Anda di halaman 1dari 45

HANGING

DISUSUN OLEH:

Muhammad Faiz Tanjung 140100151

Yandri Erwin Ginting 140100200

Felicia 140100171

PEMBIMBING:

dr. Agustinus Sitepu, M.Ked (For), Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU


KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sari kepustakaan ini
dengan judul “Hanging”. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi
persyaratan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Selama penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan


arahan dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing atas bimbingan dan ilmu yang sangat berguna bagi penulis . Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut membantu
dengan memberikan dukungan ide.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
makalah penyuluhan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata

penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3

2.1. Asfiksia ....................................................................................... 3


2.2. Penggantungan ........................................................................... 12
2.2.1. Definisi ........................................................................... 12
2.2.2. Alat yang Biasa Digunakan ............................................ 17
2.2.3. Penanganan Korban Yang Digantung Selagi Hidup ...... 18
2.2.4. Mekanisme Kematian ..................................................... 18
2.2.5. Periode Fatal ................................................................... 22
2.2.6. Tanda Postmortem .......................................................... 22
2.2.7. Pemeriksaan Jenazah ...................................................... 24

BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Mati tergantung sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan


bunuh diri dengan cara ini sering dilakukan, karena dapat dilakukan dimana dan
kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi atau bahan apa saja yang dapat melilit
leher. Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman mati dengan cara

penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman dahulu.1


Pada kasus gantung diri (hanging) alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan
berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.Keadaan tersebut
berbeda dengan penjeratan, dimana yang aktif (kekuatan yang menyebabkan
konstriksi leher), adalah terletak pada alat penjeratnya.Kematian karena
penggantungan pada umumnya bunuh diri, pembunuhan dengan cara mengantung
atau menggantung mayat untuk membuat keadaan seakan- akan korban gantung
diri jarang dijumpai. Kematian dengan penggantungan dapat dijumpai pada kasus

hukuman gantung.2

Prevalensi kejadian bunuh diri di Indonesia cenderung meningkat.


Berdasarkan data World Federation of Mental Health (WFMH), setiap 40 detik
seseorang di suatu tempat di dunia meninggal akibat bunuh diri. Data kepolisian
menunjukkan ada sebanyak 981 kasus kematian karena bunuh diri pada tahun
2012, dan 921 kasus pada tahun 2013, sedangkan pada bulan Februari 2014,
dilaporkan 457 kasus kematian akibat bunuh diri ini.1,3
Menurut Menkes, mayoritas rentang usia pelaku bunuh diri mencakup
kelompok umur remaja dan dewasa muda. Kelompok umur unu dalam
perkembangannya rentan dalam menghadapi masalah pribadi, lingkungan yang
berhubungan dengan identitas diri, kemandirian, situasi dan kondisi di rumah,
lingkungan sosial, serta hak dan kewajiban yang dibebankan oleh orang tua
mereka. Hal ini didukung oleh data WHO, bahwa bunuh diri adalah penyebab

1
2

kematian nomor dua tertinggi pada kelompok umur 15-29 tahun pada tahun
2012.2,3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia
Asfiksia atau secara harfiah berarti tanpa pulsasi, penggunaan zaman sekarang
membatasi penggunaan kata ini, sehingga kata ini hanya ditujukan pada tubuh
mayat yang telah terpapar pada situasi penurunan oksigen yang signifikan,
sehingga mengakibatkan gangguan oksigenasi jaringan (gangguan pengangkutan
oksigen ke jaringan). Hal ini dapat menyebabkan jaringan kekurangan oksigen

(hipoksia), atau tidak mendapat oksigen (anoksia). Sayangnya, tidak ada


pemeriksaan laboratorium postmortem yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
asfiksia dikarenakan semua tubuh mayat mengalami deoksigenasi setelah
meninggal. Jika asfiksia dicurigai, terdapat empat keadaan yang dapat
mengakibatkan transfer oksigen ke jaringan berkurang, contohnya penurunan
kadar oksigen di lingkungan, penurunan transfer udara ke darah, penurunan
tranpor dari paru-paru ke jaringan, dan penurunan transfer melalui membran sel.1
Tanda klasik asfiksia telah dianut sejak lama, diantarnya adalah adanya bintik
pendarahan kecil (petekie) di daerah wajah, sembab karena darah (kongesti),
perdarahan wajah, overload c airan pada jaringan (edema), darah encer, perubahan
warna pada kulit (sianosis), dan pembengkakan jantung kanan oleh darah .
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tanda-tanda ini sudah tidak sensitif
ataupun spesifik untuk asfiksia. Oleh karena itu, karena tidak ada fitur diagnostik
laboratorium untuk asfiksia akut, autopsi menjadi satu-satunya pemeriksaan yang
dilakukan. Sebagai tambahan untuk pemeriksaan di kulit, petekie dapat dijumpai
di mukosa membran lainnya seperti pada konjungtiva bulbi dan konjungtiva
tarsalis, kavitas oral dan organ interna lainnya. Petekie disebabkan oleh rupturnya
pembuluh darah kecil di kulit dah/atau mukosa membran dan dapat terjadi pada
beberapa keadaan, seperti overdosis obat. Oleh karena itu, dijumpainya petekie di

3
4

konjungtiva dan wajah merupakan penemuan yang penting untuk asfiksia, namun,
bukan sebagai diagnostik.4
Penelitian tentang patofisiologi asfiksia sedang dijalankan, termasuk usaha
untuk menganalisis urutan kejadian kematian yang ditunjukkan orang yang
gantung diri. Secara tradisional, tanda-tanda klasik asfiksia digambarkan sebagai
berikut :5
• Perdarahan ptekie pada kulit wajah dan pinggiran kelopak mata
• Edema dan bengkak wajah
• Sianosis (kebiruan) pada wajah
• Pembendungan jantung kanan dan darah yang abnormal

