kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat
diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya
pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007).

2.2.11. Komplikasi

Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:

a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal


b. lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya
oleh Stafilokokus aureus
c. neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa
terjadi terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di
tempat kerjanya atau dengan stres psikologik
d. hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi
pada area terkena DKI
e. jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau
ekskoriasi.
2.2.12. Prognosis

Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI


didiagnosis dan diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi
rentan terhadap DKI (Hogan, 2009). Bila bahan iritan tidak dapat
disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini
sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor (Djuanda,
2003).

2.2.1 Kerangka teori


Pajanan air laut Dermatitis Kontak Alat Pelindung Diri
Rumput laut Iritan Personal hygiene

Sumber: Modifikasi penulis


BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Survey.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Loedik dan Oefeo, Kecamatan Rote Barat

3.3 Populasi dan Sampel

Populasinya adalah Petani rumpur laut di Kecamatan Rote Barat. Sampel


akan diambil sesuai teknik Snowball Sampling.

3.3.2 Populasi

Tabel 3.1

Jumlah Mahasiswa FK Untar Angkatan 2010-2012

Angkatan Jumlah
2010 235
2011 241
2012 233
Jumlah total 709

3.3.3 Sampel11

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi:

 Petani rumput laut di Kecamatan Rote Barat


 Mau bekerja sama dalam penelitian
Kriteria eksklusi:

 Tidak mau bekerja sama dalam penelitian

3.6 Cara Kerja Penelitian

Mendatangi Petani rumput laut dan meminta kesediaan untuk disertakan


dalam penelitian.

3.7 Variabel Penelitian

Variabel penelitiannya adalah dermatitis kontak iritan dan petani rumput laut

3.8 Instrumen Penelitian

Kamera

3.9 Defenisi Operasional

3.9.1 Dermatitis kontak iritan

Defenisi : reaksi inflamasi bersifat akut atau kronik yang disebabkan oleh
substansi tertentu yang kontak dengan kulit. Gambaran akut dapat
berupa pruritus, eritema dan vesikel sedangkan bentuk kronik
berupa pruritus, xerosis, likenifikasi, hyperkeratosis, dan fissure

Skala ukur : data kategorik skala nominal

3.9.2 Petani rumput laut

Defenisi : orang yang dalam pekerjaanya membudidayakan dan memanen


rumput laut

Skala ukur : data kategorik skala nominal

3.10 Pengumpulan data

Responden yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan wawancara terkait


dengan masalah yang akan diteliti dan hasilnya akan dilihat berdasarkan skala ukur
yang ditetapkan.
3.11 Pengolahan Data

Data yang diperoleh berupa status penyakit, lama bekerja, penggunaan alat
pelindung diri, personal hygiene, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya. Peneliti
menentukan rata-rata dari data yang diperoleh yang digambarkan dalam bentuk
statistik.

3.12 Analisis Data

Setelah data terkumpul, diperlukan analisis data dengan langkah-langkah


sebagai berikut:

a. Menentukan Mean
Σ 𝑓1 .𝑥1
X=
Σ 𝑓1

3.13 Alur penelitian

Responden yang memenuhi


kriteria inklusi

Sampel

Wawancara

DKI Bukan DKI

Anda mungkin juga menyukai