Gambar 1. Petekie pada palpebra konjungtiva superior dikarenakan ruptur


pembuluh darah yang kongesti.
5

Gambar 2. Petekie pada konjungtiva bulbi dikarenakan ruptur pembuluh darah


yang kongesti.
Secara umum, kejadian asfiksia dibagi menjadi beberapa fase, yaitu fase
dispnoe, fase konvulsi, fase respirasi preterminal, kemudian fase gasping yang
diikuti dengan fase terminal.4

• Fase dispnoe – dispsnoe ekspiratori dengan peningkatan laju


respirasi, sianosis dan takikardia (berlangsung selama satu menit)
• Fase konvulsi – hilangnya kesadaran, penurunan gerakan respirasi,
bengkak wajah, bradikardia, hipertensi (berlangsung dalam
beberapa menit)
• Fase respiratori preterminal – tidak ada kegiatan respirasi, gagal
napas dan gagal sirkulasi, takikardia, hipertensi
• Fase gasping – hanya refleks respirasi
• Fase terminal – hilangnya pergerakan, dilatasi pupil
6

Berikut ini adalah contoh kondisi asfiksia:7


Penyebab Kematian Nama
Kekurangan oksigen pada udara Kekurangan napas (suffocation)
yang dihirup
Halangan pada lubang eksternal Kekurangan napas/pembekapan
(smothering)
Halangan pada saluran udara Tersedak (gagging/choking)
internal oleh obstruksi
Halangan pada saluran udara Pencekikan (strangulation)/
internal oleh tekanan eksternal Penggantungan (hanging)
Keterbatasan pergerakan dada Asfiksia trauma
Kegagalan tranportasi oksigen (Contoh: keracunan karbon monoksida)
Kegagalan pemanfaatan oksigen (Contoh: keracunan sianida)

Kematian akibat asfiksia dapat diklasifikasikan menjadi :6


1. Asfiksia Mekanikal (atlas cover biru dan simpson)
Terdiri dari :
a. Strangulasi
Asfiksia ini terjadi ketika tekanan mekanik dilakukan pada leher
korban, namun, tidak melibatkan berat badan korban sebagai sebab
kematian. Strangulasi terbagi menjadi dua, yaitu strangulasi dengan
pengikat (ligature strangulation) dan strangulasi dengan tangan (manual
strangulation). Rata-rata kasus strangulasi adalah kasus pembunuhan.
• Ligature strangulation
Pada ligature strangulation, tekanan leher diakibatkan oleh
ikatan yang dilakukan oleh kekuatan selain berat badan. Sebagian

besar kasus dari ligature strangulation adalah pembunuhan.

• Manual strangulation
7

Manual strangulation diakibatkan oleh tekanan lengan, atau


tungkai terhadap leher, menekan struktur dari leher. Kebanyakan kejadian

ini merupakan kasus pembunuhan.


Pada ketiga bentuk strangulasi, penyebab kematian adalah asfiksia
karena sumbatan jalan napas dan hipoksia otak akibat kompresi pembuluh
darah yang mengalir ke otak.

Gambar 3. Kasus Ligature Strangulation.


8

b. Hanging
Asfiksia terjadi sekunder akibat adanya tekanan/ kompresi struktur
leher oleh tali atau benda pengikat lainnya yang dikencangkan oleh berat
badan. Kejadiannya lebih banyak akibat bunuh diri.

Gambar 4. Kasus Hanging

c. Tersedak (choking/ internal airway obstruction)

Asfiksia disebabkan oleh sumbatan sepanjang saluran napas.

Kematian dapat terjadi secara alami, pembunuhan, atau kecelakaan.


Kematian alamiah dapat terjadi pada seseorang dengan infreksi daerah
epiglotis yang hebat dengan akibat terjadi obstruksi jalan napas akibat
epiglotis yang meradang tadi dan pembengkakan jaringan sekitarnya.
9

Kejadian ini juga sering diakibatkan oleh kecelakaan. Pada anak-

anak, sering terjadi aspirasi dari benda, mainan, koin uang logam.

Sementara pada orang dewasa, biasanya karena gigi palsu atau makanan.

Gambar 5. Obstruksi saluran napas oleh makanan merupakan salah satu penyebab

tersedak (choking) paling sering.

d. Smothering (Pembekapan/ external airway obstruction)

Asfiksia oleh bekapan atau sumbatan dari hidung dan mulut.


Kejadian seperti ini biasanya oleh karena pembunuhan atau bunuh diri,
jarang karena kecelakaan.
10

e. Asfiksia kompresi
Pada asfiksia jenis ini, tekanan diberikan pada dada atau abdomen
korban, sehingga menghambat pasien untuk bernapas secara efektif.

• Asfiksia traumatis
Terjadi saat sesuatu yang berat menahan pergerakan dada
atau perut atas, menyebabkan tidak bisa bernapas.

• Asfiksia posisional
Biasanya kecelakaan akibat intoksikasi obat atau alkohol,
menyebabkan seseorang berada pada posisi yang menghambat
jalan napas dan sulit untuk melepaskan diri. (misalnya, leher

tertekuk).

Gambar 6. Kasus asfiksia traumatika di mana seorang pekerja terjepit di antara l-


eam dan elevator yang turu
11

Gambar 7. Kasus asfiksia posisional.

• Asfiksia tertindih orang lain (riot crush / “human pile” death)


Sesuai dengan namanya, asfiksia ini terjadi sering dalam
suatu keramaian atau kerusuhan yang melibatkan orang banyak
yang menimpa korban sehingga sulit untuk bernapas.

2. Asfiksia Nonmekanik
Biasanya disebabkan oleh keracunan bahan kimia, seperti keracunan
karbon monoksida, keracunan sianida, dan keracunan hidrogen sulfida.

3. Asfiksia lainnya (contohnya tenggelam)


12

2.2 Penggantungan
2.2.1. Definisi
Penggantungan adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh
alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian oleh
pengaruh gaya tarik berat badan sendiri. Kekuatan kontriksi pada leher akan

menekan saluran napas dan akan menyebabkan terjadinya asfiksia.Gaya berat


minimal alat yang dapat menyebabkan pembendungan leher:7
a. Vena jugularis : 2 kg.

b. Arteri karotis : 2,5-10 kg.

c. Trakhea : 15 kg.

d. Arteri Vertebral : 16-30 kg.


Berdasarkan kekuatan konstriksi, gantung diri dapat dibagi 2 yaitu:6,8
1. Tergantung total (complete hanging), jika kedua kaki tidak menyentuh tanah

dan sepenuhnya dipengaruhi oleh berat badan korban.

2. Setengah tergantung (partial hanging), jika kedua kaki menyentuh tanah dan
tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh berat badan korban, misalnya pada korban
yang tergantung dengan posisi berlutut partial gantung diri hampir selamanya
karena bunuh diri.Istilah ini digunakan jika berat badan tubuh tidak
sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang
tergantung dengan posisi berlutut. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak

seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial. Karena


sedikit tekanan yang diperlukan untuk menekan arteri karotis, seseorang dapat
menggantung diri, berlutut, atau berbaring. Berat kepala (5-6 kg) terhadap jerat

cukup untuk menyumbat arteri karotis dan menyebabkan kematian.


13

Gambar 8. Penggantungan tubuh total


14

Gambar 9. Penggantungan tubuh sebagian (forensic pathology 2 ed)

Hampir semua kasus penggantungan adalah bunuh diri. Penggantungan yang


tidak disengaja atau karena kecelakaan jarang terjadi dan penggantungan yang
direncanakan (pembunuhan) sangat jarang terjadi. Kematian pada penggantungan
disebabkan oleh kompresi pembuluh darah leher sehingga jumlah oksigenasi
darah yang mencapai otak tidak mencukupi. Obstruksi jalan napas juga dapat
terjadi, baik melalui kompresi trakea atau, ketika jerat di atas laring, peningkatan
dan perpindahan posterior lidah dan lantai mulut. Penyumbatan atau kompresi

saluran udara tidak perlu menyebabkan kematian saat digantung. Sejumlah orang
telah menggantung diri dengan jerat di atas laring dan melakukan trakeostomi
permanen di bawahnya. Fraktur leher memainkan peran apa pun dalam

penggantungan bukan hukuman. Hal ini jarang dan biasanya hanya terlihat pada
individu dengan penyakit degeneratif lanjut pada tulang belakang leher, seperti
osteoartritis, dalam kombinasi dengan penggantungan lengkap tubuh, penjatuhan
yang tiba-tiba, dank arena obesitas.(forensic pathology 2 ed)
15

Pada kebanyakan kasus korban yang meninggal. Gejalanya yang penting


sehubungan dengan penggantungan adalah:
1. Kehilangan tenaga dan perasaan subyektif.

2. Perasaan melihat kilatan cahaya.

3. Kehilangan kesadaran bisa disertai dengan kejang- kejang.

4. Keadaan tersebut disertai dengan terhentinya fungsi jantung dan

pernafasan.
Berdasarkan titik gantung, gantung diri dapat dibagi 2 yaitu:9
1. Tipikal (typical hanging) titik gantung berada tepat di atas pertengahan tulang

oksipital. Dalam hal ini terjadi penekanan arteri dan saluran nafas secara

maksimum di daerah leher.

2. Atipikal, titik gantung berada di semua tempat selain dari pada pertengahan

tulang oksipital.
Titik penggantungan paling umum adalah sisi leher, diikuti oleh bagian
belakang dan depan. Pada saat penggantungan, jerat biasanya bergeser dari

laringhingga ke bawah dagu.10


16

Gambar 10. Typical Hanging

Gambar 11. Atypical Hangingforensic pathology crc


17

Gambar 12. Penjerat yang bergeser pada saat penggantungan akan


menimbulkan 2 alur

Ada 2 jenis simpul yang dapat ditemukan pada kasus gantung diri, yaitu:4
1. Simpul hidup (running noose).

2. Simpul mati (satu atau lebih).


Pemeriksaan jenis dan panjang bahan yang dipakai, serta jenis simpul dapat
membantu menentukan cara kematian. Pada waktu membebas lilitan dari leher
korban, tidak boleh membuka simpul, tetapi lilitan dipotong diluar simpul, karena
bentuk simpul bisa membantu penentuan kematian secara medikolegal.

2.2.2. Alat yang biasa digunakan


Banyak variasi dari jenis penjeratan tergantung pada jenis tali yang digunakan
seperti: wayar, tali gitar, tali celana piyama, tali pinggang, kalung, selendang,
dasi, stoking, dan sejumlah alat- alat lain bisa digunakan tergantung
kemampuannya. Pada orang tahanan berbagai jenis alat- alat yang bisa digunakan
untuk membunuh diri sendiri seperti: tali sepatu, sprai, baju, atau celana sering
digunakan di sel tahanan. Kadang-kadang, untuk mencegah perubahan pikiran,

korban mengikat kedua tangannya. Ada sejumlah kasus di mana para korban
18

benar-benar mengikat atau memborgol tangan mereka. Penjerat harus diperiksa

kekuatannya apakah bisa menopang berat tubuh atau tidak. Penjerat seharusnya
diperiksa secara mikroskopis untuk memeriksa jaringan yang ada di dalamnya
dari leher orang yang telah gantung diri.8,9,10

2.2.3. Penanganan korban yang digantung selagi hidup


1. Korban diturunkan.

2. Ikatan pada leher dipotong dan jeratan dilonggarkan

3. Berikan bantuan pernafasan untuk waktu yang cukup lama.

4. Lidah ditarik keluar, lubang hidung dibersihkan jika banyak mengandung

sekresi cairan.

5. Berikan oksigen, lebih baik lagi kalau disertai CO2 5%.

6. Jika korban mengalami kegagalan jantung kongestif, pertolongan melalui vena


seksi mungkin akan membantu untuk mengatasi kegagalanjantung tersebut

7. Berikan obat- obat yang perlu (misalnya coramine) Gejala sisa: Hemilplegia,

amnesia, demensia,bronkitis.

2.2.4. Mekanisme kematian


Walaupun sebab kematian mati gantung adalah karena asfiksia, tetapi sering
disertai sebab yang lain yaitu tekanan pada pembuluh darah (arteri carotis maupun
vena dileher dan refleks inhibisi vagal. Yang paling sering adalah campuran

asfiksia dengan sumbatan pada pembuluh darah.Dengan demikian sebab kematian


bisa terjadi karena:6,9
1. Asfiksia karena tersumbatnya saluran pernafasan sehingga menghalangi saluran

udara yang masuk ke paru-paru. Mekanisme terjadinya asfiksia:


19

a. Bila pengikatan tali di atas kartilago tiroid maka basis lidah akan ditolak
ke atas dan ke belekang terhadap posterior faring, hingga saluran nafas
tertutup dan akhirnya terjadi asfiksia.

b. Bila pengikatan di bawah kartilago tiroid maka secara langsung akan

menekan laring dan menimbulkan tanda- tanda asfiksia lebih jelas.

c. Konstriksi umum dari jaringan akan menimbulkan penutupan total atau


sebagian dari arteri karotiskomunis dileher dan ini akan menimbulkan
penurunan jumlah darah dan oksigen pada otak dan tekanan pada
nervus laringeus hingga akan menimbulkan syok.

2. Kongesti vena (pembendungan vena)


Akibat lilitan tali pengikat pada leher terjadi penekanan vena jugularis secara
complete sehingga timbul pembendungan darah vena di otak sampai
menimbulkan kondisi anoksia dan perdarahan di otak.

3. Iskemik serebral

Hal ini terjadi karena sumbatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
Tertekannya arteri karotis di leher akan menyebabkan terhentinya aliran darah
ke otak.

4. Syok vagal
Hal ini terjadi karena tekanan pada sinus carotis menyebabkan jantung berhenti
berdenyut. Akibat penekanan pada nervus vagus dan sinus karotis sehingga

menyebabkan vaso vagal inhibisi sehingga terjadi cardiac arrest. Telah diakui
selama beberapa waktu bahwa stimulasi mekanis dari sinus karotis
baroreseptor di leher dapat menyebabkan hasil yang tidak terduga, dan
terkadang berakibat fatal. Kematian telah dijelaskan, misalnya, setelah tekanan
yang tampaknya minimal diterapkan ke leher, dan peristiwa seperti itu telah
dikaitkan dengan vaso vagal inhibisa atau refleks henti jantung (Gambar 15.4).
Tekanan sinus karotid sebagai terapeutik dilakukan pada individu dengan
20

aritmia yang harus dipantau secara ketat, dan dianggap umumnya aman.
Bagaimanapun juga, respon klinis tidak dapat diprediksi dan kematian dapat
terjadi karena aritmia/asistol ventrikel. Stimulasi baroreseptor sinus karotis
menghasilkan impuls yang ditransmisikan melalui saraf sinus karotis (cabang
saraf glossopharyngeal) ke nukleus dari traktus solitaries, dan nukleus vagal di
medula. Impuls parasimpatis menuju ke jantung melalui saraf vagus yang dapat

mengakibatkan bradikardia dan juga berpotensi mengakibatkan asistol.


Kematian dapat terjadi kapan saja setelah penerapan tekanan pada leher, dan
diperkirakan bahwa vaso vagal inhibisi semacam itu dapat menjelaskan
mengapa begitu banyak orang yang ditemukan menggantung tidak
menunjukkan tanda-tanda klasik asfiksia. Lamanya waktu penekanan pada
leher atau dada harus dipertahankan untuk menyebabkan kongesti dan petekie
pada korban yang masih hidup masih hal kontroversi yang berkelanjutan, tetapi
secara umum diterima bahwa diperlukan minimal 10-30 detik. Pada kondisi
dengan tidak adanya petekie, jika kematian disebabkan oleh penekanan pada
leher, maka kematian harus diawasi dalam jangka waktu yang lama, suatu
faktor yang mungkin memiliki relevansi hukum ketika mempertimbangkan
tindakan terdakwa.
21

Gambar 13.Sinus karotis baroreseptor dan penekanan pada leher: (a) lokasi dari
sinus karotis pada percabangan arteri karotis komunis di leher, dan (b)
penekanan pada leher yang menyebabkan penekanan pada sinus karotis.

5. Fraktur atau dislokasi tulang vertebra servikalis


Ini didapati pada hukuman gantung (judicial hanging), hentakan yang tiba-
tiba pada ketinggian 1-2 meter oleh berat badan korban dapat menyebabkan
fraktur dan dislokasi vertebra servikalis bagian atas yang menekan atau
merobek spinal cord hingga menyebabkan kematian tiba- tiba. Vertebra

servikalis II-III yang paling sering terkena. Pada faring juga bisa ditemukan
kerusakan pada kasus judicial hangingkarena terjadi penurunan tiba-tiba
(sudden drop).Selain itu, faktor lain pada individu dengan penyakit degeneratif
22

lanjut pada tulang belakang leher, seperti osteoartritis atau obesitas yang
dengan kasus penggantungan total.
2.2.5. Periode fatal
Pada hukuman gantung kematian berlangsung sangat cepat karena fraktur di
vertebra servikalis yang mengakibatkan perdarahan di medulla oblongata. Sering

didapati jantung masih berdenyut untuk beberapa saat kemudian.


Bila kematian karena penutupan arteri juga berlangsung cepat karena iskemik
otak, sedangkan kematian berlangsung lebih lambat pada penyumbatan vena. Bila
yang tersumbat adalah saluran pernafasan, maka kematian bisa berlangsung di
bawah 5 menit.

2.2.6. Tanda post mortem


Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau
tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran
pernafasan maka dijumpai tanda- tanda asfiksia, respiratory distress, sianosis dan
fase akhir konvulsi lebih menonjol.
Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati
tanda- tanda perbendungan dan perdarahan (petekie) di konjuntiva bulbi, okuli
dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar sehingga dapat
menutup arteri, maka tanda- tanda kekurangan darah di otak lebih menonjol
(iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi, dan berakibat
gagal nafas.
Tekanan pada sinus karotis menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan
tanda- tanda postmortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri

sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda gabungan.


23

Tabel perbedaan penggantungan ante-mortem dengan post-mortem

No. Penggantungan ante-mortem Penggantungan post-mortem

1. Tanda-tanda penggantungan ante- Tanda-tanda post-mortem


mortem bervariasi, tergantung menunjukkan kematian yang
dari cara kematian korban. bukan disebabkan penggantungan.

2. Tanda jejas jeratan: miring, Tanda jejas jeratan: biasanya


berupa lingkaran terputus berbentuk lingkaran utuh
(non-continuous) dan letaknya (continuous), agak sirkuler dan
pada leher bagian atas. letaknya pada bagian leher tidak
begitu tinggi.

3. Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari


terdapat pada sisi leher satu, diikatkan dengan kuat dan
diletakkan pada bagian depan
leher.

4. Ekimosis, tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas
satu sisi dari jejas penjeratan. penjeratan tidak ada atau tidak

Lebam mayat tampak di atas jejas jelas. Lebam mayat terdapat pada

jerat dan pada tungkai bawah. bagian tubuh yang menggantung


sesuai dengan posisi mayat setelah
meninggal.

5. Pada kulit ditempat jejas Tanda parchmentisasi tidak ada


penjeratan teraba seperti perabaan atau tidak begitu jelas.
kertas perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi.

6. Sianosis pada wajah, bibir, Sianosis pada bagian bawah


telinga,dan lain-lain sangat jelas wajah, bibir, telinga, dll tergantung
terlihat terutama jika kematian dari penyebab kematian.
24

karena asfiksia.

7. Wajah, membengkak dan mata Tanda- tanda pada wajah dan mata
mengalami kongesti dan agak tidak terdapat, kecuali jika
menonjol, disertai dengan penyebab kematian adalah
gambaran pembuluh darah vena pencekikan (strangulasi) atau
yang jelas pada bagian kening sufokasi.
dan dahi.

8. Lidah bisa terjulur atau tidak Lidah tidak terjulur kecuali pada
sama sekali. kasus kematian akibat pencekikan.

9. Penis. Ereksi penis disertai Penis. Ereksi penis dan cairan


dengan keluarnya cairan sperma sperma tidak ada. Pengeluaran
sering terjadi pada korban pria. faeses juga tidak ada.
Demikian juga sering
ditemukannya keluar faeses.

10. Air liur, ditemukan menetes dari Air liur, tidak ditemukan yang
sudut mulut, dengan arah yang menetes pada kasus selain kasus
vertikal menuju dada. Hal ini penggantungan.
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante mortem

2.2.7. Pemeriksaan jenazah


Pemeriksaan luar
1. Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter,
dan keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi:
a. Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika bahan penggantung
yangdigunakan kecil dan keras dibandingkan jika menggunakan bahan yang
lembut dan lebar seperti selendang, maka bekas jeratan tidak begitu
jelas.Seseorang harus menggambarkan arah alur (miring ke atas, horizontal,
25

dan lain-lain.), apakah itu kontinu atau terputus, warnanya, dimensinya


(kedalaman dan lebar), apakah ada jejak yang berbeda dengan pola
pengikatan, bidang leher yang terlibat, dan hubungannya dengan tanda-tanda
yang dijumpai.Letak ikatan pada leher penting untuk membedakan hanging

dan strangulasi.
Pada hanging :
i. 85% di atas cartilago thyroidea.

ii. 15% setinggi cartilago thyroidea.

iii. 5% di bawah cartilago thyroidea.


Dalam semua kematian akibat gantung, agen polisi yang terlibat harus
segera memberi tahu kantor pemeriksa medis. Jika korban jelas sudah mati,
jenazahnya tidak boleh diturunkan sehingga dokumentasi foto yang tepat
dan investigasi adegan dapat dibuat. Alat jerat itu tidak boleh dipotong dari
tubuh, tetapi dibiarkan utuh untuk dibawa bersama tubuh korban ke kamar
mayat. Sebelum melepaskan jerat dari leher, sifat, komposisi, lebar, mode

aplikasi, lokasi, dan jenis simpul harus dijelaskan secara rinci.Ketika


pemeriksa medis melepaskan tali dari leher, simpul alat jerat tidak boleh
dilepaskan. Jerat dapatdipotong berlawanan dengan simpul dan kemudian

ujung yang dipotong akan diikat kembali bersama dengan selotip.Setelah

dilepaskan, alat jerat pada leher harus diuraikan dengan teliti. Setelah

diperiksa, alat jerat harus disegel dan kemudian diserahkan kepada polisi.

b. Bekas jeratan (ligature mark) yang terlihat di leher biasanya akan berbentuk

seperti alur atau berparit. Alur ini umumnya tidak sepenuhnya melingkari
leher, tetapi agak miring ke atas menuju simpul, memudar pada titik simpul
penggantungan sehinggamembentuk garis oblik (miring) seperti ”V” terbalik
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas diantara kartilago
tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah
26

menuju belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas pada bagian

belakang. Kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir

jeratan.Jika alat jerat lembut seperti handuk dan tubuh diturunkan tak lama

setelah kematian,maka tidak ada bekas luka di leher. Dengan alat jerat yang

tipis dan keras, alurnya akan sempit, dalam, dan jelas. Semakin lama tubuh

digantung, maka semakin jelas tandanya. Alurnya akan terlihat dangkal dan

lebar jika digunakan penjerat yang lebar seperti selembar kain. Tanda
jeratan terlihat paling dalam pada tempat yang berlawanan dengan titik
simpul.

Gambar 14. Bentuk “V” terbalik

c. Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,

keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas

perkamen, disebut tanda parchmentasi. Bila jeratan tali keras, mula- mula
akan menimbulkan warna pucat kemudian berubah menjadi coklat seperti
warna kertas perkamen. Pada pinggir ikatan dijumpai daerah hiperemis dan

ekimosis. Ini menunjukkan bahwa pengikatan terjadi sewaktu korban masih

hidup. Bila pengikatan dengan bahan yang lembut seperti selendang maka
terlihat bekasnya lebar dan tidak ada lekukan ikatan, biasanya miring dan
kontinu. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit lebih gelap
27

karena adanya lebam mayat.Tanda jerat yang terlihat di leher korban yang
tergantung disebabkan oleh alat penjerat yang dipakaikan pada leher korban
sewaktu hidup atau setelah korban mati. Tanda jerat akan muncul dalam

waktu 2 jam. Jadi, tanda jerat pada leher tidak harus berarti bahwa seseorang

masih hidup ketika dia digantung.

Gambar 15. Tanda parchmentasi

d. Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di bagian bawah
telinga, tampak daerah segitiga pada kulit di bawah telinga, yaitu di bagian
yang tidak ada bekas jeratan. Kadang- kadang didapati juga bekas tekanan
28

simpul di kulit. Terkadang pada orang gemuk, tanda semu dapat terlihat

karena adanya lipatan kulit leher.

e. Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi di

sekitarnya.

Gambar 16. Pinggiran berbatas tegas

f. Jumlah tanda penjeratan


Pada sebagian besar kasus penggantungan bunuh diri, jerat terdiri dari satu
putaran.Pada keadaan lain bisa didapati leher dililiti beberapa kali secara
horizontal baru kemudian digantung, dalam keadaan ini didapati beberapa
bekas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang
menunjukkan titik simpul.Hal ini menghasilkan bentuk alur yang mungkin
tersusun paralel sesuai dengan jumlah lilitan, tumpang tindih pada satu titik,
atau mengikuti dua jalur yang sama sekali berbeda, misalnya, satu miring
dan horizontal lainnya. Jeratan yang lebih dari 1putaran mungkin mencubit

kulit di antara mereka, menghasilkan strip hemoragik kulit.


29

Gambar 17. Jeratan dengan 2 putaran (Double-looped)

2. Kedalaman dari bekas penjeratan juga menunjukkan lamanya tubuh tergantung,

berat badan korban (komplit atau inkomplit) dan ketatnya jeratan.

3. Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang dan

meregang.

4. Tanda- tanda asfiksia.


Muka pucat atau bisa bengkak, mata menonjol keluar, perdarahan berupa
petekie tampak pada wajah dan subkonjuntiva (Tardeou's spot pada conjuntiva
bulbi dan palpebra).Petekie dapat muncul karena aliran arteri karotis dan vena
benar-benar tersumbat tetapi arteri vertebralis terus memasok darah ke kepala
sehingga menghasilkan kongesti pada wajah dan petekie.Petekie juga bisa tidak
muncul apabila terjadi penyumbatan total pada pembuluh darah, sehingga tidak
ada kumpulan darah di kepala, tidak ada tekanan yang meningkat sehingga
tidak ada petekie.Selain di kepala, darah akan menggenang di area yang
tergantung pada tubuh seperti lengan bawah, tangan, dan kaki bagian bawah,
karena gravitasi. Seiring waktu, perdarahan belang-belang (punctate) dan
bintik-bintik Tardieu juga muncul yang disebabkan oleh pecahnya hidrostatik
pembuluh darah.
30

Gambar 18. Petekie pada wajah dan subkonjungtiva (Tardeou’s Spot)Color atlas

Gambar 19. Tidak ada petekie atau perdarahan konjungtiva/sklera


31

5. Lidah. Jika posisi tali di bawah kartilago tiroid maka ujung lidah akan terlihat

menjulur ke luar dan berwarna lebih gelap akibat proses pengeringan.

Gambar 20. Lidah gelap dan kering

6. Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat

simpul tali. Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante mortem
karena hal ini adalah fenomena penting dan tidak bisa diproduksi setelah
kematian.

7. Lebam mayat
Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati dikaki dan
tangan bagian bawah terutama di ujung-ujung jari tangan dan kaki. Bila segera
diturunkan lebam mayat bisa didapati di bagian depan atau belakang tubuh
sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan.

8. Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.

9. Urin dan feses bisa keluar.


Hal ini dapat terjadi karena adanya relaksasi sfingter sehingga urin dan tinja
dapat dilihat dalam pakaian.

10. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnyadarah.


32

Pemeriksaan dalam
Pada pemeriksaan dalam dilakukan sayatan melengkung dari belakang
prosesus mastoid kanan ke kiri, memanjang ke bawah hingga sternum. Diseksi

lapisan demi lapisan dilakukan secari hati-hati agar mendapat hasil terbaik.

1. Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan
terasa kering seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat
tergantung cukup lama. Ini adalah tanda khas kematian karena penggantungan.

Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.

Gambar 21. Tidak ada tanda perdarahan atau fraktur

2. Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa

keadaan. Hal ini terjadi karena adanya kekuatan besar yang digunakan untuk

menggantung. Kerusakan otot ini lebih banyak tejadi pada kasus

penggantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.

3. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah arteri karotis mengalami

laserasi ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding


33

pembuluh darah. Pada arteri karotis komunis dijumpai garis berwarna merah

(red line) pada tunika intima.

4. Fraktur tulang hyoid sering terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali pengantung yang
panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.
Adanya efusi darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa kasus ini adalah
penggantungan ante-mortem.

Gambar 22. Fraktur tulang hyoid Color atlas

5. Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.

6. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi

pada korban hukuman gantungsehinggu disebut hangman’s fracture.Dalam


hukuman gantung, kematian disebabkan oleh frakturlokasi vertebra servikalis
atas dengan lilitan tali. Simpul ditempatkan di bawah telinga kiri atau, lebih
34

jarang, di bawah dagu. Sebuah pintu jebakan muncul dan tahanan jatuh jarak

tertentu yang ditentukan oleh beratnya. Jika dia jatuh pada jarak yang tidak
cukup, tali penjerat akan mencekik dan tidak mematahkan lehernya tetapi jika
dia jatuh terlalu jauh, kepalanya akan terpenggal. Dalam hukuman gantung
yang dilakukan dengan benar, korban tiba-tiba berhenti pada akhir
kejatuhannya ketika kepalanya tersentak tiba-tiba dan dengan keras ke
belakang, mematahkan tulang punggungnya. Pola cedera ini disebabkan oleh
hiperekstensi dan mengakibatkan cedera saraf tulang belakang di vertebra C2-
3. Pada kasus ini dapat dijumpai tanda klasik, yaitu hangman’s fracture.
Fraktur ini berupa fraktur pada pedikulus atau pars interartikularis C2 dengan
arkus posterior masih menempel dengan C3. Fraktur klasik ini tidak selalu

terjadi pada kasus gantung. Bisa juga dapat terjadi fraktur hyoid, prosesus
styloid, dan tulang oksipital serta bagian korpus C2 dan prosesus transversal
C1-3 dan C5.

Gambar 23. (Hangman’s Fracture)

7. Paru- paru mengalami oedem dan kongesti dan dijumpai tanda Tardeou's spot

dipermukaan paru, jantung dan otak.

8. Pada jantung bilik kanan penuh dengan darah dan bilik kiri kosong.
35

9. Organ-organ di abdomen dapat mengalami kongesti.

Tabel 1. Perbedaan mati gantung dan penjeratan (Jurnal usu, concise textbook)

Observasi Mati Gantung Penjeratan


Motif/ Tanda Asfiksia Bunuh diri, kurang jelas Pembunuhan jelas
Tanda jeratan di leher Miring, tidak kontinu Horizontal dan kontinu
Letak jeratan Antara dagu dan laring Dibawah tioid
Leher Memanjang Tidak memanjang
Bekas tali Keras, kering, coklat tua Lunak dan kemerahan
seperti kulit disamak
Lecet setentang tali Jarang dijumpai Umumnya ada
Tanda perlawanan Jarang dijumpai Sering ada
Fraktur laring dan trakea Jarang Sering
Dislokasi vertebra Ada pada judicial Jarang
hanging
Perdarahan pada saluran Sangat jarang Ada, bersamaan buih
pernapasan dari mulut dan hidung
Air ludah Mengalir dari salah satu Tidak ada
sudut mulut
Tardieu’s spot Jarang Sering
Muka Pucat Sianosis dan kongesti

Menurut aspek medikolegal, pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan


oleh seorang dokter dalam kasus gantung adalah: “Apakah seseorang telah mati
karena gantung atau tidak? Apakah gantung itu kecelakaan, bunuh diri, atau
pembunuhan?” Kadang-kadang, seseorang dapat dibunuh dengan metode lain
seperti pencekikan, senjata api atau penusukan. Tubuh ini dapat diletakkan di

posisi menggantung untuk membuat kesan bahwa orang itu gantung diri. Dalam
kasus-kasus seperti itu, dokter harus dengan cermat memeriksa mayat dan mencari
36

penyebab kematian lainnya. Diseksi yang cermat pada leher akan mengungkapkan

bahwa orang itu meninggal karena digantung atau dicekik.11


1. Suicide hanging
Gantung adalah kasus bunuh diri yang paling banyak dijumpai.
Biasanya perbuatan bunuh diri dilakukan sama banyaknya oleh kedua jenis
kelamin dan sepertinya tidak tergantung umur, artinya dilakukan dari
remaja sampai orang tua. Pemeriksaan di TKP penting untuk menjelaskan

bila ada luka di tubuh korban. Bila tergantung dekat dinding mungkin ada

tonjolan yang dapat melukai korban menjelang kematian.


Keadaan di TKP (tempat kejadian perkara) dimana korban
ditemukan biasanya tenang, dalam ruang atau tempat yang tersembunyi
atau pada tempat yang sudah tidak dipergunakan.
Posisi korban yang tergantung lebih mendekati lantai, berbeda
dengan pembunuhan dimana jarak antara kaki dengan lantai cukup lebar.
Pakaian korban rapi, sering didapatkan surat peninggalan pada saku, yang
isinya adalah alasan mengapa ia melakukan tindakan nekat tersebut. Pada
leher tidak jarang tidak jarang diberi alas sapu tangan atau kain sebelum
alat penjerat dikalungkan ke lehernya. Jumlah lilitan yang didapat hanya

satu kali, semakin banyak lilitan maka dugaan bunuh diri semakin besar.
Simpul alat penjerat biasanya simpul hidup, letak alat penjerat terhadap
leher berjalan serong, ini dapat diketahui dengan pengukuran letak alat
penjerat terhadap dagu, telinga kanan dan kiri serta batas rambut bagian
belakang. Letak simpul dapat di belakang atas kiri, belakang atas kanan,
depan atas kiri dan depan atas kanan atau tepat di garis pertengahan bagian
depan.
Untuk mengesampingkan setiap kekerasan yang mungkin tidak
terlihat dan untuk memastikan bahwa korban tidak dibius, dalam semua
37

dugaan gantung diri, penyaringan toksikologi lengkap harus dilakukan


dan, dalam banyak kasus, otopsi lengkap dilakukan.
2. Homicidal hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif
jarang dijumpai. Pembunuhan dengan cara penggantungan sulit untuk

dilakukan oleh seorang pelaku.Kemungkinan agar bisa menggantung


korban maka korban harus dipukuli sampai pingsan atau orang dewasa
yang kondisinya lemah, baik lemah atau menderita penyakit, di bawah
pengaruh obat bius, alkohol atau korban sedang tidur, atau korbannya
anak- anak yang tenaga nya lebih kecil disbanding orang dewasa.
Selain tanda-tanda asfiksia dapat ditemukan luka- luka pada tubuh
korban, situasi TKP yang tidak beraturan dan adanya tanda- tanda
perlawanan untuk membela diri (kecuali korbannya anak kecil, kekerasan
biasanya tidak ada). Pembunuhan dengan cara menggantung merupakan

bentuk pembunuhan yang cukup lazim di masa lalu. Biasanya


pembunuhan dilakukan di luar proses hukum yang direncanakan oleh
suatu kelompok, seperti orang yang dikutuk dan lainnya.
Agar pembunuhan dapat berlangsung, tubuh pelaku harus lebih
kuat dari korban. Alat penjeratan yang dipergunakan biasanya sudah
dipersiapkan oleh pelaku (dibawa dari rumah) atau dapat pula benda yang
ada disekitar korban.
Dalam melaksanakan niatnya sering kali leher korban mendapat
trauma sehingga tampak luka- luka di daerah tersebut, dan tidak jarang
tampak adanya luka lecet tekan berbentuk bulan sait yang berasal dari
tangan pelaku; memar hebat dapat ditemukan pada jaringan otot dan alat-
alat di dalam leher, tulang lidah dan rawan gondok dapat patah.Seseorang

mungkin juga dicekik dengan penjerat dan kemudian digantung. Tetapi


38

dalam contoh ini, tanda leher tidak akan memiliki konfigurasi klasik huruf
“V” terbalik.
Pembunuhan dengan mempergunakan lasso merupakan contoh
yang baik untuk kasus ”homicidal hanging”, yaitu setelah lasso tadi
menjerat leher, korban segera dikerek ke atas. Makin jauh jarak antara
kaki korban dengan lantai makin kuat pembunuhan, makin dekat jarak
antara simpul dengan tiang tumpuan untuk menggantung makin kuat
dugaan bahwa kasus yang dihadapi adalah kasus pembunuhan. Accidental
hanging
Kecelakaan karena mati gantung sangat jarang, biasanya
berhubungan dengan pekerjaan yang sering mempergunakan tali atau pada
anak-anak. Penggantungan yang tidak sengaja ini dapat dalam dua
kelompok: yang terjadi sesewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu
melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang yang disebut auto-erotic
hanging.
Mati tergantung sewaktu bermain umumnya pada anak-anak dan
tidak membutuhkan penyidikan yang sulit oleh karena biasanya kasusnya
sangat jelas, missal tersangkut pada batang pohon yang bercagak atau
tersangkut tas sekolah di leher.
Kematian yang terjadi sewaktu pelampiasan nafsu seksual yang
menyimpang memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam hal mempelajari
dan menguraikan tali-tali yang dipakai, yang sering kali diikatkan pada
banyak tempat, ikatan pada daerah genitalia, lengan, tungkai, leher dan
mulut; kematian terjadi karena ikatannya terlalu keras, atau hentakkannya
terlalu kuat sehingga leher terjerat.
Pada auto-erotic hanging, tidak jarang dijumpai gambar dan
benda- benda pornografi di sekitarnya. Telah dilaporkan bahwa dengan
menyebabkan asfiksia dengan penjerat di leher, stimulasi seksual
ditingkatkan dalam suasana seksual. Para korban sebagian besar laki-laki.
39

Beberapa bahan lunak seperti sapu tangan atau kawat dapat digunakan
oleh korban dan tekanannya meningkat dengan tangan atau dengan kaki.

Korban biasanya ditemukan telanjang. Jika dia minum alkohol, asfiksia

akan cepat terjadi. Terkadang, dia mungkin tidak bisa menghilangkan

tekanan pada waktunya sehinga menyebabkan kematian. Dalam semua

kasus seperti itu, pemeriksaan TKP sangat berguna.


BAB III

KESIMPULAN

1. Gantung diri (hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari
leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian
sehingga menimbulkan kondisi asfiksia yang dapat menyebabkan kematian.

2. Pada kasus hanging alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya

aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.

3. Jumlah lilitan dapat hanya satu kali, semakin banyak lilitan dugaan bunuh diri

semakin besar.

4. Makin jauh jarak antara kaki korban dengan lantai makin kuat dugaan
pembunuhan; makin dekat jarak antara simpul dengan tiang tumpuan untuk
menggantung, makin kuat dugaan bahwa kasus yang dihadapi adalah kasus
pembunuhan.

40
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik.

In: Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 55-64.
2. Idries MA. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Binarupa
Aksara.
3. Amir, A. 2008. Sebab Kematian. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu

Kedokteran Forensik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.
4. DiMaio J, Vincent, DiMaio D. 2001. Forensic pathology. 2nd ed. CRC
Press LLC.
5. Vij, K. 2011. Asphyxial Deaths. In: Textbook of Forensic Medicine and

Toxicology Principles and Practice. 5th ed. India: Elsevier.


6. James-Payne, J. Jones, R. Karch, S. Manlove, J. 2011. Simpson’s Forensic
Medicine. 13th ed. CRC Press LLC.
7. Catanese, C. 2016. Asphyxia. In: Color Atlas of Forensic Medicine and

Pathology. 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press.

8. Chowdhry, S., Sharma, S. 2012. Asphyxial Conditions. Available online

from: https://www.slideshare.net/SunilSharma53/asphyxial-conditions
(Accessed: 30/06/2019)
9. Saukko, P., Knight, B. 2016. Knight’s Forensic Pathology. 4th Ed. Boca

Raton: CRC Press.

10. Meel, BI., 2006. Epidemiology of Suicide by Hanging in Transkei, South

Africa. Am J Forensic Med Pathol 27; 75-78.

11. Spitz, W.U., 2007. Asphyxia. In: Fisher, R. U., ed. Medicolegal
Investigation of Death Guidlines for the Aplication of Pathology to Crime
Investigation. USA: Charles C. Thomas, 270-277.

12. Prahlow JA., Byard RW. 2012. Atlas of Forensic Pathology. New York:

41
42

Springer, Humana Press.


13. Chatzaraki, V. Tappero, C. Thali, MJ. Schweltzer, W. 2018. Death by
hanging: a retrospective case-control investigation of the intervertebral
disc vacuum phenomenon on PMCT. Forensic Sci Med Pathol. 2018
Dec;14(4):484-496
14. Hua, A. Shah, KH. Garg, M. Legome, E. Ufberg, J. 2016. A Hanging and
Its Complications. J Emerg Med. 2016 Dec;51(6):691-696
15. Gratteri, S. Ricci, P. Tarzia, P. 2017. When a suicide becomes a forensic
enigma: The role of hanging marks and tools of suspension. Med Leg J.
2017 Sep;85(3):141-144

Anda mungkin juga menyukai